Vous êtes sur la page 1sur 36

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom Down merupakan kelainan kromosom autosomal yang paling banyak


terjadi pada manusia. Diperkirakan angka kejadiannya terakhir adalah 1,0-1,2 per
1000 kelahiran hidup, dimana 20 tahun sebelumnya dilaporkan 1,6 per 1000.
Penurunan ini diperkirakan berkaitan dengan menurunnya kelahiran dari wanita yang
berumur. Diperkirakan 20% anak dengan sindrom Down dilahirkan oleh ibu yang
berumur diatas 35 tahun. Sindrom Down dapat terjadi pada semua ras. Dikatakan
bahwa angka kejadiannya pada bangsa kulit putih lebih tinggi daripada kulit hitam,
tetapi perbedaan ini tidak bermakna.1,2
Kelainan dalam jumlah kromosom yang paling sering dijumpai adalah trisomi.
Ini terjadi bila ada 3 gambaran kromosom utama di samping 2 kromosom biasa.
Trisomi biasanya akibat meiosis tidak bersambung (kegagalan pasangan kromosom
untuk memisahkan diri).3
Sindroma Down atau Trisomi 21 adalah sindrom retardasi mental-malformasi
yang paling sering terjadi pada manusia. Kondisi ini dulu dinamakan mongolisme
karena deskripsi wajah oleh Landon Down mirip dengan orang Asia (Mongol).
Kondisi itu sekarang disebut Sindrom Down atau Trisomi 21.
Menurut catatan Indonesia Center for Biodiversity dan Biotechnology (ICBB),
Bogor, di Indonesia terdapat lebih dari 300 ribu anak pengidap down syndrome.
Sedangkan angka kejadian penderita down syndrome di seluruh dunia diperkirakan
mencapai 8 juta jiwa.3
Penderita down syndrome pada umumnya mengalami keterbelakangan
perkembangan fisik dan mental, seperti gangguan dalam koordinasi sensori-motorik,
gangguan dalam kognitif, dan sebagainya yang seringkali menyebabkan mereka
kurang diterima secara sosial, karena perilakunya yang tidak terkoordinasi dengan
baik. Penderita down syndrome mengalami perubahan fisik lebih cepat, terutama
dalam mengalami penuaan. Gejala seperti demensia, alzheimer, kehilangan daya
ingat, penurunan lebih lanjut dalam hal intelek, dan perubahan kepribadian, dapat
berkembang pada usia dini. Penyakit jantung dan leukemia sering menjadi penyebab
kematian anak dengan down syndrome. Namun, hal ini dapat diminimalisir dengan
menggunakan terapi-terapi bagi penderita down syndrome, sehingga mereka juga
dapat berkembang dan menjalani hidup secara lebih optimal. Pada umumnya,
penderita down syndrome selalu tampak gembira, mereka tidak sadar akan cacat yang
dideritanya.4,5
KASUS

Nama : By.Ny.I

Tanggal Lahir : 15 Oktober 2013

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

1. ANAMNESIS

Bayi laki-laki masuk Rumah Sakit Umum Undata Palu pada tanggal 17

Oktober 2013 pukul 00.30 WITA dengan keluhan perut membesar dan tidak

memiliki lubang anus. Bayi lahir di puskesmas lele pada tanggal 15 Oktober 2013

(jam tidak diketahui) melalui Sectio Cesaria atas indikasi letak bokong. APGAR

Score pada waktu bayi lahir 6-8. Warna Air Ketuban putih keruh. Berat badan

lahir 2700 gram. Bayi dirujuk dari RS Ampana karena diketahui tidak memiliki

anus setelah 6 jam lahir. Bayi sudah miksi, tetapi belum BAB selama lahir.

Sebelumnya bayi kuat minum namun sejak perut mulai membesar, bayi menjadi

malas minum. Bayi datang telah terinfus Dextrosa 10%. Riwayat kehamilan ibu

merupakan kehamilan yang kedua, pernah partus sebelumnya dan tidak ada

riwayat abortus. Usia ibu pada saat hamil adalah umur 37 tahun. Tidak ada riwayat

merokok, tidak mengkonsumsi alkohol, dan tidak menggunakan obat-obatan


terlarang. Riwayat penyakit ibu pada saat hamil tidak ada, namun ibu pasien

ternyata jarang memeriksakan kehamilannya.

2. PEMERIKSAAN FISIK

- Tanda Vital

 Denyut Jantung : 146 x/menit

 Respirasi : 82 x/menit

 Suhu Tubuh : 37.70C

 CRT : < 2 detik

- Data Antropometrik

 Berat Badan : 2700 gram

 Panjang Badan : 37 cm

 Lingkar Kepala : 30,5 cm

 Lingkar Lengan Atas : 10 cm

 Lingkar Dada : 31,5 cm

 Lingkar Perut : 35.5 cm

- Sistem pernapasan

 Sianosis : (-)
 Merintih : (-)

 Apnea : (-)

 Retraksi dinding dada : (-)

 Gerakan dinding dada : Simetris

 Cuping Hidung : (-)

 Stridor : (-)

 Bunyi Napas : Bronkovesikular +/+

 Bunyi Tambahan : Ronkhi -/-, Wheezing -/-

DOWNE SCORE

 Frekuensi Napas :1

 Retraksi :0

 Sianosis :0

 Udara masuk :0

 Merintih :0

Total Skor :2

Kesimpulan : Gawat napas ringan

Kriteria gangguan napas WHO: Gangguan napas Ringan.

- Sistem Kardiovaskular

 Bunyi Jantung : Teratur

 Murmur : (+) Spasium Intercostalis II Linea Parasternal Dextra

- Sistem Hematologi
 Pucat : (-)

 Ikterus : Kramer III

- Sistem Gastrointesinal

 Kelainan dinding abdomen : Distensi abdomen, mengkilat, tampak vena

superficial

 Muntah : (+) berkali-kali dan berwarna putih (susu)

 Diare : (-)

 Residu lambung : (-)

 Organomegali : (-)

 Bising Usus : (+) Kesan Menurun

 Umbilikus

 Keluaran : (-)

 Warna kemerahan : (-)

 Edema : (-)

- Sistem Neurologi

 Aktivitas : Lemah

 Kesadaran : Letargi

 Fontanela : Datar

 Sutura : Terbuka

 Refleks Cahaya : +/+

 Kejang : (-)
 Tonus otot : Hipotonik

- Sistem Reproduksi

 Anus Imperforata : (+)

 Hipospadia : (-)

 Hernia : (-)

 Hidrokel : (-)

 Testis : (+) Sudah turun, guratan pada scrotum banyak dan

jelas.

- Pemeriksaan Lain

 Ekstremitas : Akral Hangat, tangan dan kaki pendek melebar,

adanya siniam crease.

 Turgor : Kembali lambat

 Kelainan kongenital: anus imperforata

 Trauma lahir : (-)

BALLARD SCORE

Maturitas Neuromuskular Maturitas Fisik

Sikap tubuh :2 Kulit :3

Persegi jendela :2 Lanugo :4

Recoil Lengan :2 Permukaan Plantar :4

Sudut Poplitea :3 Payudara :3


Tanda Selempang :3 Mata/Telinga :3

Tumit Ke kuping :3 Genitalia :3

Penilaian pertumbuhan bayi


berdasarkan klasifikasi
neonates menurut Battaglia &
Lubchenco (1967)

KB : Kurang Bulan

CB : Cukup Bulan

LB : Lebih Bulan

BMK : Besar masa kehamilan

SMK : Sesuai masa kehamilan

KMK : Kecil masa kehamilan

Total Skor : 35

Estimasi Umur Kehamilan : 38 Minggu

SKOR SEPSIS

Kategori A:

 Gangguan Napas

 Hipertermia

Kategori B
 Letargi/lunglai

 Perut kembung

 malas minum

 muntah

3. RESUME

Bayi laki-laki masuk Rumah Sakit Umum Undata Palu tanggal 17 Oktober

2013 pk.00.30 dengan perut membesar dan tidak memiliki lubang anus. Bayi lahir

pada tanggal 15 Oktober 2013 di Rumah Sakit Ampana melalui section cessaria

atas indikasi letak bokong. Kehamilan cukub bulan. Warna Air Ketuban putih

keruh. Apgar score 6-8. Berat badan lahir 2700 gram, berat badan masuk 2700

gram. Panjang badan lahir 37 cm. Dari pemeriksaan fisik didapatkan ikterus

kramer III, suhu badan 37,70C, wajah tampak mongoloid, jari tangan pendek

melebar, adanya distensi abdomen, anus imperforata (Atresia ani), curiga sepsis

(2A, 4B).

4. DIAGNOSIS

Bayi Aterm (SMK) + Atressia Ani + Down Syndrome + Ikterus Kramer III +

Sepsis Neonatorum
5. TERAPI

 Menjaga kehangatan bayi

 Pencegahan Infeksi

 IVFD Dextrosa 5% 13 tpm

 Injeksi Cefotaxim 150 mg/12 jam/IV

 Injeksi Gentamisin 7mg/12 jam/IV

 Sanmol drops 3 x 0.3 ml

 Dipuasakan

6. ANJURAN PEMERIKSAAN

 Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu (GDS)

 Pemeriksaan Darah Rutin

 Foto Rontgen Wangenstein Reis

 Foto Thorax

 Kultur Darah

 Urinalisis

 Konsul Bedah
FOLLOW UP

Tanggal : 17 Oktober 2013 Pk. 06.00 Wita

S : Bayi Tidur

O :

Keadaan Umum : Sakit Berat

Kulit : Sianosis (-)

Ikterus Kramer IV

Denyut Jantung : 144 x/menit

Respirasi : 50 x/menit

Suhu Tubuh : 36,60C

Berat Badan : 2700

CRT : < 2 detik

Kepala : Normocephal, wajah tampak mongoloid, hidung datar

Sistem Pernapasan

- Merintih : (-)

- Apnea : (-)

- Retraksi : (-)

- Bunyi Pernapasan : Bronkovesikular +/+

- Bunyi Tambahan : Ronkhi -/-, Wheezing -/-

Sistem Kardiovaskular
- Bunyi Jantung I/II : Teratur

- Murmur : (+) Spasium Intercostalis II Linea Parasternal

Dextra

Sistem Neurologis

- Aktivitas : Lemah

- Tonus Otot : Hipotonus

- Kejang : (-)

Sistem Gastrointestinal

- Muntah : (+) Berwarna Putih

- Diare : (-)

- Peristaltik : (+) Kesan Menurun

- Umbilikus : Baik

Sistem Genitalia

Hasil foto wangenstein rice:

- Usus dilatasi berisi udara, distribusi udara pada colon distal tidak
melewati garis pubococcygeus
- Anus Imperforata : (+) Letak tinggi

- Keluaran : (-)

- Testis : (+) Sudah Turun

Pemeriksaan Lain

- Ektremitas : Akral Dingin, jari tangan pendek, siniam

crease
- Turgor : Kembali Lambat

- Lingkar Perut : 36,7 cm

A : Bayi Aterm + Atresia Ani Letak tinggi + Down Syndrome + Ikterus

Krammer IV + sepsis neonatorum

P : Anjuran Pemeriksaan Kultur Darah

IVFD KAEN-1B 13 tpm

Injeksi Cefotaxim 2 x 150 mg IV

Injeksi Gentamisin 7mg/12 jam/IV

Pasien dipuasakan

Pasang NGT

Tanggal : 18 Oktober 2013 Pk. 06.00 Wita

S : Bayi Tidur

O :

Keadaan Umum : Sakit Berat

Kulit : Sianosis (-)

Ikterus Krammer V

Denyut Jantung : 136 x/menit

Respirasi : 79 x/menit

Suhu Tubuh : 36,80C

Berat Badan : 2700

CRT : < 3 detik


Kepala : Normocephal, wajah tampak mongoloid

Sistem Pernapasan

- Merintih : (+)

- Apnea : (-)

- Retraksi : (+)

- Bunyi Pernapasan : Bronkovesikular +/+

- Bunyi Tambahan : Ronkhi -/-, Wheezing -/-

Sistem Kardiovaskular

- Bunyi Jantung I/II : Teratur

- Murmur : (-)

Sistem Neurologis

- Aktivitas : Lemah

- Tonus Otot : Hipotonus

- Kejang : (-)

Sistem Gastrointestinal

- Muntah : (+) Berwarna Kuning Kecoklatan

- Diare : (-)

- Peristaltik : (+) Kesan Menurun

- Umbilikus : Baik

Sistem Genitalia

- Anus Imperforata : (+) Letak Rendah


- Keluaran : (-)

- Testis : (+) Sudah Turun

Pemeriksaan Lain

- Ektremitas : Akral Dingin

- Turgor : Kembali Lambat

- Lingkar Perut : 36,7 cm

A : Bayi Aterm + Atresia Ani Letak tinggi + Down Syndrome + Ikterus

Krammer V + Gangguan napas sedang + Sepsis Neonatorum

P : Anjuran Pemeriksaan Kultur Darah

Pemberian O2 2 Liter melalui nasal canul

IVFD KAEN-1B 13 tpm

Injeksi Cefotaxim 2 x 150 mg IV

Injeksi Gentamisin 7mg/12 jam/IV

Pasien dipuasakan

Pasang NGT

Colostomy
DISKUSI KASUS

Atresia ani merupakan suatu kelainan atau malformasi kongenital tidak

adanya lubang anus atau tidak memiliki anus, termasuk di dalamnya agenesis ani,

agenesis rectum dan atresia rectum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul

sebagai sindroma VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb)

(Fandila 2009).

Atresia ani dapat disebabkan karena terputusnya saluran pencernaan bagian

bawah dengan anus sehingga bayi lahir tanpa lubang anus, gangguan organogenesis

pada masa kehamilan, beberapa diantaranya berkaitan dengan sindrom down. Atresia

ani memiliki etiologi yang multifaktorial salah satunya adalah komponen genetik.

Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi meningkat pada bayi yang

memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran,

dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga

menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani dengan pasien down syndrome

(trisomi 21). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa mutasi gen yang berbeda dapat

menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat multigenik

(Levitt, 2007).

Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan

hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah, esofagus,

lambung sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas. Midgut

membentuk usus halus, sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon asenden sampai
pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut hingga ke membrana

kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm kloaka, dan ektoderm dari proctoderm

atau analpit. Usus terbentuk mulai minggu keempat disebut sebagai primitif gut.

Bagian akhir perkembangan usus bermuara ke dalam kloaka yang merupakan

suatu rongga yang dilapisi endoderm yang berhubungan langsung dengan ektoderm

permukaan. Daerah pertemuan antara endoderm dan ektoderm membentuk membran

kloaka. Pada perkembangan selanjutnya, timbul suatu rigi melintang, yaitu septum

urorektal, pada sudut antara allantois dan usus belakang. Sekat ini tumbuh kearah

kaudal, karena itu membagi kloaka menjadi bagian depan, yaitu sinus uroginetalis

primitif, dan bagian posterior, yaitu kanalis anorektalis. Ketika mudigah berumur 7

minggu, septum urorektal mencapai membran kloaka, dan di daeraah ini terbentuklah

korpus parienalis. Membran kloakalis kemudian terbagi menjadi membran analis di

belakang, dan membran urogenitalis di depan (Sadler T.W, 1997). Sementara itu,

membran analis dikelilingi oleh tonjol-tonjol mesenkim, yang dikenal sebagai celah

anus. Pada minggu ke-9, membran analis koyak, dan terbukalah jalan antara rektum

dan dunia luar. Bagian atas kanalis analis berasal dari endoderm dan diperdarahi

arteri mesentrika inferior. Akan tetapi, sepertiga bagian bawah kanalis analis berasal

dari ektoderm dan ektoderm dibentuk oleh linea pektinata, yang terdapat tepat di

bawah kolumna analis (Sadler T.W, 1997).

Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada

kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya

fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah


dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka

urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses

mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini

biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada

perempuan, 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum

(rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke

prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah fistula

menuju ke uretra (rektouretralis). Pada pasien ini belum dilakukan urinalisis yang

bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya feses dalam urin yang membantu untuk

menunjukkan adanya fistula rektouretralis. Dari tampakan makroskopik urin yang

dikeluarkan oleh pasien tidak mengandung feses, sehingga kemungkinan tidak terjadi

fistula rektouretralis pada pasien ini.

Berdasarkan hasil anamnesis dan follow up yang dilakukan selama pasien

berada di RSUD Undata, pasien mengalami malas minum semenjak lahir, muntah

yang berisi cairan berwarna putih yang dicurigai adalah susu yang sempat diberikan

pada pasien tersebut, sampai muntah yang berwarna kecoklatan yang dicurigai adalah

feses. Pada pemeriksaan abdomen tampak adanya distensi abdomen, permukaan yang

mengkilat dengan lingkar perut 35,7 cm dan meningkat hingga mencapai 38,5 cm,

selain itu tampak lapisan kulit menipis sehingga vena-vena superficial bagian dinding

anterior abdomen menjadi semakin jelas terlihat. Pada pemeriksaan auskultasi

peristaltik usus masih terdengar namun kesan menurun. Pada perkusi didapatkan

bunyi yang memberikan kesan sonor yang menunjukkan terdapat udara dalam rongga
abdomen pasien. Pemeriksaan palpasi tidak menunjukkan adanya pembesaran organ-

organ abdomen. Gejala yang menunjukan terjadinya malformasi anorektal terjadi

dalam waktu 24-48 jam. Gejala itu dapat berupa perut kembung, muntah, tidak bisa

buang air besar, pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat

dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan. Malformasi anorektal sangat bervariasi,

mulai dari anus imperforata letak rendah dimana rectum berada pada lokasi yang

normal tapi terlalu sempit sehingga feses bayi tidak dapat melaluinya, malformasi

anorektal intermedia dimana ujung dari rektum dekat ke uretra dan malformasi

anorektal letak tinggi dimana anus sama sekali tidak ada

Gambaran klinis Pasien

Pada pemeriksaan genitalia tampak adanya anus imperforate, testis sudah

turun dan scrotum berwarna gelap dengan guratan yang banyak dan jelas. Pasien telah

miksi dan tidak tampak adanya feses dalam urin.


.

Klasifikasi yang paling sering digunakan untuk malformasi anorektal adalah

klasifikasi Wingspread yang membagi malformasi anorektal menjadi letak tinggi,

intermedia dan letak rendah. Melbourne membagi berdasarkan garis pubokoksigeus

dan garis yang melewati ischii kelainan disebut:

- Letak tinggi apabila rektum berakhir diatas muskulus levator ani (muskulus

pubokoksigeus).

- Letak intermediea apabila akhiran rektum terletak di muskulus levator ani.

- Letak rendah apabila akhiran rektum berakhir bawah muskulus levator ani.
Gambaran malformasi anorektal pada laki-laki

Perineal Fistula Rectourethral Fistula Bladder-Neck Fistula

Tidak ada Fistula


Gambaran foto rontgen wangenstein reis dan crosstable lateral view on knee
chest position Pasien

Dari gambaran diatas tampak usus dilatasi berisi udara, distribusi udara pada

colon distal tidak melewati garis pubococcygeus. Pada pasien ini, dilakukan

penentuan adanya atresia ani adalah dengan berpatokan kriteria pembagian

berdasarkan garis pubococcygeal. Hasilnya foto rontgen wangenstein reis

menunjukkan bahwa ujung rektum tidak melewati garis pubococcygeal, hal ini

merupakan tanda khas dari atresia ani letak tinggi.

Berdasarkan hasil foto rontgen wangenstein reis dan crosstable lateral view

on knee chest position yang menunjukkan adanya atresia ani letak tinggi maka pihak

instalasi bedah sentral RSUD Undata melakukan tindakan operatif pada pasien ini
yaitu Kolostomi. Dimana hal ini sesuai dengan algoritma penatalaksanaan atresia ani

pada laki-laki yaitu:

Pada pasien ini dilakukan urinalisis melalui pemasangan kateter selama 24

jam pasien, dan tidak didapatkan adanya butir mekonium dalam urin yang

menunjukkan tidak terdapat fistula rectovesica, dan keesokan harinya langsung

dilakukan tindakan operatif. Namun sangat disayangkan pada saat menjalani operasi

keadaan umum dan vital sign pasien memburuk sehingga operasi dihentikan

sementara waktu dan pasien dikelola oleh bagian ICU RSUD undata untuk memantau

kondisi pasien hingga bisa dilakukan operasi kembali. Selama di ICU pasien tidak
menunjukkan tanda-tanda perbaikan hingga akhirnya meninggal dunia sebelum

sempat dilakukan operasi yang kedua. Hal ini mungkin disebabkan karena banyaknya

komplikasi maupun kelainan kongenital yang dialami oleh pasien tersebut sehingga

pasien tidak mampu untuk bertahan hidup.

Selain itu, pada pasien ini kemungkinan mengalami kelainan pada sistem lain

yaitu pada sistem kardiovaskular dimana pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya

bunyi jantung yang tidak regular dan adanya murmur pada spasium intercostalis II

linea parasternal dextra.

Sebagian besar bayi dengan anus imperforata memiliki satu atau lebih

abnormalitas yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50% - 60%.

Makin tinggi letak abnormalitas berhubungan dengan malformasi yang lebih sering.

Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan secara kebetulan, akan tetapi beberapa

diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan kardiovaskuler. Beberapa jenis

kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi anorektal adalah

 Kelainan kardiovaskuler

Ditemukan pada sepertiga pasien dengan anus imperforata. Jenis kelainan yang

paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus,

diikuti oleh tetralogy of fallot dan ventrikular septal defect.

 Kelainan gastrointestinal

Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi

duodenum (1-2%)
 Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis

Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral

seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan

kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele,

dan teratoma intraspinal.

 Kelainan traktus genitourinarius

Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada malformasi

anorektal. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan

malformasi anorektal letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan malformasi

anorektal letak rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri

ataupun muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal,

Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL (Vertebrae,

Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb abnormality).

Pada pasien ini tampak wajah mongoloid, bagian palpebra tertarik ke

atas, hidung datar, dan perawakan pendek, adanya siniam crease.

Gambaran ini merupakan tanda khas dari sindrom Down. Sindrom Down

merupakan kumpulan gejala yang diakibatkan karena lebihnya kromosom

21 yang menyebabkan gangguan sistem tubuh baik fungsi fisiologis maupun

anatomi tubuh. Diperkirakan sekitar 75% kehamilan dengan trisomi 21

tidak akan bertahan.


Sindrom Down banyak dilahirkan oleh ibu berumur tua (resiko tinggi),

ibu-ibu di atas 35 tahun harus waspada akan kemungkinan ini. Angka

kejadian Sindrom Down meningkat jelas pada wanita yang melahirkan

anak setelah berusia 35 tahun ke atas. Sel telur wanita telah dibentuk pada

saat wanita tersebut masih dalam kandungan yang akan dimatangkan satu

per satu setiap bulan pada saat wanita tersebut akil balik. Pada saat wanita

menjadi tua, kondisi sel telur tersebut kadang-kadang menjadi kurang baik

dan pada waktu dibuahi oleh sel telur laki-laki, sel benih ini mengalami

pembelahan yang kurang sempurna. Penyebab timbulnya kelebihan

kromosom 21 bisa pula karena bawaan lahir dari ibu atau bapak yang

mempunyai dua buah kromosom 21, tetapi terletak tidak pada tempat yang

sebenarnya, misalnya salah satu kromosom 21 tersebut menempel pada

kromosom lain sehingga pada waktu pembelahan sel kromosom 21 tersebut

tidak membelah dengan sempurna.

Faktor yang memegang peranan dalam terjadinya kelainan kromosom

adalah:

 Umur ibu : biasanya pada ibu berumur lebih dari 30 tahun, mungkin

karena suatu ketidak seimbangan hormonal. Umur ayah tidak

berpengaruh.

 Kelainan kehamilan
 Kelainan endokrin pada ibu : pada usia tua daopat terjadi infertilitas

relative, kelainan tiroid.

Sekitar 85% bayi dapat hidup sampai umur satu tahun dan 50% dapat

hidup sehingga berusia lebih dari 50 tahun. Penyakit jantung kongenital sering

menjadi faktor yang menentukan usia penderita sindrom Down. Selain itu,

penyakit seperti Atresia Esofagus dengan atau tanpa fistula transesofageal,

Hirschsprung disease, atresia ani dan leukemia akan meningkatkan

mortalitas. Penyakit jantung kongenital sering ditemukan pada penderita

sindrom Down dengan prevelensi 40-50%. Penyakit jantung kongenital yang

sering ditemukan pada sindrom Down antara lain Atrioventricular Septal

Defects (AVD) atau dikenal juga sebagai Endocardial Cushion Defect (43%),

Ventricular Septal Defect (32%), Secundum Atrial Septal Defect (ASD)

(10%), Tetralogy of Fallot (6%), dan Isolated Patent Ductus Arteriosus (4%).

Lesi yang paling sering ditemukan adalah Patent Ductus Arteriosus (16%)

dan Pulmonic Stenosis (9%). Kira - kira 70% dari endocardial cushion defects

adalah terkait dengan sindrom Down. Dari keseluruhan penderita yang

dirawat, kira-kira 30% mempunyai beberapa defek sekaligus pada jantung

mereka. Kelainan pada sistem gastrointestinal pada penderita sindrom Down

yang dapat ditemukan adalah atresia atau stenosis, Hirschsprung disease

(<1%), TE fistula, Meckel divertikulum, anus imperforata dan juga

omphalocele. Penderita sindrom Down mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi


dibandingkan orang normal untuk mendapat infeksi karena mereka

mempunyai respons sistem imun yang rendah.

Terdapat dua tipe uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bayi

sindrom Down. Pertama adalah uji skrining yang terdiri daripada blood test

dan/atau sonogram. Uji kedua adalah uji diagnostik yang dapat memberi hasil

pasti apakah bayi yang dikandung menderita sindrom Down atau tidak. Pada

sonogram, tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah Nuchal Translucency

(NT test). Ujian ini dilakukan pada minggu 11 – 14 kehamilan. Apa yang diuji

adalah jumlah cairan di bawah kulit pada belakang leher janin. Tujuh daripada

sepulah bayi dengan sindrom Down dapat dikenal pasti dengan tehnik ini.

Hasil ujian sonogram akan dibandingkan dengan uji darah. Pada darah ibu

hamil yang disuspek bayinya sindrom Down, apa yang diperhatikan adalah

plasma protein-A dan hormon human chorionic gonadotropin (HCG). Hasil

yang tidak normal menjadi indikasi bahwa mungkin adanya kelainan pada

bayi yang dikandung.

Terdapat beberapa uji diagnostik yang boleh dilakukan untuk

mendeteksi sindrom Down. Amniocentesis dilakukan dengan mengambil

sampel air ketuban yang kemudiannya diuji untuk menganalisa kromosom

janin. Kaedah ini dilakukan pada kehamilan di atas 15 minggu. Risiko

keguguran adalah 1 per 200 kehamilan. Chorionic villus sampling (CVS)

dilakukan dengan mengambil sampel sel dari plasenta. Sampel tersebut akan

diuji untuk melihat kromosom janin. Tehnik ini dilakukan pada kehamilan
minggu kesembilan hingga 14. Resiko keguguran adalah 1 per 100 kehamilan.

Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS) adalah tehnik di mana darah

dari umbilikus diambil dan diuji untuk melihat kromosom janin. Tehnik

dilakukan pada kehamilan diatas 18 minggu. Tes ini dilakukan sekiranya

tehnik lain tidak berhasil memberikan hasil yang jelas. Resiko keguguran

adalah lebih tinggi.

Walaupun berbagai usaha sudah dijalankan untuk mengatasi retardasi

mental pada penderita sindrom Down, masih belum ada yang mampu

mengatasi kondisi ini. Walau demikian usaha pengobatan terhadap kelainan

yang didapat oleh penderita sindrom Down akan dapat memperbaiki kualitas

hidup penderita dan dapat memperpanjang usianya. Beberapa pemeriksaan

secara reguler dapat dilakukan untuk memantau perkembangan tingkat

kesehatan penderita sindrom Down, baik anak ataupun dewasa. Beberapa hal

yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan audiologi, pemeriksaan optalmologi

secara berkala sebagai pencegah keratokonus, opasitas kornea atau katarak.

Untuk kelainan kulit seperti follikulitis, xerosis, dermatitis atopi, dermatitis

seboroik, infeksi jamur, vitiligo dan alopesia perlu dirawat segera. Masalah

kegemukan pada penderita sindrom Down dapat diatasai dengan pengurangan

komsumsi kalori dan meningkatkan aktivitas fisik. Skrining terhadap penyakit

Celiac juga harus dilakukan, yang ditandai dengan kondisi seperti konstipasi,

diare, bloating, tumbuh kembang yang lambat dan penurunan berat badan.

Selain itu, kesulitan untuk menelan makanan harus juga diperhatikan,


dipikirkan kemungkinan terjadi sumbatan pada jalan nafas. Perhatian khusus

harus diberikan terhadap proses operasi dikarenakan tidak stabilnya

atlantoaxial dan masalah yang mungkin terjadi pada sistem respirasi. Selain

itu, jangan lupa untuk melakukan skrining untuk kemungkinan tejadinya

penyakit Hipothiroidism dan Diabetes Mellitus. Jangan dilupakan untuk

memberi perhatian terhadap kebersihan yang berkaitan dengan menstrual,

seksual, kehamilan dan sindrom premenstruasi.

Kelainan neurologis dapat menyebabkan retardasi mental, hipotonia,

kejang dan stroke. Pastikan juga perbaikan kemampuan berkomunikasi dan

terapi bicara diteruskan, dengan memberi perhatian pada aplikasi bahasa

nonverbal dan kecerdasan otak. Bagi pasien sindrom Down, baik anak atau

dewasa harus sentiasa dipantau dan dievaluasi gangguan prilaku, seperti fobia,

ketidakmampuan mengatasi masalah, prilaku streotipik, autisme, masalah

makanan dan lain-lain. Tatalaksana terhadap kondisi mental yang timbul pada

penderita sindrom Down harus dilakukan. Selain dari aspek medis, harus

diperhatikan juga aspek sosial dan pergaulan. Yaitu dengan memberi

perhatian terhadap fase peralihan dari masa anak ke dewasa. Penting untuk

memberi pendidikan dasar juga harus diberikan perhatian seperti dimana anak

itu akan bersekolah dan sebagainya. Hal-hal berkaitan dengan kelangsungan

hidup juga perlu diperhatikan, contohnya bagaimana mereka akan meneruskan

kehidupan dalam komunitas.


Pasien ini juga diduga mengalami sepsis karena terdapat 2 kategori A

dan 4 Kategori B. Penentuan pasien mengalami sepsis neonatorum harus

memenuhi beberapa kriteria berikut:

Kategori A Kategori B

1) Kesulitan bernapas (mis. apnea, napas 1) Tremor


lebih dari 60 kali per menit, retraksi 2) Letargi atau lunglai
dinding dada, grunting pada waktu 3) Mengantuk atau aktivitas berkurang
ekspirasi, sianosis sentral). 4) Iritabel atau rewel
2) Kejang 5) Muntah (menyokong ke arah sepsis)
3) Tidak sadar 6) Perut kembung (menyokong ke
4) Suhu tubuh tidak normal, (tidak arah sepsis)
normal sejak lahir & tidak memberi 7) Tanda tanda mulai muncul sesudah
respons terhadap terapi atau suhu hari ke empat (menyokong ke arah
tidak stabil sesudah pengukuran suhu sepsis)
normal selama tiga kali atau lebih, 8) Air ketuban bercampur mekonium
menyokong ke arah sepsis). 9) Malas minum sebelumnya minum
5) Persalinan di lingkungan yang kurang dengan baik (menyokong ke arah
higienis (menyokong ke arah sepsis). sepsis)
6) Kondisi memburuk secara cepat dan
dramatis (menyokong kearah sepsis) .

Infeksi pada bayi baru lahir dapat terjadi in utero (antenatal), pada
waktu persalinan (intranatal), atau setelah lahir dan selama periode neonatal
(pasca natal). Penyebaran transplasenta merupakan jalan tersering masuknya
mikroorganisme ke dalam tubuh janin. Infeksi yang didapat saat persalinan
terjadi akibat aspirasi cairan amnion yang terinfeksi atau dari cairan vagina,
tinja, urin ibu. Semua infeksi yang terjadi setelah lahir disebabkan oleh
pengaruh lingkungan. Faktor resiko terjadinya sepsis neonatorum adalah:
o Ibu demam sebelum dan sesudah persalinan
o Ketuban pecah dini
o Persalinan dengan tindakan
o Timbul asfiksia pada saat lahir
o BBLR
Riwayat kehamilan ibu dari pasien ini tidak diketahui secara pasti

karena pihak keluarga yang mengantar tidak begitu mengetahui tentang

kehamilan ibu pasien sehingga riwayat antenatal, intranatal dan posnatalnya

pun masih sulit untuk ditelusuri adanya kemungkinan infeksinya. Namun

infeksi yang dialami pasien bisa berasal dari peningkatan pertumbuhan bakteri

dan tidak adanya saluran untuk mengeluarkan bakteri tersebut. Hal tersebut

dapat menimbulkan peluang untuk terjadinya sepsis.

Dari pemeriksaan fisik pasien juga sempat mengalami hipertermia pada

saat masuk Rumah Sakit, ikterus Kramer III pada saat masuk dan berlanjut

menjadi ikterus Kramer IV dan V. Pada sistem pernapasan pasien mengalami

gawat napas ringan yang mungkin disebabkan karena adanya kompresi atau

penekanan pada bagian thorax pasien akibat pembesaran dari bagian abdomen.

Ikterus yang terjadi pada pasien ini kemungkinan merupakan ikterus

fisiologis, karena muncul setelah melewati 24 jam pertama setelah kelahiran.

Selain itu, kemungkinan penyebab ikterusnya adalah karena bayi malas

minum. Bila bayi malas minum maka terjadi peningkatan sirkulasi

enterohepatik yang mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin darah. Pasien

ini mengalami gangguan ekskresi bilirubin, karena sebagian besar bilirubin

dikeluarkan bersama feses melalui saluran pencernaan, namun karena saluran


terhambat bilirubin tidak bisa diekskresikan sebagian besar dan akhirnya

menyebabkan ikterus. Sepsis pada pasien ini juga dapat menyebabkan ikterus

karena sepsis dapat mengakibatkan gangguan terhadap proses ekskresi

bilirubin. Pemeriksaan kadar bilirubin pada pasien ini belum sempat dilakukan

karena kondisi bayi sangat buruk.


Sepsis yang dialami oleh pasien tersebut juga memperburuk keadaan pasien.

Walaupun sebelumnya telah dilakukan tindakan penatalaksanaan sepsis neonatorum

oleh Dokter Spesialis Anak RSUD Undata yaitu dengan :

 Menjaga patensi jalan napas

 Pemberian antibiotik spektrum luas yaitu Antibiotik awal diberikan Ampisilin

dan Gentamisin, bila organisme tidak dapat ditemukan dan bayi tetap

menunjukkan tanda infeksi sesudah 48 jam, Ampisilin diganti dan beri

Sefotaksim disamping tetap beri Gentamisin. Jika ditemukan organisme

penyebab infeksi, digunakan antibiotik sesuai uji kepekaan kuman.

Antibiotika diberikan sampai 7 hari setelah ada perbaikan (dosis lihat tabel).

Pada sepsis dengan meningitis, pemberian antibiotik sesuai pengobatan

meningitis.
 Memasang jalur intravena dan memberi cairan IV dengan dosis rumat serta

pemantauan tensi dan perfusi jaringan untuk mencegah syok.

DAFTAR PUSTAKA

Pusponegoro, S.T., 2000. Sepsis Pada Neonatus (Sepsis Neonatal), Sari Pediatri
Vol.2 No.2, 96-102

Artawija A., 2012. Tehnik Pemeriksaan Radiografi Pada Kasus Atresia Ani. RSUP
Sanglah. Denpasar.

Behrman, dkk. 1996. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 volume 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.

Derbew M. & Marc A.L., 2009. Newborn management of Anorectal Malformation.


Surgery in Africa Monthly Review. Available from
http://www.ptolemy.ca/members/current/Newborn%20Anorectal%20Malformatio
ns/

Faradilla. 2009. Atresia Ani. Chapter II pdf – USU Institutional Respository. Medan.
Available from
http://www.respository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23480/3/Chapter%II.pdf.

Goldstein B., et al. 2005. Definition for Sepsis and Organ Dysfunction in Pediatrics.
International Pediatric Consensus Conference, Pediatric Critical Care. Maryland,
USA.

Nova F., Et al. 2009. Anastesi Pada Tindakan Posterosagital Anorektoplasti Pada
Kasus Malformasi Kongenital. Faculty of Medicine Unversity of Riau. Available
from http://www.FilesofDrsMed.tk.

Wahidiat, Iskandar. 1985 Ilmu Kesehatan Anak . Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Waspodo D., dkk. 2005. Buku Acuan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi
Dasar. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Yuwono R., 1999. Atresia Ani. Chapter II pdf – UNIMUS. Available from
http://www.digilib.unimus.ac.id/download.php?id=4892.

Vous aimerez peut-être aussi