Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Oleh :
Banjir adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa meningkatnya debit air diatas rata-rata.
Banjir dapat menggenangi permukiman penduduk, lahan pertanian dan perkebunan sehingga
menyebabkan kerugian secara materiil seperti gagalnya produksi pertanian dan perkebunan
karena lahan tergenang, hilangnya barang-barang rumah tangga hingga kerusakan bangunan
pribadi dan fasilitas umum. Banjir merupakan salah satu bencana yang sering terjadi di
Indonesia. Karena iklim Indonesia adalah tropis membuat Indonesia hanya memiliki dua
musim yaitu musim hujan dan kemarau. Pada musim hujan seringkali curah hujan turun diatas
normal yang menyebabkan beberapa wilayah Indonesia sangat mudah terjadi banjir. Namun
itu bukan hanya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi tapi dapat juga disebabkan oleh faktor
manusia ataupun kombinasi keduanya. Pada tahun 2016 jumlah kejadian banjir yang tercatat
di seluruh Indonesia mencapai angka 638 kejadian (DiBi BNPB, 2016).
Kekeringan terjadi pada daerah yang kekurangan curah hujan atau daerah yang secara
jenis tanah tidak mampu menyimpan cadangan air dengan baik. Biasanya kekeringan terjadi di
wilayah timur Indonesia dengan curah hujan yang sedikit serta jenis tanah karst atau kapur.
Kekeringan merupakan bencana yang unik karena terjadi dalam kurun waktu yang lama dan
pada daerah yang luas. Kekeringan tidak menyebabkan kerusakan infrastruktur seperti bencana
lainnya yaitu banjir, gempa bumi, angin putting beliung, dsb. Dampak kekeringan yang
dirasakan adalah kekurangan pasokan air bersih untuk minum serta irigasi pertanian dan
perkebunan. Hal tersebut menyebabkan gagal panen sehingga kerugian juga terasa pada sektor
ekonomi. Kekeringan sering dikaitkan dengan perubahan iklim bernama El-Nino. El-Nino
adalah fenomena perubahan iklim secara global yang diakibatkan oleh memanasnya suhu
permukaan air laut Pasifik bagian timur. El-Nino terjadi pada 2-7 tahun dan bertahan hingga
12-15 bulan (Sarachik, 2010). Ciri-ciri terjadi El-Nino adalah meningkatnya suhu muka laut di
kawasan Pasifik secara berkala dan meningkatnya perbedaan tekanan udara antara Darwin dan
Tahiti (Irawan, 2006). Tjasyono (1999) menyatakan bahwa pengaruh El-Nino sangat kuat pada
daerah yang dipengaruhi oleh iklim monsunal, yang meliputi wilayah-wilayah Sumatera
bagian selatan, Jawa, Bali, dan sebagian besar kawasan Indonesia Bagian Timur. Dalam kurun
lima tahun terakhir, bencana kekeringan terjadi sebanyak 50 kali di seluruh Indonesia (DiBi
BNPB) sedangkan menurut Inarisk BNPB luas bahaya kekeringan diperkirakan mencapai
163.062.250 km².
Pada penelitian ini penulis memilih Kabupaten Jeneponto di Provinsi Sulawesi Selatan
sebagai objek studi. Hal itu dikarenakan pola iklim di Provinsi Sulawesi Selatan yang terbilang
unik. Pola iklim yang dimaksud hanya dipengaruhi oleh faktor lokal seperti angin baratan,
kondisi geografis, serta kondisi topografi seperti daerah pegunungan, berlembah, serta
banyaknya pantai. Selanjutnya Kabupaten Jeneponto merupakan satu-satunya kabupaten di
Provinsi Sulawesi Selatan yang termasuk dalam daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar).
Selain enam aspek (perekeonomian masyarakat, sumber daya manusia setempat, ketersediaan
infrastruktur (prasarana), kapasitas yang dimiliki daerah, aksesibilitas dan karakteristik daerah)
Kabupaten Jeneponto juga dilaporkan sering terjadi bencana banjir dengan luas ancaman
13.154 km² dan bencana kekeringan seluas 80.224 km². Kedua bencana tersebut masuk dalam
kategori tinggi di Kabupaten Jeneponto (Inarisk BNPB).
1. Untuk membuat diagram alir atau alur prosedur risiko multibencana banjir dan
kekeringan di Kabupaten Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan
Iklim dan cuaca merupakan sumberdaya yang bermanfaat dan berpengaruh bagi
aktivitas manusia, hewan dan tumbuhan di muka bumi ini. Iklim dan cuaca seharusnya
dapat dimanfaatkan dengan baik dalam berbagai ilmu pengetahuan. Iklim merupakan
gejala metereologis dengan waktu yang relatif panjang serta berpengaruh global
sedangkan cuaca hanya berupa jangka harian dan bersifat lokal. Namun keduanya
saling berhubungan sejak keadaan cuaca juga dipengaruhi oleh perubahan iklim.
Gejala penyimpangan iklim telah terjadi pada tahun 1997 yang ditandai dengan
kemarau panjang dan diikuti oleh gejala El-Nino yang mengakibatkan meluasnya
kebakaran hutan di Indonesia menjadi 10 kali lipat (Hampir 5 juta ha hutan terbakar).
Sedangkan pada tahun 1998-1999 telah terjadi penyimpangan iklim berupa
meningkatnya curah hujan disertai gejala La-Nina sehingga menimbulkan banjir di
beberapa wilayah di Indonesia (Sudibyakto, 2011).
Salah satu akibat dari perubahan iklim adalah terjadinya anomali cuaca,
pergeseran musim dan persebaran curah hujan yang tidak merata. Curah hujan yang
sangat tinggi melebihi 150 mm/hari dapat mengakibatkan menambahnya debit air di
tanah sehingga menimbulkan banjir. Banjir merupakan limpasan air yang melebihi
tinggi muka air normal, sehingga melimpas dari palung sungai menyebabkan adanya
genangan pada lahan rendah di sisi sungai (Kurniawan, Triutomo, Yunus, Amri, &
Hantyanto, 2013).
Berdasarkan jenisnya, banjir dibagi menjadi 3 yaitu banjir lokal yaitu banjir yang
terjadi akibat tingginya intensitas curah hujan, banjir dan belum tersedianya saluran
drainase yang baik, banjir kiriman merupakan banjir akibat penumpukan debit air di
daerah hulu dan ketidakmampuannya dalam menampung dan menyebabkan daerah
hilir terkena dampaknya, dan banjir rob yang disebabkan oleh naiknya permukaan air
laut sampai pada permukiman penduduk dan sarana serta infrastrukur lainnya.
Menurut Maryono (2014) secara singkat beberapa faktor banjir disebabkan oleh:
(2) Perubahan fisik pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menyebabkan
berkurangnya kemampuan DAS untuk meretensi air hujan,
(5) Perencanaan tata wilayah ialah penetapan kawasan pemukiman atau pusat
perkembangan justru di daerah-daerah rawan banjir.
Bentuk mitigasi dalam memanggulangi banjir dapat dilakukan secara struktural
dan non-struktural. Mitigasi struktural merupakan pengurangan ancaman bencana
melalui kegiatan dalam pembangunan, perbaikan, pengembangan infrastruktur
melalui pemanfaatan teknologi. Contoh mitigasi struktural dalam penanggulangan
banjir diantaranya adalah pembuatan dan peninggian talut di daerah bantaran aliran
sungai, pembangunan rumah tahan banjir dan tinggi, pemasangan Early Warning
System yang dapat berupa CCTV unutk naiknya permukaan air di sekitaran sungai.
Sedangkan mitigasi non-struktural berupa memberikan sosialisasi terhadap
masyarakat tentang pengetahuan banjir dan tidak melakukan penebangan pohon
secara liar, membentuk Komunitas Masyarakat Peduli Bencana yang melibatkan
secara aktif seluruh tokoh dan elemen masyarakat dalam penanggulangan bencana
banjir, dll.
2. Kekeringan
Kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air untuk
kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi, dan lingkungan. Kekeringan
menyebabkan berkurangnya persediaan air bagi pertumbuhan dan perkembangan
vegetasi selama musim kemarau (Haryani). Keadaan ini dapat mengakibatkan
meluasnya lahan kritis yang mengakibatkan terjadinya degradasi lahan serta
penurunan kualitas lingkungan. Klasifikasi kekeringan menurut BNPB dibagi menjadi
(1) kekeringan alamiah meliputi: (a) kekeringan metereologis, (b) kekeringan
agronomis, (c) kekeringan hidrologis dan (d) kekeringan sosial ekonomi. Jenis
kekeringan selanjutnya adalah (2) kekeringan antropogenik yaitu (a) kebutuhan air
lebih besar dari pasokan yang direncanakan akibat ketidak-taatan pengguna terhadap
pola tanam/pengguna air dan (b) kerusakan kawasan tangkapan aiar, sumber-sumber
air akibat perbuatan manusia.
Penyebab kekeringan dari data historis berkaitan erat dengan fenomena ENSO
(El-Nino Southern Oscillation). Pengaruh El-Nino lebih kuat pada musim kemarau
dari pada musim hujan. Bencana kekeringan mungkin berbeda dengan kejadian
bencana lainnya karena kejadiannya tidak terjadi secara tiba-tiba akan tetapi secara
perlahan bertahap. Kekeringan dapat melanda wilayah yang sangat luas dalam waktu
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Kekeringan akan berdampak pada kesehatan
manusia, tanaman serta hewan. Kekeringan menyebabkan pepohonan akan mati dan
tanah menjadi gundul yang pada musim hujan menjadi mudah terjadi erosi dan banjir.
Dampak dari bahaya kekeringan mengakibatkan bencana berupa hilangnya bahan
pangan akibat tanaman pangan dan ternak mati, petani kehilangan mata pencaharian,
banyak orang kelaparan dan mati, sehingga berdampak terjadinya urbanisasi.
Kapasitas dapat diartikan sebagai segala sumber daya yang dimiliki masyarakat
baik bersifat individu, kelompok atau manajerial (leadership) (UN/ISDR, 2005).
Menurut jenisnya, kapasitas sama dengan kerentanan yaitu (1) kapasitas fisik, (2)
kapasitas sosial, (3) kapasitas ekonomi, (4) kapasitas lingkungan, dan (5) kapasitas
kelembagaan. Namun yang menjadi pembeda adalah peran serta fungsinya dimana
kapasitas merupakan lawan atau kebalikan dari kerentanan, Jika kerentanan diartikan
sebagai suatu ketidakmampuan masyarakat dalam menghadapi bahaya pada wilayah
tertentu, kapasitas dapat menjadi modal dalam suatu wilayah untuk mengurangi
dampak atau risiko bencana dengan pengetahuan tentang penanggulangan bencana
yang dapat menjadi bekal masyarakat serta lingkungan dan infrastrukur yang secara
fisik tahan akan bencana.
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada
suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit,
jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan
gangguan kegiatan masyarakat (Muta’ali, 2014). Nilai risiko bencana merupakan
perhitungan dengan rumus antara ketiga indikator yaitu nilai ancaman bencana, nilai
kerentanan serta kapasitas wilayah.
Pengkajian risiko adalah suatu metodologi untuk menentukan sifat dan cakupan
risiko dengan melakukan analisis terhadap potensi bahaya dan menevaluasi kondisi
kerentaan yang ada dan dapat menimbulkan suatu ancaman atau kerugian bagi
penduduk, harta benda, penghidupan dan lingkungan tempat tinggal (ISDR, 2004
dalam MPBI, 2007).
Dalam kajian risiko bencana, terdapat ancaman bencana sebagai indikator
wilayah tersebut pernah terjadi bencana atau kemungkinan terjadinya bencana
kembali di masa yang akan datang, lalu indikator yang kedua adalah kerentanan
dimana kerentanan merupakan ketidakmampuan masyarakat atau aspek lainnya
seperti bangunan dan lingkungan untuk tahan terhadap bencana. Kedua indikator
pertama ini sama-sama berbanding lurus sedangkan berbanding terbalik dengan
indikator ketiga yaitu kapasitas. Kapasitas merupakan kemampuan masyakarat,
ekonomi, lingkungan dan bangunan untuk tahan terhadap bencana. Jadi semakin besar
kapasitas di wilayah tersebut maka akan mengurangi tingkat risiko yang dihasilkan.
Topografi Kabupaten Jeneponto pada bagian utara terdiri dari dataran tinggi
dengan ketinggian 500 sampai dengan 1.400 meter diatas permukaan laut, bagian
tengah dengan ketinggian 100 hingga 500 meter diatas permukaan laut, dan pada
bagian selatan meliputi wilayah dataran rendag dengan ketinggian 0 sampai dengan
150 meter diatas permukaan laut.
3. Jenis Tanah
- Jenis tanah Maditeren terdapat di kecamatan Bangkala, Batang, Kelara dan Binamu
4. Hidrologi
Air tanah bebas (watertable groundwater) dijumpai pada endapan aluvial dan
endapan pantai. Kedalaman air tanah sangat bervariasi yang tergantung pada keadaan
dan jenis lapisan batuan.
Pada wilayah Kabupaten Jeneponto, sistem jaringan sumber daya air meliputi
DAS Binanga Cikoang (2.085 Ha), DAS Binanga Lumbua (13.058 Ha), DAS Binanga
Pangkajene (17.012 Ha), DAS Binanga Topa (5.130 Ha), DAS Binanga Papa (7.087
Ha), DAS Jeneponto (12.259 Ha) serta DAS Tarowang (18.349 Ha).
BAB III
METODE PENELITIAN
Tabel 3.1
Kebutuhan Data Penelitian
No Variabel Sub Variabel Data
1. Risiko Bencana Ancaman Bencana 1. Jumlah dan Ancaman Bencana Kekeringan
Kerentanan Wilayah 1. Jumlah Keluarga Miskin
2. Jumlah Rumah Tidak Layak Huni
Kapasitas Wilayah 1. Jumlah Keluarga Sejahtera
2. Jumlah Rumah Layak Huni
Untuk menemukan nilai Z-Score yang berasal dari nilai variabel berbeda-beda maka
dapat dirumuskan sebagai berikut:
Z-Score = (Xi – X)
Sd
Dimana:
Xi = Data pengamatan i
Kekeringan dan banjir merupakan kedua bencana yang saling bertolak belakang
dan masih sering terjadi di Kabupaten Jeneponto. Meskipun belum adanya rilis resmi
jumlah kejadian per kecamatan, penulis mengumpulkan laporan kejadian bencana
banjir dan kekeringan dari berbagai sumber yang disajikan dalam tabel dibawah ini:
2. Kerentanan Bangunan
Tabel 4.2.2 (b) merinci jumlah rumah tidak layak huni di Kabupaten Jeneponto.
Jumlah seluruh rumah sebanyak 73.165 unit. Sedangkan jumlah rumah tak layak
mencapai 27.748 unit. Itu artinya 1 dari sekitar 3 rumah masuk dalam kategori tidak
layak huni. Kecamatan dengan jumlah rumah tak layak huni paling banyak adalah
Kecamatan Binamu yang mencapai 5.003 unit dari jumlah seluruh rumah di
Kecamatan tersebut berkisar 10.733 unit. Perbandingan rumah tak layak dan jumlah
rumah diperkirakan sekitar 1 : 2 yang berarti 1 dari 2 rumah di Kecmatan Binamu
merupakan rumah tidak layak. Kemudian disusul oleh Kecmatan Bontoramba dengan
jumlah rumah tak layak huni 4.552 unit dan jumlah seluruh rumah 7.992 unit yang
berarti lebih dari separuh jumlah rumah di kecamatan tersebut merupakan rumah tak
layak huni.
Kapasitas dapat diartikan sebagai segala sumber daya yang dimiliki masyarakat
baik bersifat individu, kelompok atau manajerial (leadership) (UN/ISDR, 2005).
Beberapa faktor kapasitas wilayah di Kabupaten Jeneponto dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Kapasitas Ekonomi
Rumah Layak
No Kecamatan Huni Jumlah Rumah
1 Bangkala 3.490 5.640
2 Bangkala Barat 3.388 7.061
3 Tamalatea 6.886 9.180
4 Bontoramba 3.370 7.922
5 Binamu 5.700 10.733
6 Turatea 5.335 7.433
7 Batang 1.781 3.061
8 Arungkeke 2.653 4.429
9 Tarowang 4.112 6.139
10 Kalara 5.306 6.076
11 Rumbia 3.369 5.491
Jumlah 45.390 73.165
Sumber: Kabupaten Jeneponto Dalam Angka, 2017
Tabel 4.2.3 (b) menunjukkan jumlah rumah layak huni di Kabupaten Jeneponto.
Dalam data tersebut terdapat 73.185 unit jumlah seluruh rumah namun hampir
setengahnya yaitu 45.390 merupakan jumlah rumah yang layak huni di Kabupaten
Jeneponto. Jumlah rumah layak huni terbanyak berada di Kecamatan Tamalatea
sebanyak 6.886 unit disusul oleh Kecamatan Binamu sebanyak 5.700 unit. Sedangkan
Kecamatan Batang merupakan kecamatan yang memiliki jumlah rumah layak huni
yaitu hanya berjumlah 1.781 unit.
4.2.4. Risiko Multibencana Banjir dan Kekeringan di Kabupaten Jeneponto
Nilai risiko bencana merupakan perhitungan dengan rumus antara ketiga
indikator yaitu nilai ancaman bencana, nilai kerentanan serta kapasitas wilayah.
Dari data ancaman bencana, kerentanan wilayah dan kapasitas yang telah
dikompilasi (lampiran 1), kemudiaan dilakukan penyetaraan bilangan denga metode
Z-Score (lampiran 2). Dari hasil penghitungan Z-score, ditentukan klasifikasi dari
ancaman, kerentanan dan kapasitas dengan rentang tinggi, sedang dan rendah untuk
setiap kecamatan di Kabupaten Jeneponto.
Ancaman
No Kecamatan Multibencana Kelas Kerentanan Kelas Kapasitas Kelas
1 Bangkala 1,62 Tinggi 1,82 Tinggi 1,09 Sedang
2 Bangkala Barat -0,92 Rendah 0,93 Tinggi 0,26 Sedang
3 Tamalatea 1,62 Tinggi 0,46 Sedang 3,65 Tinggi
4 Bontoramba -0,92 Rendah 1,65 Tinggi -1,52 Rendah
5 Binamu 0,35 Sedang 2,56 Tinggi 0,52 Sedang
6 Turatea -0,92 Rendah -0,18 Sedang 0,44 Sedang
7 Batang 0,35 Sedang -2,47 Rendah -1,34 Rendah
8 Arungkeke -0,92 Rendah -1,95 Rendah -0,77 Rendah
9 Tarowang 0,35 Sedang -0,59 Sedang -0,96 Rendah
10 Kalara -0,92 Rendah -1,91 Rendah -0,17 Rendah
11 Rumbia 0,35 Sedang -0,34 Sedang -1,20 Rendah
Sumber: Analisis Penulis
Selanjutnya untuk menghitung nilai risiko bencana di Kabupaten Lampung
Selatan dapat digunakan rumus sebagai berikut:
f (Kapasitas)
1. Masih kurang dan terbatasnya data dalam penelitian ini sehingga perlunya data yang terbaru.
Nilai risiko bencana sangat bergantung pada ketersediaan dan validnya data yang terbaru,
2. Saran terhadap masyarakat, pemerintah serta lembaga terkait lainnya yang khususnya
memiliki andil dalam penanggulangan bencana yaitu perlu adanya peningkatan kapasitas
kepada masyarakat melalui mitigasi non-struktural seperti memberikan penyuluhan
pengetahuan tentang bencana, selanjutnya menjaga dan meningkatkan peningkatan
kapasitas lingkungan agar mampu menjadi penyeimbang atau sebagai pengurang risiko
bencana, peningkatan infrastruktur agar bangunan setidaknya layak huni dan tahan bencana.
Khusus bagi pemerintah perlu meingkatkan ketatnya landasan hukum terkait pihak-pihak
yang melanggar ketentuan dan menimbulkan peningkatan risiko bencana, contohnya perlu
menindaklanjuti para mafia penebangan liar karena hal itu akan berdampak pada lingkungan
dan meningkatnya risiko banjir atau bencana lainnya,
3. Bagi peneliti selanjtnya yang tertarik pada melakukan perhitungan penilaian risiko
disarankan agar menggunakan data variabel yang lebih variatif, terbaru dan relevan.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Jeneponto. Kabupaten Jeneponto Dalam Angka 2017
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Jeneponto
Danianti et.al. 2015. Tingkat Kerentanan Masyarakat Terhadap Bencana Banjir di Perumnas
Tlogosari, Kota Semarang, Jurnal Pengembangan Kota Vol.3 No.2. Diakses dari:
file:///C:/Users/HEWLETT%20PACKARD/Downloads/Documents/ipi366587.pdf
Hapsoro et.al. 2015. Kajian Kerentanan Sosial dan Ekonomi Terhadap Banjir (Studi Kasus:
Wilayah Pesisir Kota Pekalongan), Jurnal Tenik PWK Vol.4 No. 4 . Diakses dari:
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/pwk/article/view/9814/9563
Jaswadi et.al. 2012. Tingkat Kerentanan dan Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Risiko
Banjir di Kecamatan Pasarkliwon Kota Surakarta. MGI Vol.26 No.1. Diakses dari:
https://jurnal.ugm.ac.id/mgi/article/viewFile/13420/9624
Maryono, Agus. 2014. Menangani Banjir, Kekeringan dan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press
Lampiran II
Z-Score dari Ancaman bencana, kerentanan wilayah dan kapasitas wilayah Kabupaten
Jeneponto
Ancaman Kerentanan
Multibencana Kapasitas
Rumah
Kekeringan Keluarga Tidak Layak Keluarga Rumah
No Kecamatan dan Banjir Miskin Huni Sejahtera Layak Huni
1 Bangkala 1,62 2,10 -0,28 1,51 -0,42
2 Bangkala Barat -0,92 0,06 0,87 0,75 -0,49
3 Tamalatea 1,62 0,63 -0,17 1,82 1,83
4 Bontoramba -0,92 0,12 1,53 -1,02 -0,50
5 Binamu 0,35 0,69 1,87 -0,52 1,04
6 Turatea -0,92 0,14 -0,32 -0,36 0,80
7 Batang 0,35 -1,53 -0,94 0,21 -1,56
8 Arungkeke -0,92 -1,38 -0,56 0,21 -0,98
9 Tarowang 0,35 -0,21 -0,37 -0,95 -0,01
10 Kalara -0,92 -0,59 -1,32 -0,95 0,78
11 Rumbia 0,35 -0,03 -0,30 -0,70 -0,50
Sumber: Analisis Penulis