Vous êtes sur la page 1sur 16

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tengkorak sebagai pelindung jaringan otak mempunyai daya

elastisitas untuk mengatasi trauma bila dipukul atau terbentur benda

tumpul. Namun pada benturan, beberapa mili detik akan terjadi depresi

maksimal dan diikuti osilasi. Trauma pada kepala dapat menyebabkan

fraktur pada tengkorak dan trauma jaringan lunak/otak atau kulit seperti

kontusio/memar otak, oedem otak, perdarahan dengan derajat yang

bervariasi tergantung pada luas daerah trauma.

Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama

pada kelompok umur produktif dan sebagian besar terjadi akibat

kecelakaan lalu lintas. Tidak hanya berakibat pada tingginya angka

kematian pada korban kecelakaan. Justru, yang harus menjadi perhatian

adalah banyaknya kasus kecacatan dari korban kecelakaan. Khususnya,

korban kecelakaan yang menderita cedera kepala.

Menurut paparan dr Andre Kusuma SpBS dari SMF Bedah Saraf

RSD dr Soebandi Jember, cedera kepala adalah proses patologis pada

jaringan otak yang bersifat non- degenerative, non-congenital, dilihat dari

keselamatan mekanis dari luar, yang mungkin menyebabkan gangguan

fungsi kognitif, fisik, dan psikososial yang sifatnya menetap maupun

sementara dan disertai hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran.


Dari definisi itu saja, kita sudah tahu bahwa cedera kepala sangat

berbahaya dan membutuhkan penanganan segera demi keselamatan

penderita. Sayangnya, kendati kasus terus meningkat, namun masih

banyak pihak yang belum sadar pentingnya kecepatan menolong penderita.

Trauma kepala meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak. Lebih

dari setengah dari semua pasien dengan trauma kepala berat mempunyai

signifikansi terhadap cedera bagian tubuh lainnya. Adanya shock

hipovolemik pada pasien trauma kepala biasanya karena adanya cedera

bagian tubuh lainnya. Resiko utama pasien yang mengalami trauma kepala

adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai

respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intra

cranial (PTIK) (Dwi Widyaningrum, 2008).

Faktor yang diperkirakan memberikan prognosa yang jelek adalah

adanya intracranial hematoma, peningkatan usia klien, abnormal respon

motorik, menghilangnya gerakan bola mata dan refleks pupil terhadap

cahaya, hipotensi yang terjadi secara awal, hipoksemia dan hiperkapnea,

peningkatan ICP. Diperkirakan terdapat 3 juta orang di AS mengalami

trauma kepala pada setiap tahun. Angka kematian di AS akibat trauma

kepala sebanyak 19.3/100.000 orang ( Bahtiar Latif, 2009).

Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi

korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat

sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya ( Mansjoer,

2000 ).
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan pendahuluan ini adalah :
2.1.1 Mengetahui dan memahami Anatomi fisiologi oegan kepala
2.1.2 Mengetahui dan memahami konsep dasar cedera kepala
2.1.3 Memahami penatalaksanaan medis pada cedera kepala
2.1.4 Memahami asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien
dengan cedera kepala.
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi Fisiologi Kepala


2.1.1 Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin
atau kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis
atau galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan
penunjang longgar dan pericranium.
2.1.2 Tulang tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii .
Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal,
temporal dan oksipital . Kalvaria khususnya diregio temporal adalah
tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii
berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat
bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak
dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis,
fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian
bawah batang otak dan serebelum
2.1.3 Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari
3 lapisan yaitu :
Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu
lapisan endosteal dan lapisan meningeal .Dura mater merupakan
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat
pada permukaan dalam dari kranium.Karena tidak melekat pada
selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural.Pada cedera otak,
pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging
Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural.Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus
transversus dan sinus sigmoideus.Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan
permukaan dalam dari kranium (ruang epidural).Adanya fraktur dari
tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural.Yang paling sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media).
Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam
dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini
dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium
subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi
oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.
Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia
mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus
otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling
dalam.Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epineuriumnya.Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga
diliputi oleh pia mater.
2.1.4 Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang
dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu;
Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,
mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang)
terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal
berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi
bicara.Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan
orientasi ruang.Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu.
Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular
yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan.Pada medula
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum
bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.
2.1.5 Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus
dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari
dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III,
akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi
ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat
pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat
menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan
CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial.Angka rata-
rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan
dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
2.1.6 Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media)
dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
2.1.7 Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri
vertebralis.Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan
inferior otak dan membentuk circulus Willisi.Vena-vena otak tidak
mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan
tidak mempunyai katup.Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara
ke dalam sinus venosus cranialis.
2.1.8 Fisiologi Kepala
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah
intrakranial, cairan secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan
normal TIK orang dewasa dalam posisi terlentang sama dengan
tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 – 10 mmHg .
Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan
atau memperberat iskemia.Prognosis yang buruk terjadi pada
penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila menetap.
Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat
terus bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat
pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi
maka TIK secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana
dapat menerangkan tentang dinamika TIK.Konsep utamanya adalah
bahwa volume intrakranial harus selalu konstan, konsep ini dikenal
dengan Doktrin Monro-Kellie. Otak memperoleh suplai darah yang
besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari cardiac output, untuk
menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup . Aliran darah otak
(ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per
100 gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar
tergantung pada usainya. ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam
pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma.
ADO akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada
penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai
beberapa hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan
perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat
rirekomendasikan untuk meningkatkan ADO

2.2 Definisi
Cedera kepala adalah serangkainan kejadian patofisiologik yang

terjadi setelah trauma kepala, yang dapat melibatkan kulit kepala, tulang dan

jaringan otak atau kombinasinya, (Standar Pelayanan Mendis ,RS DR

Sardjito).
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang

disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak, tanpa terputusnya

kontinuitas otak, (Paula Kristanty, dkk 2009).


Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk

atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan

perlambatan (acceleasi – decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk

dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan

penurunan kecepatan, serata notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan

juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tingkat pencegahan, (Musliha,

2010).
2.3 Klasifikasi
Menurut berat ringannya berdasarkan GCS
2.3.1 Cedera Kepala ringan (kelompok risiko rendah)
GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif) : Kehilangan

kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt, tak ada fraktur tengkorak,

tak ada contusio serebral (hematom), pasien dapat mengeluh nyeri

kepala dan pusing

2.3.2 Cedera kepala sedang


GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor), kehilangan kesadaran lebih

dari 30 mnt / kurang dari 24 jam (konkusi), dapat mengalami fraktur

tengkorak, muntah, kejang


2.3.3 Cedera kepala berat
GCS 3-8 (koma), kehilangan kasadaran lebih dari 24 jam (penurunan

kesadaran progresif), diikuti contusio serebri, laserasi, hematoma

intracranial, tanda neurologist fokal, cedera kepala penetrasi atau

teraba fraktur kranium.


Tipe-tipe trauma menurut Pahria,1994 adalah sebagai berikut:
1.1 Trauma Kepala Terbuka:
Faktur linear daerah temporal menyebabkan pendarahan epidural,
Faktur Fosa anterior dan hidung dan hematom faktur longitudinal.
Menyebabkan kerusakan meatus auditorius internal dan eustachius.
1.2 Trauma Kepala Tertutup
Comosio Cerebri, yaitu trauma Kapitis ringan, pingsan + 10 menit,
pusing dapat menyebabkan kerusakan struktur otak, contusio /
memar, yaitu pendarahan kecil di jaringan otak akibat pecahnya
pembuluh darah kapiler dapat menyebabkan edema otak dan
peningkatan TIK.
1.3 Pendarahan Intrakranial, dapat menyebabkan penurunan kesadaran,
Hematoma yang berkembang dalam kubah tengkorak akibat dari
cedera otak.
Hematoma disebut sebagai epidural, Subdural, atau Intra serebral
tergantung pada lokasinya Brunner & Suddarth, 2002:
1.3.1 Hematoma epidural (hamatoma ekstradural atau
haemoragi). Setelah cidera kepala, darah berkumpul di dalam
ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak dan dura.
Keadaan ini karena fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan
arteri meningeal tengah putus /rusak (laserasi), dimana arteri ini
berada di dura dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis
tulang temporal; haemoragi karena arteri ini menyebabkan
penekanan pada otak.
1.3.2 Hematoma sub dural adalah pengumpulan darah diantara dura dan
dasar, suatu ruang yang pada keadaan normal diisi oleh
cairan. Hematoma sub dural dapat terjadi akut, sub akut atau
kronik. Tergantung ukuran pembuluh darah yang terkena dan
jumlah perdarahan yang ada. Hematoma sub dural akut d
hubungkan dengan cidera kepala mayor yang meliputi kontusio
dan laserasi. Sedangkan Hematoma sub dural sub akut adalah
sekuele kontusio sedikit berat dan di curigai pada pasien
gangguan gagal meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala.
Dan Hematoma sub dural kronik dapat terjadi karena cidera
kepala minor dan terjadi paling sering pada lansia.
1.3.3 Haemoragi intraserebral dan hematoma. Hemoragi intraserebral
adalah perdaraan ke dalam substansi otak. Haemoragi ini biasanya
terjadi pada cidera kepala dimana tekanan mendesak ke kepala
sampai daerah kecil (cidera peluru atau luka tembak)
2.4 Etiologi
2.4.1 Trauma oleh benda tajam
Menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal.
Kerusakan lokal meliputi Contusio serebral, hematom serebral,
kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi,
pergeseran otak atau hernia.
2.4.2 Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh
Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk :
cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak
menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena
cedera menyebar pada hemisfer cerebral, batang otak atau kedua-
duanya.

Etiologi lainnya
Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil,
kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan, cedera akibat
kekerasan.

2.5 Manifestasi Klinik


Adapun manifestasi klinis dari cedera kepala adalah sebagai berikut :
Gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, tiba-tiba defisit
neurologis, gangguan pergerakan, gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensori, kejang otot, sakit kepala, vertigo, kejang, pucat, mual dan
muntah, pusing kepala, terdapat hematoma, sukar untuk dibangunkan, Bila
fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
2.6 Patofisiologi
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan
berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera
percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur
kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena
kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila
kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan
mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila
terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi
bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa
dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang
otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan
autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.
Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan
tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera
kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus.
Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio
serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang
disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera
otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan
terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak
hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada
seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi
pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral,
batang otak, atau dua-duanya
2.7 Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada trauma kepala menurut
Batticaca, 2008 :
2.7.1 Angkat klien dengan papan datar untuk mempertahankan kepala dan
leher sejajar.
2.7.2 Traksi ringan pada kepala
2.7.3 Kolar servikal
2.7.4 Terapi untuk mempertahankan homeostatik otak dan mencegah
kerusakan otak sekunder seperti stabilitas sistem kardiovaskuler dan
fungsi pernapasan untuk mempertahankan perfusi serebral yang
adekuat. Kontrol perdarahan, perbaiki hipovolemi, dan evaluasi gas
darah arteri.
2.7.5 Tindakan terhadap peningkatan TIK dengan melakukan pemantauan
TIK. Bila terjadi peningkatan TIK, pertahankan oksigenasi yang
adekuat, pemberian manitol untuk mengurang edema kepala dengan
dehidrasi osmotik, hiperventilasi, penggunaan steroid, meninggikan
posisi kepala ditempat tidur, kolaborasi bedah neuro untuk
mengangkat bekuan darah, dan jahitan terhadap laserasi di kepala.
Pasang alat pemantau TIK selama pembedahan atau dengan teknik
aseptik di tempat tidur. Rawat klien di ICU.
2.7.6 Tindakan perawatan pendukung yang lain yaitu, pemantauan
ventilasi dan pencegahan kejang serta pemantauan cairan, elektrolit
dan keseimbangan nutrisi. Lakukan intubasi dan ventilasi mekanik
bila klien koma berat untuk mengontrol jalan nafas. Hiperventilasi
terkontrol mencakup hipokapnia, pencegahan vasodilatasi,
penurunan volume darah serebral, dan penurunan TIK. Pemberian
terapi antikonvulsan untuk mencegah kejang setelah trauma kepala
yang menyebabkan kerusakan otak sekunder karena hipoksia
(klorpromazin tanpa tingkat kesadaran). Pasang NGT bila terjadi
motilitas lambung dan peristaltik terbalik akibat cedera kepala.

2.8 Pemeriksaan Diagnostik


2.8.1 CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) :
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler,
dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya
infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
2.8.2 MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
2.8.3 Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti perubahan jaringan
otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.

2.8.4 Serial EEG


Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
2.8.5 X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.

2.9 DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL


2.9.1 Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke
serebral, edema serebral
2.9.2 Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada
pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif).
2.9.3 Kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap
otot pernafasan
2.9.4 Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d akumulasi sekresi, obstruksi
jalan nafas
2.9.5 Gangguan pola nafas b.d adanya depresi pada pusat pernafasan
2.9.6 Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari
kebutuhan b.d penurunan kesadaran
2.9.7 Resiko cedera b.d kejang, penurunan kesadaran
2.9.8 Gangguan eliminasi urin b.d kehilangan control volunteer pada
kandung kemih
ASUHAN KEPERAWATA GAWAT DARURAT
CEDERA KEPALA

Disusun oleh kelompok 7


1. Bangun Griyanti
2. Fatimah
3. Hilda Nurmudi setiani
4. Refan Sungsoro
5. Septriliyani

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


BHAKTI MANDALA HUSADA SLAWI
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DAN NERS
JALUR TRANSFER 2017

Vous aimerez peut-être aussi