Vous êtes sur la page 1sur 15

BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit ginjal merupakan penyakit yang paling sering ditemukan di masyarakat.


Berdasarkan data dari PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia), 8,6% dari penduduk
Indonesia menderita Penyakit Ginjal Kronik (PGK). Dikatakan PGK bila ditemukan adanya
gangguan struktur ginjal (kidney damage) atau Laju Filtrasi Glomerulus (kecepatan proses
penyaringan darah oleh ginjal) kurang dari 60 mL/menit selama lebih dari 3 bulan. Gangguan
struktur ginjal dinyatakan dengan adanya sel darah merah (sedimen eritrosit) dalam urin atau
protein dalam urin atau terlihat kelainan ginjal melalui pemeriksaan USG atau CT-Scan yang
menetap lebih dari 3 bulan. Laju Filtrasi Glomerulus atau eGFR (estimated Glomerular
Filtration Rate) dapat dihitung dari kadar kreatinin darah dan umur pasien dengan
menggunakan rumus.
Perjalanan penyakit dari PGK, dibagi dalam 5 stadium yaitu Stadium-I bila eGFR lebih
dari 90mL/menit; Stadium-II bila eGFR antara 60-90 mL/menit; Stadium-III bila eGFR
antara 30-60 mL/menit; Stadium-IV bila eGFR antara 15-30 mL/menit; Stadium-V atau
disebut juga Gagal Ginjal bila eGFR kurang dari 15 mL/menit dan pada stadium ini, pasien
sudah diindikasikan untuk masuk dalam program dialisis (cuci darah) atau cangkok ginjal.
Pada PGK tidak ada istilah perbaikan fungsi ginjal, misalnya dari Stadium-III membaik
menjadi Stadium-II, melainkan PGK ini akan berjalan terus mulai dari Stadium-I hingga
Stadium-V.
Tujuan pengobatan adalah berusaha untuk menahan laju perburukan PGK ini, antara lain
dengan mengendalikan tekanan darah, atau mengendalikan gula darah, atau melakukan
tindakan terhadap hal-hal yang menyebabkan penurunan fungsi ginjal seperti menghilangkan
batu ginjal, menghilangkan sumbatan aliran urin dari ginjal bila ada, menurunkan kadar
protein dalam darah bila ada, atau tidak sembarangan mengonsumsi obat, atau mengatur
makanan sesuai anjuran dokter spesialis gizi. Sebelum pengobatan, tentu saja perlu diketahui
terlebihdahulu, apa yang menyebabkan PGK tersebut.
Penyebab PGK yang sering ditemukan di Indonesia adalah Diabetes Melitus, Hipertensi,
Batu Ginjal dan Saluran Kemih, Radang Saringan Ginjal (Glomerulonefritis), konsumsi obat
penghilang rasa nyeri dalam jangka panjang khususnya obat golongan Anti Inflamasi Non-
Steroid seperti Piroksikam, Asam Mefenamat, Ibuprofen dan lain-lain.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

 DEFINISI
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, sehingga pada suatu derajat
memerlukan terapi dialisis atau transplantasi ginjal.1
Kriteria penyakit ginjal kronik adalah
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus dengan
manifestasi
- kelainan patologis
- tanda tanda kelainan ginjal seperti komposisi darah atau urin, atau kelainan
tes pencitraan
2. Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari 60mL/menit/1,73m2 selama 3 bulan
dengan atau tanpa kerusakan ginjal

Klasifikasi
1. Dasar diagnosis etiologi
Tabel 1. Dasar Diagnosis Etiologi

Penyakit Tipe mayor (contoh)


Penyakit ginjal diabetes DM tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non- Penyakit glomerular; autoimun, infeksi sistemik, obat,
diabetes neoplasia
Penyakit vaskular; hipertensi, mikroangiopati
Penyakit tubulointerstitial; pielonefritis kronik, batu, obstruksi
Penyakit kistik; ginjalpolikistik
Penyakit pada Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
transplantasi

2. Dasar derajat penyakit


Rumus *Kockcroft-Gault:
LFG (mL/menit/1,73m2) = (140 – umur) x Berat Badan
72x kreatinin plasma (mg/dL)

2
*pada perempuan dikalikan 0,851
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

Derajat Penjelasan LFG


(mL/men/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ≥90
meningkat
2 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan 60 – 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun sedang 30 – 59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun berat 15 – 29
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

 ETIOLOGI

Penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara negara dengan negara lain. Berikut
merupakan penyebab penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat.1

Tabel 3. Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik di Amerika Serikat ( 1995-1999 )


Penyebab Insiden
Diabetes Melitus 44%
- Tipe 1 ( 7%)
- Tipe 2 ( 37%)
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27%
Glomerulonefritis 10%
Nefritis interstitialis 4%
Kista dan pnyakit bawaan lain 3%
Penyakit sistemik misal lupus, vaskulitis 2%
Neoplasma 2%
Tidak diketahui 4%
Penyakit lain 4%

Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia tahun 2000 mencatat penyebab gagal


ginjal yang mengalami hemodialisis di Indonesia1

Tabel 4. Penyebab Gagal Ginjal yang menjalani Hemodialisis di Indonesia tahun 2000
Penyebab Insiden
Glomerulonefritis 46,39%
Diabetes Melitus 18,65%
Obstruksi dan infeksia 12,85%
Hipertensi 8,46%
Sebab lain ( nefritis lupus, nefropati urat, 13,65%
intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan,

3
tumor ginjal, dan penyakit yang tidak
diketahui)

Dan dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai
berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal
polikistik (10%).

Faktor risiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau
hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan
riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga.

 EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatkan insidens penyakit ginjal kronik
diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8%
setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus
baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkemabng lainnya, insiden ini
diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun.1

 PATOFISIOLOGI

Hampir 1 juta unit nefron ada pada setiap ginjal yang menyumbang kepada jumlah
akhir laju filtrasi glomerulus (LFG). Tanpa mengambil kira penyebab kerusakan jaringan
ginjal, yang progresif dan menahun, ginjal mempunyai keupayaan untuk terus
mempertahankan LFG menerusi hiperfiltrasi dan mekanisme kompensasi kerja yaitu
hipertrofi pada nefron yang masih berfungsi. Keupayaan ginjal ini dapat meneruskan
fungsi normal ginjal untuk mensekresi bahan buangan seperti urea dan kreatinin sehingga
bahan tersebut meningkat dalam plasma darah hanya setelah LFG menurun pada tahap
50% dari yang normal. Kadar kretinin plasma akan mengganda pada penurunan LFG
50%. Walaupun kadar normalnya adalah 0,6 mg/dL menjadi 1,2 mg/dL, ia menunjukkan
penurunan fungsi nefron telah menurun sebanyak 50%.

4
Bagian nefron yang masih berfungsi yang mengalami hiperfiltrasi dan hipertrofi,
walaupun amat berguna, tetapi telah menyebabkan kerusakan ginjal yang progresif. Ini
dipercayai terjadi karena berlaku peningkatan tekanan pada kapilari glomerulus, yang
seterusnya bisa mengakibatkan kerusakan kapilari tersebut dan menjadi faktor
predisposisi terhadap kejadian glomerulosklerosis segmental dan fokal.
Bagian nefron yang masih berfungsi yang mengalami hiperfiltrasi dan hipertrofi,
walaupun amat berguna, tetapi telah menyebabkan kerusakan ginjal yang progresif. Ini
dipercayai terjadi karena berlaku peningkatan tekanan pada kapilari glomerulus, yang
seterusnya bisa mengakibatkan kerusakan kapilari tersebut dan menjadi faktor
predisposisi terhadap kejadian glomerulosklerosis segmental dan fokal. 2
Antara faktor-faktor lain yang menyebabkan kerusakan jaringan ginjal yang bersifat
progresif adalah :
a. Hipertensi sistemik
b. Nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal
c. Proteinuria
d. Hiperlipidemia

Pada gagal ginjal kronik fungsi normal ginjal menurun, produk akhir metabolisme
protein yang normalnya diekskresi melalui urin tertimbun dalam darah. Ini menyebabkan
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh penderita. Semakin banyak timbunan
produk bahan buangan, semakin berat gejala yang terjadi. Penurunan jumlah glomerulus
yang normal menyebabkan penurunan kadar pembersihan substansi darah yang
seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Dengan menurunnya LFG, ia mengakibatkan
penurunan pembersihan kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum terjadi. Hal ini
menimbulkan gangguan metabolisme protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia,
nausea dan vomitus yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Peningkatan ureum kreatinin yang sampai ke otak bisa mempengaruhi fungsi kerja,
mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada neurosensori. Selain itu blood urea
nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat. Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak
dapat dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga terjadi
ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan meningkatkan risiko
terjadinya gagal jantung kongestif. Penderita akan menjadi sesak nafas, akibat
ketidakseimbangan asupan zat oksigen dengan kebutuhan tubuh. Dengan tertahannya
natrium dan cairan bisa terjadi edema dan ascites. Hal ini menimbulkan risiko kelebihan
volume cairan dalam tubuh, sehingga perlu diperhatikan keseimbangan cairannya. Semakin

5
menurunnya fungsi ginjal, terjadi asidosis metabolik akibat ginjal mengekskresikan muatan
asam (H+) yang berlebihan. Juga terjadi penurunan produksi hormon eritropoetin yang
mengakibatkan anemia. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal terjadi
peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar
kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Laju penurunan
fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang
mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan adanya hipertensi. 2

 MANIFESTASI KLINIS

Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,
meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata,
kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular. 3
a. Kelainan Hematologi
Anemia normokromik normositik muncul serta teratur dan ikut berperan dalam
simtomatologi GGK. Eritropoesis pada GGK menurun akibat efek toksin pada sumsum
tulang yang tertahan dan maupun akibat biosintesis eritropoetin yang berkurang dari
ginjal yang sakit karena adanya inhibitor eritroproetin.
Anemia dari uremia kronik mungkin sebagian disebabkan karena intoksikasi alumunium,
yang menyebabkan anemia mikrositik, fibrosis tulang yang disebabkan
hiperparatiroidisme, dan kadang-kadang, penggantian asam folat tidak memadai.
Hemolisis di sebabkan oleh defek ekstrakorpuskuler, karena ketahanan hidup eritrosit dari
orang yang normal berkurang pada saat sel ini ditransfusikan kepada pasien yang uremik
dan eritrosit pasien GGK mempunyai waktu ketahanan hidup yang normal jika
ditransfusikan kepada individu yang normal.
Hemostatis yang tidak normal juga umum pada GGK, dicirikan oleh kecenderungan
perdarahan dan memar (perdarahan di bawah kulit) yang tidak normal. Perubahan
pembentukan dan fungsi leukosit pada uremia menyebabkan peningkatan kerentanan
terhadap infeksi. Fungsi leukosit pada pasien GGK juga dapat terganggu, disebabkan oleh
asidosis yang terjadi bersamaan, hiperglikemia, malnutrisi kalori-protein, juga
hiperosmolaritas jaringan dan serum (disebabkan karena azotemia).
b. Kelainan Gastrointestinal
Anoreksia, cegukan, mual dan muntah adalah manifestasi dini uremia. Fetor uremik,
pernapasan berbau seperti urin, berasal dari dipecahnya ureum dalam air liur menjadi
ammonia dan sering disertai dengan sensasi atau rasa yang tidak menyenangkan. Ulserasi
mukosa menyebabkan kehilangan darah yang dapat terjadi pada tingkat saluran makanan

6
yang pada stadium GGK yang sangat lanjut- dinamakan gastroenteritis uremik. Penyakit
ulkus peptikum terdapat pada sebanyak seperempat subjek uremik. Apakah insidens ini
berhubungan dengan peningkatan keasaman lambung, hipersekresi gastrin atau
hiperparatiroidisme sekunder juga masih belum diketahui. Kebanyakan gejala
gastrointestinal kecuali gejala yang berhubungan dengan ulkus peptikum, membaik
dengan dialisis. Asites idiopatik jarang terlihat pada pasien yang menjalani dialisis kronis,
sepertinya terjadi pada sekunder terhadap kelebihan beban cairan dan/atau kongestif hati
pasif yang kronik. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang
setelah pembatasan diet protein. Pembatasan protein tidak boleh diterapkan pada pasien
yang kekurangan kalori-protein.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal ginjal
kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal
ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan
gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin
disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal
kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala
red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai
pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder
atau tersier.

d. Kelainan dermatologi
Kulit menunjukkan berbagai abnormalitas, hal ini tidaklah mengherankan mengingat
anemia (kepucatan), hemostatis (ekimatosis dan hematom), endapan kalsium dan
hiperparatiroidisme sekunder (pruritus, ekskoriasi), dehidrasi (turgor kulit yang jelek,
membrane mukosa kering), dan konsekuensi kutaneus secara umum akibat kekurangan
kalori-protein. Silinder kuning dan pucat mungkin mencerminkan pengaruh gabungan
anemia dengan retensi aneka macam metabolit yang berpigmentasi atau urokorm. Pada
uremia stadium lanjut, konsentrasi ureum dalam air keringat dapat mencapai kadar cukup
tinggi, sehingga setelah penguapan, dapat ditemukan segaris bubuk putih pada permukaan
kulit (uremic (urea) frost). Walaupun kebanyakan kelainan kulit ini baik dengan dialisis,
pruritus uremic (kegatalan uremik) biasanya resisten dengan terapi sistemik dan topical.
Hemokromatis menyebabkan perubahan warna kulit menjadi perak keabu-abuan dan
umum pada pasien dialisis yang telah menerima transfusi yang multiple.

7
e. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada gagal ginjal
kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu
indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.
f. Kelainan neuropsikiatri
Gangguan ringan fungsi sistem saraf pusat meliputi ketidakmampuan untuk
berkonsentrasi, rasa mengantuk dan insomnia, adalah sebagian gejala dini dari uremia.
Perubahan perilaku ringan, kehilangan ingatan, dan kesalahan dalam menyatakan
pendapat yang terlihat pada mengikuti dan dapat berhubungan dengan iritabilitas
neuromuskuler yang mencakup cegukan (hiccup), kejang, dan fasikulasi, serta kedutan
otot. Astrixis, mioklonus dan korea adalah umum pada uremia terminal, demikian pula
stupor, bangkitan kejang dan koma. Banyak komplikasi neuromuskuler uremia hebat ini
menghilang dengan dialisis, meskipun kelainan EEG yang nonspesifik dapat menetap,
Neuropati perifer adalah umum pada GGK lanjut, mula-mula keterlibatan saraf sensoris
melampui saraf motor, ekstremitas bawah lebih sering terlibat daripada ekstremitas atas,
dan bagian distal ekstremitas lebih sering terlibat daripada bagian proksimal. “Rest less-
legs syndrome” ditandai khas dengan rasa sakit yang tetap berupa ketidaknyaman pada
kaki dan tungkai bawah serta gerakan kaki yang sering. Bila dialisis tidak di mulai
dengan segera setelah mulainya kelainan sensoris, keterlibatan motor akan menyusul,
meliputi hilangnya refleks tendon dalam, kelemahan, kelumpuhan saraf peroneus (foot
drop) dan akhirnya kuadriplegia flaksid. Dengan demikian, neuropati perifer merupakan
indikasi untuk memulai dialisis atau transplantasi ginjal.
Timbul dua jenis gangguan neurologik yang unik pada pasien yang menjalani dialisis
kronik. Demensia dialisis ditemukan pada pasien yang telah didialisis untuk beberapa
tahun dan dicirikan oleh speech dyspraxia (kehilangan sebagian kemampuan berbicara),
mioklonus, demensia, dan dan akhirnya kejang dan kematian. Ketidakseimbangan dialisis
terjadi selama beberapa dialisis pertama, disertai dengan penurunan kadar urea darah
yang cepat,. Mual, muntah, rasa kantuk, sakit kepala dan bahkan kejang dihubungkan
dengan perubahan pH yang lebih cepat (disebabkan oleh dialisis) dan pengurangan
osmolalitas, osmolalitas cairan ekstraseluler daripada cairan intraseluler dalam tengkorak
yang menyebabkan edema serebral dan tekanan intracranial yang meningkat.
g. Kelainan Kardiovaskular dan Paru
Retensi cairan pada uremia sering menyebabkan gagal jantung kongestif dan/atau edema
paru. Suatu bentuk yang unik dari kongesti paru dan edema paru bahkan dapat terjadi
pada tiadanya beban berlebihan volume dan disertai dengan tekanan intracranial dan

8
pulmonal yang meningkat atau normal. Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada
gagal ginjal kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi,
aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik
terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

 DIAGNOSIS
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut:

a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)


b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
d. Menentukan strategi terapi rasional
e. Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan
yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan
pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,
perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal
(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan
tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
b. Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan
faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk
semua faktor pemburuk faal ginjal.
1. Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai
sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).
2. Etiologi gagal ginjal kronik (GGK)
Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis.
3. Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit

9
Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan
pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal
(LFG).
c. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu:
1. Diagnosis etiologi GGK
Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut,
ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi
antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).
2. Diagnosis pemburuk faal ginjal
Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan
ultrasonografi (USG).3

 PENATALAKSANAAN
Perencanaan tatalaksana sesuai dengan derajatnya:

Tabel 5. Penatalaksaan Sesuai dengan Derajat LFG


Derajat LFG Rencana tatalaksana
(mL/menit/1,73m2)
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi
perburukan, fungsi ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskuler
2 60 – 89 Menghambat perburukan fungsi ginjal
3 30 – 59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15 – 29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 Terapi pengganti ginjal

1. Terapi Spesifik Penyakit Dasarnya


Dilakukan sebelum terjadi penurunan LFG karena jika LFG menurun 20-30% dari
nilai normal, terapi tidak banyak bermanfaat.

2. Pencegahan dan Terapi Kondisi Komorbid

10
Mengikuti kecepatan penurunan LFG untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat
memperburuk keadaan. Contoh komorbid: gangguan keseimbangan cairan, hipertensi
tidak terkontrol, infeksi traktur urinarius, obat nefrotoksik dan bahan radiokontras.

1. Memperlambat Perburukan Fungsi Ginjal


a. Pembatasan asupan protein
Dimulai pada LFG ≤ 60 mL/menit. Protein diberikan 0,6 – 0,8/kgBB/hari.
Kelebihan protein menjadi urea dan substansi nitrogen yang terutama
diekskresikan oleh ginjal. Makanan tinggi protein juga mengandung ion
hidrogen, fosfat, sulfat, dan ion inorganik yang dieksresikan ginjal. Asupan
protein berlebih meningkatkan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang
memperburuk fungsi ginjal.
b. Terapi farmakologis
Obat antihipertensi terutama ACE inhibitor mengurangi hipertensi
intraglomerulus dan glomerulus, di samping memperkecil risiko
kardiovaskular,melalui mekanisme antihipertensi dan antiproteinuria.

2. Pencegahan dan Terapi Penyakit Kardiovaskular


Antara lain adalah pengendalian hipertensi, diabetes, dislipidemia, anemia dan
hiperfosfatemia, terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan
elektrolit. Ini penting karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik
disebabkan oleh penyakit kardiovaskular.

3. Pencegahan dan Terapi Komplikasi


a. Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% penyakit ginjal kronik, terutamanya disebabkan
oleh defisiensi eritropoitin. Evaluasi dimulai saat kadar hemoglobin ≤10%
atau hematokrit ≥30%, mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit dan
kemungkinan adanya hemolisis.
Pemberian eritropoitin (EPO) dianjurkan dengan memerhatikan status besi
serum. Transfusi darah dilakukan dengan hati-hati berdasarkan indikasi yang
tepat dan pemantauan yang cermat untuk mengelakkan kelebihan cairan tubuh,
hiperkalemia dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin adalah 11-
12g/dL.

11
b. Hiperfosfatemia
Pemberian diet rendah fosfat pada diet tinggi kalori rendah protein dan rendah
garam. Asupan fosfat dibatasi 600-800mg/hari. Pembatasan yang ketat tidak
dianjurkan untuk menghindari malnutrisi.

c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit


Pembatasan asupan air mencegah edema dan komplikasi kardiovaskular.
Dengan asumsi insensible water loss antara 500-800mL sehari maka asupan
air yang dianjurkan 500-800mL ditambah jumlah urin.
Pembatasan kalium dapat mencegah hiperkalemia yang dapat menyebabkan
aritmia jantung yang fatal. Obat yang mengandungi kalium dan makanan
tinggi kalium seperti buah dan sayur dibatasi. Pembatasan natrium pula untuk
mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium disesuaikan
dengan tekanan darah dan derajat edema pasien.

4. Terapi Pengganti Ginjal


Dilakukan pada stadium 5 yaitu LFG kurang dari 15mL/menit/1,73m 2. Terapi dapat
berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.1

 KOMPLIKASI
Tabel 6.Komplikasi Penyakit Gagal Ginjal Kronik sesuai Derajatnya
Derajat Laju filtrasi glomerulus Komplikasi
(ml/menit/1,73m2 )
1 > 90 -
(ada kerusakan ginjal,
proteinuria menetap, kelainan
sedimen urin, kelainan kimia
darah dan urin, kelainan pada
pemeriksaan radiologi)

2 60-89 Tekanan darah mulai ↑


3 30-59 - Hiperfosfatemia

- Hipokalsemia

12
- Anemia

- Hiperparatiroid

- Hipertensi
4 15-29 - Malnutrisi

- Asidosis metabolic

- Hiperkalemia

- Dislipidemia
5 < 15 - Gagal jantung

- uremia

a. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme, dan


masukan diet berlebih.
b. Perikarditis
Perikarditis merupakan komplikasi yang sering terjadi pada GGK, terutama timbul
pada pasien dengan uremia berat yang tidak dilakukan dialisis. Eksudat pada
perikarditis uremik biasanya sedikit dan bersifat fibrinosa atau serofibrinosa. Kadang
pada pasien yang mendapat dialisis yang adekuat juga timbul perikarditis dan efusi
yang hemoragis. Pasien yang mendapat terapi dialisis peritoneal dilaporkan lebih
jarang menderita perikarditis.
Patogenesis perikarditis ini masih belum diketahui dengan pasti. Walaupun toksin
uremik yang tinggi pada keadaan dialisis sering dijadikan kambing hitam, tetapi ada
dugaan bahwa kelebihan cairan berperan dalam menimbulkan perikarditis. Walaupun
pasien perikarditis uremik sering mengalami infeksi terutama oleh virus, tetapi pada
cairan perikardial sulit ditemukan penyebab infeksi, sedangkan cairan perikardial
yang hemoragis sering dihubungkan dengan pemakaian antikoagulan pada dialisis.
Manifestasi klinis perikarditis uremik dapat berupa nyeri dada, demam, dan efusi
perikardial. Setelah penumpukan cairan perikardial cukup banyak, pericardial rub
akan menghilang, dan bunyi jantung menjadi redup. Juga dapat terjadi tamponade
jantung, terutama pada efusi perikardial yang hemoragis. Perikarditis dan efusi
perikardial uremik yang lama.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system rennin-
angiotensin-aldosteron.

13
d. Anemia
Anemia normositer, normokromik merupakan komplikasi GGK yang biasa ditemukan
dan berhubungan dengan derajat GGK. Penyebab utama anemia pada GGK adalah
berkurangnya produksi eritropoietin, suatu hormon glikoprotein yang diproduksi
ginjal (90%) dan sisanya diproduksi di luar ginjal (hati dan sebagainya). Kadar
eritropoietin serum nyata menurun pada pasien GGK berat, tetapi korelasi ini tidak
jelas pada LFG >20ml/menit/1,73m 2. Anemia pada pasien dapat dikoreksi dengan
pemberian eritropoietin rekombinan dan responsnya tergantung dari dosis yang
diberikan. Dengan terapi ini terlihat perbaikan pada toleransi latihan, fungsi kognitif
dan kualitas hidup keseluruhan. Mekanisme lain terjadinya anemia pada GGK adalah
pemendekan umur eritrosit menjadi 2/3 umur normal, toksisitas aluminium karena
pemakaian obat-obat pengikat fosfat yang mengandung aluminium, iatrogenik karena
kehilangan darah sewaktu dialisis dan pengambilan contoh darah, serta terjadinya
defisiensi asam folat pada pasien yang sedang menjalani dialisis. Anemia yang terjadi
karena toksisitas aluminium mempunyai gambaran mikrositik, hipokromik yang mirip
dengan defisiensi zat besi, tetapi kemampuan mengikat besi dan kadar feritin
serumnya normal.
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metastatik
Akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah, metabolism vitamin D
abnormal, dan peningkatan kadar alumunium.3
 PENCEGAHAN

Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai dilakukan
pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti
bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular adalah:

Pengobatan hipertensi yaitu makin rendah tekanan darah makin kecil risiko
penurunan fungsi ginjal

Pengendalian gula darah, lemak darah, dan anemia

Berhenti merokok

Peningkatan aktivitas fisik

Pengendalian berat badan

Obat penghambat sistem renin angiotensin seperti penghambat
ACE(angiotensin converting enzyme) dan penyekat reseptor angiotensin telah
terbukti dapat mencegah dan menghambat proteinuria dan penurunan fungsi
ginjal.4

14
PROGNOSIS
Prognosis dari penyakit ginjal kronik, tergantung pada seberapa cepat upaya deteksi
dan penanganan dini, serta penyakit penyebab.

Semakin dini upaya deteksi dan penanganannya, hasilnya akan lebih baik.Beberapa
jenis kondisi/penyakit, akan tetap progresif. Misalnya: dampak diabetes pada ginjal dapat
dibuat berjalan lebih lambat dengan upaya kendali diabetes. Pada kebanyakan kasus, penyakit
ginjal kronik progresif bisa menjadi gagal ginjal kronik.

Kematian pada penyakit ginjal kronik tertinggi adalah karena komplikasi jantung,
dapat terjadi sebelum maupun sesudah gagal ginjal.

Menurut kepustakaan, di Amerika kematian pasien dialisis tertinggi 6 bulan pertama


paska dialisis, 35% nya bisa bertahan lebih dari 5 tahun, bila disertai diabetes lebih kecil lagi
yaitu 25%.Pasien gagal ginjal tanpa upaya dialisis akan berakhir dengan kematian.Penyebab
kematian pada gagal ginjal kronik, terbesar adalah karena komplikasi jantung (45%), akibat
infeksi (15%), komplikasi uremia pada otak (6%), dan keganasan (4%).6

15

Vous aimerez peut-être aussi