Vous êtes sur la page 1sur 28

ASMA PADA ANAK

A. Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas
yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa
berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut
berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat
reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

B. Epidemiologi
Saat ini penyakit asma masih menunjukan prevalensi yang tinggi. Berdasarkan data
dari WHO dan GINA, diseluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita
asma dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien asma mencapai 400 juta. Jumlah ini
dapat saja lebih besarr mengingat asma merupakan penyakit yang underdiagnosed.
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada
anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International
Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan prevalensi asma
sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma
pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,
Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak
SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta
Pusat sebesar 5,8%.
Woolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali mendapatkan prevalensi asma pada
anak dengan hipereaktiviti bronkus 2,4% dan hipereaktiviti bronkus serta gangguan faal
paru adalah 0,7%. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan
kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC),
didapatkan hasil dari 402 kuesioner yang kembali dengan rata-rata umur 13,8 0,8
tahun didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/ recent asthma) 6,2%
yang 64% di antaranya mempunyai gejala klasik. Bagian Anak FKUI/ RSCM
melakukan studi prevalensi asma pada anak usia SLTP di Jakarta Pusat pada 1995-1996
dengan menggunakan kuesioner modifikasi dari ATS 1978, ISAAC dan Robertson,
serta melakukan uji provokasi bronkus secara acak. Seluruhnya 1296 siswa dengan usia

1
11 tahun 5 bulan – 18 tahun 4 bulan, didapatkan 14,7% dengan riwayat asma dan 5,8%
dengan recent asthma. Tahun 2001, Yunus dkk melakukan studi prevalensi asma pada
siswa SLTP se Jakarta Timur, sebanyak 2234 anak usia 13-14 tahun melalui kuesioner
ISAAC (International Study of Asthma and Allergies in Childhood), dan pemeriksaan
spirometri dan uji provokasi bronkus pada sebagian subjek yang dipilih secara acak.
Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma (recent asthma ) 8,9% dan prevalensi
kumulatif (riwayat asma) 11,5%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma
telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.

Gambar 1. Prevalensi Asma di Berbagai Negara di Dunia

2
C. Faktor Risiko

Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor

lingkungan.

1. Faktor Genetik

a. Atopi/alergi

Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana

cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga

dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah

terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.

b. Hipereaktivitas bronkus

Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.

c. Jenis kelamin

Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi

asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi

menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa

menopause perempuan lebih banyak.

d. Ras/etnik

e. Obesitas

Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko asma.

Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan

meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,

penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala

fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.

2. Faktor lingkungan

3
a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit

binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).

b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).

3. Faktor lain

a. Alergen makanan

Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk,

bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.

b. Alergen obat-obatan tertentu

Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin,

analgesik, antipiretik, dan lain lain.

c. Bahan yang mengiritasi

Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.

d. Ekspresi emosi berlebih

Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga dapat

memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul

harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stres/gangguan emosi perlu

diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum

diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati.

e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif

Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok,

sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat

diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.

f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan.

g. Exercise-induced asthma

4
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu.

Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas

jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan

asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas

tersebut.

h. Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.

Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan

asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan,

musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan).

i. Status ekonomi

D. Patologi dan Patofisiologi Asma

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan

terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor

lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi

saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik

pada asma intermiten maupun asma persisten.

 Inflamasi Akut

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen,

virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi

asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.

1. Reaksi Asma Tipe Cepat

5
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi

sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti

histamin, protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan

PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.

2. Reaksi Fase Lambat

Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan

pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.

 Inflamasi Kronik

Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah limfosit

T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus.

1. Limfosit T

Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2. Limfosit T

ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan sitokin

antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4 berperan dalam

menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B

mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta

memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.

2. Epitel

Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan antara lain 15-HETE, PGE2 pada penderita

asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi,

endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin. Epitel pada asma sebagian

mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih diperdebatkan tetapi dapat

6
disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule protein, oxygen free-radical,

TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.

3. Eosinofil

Eosinofil jaringan merupakan karakteristik untuk asma tetapi tidak spesifik. Eosinofil

yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam keadaan teraktivasi.

Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-

5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya

IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang

ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil

cationic protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan

eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel saluran napas.

4. Sel Mast

Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afinitas yang tinggi. Cross-linking reseptor

IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast

yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease serta newly

generated mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga

mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.

5. Makrofag

Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada orang normal

maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan bronkus.

Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF serta

sejumlah sitokin. Selain berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada

regulasi airway remodeling. Peran tersebut melalui antara lain sekresi growth-

promoting factors untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-β.

7
 Airway Remodeling

Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan yang secara

fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan

perbaikan dan pergantian sel-sel mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses

penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak dengan

jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan

peyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut

berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan

menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan

banyak belum diketahui yang dikenal dengan airway remodeling. Mekanisme tersebut

sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi,

maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti

oleh restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai

fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus. Pada asma terdapat saling

ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi

terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks ekstraselular,

membran retikular basal, matriks interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan

inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.

Perubahan struktur yang terjadi : Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas,

hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, penebalan membran retikular basal,

pembuluh darah meningkat, matriks ekstraselular fungsinya meningkat, perubahan

struktur parenkim, peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis.

Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti

8
hipereaktivitas jalan napas, masalah distensibilitas/regangan jalan napas dan obstruksi jalan

napas.

Gambar 2. Inflamasi dan remodeling pada asma

Gambar 3. Mekanisme inflamasi akut dan kronik pada asma dan proses remodeling

9
Gambar 4. Hubungan antara inflamasi akut, inflamasi kronik dan airway remodeling dengan gejala
klinis

Gambar 5. Perubahan struktur pada airway remodeling dan konsekuensi klinis

DIAGNOSIS

A. KLASIFIKASI ASMA
Derajat penyakit asma ditentukan berdasarkan gabungan penilaian gambaran
klinis, jumlah penggunaan agonis ß2, untuk mengatasi gejala, dan pemeriksaan
fungsi paru pada evaluasi awal pasien.

10
Pembagian derajat penyakit asma menurut GINA adalah sebagai berikut:
1. Intermiten
Gejala kurang dari 1 kali/minggu
Serangan singkat
Gejala noktural tidak lebih dari 2 kali/bulan (≤ 2 kali)
 FEV1 ≥ 80% predicted atau PEF ≥80% nilai terbaik individu
 Variabilitas PEF atau FEV1 < 20%

2. Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kalihari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala noktural> 2 kali/bulan
 FEV1 ≥ 80% predicted atau PEF ≥ 80% nilai terbaik individu
 Variabilitas PEF atau FEV1 20-30 %

3. Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala noktural > 1 kali dalam seminggu
Menggunakan agonis-ß2 kerja pendek setiap hari
 FEV1 ≤60-80 % predicted atau PEF ≤ 60-80 % nilai terbaik individu
 Variabilitas PEF atau FEV1 >30 %

4. Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari
Serangan sering terjadi
Gejala asma noktural sering terjadi
 FEV1 ≤60 % predicted atau PEF ≤ 60 % nilai terbaik individu
 Variabilitas PEF atau FEV1 > 30 %

11
Pembagian lain derajat asma oleh Phelan dkk sebagai berikut :

1. Asma episodik jarang


Merupakan 75 % populasi asma pada anak. Ditandai oleh adanya episode < 1
kali tiap 4-6 minggu, mengi setelah aktifitas berat, tidak terdapat gejala di antara
episode serangan dan fungsi normal diantara serangan. Terapi profilaksis
dibutuhkan pada kelompok ini.
2. Asma episodik sering
merupakan 20 % dari populasi asma. Ditandai oleh frekuensi serangan yang
lebih sering dan timbulnya mengi pada aktivitas sedang, tetapi dapat dicegah
dengan pemberian agoni ß2. Gejala terjadi kurang dari 1 kali/minggu dan fungsi
paru antara serangan normal atau hamper normal. Teta[I profilaksis biasanya
dibutuhkan.
3. Asma persisten
Terjadi pada sekitar 5 % anak asma. Ditandai oleh seringnya episode akut,
mengi pada aktivitas ringan, dan diantara interval gejala dibutuhkan agonis ß2
lebih dari 3 kali/minggu karena anak terbangin di malam hari atau dada terasa
berat di pagi hari. Terapi profilaksis sangat dibutuhkan.

Pedoman nasional asma anak Indonesia membagi asma menjadi 3 derajat


penyakit.

Tabel 1. Pembagian derajat penyakit asma pada anak


Parameter klinis Asma episodic Asma episodic Asma persisten
Kebutuhan obat, jarang sering (asma berat)
dan faal paru (asma ringan) (asma sedang)
1.Frekuensi serangan 3-4x /1tahun 1x/bulan ≥1/bulan
2.Lama serangan <1 minggu ≥1 minggu Hampirsepanjang tahun, tidak
ada remisi
3.diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan malam
4.Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
<3x/minggu >3x/minggu
5.Pemeriksaan fisis Normal, tidak Mungkin Tidak pernah normal
diluar serangan ditemukan terganggu
kelainan (ditemukan
kelainan)
6.Obat pengendali Tidak perlu Perlu, non Perlu, steroid inhalasi
steroid/ /oral
steroid inhalasi
dosis

12
rendah
7.Uji faal paru PEF/FEV1 >80% PEF/FEV1 60- PEF/FEV1 < 60%
(di luar serangan) 80% Variabilitas 20-30%
8.Variabilitas faal paru >15% >30% >50%
(bila ada serangan)

Tabel 2. Penilaian derajat serangan asma


Parameter klinis, Ringan Sedang Berat Ancaman
Fungsi paru, henti napas
Laboraturium
Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat
Bayi : Bayi : Bayi :
Menangis keras Tangis pendek Tidak mau
& lemah minum /
Kesulitan makan
menetek dan
makan
Posisi Bisa berbaring Lebih suka Duduk
Duduk bertopang
lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya Kebingungan
irritable irritable Irritable
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Wheezing Sedang, sering Nyaring, Sangat Sulit /
hanya pada akhir Sepanjang nyaring, Tidak
ekspirasi ekspirasi Terdengar terdengar
± inspirasi tanpa
stateskop
Penggunaan otot Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan
Bantu respiratorik paradox
Torako-
Abdominal
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal/
Retraksi ditambah ditambah Hilang
Interkosta Retraksi Napas cuping
suprasternal Hidung
Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar:
Usia frekuensi napas normal
<2 bulan < 60 / menit
2-12 bulan < 50 /menit
1-5 tahun < 40 / menit
6-8 tahun < 30 / menit
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
Pedoman nilai baku frekuesi nadi pada anak :
Usia Frekuensi nadi normal
2-12 bulan < 160 / menit
1-2 tahun < 120 / menit
3-8 tahun < 110 / menit

13
Pulsus paradoksus Tidak ada Ada Ada Tidak ada,
<10 mmHg 10-20 mmHg >20 mmHg Tanda
kelelahan
Otot
respiratorik
PEFR atau FEV1 (% Nilai dugaan/ Nilai terbaik)
- Prabronkodilator >60% 40-60% <40%
- Pascabronkodilator >80% 60-80% <60%
Respon < 2
jam
SaO2 % >95% 91-95% ≤90%
PaO2 Normal >60 mmHg < 60 mmHg
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

1. Anamnesis
Harus dilakukan dengan cermat agar didapatkan riwayat penyakit yang akurat
mengenai gejala sulit bernapas, mengi atau dada terasa berat yang bersifat
episodic dan berkaitan dengan musim, serta adanya riwayat asma atau penyakit
atopi pada anggota keluarga. Walaupun informasi akurat mengenai hal-hal
tersebut tidak mudah didapat, beberapa pertanyaan berikut ini sangat berguna
dalam pertimbangan diagnosis asma :
 Apakah anak mengalami serangan mengi atau serangan mengi berulang?
 Apakah anak sering terganggu oleh batuk pada malam hari?
 Apakah anak mengalami gejala mengi atau batuk setelah berolahraga?
 Apakah anak mengalami mengi, dada terasa berat atau batuk setelah
terpajan allergen atau polutan?
 Apakah jika mengalami pilek, anak membutuhkan > 10 hari untuk
sembuh?
 Apakah gejala klinis membaik setelah pemberian pengobatan antiasma

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik umumnya tidak ditemukan kelainan saat pasien
tidak mengalami serangan. Ada sebagian kecil pasien yang derajat asmanya
lebih berat, dapat dijumpai mengi di luar serangan.
Dengan adanya kesulitan ini diagnosis asma pada bayi dan anak kecil <5
tahun) hanya merupakan diagnosis (penilaian hanya berdasarkan gejala dan

14
pemeriksaan fisis dan respons terhadap pengobatan). Pada PNAA 2004,
dinyatakan bahwa mengi berulang dan atau batuk kronik berulang merupakan
titik awal menuju diagnosis. Kemungkinan asma perlu dipikirkan pada anak
yang hannya menunjukkan batuk sebagai satu-satunya gejala dan pada
pemeriksaan fisis tidak ditemukan mengi, sesak, dan lain-lain.
Sebagian besar mengi selama 3 tahun pertama kehidupan berhubungan
dengan infeksi virus pada saluran pernapasan. Virus pada saluran pernapasan.
Virus pada saluran pernapasa dan gejala awal sma sulit untuk dibedakan. Indeks
prediktif asma (API) merupakan panduan untuk menentukan mana anak-anak
kecil yang akan memiliki asma pada tahun kemudian.
Anak-anak kurang dari 3 tahun yang telah mwemiliki 4 atau lebih episode mengi
yang signifikan dalam satu tahun terakhir akan cenderung persisten asma setelah
5 tahun jika mereka memiliki salah satu dari berikut :
a. Faktor mayor:
- Induk dengan asma
- Riwayat dermatitis atopic
- Sensitifitas terhadao allergen di udara (sudah dilakukan skin test atau tes
darah misalnya alergi terhadap rumput, tungan atau lainnya)
b. Faktor minor
- Alergi makanan
- Eosinofil darah lebih dari 4 %
- Mengi selain pilek
API ini dikembangkan setelah diikuti hamper 1.000 anak usia di atas 13
tahun. Ternyata anak dengan mengi dengan API positif di usia sekitar 2-3
tahun terdapat sekitar 80% kemungkinan akan memiliki diagnosis pasti
asma ketika memasuki sekolah.

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan fungsi paru mulai dari pengukuran sederhana. Yaitu peak
expiratory flow rate (PEFR) atau arus puncak ekspirasi (APE), pulse
oxymeter, spirometri, sampai pengukuran yang kompleks yaitu muscle
strength testing, volume paru absolut, serta kapasitas difusi. Pemeriksaan

15
fungsi paru yang obyektif dan lengkap dapat bermanfaat dalam evaluasi
diagnostik anak dengan batuk, mengi rekuren, aktifitas terbatas, dan keadaan
lain yang berkaitan dengan sistem respiratorik. Kebanyakan uji fungsi paru
mengevaluasi : 1) volume paru, 2) fungsi jalan napas, 3) pertukaran gas.
Pengukuran volume paru bermanfaat pada penyakit paru restriktif seperti
kelemahan otot napas, deformitas dinding dada, atau penyakit intertisial
paru, serta pada beberapa anak dengan kelainan obstruktif jalan napas.
Walaupun pemeriksaan AGD merupakan baku emas untuk menilai
parameter pertukaran gas, pulse oxymetry masih merupakan pemeriksaan
yang berguna dan efisien.
Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan
adalah analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-
posterior. Pada AGD dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan
rendahnya PO2 (hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan
adalah uji fungsi paru bila kondisi memungkinkan. Pada pemeriksaan ini
dapat ditemukan adanya penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai
normal.
4.
Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eusinofil total dapat
membantu penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eusinofil
total umum dijumpai pada pasien asma. Untuk memastikan diagnosis,
dilakukan pemeriksaan uji provokasi dengan histamin atau metakolin. Bila
uji provokasi positif, maka diagnosis asma secara definitive dapat
ditegakkan.

4. DIAGNOSIS BANDING

Mengi tidak hanya terjadi pada asma, tapi dapat terjadi berbagai macam keadaan
yang menyebabkan obstruksi pada saluran nafas:
1. Korpus alienum di saluran nafas dan esophagus.
2. Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan bronkiektasa atau fibrosis
kistik.
3. Bronkiolitis akut, biasanya mengenai anak dibawah umur 2 tahun dan
terbanyak dibawah umur 6 bulan dan jarang berulang.

16
4. Bronchitis, tidak ditemukan eosinofilia, suhu biasanya tinggi da tidak
herediter, bila sering berulang dan kronik biasanya disebabkan oleh asma.

5. ALUR DIAGNOSIS

Bagan 1. Alur diagnosis asma

17
TATALAKSANA ASMA PADA ANAK
Asma dikelompokkan menjadi dua aspek yaitu aspek akut (biasa dikenal sebagai
serangan asma) dan aspek kronik (dikenal sebagai asma di luar serangan).
A. Asma Serangan Akut
Tujuan tatalaksana serangan asma adalah menghilangkan gejala sesegera
mungkin dan mengatasi hiperkarbia serta hipoksemia yang mungkin terjadi
sedangkan pada tatalaksana di luar serangan lebih mengutamakan pada kualitas
hidup yang tetap optimal. Tatalaksana serangan asma akut berkembang pesat
dengan penggunaan terapi inhalasi sebagai penanganan awal yang sebelumnya
menggunakan obat sistemik baik oral maupun injeksi.
1. Klasifikasi
Serangan asma dibagi dalam 3 kelompok yaitu serangan asma ringan,
serangan asma sedang dan serangan asma berat. Pembagian itu diperlukan untuk
menentukan tatalaksana selanjutnya. Untuk menentukan klasifikasi tersebut
diperlukan beberapa parameter seperti kemampuan mengucapkan kalimat atau
kata, posisi duduk atau berbaring, adanya peningkatan usaha napas, sianosis dan
pemeriksaan penunjang seperti analisis gas darah dan uji fungsi paru.
Tabel 3. Klasifikasi Serangan Asma

18
2. Tatalaksana Asma Serangan Akut
Global Initiative for Asthma (GINA) membagi tatalaksana serangan asma
menjadi dua, yaitu tatalaksana di rumah dan di Rumah Sakit. Tatalaksana di
rumah dilakukan oleh pasien (atau orang tuanya) sendiri di rumah. Hal ini dapat
dilakukan oleh pasien yang sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur
dan mempunyai pendidikan yang cukup. Pada panduan pengobatan di rumah,
disebutkan bahwa terapi awal adalah inhalasi β-agonis kerja cepat sebanyak 2
kali dengan selang waktu 20 menit. Bila belum ada perbaikan, segera mencari
pertolongan ke dokter atau sarana kesehatan.

a. Penanganan Serangan Asma di Klinik atau Instalasi Gawat Darurat


(IGD)
Seorang anak penderita asma jika mengalami serangan akan dibawa
mencari pertolongan ke rumah sakit yang kemungkinan datang ke Klinik
Rawat Jalan atau IGD. Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan,
langsung dinilai derajat serangannya menurut klasifikasi di atas sesuai
dengan fasilitas yang tersedia.
Penanganan awal terhadap pasien adalah pemberian beta-agonis secara
nebulisasi. Garam fisiologis dan mukolitik dapat ditambahkan dalam cairan
nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dua kali dengan selang 20 menit.
Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik. Penanganan
awal ini sekaligus dapat berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan
derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat
dilakukan dengan cepat dan jelas.
Jika menurut penilaian awal pasien datang jelas dalam serangan berat,
langsung berikan nebulisasi betaagonis dikombinasikan dengan
antikolinergik. Pasien dengan serangan berat yang disertai dehidrasi dan
asidosis metabolik, mungkin akan mengalami takifilaksis atau refrakter,
yaitu respons yang kurang baik terhadap nebulisasi beta-agonis. Pasien
seperti ini cukup dinebulisasi sekali saja kemudian secepatnya dirawat untuk
mendapatkan obat intravena, selain diatasi masalah dehidrasi dan
asidosisnya.

19
 Serangan Ringan
Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang
baik (complete response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien
diobservasi selama 1-2 jam, jika respons tersebut bertahan, pasien dapat
dipulangkan. Pasien dibekali obat beta-agonis (hirupan atau oral) yang
diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannyaadalah infeksi virus,
dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Pasien
kemudian dianjurkan kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam waktu 24-48
jam untuk reevaluasi tatalaksananya. Selain itu jika sebelum serangan
pasien sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga
reevaluasi di Klinik Rawat Jalan. Namun jika setelah observasi 2 jam
gejala timbul kembali, pasien diperlakukan sebagai serangan sedang.
 Serangan Sedang
Jika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali, pasien hanya
menunjukkan respons parsial (incomplete response), kemungkinan
derajat serangannya sedang. Untuk itu perlu dinilai ulang derajatnya
sesuai pedoman di depan. Jika serangannya memang termasuk serangan
sedang, pasien perlu diobservasi dan ditangani di Ruang Rawat Sehari
(RRS). Walaupun mungkin tidak diperlukan, namun untuk persiapan
keadaan darurat, maka sejak di IGD pasien yang akan diobservasi di
RRS langsung dipasangi jalur parenteral.
 Serangan Berat
Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak
menunjukkan respons (poor response), yaitu gejala dan tanda serangan
masih ada (penilaian ulang sesuai pedoman), maka pasien harus dirawat
di Ruang Rawat Inap. Oksigen 2-4L/menit diberikan sejak awal
termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan lakukan foto toraks.
Jika sejak penilaian awal pasien mengalami serangan berat, nebulisasi
cukup diberikan sekali langsung dengan beta-agonis dan antikolinergik.
Sedangkan, bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti
napas, pasien harus langsung dirawat di Ruang Rawat Intensif. Untuk
pasien dengan serangan berat dan ancaman henti napas, langsung dibuat

20
foto rontgen toraks guna mendeteksi komplikasi pneumotoraks dan/atau
pneumomediastinum.
b. Penanganan di Ruang Rawat Sehari
Pemberian oksigen sejak dari IGD dilanjutkan. Kemudian berikan
steroid sistemik oral berupa prednisolon, prednison, atau triamsinolon.
Setelah di IGD menjalani nebulisasi 3 kali dalam 1 jam dengan respons
parsial, di RRS diteruskan dengan nebulisasi beta-agonis + antikolinergik
tiap 2 jam. Jika dalam 8-12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan
dan dibekali obat seperti pasien serangan ringan yang dipulangkan dari
Klinik / IGD. Bila dalam 12 jam responsnya tetap tidak baik, maka pasien
dialih rawat ke Ruang Rawat Inap untuk mendapat steroid dan aminofilin
parenteral.
c. Penanganan di Ruang Rawat Inap
 Pemberian oksigen diteruskan
 Jika ada dehidrasi dan asidosis maka diatasi dengan pemberian cairan
intravena dan dikoreksi asidosisnya.
 Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam.
 Nebulisasi beta-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap
1-2 jam, jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis,
jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
 Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis:
 Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi
aminofilin dosis awal (inisial) sebesar 4-6 mg/kgBB dilarutkan dalam
dekstrose atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-
30 menit.
 Jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis
diberikan 1/2nya.
 Sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml.
 Selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1
mg/kgBB/jam.
 Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam
hingga 24 jam, dan steroid serta aminofilin diganti peroral.

21
 Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan
dibekali obat beta-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam
selama 24-48 jam. Selain itu steroid oral dilanjutkan hingga pasien
kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi
tatalaksana.
d. Kriteria rawat di Ruang Rawat Intensif
Pasien yang sejak awal masuk ke IGD sudah memperlihatkan tanda-tanda
ancaman henti napas (sesuai tabel 1), langsung dirawat di Ruang Rawat
Intensif (ICU). Secara ringkas kriterianya adalah:
 Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di IGD dan/atau
perburukan asma yang cepat.
 Adanya kebingungan, pusing, dan tanda lain ancaman henti napas, atau
hilangnya kesadaran.
 Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana baku di Ruang Rawat Inap.
 Ancaman henti napas: hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi
oksigen (kadar PaO2 <60 mmHg dan/atau PaCO2 >45 mmHg, walaupun
tentu saja gagal napas dapat terjadi dalam kadar PaCO2 yang lebih tinggi
atau lebih rendah).
B. Tatalaksana Jangka Panjang
1. Klasifikasi
Klasifkasi asma sangat diperlukan karena berhubungan dengan tatalaksana
lanjutan (jangka panjang). GINA membagi asma menjadi 4 klasifikasi yaitu
asma intermiten, asma persisten ringan, asma berat.2 Berbeda dengan GINA,
PNAA membagi asma menjadi 3 yaitu asma episodik ringan, asma episodik
sedang, dan asma persisten. Dasar pembagian ini karena pada asma anak
kejadian episodik lebih sering dibanding persisten (kronisitas). Dasar pembagian
atau klasifikasi asma pada anak adalah frekuensi serangan, lamanya serangan,
aktivitas diluar serangan dan beberapa pemeriksaan penunjang.

2. Tatalaksana Jangka Panjang


Untuk tata laksana asma Konsensus Internasional III, masih menggunakan
alur yang sama. Dalam alur tersebut terlihat bahwa jika tata laksana dalam suatu

22
derajat penyakit asma sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam
6-8 minggu, maka derajatnya berpindah ke yang lebih berat. Sebaliknya jika
asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih
ringan.

Bagan 2. Alur Tata Laksana Jangka Panjang Asma Anak

23
a. Asma Episodik Jarang (Asma Ringan)
Asma episodik jarang cukup diobati dengan bronkodilator beta-agonis
hirupan kerja pendek bila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan. Anjuran
ini tidak mudah dilakukan berhubung obat tersebut mahal dan tidak selalu
tersedia di semua daerah. Di samping itu pemakaian obat hirupan (metered
dose inhaler) memerlukan pelatihan yang benar (untuk anak besar), dan
membutuhkan alat bantu (untuk anak kecil/bayi) yang juga tidak selalu ada
dan mahal harganya.
Bila obat hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan maka beta-agonis
diberikan peroral. Sebenarnya kecenderungan saat ini teofilin makin kurang
perannya dalam tata laksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun
mengingat di Indonesia obat betaagonis oral tidak selalu ada maka dapat
digunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek
samping. Di samping itu penggunaan beta-agonis oral tunggal dengan dosis
besar seringkali menimbulkan efek samping berupa palpitasi. Hal ini dapat
dikurangi dengan mengurangi dosisnya serta dikombinasi dengan teofilin.
Konsensus Internasional III dan juga Konsensus Nasional seperti
terlihat dalam klasifikasi asmanya tidak mengajurkan pem-berian anti-
inflamasi untuk asma ringan. Di lain pihak, untuk asma intermiten (derajat 1
dari 4) GINA menganjurkan penggunaan kromoglikat sebelum aktivitas fisis
atau pajanan dengan alergen. Bahkan untuk asma persisten ringan (derajat 2
dari 4) GINA sudah menganjurkan pemberian obat pengendali (controller)
berupa anti-inflamasi yaitusteroid hirupan dosis rendah, atau kromoglikat
hirupan. Sebagai catatan, GINA menggunakan istilah obat pengendali
(controller) untuk istilah profilaksis yang digunakan oleh Konsensus
Internasional. Obat pengendali diberikan tiap hari, ada atau tidak ada
serangan / gejala. Sedangkan obat yang diberikan saat serangan disebut obat
pereda (reliever).
Konig menemukan bukti bahwa dengan mengikutipanduan tata laksana
yang lazim, yaitu hanya memberikan bronkodilator tanpa anti-inflamasi
pada asma ringan, ternyata dalam jangka panjang (+8 tahun) pada kelompok
tersebut paling sedikit yang mengalami perbaikan derajat asma. Di lain

24
pihak, asma sedang yang mendapat kromoglikat, dan asma berat yang
mendapat steroid hirupan, menunjukkan perbaikan derajat asma yang lebih
besar. Perbaikan yang dimaksud adalah menurunnya derajat asma, misalnya
dari berat ke sedang atau ringan, bahkan sampai asmanya asimtomatik.
b. Asma Episodik Sering (Asma Sedang)
Jika penggunaan beta-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu
(tanpa menghitung penggunaan pra aktivitas fisis), atau serangan
sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan
antiinflamasi sebagai pengendali sudah terindikasi. Antiinflamasi lapis
pertama yang digunakan adalah kromoglikat, dengan dosis minimal 10 mg
3-4 kali perhari. Obat ini diberikan selama 6-8 minggu, kemudian dievaluasi
hasilnya. Jika asma sudah terkendali, pemberian kromoglikat dapat
dikurangi menjadi 2-3 kali perhari. Sampai sekarang, obat ini tetap paling
aman untuk pengendalian asma anak dan efek sampingnya ringan, yaitu
sesekali menyebabkan batuk. Nedokromil merupakan obat satu golongan
dengan kromoglikat yang lebih poten dan tidak menyebabkan batuk. Di luar
negeri obat ini sudah diijinkan pemakaiannya untuk anak >2 tahun. Namun
ntuk di Indonesia saat ini ijin yang ada untuk anak >12 tahun.
Untuk asma persisten ringan (derajat 2 dari 4) GINA menganjurkan
pemberian steroid hirupan (utama) atau kromoglikat hirupan (alternatif )
sebagai obat pengendali. Sedangkan untuk asma persisten sedang (derajat 3
dari 4) GINA merekomendasikan steroid hirupan tanpa member tempat
untuk kromoglikat. Menurut hemat kami, seyogyanya untuk obat pengendali
tetap dimulai dengan kromoglikat dahulu. Jika tidak berhasil baru diganti
dengan steroid hirupan. Mengenai obat antihistamin baru non-sedatif
(misalnya ketotifen), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak
balita dan/atau asma tipe rinitis.
c. Asma Persisten (Asma Berat)
Jika setelah 6-8 minggu kromoglikat gagal mengendalikan gejala, dan
beta-agonis hirupan tetap diperlukan >3x tiap minggu maka berarti asmanya
termasuk berat. Sebagai obat pengendali pilihann berikutnya adalah obat
steroid hirupan. Cara pemberian steroid hirupan apakah dari dosis tinggi ke

25
rendah selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya dari dosis rendah ke
tinggi hingga gejala dapat dikendalikan, tergantung pada kasusnya. Dalam
keadaan tertentu, khususnya pada anak dengan penyakit berat, dianjurkan
untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka pendek
(3-5 hari). Selanjutnya dosis steroid hirupan diturunkan sampai optimal.
Steroid hirupan biasanya efektif dengan dosis rendah. Dalam
penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis 200 mg/hari, belum
pernah dilaporkan adanya efek samping jangka panjang. Dosis yang masih
dianggap aman adalah 400 mg/hari. Di atas itu dilaporkan adanya pengaruh
sistemik minimal, sedangkan dengan dosis 800 mg/hari agaknya mulai
berpengaruh terhadap poros hipotalamus-hipofisisadrenal sehingga dapat
berdampak terhadap pertumbuhan. Efek sistemik steroid hirupan dapat
dikurangi dengan penggunaan alat bantu berupa perenggang (spacer) yang
akan meningkatkan deposisi obat di paru dan mengurangi deposisi di daerah
orofaringeal sehingga mengurangi absorbsi sistemik.
Setelah dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang
optimal atau klinis perbaikan yang mantap selama 1-2 bulan, maka dosis
steroid dapat dikurangi bertahap sehingga dicapai dosis terkecil yang masih
bisa mengendalikan asmanya. Sementara itu penggunaan beta-agonis
sebagai obat pereda tetap diteruskan.
d. Asma Sangat Berat
Bila dengan terapi di atas selama 6-8 minggu asmanya tetap belum
terkendali maka pasien dianggap menderita Asma sangat berat (bagian dari
Asma persisten). Penggunaan beta-agonis (kerja pendek) hirupan >3x sehari
secara teratur dan terus menerus diduga mempunyai peran dalam
peningkatan morbiditas dan mortalitas asma. Oleh karena itu obat dan cara
peng-gunaannya tersebut sebaiknya dihindari. Tetapi jika dengan steroid
hirupan dosis sedang (400-600 mg/hari) asmanya belum terkendali, maka
perlu dipertimbangkan tambahan pemberian beta-agonis kerja panjang, atau
beta-agonis lepas terkendali, atau teofilin lepas lambat.6 Dahulu beta-agonis
dan teofilin hanya dikenal sebagai bronkodilator saja. Namun akhir-akhir ini
diduga mereka juga mempunyai efek anti-inflamasi.

26
Jika dengan penambahan obat tersebut asmanya tetap belum terkendali,
obat tersebut diteruskan dan dosis steroid hirupan dinaikkan, bahkan
mungkin perlu diberikan steroid oral. Langkah ini diambil hanya bila bahaya
dari asmanya lebih besar daripada bahaya efek samping obat. Untuk steroid
oral sebagai dosis awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian
diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari.

Tabel 4. Jenis Alat Inhalasi Disesuaikan dengan Umur

Tabel 5. Obat Asma Jangka Panjang yang Beredar di Indonesia

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak. Edisi
pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2010.h. 71-118
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan
asma di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2003
3. Kementerian Kesehatan RI. Infodatin: you can control your asthma. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI; 2013
4. Beasley R, Holt S, Fabian D, Masoli M. Global burden of asthma. United
Kingdom: GINA; 2004
5. Rengganis I. Diagnosis dan tatalaksana asma bronkial. Majalah Kedokteran
Indonesia. 2008;58(11):444-451
6. Papadopoulos NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J, Lemanske R.
International consensus on (ICON) pediatric asthma. European Journal of
Allergy and Clinical Immunology. 2012;976-997
7. Akib AAP. Asma pada anak. Sari Pediatri. 2002; 4(2):78 – 82
8. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI ;2009; 5-11.
9. O’Byrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk. Global
Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ; 2006.
10. Castro-Rodriguez JA, et al. A clinical index to define risk of asthma in young
children with recurrent wheezing. Am J Respir Crit Care Med 2000; 162: 1403-
1406
11. Supriyatno B. Terapi kombinasi pada serangan asma akut anak. Majalah
Kedokteran Indonesia 2010; 60: 232-6
12. Supriyatno B. Diagnosis dan penatalaksanaan terkini asma pada anak. Majalah
Kedokteran Indonesia 2005; 55: 237-243
13. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus
nasional asma anak. Sari Pediatri. 2000;2(1):50 – 66

28

Vous aimerez peut-être aussi