Vous êtes sur la page 1sur 24

ANALISIS RISIKO MULTIBENCANA BANJIR DAN KEKERINGAN DI

KABUPATEN JENEPONTO PROVINSI SULAWESI SELATAN

Disusun sebagai pengganti Ujian Akhir Semester (UAS) Mata Kuliah


Dasar-Dasar Analisis Risiko Multibencana

Dosen Pengampu : Dr. Emilya Nurjani, M.Si

Oleh :

Inayah Bastin Al Hakim (17/420157/PMU/09368)

PRODI MAGISTER MANAJEMEN BENCANA


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian


Perubahan iklim merupakan salah satu akibat dari pemanasan global (global warming).
Dampak dari pemanasan global tersebut dapat berupa perubahan unsur-unsur iklim terutama
suhu udara dan curah hujan yang terjadi selama 30 sampai 100 tahun. Dengan peningkatan
konsentrasi gas karbon dioksida (CO₂) di atmosfer telah mencapai 580 ppm maka suhu bumi
akan naik sekitar 1,7 hingga 4,5 derajat celcius (Sudibyakto, 2011). Akibat peningkatan suhu
sebesar itu maka akan membawa dampak perubahan pada lingkungan dan kehidupan di bumi
dan langit. Dampak tersebut antara lain mencairnya es di kutub selatan dan utara yang
mengakibatkan menaiknya permukaan air laut, perubahan pola hujan, gangguan terhadap
keanekaragaman hayati seperti gagal panen, meningkatnya bencana banjir dan kekeringan.

Banjir adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa meningkatnya debit air diatas rata-rata.
Banjir dapat menggenangi permukiman penduduk, lahan pertanian dan perkebunan sehingga
menyebabkan kerugian secara materiil seperti gagalnya produksi pertanian dan perkebunan
karena lahan tergenang, hilangnya barang-barang rumah tangga hingga kerusakan bangunan
pribadi dan fasilitas umum. Banjir merupakan salah satu bencana yang sering terjadi di
Indonesia. Karena iklim Indonesia adalah tropis membuat Indonesia hanya memiliki dua
musim yaitu musim hujan dan kemarau. Pada musim hujan seringkali curah hujan turun diatas
normal yang menyebabkan beberapa wilayah Indonesia sangat mudah terjadi banjir. Namun
itu bukan hanya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi tapi dapat juga disebabkan oleh faktor
manusia ataupun kombinasi keduanya. Pada tahun 2016 jumlah kejadian banjir yang tercatat
di seluruh Indonesia mencapai angka 638 kejadian (DiBi BNPB, 2016).

Kekeringan terjadi pada daerah yang kekurangan curah hujan atau daerah yang secara
jenis tanah tidak mampu menyimpan cadangan air dengan baik. Biasanya kekeringan terjadi di
wilayah timur Indonesia dengan curah hujan yang sedikit serta jenis tanah karst atau kapur.
Kekeringan merupakan bencana yang unik karena terjadi dalam kurun waktu yang lama dan
pada daerah yang luas. Kekeringan tidak menyebabkan kerusakan infrastruktur seperti bencana
lainnya yaitu banjir, gempa bumi, angin putting beliung, dsb. Dampak kekeringan yang
dirasakan adalah kekurangan pasokan air bersih untuk minum serta irigasi pertanian dan
perkebunan. Hal tersebut menyebabkan gagal panen sehingga kerugian juga terasa pada sektor
ekonomi. Kekeringan sering dikaitkan dengan perubahan iklim bernama El-Nino. El-Nino
adalah fenomena perubahan iklim secara global yang diakibatkan oleh memanasnya suhu
permukaan air laut Pasifik bagian timur. El-Nino terjadi pada 2-7 tahun dan bertahan hingga
12-15 bulan (Sarachik, 2010). Ciri-ciri terjadi El-Nino adalah meningkatnya suhu muka laut di
kawasan Pasifik secara berkala dan meningkatnya perbedaan tekanan udara antara Darwin dan
Tahiti (Irawan, 2006). Tjasyono (1999) menyatakan bahwa pengaruh El-Nino sangat kuat pada
daerah yang dipengaruhi oleh iklim monsunal, yang meliputi wilayah-wilayah Sumatera
bagian selatan, Jawa, Bali, dan sebagian besar kawasan Indonesia Bagian Timur. Dalam kurun
lima tahun terakhir, bencana kekeringan terjadi sebanyak 50 kali di seluruh Indonesia (DiBi
BNPB) sedangkan menurut Inarisk BNPB luas bahaya kekeringan diperkirakan mencapai
163.062.250 km².

Pada penelitian ini penulis memilih Kabupaten Jeneponto di Provinsi Sulawesi Selatan
sebagai objek studi. Hal itu dikarenakan pola iklim di Provinsi Sulawesi Selatan yang terbilang
unik. Pola iklim yang dimaksud hanya dipengaruhi oleh faktor lokal seperti angin baratan,
kondisi geografis, serta kondisi topografi seperti daerah pegunungan, berlembah, serta
banyaknya pantai. Selanjutnya Kabupaten Jeneponto merupakan satu-satunya kabupaten di
Provinsi Sulawesi Selatan yang termasuk dalam daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar).
Selain enam aspek (perekeonomian masyarakat, sumber daya manusia setempat, ketersediaan
infrastruktur (prasarana), kapasitas yang dimiliki daerah, aksesibilitas dan karakteristik daerah)
Kabupaten Jeneponto juga dilaporkan sering terjadi bencana banjir dengan luas ancaman
13.154 km² dan bencana kekeringan seluas 80.224 km². Kedua bencana tersebut masuk dalam
kategori tinggi di Kabupaten Jeneponto (Inarisk BNPB).

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasrkan uraian diatas, tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk membuat diagram alir atau alur prosedur risiko multibencana banjir dan
kekeringan di Kabupaten Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan

2. Untuk menganalisis multibencana banjir kekeringan di Kabupaten Jeneponto, Provinsi


Sulawesi Selatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kajian Pustaka Penelitian

2.1.1 Perubahan Iklim

Iklim dan cuaca merupakan sumberdaya yang bermanfaat dan berpengaruh bagi
aktivitas manusia, hewan dan tumbuhan di muka bumi ini. Iklim dan cuaca seharusnya
dapat dimanfaatkan dengan baik dalam berbagai ilmu pengetahuan. Iklim merupakan
gejala metereologis dengan waktu yang relatif panjang serta berpengaruh global
sedangkan cuaca hanya berupa jangka harian dan bersifat lokal. Namun keduanya
saling berhubungan sejak keadaan cuaca juga dipengaruhi oleh perubahan iklim.
Gejala penyimpangan iklim telah terjadi pada tahun 1997 yang ditandai dengan
kemarau panjang dan diikuti oleh gejala El-Nino yang mengakibatkan meluasnya
kebakaran hutan di Indonesia menjadi 10 kali lipat (Hampir 5 juta ha hutan terbakar).
Sedangkan pada tahun 1998-1999 telah terjadi penyimpangan iklim berupa
meningkatnya curah hujan disertai gejala La-Nina sehingga menimbulkan banjir di
beberapa wilayah di Indonesia (Sudibyakto, 2011).

Qodriyatun (2016) menyatakan bahwa agenda mitigasi perubahan iklim


diarahkan untuk mereduksi emisi gas rumah kaca pada sektor-sektor ekonomi
prioritas, yaitu sektor energi, kehutanan, pertanian-perikanan, dan infrastruktur yang
didasarkan pada penetapan sasaran-sasaran reduksi per sektornya. Sedangkan agenda
adaptasi diarahkan untuk mengembangkan pola pembangunan yang tahan terhadap
dampak perubahan iklim dan gangguan anomali cuaca yang terjadi saat ini, dan
antisipasi dampaknya ke depan. Tujuan jangka panjangnya adalah terintegrasinya
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan nasional
dengan mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi. Selain itu, harus
berjalan bersamaan dengan usaha pemberantasan kemiskinan dan kegiatan
pembangunan ekonomi karena masyarakat miskin merupakan golongan yang paling
rentan terhadap dampak perubahan iklim (Kementerian Lingkungan Hidup, 2007).
1. Banjir

Salah satu akibat dari perubahan iklim adalah terjadinya anomali cuaca,
pergeseran musim dan persebaran curah hujan yang tidak merata. Curah hujan yang
sangat tinggi melebihi 150 mm/hari dapat mengakibatkan menambahnya debit air di
tanah sehingga menimbulkan banjir. Banjir merupakan limpasan air yang melebihi
tinggi muka air normal, sehingga melimpas dari palung sungai menyebabkan adanya
genangan pada lahan rendah di sisi sungai (Kurniawan, Triutomo, Yunus, Amri, &
Hantyanto, 2013).

Berdasarkan jenisnya, banjir dibagi menjadi 3 yaitu banjir lokal yaitu banjir yang
terjadi akibat tingginya intensitas curah hujan, banjir dan belum tersedianya saluran
drainase yang baik, banjir kiriman merupakan banjir akibat penumpukan debit air di
daerah hulu dan ketidakmampuannya dalam menampung dan menyebabkan daerah
hilir terkena dampaknya, dan banjir rob yang disebabkan oleh naiknya permukaan air
laut sampai pada permukiman penduduk dan sarana serta infrastrukur lainnya.

Menurut Maryono (2014) secara singkat beberapa faktor banjir disebabkan oleh:

(1) Disebabkan oleh curah hujan yang tinggi,

(2) Perubahan fisik pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menyebabkan
berkurangnya kemampuan DAS untuk meretensi air hujan,

(3) Ketidakefektifan pembangunan alur sungai yaitu penelusuran, sudetan, pembuatan


tanggul, pembetonan dinding, dan pergeseran tampang sungai. Pola ini
mengusahakan air secepat-cepatnya dikuras/dialiri ke hilir tanpa
memperhitungkan banjir yang akan terjadi di hilir,

(4) Faktor pendangkalan dimana pendangkalan sungai berarti terjadinya pengecilan


tampang sungai hingga sungai tidak mampu mengalirkan air yanga melewatinya
dan akhirnya meluap (banjir). Pendangkalan sungai dapat diakibatkan oleh proses
pengendapan (sedimentasi) dan endapan sampah yang dibuang masyarakat ke
sungai,

(5) Perencanaan tata wilayah ialah penetapan kawasan pemukiman atau pusat
perkembangan justru di daerah-daerah rawan banjir.
Bentuk mitigasi dalam memanggulangi banjir dapat dilakukan secara struktural
dan non-struktural. Mitigasi struktural merupakan pengurangan ancaman bencana
melalui kegiatan dalam pembangunan, perbaikan, pengembangan infrastruktur
melalui pemanfaatan teknologi. Contoh mitigasi struktural dalam penanggulangan
banjir diantaranya adalah pembuatan dan peninggian talut di daerah bantaran aliran
sungai, pembangunan rumah tahan banjir dan tinggi, pemasangan Early Warning
System yang dapat berupa CCTV unutk naiknya permukaan air di sekitaran sungai.
Sedangkan mitigasi non-struktural berupa memberikan sosialisasi terhadap
masyarakat tentang pengetahuan banjir dan tidak melakukan penebangan pohon
secara liar, membentuk Komunitas Masyarakat Peduli Bencana yang melibatkan
secara aktif seluruh tokoh dan elemen masyarakat dalam penanggulangan bencana
banjir, dll.

2. Kekeringan

Kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air untuk
kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi, dan lingkungan. Kekeringan
menyebabkan berkurangnya persediaan air bagi pertumbuhan dan perkembangan
vegetasi selama musim kemarau (Haryani). Keadaan ini dapat mengakibatkan
meluasnya lahan kritis yang mengakibatkan terjadinya degradasi lahan serta
penurunan kualitas lingkungan. Klasifikasi kekeringan menurut BNPB dibagi menjadi
(1) kekeringan alamiah meliputi: (a) kekeringan metereologis, (b) kekeringan
agronomis, (c) kekeringan hidrologis dan (d) kekeringan sosial ekonomi. Jenis
kekeringan selanjutnya adalah (2) kekeringan antropogenik yaitu (a) kebutuhan air
lebih besar dari pasokan yang direncanakan akibat ketidak-taatan pengguna terhadap
pola tanam/pengguna air dan (b) kerusakan kawasan tangkapan aiar, sumber-sumber
air akibat perbuatan manusia.
Penyebab kekeringan dari data historis berkaitan erat dengan fenomena ENSO
(El-Nino Southern Oscillation). Pengaruh El-Nino lebih kuat pada musim kemarau
dari pada musim hujan. Bencana kekeringan mungkin berbeda dengan kejadian
bencana lainnya karena kejadiannya tidak terjadi secara tiba-tiba akan tetapi secara
perlahan bertahap. Kekeringan dapat melanda wilayah yang sangat luas dalam waktu
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Kekeringan akan berdampak pada kesehatan
manusia, tanaman serta hewan. Kekeringan menyebabkan pepohonan akan mati dan
tanah menjadi gundul yang pada musim hujan menjadi mudah terjadi erosi dan banjir.
Dampak dari bahaya kekeringan mengakibatkan bencana berupa hilangnya bahan
pangan akibat tanaman pangan dan ternak mati, petani kehilangan mata pencaharian,
banyak orang kelaparan dan mati, sehingga berdampak terjadinya urbanisasi.

2.1.2. Kerentanan Wilayah

Kerentanan dapat didefinisikan sebagai derajat kemampuan suatu sistem atau


bagian dari sistem untuk dapat bereaksi dengan peristiwa yang berbahaya (Usamah,
Handmer, Mitchell, & Ahmed, 2014). Menurut Wisner (2004) penyebab kerentanan
yang paling mendasar berupa kemiskinan, infrastruktur, sumber daya, ideologi, sistem
ekonomi dan faktor-faktor prakondisi umum . Tekanan dinamis yang menjadi
penyebab kerentanan yaitu institusi lokal, pendidikan, pelatihan, soft skill, investasi
lokal, pasar lokal, kebebasan pers, kekuatan makro, ekspansi penduduk, urbanisasi,
degradasi lingkungan. Kerentanan bencana berdasarkan kondisi fisik yaitu lokasi yang
berbahaya, infrastruktur dan bangunan, ekonomi lokal, kehidupan yang berisiko serta
tingkat pendapatan yang rendah dan tindakan umum.

ADPC (2006) mengelompokkan kerentanan kedalam lima kategori yaitu:

1. Kerentanan fisik (physical vulnerability) yang meliputi: umur dan konstruksi


bangunan, materi penyus un bangunan, infrastruktur jalan, fasilitas umum).

2. Kerentanan sosial (social vulnerability) yang m eliputi: persepsi tentang risiko


dan pandangan hidup masyarakat yang berkaitan dengan budaya, agama, etnik,
interaksi sosial, umur, jenis kelamin, kemiskinan).

3. Kerentanan ekonomi (economic vulnerability) yang meliputi: pendapatan,


investasi, potensi kerugian barang/persediaan yang timbul.

4. Kerentanan lingkungan (enviromental vulnerability) yang meliputi: air, udara,


tanah, flora and fauna.

5. Kerentanan kelembagaan (instititutional vulnerability) yang meliputi: tidak ada


sistem penanggulangan bencana, pemerintahan yang buruk dan tidak
sinkronnya aturan yang ada.

2.1.3. Kapasitas Wilayah

Kapasitas dapat diartikan sebagai segala sumber daya yang dimiliki masyarakat
baik bersifat individu, kelompok atau manajerial (leadership) (UN/ISDR, 2005).
Menurut jenisnya, kapasitas sama dengan kerentanan yaitu (1) kapasitas fisik, (2)
kapasitas sosial, (3) kapasitas ekonomi, (4) kapasitas lingkungan, dan (5) kapasitas
kelembagaan. Namun yang menjadi pembeda adalah peran serta fungsinya dimana
kapasitas merupakan lawan atau kebalikan dari kerentanan, Jika kerentanan diartikan
sebagai suatu ketidakmampuan masyarakat dalam menghadapi bahaya pada wilayah
tertentu, kapasitas dapat menjadi modal dalam suatu wilayah untuk mengurangi
dampak atau risiko bencana dengan pengetahuan tentang penanggulangan bencana
yang dapat menjadi bekal masyarakat serta lingkungan dan infrastrukur yang secara
fisik tahan akan bencana.

Dengan adanya perubahan paradigma masyarakat sebagai subyek maka untuk


meningkatkan kapasitas masyarakat dalam hal penanggulangan bencana dapat
dilakukan dalam berbagai cara, diantaranya:

1. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang potensi ancaman bahaya


di daerahnya serta penanggulangannya

2. Membentuk desa tangguh bencana yang diinisiasi oleh BPBD setempat


dengan merangkul tokoh desa, komunitas terkait dan pemuda serta seluruh
elemen masyarakat

3. Melakukan simulasi bencana yang paling menjadi prioritas di wilayah


tersebut

2.1.4. Risiko Bencana

Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada
suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit,
jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan
gangguan kegiatan masyarakat (Muta’ali, 2014). Nilai risiko bencana merupakan
perhitungan dengan rumus antara ketiga indikator yaitu nilai ancaman bencana, nilai
kerentanan serta kapasitas wilayah.

Pengkajian risiko adalah suatu metodologi untuk menentukan sifat dan cakupan
risiko dengan melakukan analisis terhadap potensi bahaya dan menevaluasi kondisi
kerentaan yang ada dan dapat menimbulkan suatu ancaman atau kerugian bagi
penduduk, harta benda, penghidupan dan lingkungan tempat tinggal (ISDR, 2004
dalam MPBI, 2007).
Dalam kajian risiko bencana, terdapat ancaman bencana sebagai indikator
wilayah tersebut pernah terjadi bencana atau kemungkinan terjadinya bencana
kembali di masa yang akan datang, lalu indikator yang kedua adalah kerentanan
dimana kerentanan merupakan ketidakmampuan masyarakat atau aspek lainnya
seperti bangunan dan lingkungan untuk tahan terhadap bencana. Kedua indikator
pertama ini sama-sama berbanding lurus sedangkan berbanding terbalik dengan
indikator ketiga yaitu kapasitas. Kapasitas merupakan kemampuan masyakarat,
ekonomi, lingkungan dan bangunan untuk tahan terhadap bencana. Jadi semakin besar
kapasitas di wilayah tersebut maka akan mengurangi tingkat risiko yang dihasilkan.

2.1.5. Deskripsi Wilayah Kabupaten Jeneponto

1. Letak Geografis dan Luas Wilayah

Kabupaten Jeneponto merupakan kabupaten yang terletak paling selatan di


Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten Jeneponto terletak antara 5° 16’13’’ - 5° 39’35”
Lintang Selatan dan 12° 40’19” - 12° 7’31” Bujur Timur. Dengan posisi strategis dan
aksebilitas yang tinggi, sehingga memiliki peluang pengembangan ekonomi melalui
keterkaitan wilayah khususnya keterkaitan dengan daerah yang mendukung
pembangunan sosial ekonomi dan budaya.
Secara administratif Kabupaten Jeneponto berbatasan dengan Kabupaten Gowa
dan Takalar di sebelah Utara, Kabupaten Bantaeng di sebelah Timur, Kabupaten
Takalar sebelah Barat dan Laut Flores di sebelah Selatan. Luas wilayah Kabupaten
Jeneponto tercatat 749,79 km2 yang meliputi 11 kecamatan, yaitu Kecamatan
Bangkala, Bangkala Barat, Tamalatea, Bontoramba, Binamu, Turatea, Batang,
Arungkeke, Tarowang, Kelara dan Rumbia.

2. Kondisi Tanah (Topografi)

Topografi Kabupaten Jeneponto pada bagian utara terdiri dari dataran tinggi
dengan ketinggian 500 sampai dengan 1.400 meter diatas permukaan laut, bagian
tengah dengan ketinggian 100 hingga 500 meter diatas permukaan laut, dan pada
bagian selatan meliputi wilayah dataran rendag dengan ketinggian 0 sampai dengan
150 meter diatas permukaan laut.
3. Jenis Tanah

Jenis Tanah Jenis tanah di Kabupaten Jeneponto terdapat 6 (enam) jenis :

- Jenis tanah Alluvial terdapat di Kecamatan Bangkala, Binamu dan Tamalatea

- Jenis tanah Gromosal terdapat di Kecamatan Tamalatea, Binamu , Bangkala dan


Batang.

- Jenis tanah Maditeren terdapat di kecamatan Bangkala, Batang, Kelara dan Binamu

- Jenis tanah Latosol terdapat di Kecamatan Bangkala Tamalatea dan Kelara

- Jenis Tanah Andosil terdapat di Kecamatan Kelara

- Jenis Tanah Regonal terdapat pada 11 Kecamatan di Kabupaten Jeneponto

4. Hidrologi

Pada umumnya kondisi hidrologi di Kabupaten Jeneponto sangat berkaitan


dengan tipe iklim dan kondisi geologi yang ada. Kondisi hidrologi permukaan
ditentukan oleh sungai-sungai yang ada yang pada umumnya berdebit kecil, oleh karena
sempitnya daerah aliran sungai sebagai wilayah tangkapan air (cathmen area) dan
sistem sungainya. Kondisi tersebut diatas menyebabkan banyaknya aliran sungai yang
terbentuk.

Air tanah bebas (watertable groundwater) dijumpai pada endapan aluvial dan
endapan pantai. Kedalaman air tanah sangat bervariasi yang tergantung pada keadaan
dan jenis lapisan batuan.

Pada wilayah Kabupaten Jeneponto, sistem jaringan sumber daya air meliputi
DAS Binanga Cikoang (2.085 Ha), DAS Binanga Lumbua (13.058 Ha), DAS Binanga
Pangkajene (17.012 Ha), DAS Binanga Topa (5.130 Ha), DAS Binanga Papa (7.087
Ha), DAS Jeneponto (12.259 Ha) serta DAS Tarowang (18.349 Ha).
BAB III
METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh suatu tujuan


tertentu dan menentukan jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Dalam metode penelitian
diperlukannya beberapa variabel atau data terpercaya untuk mendukung sebuah penelitian.
Dalam penelitian ini penulis memperoleh data yang terlampir dalam tabel dibawah ini:

3.1 Kebutuhan Data Penelitian

Tabel 3.1
Kebutuhan Data Penelitian
No Variabel Sub Variabel Data
1. Risiko Bencana Ancaman Bencana 1. Jumlah dan Ancaman Bencana Kekeringan
Kerentanan Wilayah 1. Jumlah Keluarga Miskin
2. Jumlah Rumah Tidak Layak Huni
Kapasitas Wilayah 1. Jumlah Keluarga Sejahtera
2. Jumlah Rumah Layak Huni

3.2 Teknik Analisis


1. Metode Z-Score
Dalam penyusunan ini penulis menggunakan metode analisis Z-Score. Metode jenis
ini merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menyamakan range dari nilai
variabel atau data yang berbeda-beda. Selanjutnya setelah mendapat range yang sama
maka dapat dilakukan penjumlahan antar nilai skalanya untuk mendapatkan total
indeks/skala yang nantinya dapat diklasifikasikan sesuai dengan tingkatannya.

Untuk menemukan nilai Z-Score yang berasal dari nilai variabel berbeda-beda maka
dapat dirumuskan sebagai berikut:

Z-Score = (Xi – X)

Sd

Dimana:

Xi = Data pengamatan i

X = Rata-rata pengmatan Sd = Standar deviasi


BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Diagram Alir Prosedur Risiko Multibencana Banjir dan Kekeringan di Kabupaten
Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan
4.2. Analisis Multibencana Banjir dan Kekeringan di Kabupaten Jeneponto, Provinsi
Sulawesi Selatan

4.2.1. Ancaman Bencana Banjir dan Kekeringan di Kabupaten Jeneponto

Kekeringan dan banjir merupakan kedua bencana yang saling bertolak belakang
dan masih sering terjadi di Kabupaten Jeneponto. Meskipun belum adanya rilis resmi
jumlah kejadian per kecamatan, penulis mengumpulkan laporan kejadian bencana
banjir dan kekeringan dari berbagai sumber yang disajikan dalam tabel dibawah ini:

Tabel 4.2.1 (a)


Laporan Kejadian Bencana Banjir dan Kekeringan di Kabupaten Jeneponto
Ancaman Multibencana
No Kecamatan Banjir Kekeringan Jumlah
1 Bangkala 1 1 2
2 Bangkala Barat 0 0 0
3 Tamalatea 1 1 2
4 Bontoramba 0 0 0
5 Binamu 0 1 1
6 Turatea 0 0 0
7 Batang 0 1 1
8 Arungkeke 0 0 0
9 Tarowang 1 0 1
10 Kalara 0 0 0
11 Rumbia 0 1 1
Dari berbagai sumber
Pada Tabel 4.2.1 (a) menunjukkan ancaman bencana kekeringan per kecamatan
di Kabupaten Jeneponto. Kecamatan Bangkala dan Tamalatea memiliki
multiancaman banjir dan kekeringan sebanyak 2 laporan kejadian. Sedangkan
Kecmatan yang memiliki ancaman banjir yaitu Kecmatan Bangkala, Tamalatea dan
Tarowang. Kecamatan Bangkala, Tamalatea, Binamu, Batang dan Rumbia memiliki
ancaman kekeringan.
4.2.2. Kerentanan Wilayah di Kabupaten Jeneponto
Kerentanan dapat didefinisikan sebagai derajat kemampuan suatu sistem atau
bagian dari sistem untuk dapat bereaksi dengan peristiwa yang berbahaya. Faktor-
faktor kerentanan yang didapat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kerentanan Ekonomi

Kerentanan ekonomi dapat berupa rendahnya pendapatan, investasi, potensi


kerugian barang/persediaan yang timbul. Namun kerentanan dari segi ekonomi dapat
diambil dari tingkat sejahtera atau tidaknya sebuah keluarga. Pada analisis ini, penulis
menggunakan jumlah keluarga yang masuk dalam kategori miskin di Kabupaten
Jeneponto. Menurut BPS terdapat beberapa indikator dalam menentukan penduduk
yang termasuk dalam kategori miskin, Indikator tersebut meliputi keadaan tempat
tinggal yang dilihat dari, ukuran, material bangunan serta fasilitas dasar untuk
kegiatan sehari-hari (sumber listrik, fasilitas toilet dan MCK, sumber penerangan dan
listrik, serta sumber air minum). Indikator selanjutnya adalah seberapa sering
mengkonsumsi makanan bergizi, lalu kemampuan dalam membeli kebutuhan
sandang, kesanggupan untuk membiayai kesehatannya, tingkat pendidikan, sumber
dan jumlah penghasilan, serta kepemilikan barang berharga. Pada tabel dibawah ini
merinci jumlah penduduk miskin di Kabupaten Jeneponto.

Tabel 4.2.2 (a)


Jumlah Keluarga Miskin di Kabupaten Jeneponto

No Kecamatan Keluarga Miskin (KK) Jumlah Seluruh KK


1 Bangkala 5.275 44.043
2 Bangkala Barat 3.364 33.831
3 Tamalatea 3.898 46.116
4 Bontoramba 3.415 14.390
5 Binamu 3.946 20.419
6 Turatea 3.438 21.708
7 Batang 1.866 26.389
8 Arungkeke 2.007 26.468
9 Tarowang 3.104 14.876
10 Kalara 2.751 14.493
11 Rumbia 3.272 17.816
Jumlah 36.336 280.549

Sumber: Bappeda Kabupaten Jeneponto, 2013

Pada Tabel 4.2.2 (a) menunjukkan jumlah keluarga miskin per-kecamatan di


Kabupaten Jeneponto. Jumlah seluruh keluarga di Kabupaten Jeneponto sebanyak
280.549 KK dimana 36.336 KK diantaranya masuk dalam kategori miskin. Itu berarti
sekitar 1 dari 7 KK merupakan keluarga miskin. Jumlah keluarga miskin paling
banyak terdapat di Kecamatan Bangkala sebanyak 5.275 KK diikuti oleh Kecamatan
Binamu yang terdapat 3.946 KK. Kecamatan Batang merupakan kecamatan yang
memiliki keluarga miskin paling sedikit yaitu hanya sekitar 1.866 KK.

2. Kerentanan Bangunan

Kerentanan bangunan merupakan kerentanan pada faktor suatu bangunan layak


atau tidaknya untuk dihuni baik itu dari segi material dasar bangunan, presentase luas
dan jumlah penghuni, kurangnya atau tidak tersedianya fasilitas untuk standar
kehidupan sehari-hari seperti MCK, dan kurangnya sumber penerangan dan air bersih.
Untuk mendapatkan nilai risiko bencana, pada variabel ini penulis menggunakan
jumlah rumah yang tidak layak huni di Kabupaten Jeneponto.

Tabel 4.2.2 (b)


Jumlah Rumah Tidak Layak Huni di Kabupaten Jeneponto

No Kecamatan Rumah Tak Layak Jumlah Rumah


1 Bangkala 2.150 5.640
2 Bangkala Barat 3.673 7.061
3 Tamalatea 2.294 9.180
4 Bontoramba 4.552 7.922
5 Binamu 5.003 10.733
6 Turatea 2.098 7.433
7 Batang 1.280 3.061
8 Arungkeke 1.776 4.429
9 Tarowang 2.027 6.139
10 Kelara 773 6.076
11 Rumbia 2.122 5.491
Jumlah 27.748 73.165
Sumber: Kabupaten Jeneponto Dalam Angka 2017

Tabel 4.2.2 (b) merinci jumlah rumah tidak layak huni di Kabupaten Jeneponto.
Jumlah seluruh rumah sebanyak 73.165 unit. Sedangkan jumlah rumah tak layak
mencapai 27.748 unit. Itu artinya 1 dari sekitar 3 rumah masuk dalam kategori tidak
layak huni. Kecamatan dengan jumlah rumah tak layak huni paling banyak adalah
Kecamatan Binamu yang mencapai 5.003 unit dari jumlah seluruh rumah di
Kecamatan tersebut berkisar 10.733 unit. Perbandingan rumah tak layak dan jumlah
rumah diperkirakan sekitar 1 : 2 yang berarti 1 dari 2 rumah di Kecmatan Binamu
merupakan rumah tidak layak. Kemudian disusul oleh Kecmatan Bontoramba dengan
jumlah rumah tak layak huni 4.552 unit dan jumlah seluruh rumah 7.992 unit yang
berarti lebih dari separuh jumlah rumah di kecamatan tersebut merupakan rumah tak
layak huni.

4.2.3 Kapasitas Wilayah di Kabupaten Jeneponto

Kapasitas dapat diartikan sebagai segala sumber daya yang dimiliki masyarakat
baik bersifat individu, kelompok atau manajerial (leadership) (UN/ISDR, 2005).
Beberapa faktor kapasitas wilayah di Kabupaten Jeneponto dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:

1. Kapasitas Ekonomi

Keluarga sejahtera merupakan keluarga yang paling tidak telah memenuhi


kebutuhan dasar, psikologis serta pendidikannya. Selain itu indikator yang masuk
dalam kategori keluarga sejahtera adalah mampunya suatu keluarga untuk menabung
dan turut serta menyumbangkan materi, tenaga, pikiraj serta aktif pada kegiatan sosial
dan lingkungan disekitarnya. Pada tabel dibawah ini menampilkan jumlah keluarga
sejahtera di Kabupaten Jeneponto.

Tabel 4.2.3 (a)


Jumlah Keluarga Sejahtera di Kabupaten Jeneponto
Keluarga
Sejahtera
No Kecamatan (KK) Jumlah KK
1 Bangkala 38.768 44.043
2 Bangkala Barat 30.467 33.831
3 Tamalatea 42.218 46.116
4 Bontoramba 10.975 14.390
5 Binamu 16.473 20.419
6 Turatea 18.270 21.708
7 Batang 24.523 26..389
8 Arungkeke 24.461 26.468
9 Tarowang 11.772 14.876
10 Kalara 11.742 14.493
11 Rumbia 14.544 17.816
Jumlah 244.213 280.549
Sumber: Bappeda Kabupaten Jeneponto 2013
Tabel 4.2.3 (a) merinci seberapa banyak jumlah keluarga sejahtera dan jumlah
KK di Kabupaten Jeneponto. Terdapat 280.549 KK pada seluruh 11 kecamatan di
Kabupaten Jeneponto. Sekitar lebih dari 87% KK di Kabupaten Jeneponto termasuk
dalam Keluarga Sejahtera yang artinya jumlah ini adalah KK yang telah mampu
memenuhi kebutuhan dasarnya dan merupakan nilai kapasitas di wilayah Kabupaten
Jeneponto. Jumlah Keluarga Sejahtera yang paling banyak terdapat di Kecmatan
Talamatea dengan jumlah 42.218 KK, disusul oleh Kecamatan Bangkala sebanyak
38.768. Kecmatan Bontoromba merupakan kecamatan yang paling sedikit memiliki
Keluarga Sejahtera yaitu hanya berkisar 10.975 KK.
2. Kapasitas Bangunan
Kapasitas bangunan merupakan kemampuan sebuah bangunan untuk menjadi
bangunan yang harus layak untuk dihuni. Indikator dalam penentuan bangunan layak
huni adalah kuatnya material bangunan, presentase luas bangunan terhadap jumlah
penghuni, tersedianya fasilitas untuk memenuhi aktivitas sehari-hari seperti MCK dan
dapur, tersedianya air bersih dan sumber untuk penerangan. Tabel berikut merinci
jumlah bangunan yang masuk dalam kategori layak huni.
Tabel 4.2.3 (b)
Jumlah Rumah Layak Huni di Kabupaten Jeneponto

Rumah Layak
No Kecamatan Huni Jumlah Rumah
1 Bangkala 3.490 5.640
2 Bangkala Barat 3.388 7.061
3 Tamalatea 6.886 9.180
4 Bontoramba 3.370 7.922
5 Binamu 5.700 10.733
6 Turatea 5.335 7.433
7 Batang 1.781 3.061
8 Arungkeke 2.653 4.429
9 Tarowang 4.112 6.139
10 Kalara 5.306 6.076
11 Rumbia 3.369 5.491
Jumlah 45.390 73.165
Sumber: Kabupaten Jeneponto Dalam Angka, 2017
Tabel 4.2.3 (b) menunjukkan jumlah rumah layak huni di Kabupaten Jeneponto.
Dalam data tersebut terdapat 73.185 unit jumlah seluruh rumah namun hampir
setengahnya yaitu 45.390 merupakan jumlah rumah yang layak huni di Kabupaten
Jeneponto. Jumlah rumah layak huni terbanyak berada di Kecamatan Tamalatea
sebanyak 6.886 unit disusul oleh Kecamatan Binamu sebanyak 5.700 unit. Sedangkan
Kecamatan Batang merupakan kecamatan yang memiliki jumlah rumah layak huni
yaitu hanya berjumlah 1.781 unit.
4.2.4. Risiko Multibencana Banjir dan Kekeringan di Kabupaten Jeneponto
Nilai risiko bencana merupakan perhitungan dengan rumus antara ketiga
indikator yaitu nilai ancaman bencana, nilai kerentanan serta kapasitas wilayah.

Dari data ancaman bencana, kerentanan wilayah dan kapasitas yang telah
dikompilasi (lampiran 1), kemudiaan dilakukan penyetaraan bilangan denga metode
Z-Score (lampiran 2). Dari hasil penghitungan Z-score, ditentukan klasifikasi dari
ancaman, kerentanan dan kapasitas dengan rentang tinggi, sedang dan rendah untuk
setiap kecamatan di Kabupaten Jeneponto.

Tabel 4.2.4 (a)


Rentang Skor Klasiifkasi Ancaman, Kerentanan dan Kapasitas
Klasifikasi
Tinggi Sedang Rendah
Risiko
Ancaman 0,77 – 1,62 -0,08 – 0,77 -0,92 – -0,08
Kerentanan 0,88 – 2,56 -0,80 – 0,88 -2,47 – -0,80
Kapasitas 1,93 – 3,65 0,20 – 1,93 -1,52 – 0,20
Sumber: Analisis Penulis

Tabel 4.2.4 (b)


Klasifkasi Ancaman, Kerentanan dan Kapasitas di Kabupaten Jeneponto

Ancaman
No Kecamatan Multibencana Kelas Kerentanan Kelas Kapasitas Kelas
1 Bangkala 1,62 Tinggi 1,82 Tinggi 1,09 Sedang
2 Bangkala Barat -0,92 Rendah 0,93 Tinggi 0,26 Sedang
3 Tamalatea 1,62 Tinggi 0,46 Sedang 3,65 Tinggi
4 Bontoramba -0,92 Rendah 1,65 Tinggi -1,52 Rendah
5 Binamu 0,35 Sedang 2,56 Tinggi 0,52 Sedang
6 Turatea -0,92 Rendah -0,18 Sedang 0,44 Sedang
7 Batang 0,35 Sedang -2,47 Rendah -1,34 Rendah
8 Arungkeke -0,92 Rendah -1,95 Rendah -0,77 Rendah
9 Tarowang 0,35 Sedang -0,59 Sedang -0,96 Rendah
10 Kalara -0,92 Rendah -1,91 Rendah -0,17 Rendah
11 Rumbia 0,35 Sedang -0,34 Sedang -1,20 Rendah
Sumber: Analisis Penulis
Selanjutnya untuk menghitung nilai risiko bencana di Kabupaten Lampung
Selatan dapat digunakan rumus sebagai berikut:

Risiko Bencana = f (Ancaman) x f (Kerentanan)

f (Kapasitas)

Tabel 4.2.4 (c)


Skor Risiko Bencana Tiap Kecamatan di Kabupaten Jeneponto
Skor
No Kecamatan Ancaman Kerentanan Kapasitas Risiko
1 Bangkala 3 3 2 4,5
2 Bangkala Barat 1 3 2 1,5
3 Tamalatea 3 2 3 2
4 Bontoramba 1 3 1 3
5 Binamu 2 3 2 3
6 Turatea 1 2 2 1
7 Batang 2 1 1 2
8 Arungkeke 1 1 1 1
9 Tarowang 2 2 1 4
10 Kalara 1 1 1 1
11 Rumbia 2 2 1 4
Sumber: Analisis Penulis
Tabel 4.2.4 (d)
Klasifikasi Risiko Bencana Banjir dan Kekeringan Tiap Kecamatan di
Kabupaten Jeneponto

No Kecamatan Kelas No Kecamatan Kelas


1 Bangkala Tinggi 7 Batang Rendah
2 Bangkala Barat Rendah 8 Arungkeke Rendah
3 Tamalatea Rendah 9 Tarowang Tinggi
4 Bontoramba Sedang 10 Kalara Rendah
5 Binamu Sedang 11 Rumbia Tinggi
6 Turatea Rendah
Sumber: Analisis Penulis
Akhir dari penelitian ini ditemukan 3 klasifikasi risiko bencana menurut
tingkatannya yaitu rendah, sedang dan tinggi. Terdapat 3 kecamatan yang memiliki
risiko tinggi yaitu Kecmatan Bangkala, Tarowang dan Rumbia. Kecamatan
Borontoromba dan Binamu merupakan kecamatan yang masuk dalam kategori
sedang. Kategori rendah diduduki oleh Kecamatan Bangkala Barat, Tamalatea,
Turatea, Batang, Arungkeke dan Kalara.
Gambar 4.2.4 (a)
Peta Risiko Bencana Banjir dan Kekeringan di Kabupaten Jeneponto
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Pada analisis risiko multibencana banjir dan kekeringan di Kabupaten Jeneponto Provinsi
Sulawesi Selatan didapat kesimpulan yaitu Kecamatan Bangkala, Tarowang dan Rumbia
merupakan kecamatan yang memiliki risiko tinggi. Meskipun beberapa kecamatan lain juga
memiliki ancaman bencana banjir dan kekeringan namun ketiga kecamatan tersebut memiliki
ingkat kerentanan yang sedang hingga tinggi serta kapasitas yang rendah hingga sedang
sehingga menghasilkan nilai akhir risiko yang tinggi di tiga kecamatan tersebut.
4.2. Saran
Berdasarkan penelitian ini, terdapat beberapa saran dari penulis, yaitu:

1. Masih kurang dan terbatasnya data dalam penelitian ini sehingga perlunya data yang terbaru.
Nilai risiko bencana sangat bergantung pada ketersediaan dan validnya data yang terbaru,

2. Saran terhadap masyarakat, pemerintah serta lembaga terkait lainnya yang khususnya
memiliki andil dalam penanggulangan bencana yaitu perlu adanya peningkatan kapasitas
kepada masyarakat melalui mitigasi non-struktural seperti memberikan penyuluhan
pengetahuan tentang bencana, selanjutnya menjaga dan meningkatkan peningkatan
kapasitas lingkungan agar mampu menjadi penyeimbang atau sebagai pengurang risiko
bencana, peningkatan infrastruktur agar bangunan setidaknya layak huni dan tahan bencana.
Khusus bagi pemerintah perlu meingkatkan ketatnya landasan hukum terkait pihak-pihak
yang melanggar ketentuan dan menimbulkan peningkatan risiko bencana, contohnya perlu
menindaklanjuti para mafia penebangan liar karena hal itu akan berdampak pada lingkungan
dan meningkatnya risiko banjir atau bencana lainnya,

3. Bagi peneliti selanjtnya yang tertarik pada melakukan perhitungan penilaian risiko
disarankan agar menggunakan data variabel yang lebih variatif, terbaru dan relevan.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Kabupaten Jeneponto. Kabupaten Jeneponto Dalam Angka 2017
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Jeneponto
Danianti et.al. 2015. Tingkat Kerentanan Masyarakat Terhadap Bencana Banjir di Perumnas
Tlogosari, Kota Semarang, Jurnal Pengembangan Kota Vol.3 No.2. Diakses dari:
file:///C:/Users/HEWLETT%20PACKARD/Downloads/Documents/ipi366587.pdf
Hapsoro et.al. 2015. Kajian Kerentanan Sosial dan Ekonomi Terhadap Banjir (Studi Kasus:
Wilayah Pesisir Kota Pekalongan), Jurnal Tenik PWK Vol.4 No. 4 . Diakses dari:
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/pwk/article/view/9814/9563
Jaswadi et.al. 2012. Tingkat Kerentanan dan Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Risiko
Banjir di Kecamatan Pasarkliwon Kota Surakarta. MGI Vol.26 No.1. Diakses dari:
https://jurnal.ugm.ac.id/mgi/article/viewFile/13420/9624
Maryono, Agus. 2014. Menangani Banjir, Kekeringan dan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press

Muta’ali, Luthfi. 2014. Perencanaan Pengembangan Wilayah Berbasis Pengurangan Risiko


Bencana. Yogyakarta: BPFG UGM
Nugroho, Bayu Dwi Apri. 2016. Fenomena Iklim Global, Perubahan Iklim, dan Dampaknya
di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Sudibyakto. 2014. Manajemen Bencana di Indonesia Ke Mana?. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press
LAMPIRAN
Lampiran I
Ancaman bencana, kerentanan wilayah dan kapasitas wilayah Kabupaten Jeneponto

Ancaman Multibencana Kerentanan Kapasitas


Rumah Rumah
Keluarga Tidak Keluarga Layak
No Kecamatan Banjir Kekeringan Jumlah Miskin Layak Huni Sejahtera Huni
1 Bangkala 1 1 2 5.275 2.150 38.768 3.490
2 Bangkala Barat 0 0 0 3.364 3.673 30.467 3.388
3 Tamalatea 1 1 2 3.898 2.294 42.218 6.886
4 Bontoramba 0 0 0 3.415 4.552 10.975 3.370
5 Binamu 0 1 1 3.946 5.003 16.473 5.700
6 Turatea 0 0 0 3.438 2.098 18.270 5.335
7 Batang 0 1 1 1.866 1.280 24.523 1.781
8 Arungkeke 0 0 0 2.007 1.776 24.461 2.653
9 Tarowang 1 0 1 3.104 2.027 11.772 4.112
10 Kalara 0 0 0 2.751 773 11.742 5.306
11 Rumbia 0 1 1 3.272 2.122 14.544 3.369
Dari berbagai sumber

Lampiran II
Z-Score dari Ancaman bencana, kerentanan wilayah dan kapasitas wilayah Kabupaten
Jeneponto
Ancaman Kerentanan
Multibencana Kapasitas
Rumah
Kekeringan Keluarga Tidak Layak Keluarga Rumah
No Kecamatan dan Banjir Miskin Huni Sejahtera Layak Huni
1 Bangkala 1,62 2,10 -0,28 1,51 -0,42
2 Bangkala Barat -0,92 0,06 0,87 0,75 -0,49
3 Tamalatea 1,62 0,63 -0,17 1,82 1,83
4 Bontoramba -0,92 0,12 1,53 -1,02 -0,50
5 Binamu 0,35 0,69 1,87 -0,52 1,04
6 Turatea -0,92 0,14 -0,32 -0,36 0,80
7 Batang 0,35 -1,53 -0,94 0,21 -1,56
8 Arungkeke -0,92 -1,38 -0,56 0,21 -0,98
9 Tarowang 0,35 -0,21 -0,37 -0,95 -0,01
10 Kalara -0,92 -0,59 -1,32 -0,95 0,78
11 Rumbia 0,35 -0,03 -0,30 -0,70 -0,50
Sumber: Analisis Penulis

Vous aimerez peut-être aussi