Vous êtes sur la page 1sur 20

MAKALAH

ILMU AKHLAK

LIVING AKHLAK KEPADA NON MUSLIM

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah
ilmu akhlak dan tasawuf

DISUSUN OLEH

Lilis Supriatin

NIM : 1171040079

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

FAKULTAS USHULUDDIN

TASAWUF PSIKOTERAPI

2017/2018
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas semua limpahan rahmat dan
karunianya sehingga bisa menyelesaikan tugas penyusunan Makalah Akhlak
Tasawuf dengan judul Akhlak kepada non muslim

Makalah ini telah saya susun dengan maksimal.


Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang akhlak kepada non muslim ini
dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Bandung, 30 oktober 2017

Penyusun

LILIS SUPRIATIN
DAFTAR ISI

LEMBAR
COVER ....................................................................................................................

KATA
PENGANTAR .............................................................................................................ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................11.1.

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................11.2.

B. Rumusan Masalah ……………………………………………………….

C. Tujuan …………………………………………………………………..

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................32.1.

A.

BAB III PENUTUP..............................................................................................73.1.


Kesimpulan.......................................................................................................83.2.
Saran....................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................10
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Akhlak mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam agama Islam. Setiap aspek
ajaran Islam selalu berorientasi pada pembinaan dan pembentukan akhlak. Ibadah
yang disyariatkan Islam bukanlah suatu jenis ritual yang kering dan hanya
mengaitkan manusia kepada satu wujud transendental serta membebaninya
dengan serangkaian ritus agama yang hampa makna. Tetapi, hal itu merupakan
suatu bentuk “exercise” (latihan) untuk mengkondisikan manusia agar hidup dalam
suasana penuh keluhuran budi (akhlak) dalam kondisi apapun.
Misi utama Rasulullah di muka bumi adalah untuk menyempurnakan akhlak, tepat
sekali jawaban Aisyah r.a. atas pertanyaan mengenai akhlak Rasulullah, yaitu:
“Akhlak Nabi Muhammad saw. adalah Alquran”. Jawaban yang ringkas dan sarat
makna ini menunjukkan Alquran telah menyatu dalam diri Nabi dan menjadi
paradigma dalam totalitas perilaku kesehariannya, sehingga Allah memposisikan
Nabi tidak hanya sebagai pembawa risalah langit, tetapi sekaligus sebagai
“uswatun hasanah”
Realitas sosial sebelum “bi’tsah” Nabi telah melahirkan nilai-nilai moral yang sudah
berakar dan tertancap kuat di tengah-tengah masyarakat Arab. Kehadiran misi
Nabi tidak serta merta mengeliminirnya, bahkan dalam batas-batas tertentu, Nabi
mengakomodasi dan menjadikannya sebagai bagian integral ajaran Islam.
Substansi misi suci Nabi terkait erat dengan semangat “rabbaniyah dan insaniyah”
yaitu pola hubungan antara dimensi vertikal (hablum min Allah) dan dimensi
horizontal (hablum min An-Naas). Jika pola hubungan ini cukup kuat dan sejati,
maka akan memancar pelbagai bentuk relasi pergaulan manusia yang berbudi
luhur. Dari semangat rabbaniyyah dan insaniyyah ini. Nabi membangun masyarakat
madani yang bercirikan kuat dan berorientasi kepada nilai-nilai luhur (akhlaq al-
karimah). Oleh karena itu, suatu tatanan masyarakat yang sehat dan berkualitas
akan terwujud bila akhlak menjadi mainstream dan terefleksikan dalam perilaku
keseharian.
Komunikasi merupakan hal penting yang tidak bisa lepas dari seluruh bidang
kehidupan. Tiap orang tentu pernah melakukannya, karena pada hakekatnya
manusia adalah makhluk soaial yang selalu bergantung pada manusia lain.
Sehingga satu-satunya cara dan alat yang digunakan agar tetap bisa saling
berhubungan adalah dengan berkomunikasi satu sama lain. Baik itu melalui
komunikasi sederhana

B. RUMUSAN MASALAH

1) Apa definisi akhlak menurut para ahli ?


2) Bagaimana sikap seorang muslim kepada non muslim ?
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian

Akhlak berasal dari bahasa Arab dari “khuluqun” yang menurut lughat diartikan:
budi pekerti, perangai,tingkah laku atau tabiat.

secara istilah, akhlak adalah sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan
manusia di muka bumi. Sistem nilai yang dimaksud adalah ajaran Islam, dengan al-
Qur‟an dan Sunnah Rasul sebagai sumber nilainya serta ijtihad sebagai metode
berfikir Islami. Pola sikap dan tindakan yang dimaksud mencakup pola-pola
hubungan dengan Allah, sesama manusia (termasuk dirinya sendiri), dan dengan
alam.

Adapun secara terminologi yang dikemukakan oleh ulama akhlak adalahsebagai


berikut:
َ َ َْ َ
‫ال ُق ُه َو َت ْقي ْي ُم ْاأل ْع َم ِال ْاإل ْن َس ْان َّي ِة َع ََل َض ْوء َت ْح ِد ْي ِد ِه ِل ِق ْي َم ِة ُك ٍّل ِم َن ْال َخ ْْي َو َّّ ر‬
‫الش‬ ‫األخ‬
ِ ِ ِ ِ

“Akhlak ialah Munculnya perbuatan manusia atas dasar cahaya batasan manusia
untuk munculnya suatu perkara yang baik dan buruk”.

Pengertian Akhlak Definisi Menurut Para Ahli


Selain definisi diatas ada ulama’ lain yang berpendapat bahwa :
 Ilmu akhlak adalah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk,
antara yang terpuji dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia
lahir dan batin.
 Ilmu akhlak adalah ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian tentang
baik dan buruk, ilmu yang mengajarkan pergaulan manusia dan menyatakan
tujuan mereka yang terakhir dari seluruh usaha dan pekerjaan
mereka. (Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlaqulkarimah Suatu
Pengantar, Bandung, CV. Diponegoro, 1991, hlm. 12.)

Jadi Ilmu Akhlak merupakan ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk,
terpuji dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin.
Dengan lain perkataan, ilmu akhlak adalah,
1. Menjelaskan arti baik dan buruk.
2. Menerangkan apa yang seharusnya dilakukan.
3. Menunjukkan jalan untuk melakukan perbuatan.
4. Menyatakan tujuan di dalam perbuatan. (Barmawie Umary,
Materi akhlak, Solo: Ramadhani, 1993, hlm. 1.)

Jadi ilmu akhlak adalah ilmu yang mempersoalkan baik buruknya amal, dan amal
terdiri dari perkataan, perbuatan atau kombinasi keduanya dari segi lahir dan
batin.

Sedangkan menurut Agus Sudjanto pengertian Akhlak sebagai berikut:

Akhlak ialah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa
yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya menyatakan
tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan
jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat. (Agus Sudjanto, Psikologi
Kepribadian, Jakarta: Bumi Aksara, 1997, hlm. 12.)

Pengertian Akhlak merupakan kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara
hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan, dan kebiasaan yang menyatu, membentuk
suatu kesatuan tindak akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian.
Dari kelakuan itu lahirlah perasaan moral (moralsence), yang terdapat dalam diri
manusia sebagai fitrah, sehingga ia mampu membedakan mana yang baik dan
mana yang jahat, mana yang bermanfaat dan mana yang berguna, mana yang
cantik dan mana yang buruk. (Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga
dan Sekolah, Jakarta: Ruhama, 1995, hlm.11-12.)

2.Akhlak kepada non muslim

Allah Ta’ala memerintahkan Nabi untuk memberikan perlindungan kepada orang


kafir yang meminta perlindungan kepada beliau.
َ َ َّ َ َّ َ َ َ ُ َ ْ ُ ْ َ ُ ‫َ ْ َ َ ٌ ر َ ْ ُ ّْ نَ ْ َ َ َ َ َ َ ْ ُ َ ََّ َ ْ َ َ َ َ َ ه‬
‫اّلل ث َّم أ ْب ِلغه َمأ َمنه ذ ِلك ِبأن ُه ْم ق ْو ٌم ال َي ْعل ُمون‬
ِ ‫شك ْي استجارك فأ ِجره حّت يسمع كالم‬
ِ ِ ‫وِإن أحد من الم‬
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan
kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah,
kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan
mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS: At-Taubah [9]: 6).
Memaparkan ayat tersebut Ibn Katsir menulis bahwa ayat tersebut menjadi acuan
Nabi dalam memperlakukan orang kafir atau musyrik yang ingin mendapatkan
perlindungan, entah statusnya sebagai orang yang ingin bertanya ataupun sebagai
utusan dari orang-orang kafir.
Hal itulah yang dilakukan serombongan kafir Quraisy yang terdiri dari ‘Urwah bin
Mas’ud, Mukriz bin Hafsh, Suhail bin ‘Amr dan lain-lain. Satu persatu dari orang-
orang musyrik itu menghadap Nabi memaparkan permasalahannya, sehingga
mereka mengetahui bagaimana kaum Muslimin mengagungkan Nabi.
“Sebuah pemandangan mengagumkan yang tidak mereka jumpai pada diri raja-
raja di masa itu. Mereka pulang kepada kaumnya dengan membawa berita
tersebut. Peristiwa ini dan peristiwa semisalnya merupakan faktor terbesar
masuknya sebagian besar mereka ke dalam agama Islam,” tulis Ibn Katsir.
Dan, seperti terdorongnya orang kafir masuk Islam tersebut, begitulah yang terjadi
pada kategori pertama dan kedua dalam bahasan akhlak Nabi terhadap orang kafir.
Akhlak Nabi adalah dakwah sejati, yang penerapannya bisa menggugah hati
mendapat hidayah Ilahi.
Nabi bersabda, “Tiada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang
mukmin pada hari Kiamat melebihi akhlak baik. Sesungguhnya, Allah membenci
perkataan keji lagi jorok.” (HR. Tirmidzi).
Adapun menurut ibnu arabi ”berhati-hatilah engkau jangan sampai berdebat
dalam suatu perkara agama, sebab engkau tidak luput dari salah satu antara enkau
benar atau salah”

3.Sikap kepada non muslim

1. Kaidah dalam menerima hadiah dari non muslim

Dalam keadaan tertentu, tertuntut kita untuk menolak hadiah non muslim,
sebagaimana Fatwa Syaikh Muhammad Al Imam hafizhahullah berikut ini:

“…para ulama memberikan kaidah dalam menerima hadiah dari orang kafir.
Demikian juga halnya hadiah dari ahli maksiat dan orang yang menyimpang.

Yaitu, jika hadiah tersebut tidak berpotensi membahayakan bagi si penerima, dari
segi Syar’i (agama), maka boleh. Namun jika hadiah itu diberikan tujuannya agar si
penerima tidak mengatakan kebenaran, atau agar tidak melakukan suatu hal yang
merupakan kebenaran, maka hadiah tersebut tidak boleh diterima. Demikian juga
jika hadiah itu diberikan dengan tujuan agar masyarakat bisa menerima orang-
orang kafir yang dikenal tipu daya dan makarnya, maka saat itu tidak boleh
menerima hadiah. Intinya, jika dengan menerima hadiah tersebut akan
menimbulkan sesuatu berupa penghinaan atau setidaknya ada tuntutan untuk
menentang suatu bagian dari agama kita, atau membuat kita diam tidak
mengerjakan apa yang diwajibkan oleh Allah, atau membuat kita melakukan yang
diharamkan oleh Allah, maka ketika itu hadiah tersebut tidak boleh diterima”.

Dan berikut ini syarat-syarat menerima hadiah dari non muslim.


Fatwa Syaikh Muhammad Shaleh Al-Munajjid rahimahullah :

“Kesimpulannya adalah, dibolehkan bagi anda menerima hadiah dari tetangga


anda yang Nashrani pada hari Id mereka, dengan syarat;

1. Hadiah tersebut bukan berupa sembelihan yang disembelih karena hari raya
mereka.
2. Hadiah tersebut tidak untuk perkara yang menyerupai mereka pada hari
raya mereka, seperti lilin, telor, pelepah dan semacamnya.
3. Hendaknya hal tersebut diiringi dengan penjelasan tentang aqidah Al-Wala’
wal Bara’ (cinta dan taat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang beriman serta
memutuskan hubungan kepada orang kafir) kepada anak-anak anda, agar
tidak tertanam dalam hati mereka cinta terhadap hari raya mereka atau
hatinya terpaut dengan orang yang memberi.
4. Tujuan menerima hadiah adalah untuk melunakkan hatinya dan
mengajaknya masuk Islam, bukan sekedar basa basi, apalagi mencintai dan
berkasih sayang kepadanya. ”.

2. Kaidah dalam memberi hadiah kepada non muslim

Fatwa Syaikh Muhammad Shaleh Al-Munajjid rahimahullah :

“Dibolehkan bagi seorang muslim untuk memberi hadiah bagi orang kafir dan
musyrik dengan maksud untuk melunakkah hatinya dan menarik minatnya masuk
Islam, khususnya jika dia merupakan kerabat atau tetangga. Umar radhiallahu
anhu memberi hadiah baju kepada saudaranya yang masih musyrik semasa di
Mekah (HR. Bukhari, no. 2619).

Namun jika hadianya merupakan sesuatu yang dimanfaatkan untuk merayakan


Hari Raya mereka, seperti makanan, lilin dan semacamnya, maka hal itu
merupakan perkara yang sangat besar keharamannya, bahkan sebagian ulama
menganggap perbuatan tersebut sebagai kekufuran.

Bahkan tidak boleh bagi seorang muslim memberi hadiah bagi muslim lainnya
karena hari raya tersebut ”.

3. Tidak boleh mencintai dan kasih sayang kepada non muslim.


Fatwa Syaikh Muhammad Shaleh Al-Munajjid rahimahullah :

“Akan tetapi berbuat baik dan bersikap adil, tidak berarti mencintai dan berkasih
sayang, karena mencintai dan berkasih sayang kepada orang kafir tidak dibolehkan,
begitu pula hendaknya tidak menjadikannya sebagai kawan dekat, berdasarkan
firman Allah Ta’ala,
َ َ ْ َ ُ َ َ َ ُ ُ َ َ َُ َ ‫ون َم ْن َح َّاد ه‬
َ ُّ َ ُ ْ ‫َ ُ َْ ً ُْ ُ َ ه‬
‫اّلل َو َر ُسوله َول ْو كانوا َآب َاءه ْم أ ْو أ ْبن َاءه ْم َ أ ْو ِإخ َوان ُه ْم أ ْو‬ ‫اآلخ ِر يو َاد‬ ‫اّلل َوال َي ْو ِم‬ ‫ال تجد قوما يؤمنون ب‬
َ‫ان َوأ َّي َد ُه ْم ب ُروح م ْن ُه َو ُي ْدخ ُل ُه ْم َج َّنات َت ْجري م ْن َت ْحت َها األ ْن َه ُار َخالدين‬
َ َ
ِ
ُ ُُ ِ ‫َ ََُِ ْ ُ َ َِ َ َ َ ِ ن‬
ِِ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ‫ع ِش ْيتهم أول ِئك كتب ف قلوب هم ِاأليم‬
َ ُ ْ ُ ْ ُ ُ ‫َ َ ن َ ه ُ َ ْ ُ ْ َ َ ِ ي ُ َِ ِْ ُ ُ َ َ ْ ُ ه ِ َ ٍ َّ ْ َ ه‬
‫اّلل هم المف ِلحون‬ ِ ‫اّلل أال ِإن ِحزب‬ ِ ‫ض اّلل عنهم ورضوا عنه أول ِئك ِحزب‬ ‫ِفيها ر ِ ي‬
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan
keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang
datang daripada-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam Surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap
mereka, dan merekapun merasa ridho/puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya.
mereka Itulah golongan Allah. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya hizbullah itu
adalah golongan yang beruntung. (QS. Al-Mujadilah: 22)”.

4. Hukum bersikap lembut terhadap non muslim

Fatwa Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah dalam kitab


beliau Majmu’ Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh Al-Utsaimin, tentang Al-Wala` wal
Bara` beliau ditanya: “Fadhilatusy Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin ditanya
tentang : (bagaimana) hukum bergaul dan berinteraksi dengan orang kafir,
dengan sikap lembut dan halus, karena menginginkan keislaman mereka?”

Beliau menjawab:

Tidak diragukan bahwa seorang muslim wajib membenci musuh-musuh Allah dan
berlepas diri dari mereka, karena ini adalah jalan yang ditempuh oleh para Rasul
dan pengikut mereka.

Allah Ta’ala berfirman :


‫ه‬ ُ ْ َ ُ ُ ْ َ َّ َ ْ ُ ْ ُ َ ُ َّ ْ ْ َ ُ َ ْ ُ َ َ َ ‫َ ْ َ َ ْ َ ُ ْ ُ ْ َ ٌ َ َ َ ٌ ن ْ َ َ َ ه‬
‫اّلل‬
ِ ‫ون‬ِ ‫وا ِل ُقو ِم ِه هم ِإنا بر َآء ِمنكم و ِمما تعبدون ِمن‬
‫د‬ ‫قد كانت لكم أسوة حسنة ف إبر ِاهيم وال ِذين معه إذ قال‬
ُ‫َك َف ْ َرنا ب ُك ْم َو َب َدا َب ْي َن َنا َو َب ْي َن ُك ُمِ ي ْال ِ َع َد َاو ُة َو ْال َب ْغ َض ُاء َأ َب ًدا ِ َح ََّ ّٰت ُت ْؤمنوا باّلل َو ْحده‬
ِ ِ ِ ِ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian pada (Nabi) Ibrahim
dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum
mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kalian dari daripada apa yang
kalian sembah selain Allah, kami ingkari (agama) kalian dan telah nyata antara
kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian
beriman kepada Allah saja” (QS. Al-Mumtahanah: 4).

Allah Ta’ala juga berfirman :


َ َ ْ َ ُ َ َ َ ُ ُ َ َ َُ َ ‫ون َم ْن َح َّاد ه‬َ ُّ َ ُ ْ َْْ َ ‫َ َ ُ َ ْ ً ُْ ُ َ ه‬
‫اّلل َو َر ُسوله َول ْو كانوا َآبا َءه ْم أ ْو أ ْبن َاءه ْم أ ْو ِإخ َوان ُه ْم أ ْو‬ ‫اد‬ ‫و‬‫ي‬ ‫ر‬ ‫خ‬ِ ‫اآل‬ ‫اّلل واليوم‬
ِ ‫ال تجد قوما يؤمنون ب‬
ُْ ُ ْ ُ َ َّ َ َ َ َ ِ ْ ُ ِ ُ ُ ‫َ ِ َ َ ُ ْ ُ َ ٰ ِ َ َ َ َِ ن‬
‫وح ِمنه‬
ٍ ‫وب ِهم ِاإليمان وأيدهم ِبر‬ ِ ‫ع ِش ْيتهم ۚ أول ِئك كتب ِ يف قل‬
“(22)Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari Akhirat,
saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan
keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan Wahyu dan
pertolongan yang datang dari-Nya” (QS. Al-Mujaadilah: 22).

Berdasarkan hal ini, maka bagi seorang muslim, tidak boleh terdapat dalam
hatinya rasa cinta dan kasih sayang terhadap musuh-musuh Allah yang -
kenyataannya- mereka adalah musuh-musuh bagi seorang muslim (pula).

Allah Ta’ala berfirman :


ُ َ َ ْ َ َّ ْ َ َ ُ ُْ َ ُ ُ ُ ُ َّ َ َ ُ َ َ ‫َ َ ُّ َ ه‬
‫آمنوا ال تت ِخذوا َعد روي َو َعد َّوك ْم أ ْو ِل َي َاء تلقون ِإل ْي ِه ْم ِبال َم َود ِة َوقد كف ُروا ِب َما َج َاءك ْم ِم َن‬ ‫يا أيها ال ِذين‬
‫ْال َحقر‬

“(1) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan
musuh kalian menjadi teman-teman setia yang kalian (bersegera) menyampaikan
kepada mereka rasa kasih sayang (kalian), padahal sesungguhnya mereka telah
ingkar kepada kebenaran yang datang kepada kalian” (QS. Al-Mumtahanah: 1).

Adapun seorang muslim yang berinteraksi dengan mereka, dengan sikap lembut
dan halus karena menginginkan keislaman dan keimanan mereka, maka hal ini
diperbolehkan.
Sebab, sikap ini termasuk jenis perlakuan halus (ta`liif) terhadap mereka agar
mereka mau masuk Islam.

Akan tetapi, jika ia putus asa terhadap mereka, maka sikapilah mereka dengan
sikap yang layak bagi mereka (sesuai dengan perbuatannya, pent.).

Dan hal ini telah disebutkan secara terperinci dalam kitab-kitab ulama, terlebih lagi
kitab “Ahkam Ahlidz Dzimmah” karya Ibnul Qoyyim rahimahullah.

5. Hukum ikut serta bersama dengan non muslim di dalam merayakan hari raya
mereka

Fadhilatusy Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin ditanya tentang: (bagaimana)


hukum kaum muslimin ikut serta bersama dengan non muslim di dalam
(merayakan) hari raya mereka?

Beliau menjawab:

“ (Hukum) ikut serta bersama dengan non muslim di dalam (merayakan) hari raya
mereka adalah haram, karena mengandung tindakan menolong (mereka) dalam
dosa dan pelanggaran, padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
ْ ْ ْ ْ َ ُ َ َ ْ َّ ْ َ ُ َ
‫َوت َع َاونوا َعَل ال ِ ري َوالتق َو ٰى ۖ َوال ت َع َاونوا َعَل ِاإلث ِم َوال ُعد َو ِان‬

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan


jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al-Maaidah:
2).

Dan karena hari raya-hari raya (non muslim ini),

1. Jika terkait dengan keagamaannya, maka keikutsertaan kaum muslimin di


dalamnya mengandung konsekwensi pengakuan kaum muslimin terhadap
ajaran agama (non muslim) ini dan ridho terhadap kekafiran mereka.
2. Dan jika hari raya-hari raya tersebut terkait dengan perkara di luar
keagamaannya (hanya adat non muslim, pent.), maka seandainya hari raya-
hari raya tersebut (diselenggarakan) di tengah-tengah kaum muslimin saja,
hal itu tidak (boleh) dilakukan (karena hari raya non muslim, pent.), maka
bagaimana mungkin (boleh dirayakan), sedangkan hari raya-hari raya
tersebut (diselenggarakan) di tengah-tengah orang-orang kafir?
Oleh karena itu, ulama menyatakan bahwa kaum muslimin tidak boleh untuk ikut
serta bersama dengan non muslimin di dalam (merayakan) hari raya mereka,
karena hal itu berarti mengakui dan ridho terhadap agama batil tersebut dan juga
berarti menolong (mereka) dalam dosa dan pelanggaran…..”.

6. Hukum profesi yang mengharuskan bekerja bersama dengan orang kafir

Fadhilatusy Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin ditanya tentang hukum seorang


(muslim) bekerja bersama dengan orang kafir, apakah nasehat Anda?

Beliau menjawab:

Kami nasehatkan kepada saudara (penanya) ini, yang ia bekerja bersama dengan
orang-orang kafir, agar mencari pekerjaan yang tidak terdapat di dalamnya musuh-
musuh Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) diantara orang-orang yang beragama selain
Islam.

Jika memang hal ini mudah (dilakukan), maka (pekerjaan) inilah yang selayaknya
(dicari).

Namun, jika tidak mudah (dilakukannya), maka tidak mengapa (seorang muslim
bekerja bersama dengan orang-orang kafir), karena ia (bertanggungjawab & sibuk
dengan) pekerjaannya sendiri, sedangkan mereka (bertanggungjawab & sibuk
dengan) pekerjaan mereka sendiri (pula), namun dengan syarat tidak boleh ada
dalam hatinya kasih sayang, cinta dan loyalitas (wala`) kepada mereka serta
berpegangteguh dengan Syari’at (Islam) dalam aturan mengucapkan dan
membalas salam kepada mereka dan yang semisalnya. Demikian pula, tidak boleh
mengantarkan dan menghadiri jenazah mereka serta tidak boleh pula menghadiri
(perayaan) hari raya mereka dan tidak boleh mengucapkan selamat hari raya
(kepada mereka).

7. Hukum mendatangkan karyawan non muslim

Fadhilatusy Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin dalam kitab yang sama (fatwa
no.399) ditanya tentang hukum mendatangkan para karyawan non muslim dan
hukum menyajikan makanan untuk mereka?

Beliau -semoga Allah membalasnya dengan sebaik-baik balasan- menjawab:


Kaum muslimin lebih baik dari orang-orang kafir, berdasarkan firman Allah Ta’ala :
ُ َ َ ّْ ُ ْ ٌ ْ َ ٌ ْ ُ ٌ ْ َ َ َ
‫ش ٍك َول ْو أ ْع َج َبك ْم‬
ِ ‫ولعبد مؤ ِمن خ ْي ِمن م‬
“(221) Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun
dia menarik hati kalian” (QS. Al-Baqarah: 221).

Namun, tidak mengapa mendatangkan karyawan non muslim, jika memang


dibutuhkan.

Adapun (hukum seorang muslim) menyajikan makanan untuk mereka,

1. Jika dalam posisi melayani (sebagai pembantu rumah tangga, pent.), seperti
ia melayani mereka di rumah-rumah mereka dan yang semisalnya, maka
tidak selayaknya (hal itu dilakukan), bahkan para ulama Ahli Fiqih
menyatakan makruhnya hal itu.
2. Namun, jika bukan dalam posisi melayani, seperti Anda menyajikan makanan
untuk mereka (sebagai tamu, pent.) di rumah Anda, maka boleh, karena
memang ada kebutuhan untuk (melakukan) hal itu.

8. Bolehkah seorang muslim memanggil non muslim “Saudaraku!” atau “Temanku!”

Fadhilatusy Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin ditanya tentang hukum ucapan


“Saudaraku!” kepada non muslim? Demikian pula (hukum) panggilan “Teman dan
kawan” (kepada non muslim)? Dan hukum tertawa ke orang-orang kafir dengan
maksud untuk mendapatkan kasih sayang (mereka)?

Beliau menjawab:

Adapun (hukum) ucapan “Wahai, Saudaraku!” kepada non muslim adalah haram.
Ucapan ini tidak boleh diucapkan kecuali jika non muslim tersebut (benar-benar)
saudaranya, baik (persaudaraan) disebabkan oleh nasab (keturunan) maupun
persusuan.

Karena jika bukan saudara senasab dan bukan pula saudara sepersusuan, maka
tinggal satu kemungkinan, (yaitu) saudara seagama. Sedangkan orang kafir
bukanlah saudara seagama (seiman) bagi seorang muslim.

Dan ingatlah ucapan Nabiyyullah Ta’ala Nuh:


َ‫َر رب إ َّن ْاب نّت م ْن َأ ْهَل َوإ َّن َو ْع َد َك ْال َح ُّق َوَأ ْن َت َأ ْح َك ُم ْال َحاكم ن‬
‫ي‬ ِِْ ِ ‫ِي‬ ِ ‫ِ ِي‬

“Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji


Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya”.
َ ْ َ َ ‫وح إ َّن ُه َل ْي‬ َ ‫َق‬
ُ ‫ال َيا ُن‬
‫س ِم ْن أه ِلك‬ ِ
Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (QS.
Huud: 45-46).

Adapun ucapan “teman dan kawan” atau yang semisal keduanya,

 Jika kata tersebut adalah (sekedar) ucapan sambil lalu, dengan maksud
sekedar panggilan bagi orang yang tak diketahui namanya di antara mereka
(non muslim), maka ini diperbolehkan.

 Namun jika maksudnya adalah untuk berkasih-sayang dan mengakrabi


mereka (non muslim), maka sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman:

َ َ ْ َ ُ َ َ َ ُ ُ َ َ َُ َ ‫ون َم ْن َح َّاد ه‬
َ ُّ َ ُ ْ ْ ‫َ َ ُ َْ ً ُْ ُ َ ه‬
‫اّلل َو َر ُسوله َول ْو كانوا َآبا َءه ْم أ ْو أ ْبن َاءه ْم أ ْو ِإخ َوان ُه ْم أ ْو‬ ‫اّلل َوال َي ْو ِم اآل ِخ ِر يواد‬
ِ ‫ال ت ِجد قوما يؤ ِمنون ِب‬
َ
‫َع ِش ْ َيت ُه ْم‬

“Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari Akhirat,
saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujaadilah: 22).

Maka (kesimpulannya):

Setiap kata-kata halus yang dimaksudkan untuk saling menyayangi, maka seorang
mukmin tidak boleh menggunakannya ketika berbicara dengan non muslim,
siapapun non muslim tersebut.

Demikian pula masalah tertawa ke mereka dengan maksud saling berkasih-sayang


antara kita dengan mereka, maka tidak boleh, sebagaimana diketahui dari ayat
yang mulia tersebut di atas.
9. Bolehkah seorang muslim menampakkan wajah ceria dan tertawa kepada non
muslim?

Berikut ini penyusun akan ringkaskan fatwa dari Markaz Fatwa di website
Islamweb.net, “Tidak mengapa (menampakkan) wajah ceria, tawa dan canda
dengannya (non muslim) tanpa menampakkan ridha terhadap
agama/kekufurannya. Hukum asalnya adalah boleh, sebagaimana bolehnya
berbicara dan berinteraksi dengannya. Imam Al-Bukhari telah membuat sebuah
bab dalam shahihnya, beliau berkata:

‫باب االنبساط إىل الناس‬

Bab: “Bersikap manis kepada manusia”.

Perkataan “An-Naas” disini mencakup orang muslim dan orang kafir”. Imam Al-
Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Urwah bin Az-Zubair, bahwa
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan kepadanya bahwa seorang laki-laki
meminta izin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliapun bersabda:

‫العشية‬
ْ ‫العشية أو بئس أخو‬
ْ ‫ فبئس ابن‬،‫ائذنوا له‬

“Izinkanlah ia, ia adalah seburuk-buruk anak dalam keluarga atau seburuk-buruk


saudara dalam keluarga “.

Namun, ketika ia masuk, beliaupun bermanis kata. Akupun bertanya, “Wahai


Rasulullah, engkau telah mengatakan perkataanmu tadi, kemudian engkau
bermanis kata kepadanya?” Beliau menjawab,
َ
‫ميلة عند هللا من تركه أو َود َعه الناس اتقاء فحشه‬
‫أي عائشة إن ّش الناس ن ن‬

“Wahai ‘Aisyah sesungguhnya manusia paling buruk kedudukannya menurut Allah


ialah orang yang dijauhi atau ditinggalkan oleh orang-orang karena mereka
menghindari kekejiannya.”

Al-Bukhari berkata, “Pernah disebutkan dari Abud Dardaa` bahwa beliau berkata:

‫لنكش ن يف وجوه أقوام ونضحك إليهم وإن قلوبنا تلعنهم‬


ّ ‫إنا‬
“Sesungguhnya kami tersenyum dan tertawa di hadapan sebagian orang,
sedangkan hati kami melaknat mereka!”

Syaikh Sulaiman bin Abdillah Al-Majid rahimahullah pernah ditanya tentang


seorang muslim yang bercanda dengan orang-orang kafir, lalu beliaupun
menjawab:

“Jika canda dan sikap tidak canggungmu kepada mereka, bukan karena cinta
kepada kekafiran mereka dan bukan karena cinta kepada pribadi mereka secara
mutlak, namun karena (ingin) mendakwahi mereka atau untuk basa-basi dalam
berkomunikasi, maka sikap ini tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang tercela dalam
aqidah Bara` (benci) terhadap orang-orang kafir”

10. Bolehkah seorang muslim mengucapkan “Selamat Pagi!” dan “Selamat Datang!”
kepada non muslim?

Markaz Fatwa Islamweb.net, ketika ditanya bolehkah memulai mengucapkan


“Selamat Pagi!” dan “Selamat Datang!” kepada nashara (orang-orang kristen),
menjawab:

“Adapun memulai mengucapkan ucapan selain “Assalaamu’alaikum” kepada


mereka, seperti ucapan “Selamat Pagi!”, “Selamat Datang!” dan ucapan yang
semisalnya kepada mereka (nashara), maka hukum yang nampak (bagi kami)
adalah boleh. Hal ini dikarenakan:

1. Hadits-hadits (yang ada dalam masalah ini) hanyalah terkait dengan larangan
memulai mengucapkan ucapan “Assalaamu’alaikum” kepada mereka dan
tidak terkait dengan ucapan selamat yang lainnya.
2. Di dalam (memulai) ucapan “Assalaamu’alaikum” (kepada
mereka) terkandung bentuk pemuliaan dan penghormatan yang spesifik bagi
mereka, yang tidak terdapat di dalam ucapan-ucapan selamat yang lainnya.
Ibnul Qoyyim telah menyebutkan makna-makna agung yang terdapat dalam
ucapan “Assalaamu’alaikum”, seperti di dalamnya terdapat salah satu nama
Allah Ta’ala dan syi’ar bagi kaum muslimin yang tersebar diantara mereka
dan do’a keselamatan.

Kemudian beliau berkata,


‫ وأال ُيح َّيا بها أعداء القدوس السالم‬،‫لغي أهل اإلسالم‬
ْ ‫فحقيق بتحية هذه شأنها أن تصان عن بذلها‬.

Maka kalimat tahiyyah yang seperti ini keistimewaannya (“Assalaamu’alaikum”,


pent.), sangatlah layak untuk dijaga dari diucapkan kepada non muslim dan (layak
pula) musuh-musuh Al-Qudduus As-Salaam (musuh Allah, pent.) tidak dimuliakan
dengan ucapan tahiyyah (yang istimewa) tersebut ”.

Namun, sikap yang lebih utama adalah meninggalkan memulai mengucapkan


ucapan selamat (tahiyyah) kepada mereka, bagaimanapun juga bentuk
ucapan tahiyyah tersebut, kecuali

1. Jika di dalam memulai mengucapkan ucapan selamat (selain ucapan


“Assalaamu’alaikum”, pent.) kepada mereka tersebut, terdapat maslahat
syar’i, seperti untuk melunakkan hati mereka agar menerima Islam,
2. Atau menjaga (diri) dari kejahatan mereka, dan maslahat-maslahat Syar’i
yang semisalnya.

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Islam telah mengajarkan toleransi yang indah terhadap orang non muslim, namun
tentu toleransi itu ada batasannya. Kaum mukminin adalah kaum yang
pertengahan, tidak berlebihan namun juga tidak meremehkan. Dalam kehidupan
bermasyarakat, kaum muslim sudah seharusnya mencerminkan akhlak yang mulia.
Demikian makalah yang dapat saya sajikan semoga bermanfaat bagi para pembaca,
terima kasih.

2. Saran

umat muslim harus memiliki akhlak yang mulia kepada sesama muslim maupun
kepada non muslim, dalam lingkungan kehidupan sudah seharusnya saling
menghargai sesama manusia. Sebab sebagai sahabat sesama muslim maupun non
muslim mempunyai kewajiban terhadap saudaranya untuk saling tolong
menolong. Allah SWT berfirman : “Dan tolong menolonglah kamu dalam
kebajikan dan takwa dan jangan saling menolong dalam perbuatan dosa dan
permusuhan”. (Q.S. Al-Maidah. Wallahu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA

 (Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlaqulkarimah Suatu Pengantar,


Bandung, CV. Diponegoro, 1991, hlm. 12.)
 (Agus Sudjanto, Psikologi Kepribadian, Jakarta: Bumi Aksara, 1997, hlm. 12.)
 (Barmawie Umary, Materi akhlak, Solo: Ramadhani, 1993, hlm. 1.)
 (Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta:
Ruhama, 1995, hlm.11-12.)
 ( Ibnu ‘Arabi,Wasiat-wasiat Ibnu ‘Arabi,Bandung: Pustaka Hidayah, 1997,
hlm.58.)
 https://yahyaayyash.wordpress.com/2008/05/27/akhlak-terhadap-orang-
non-muslim
 https://muslim.or.id/27110-bagaimana-berinteraksi-dengan-non-muslim-
2.html

Vous aimerez peut-être aussi