Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
ILMU AKHLAK
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah
ilmu akhlak dan tasawuf
DISUSUN OLEH
Lilis Supriatin
NIM : 1171040079
FAKULTAS USHULUDDIN
TASAWUF PSIKOTERAPI
2017/2018
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas semua limpahan rahmat dan
karunianya sehingga bisa menyelesaikan tugas penyusunan Makalah Akhlak
Tasawuf dengan judul Akhlak kepada non muslim
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang akhlak kepada non muslim ini
dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Penyusun
LILIS SUPRIATIN
DAFTAR ISI
LEMBAR
COVER ....................................................................................................................
KATA
PENGANTAR .............................................................................................................ii
C. Tujuan …………………………………………………………………..
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................32.1.
A.
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN
B. RUMUSAN MASALAH
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Akhlak berasal dari bahasa Arab dari “khuluqun” yang menurut lughat diartikan:
budi pekerti, perangai,tingkah laku atau tabiat.
secara istilah, akhlak adalah sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan
manusia di muka bumi. Sistem nilai yang dimaksud adalah ajaran Islam, dengan al-
Qur‟an dan Sunnah Rasul sebagai sumber nilainya serta ijtihad sebagai metode
berfikir Islami. Pola sikap dan tindakan yang dimaksud mencakup pola-pola
hubungan dengan Allah, sesama manusia (termasuk dirinya sendiri), dan dengan
alam.
“Akhlak ialah Munculnya perbuatan manusia atas dasar cahaya batasan manusia
untuk munculnya suatu perkara yang baik dan buruk”.
Jadi Ilmu Akhlak merupakan ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk,
terpuji dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin.
Dengan lain perkataan, ilmu akhlak adalah,
1. Menjelaskan arti baik dan buruk.
2. Menerangkan apa yang seharusnya dilakukan.
3. Menunjukkan jalan untuk melakukan perbuatan.
4. Menyatakan tujuan di dalam perbuatan. (Barmawie Umary,
Materi akhlak, Solo: Ramadhani, 1993, hlm. 1.)
Jadi ilmu akhlak adalah ilmu yang mempersoalkan baik buruknya amal, dan amal
terdiri dari perkataan, perbuatan atau kombinasi keduanya dari segi lahir dan
batin.
Akhlak ialah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa
yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya menyatakan
tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan
jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat. (Agus Sudjanto, Psikologi
Kepribadian, Jakarta: Bumi Aksara, 1997, hlm. 12.)
Pengertian Akhlak merupakan kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara
hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan, dan kebiasaan yang menyatu, membentuk
suatu kesatuan tindak akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian.
Dari kelakuan itu lahirlah perasaan moral (moralsence), yang terdapat dalam diri
manusia sebagai fitrah, sehingga ia mampu membedakan mana yang baik dan
mana yang jahat, mana yang bermanfaat dan mana yang berguna, mana yang
cantik dan mana yang buruk. (Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga
dan Sekolah, Jakarta: Ruhama, 1995, hlm.11-12.)
Dalam keadaan tertentu, tertuntut kita untuk menolak hadiah non muslim,
sebagaimana Fatwa Syaikh Muhammad Al Imam hafizhahullah berikut ini:
“…para ulama memberikan kaidah dalam menerima hadiah dari orang kafir.
Demikian juga halnya hadiah dari ahli maksiat dan orang yang menyimpang.
Yaitu, jika hadiah tersebut tidak berpotensi membahayakan bagi si penerima, dari
segi Syar’i (agama), maka boleh. Namun jika hadiah itu diberikan tujuannya agar si
penerima tidak mengatakan kebenaran, atau agar tidak melakukan suatu hal yang
merupakan kebenaran, maka hadiah tersebut tidak boleh diterima. Demikian juga
jika hadiah itu diberikan dengan tujuan agar masyarakat bisa menerima orang-
orang kafir yang dikenal tipu daya dan makarnya, maka saat itu tidak boleh
menerima hadiah. Intinya, jika dengan menerima hadiah tersebut akan
menimbulkan sesuatu berupa penghinaan atau setidaknya ada tuntutan untuk
menentang suatu bagian dari agama kita, atau membuat kita diam tidak
mengerjakan apa yang diwajibkan oleh Allah, atau membuat kita melakukan yang
diharamkan oleh Allah, maka ketika itu hadiah tersebut tidak boleh diterima”.
1. Hadiah tersebut bukan berupa sembelihan yang disembelih karena hari raya
mereka.
2. Hadiah tersebut tidak untuk perkara yang menyerupai mereka pada hari
raya mereka, seperti lilin, telor, pelepah dan semacamnya.
3. Hendaknya hal tersebut diiringi dengan penjelasan tentang aqidah Al-Wala’
wal Bara’ (cinta dan taat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang beriman serta
memutuskan hubungan kepada orang kafir) kepada anak-anak anda, agar
tidak tertanam dalam hati mereka cinta terhadap hari raya mereka atau
hatinya terpaut dengan orang yang memberi.
4. Tujuan menerima hadiah adalah untuk melunakkan hatinya dan
mengajaknya masuk Islam, bukan sekedar basa basi, apalagi mencintai dan
berkasih sayang kepadanya. ”.
“Dibolehkan bagi seorang muslim untuk memberi hadiah bagi orang kafir dan
musyrik dengan maksud untuk melunakkah hatinya dan menarik minatnya masuk
Islam, khususnya jika dia merupakan kerabat atau tetangga. Umar radhiallahu
anhu memberi hadiah baju kepada saudaranya yang masih musyrik semasa di
Mekah (HR. Bukhari, no. 2619).
Bahkan tidak boleh bagi seorang muslim memberi hadiah bagi muslim lainnya
karena hari raya tersebut ”.
“Akan tetapi berbuat baik dan bersikap adil, tidak berarti mencintai dan berkasih
sayang, karena mencintai dan berkasih sayang kepada orang kafir tidak dibolehkan,
begitu pula hendaknya tidak menjadikannya sebagai kawan dekat, berdasarkan
firman Allah Ta’ala,
َ َ ْ َ ُ َ َ َ ُ ُ َ َ َُ َ ون َم ْن َح َّاد ه
َ ُّ َ ُ ْ َ ُ َْ ً ُْ ُ َ ه
اّلل َو َر ُسوله َول ْو كانوا َآب َاءه ْم أ ْو أ ْبن َاءه ْم َ أ ْو ِإخ َوان ُه ْم أ ْو اآلخ ِر يو َاد اّلل َوال َي ْو ِم ال تجد قوما يؤمنون ب
َان َوأ َّي َد ُه ْم ب ُروح م ْن ُه َو ُي ْدخ ُل ُه ْم َج َّنات َت ْجري م ْن َت ْحت َها األ ْن َه ُار َخالدين
َ َ
ِ
ُ ُُ ِ َ ََُِ ْ ُ َ َِ َ َ َ ِ ن
ِِ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ع ِش ْيتهم أول ِئك كتب ف قلوب هم ِاأليم
َ ُ ْ ُ ْ ُ ُ َ َ ن َ ه ُ َ ْ ُ ْ َ َ ِ ي ُ َِ ِْ ُ ُ َ َ ْ ُ ه ِ َ ٍ َّ ْ َ ه
اّلل هم المف ِلحون ِ اّلل أال ِإن ِحزب ِ ض اّلل عنهم ورضوا عنه أول ِئك ِحزب ِفيها ر ِ ي
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan
keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang
datang daripada-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam Surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap
mereka, dan merekapun merasa ridho/puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya.
mereka Itulah golongan Allah. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya hizbullah itu
adalah golongan yang beruntung. (QS. Al-Mujadilah: 22)”.
Beliau menjawab:
Tidak diragukan bahwa seorang muslim wajib membenci musuh-musuh Allah dan
berlepas diri dari mereka, karena ini adalah jalan yang ditempuh oleh para Rasul
dan pengikut mereka.
Berdasarkan hal ini, maka bagi seorang muslim, tidak boleh terdapat dalam
hatinya rasa cinta dan kasih sayang terhadap musuh-musuh Allah yang -
kenyataannya- mereka adalah musuh-musuh bagi seorang muslim (pula).
“(1) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan
musuh kalian menjadi teman-teman setia yang kalian (bersegera) menyampaikan
kepada mereka rasa kasih sayang (kalian), padahal sesungguhnya mereka telah
ingkar kepada kebenaran yang datang kepada kalian” (QS. Al-Mumtahanah: 1).
Adapun seorang muslim yang berinteraksi dengan mereka, dengan sikap lembut
dan halus karena menginginkan keislaman dan keimanan mereka, maka hal ini
diperbolehkan.
Sebab, sikap ini termasuk jenis perlakuan halus (ta`liif) terhadap mereka agar
mereka mau masuk Islam.
Akan tetapi, jika ia putus asa terhadap mereka, maka sikapilah mereka dengan
sikap yang layak bagi mereka (sesuai dengan perbuatannya, pent.).
Dan hal ini telah disebutkan secara terperinci dalam kitab-kitab ulama, terlebih lagi
kitab “Ahkam Ahlidz Dzimmah” karya Ibnul Qoyyim rahimahullah.
5. Hukum ikut serta bersama dengan non muslim di dalam merayakan hari raya
mereka
Beliau menjawab:
“ (Hukum) ikut serta bersama dengan non muslim di dalam (merayakan) hari raya
mereka adalah haram, karena mengandung tindakan menolong (mereka) dalam
dosa dan pelanggaran, padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
ْ ْ ْ ْ َ ُ َ َ ْ َّ ْ َ ُ َ
َوت َع َاونوا َعَل ال ِ ري َوالتق َو ٰى ۖ َوال ت َع َاونوا َعَل ِاإلث ِم َوال ُعد َو ِان
Beliau menjawab:
Kami nasehatkan kepada saudara (penanya) ini, yang ia bekerja bersama dengan
orang-orang kafir, agar mencari pekerjaan yang tidak terdapat di dalamnya musuh-
musuh Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) diantara orang-orang yang beragama selain
Islam.
Jika memang hal ini mudah (dilakukan), maka (pekerjaan) inilah yang selayaknya
(dicari).
Namun, jika tidak mudah (dilakukannya), maka tidak mengapa (seorang muslim
bekerja bersama dengan orang-orang kafir), karena ia (bertanggungjawab & sibuk
dengan) pekerjaannya sendiri, sedangkan mereka (bertanggungjawab & sibuk
dengan) pekerjaan mereka sendiri (pula), namun dengan syarat tidak boleh ada
dalam hatinya kasih sayang, cinta dan loyalitas (wala`) kepada mereka serta
berpegangteguh dengan Syari’at (Islam) dalam aturan mengucapkan dan
membalas salam kepada mereka dan yang semisalnya. Demikian pula, tidak boleh
mengantarkan dan menghadiri jenazah mereka serta tidak boleh pula menghadiri
(perayaan) hari raya mereka dan tidak boleh mengucapkan selamat hari raya
(kepada mereka).
Fadhilatusy Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin dalam kitab yang sama (fatwa
no.399) ditanya tentang hukum mendatangkan para karyawan non muslim dan
hukum menyajikan makanan untuk mereka?
1. Jika dalam posisi melayani (sebagai pembantu rumah tangga, pent.), seperti
ia melayani mereka di rumah-rumah mereka dan yang semisalnya, maka
tidak selayaknya (hal itu dilakukan), bahkan para ulama Ahli Fiqih
menyatakan makruhnya hal itu.
2. Namun, jika bukan dalam posisi melayani, seperti Anda menyajikan makanan
untuk mereka (sebagai tamu, pent.) di rumah Anda, maka boleh, karena
memang ada kebutuhan untuk (melakukan) hal itu.
Beliau menjawab:
Adapun (hukum) ucapan “Wahai, Saudaraku!” kepada non muslim adalah haram.
Ucapan ini tidak boleh diucapkan kecuali jika non muslim tersebut (benar-benar)
saudaranya, baik (persaudaraan) disebabkan oleh nasab (keturunan) maupun
persusuan.
Karena jika bukan saudara senasab dan bukan pula saudara sepersusuan, maka
tinggal satu kemungkinan, (yaitu) saudara seagama. Sedangkan orang kafir
bukanlah saudara seagama (seiman) bagi seorang muslim.
Jika kata tersebut adalah (sekedar) ucapan sambil lalu, dengan maksud
sekedar panggilan bagi orang yang tak diketahui namanya di antara mereka
(non muslim), maka ini diperbolehkan.
َ َ ْ َ ُ َ َ َ ُ ُ َ َ َُ َ ون َم ْن َح َّاد ه
َ ُّ َ ُ ْ ْ َ َ ُ َْ ً ُْ ُ َ ه
اّلل َو َر ُسوله َول ْو كانوا َآبا َءه ْم أ ْو أ ْبن َاءه ْم أ ْو ِإخ َوان ُه ْم أ ْو اّلل َوال َي ْو ِم اآل ِخ ِر يواد
ِ ال ت ِجد قوما يؤ ِمنون ِب
َ
َع ِش ْ َيت ُه ْم
“Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari Akhirat,
saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujaadilah: 22).
Maka (kesimpulannya):
Setiap kata-kata halus yang dimaksudkan untuk saling menyayangi, maka seorang
mukmin tidak boleh menggunakannya ketika berbicara dengan non muslim,
siapapun non muslim tersebut.
Berikut ini penyusun akan ringkaskan fatwa dari Markaz Fatwa di website
Islamweb.net, “Tidak mengapa (menampakkan) wajah ceria, tawa dan canda
dengannya (non muslim) tanpa menampakkan ridha terhadap
agama/kekufurannya. Hukum asalnya adalah boleh, sebagaimana bolehnya
berbicara dan berinteraksi dengannya. Imam Al-Bukhari telah membuat sebuah
bab dalam shahihnya, beliau berkata:
Perkataan “An-Naas” disini mencakup orang muslim dan orang kafir”. Imam Al-
Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Urwah bin Az-Zubair, bahwa
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan kepadanya bahwa seorang laki-laki
meminta izin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliapun bersabda:
العشية
ْ العشية أو بئس أخو
ْ فبئس ابن،ائذنوا له
Al-Bukhari berkata, “Pernah disebutkan dari Abud Dardaa` bahwa beliau berkata:
“Jika canda dan sikap tidak canggungmu kepada mereka, bukan karena cinta
kepada kekafiran mereka dan bukan karena cinta kepada pribadi mereka secara
mutlak, namun karena (ingin) mendakwahi mereka atau untuk basa-basi dalam
berkomunikasi, maka sikap ini tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang tercela dalam
aqidah Bara` (benci) terhadap orang-orang kafir”
10. Bolehkah seorang muslim mengucapkan “Selamat Pagi!” dan “Selamat Datang!”
kepada non muslim?
1. Hadits-hadits (yang ada dalam masalah ini) hanyalah terkait dengan larangan
memulai mengucapkan ucapan “Assalaamu’alaikum” kepada mereka dan
tidak terkait dengan ucapan selamat yang lainnya.
2. Di dalam (memulai) ucapan “Assalaamu’alaikum” (kepada
mereka) terkandung bentuk pemuliaan dan penghormatan yang spesifik bagi
mereka, yang tidak terdapat di dalam ucapan-ucapan selamat yang lainnya.
Ibnul Qoyyim telah menyebutkan makna-makna agung yang terdapat dalam
ucapan “Assalaamu’alaikum”, seperti di dalamnya terdapat salah satu nama
Allah Ta’ala dan syi’ar bagi kaum muslimin yang tersebar diantara mereka
dan do’a keselamatan.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Islam telah mengajarkan toleransi yang indah terhadap orang non muslim, namun
tentu toleransi itu ada batasannya. Kaum mukminin adalah kaum yang
pertengahan, tidak berlebihan namun juga tidak meremehkan. Dalam kehidupan
bermasyarakat, kaum muslim sudah seharusnya mencerminkan akhlak yang mulia.
Demikian makalah yang dapat saya sajikan semoga bermanfaat bagi para pembaca,
terima kasih.
2. Saran
umat muslim harus memiliki akhlak yang mulia kepada sesama muslim maupun
kepada non muslim, dalam lingkungan kehidupan sudah seharusnya saling
menghargai sesama manusia. Sebab sebagai sahabat sesama muslim maupun non
muslim mempunyai kewajiban terhadap saudaranya untuk saling tolong
menolong. Allah SWT berfirman : “Dan tolong menolonglah kamu dalam
kebajikan dan takwa dan jangan saling menolong dalam perbuatan dosa dan
permusuhan”. (Q.S. Al-Maidah. Wallahu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA