Vous êtes sur la page 1sur 15

Aqidah Islamiyyah

‫بب‬ ‫ب‬ ‫ب بب‬ ‫ب‬ ‫نواليلميؤبملنوُنن لكلل آنمنن‬ ‫ألنُبزنل إبلنييبه بمن رببه‬ ِ‫الرلسوُلل ببناَم‬
‫باَمِلله نونملَئنكته نولكتلبه نولرلسله لن نُنلنفبرلق بنن ي ن‬
‫ي‬ ‫آنمنن‬
‫ب‬
‫الينمصيل‬ ‫ك نربنرنناَمِ نوإبلنيي ن‬
‫ك‬ ‫غليفنرانُن ن‬ ِ‫نوقناَمِلوُاي نبسيعنناَمِ نوأنطنيعنناَم‬ ‫بمن رلسلببه‬ ‫أننحدد‬
"Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula
orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
dan Rasul-Rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membedakan antara seseorang pun dari
Rasul-Rasul-Nya", dan mereka mengatakan, "Kami dengar dan kami taat". Mereka berdoa: "Ampunilah
kami ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali." (QS. Al-Baqarah: 285)

Pembahasan aqidah merupakan pembahasan yang paling penting dibandingkan dengan


berbagai perkara lainnya. Hal ini disebabkan aqidah merupakan asas, kaidah berfikir, tolok ukur suatu
perbuatan, dan standar (acuan) bagi seorang muslim serta masyarakatnya memecahkan berbagai
persoalan (problematika) yang terjadi dalam kehidupannya di dunia. Dengan demikian, aqidah menjadi
landasan bangunan peradaban manusia, dasar berbagai tonggak kehidupan ditegakkan, tempat keluarnya
berbagai aturan dan peraturan kehidupan, norma, dan tata nilai masyarakat. Aqidah pula yang
menentukan cara dan arah pandang, cita-cita, dan tujuan yang dianut oleh para pemeluknya, diyakini
kebenarannya, diperjuangkan, dipertahankan, dan disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia.
Berkaitan dengan hal tersebut, dari hidup Rasulullah SAW. fakta menunjukkan bahwa
Rasulullah SAW bukan hanya membina para shahabatnya dengan aqidah yang kuat, namun juga
membangun masyarakat Islam di Madinah untuk selalu bersandar pada aqidah Islam walaupun ayat-ayat
tasyri’ (hukum) belum seluruhnya diturunkan. Rasulullah SAW. menjadikan syahadat Laa Ilaaha Illallah
sebagai asas bagi segalanya, asas kehidupan muslim, asas yang menghubungkan interaksi sesama muslim,
asas yang mendasari hubungan sesama manusia, asas untuk menyelesaikan berbagai perkara kezaliman,
menyelesaikan perselisihan, asas bagi kekuasaan dan mengatur pemerintahan. Permasalahan ini dapat kita
simak dalam Piagam Madinah antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan Yahudi dimana antara lain
disebutkan:

“...Sesungguhnya apabila terjadi kejadian atau perselisihan di antara mereka yang terlibat dalam
perjanjian ini, serta dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan maka hal itu harus dikembalikan
kepada Allah dan Rasul-Nya...” (Sirah Ibnu Hisyam)

Rasulullah SAW. ketika mewajibkan jihad fii sabilillah kepada kaum muslimin sebagai suatu
cara untuk mempertahankan aqidah Islam dan menyampaikan da’wah Islam, beliau Rasulullah SAW.
selalu melandasi perintah itu dengan aqidah tauhid seraya bersabda:
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa Ilaaha Illallahu,
Muhammad Rasulullah. Apabila mereka telah mengucapkannya, maka darah (nyawa) dan harta benda
mereka terlindung dariku, kecuali karena haknya. Dan Allahlah yang menghisab mereka” (HR. Bukhari,
Muslim, dan Ashhabus Sunan)
Aqidah Islam sebagai asas bagi peraturan dan hukum karena Allah SWT. telah memerintahkan
kaum muslimin untuk merujuk dalam perkara ini terhadap hukum yang diturunkan Allah SWT. dan
Rasul-Nya saja. Allah SWT. berfirman:
ِ‫ت نويلنسلبلموُاي تنيسبليجماَم‬ ‫ب‬ ‫ب‬
‫ت لينبكلموُنك فينماَمِ نشنجنر بنينيننننلهيم لثر لن نبيلدواي بف أننُلفسبهيم نحنرججاَمِ بمراَمِ قن ن‬
‫ضيي ن‬
‫ب‬
‫ك لن ينليؤملنوُنن نح رن‬
‫فنلن نونرب ن‬
“Maka demi Tuhanmu, mereka itu (pada hakikatnya) tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu
(Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa di hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kauberikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa: 65)
Ayat di atas menegaskan kepada kita bahwa keimanan (aqidah) seorang muslim dan
masyarakatnya diukur dari apakah ia bersedia merujuk kepada hukum Allah dan Rasul-Nya ataukah tidak.
Hal ini menegaskan bahwa aturan dan peraturan kehidupan manusia harus merujuk dan hanya lahir
berasal dari aqidah Islam semata.

Pengertian Aqidah dan Aqidah Islamiyyah


Pengertian aqidah secara bahasa (etimologi) dalam bahasa Arab berasal dari dari kata aqada,
ya’qidu, aqidatan. Kata tersebut mengikuti wazan fa’ilatan yang berarti al-habl, al-bai’, al-‘ahd (tali, jual
beli, dan perjanjian) Adapun pengertian secara terminologi (istilah) adalah:

a. Syaikh Taqiyuddin An-Nabhaniy menyatakan aqidah adalah iman. Iman merupakan pembenaran
(keyakinan) yang bersifat pasti (tashdiqu al-jaaziim) yang sesuai dengan kenyataan berdasarkan
dalil”.
b. Mahmud Syaltouth menyatakan bahwa aqidah merupakan cara pandang keyakinan yang harus
diyakini terlebih dahulu sebelum segala perkara yang lainnya dengan suatu keyakinan yang tidak
diliputi keraguan dan tidak dipengaruhi oleh kesamaran yang menyerupainya”
c. Muhammad Husein Abdullah menyatakan aqidah adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam,
manusia, kehidupan, serta hubungan semuanya dengan sebelum kehidupan (Sang Pencipta) dan
setelah kehidupan (Hari Kiamat), serta tentang hubungan semuanya dengan sebelum dan setelah
kehidupan (syari’at dan hisab)

Dengan demikian, maka segala bentuk keyakinan yang tidak berasal dari jalan yang
menghasilkan kepastian atau datang melalui jalan yang pasti tetapi masih mengandung persangkaan
(dzan) di dalam keterangannya sehingga menimbulkan perselisihan para ulama, maka hal seperti itu
tergolong pada keyakinan yang tidak wajib oleh agama untuk meyakininya. Hal ini merupakan garis
pemisah atau pembatas yang tegas antara orang-orang yang beriman dengan yang tidak beriman.
Berdasarkan uraian di atas, Fathi Salim dalam kitab Al-Istidlal Bi Az-Zanni Fi Al-Aqidah
menyatakan bahwa aqidah Islam atau iman agar pembenarannya bersifat pasti harus menunjukkan
keyakinan (Al Ilmu). Sebab yang disebut dengan ‘Ilmu adalah i’tiqad atau keyakinan yang pasti sesuai
dengan kenyataan, sedangkan dzann merupakan i’tiqad (keyakinan) yang kuat tetapi berdasarkan
persangkaan sehingga bermuara pada keyakinan atau bisa sampai pada keraguan (syak).
Sebutan aqidah Islamiyah ditunjukkan pada iman kepada Allah SWT, para malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari kiamat, dan kepada qadla dan qadar, baik buruknya berasal dari Allah
SWT. Namun demikian bukan berarti selain hal ini tidak ada lagi perkara yang wajib diimani, tetapi enam
perkara tersebut merupakan kerangka aqidah Islam. Masih banyak terdapat perkara yang lain yang
termasuk pada bagian aqidah, yaitu iman kepada Al-Maut (ajal), rezeki, tawakkal kepada Allah SWT,
iman dengan pertolongan Allah SWT, iman terhadap sifat-sifat Allah SWT, iman terhadap kema’shuman
para nabi dan Rasul, mu’jizat Al-Qur'an, dan lain-lain. Begitu pula keimanan terhadap adanya surga dan
neraka, yaumul hisab (hari perhitungan), iman terhadap keberadaan jin, setan dan berbagai perkara gaib
lainnya berbentuk kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur'an dan hadits Rasulullah SAW. yang
mutawatir.
Dari hal di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa pembahasan aqidah menyangkut hal-hal
pokok semata dalam urusan ushuluddin, sedangkan perkara yang termasuk aktivitas dan perbuatan
manusia termasuk bagian dalam syariat Islam dan fiqh Islam.
Al-Qur'an memberikan sebutan aqidah dengan menggunakan istilah iman. Syaikh Mahmud
Syaltouth menyatakan bahwa pengertian aqidah sama dengan iman. Kalau Aqidah mempunyai arti
mempercayai sejumlah perkara yang diyakini kebenarannya, yaitu perkara yang bertalian dengan aspek
Ilahiyah (Ketuhanan), Al Nubuwwah (kenabian), Al Ruhaaniyat (keruhanian), dan Al sam’iyyat (berita
tentang akhirat), sedangkan iman mempunyai rukun-rukunnya yang enam (Arkanul Iman) yang juga
harus yakin tentang kebenarannya. Dengan demikian inti pengertian keduanya adalah sama. Adapun
perbedaan keduanya hanya terletak pada istilah dan sebutan. Aqidah merupakan istilah yang digunakan
para ulama ushuluddin sedangkan Al-Qur'an menyebutnya dengan menggunakan kata iman.

Dalil Masalah Keimanan

Aqidah Islam ditetapkan oleh Allah SWT dan kita sebagai manusia wajib mempercayainya
sehingga kita layak disebut sebagai orang yang beriman atau mukmin. Namun bukan berarti keimanan itu
ditanamkan ke dalam diri seseorang secara dogmatis, sebab proses keimanan haruslah disertai dalil-dalil.
Dalil ini adakalanya bersifat aqli atau naqli, tergantung perkara apa yang diimani. Jika sesuatu itu masih
dalam jangkauan panca indera maka dalilnya adalah aqli, tetapi jika sesuatu itu di luar jangkauan panca
indera, wajib disandarkan pada dalil naqli. Dengan demikian dalil aqidah ada dua:

1. Dalil Aqli: dalil yang digunakan untuk membuktikan perkara-perkara yang bisa diindera sebagai jalan
(perantara) untuk mencapai kebenaran yang pasti dari keimanan. Yang meliputi di dalamnya adalah
beriman kepada keberadaan Allah, pembuktian kebenaran Al-Qur'an, dan pembuktian Nabi Muhammad
itu adalah utusan Allah.
2. Dalil Naqli: berita (khabar) pasti (qath’i) yang diberitakan kepada manusia berkaitan dengan perkara-
perkara yang tidak dapat secara langsung dijangkau oleh akal manusia, yaitu mengenai beriman kepada
Malaikat, Hari Akhir, Nabi-nabi dan Rasul-Rasul, Kitab-kitab terdahulu, sifat-sifat Allah, dan tentang
Taqdir. Khabar yang qath’i ini haruslah bersumber pada sesuatu yang pasti yaitu Al-Qur'an dan hadits
mutawatir (hadits qath’i).

Pengambilan dalil untuk perkara aqidah berbeda dengan pengambilan dalil bagi perkara tasyri’
(hukum). Hal ini disebabkan aqidah mensyaratkan dalil yang bersifat pasti, tidak ada keraguan sedikitpun
di dalamnya. Oleh sebab itu, sumber pengambilan dalil bagi masalah aqidah ini harus qath’i (pasti)
sumbernya (qat’i tsubut) dan pasti penunjukkan dalilnya (qath’i dalalah). Sumber yang tergolong pasti
adalah Al Qur-an dan Hadits Rasulullah SAW. yang mutawatir saja.
Muhammad Husain Abdullah menyatakan bahwa hadits mutawatir adalah hadits yang
didasarkan panca indera, diberitakan oleh sejumlah orang yang jumlahnya menurut kebiasaan tidak
mungkin mereka bersepakat (terlebih dahulu) untuk berdusta (dalam pemberitaannya). Hadits mutawatir
seperti ini menunjukkan Al-‘Ilmu (kepastian), yakin, wajib diamalkan, dan barangsiapa mengingkarinya
dikategorikan kafir.
Adapun yang dimaksud qath’i dalalah karena kepastian penunjukkan dalil akan memustahilkan
ijtihad dalam perkara aqidah. Syariat Islam tidak menerima ijtihad seseorang dalam perkara aqidah.
Ijtihad hanya terbatas dalam perkara tasyri’ (hukum) saja. Sebab jika aqidah dijadikan lahan untuk
berijtihad maka bagaimana dengan orang-orang yang hasil ijtihadnya dalam perkara aqidah tersebut
keliru atau salah. Sedangkan kekeliruan atau kesalahan dalam perkara aqidah akan menjerumuskan pada
kekafiran. hal ini karena aqidah Islam merupakan batas antara iman dan kafir.
Dari hal inilah maka penunjukkan dalil dalam masalah aqidah harus qath’i (pasti) bukan dzanni
(persangkaan) yang masih mengandung kemungkinan penafsiran berbeda dan beraneka ragam
pemahaman. Adapun ayat-ayat Al-Qur'an yang mewajibkan hal ini adalah:

‫(نونماَمِ نللم ببه بمين بعيلدم بإن يننتربلعوُنن إبرل الظررن نوإبرن الظررن نل‬27)َ‫إبرن الربذينن نل ينليؤبملنوُنن باَمِيلبخنرةب لنيلنسرموُنن الينمنلئبنكةن تنيسبمينةن ايللنُنثى‬
(28)ِ‫ينليغبن بمنن ايلنبق نشييئجاَم‬
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar
menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan
tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan (dzann), sedangkan persangkaan itu
tidak berfaidah sedikitpun terhadap kebenaran” (QS. Al Najm: 27-28)

Ayat di atas dengan jelas dan gamblang mencela orang-orang yang mengikuti persangkaan dan
dugaan, mencela orang-orang yang mengikuti suatu perkara aqidah tanpa ‘ilmu (kepastian). Celaan dan
teguran ayat-ayat tersebut di atas sekaligus sebagai dalil yang melarang secara tegas untuk tidak
mengikuti persangkaan dan dugaan dalam urusan aqidah. Dalil syara’ menunjukkan kepada kita bahwa
beristidlal (menggunakan dalil) dzanni (terdapat adanya dugaan/keraguan) dalam masalah aqidah
dilarang. Di samping itu, tematik yang disinggung oleh ayat-ayat tersebut di atas seluruhnya menyangkut
aqidah, diantaranya ada yang berhubungan dengan keberadaan Allah SWT, qiamat, malaikat, para Rasul,
janji Allah, penciptaan langit dan bumi, sampai masalah penyaliban Isa Al-Masih.
Hanya saja perlu diingat bahwa penentuan dalil naqli juga ditetapkan dengan jalan aqli. Artinya,
penentuan dalil tersebut dilakukan melalui penyelidikan untuk menentukan mana yang dapat dan mana
yang tidak untuk dijadikan dalil naqli. Sebuah dalil naqli harus bisa dibuktikan terlebih dahulu
kebenarannya secara aqli. Oleh karena itu, semua dalil tentang aqidah pada dasarnya disandarkan pada
metode aqli (aqliyyah).
Sehubungan dengan ini, Imam Syafi’i berkata: “Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi
seorang mukallaf adalah berpikir dan mencari dalil untuk ma’rifat kepada Allah ta’ala. Arti berpikir
adalah melakukan penalaran dan perenungan kalbu dalam kondisi orang yang berpikir tersebut dituntut
untuk ma’rifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai ma’rifat terhadap hal-hal yang
ghaib dari pengamatannya dengan indera, dan ini merupakan suatu keharusan. Hal seperti itu
merupakan suatu kewajiban dalam masalah ushuluddin.” (Fiqh Al-Akbar)

Peranan Akal Dalam Masalah Keimanan


Al-Qur'an melarang seseorang untuk beriman tanpa proses berpikir (taqlid buta). Islam mencela
orang yang beriman karena sebatas mengikuti orang tua atau nenek moyang mereka.

‫نوإبنذا بقينل نلللم اتربعلوُا نماَمِ أننُنزنل اللهل قناَمِلوُاي بنيل نُننتربلع نماَمِ أنلي ن يفيننناَمِ نعلنييبه آبناَمِءنُناَمِ أننولنيوُ نكاَمِنن آبناَمِلؤلهيم لن يننيعبقللوُنن نشييئاَمِج نولن يننيهتنلدونن‬
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang diturunkan Allah’. Mereka berkata: ‘Tidak,
kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek-nenek moyang kami’. (Ataukah
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apapun, dan tidak mendapat petunjuk ?” (QS. Al-Baqarah: 170)

Oleh karena itu, masalah keimanan haruslah dibangun berdasarkan sesuatu yang dipastikan
kebenarannya, tidak menduga-duga yang sifatnya dzanni (tidak pasti). Al-Qur'an telah menghinakan
kaum musyrik karena mereka hanya mengikuti prasangka. Hanya saja perlu kita ingat, bahwa akal
manusia hanya mampu membuktikan sesuatu yang berada di dalam jangkauan akal. Adapun yang di luar
jangkauan akal, harus ada sesuatu sebagai perantara (wasilah) yang merupakan petunjuk atas hal-hal yang
tak bisa dijangkau tadi.
Seperti perkataan seorang Badui (orang awam) tatkala ditanyakan kepadanya: “Dengan apa
engkau mengenal Robbmu?” Jawabnya: “Tahi onta itu menunjukkan adanya onta dan bekas tapak kaki
menunjukkan ada orang yang berjalan”.
Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Qur'an mengajak manusia untuk membuktikan keberadaan
(eksistensi) Allah dengan berpikir melihat alam semesta. Karena keterbatasan akal dalam berpikir, Islam
melarang manusia untuk memikirkan tentang dzat Allah. Sebab manusia mempunyai kecenderungan (bila
ia hanya menduga-duga) menyerupakan Allah dengan suatu makhluk. Berkaitan dengan hal ini Rasullah
SAW bersabda:

“Berpikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu pikirkan tentang Allah, sebab kamu tidak
akan sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya sebenarnya.” (Hadist ini diriwayatkan oleh Abu
Nu’im dalam kitab Al-Hidayah; sifatnya marfu, sanadnya dlaif tetapi isinya shahih)

Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang dzat Allah yang
sebenarnya. Sebagai contoh mengkhayalkan bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara,
bersemayam di atas Arsy-Nya. Sebab, dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur atau dianalisis. Ia tak
dapat dianalogikan (qiyas) pada materi apapun.
Inilah jalan yang ditempuh para sahabat, tabi’in dan ulama salaf, mereka tidak pernah
menakwilkan ayat-ayat yang memang tidak mampu dijangkau oleh akal. Imam Ibn Al-Qayyim berkata:
“Para Sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Padahal mereka adalah umat yang dijamin
sempurna imannya. Tetapi alhamdulillah, mereka tidak pernah terlibat bertentangan dalam menghadapi
asma Allah, perbuatan-perbuatan Allah dan sifat-sifat-Nya. Mereka tidak menakwilkannnya, juga mereka
tidak memalingkan pengertiannya.” (I’laamul Muraaqin)
Ketika Imam Malik ditanya tentang makna ‘persemayaman-Nya (Istiwaa)’ beliau lama tertunduk
bahkan mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Malik mengangkat kepala lalu berkata:
“Persemayaman itu bukan sesuatu yang tidak diketahui. Juga, kaifiyat (caranya) bukanlah hal yang
dapat dipahamkan. Sedangkan mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan hal tersebut adalah
bid’ah.” (Fath Al-Baari)
Di sisi lain, banyak manusia yang mendasarkan keimanannya pada sesuatu hanya berdasarkan
dugaan yang tidak bisa dibuktikan dengan akal sehat. Seperti menyebutkan Tuhan itu tiga, akan terjadi
reinkarnasi setelah kematian, atau menyebut tidak ada hari kebangkitan. Sebagian manusia lagi
mendasarkan keimanannya hanya pada perasaan (wijdan), walaupun itu fitrah di dalam diri manusia, tapi
tanpa didukung dengan pembuktian akal. Bila keimanan hanya berdasarkan perasaan, yang terjadi pada
manusia adalah kecenderungan untuk mengkhayalkan apa yang diimani dan mencari sendiri cara untuk
menyembahnya. Maka muncullah penyembahan berhala, khurafat (cerita bohong), syirik, atau ajaran
kebatinan.
Islam sebagai satu-satunya diin yang kita yakini kebenarannya tentu tidak demikian. Islam
adalah diin yang bisa dibuktikan kebenarannya dengan akal sehat, sesuai dengan fitrah manusia dan
menentramkan hati.
Rukun Iman

Dasar pokok dari aqidah Islam adalah Arkanul Iman, hal ini didasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dari Umar bin Khatab; ketika itu Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW dan
bertanya: “Coba ceritakan apa iman itu? Lalu Rasullah SAW menjawab: Iman itu percaya kepada
adanya Allah, Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari Kiamat dan percaya kepada takdir
baik dan buruknya berasal dari Allah SWT.” (HR. Muslim).

1. Iman kepada Allah


Allah, nama yang mulia ini adalah sebutan bagi Dzat Suci yang kita imani dan kita beramal
karena-Nya, dan kita mengetahui bahwa dari-Nya lah kehidupan kita dan kepada-Nya tempat kita
kembali. Hanya Allah yang patut menerima pujian dan memiliki kebesaran, layak ditakuti dan ditaati
karena tidak ada satu pun makhluk yang dapat menandingi-Nya. Walaupun seluruh umat manusia sejak
mereka diciptakan sampai dunia sepi dan berhenti bergerak karena seluruh manusia sudah punah,
melupakan dan ingkar kepada-Nya, sedikit pun tidaklah akan menodai kemuliaan-Nya dan sebesar dzarah
pun tidak akan mengurangi kekuasaan-Nya, serta tidak seberkas cahaya-Nya yang akan terhalang dan
tidak akan secuil keagungan-Nya pun akan berkurang. Oleh sebab itu, seandainya kita berada pada suatu
masa ketika semua orang bersikap keras kepala memperturutkan hawa nafsunya dan melupakan hari akhir
serta tidak mau tahu terhadap Tuhannya, Hal demikian itu tidak sedikit pun akan merugikan Allah Ta'ala.
Adanya Allah SWT adalah suatu hal yang jelas dapat diketahui manusia dengan fitrahnya, dan bukan
termasuk masalah yang pelik dan bukan pula hasil pemikiran yang berbelit-belit. Pernahkah kita
memikirkan tentang planet-planet yang beredar, yang membelah angkasa raya dan mengikuti garis edar
atau falak tertentu tanpa berkisar ke kanan atau ke kiri dan menetapi kecepatan yang teratur tidak terlalu
kencang dan tidak pula terlalu lambat, kemudian kita lihat ia muncul pada waktu yang telah diperkirakan
dan tidak melanggarnya?
Apabila bola basket dimainkan para pemain, tetapi tidak lama setelah beredar dan berputar-putar
ia selalu jatuh kembali ke bawah, sekarang pikirkan bagaimana bola-bola yang teramat besar ukurannya
yang ada di angkasa, ia tetap beredar dan tidak jatuh-jatuh, terus berputar tak henti-henti. Itu semua tidak
mungkin terjadi tanpa ada kekuasaan yang mengaturnya.

‫(نوالينقنمنر قنرديرنُناَمِهل نمنناَمِبزنل نحرت نعاَمِند نكاَمِليعليرلجوُبن‬38)‫ك تننيقبديلر الينعبزيبز الينعبليبم‬ ‫ب‬ ‫ب‬
‫س نيتبريِ للميستنننقر رلناَمِ نذل ن‬‫نوالرشيم ل‬
(39)‫الينقبدبي‬
(40)‫ك ينيسبنلحوُنن‬ ‫نل الرشمس ينببغيِ نلاَمِ نأن تليدبرنك الينقمر ونل اللريل ساَمِبق النرنهاَمِبر ولكلل بف فننلن د‬
‫يل ن ل ن ن‬ ‫نن ن‬ ‫ن‬ ‫ي ل نن‬
"Dan matahari itu berputar pada kedudukan yang tetap. Demikian ketentuan Tuhan Yang Maha Tangguh
dan Maha Mengetahui! Dan bulan Kami tetapkan tempat-tempatnya hingga ia kembali lancip seperti
mayang tua. Tiadalah mungkin matahari itu mengejar bulan dan tidak pula malam mendahului siang,
dan masing-masing beredar sesuai dengan garis edar tertentu." (QS. Yasin: 38-40)

Seandainya kita perhatikan semua makhluk yang terdapat di alam raya ini, apakah itu batu,
tanah, tumbuh-tumbuhan, kayu, binatang, daratan, lautan, api, udara, dan lain sebagainya, kita akan
menemukan sejumlah bukti yang tidak terhitung untuk meyakinkan keberadaan Allah SWT. Semua
makhluk yang ada di jagat ini adalah saksi keberadaan-Nya, termasuk diri kita sendiri, tubuh kita, sifat-
sifat kita, perubahan yang ada pada diri kita, gerak dan diam kita. Hal ini pun menunjukkan bahwa Dzat
Allah berbeda dengan makhluk-Nya, tidak ada yang pantas untuk disekutukan dengan-Nya. Keimanan
kepada-Nya adalah hal yang paling esensi dalam kehidupan manusia karena sebagai manusia kita amat
sangat membutuhkan-Nya.

‫ت نوالنرلذلر نعن قننيوُدم لر ينليؤبملنوُنن‬


‫ض نونماَمِ تلنيغبن اليناَمِ ل‬
‫قلبل انُظلرواي ماَمِنذا بف الرسماَمِوا ب‬
‫ت نوالنير ب‬ ‫نن‬ ‫ل ن‬
"Katakanlah: 'Amatilah apa yang ada di langit dan di bumi. Betapa banyak ayat-ayat (bukti-bukti) dan
peringatan yang tidak berguna bagi kaum yang tidak beriman" (QS. Yunus 101)
)‫ت ببنيلدق نجبديدد‬
‫(بإن ينشأي ييذبهبلكم ويأي ب‬15)‫أننُتلم اليلفنقراء إبنل اللربه واللره هوُ اليغنبن ايلبميلد‬
‫ن ل ي ي نن‬ ‫ر ن‬ ‫ن ل لن‬ ‫ن‬ ‫ل‬ ‫س‬
‫النراَمِ ل‬ ِ‫يناَمِ أنينرنهاَم‬
‫ب‬ ‫ب‬
(17)‫نعنلىَ اللره نعبزيدز‬ ‫ك‬ ‫ب‬
‫نذل ن‬ ِ‫(نونماَم‬16
"Hai manusia! Kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Mahakaya (tidak
memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu dan
mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu), yang demikian itu sekali-kali tidak sulit
bagi Allah. (QS Fathir: 15-17)

Melukiskan kebesaran-Nya tidak akan pernah ada habis-habisnya dan tidak ada makhluk-Nya
yang sanggup untuk mengurai secara tuntas. Air di seluruh samudera akan kering jika dipakai untuk
menjadi tinta dalam melukiskan kebesaran-Nya begitu pula seluruh daun-daunan di alam semesta akan
habis jika dipakai untuk menjadi kertasnya. Namun, usaha untuk mempertebal keimanan kepada-Nya
tidak pernah layak untuk dihentikan karena kita harus senantiasa menyempurnakan kualitas dan kuantitas
ibadah kita kepada-Nya.

2. Iman kepada para malaikat-Nya


Iman kepada Malaikat berdasarkan dalil naqli sebab akal tidak pernah mampu menjangkau
keberadaan Malaikat. Dalil syara tentang adanya Malaikat berasal dari ayat-ayat Al-Qur'an dan sunnah
Rasul SAW, diantaranya adalah firman Allah SWT:

‫نشبهند اللهل ننُأرهل لن إبلننهن إبلر لهنوُ نوالينملنئبنكةل نوأليولوُاي اليعبيلبم نقآَئبنماَمِج باَمِليبقيسبط لن إبلننهن إبلر لهنوُ الينعبزيلز ايلنبكيلم‬
“Allah telah terangkan bahwasanya tidak ada Illah selain Dia, Yang menegak-kan keadilan dan
disaksikan oleh para malaikat dan ahli-ahli ilmu. Tidak ada Illah selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 18 )

Malaikat adalah makhluk Allah yang paling taat kepada-Nya. Malaikat tidak pernah menentang
kehendak-Nya, senantiasa tunduk, patuh, dan taat kepada-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Keimanan
kepada malaikat ini membuahkan sejumlah hikmah, di antaranya adalah :

a. Mempertebal keyakinan kita pada kekuasaan Allah SWT karena tugas malaikat sangat banyak yang
jauh dari jangkauan manusia, seperti sebagai perantara wahyu dari Allah SWT kepada para utusan-
Nya, pencabut nyawa manusia dan penyebar rizki. Suatu kesalahan besar jika ada anggapan bahwa
malaikat dengan seperangkat tugasnya menjadikan suatu tanda bahwa dalam mengatur alam ini Allah
SWT perlu pembantu. Adanya malaikat bukan mempersempit kekuasaan Allah SWT, tetapi sebagai
bukti kekuasaan-Nya, sebagai bukti bahwa Allah sesuatu kekuasaan apa pun yang sanggup
menandingi kerajaan-Nya.

‫فناَمِليمند بنرا ب‬
‫ت أنيمجرا‬ ‫ل ن‬
“Demi para malaikat yang mengatur urusan alam “ (Q.S. An-Nazi’at: 5 )

‫ب بب ب‬ ‫ب‬
‫ت إبنذا نجاَمِء أننحندلكلم الينميوُ ل‬
‫ت تنننوُفرنيتهل لرلس لنناَمِ نولهيم لن ينلنفبرلطوُنن‬ ‫نولهنوُ الينقاَمِهلر فننيوُنق عبناَمِده نوينليرسلل نعلنييلكم نحنفظنةج نح رن‬
“Sehingga bila datang kematian pada salah seorang diantaramu, lalu utusan-utusan Kami
mewafatkannya, sedangkan para utusan (malaikat kami) itu tidak pernah lengah”
(Q.S. Al-An’am: 61)

‫ض إبرل نمن نشاَمِء اللرهل لثر نُلبفنخ بفيبه أليخنرىَ فنبإنذا لهم قبيناَمِمم نينظللرونن‬ ‫صوُبر فنصعبق من بف الرسماَمِوا ب‬
‫ت نونمن بف ايلنير ب‬ ‫نن‬
‫ب‬
‫نونُلفنخ بف ال ر ن ن ن‬
“(Dan) Ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa saja yang berada di langit dan di bumi kecuali
yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri
menunggu (putusannya masing-masing)” (QS. Az-Zumar: 68)

‫ت الربذيِ لوبكنل بلكيم لثر إبنل نربلكيم تلنيرنجلعوُنن‬


‫ك اليموُ ب‬
‫قليل يننتنننوُفراَمِلكم رملن ل ن ي‬
“Katakanlah: Malaikat Maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu,
kemudian hanya kepada Rabbmu kamu pasti dikembalikan” (QS. As-Sajadah: 11)
‫ب بب ب‬ ‫ب‬
‫ت إبنذا نجاَمِء أننحندلكلم الينميوُ ل‬
‫ت تنننوُفرنيتهل لرلس لنناَمِ نولهيم لن ينلنفبرلطوُنن‬ ‫نولهنوُ الينقاَمِهلر فننيوُنق عبناَمِده نوينليرسلل نعلنييلكم نحنفظنةج نح رن‬
“Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya dan diutus-Nya
kepadamu Malaikat-Malaikat penjaga sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang
diantara kamu, ia diwafatkan oleh Malaikat-Malaikat Kami, dan Malaikat-Malaikat kami itu tidak
melalaikan kewajibannya” (QS. Al-An’am: 61)

ِ‫صوُنن اللرهن نماَم‬ ‫ب ب ب‬ ‫ب‬ ‫ب‬ ‫رب‬


‫يناَمِ أنينرنهاَمِ الذينن آنمنلوُا قلوُا أننُلفنسلكيم نوأنيهليلكيم نُناَمِجرا نولقوُلدنهاَمِ النراَمِ ل‬
‫س نوايلنجاَمِنرةل نعنيليننهاَمِ نمنلئنكةم غنلمظ شندامد نل يننيع ل‬
‫أننمنرلهيم نويننيفنعللوُنن نماَمِ ينليؤنملرونن‬
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri dan keluargamu dari api Jahannam yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu (berhala); penjaganya Malaikat-Malaikat yang kasar, keras dan
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim: 6).

‫ب‬ ‫ب ب ب‬ ‫ب ب‬ ‫ب‬ ‫ب‬


‫ب النراَمِبر إبرل نمنلئنكةج نونماَمِ نجنعيلنناَمِ عردتننلهيم إبرل فيتنننةج لبلرذينن نكنفلروا لينيستننييقنن الرذينن لأوتلوُا اليكتناَمِ ن‬
‫ب نويننيزنداند‬ ‫صنحاَمِ ن‬ ‫نونماَمِ نجنعيلنناَمِ أن ي‬
‫ب‬ ‫بب‬ ‫ب‬ ‫ب‬ ‫ب‬ ‫ب‬ ‫الربذين آمنوُا إبياَمِنُجاَمِ ونل ينرتناَمِ ب‬
‫ب نواليلميؤملنوُنن نوليننلقوُنل الرذينن بف قلنللوُبم رمنر م‬
‫ض نوالينكاَمِفلرونن نماَمِنذا أننراند اللرهل‬ ‫ب الرذينن لأوتلوُا اليكتناَمِ ن‬
‫ن ن ل ن ن ني ن‬
‫ك إبرل لهنوُ نونماَمِ بهنيِ إبرل بذيكنرىَ لبيلبننشبر‬ ‫ب‬
‫ضرل اللرهل نمن يننشاَمِء نويننيهديِ نمن يننشاَمِء نونماَمِ يننيعلنلم لجلنوُند نرب ن‬ ‫كيب‬ ‫ب‬
‫بننذا نمثنجل نكنذل ن ل‬
‫ب‬
“Dan Tidak kami jadikan penjaga Jahannam itu melainkan dari Malaikat. Dan tidaklah Kami
menjadikan bilangan mereka itu melainkan menjadi cobaan bagi orang-orang Kafir, supaya orang-
orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan
supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya
orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang Kafir mengatakan: “Apakah
yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan? Demikianlah, Allah
membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. dan tidak ada yang tahu tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Jahannam
Saqar itu tiada lain melainkan peringatan bagi manusia” (Q.S. Al-Muddatstsir: 31)

‫ب‬ ‫ب‬ ‫ب‬ ‫ب رب‬


‫نونجنع لوُا الينمنلئنكةن الذينن لهيم عبناَمِلد الريحنبن إنُناَمِثجاَمِ أننشهلدوا نخيلنقلهيم نستليكتن ل‬
‫ب نشنهاَمِندتلنلهيم نويليسأنللوُنن‬
“Dan mereka menjadikan Malaikat-Malaikat yang hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah itu
dianggap perempuan. Apa mereka menyaksikan penciptaan Malaikat-Malaikat itu? Kelak pasti
dituliskan (bohongnya) kesaksian mereka dan mereka pasti dimintai pertanggungjawaban”
(QS. Az-Zukhruf: 19)

b. Menambah ketawadluan kita sebagai manusia yang banyak melakukan perbuatan dosa karena
malaikat yang mempunyai kedudukan mulia di sisi Allah SWT saja tidak pernah melanggar perintah-
Nya (apalagi kita yang belum jelas kedudukannya di hadapan Allah SWT).
c. Menambah keyakinan kita terhadap kitab-kitab yang telah diturunkan-Nya kepada para utusan-Nya
melalui perantaraan malaikat. Dengan demikian, tidak ada keraguan dalam diri kita untuk
mengamalkannya.

‫(بذيِ قلنروُةد بعنند بذيِ الينعربش نمبك د‬19)‫بنُإرهل لننقوُلل رلسوُدل نكبردي‬
‫(لمطناَمِدع نثر أنبم د‬20)‫ي‬
(21)‫ي‬ ‫ي‬ ‫ي ن‬
“Sesungguhnya Al-Qur'an itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan yang mulia
(jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah pemilik ‘Arasy,
yang ditaati di sana (alam Malaikat) lagi dipercaya” (QS. At-Takwir 19-21)

d. Memperketat amalan-amalan kita karena keyakinan kita akan adanya 'pengawas' yang ditugaskan
Allah untuk kita (malaikat Raqib dan Atid) sehingga amalan-amalan kita semakin terlindungi dari
hal-hal yang dimurkai-Nya.
(18)‫ب نعبتيمد‬ ‫(ماَمِ ينيلبف ل ب د ب ب ب‬17)‫ي وعبن البشماَمِبل قنبعيمد‬ ‫ب‬ ‫ب‬
‫ظ من قننيوُل إرل لنندييه نرقي م‬ ‫ن ن‬ ‫ن‬ ‫إبيذ يننتننلنرقىَ اليلمتننلنبقيناَمِن نعبن اليينم ب ن ن‬
“Yaitu ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya (Raqib-Atid), seorang duduk di kanan dan
yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di
dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. Qaaf: 17-18)
Dengan keimanan yang utuh terhadap malaikat, seorang muslim akan berhati-hati dalam berbuat,
karena ia yakin sang Malaikat akan senantiasa mencatat amal baik dan buruknya. Selain itu pun akan
lebih berani dan optimis dalam mengarungi kehidupan, khususnya dalam mengemban da’wah, karena ia
yakin selalu “dikawal” oleh tentara Allah yang perkasa, yakni para Malaikat.

3. Iman kepada kitab-kitab-Nya


Seorang Muslim beriman dan yakin kepada segala hal yang diturunkan dan diwahyukan oleh
Allah SWT, berupa kitab dan apa yang difirmankan-Nya kepada beberapa Rasul berupa shuhuf
(lembaran).
Kitab-kitab yang berasal dari firman Allah SWT seluruhnya ada empat macam, yaitu Al-Qur'an
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as. Zabur
yang diturunkan kepada Nabi Daud as. Dan Injil yang diturunkan kepada hamba Allah dan Rasul-Nya,
Nabi Isa as. Sementara itu firman Allah dalam bentuk shuhuf, misalnya adalah apa yang diberikan Allah
kepada Nabi Ibrahim as.
Hal ini menunjukkan adanya kesatuan misi yang diemban oleh para Rasul-Nya dari masa ke
masa, tidak berubah, yaitu tauhidullah. Hal ini pun menunjukkan bahwa Tuhan dari semenjak Nabi Adam
hingga Nabi Muhammad SAW, manusia pertama yang diciptakan hingga manusia akhir yang kelak akan
diciptakan adalah sama, yaitu Allah SWT. Kitab-kitab itu masing-masing diturunkan-Nya untuk
menyempurnakan yang sebelumnya. Tidak ada kesimpangsiuran atau target yang tidak jelas karena yang
menurunkannya adalah Allah SWT, Sang Maha Pengatur yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Di antara kitab tersebut, hanya Al-Qur'an lah yang dipelihara/dijaga keasliannya oleh Allah SWT
dan sekaligus berfungsi sebagai penyempurna dan penghapus Syari’at Nabi dan Rasul sebelumnya. Allah
SWT berfirman:

‫بنُإراَمِ نينلن نُننرزلينناَمِ البذيكنر نوبنُإراَمِ لنهل نلناَمِفبلظوُنن‬


"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an. Dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya. (QS. Al-Hijr: 9)

‫ب نولمنهييبمنجاَمِ نعلنييبه فناَمِيحلكم بنينيننننلهم ببناَمِ أننُنزنل اللهل نولن تننتربيع أنيهنوُاءلهيم‬
‫ي يندييبه بمن اليبكتناَمِ ب‬
‫ن‬ ‫ب باَمِيلنبق لم ن‬
‫صبدقجاَمِ لبنماَمِ بنن ي ن ن‬
‫وأننُزلينناَمِ إبلني ن ب‬
‫ك اليكتناَمِ ن‬ ‫نن ي‬
‫ب‬
‫نعرماَمِ نجاَمِءنك منن ايلنبق‬
“(Dan) Kami telah menurunkan Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelum-nya) dan sebagai standar terhadap Kitab-Kitab
tersebut. Maka putuskanlah perkara mereka menurut (Al-Qur'an) yang diturunkan Allah dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (Al-Qur'an) yang telah datang
kepadamu." (QS. Al-Maidah: 48)

Beriman terhadap kitab Allah mempunyai sandaran yang berasal dari pemahaman dalil aqli dan
naqli. Adapun mengenai penjelasan dalil-dalil tersebut, maka Al-Qur'an adalah kitab yang berbeda dengan
kitab-kitab lainnya. Secara faktual/nyata, Al-Qur'an merupakan suatu kenyataan yang bisa dijangkau
panca indera dan akal, dapat dipikirkan atau dibuktikan kebenarannya.
Tidak demikian halnya dengan kitab samawi lainnya. Kitab tersebut faktanya sudah tidak ada,
sehingga akal sudah tidak mampu membahas dan membuktikan kebenarannya (bahwa kitab itu berasal
dari Allah). Sebab kitab-kitab tersebut tidak mengandung mukjizat yang bisa dijangkau akal manusia
(terutama manusia pada zaman kini). Juga Nabi yang membawanya tidak menjadikannya (Taurat, Zabur,
dan Injil) sebagai bukti tentang kenabiannya. Walaupun demikian, kita wajib meyakini kitab-kitab
tersebut pernah diwahyukan kepada nabi-nabi dan Rasul-Rasul terdahulu, baik yang diberitakan dalam
Al-Qur'an maupun yang tidak diberitakan.
Karena itu, dalil keimanan terhadap kitab-kitab suci selain Al-Qur'an, adalah dalil naqli, yakni
berdasarkan (ditunjukkan) oleh Al-Qur'an dan hadits Rasul yang pasti, seperti firman Allah SWT:

‫يِ أننُ ننزنل بمننن قننيب نلل نونمننن ينيكلف نير بناَمِللبه‬ ‫بب ب ب ر ب‬ ‫بب ب ب ر ب‬ ‫ب ب ب‬ ‫رب‬
‫ينناَمِ أنينرنه ناَمِ ال نذينن آنمنلنوُاي آمنلنوُاي ناَمِلله نونرلسننوُله نواليكتنناَمِب ال نذيِ نُن نرزنل نعلنننىَ نرلسننوُله نواليكتنناَمِب ال نذ ن‬
‫ضلنلجبنبعيجدا‬ ‫ب بب ب بب ب ب‬
‫ضرل ن‬ ‫نونملنئنكته نولكتلبه نولرلسله نوايليننيوُم الخبر فنننقيد ن‬
"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab-
kitab yang Allah telah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah telah turunkan sebelumnya.
Siapa saja yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya dan hari
kiamat, maka sesungguhnya orang-orang tersebut telah sesat sejauh-jauhnya." (QS. An-Nisaa: 136)

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa Al-Qur'an telah diwahyukan Allah SWT kepada Nabi
dan Rasul-Nya, Muhammad SAW, melalui Malaikat Jibril as, adalah berdasarkan pada dalil aqli, yaitu
dengan pembuktian dari segi ketinggian bahasa (Al-Qur'an) dan isi yang dikandungnya. Kedua hal ini
telah menunjukkan suatu mukjizat yang amat menakjubkan dan besar, sekaligus membuktikan bahwa Al-
Qur'an bukan hasil karya seorang manusia.
Bahkan untuk itu, Rasulullah SAW telah menantang kaum Quraisy dan orang-orang Arab untuk
menandingi Al-Qur'an. Sebab, beliau yakin bahwa kitab tersebut adalah sebagai satu-satunya mukjizat
terbesar sekaligus bukti kenabiannya sebagai utusan Allah. Beliau tidak perlu lagi memperhatikan
mukjizat lainnya, walaupun orang-orang Quraisy meminta bukti (mukjizat) selain Al-Qur'an itu. Peristiwa
itu diabadikan di dalam Al-Qur'an:

‫ب‬ ‫وقناَمِلوُا لنوُنل ألنُبزنل علنيبه آياَمِت بمن رببه قلل إبرنناَمِ ايلياَمِ ب ب‬
‫ت عنند اللره نوإبرنناَمِ أننُناَمِ نُنذيمر رمب م‬
‫ي‬ ‫ن ل‬ ‫ي‬ ‫ني ن م‬ ‫ي‬ ‫ن‬
"(Dan) orang-orang Makkah berkata: Mengapa tidak diturunkan kepadanya mukjizat-mukjizat (benda
lainnya) dari Rabb-Nya?". Katakanlah (Hai Muhammad): "Sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu terserah
kepada Allah. Dan sesungguhnya aku ini hanya seorang pemberi peringatan yang nyata"
(QS. Al-Ankaabut: 50)

Ayat ini secara jelas menerangkan bahwa Al-Qur'an adalah mukjizat bagi Rasulullah SAW.
Karena itu, cukuplah sudah Al-Qur'an itu sebagai bukti tentang kenabian dan kebenaran Rasulullah SAW,
baik untuk masa lalu, kini maupun masa yang akan datang.
Setiap orang yang memiliki pengetahuan walaupun sedikit tentang bahasa dan sastra Arab serta
seluk beluknya akan menemukan bahwa Al-Qur'an merupakan bentuk ungkapan bahasa yang istimewa
dan belum pernah ada orang-orang Arab yang mengungkapkan perkataan seperti itu, baik sebelum
turunnya Al-Qur'an maupun sesudahnya.
Kehebatan Al-Qur'an dengan segala aspeknya telah menyebabkan mereka tersungkur
mengakuinya dan bantahan apapun menjadi patah dihadapan tantangan tegasnya. Tantangan tersebut telah
menyebabkan mereka terdorong untuk mencoba berbicara atau membuat seperti Al-Qur'an. Tetapi yang
terjadi, ternyata sungguh mengherankan, untuk meniru apalagi mengubah dalam gaya bahasa Al-Qur'an
pun mereka tidak mampu, padahal mereka adalah orang-orang Arab yang terkenal fasih di bidang sastra
dan berbicara (syair, puisi dan lainnya). Tetapi memang sudah sepatutnya mereka kalah dan mengakui
kebenaran Muhammad SAW, sebagaimana tercantum dalam firman-Nya:

‫ك ولنبكرن الظراَمِلببمي ببآَياَمِ ب‬


‫ت اللبه نيينحلدونن‬ ‫ب‬ ‫قنيد نُننعلنم بنُإره لنيحزنُل ر ب‬
‫ن ن‬ ‫ك الذيِ يننلقوُللوُنن فنإنُنرلهيم لن يلنكبذلبوُنُن ن ن‬
‫ي ل ل ن يل ن‬
"Sesungguhnya Kami tahu bahwa apa yang mereka katakan itu menyedihkanmu, (tetapi janganlah
bersedih) karena mereka itu sebenarnya bukan mendustakanmu, akan tetapi orang-orang yang dzalim itu
telah mengingkari ayat-ayat Allah" (QS. Al-An'aam: 33)

Juga itu tercatat dalam sejarah da’wah Islam tentang bagaimana kekalahan mereka dihadapan
Al-Qur'an. Kekalahan itu telah disepakati oleh ahli sejarah secara meyakinkan, bahwa orang-orang Arab
telah gagal meniru, yaitu mereka tidak mampu menelorkan satu perkataanpun yang senilai dengan Al-
Qur'an, meskipun Al-Qur'an telah menantang mereka. Kenyataan itu diabadikan dan dinyatakan Al-
Qur'an sendiri:

‫ضلهيم بلبننيع د‬
‫ض ظنبهجيا‬ ‫ب بب‬ ‫ب‬ ‫ب‬
‫س نوايلرن نعنلىَ نأن ينأيتلوُاي ببثيبل نهننذا اليلقيرآبن لن ينأيلتوُنن ببثيله نولنيوُ نكاَمِنن بننيع ل‬ ‫ب ب‬ ‫رب ب‬
‫لقل لئن ايجتننمنعت النُ ل‬
“Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur'an ini,
pasti mereka tidak dapat membuat yang serupa, sekalipun seluruh dari mereka membantunya“
(QS. Al -Israa': 88)

Berdasarkan kepastian yang menyakinkan di atas bahwa kaum Quraisy dan bangsa Arab Secara
keseluruhan tidak mampu membuat satu ayat pun yang serupa dengan Al-Qur'an, yakinlah kita bahwa Al-
Qur'an terbukti berasal dari Allah dan merupakan Kalamullah.
Keyakinan dan bukti seperti itu menyebabkan orang-orang tidak bisa sembarangan mengatakan
bahwa Al-Qur'an adalah perkataan Muhammad SAW, walaupun Muhammad SAW adalah orang Arab.
Sebab bila orang Arab sendiri tidak mampu menandingi Al-Qur'an, maka Rasulullah SAW pun sama,
tidak mampu seperti halnya orang Arab yang lain. Lebih daripada itu, bagaimana mungkin Al-Qur'an
diciptakan oleh Muhammad SAW, padahal ia Nabi yang buta huruf (ummi), sedangkan Al-Qur'an
mengandung kabar masa depan dan sains teknologi yang baru diungkapkan pada abad ini? Juga,
bagaimana mungkin ia dikarang oleh Muhammad SAW, sedangkan dia sering menunggu datangnya Al-
Wahyu jika menghadapi persoalan?
Al-Qur'an merupakan mukjizat yang paling besar di antara mukjizat-mukjizat Nabi Muhammad
lainnya dan yang paling ampuh untuk menaklukkan orang-orang yang ingkar terhadap kenabian beliau.
Pernyataan seperti ini kita temukan dalam Al-Qur'an. Al-Qur'an memiliki sajak yang berbeda dengan
syair-syair yang ada, berbeda dengan isi pidato-pidato, ucapan dan karangan yang tertulis manapun.
Di antara hikmah yang dapat diambil dari keimanan kepada kitab-kitab-Nya adalah:
a. Kita semakin yakin bahwa Allah SWT tiada bandingnya, terbukti dengan tidak adanya manusia yang
sanggup membuat kitab yang sebanding dengan kitab-kitab-Nya, baik dari segi struktur kata, gaya
bahasa, maupun keindahan perpaduan katanya (kejelasan makna dan tujuan kalimat).
b. Kita semakin yakin akan Kemahatahuan Allah SWT, karena di dalam kitab-kitab-Nya terdapat
informasi-informasi masa lalu dan masa yang akan datang di samping informasi-informasi yang
aktual hingga akhir zaman.
c. Kita dapat mengetahui kebenaran Rasul-Rasul yang diutus-Nya, melalui informasi/petunjuk yang
diberikan-Nya.
d. Menambah keimanan kita terhadap Keesaan Allah SWT.

4. Iman kepada para utusan-Nya


Iman kepada para utusan-Nya, menunjukkan bahwa semua Rasul yang diutus-Nya adalah
pengemban misi yang sama yaitu tauhidullah yang akan membawa keselamatan bagi umat manusia di
dunia dan akhirat. Di samping itu, menunjukkan terdapat aturan dalam beribadah kepada-Nya karena itu
manusia memerlukan penunjuk jalan yaitu seseorang yang telah diutus-Nya. Para utusan Allah adalah
orang-orang yang terpilih, tidak bisa setiap orang mengklaim dirinya sebagai Rasul dan tidak bisa pula
setiap orang mengangkat orang lain menjadi Rasul. Pengangkatan Rasul adalah hak Allah SWT, bukan
hak manusia. Allah SWT berfirman:

‫وماَمِ أنرسيلنناَمِ بمن قننبلب ن ب‬


‫ك من رلسوُدل نونل نُنب ر‬
…‫ب‬ ‫ي‬ ‫نن ي ن‬
“(Dan) Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasul pun dan tidak pula seorang nabi...”
(QS. Al-Hajj: 52)

Seorang Muslim wajib menyakini semua nabi dan Rasul sebagaimana firman Allah SWT:

ِ‫ب نواليسبناَمِبط نونماَمِ لأوبتن لموُنسىَ نوبعينسىَ نونماَم‬ ‫ب‬ ‫ب‬ ‫ب‬
‫لقوُلوُاي آنمنراَمِ باَمِلله نونماَمِ ألنُبزنل إبنيليننناَمِ نونماَمِ ألنُبزنل إبنل بإبيننراهينم نوإبيسناَمِعينل نوإبيسنحاَمِنق نويننيعلقوُ ن‬
‫ي أننحدد بميننلهيم نونينلن لنهل لميسلبلموُنن‬ ‫ب ب‬
‫لأوبتن النربريوُنن من رببيم لن نُنلنفبرلق بنن ي ن‬
“Katakanlah (kepada orang-orang Mukmin): ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan
kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub dan anak cucunya, dan
apa yang diturunkan kepada Musa dan Isa, serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Rabbnya,
Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”
(QS. Al-Baqarah: 136).

ِ‫ك نونكلرنم اللهل لموُنسىَ تنيكبليجماَم‬


‫صلهيم نعلنيي ن‬
‫صي‬
‫ورسلج قنيد قنصصنناَمِهم علني ن ب‬
‫ك من قننيبلل نولرلسلج رلي نُننيق ل‬ ‫ن ي لي ني‬ ‫نل ل‬
“(Dan) sesungguhnya telah Kami utus beberapa Rasul sebelum kamu. Di antara mereka ada yang Kami
ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak kami ceritakan kepadamu”
(QS. An Nisaa: 164)

Semua nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad SAW diutus Allah untuk suatu bangsa tertentu
(baik satu atau beberapa generasi dari suatu bangsa) dan untuk suatu periode tertentu. Daerah atau
wilayah da’wah dari seorang nabi serta masa berlaku syariatnya pun terbatas sampai datangnya Rasul
penggantinya. Semua nabi dan Rasul, risalah da’wah mereka terbatas dan bersifat lokal, kecuali risalah
da’wah Nabi Muhammad SAW yang bersifat universal. Tentang keuniversalan risalah Nabi Muhammad
SAW, Allah SWT telah menegaskan sendiri dalam Al-Qur'an pada beberapa ayat dan surat, antara lain:

‫نونماَمِ أنيرنسيلنناَمِنك إبرل نكاَمِفرةج بللنراَمِبس بنبشجيا نونُنبذيجرا نولنبكرن أنيكثنننر النراَمِبس نل يننيعلنلموُنن‬
“(Dan) Kami tidak mengutus melainkan bagi ummat manusia seluruhnya,sebagai pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan. Tetapi kebanyakan manusia tidak (mau) mengetahui.” (QS. Saba: 28)

Awal dari para nabi adalah Adam a.s. dan akhir para nabi adalah Muhammad SAW. Kenabian
Adam a.s. diperjelas oleh Allah dalam firman-Nya:

‫جيعاَمِج فنبإرماَمِ ينأيبتينننرلكم بمبن لهجدىَ فننمن‬ ‫فننتننلنرقىَ آدم بمن رببه نكلبماَمِ د‬
‫(قلنيلنناَمِ اهبطلوُاي بميننهاَمِ نب‬37)‫ت فننتناَمِب علنيبه بنُإره هوُ الترنروُاب الربحيم‬
‫ن‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ن ن ي ل لن‬ ‫ن‬ ‫نل‬
(38)‫ف نعلنييبهيم نولن لهيم نيينزلنُوُنن‬ ‫يِ فنلن نخيوُ م‬ ‫ب‬
‫تن نع لهندا ن‬
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Rabb-Nya. Maka, Allah menerima taubatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Kami berfirman: “Turunlah kamu
dari jannah itu, Kemudian jika datang petunjuk-Ku, maka siapa saja yang mengikuti petunjuk-Ku,
pastilah tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hat.i”
(QS. Al-Baqarah: 37-38).

Adapun kenabian Muhammad SAW, dapat dibuktikan secara aqli dengan Al-Qur'an. Ia adalah
Kalamullah, yang telah membungkam orang-orang kafir, terdiam tak mampu mendatangkan satu surat
saja semisal Al-Qur'an. Hal ini menjadi dalil yang meyakinkan bahwa Muhammad SAW adalah seorang
nabi dan Rasul. Sebab, suatu mukjizat hanya diberikan Allah kepada para nabi dan Rasul. Allah SWT
berfirman:

‫ي‬ ‫ب بمراَمِ نُننرزليناَمِ عنلىَ عببدنُناَمِ فنأيتلوُاي بسوُردة بمن بمثيلببه وادعوُاي شهنداءلكم بمن دوبن اللبه إبين لكينتم ب ب‬
‫وبإن لكنتلم بف ريي د‬
‫صاَمِدق ن‬
‫لي ن‬ ‫ل‬ ‫ن ي ل لن‬ ‫لن‬ ‫ن ن ني‬ ‫ي ن‬ ‫ن‬
“(Dan) jika kalian (tetap) meragukan Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad
SAW), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an dan ajaklah para penolong selain Allah,
jika kalian orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah: 23)

Beberapa hikmah yang dapat diambil dari keimanan kepada para utusan-Nya ini adalah :
a. Menambah keyakinan kita pada kemahabijaksanaan-Nya yang tidak membiarkan para hamba-Nya
dalam kesesatan, sehingga diutuslah para Rasul untuk menjabarkan tata cara beribadah yang benar.
b. Menambah keyakinan kita bahwa jalan yang benar itu hanya satu, yaitu jalan Allah SWT, sehingga
sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW misi yang diemban hanya satu yaitu tauhidullah.
c. Para Rasul-Nya bukanlah manusia biasa, melainkan manusia pilihan. Oleh karenanya kita tidak bisa
menyamakan kedudukan kita setara dengan mereka, sehingga tidak layak bagi kita untuk
melecehkan atau mengingkari mereka.

5. Iman kepada hari akhir


Seorang muslim beriman bahwa kehidupan di dunia akan musnah dan berakhir, kemudian
berganti dengan kehidupan kedua di alam akhirat. Keyakinan terhadap alam akhirat/hari Kiamat ini
merupakan bagian dari rukun iman (dasar-dasar keimanan). Adapun bukti-bukti adanya hari Kiamat,
sekaligus dalil keimanannya, berasal dari wahyu (ayat-ayat) Allah dan hadits Rasul. Dasar
pemahamannya berdasarkan dalil naqli, bukan dalil aqli. Sebab, hari Kiamat adalah sesuatu yang tidak
terjangkau panca indra manusia, sehingga akal tidak mampu menemukannya dengan pasti berdasarkan
usaha pengindaraan terhadap sesuatu. Tanpa adanya berita tentang hari Kiamat dari wahyu Allah, maka
manusia tidak mengetahui apakah ada atau tidak hari kebangkitan sesudah mati, untuk apa ada hari
kebangkitan itu, juga apakah masih ada atau tidak kehidupan sesudah mati, serta bagaimana bentuk
kehidupan sesudah mati itu? Dalil-dalil naqli yang menjelaskan tentang hari Kiamat tersebut di antaranya
adalah:

‫ب ب‬ ‫ب‬ ‫ب‬
‫نزنعنم الرذينن نكنفلروا نأن رلن يلينبننعثلوُا قليل بنننلىَ نونربب لنليتبننعثلرن لثر نلتلنننبرنلؤرن ببناَمِ نعبميلتليم نونذل ن‬
‫ك نعنلىَ اللره ينسيم‬
“Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak dibangkitkan. Katakanlah, Tidak
demikian. Demi Tuhanku, kalian benar-benar pasti dibangkitkan, kemudian akan diberikan kepadamu
apa yang telah kamu kerjakan”. Hal demikian adalah mudah bagi Allah”. (QS. At-Taghaabun: 7)
Iman kepada hari Kiamat adalah iman kepada hari berbangkit, yaitu waktu berakhirnya seluruh
kehidupan makhluk di alam semesta yang fana ini, kemudian Allah pasti menghidupkan kembali semua
makhluk yang telah mati, membangkit-hidupkan tulang-belulang yang sudah hancur, mengembalikan
jasad yang telah menjadi tanah sebagaimana asalnya, dan mengembalikan ruh pada jasad seperti sedia
kala.
Manusia selalu bertanya kapankah terjadinya hari Kiamat. Sesungguhnya hanya Allah yang tahu
dengan pasti dan tepat, kapan terjadinya. Allah SWT berfirman:

‫ض لن تنأيبتيلكيم‬ ‫ك عبن الرساَمِعبة أنيراَمِنن مرساَمِهاَمِ قلل إبرنناَمِ بعيلمهاَمِ بعنند ربب لن ليبليهاَمِ لبوُقيتبهاَمِ إبلر هوُ ثننلقلنت بف الرسماَمِوا ب‬
‫ت نوالنير ب‬ ‫نن‬ ‫لن ي‬ ‫ن ن ن ن‬ ‫ن‬ ‫لن‬ ‫لي ن ن ي‬ ‫ن‬ ‫ينيسأنللوُنُن ن ن‬
‫ك نحبفليِ نعينننهاَمِ قليل إبرنناَمِ بعيللمنهاَمِ بعنند اللبه نولننبكرن أنيكثنننر النراَمِبس لن يننيعلنلموُنن‬
‫ك نك ننُأر ن‬‫إبلر بننيغتنةج ينيسأنللوُنُن ن‬
“Mereka menanyakan kepadamu tentang hari Kiamat: “Bilakah terjadinya? Katakanlah:
“Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat itu ada sisi Rabbku. Tidak seorangpun yang dapat
menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang
di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melaikan dengan tiba-tiba”. Mereka
bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesungguhnya
pengetahuan tentang Hari Kiamat itu ada di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
(QS. Al A’raaf: 187)

Al-Qur'an menerangkan bahwa hari Kiamat terjadi setelah ditiupnya sangkakala pertama oleh
Malaikat Israfil. Pada saat itu, semua makhluk binasa kecuali mereka yang dikehendaki oleh Allah.
Firman Allah SWT:

‫ض إبرل نمن نشاَمِء اللرهل لثر نُلبفنخ بفيبه أليخنرىَ فنبإنذا لهم قبيناَمِمم نينظللرونن‬ ‫صوُبر فنصعبق من بف الرسماَمِوا ب‬
‫ت نونمن بف ايلنير ب‬ ‫نن‬
‫ب‬
‫نونُلفنخ بف ال ر ن ن ن‬
“(Dan) ditiuplah sangkakala, maka matilah apa yang ada di langit dan bumi kecuali yang dikehendaki
oleh Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu
(putusannya masing-masing).” (QS. Az-Zumar: 68)

Iman kepada hari akhir memberi kita semangat untuk terus dapat meningkatkan kuantitas dan
kualitas amal perbuatan kita, sehingga semuanya bernilai ibadah dan dapat dijadikan bekal untuk
perjalanan menuju kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti. Di samping itu, iman pada hari akhir akan
menambah keyakinan kita kepada keimanan kepada Allah SWT yang mempunyai sifat Mahaadil dan
Mahabijaksana karena di akhirat nanti manusia akan diberi balasan sesuai dengan amalan-amalannya.

(8)‫(نونمن يننيعنميل بمثيننقاَمِنل نذرةد نشرا ينننرهل‬7)‫خينجرا ينننره‬ ‫ب‬


‫فننمن يننيعنميل مثيننقاَمِنل نذرةد ن ي‬
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarah, niscaya ia akan mendapat balasannya, dan
barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarah pun, niscaya ia akan mendapat balasannya."
(QS. Al-Zalzalah: 7-8)

Karena itu iman kepada hari akhir mempunyai dampak positif bagi kehidupan seseorang, yakni:
a. Senantiasa menjaga diri untuk selalu taat kepada Allah SWT dan senantiasa mengharapkan pahala
pada hari Kiamat. Ia akan berusaha menjauhi segala larangan-Nya karena takut siksaan kelak di
kemudian hari.
b. Menghibur dan mendorong agar bersabar bagi Mukmin bahwa kebahagiaan (kesenangan,
kesejahteraan) yang belum diperolehnya di dunia akan diterimanya di kemudian hari.

Bagi kaum Muslimin, iman kepada hari Kiamat sesungguhnya akan berdampak kuat bagi setiap
amal perbuatannya. Bagi mereka yang beriman, maka mereka pasti akan berlomba-lomba menjalankan
semua perintah Allah berupa Syariat yang telah diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad SAW yaitu
Syariat Islam.
Hari Kiamat merupakan hari yang pasti datang. Seluruh manusia akan menemuinya, baik secara
suka rela maupun terpaksa. Sesungguhnya siksaan maupun kenikmatan yang diterima setiap manusia
merupakan akibat logis dari seluruh amal perbuatannya selama ia hidup di dunia.
6. Iman kepada Takdir
Iman kepada takdir merupakan sesuatu yang wajib bagi setiap Muslim, sebab hal ini memiliki
sandaran nash-nash Al-Qur'an yang pasti (qath’i) serta dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sunnahnya
yang mutawatir. Berbeda dengan iman kepada ‘Qadha dan Qadar’, ia bukan lahir dari nash-nash syara’
secara langsung. Istilah ‘Qadha dan Qadar’, sebagai istilah tertentu yang bermakna tertentu pula, tidak
didapatkan dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Kalau kita kaji dari buku-buku hadits, kita tidak akan
menemukan masalah ini (qadha dan qadar). Kita hanya akan menemukan pembahasan taqdir (atau al-
qadar yang bermakna takdir). Di dalam Al-Qur'an sendiri tidak ada istilah ‘qadha dan qadar’ yang
digabungkan itu dan keduanya hanya ditemukan terpisah.
Tiadanya istilah qadha dan qadar (yang digabungkan, dan memiliki makna tertentu pula)
tersebut, karena memang masalah ini baru muncul pada masa tabi’in (setelah masa shahabat), pada akhir
abad pertama Hijriyah (awal abad kedua Hijriyah).
Qadar secara bahasa memiliki banyak makna misalnya; qadarul amri artinya mengurusi,
qadarusy-syai bi syai artinya mengukur, memperbandingkan, membagi, qadarur-rizqihi artinya
menyempitkan rizqinya
Qadar secara istilah adalah ketentuan Allah terhadap sesuatu semenjak azali, sesungguhnya
Allah telah menentukan segala sesuatu yang akan terjadi baik berupa benda-benda maupun perbuatan-
perbuatan sebelum semua itu diciptakan. Firman Allah SWT:

‫نيننناَمِهل نوأنيهلنهل إبرل ايمنرأنتنهل قنرديرنُناَمِنهاَمِ بمنن اليغناَمِببرينن‬


‫فنأن ني‬
"Kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali istrinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk
orang-orang yang tertinggal (dibinasakan)." (QS. An-Naml: 57)

Maksud ayat tersebut, Allah telah mencatatkan hal yang demikian itu dan menakdirkannya
semenjak azali. Firman Allah SWT:

‫ب اللهل لننناَمِ لهنوُ نميوُلننُناَمِ نونعنلىَ اللبه فننيلنيتنننوُركبل اليلميؤبملنوُنن‬ ‫ب‬ ‫ب‬ ‫ر‬
‫لقل لن يلصيبنننناَمِ إلر نماَمِ نكتن ن‬
"Katakanlah: 'Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi
kami..." (QS. At-Taubah: 51)

Maksudnya, Allah telah menetapkan bagi manusia segala sesuatu semenjak azali sebelum
manusia diciptakan. Firman Allah SWT:

‫ب‬ ‫ض ونل بف أننُلفبسلكم إبرل بف كبتناَمِ د‬ ‫ب د‬ ‫ماَمِ أنصاَمِ ب‬


‫ب بمن قننيببل نأن نُرينبننرأننهاَمِ إبرن نذل ن‬
َ‫ك نعنلى‬ ‫ي‬ ‫ب من رمصيبنة بف ايلنير ب ن‬
‫ن ن ن‬
‫ب‬ ‫ب‬
‫اللره ينسيم‬
"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah." (QS. Al-Hadiid: 22)

Maksudnya, tidak ada yang menimpa di bumi dan menimpa diri manusia melainkan telah
tercatat di Lauh Mahfuzh dengan pengertian bahwa Allah SWT telah mengetahui semuanya sebelum Dia
menciptakannya dan dituliskan di Lauhul Mahfuzh (kitab induk dan gambaran umum luasnya ilmu Allah
SWT).
Inilah pengertian sederhana dari takdir yang telah dijelaskan oleh Al-Qur'an dan hadits
Rasulullah SAW. Dengan kata lain takdir adalah catatan (ilmu Allah) yang menyeluruh tentang segala
sesuatu. Yang dimaksud dengan ‘segala sesuatu‘, termasuk benda-benda, manusia amal perbuatannya,
makhluk hidup lain, dan lain-lain; semuanya telah tercatat/diketahui oleh Allah SWT. dan dituliskan di
Lauhul Mahfuzh.

‫بنُإراَمِ لكرل نشييِدء نخلنيقنناَمِهل بنقنددر‬


“Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut taqdirnya/ukurannya” (QS. Al-Qamar: 49).
“Bagi setiap ummat akan muncul segolongan manusia yang berperilaku seperti Majusi.Orang-orang
Majusi mengatakan bahwa tidak ada takdir. Jika di antara mereka ada yang meninggal, maka janganlah
kalian menghadiri jenazahnya. Jika mereka sakit, janganlah dijenguk, (sebab) mereka adalah (sama
dengan) golongan Dajjal. Memang pantas dengan ketentuan tersebut,yaitu menghubungkan perilaku
mereka yang mirip dengan Dajjal, adalah ketentuan yang hak (benar) dari Allah SWT.”
(HR. Abu Dawud dari Hudzaifah)

“Rasululah SAW suatu hari duduk-duduk (bersama para shahabat). Di tangan beliau ada sepotong kayu,
lalu dengan kayu tersebut beliau menggores-gores (tanah). lalu nabi mengangkat kepala dan berkata:
“Setiap kalian yang bernyawa sudah ditetapkan tempatnya di Jannah (surga) dan Jahannam: para
shahabat (terkejut) lalu bertanya: “Kalau demikian ya Rasullah SAW apa gunanya kita beramal? apakah
tidak lebih baik kita bertawakal saja (kepada takdir)? Beliau menjawab: “ jangan! tetaplah beramal,
setiap orang akan dimudahkan oleh Allah jalan yang sudah ditentukan baginya”. Lalu Rasullah SAW
membaca surat Al-Lail ayat 5-10”. (Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi)

Bagian keimanan ini memerlukan pembahasan yang khusus karena banyak masalah yang harus
diperhatikan agar tidak menyimpang dari ketauhidan kita kepada Allah SWT. Oleh karena itu, pada uraian
ini hanya akan dibahas mengenai beberapa hikmah yang dapat direnungi dari buah iman kepada takdir-
Nya, yaitu :
a. Sifat Kemahatahuan dan Kemahabijaksanaan Allah SWT tidak ada yang mampu menandingi-Nya,
sehingga kebaikan dan keburukan menurut pandangan Allah ada kalanya berbeda dengan apa yang
ada pada pandangan manusia.

‫ب لننعلرلكيم‬ ‫ك نكثينرةل ايلنببي ب‬


‫ث فناَمِترنلقوُاي اللهن ياَمِ ألوبل النليباَمِ ب‬ ‫لقل لر ينيستنبوُيِ ايلنببي ل‬
‫ن‬ ‫ن ي‬ ‫ث نوالطريب ل‬
‫ب نولنيوُ أنيعنجبن ن ن‬
‫تلنيفلبلحوُنن‬
"Katakanlah: 'Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu
menarik hatimu, bertaqwalah kepada Allah hai orang-orang yang berakal, agar kamu beruntung."
(QS. Al-Maidah: 100)

b. Sifat Kemahaadilan Allah SWT memberikan kebebasan bertindak bagi manusia, sehingga manusia
bebas berjalan tanpa paksaan untuk menentukan jalannya (dengan sebelumnya telah diberi petunjuk
oleh Tuhannya)

‫نُناَمِجرا أننحاَمِنط بببيم‬ ‫ب بب‬ ِ‫فننيليلنيؤبمن نونمن نشاَمِء فننيلينيكلفير بنُإراَم‬ ‫نوقلبل ايلنرق بمن ربلكيم‬
‫للظراَمِلم ن‬
‫ي‬ ِ‫أنيعتنيدنُناَم‬ ‫فننمن نشاَمِء‬
ِ‫لميرتنننفجقاَم‬ ‫ت‬‫نونساَمِء ي‬ ‫ب‬
‫الرشنرا ل‬ ‫س‬ ‫ب‬ ‫ب‬ ‫ب‬
‫نكاَمِليلميهل ينيشوُيِ اليلوُلجوُنه يئ ن‬ ‫ينلغناَمِثلوُا ببناَمِء‬ ‫لسنرابدقلننهاَمِ نوبإن ينيستنبغيثلوُا‬
"Katakanlah: 'Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa ingin beriman hendaklah ia
beriman, dan barangsiapa ingin kafir maka biarlah ia kafir..." (QS. Al-Kahfi: 29)

Konsekuensi Keimanan Kita

Sebagaimana kita ketahui, iman kepada Allah SWT harus datang dari pemahaman akal.
Keimanan inilah yang menjadi dasar kuat bagi kita untuk beriman kepada hal-hal yang ghaib dan segala
apa yang dikabarkan oleh Allah SWT. Sebab, apabila kita telah beriman kepada-Nya maka
konsekuensinya kita wajib pula beriman terhadap apa-apa yang dikabarkan-Nya melalui Rasul-Nya.
Begitulah aqidah seorang muslim yang menggunakan akal. Kalaupun dia harus mempercayai
dalil-dalil naqli (kutipan), maka dalil-dalil yang diterimanya itu harus qath’i (pasti). Untuk mengetahui
apakah suatu dalil pasti atau tidak, juga harus memakai akal dalam memilah dan memilihnya. Sebab,
tidak ada taqlid dalam masalah aqidah. Oleh karena itu, Aqidah Islamiyah disebut Aqidah Aqliyah, artinya
aqidah yang dapat diterima oleh akal.
Setelah seorang muslim beriman kepada apa-apa yang telah dijelaskan di atas, ia pun wajib
menerima seluruh Syariat Islam sebagai pengatur bagi kehidupannya. Sebab, syariat itu datang dari Allah
SWT melalui Rasul-Nya, baik yang terdapat di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits. Penerimaan terhadap hal
tersebut harus utuh dan bulat, tidak boleh hanya sebagian-sebagian. Tidak boleh dipilah-pilah dalam
menerima hukum-hukum Allah. Semuanya harus diterima dan diimani dengan sepenuh hati.
Jadi penolakan terhadap ayat:

‫نوأنبقيلموُاي ال ر‬
...‫صلننة‬
“Tegakkanlah shalat...!” (QS. Al-Baqarah: 110)
sama saja dengan penolakan terhadap ayat:

...ِ‫نوالرساَمِبرلق نوالرساَمِبرقنةل فناَمِقيطنعلوُاي أنييبديننلهنماَم‬


“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya...”
(QS. Al-Maidah: 38)

... ‫ت نعلنييلكلم الينمييتنةل نواليردلم نونليلم ايلبينبزيبر نونماَمِ ألبهرل لبغن يبي اللبه ببه‬
‫لحبرنم ي‬
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah...” (QS. Al-Maidah: 3)
Dan penerimaan terhadap Syariat Islam tidak boleh berhenti pada akal saja, dalam arti hanya
sebatas kepada pengetahuan. Akan tetapi, harus terdapat penyerahan mutlak dan totalitas terhadap segala
peraturan yang datang dari Allah SWT.

Vous aimerez peut-être aussi