Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
Aliran air sangat beragam, dapat mengalir secara beraturan dan juga tidak
beraturan. Salah satu contoh aliran tidak beraturan adalah loncat air.
Loncat air terjadi apabila suatu aliran superkritis berubah menjadi aliran
subkritis dan pada perubahan itu terjadi pembuangan energi.
Permasalahan yang sering dijumpai pada bagian hilir bangunan – bangunan
hidraulik seperti misalkan bendung, bangunan pelimpah dll, adalah permasalahan
gerusan karena pembuangan energi aliran yang terjadi sangat besar. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, para ahli sering menggunakan proses loncat air
untuk tujuan meredam sebagian besar energi yang terjadi. Loncat air juga dapat
digunakan sebagai sarana untuk menaikkan permukaan air di hilir untuk
menyediakan kebutuhan tinggi tekan pengaliran kedalam suatu saluran.
A. Pendahuluan
Salah satu kasus aliran berubah dengan cepat yang paling sering dijumpai
adalah loncat air. Suatu loncat air terjadi apabila aliran superkritis harus berubah
4
ke dalam aliran subkritis. Terdapat suatu kenaikan yang tiba-tiba pada permukaan
air dan kehilangan energi yang besar dalam proses loncat air.
Kedalaman aliran kritis merupakan salah satu parameter yang penting untuk
menganalisa aliran pada saluran terbuka dan sering dipakai sebagai parameter
pada alat ukur debit.
Aliran kritis terjadi apabila :
Bilangan Froude sama dengan satu,
Aliran mempunyai energi spesifik dan gaya spesifik minimum.
Pada aliran subkritik ( Fr<1 ) kecepatan aliran lebih kecil dari pengaruh gravitasi,
pada keadaan ini aliran disebut sebagai mengalir. Sedangkan pada aliran
superkritik ( Fr>1 ) aliran mempunyai kecepatan yang besar dibanding dengan
pengaruh gaya gravitasi..
Penelitian pertama tentang loncat air telah dilakukan oleh Bidone (1818),
sarjana Italia dan masalah tersebut terus menerus mendapat perhatian dari para
peneliti walaupun saat ini sudah lebih 250 tahun dilaksanakan. Hal ini
memberikan gagasan pada Belanger (1828) untuk membedakan antara
kemiringan landai (subkritis) dan curam (superkritis), karena Belanger telah
menemukan bukti bahwa loncat air pada saluran curam seringkali dihasilkan oleh
penghalang pada aliran yang semula seragam. Kemudian banyak sekali dilakukan
penelitian dan hasilnya dikemukakan oleh beberapa penulis.
Pada mulanya teori mengenai loncat air dikembangkan untuk saluran-saluran
horizontal atau yang kemiringannya kecil, sehingga pengaruh berat air terhadap
perilaku loncat air dapat diabaikan, akan tetapi hasil yang diperoleh dapat
diterapkan pada sebagian besar saluran-saluran yang ada dalam masalah
perekayasaan. Untuk saluran yang kemiringannya besar, pengaruh berat air pada
loncatan cukup besar, sehingga harus dimasukkan dalam perhitungan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli hidraulika seperti
Peterka 1963 dan Rajaratnam 1967 ( Henderson, F. M., 1966), loncat air pada
dasar saluran miring dibagi menjadi beberapa tipe yaitu A, B, C, D, E dan F,
seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.1 :
5
6
Gambar 2.1 Loncat air pada dasar saluran miring ( French, R. H., 1986 )
Penjelasan gambar :
Y1 = Kedalaman aliran superkritik sebelum terjadinya loncat air
Y2 = Kedalaman aliran subkritik yang diberikan dengan rumus loncat air
untuk saluran miring
Yt = Kedalaman air di hilir
Lj = Panjang loncat air horizontal
Y2*=Kedalaman aliran sub-kritik yang diberikan dengan rumus loncat air
Y1
1 8Fr1 1
2
saluran horizontal, yaitu Y2 *
2
1. Tipe A yaitu bila awal loncat air terjadi pada pertemuan antara saluran miring
dengan saluran datar dengan Y2 * Yt atau Y2 Yt .
2. Tipe B yaitu bila awal loncat air terjadi pada dasar saluran miring dan akhir
loncat air terjadi pada saluran datar
7
3. Tipe C yaitu bila akhir loncat air yang terjadi pada pertemuan antara saluran
miring dan saluran horizontal
4. Tipe D yait bila awal dan akhir loncat air terjadi pada saluran miring sebelum
pertemuan dengan saluran datar dengan Y2 Yt .
5. Tipe E yaitu bila keseluruhan loncat air terjadi pada saluran miring, tanpa
saluran datar.
6. Tipe F loncat air pada saluran adverse (adverse slope)
Kasus loncat air selama ini banyak diteliti adalah loncat air pada saluan
mendatar dengan tampang melintang berbentuk segi empat. Sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Biro Reklamasi Amerika Serikat (USBR), loncat
air pada dasar saluran yang datar dibedakan menjadi 5 tipe berdasarkan bilangan
Froude yang terjadi dihulu (Fr1) seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.2 :
8
Gambar 2.2 Loncat air pada dasar saluran datar ( Ven, Te. Chow. 1986 )
Pada bilangan Froude antara 1-1.7 perubahan dari aliran superkritis menjadi
aliran subkritis tidak terjadi secara tiba-tiba yang kemudian akan terlihat
deretan gelombang berombak dipermukaan air (undular jump)
Apabila harga Froude menjadi lebih besar daripada 1.7 hingga 2.5 maka
terjadi gulungan ombak pada permukaan loncatan,tetapi permukaan air di hilir
tetap halus dan akan timbul suatu loncatan air yang lemah (weak jump)
Pada harga Froude anatara 2.5-4.5 akan terjadi loncatan berosilasi (oscillating
jump) yang berupa loncat air dengan gelombang dibelakangnya dan kembali
tanpa periode tertentu.
Loncatan yang terbaik dalam peredaman energi adalah loncat air yang terjadi
pada harga Froude antara 4.5-9.0 yang disebut sebagai loncatan tetap (steady
jump) dan tidak menimbulkan gelombang dihilir karena ujung permukaan hilir
akan bergulung dan titik dimana kecepatan semburannya tinggi cenderung
memisahkan diri dari aliran.
Pada saat harga Froude menjadi lebih besar daripada 9 maka akan terjadi
loncatan kuat (strong jump) yang menimbulkan gelombang di hilirnya karena
semburannya yang lebih tinggi akan memisahkan hempasan gelombang
gulung dari permukaan loncatan..
9
B. Kedalaman Konjugasi
1. Loncat air pada saluran empat persegi datar
Hubungan antara kedalaman sebelum loncat air (pre-jump) dan setelah
loncat air (post-jump) yang dinamakan kedalaman berurutan atau kedalaman
konjugasi. Dalam perumusan loncat air, anggapan saluran segi empat
hendaklah horizontal dengan menggunakan persamaan momentum atau gaya
spesifik dengan anggapan sudut kemiringan saluran = 0 dan gaya gesek
sepanjang pengaliran diabaikan ( Kironoto, B.A.,1995).
sedangkan: F m. a
dv
. .vol.
dt
vol
. . . dv
dt
F . Q dv
F Q ( 2V2 1V1 )
Jadi :
. Y1 . A1 . Y2 . A2 . Q ( 2V2 1V1 )
2 2
Q1 Q
1 . Y1 A1 2 . 2 Y2 A2
g A1 g A2
(2-1)
2 Q2 Y2 Y1
Y2 Y1 Y2 Y1
q B2 Y2Y1
Penjabaran menghasilkan:
Y2 1
1 8 Fr1 1
2
(2-2)
Y1 2
2q 2
Y1 Y2 Y1 Y2 (2-3)
g
h h2
KgL j 1 cos , maka Persamaan (2-4) dapat disederhanakan menjadi
2
3
h2
2G 2 1 2 2G 2 0
h
(2-5)
h1 h1
12
Fr1
G
Disini KL j tan (2-6)
cos
h2 h1
U1
Dan Fr1 (2-7)
gh1 cos
(2-10)
V1 = kecepatan aliran
Q = Debit aliran yang terjadi
Untuk menentukan angka Froude yang terjadi pada saluran miring
V1
Fr1 = (2-11)
g .y1
V1 2 V 2 2
Y1 Y2
2g 2g
q 2 1 1
Y1 Y2 2
2
g 2 Y1 2 Y2
Y1 Y2 Y2 Y1 q 2
Y1 Y2 2 2 (2-13)
2 Y1 Y2 g
Dengan menggabungkan Persamaan (2-3) dengan Persamaan (2-4) didapat:
Y1 Y2 Y2 Y1 Y1 Y2 Y1 Y2
E Y1 Y2 2 2
2 Y1 Y2 2
dari penyederhanaan persamaan diatas maka, E menjadi:
Y2 Y1 3
E (2-14)
4 Y1 Y2
2-3, 2-13 dan 2-14. Sehingga efisiensi dapat dinyatakan sebagai berikut
( Rangga Raju, K.G., 1986):
20 Fr 8 Fr 1
3
4 2 2
E 2 8 Fr1 2
1 1
8 Fr 2 Fr
2 2
E1 1 1
(2-15)
c. Tinggi muka air perbedaan antara kedalaman air sebelum dan sesudah
loncat air terjadi yang dinyatakan sebagai berikut:
Y2 1
1 8 Fr1 1
2
(2-16)
Y1 2
(2-17)
dengan:
A = konstanta dengan nilai bervariasi dari 5,0 hingga 6,9.
Y1 = kedalaman aliran sebelum loncat air terjadi.
Y2 = kedalaman aliran sesudah loncat air terjadi.
Data percobaan mengenai loncat air, dapat digambarkan dengan absis
bilangan Froude (Fr) dan ordinatnya berupa perbandingan tak berdimensi
L(Y2-Y1) atau L/Y1. Dalam bentuk persamaan adalah sebagai berikut:
15
dengan:
Lj = panjang loncat air.
Y1= kedalaman aliran sebelum loncat air
Fr1= bilangan Froude sebelum loncat air
dengan so= tangen sudut , diluar kisaran nilai Froude diatas, nilai L1 dari
Persamaan (2-19)
Kedalaman hilir aktual ditandai dengan Yt ( untuk tail water ) diukur
vertikal pada akhir loncat air seperti yang telah didefinisikan pada Gambar 2.6 .
Untuk semua nilai so dan Fr, didekati dengan persamaan :
3
Yt
1.00 11 .20. so 2 (2-20)
Y2
Untuk kasus B. Loncatan air mulai terbentuk pada apron horizontal, dibuat
untuk melampaui kemiringan di hulu dengan suatu peningkatan kedalaman air
di hilir ( tail water Yt ) diatas Y2. Pada titik C kemiringan meningkat tinggi
sampai ketika ratio Yt/Y2 = 1.30.
17
Yt
secara nyata pada elevasi titik C, dimana 1.30 dapat dinyatakan sebagai
Y2
berikut
L2 Yt Y2 1.30
0.82. so 0.78
Y2 so
(2-22)
Dari hasil penelitian Bradley dan Peterka, tersirat panjang loncat air yang
terjadi di dasar saluran miring (L2) dipengaruhi:
1. Kedalaman air dihilir dasar saluran miring (Yt).
2. Nilai Froude sebelum loncat air (Fr1)
3. Kemiringan saluran (so).
Beberapa rumus panjang loncat air baik untuk dasar saluran datar maupun
miring dapat diperlihatkan pada tabel berikut :
D. Formulasi analitik loncat air tipe B pada kaki dasar saluran miring
Penurunan rumus loncat air pada saluran miring dapat diperoleh dengan
berdasarkan persamaan momentum dan kontinuitas, sebagaimana dijelaskan
berikut ini (Suwanto,1991).
Lj
Y1
Yt
P1’ Y1'
‘ P2
P3 gY1'
Y1*
g(Y1*+Y1') l
Y1 Y1
cos Y1 ' (2-23)
Y1 ' cos
Y1 *
tan Y1 * l tan (2-24)
l
(2-25)
dengan:
2
1 1 Y
P1 ' g Y1 2
g 12 (2-26)
2 2 cos
19
1
P2 g Yt 2 (2-27)
2
1 Y Y
P3 g (l tan 1 ) 1 l tan
2 cos cos
1 2Y1
P3 g l tan l tan cos (2-28)
2
Persamaan kontinuitas :
q q q
V1 V2 V1 ' (2-29)
Y1 Yt Y1 '
2
V2
Fr1 1 (2-30)
gY1
2
2 V
Fr2 2 (2-31)
gYt
2
1 Y1 1 2Y 1 q q
g g l tan 1 l tan g Yt 2 = q cos (2-33)
2 cos 2 cos 2 Yt Y1
2
1 Y1 1 2Y1 1 2 Y1 Yt cos
g g l tan l tan g Yt 2
q (2-34)
2 cos 2 cos
2
Y1 Yt
2 3
Jika diambil q 2 Fr1 g Y1 , maka :
2
1 Y1 1 2Y 1
g g l tan 1 l tan g Yt 2
2 cos 2 cos 2
2 3 Y Yt cos
Fr1 g Y1 1 (2-35)
Y1 Yt
20
2
Y1 2Y1 2 Y1 Yt cos
cos l tan cos l tan Yt 2 Fr1 Y1
2 2
(2-36)
Yt
2
Y1 2Y1 2 Y1 Yt cos
cos cos l tan l (tan ) Yt 2 Fr1 Y1
2 2 2 2
(2-37)
Yt
2Y1 tan l Y1
2 2
l2 2 Y1 Y1 Yt cos
(tan ) 2
1 2 Fr1 (2-38)
Yt 2 Yt cos Yt Yt cos Yt 2 Yt
Misalkan:
l
X
Yt
A (tan ) 2
2Y1 tan
B
Yt cos
Y1 2 2
2 Y1 Y1 Yt cos
C 1 2 Fr1 (2-39)
Yt cos Yt 2 Yt
maka : AX 2 BX C 0 sehingga :
B D
X 1, 2
2A
D B 2 4 AC
2
4Y1 (tan ) 2 Y1 2 2
2 Y1 Y1 Yt cos
D 4 tan 2
2
1 2 Fr1
Yt 2 cos 2 Yt cos
2
Yt 2 Yt
2
2 Y Y Yt cos
D 1 2 Fr1 1 1 4 tan (2-40)
Yt Yt
2
2Y tan 2 Y Y Yt cos
1 2 tan 1 2 Fr1 1 2 1
l Yt cos Yt Yt (2-41)
Yt 2 tan
2
21
E. Hipotesa
Panjang loncat air pada dasar saluran miring dipengaruhi oleh variabel-
variabel yang pada kasus penelitian ini hanya ditinjau loncat air tipe A,B,C dan
D saja, yaitu antara lain:
1. Debit aliran yang direncanakan (Q).
2. Kedalaman aliran di dasar saluran miring, sebelum loncat air (Y1).
3. Kedalaman aliran di hilir saluran setelah mengalami loncat air (Yt).
4. Kemiringan dasar saluran (so)
Besarnya debit yang digunakan serta kedalaman aliran di hulu pada dasar
saluran miring akan mempengaruhi angka Froude