Vous êtes sur la page 1sur 39

ABAD PETENGAHAN (590-1492/1517)

Tahun 590 Gregorius I menjadi Paus Meskipun sudah tidak lagi menjadi ibu kota kekaisaran,
Roma masih mempunyai kehormatan. Wajar, karena kota tua itu pernah mempunyai
hubungan dengan Rasul Petrus dan Paulus Bertahun-tahun lamanya, para Uskup Roma
berupaya meningkatkan kekuasaannya. Perlahan-lahan upayanya telah mencapai kedudukan
yang lumayan melebihi keuskupan lainnya, dan uskup Roma pun menjadi Paus.

Namun orang yang sangat berjasa dalam mendukung wibawa dan kekuasaan kepausan tidak
melakukannya demi keuntungan politik. Seorang biarawan sederhana yang tidak berambisi
memperoleh kedudukan tinggi, naik takhta kepausan, sesuatu
yang berlawanan dengan kemauannya.

Gregorius dilahirkan pada tahun 540 dalam sebuah keluarga bangsawan Romawi yang telah
mengukir sejarah dalam kedudukan politik. Ia diangkat menjadi prefect (pejabat gereja) di
Roma — jabatan sipil tertinggi. Namun ia mengundurkan diri karena tidak ingin terpisah dari
kehidupan rakyat biasa, dengan membagi-bagi hartanya untuk mendirikan biara-biara dan ia
sendiri menjadi penghuni salah satunya.
Beberapa tahun kemudian, ia menjadi kepala biara.

Kesalehannya -- dan tentunya latar belakangnya sebagai seorang administrator terampil – telah
menarik perhatian. Pada tahun 590, ketika Paus wafat, orang-orang Romawi dengan suara bulat
meminta Gregorius menjadi penerusnya. Meskipun
Gregorius menolak,. keinginan masyarakat memaksanya

Sebagai seorang mantan negarawan, paus baru ini menerapkan kekuasaan pemerintahannya
pada jabatan barunya. Ketika orang-orang Lombardus mengancam Roma, Gregorius meminta
bantuan kaisar Konstantinopel. Melihat bantuan tersebut tak kunjung datang, uskup Roma ini
pun mulai mengumpulkan pasukan, mengadakan berbagai perjanjian, dan melakukan segala
sesuatu untuk mendatangkan perdamaian. Tindakan Gregorius yang independen itu telah
membuktikan pada exarch (wakil kaisar yang ditempatkan di Ravenna) bahwa Gregorius
sanggup memelihara ketenteraman di Roma. Tindakan politis ini akan menjadi beberapa
langkah awal
dalam memisahkan orang-orang Kristen di kekaisaran Timur dan Barat. Akan tetapi, Gregorius
tidak mempunyai ambisi politik. Minatnya adalah di bidang spiritual. Ia amat berminat dengan
kepedulian pastoral, ia menekankan bahwa kaum biarawan harus memandang diri mereka
sebagai gembala dan hamba kawanan domba. Ia menyebut diri nya "pelayan para pelayan
Allah", dan Peraturan Pastoralnya, yang merupakan studi mendalam akan upaya spiritual
manusia dan bagaimana biara harus menanganinya, menjadi buku pegangan bagi biarawan
pada Abad Pertengahan.

Dialogues karya Gregorius adalah upaya utama tentang hagiography, "tulisan tentang para
santo", yang menekankan kisah fantastik dan ajaib, yang akan memberi kesan bahwa para santo
adalah pahlawan sejati. Pada masa kepausannya, penghormatan kepada anggota badan, busana,
dan sebagainya milik para santo, dianjurkan. Hal itu merupakan ciri utama kesucian Abad
Pertengahan. Berabad-abad lamanya, tiada
gereja yang dapat didirikan tanpa relikwi seorang santo ditempatkan di sana.

Meskipun Gregorius tidak mengakui dirinya sebagai seorang teolog, namun beberapa
pandangannya telah menjadi pokok dalam teologi Katolik. la percaya akan tempat penyucian
jiwa sebelum memasuki surga dan mengajarkan bahwa misa yang diadakan untuk orang yang
telah meninggal dunia akan meringankan penderitaannya di sana. Sebagai tambahan, ia juga
rnembantu mempopulerkan ajaran-ajaran Dionysius dari Areopagite, yang telah menulis
tentang kategori para malaikat yang berbeda. Setelah Gregorius mempopulerkannya, ide-ide
tersebut mendapat pengakuan
yang luas. Meskipun bukan dia yang memulai Kidung Gregorian, Gregorius tertarik
dengan musik gereja, dan adanya kidung-kidung sederhana karena pengaruhnya.

Gregorius memberi kuasa bagi misi pekabaran Injil di Kent di bawah pimpinan Augustinus,
misionaris yang kemudian menjadi uskup agung pertama di Canterbury. Meskipun kekristenan
telah sampai ke Inggris, dengan misi yang dikirim di bawah pimpinan Augustinus, Gregorius
memperluas kuasa Roma atas kepulauan itu. Misi Kristen yang berpaling pada Roma untuk
kepemimpinannya sedang terwujud dengan pasti.
Uskup Konstantinopel mengklaim gelar Patriarkh Oikumenis ("global atau universal").
Gregorius bukan saja menolak gelar itu untuk uskup, tetapi juga menolak untuk dirinya sendiri.
Namun, semua yang dilakukannya menunjukkan bahwa
Gregorius melihat dirinya sendiri sebagai imam utama bagi Gereja di seluruh dunia.

Dalam kurun waktu empat belas tahun ia telah melakukan begitu banyak karya, sehingga
generasi selanjutnya menyebutnya Gregorius Agung. Mungkin dia menjadi agung karena ia
adalah orang sederhana.
Tahun 716 Bonifatius Berangkat sebagai Misionaris

Hampir seperti Elia di atas bukit Karmel, Bonifatius, misionaris berdarah Saxon dari Inggris,
melawan kekafiran di jantung negeri Jerman. Ia mempunyai sebuah kapak di tangannya. Di
hadapannya ada Thundering Tree (Pohon Petir) yang besar, sebuah tanda perbatasan setempat
yang dikeramatkan bagi dewa petir oleh orang-orang kafir. Bahkan sebagian orang yang
bertobat dan menjadi Kristen karena ajaran-ajaran
Bonifatius, diam-diam menyembah pohon tersebut.

Dengan berani Bonifatius menentang penyembahan sesat ini. Sebagai wakil Allah yang sejati
bagi orang-orang Kristen, ia memusnahkan lambang iblis tersebut. Ia menebang pohon "suci"
tersebut dengan kapaknya, dan Pohon Petir tersebut pun
tumbang dengan suara gemuruh.

Itulah legendanya, benar atau tidak, sekurang-kurangnya cerita ini mengungkapkan


keberanian, dan iman yang ditampilkan Bonifatius melawan kepercayaan yang salah.

Dilahirkan dalam keluarga Kristen di Wessex pada tahun 680, nama aslinya ialah Winfred. Ia
dilatih di Biara Benediktin dan ditahbiskan pada usia tiga puluh tahun. la dianugerahi
keterampilan untuk belajar dan memimpin. Sebenarnya ada peluang baginya untuk berdiam di
Inggris, untuk belajar, mengajar dan mungkin juga memimpin sebuah biara, namun ia merasa
sedih atas orang-orang yang belum mengaku percaya kepada Kristus. Beribu-ribu orang Saxon
di Low Countries (dataran
rendah) dan di Jerman sangat membutuhkan Injil.

Pada tahun 716, Winfred berangkat ke Frisia, tempat para misionaris Inggris telah berupaya
berpuluh-puluh tahun lamanya. Raja Frisia, Radbod, menentang kekristenan. Tekanan di situ
sangat kuat dan Winfred pun kembali ke Inggris. Inilah
kegagalan misinya yang pertama.

Teman-temannya di biara Benediktin meminta dia menjadi kepala biara. Setelah pengalaman
yang menyakitkan di Frisia, ia mungkin saja tergiur dengan tawaran ini. Tetapi visi Winfred
masih mengarah ke luar. la pergi ke Roma pada tahun 718, dan di sana ia menerima tugas
misionaris dari Paus. Ia ditugaskan untuk pergi lebih jauh, melewati Sungai Rhine, dan
mendirikan gereja Roma di antara orang Jerman di sana.
Jerman umumnya telah terbuka untuk kekristenan jenis apa pun, namun tidak ada Gereja yang
kuat di sana. Pada abad keempat, suku-suku Jerman terikat dengan Arianisme yang mereka
baurkan dengan takhayul mereka sendiri. Kemudian, misionaris Celtic telah memenangkan
sejumlah jiwa, tetapi mereka tidak pernah ada di bawah naungan organisasi Gereja yang kuat.
Sri Paus ingin sekali menghadirkan
Gereja yang kokoh di sana.

Mula-mula, Winfred mendatangi Thuringia untuk menghidupkan gereja yang mulai melemah
di sana. Kemudian setelah ia mendengar bahwa musuhnya Radbod telah mati, ia kembali ke
Frisia. Otoritas Sri Paus agaknya telah memberikan Winfred wibawa atas pemerintah setempat.
Di sana ia bekerja selama tiga tahun, kemudian
berpindah ke arah tenggara, ke Hesse.

Ia kembali ke Roma pada tahun 723 dan diangkat sebagai uskup. Itulah saatnya ia menerima
nama barunya – Bonifatius. la juga diberikan surat perkenalan untuk Charles Martel, raja suku
Frank. Ketangkasan Charles di bidang militer sangat terkenal (ia yang memukul mundur
pasukan Islam di Tours). Perlindungannya
memberikan dukungan kuat bagi Bonifatius.

Sekembalinya dari Hesse, Bonifatius melanjutkan pemusnahan kekafiran dan mendirikan


gereja. Hal ini terjadi ketika ia menumbangkan pohon yang dianggap suci. Mungkin ketakutan
warga pada Charles Martel yang mencegah mereka menjatuhkan Bonifatius. Namun, hasilnya
ialah bahwa kekristenan menjadi kekuatan baru yang harus diperhitungkan di Jerman. Jika
pohon mereka saja tidak dapat dilindungi para dewa orang Jerman, maka mereka tidak
memiliki apa pun untuk
dibandingkan dengan Allahnya Bonifatius.

Bonifatius menjadi daya tarik bagi sejumlah misionaris dari Inggris – para biarawan dan
biarawati ingin sekali melayani bersamanya. Dengan bantuan mereka, ia mendirikan organisasi
gereja yang kuat di seluruh kawasan itu.

Ironisnya, pelindungnya, Charles Martel sedang mengupayakan perubahan gereja di antara


orang-orang Frank. Charles berkuasa atas gereja-gereja di sana dengan merampas tanahnya dan
menjual instansi-instansi gereja. Hanya setelah ia wafat, pada tahun 741, Bonifatius dapat
memulihkan gereja Frank tersebut.
Pada tahun 747, Bonifatius sekali lagi pergi ke Roma. Di sana ia diangkat menjadi uskup agung
Mainz dan pemimpin spiritual seluruh Jerman. Namun setelah melewati umur tujuh puluh
tahun, ia berkeinginan menyelesaikan pekerjaannya yang tertinggal. Setelah mengundurkan
diri dari jabatan uskup agungnya pada tahun 753, ia kembali ke Frisia, tempat ia memulai karya
misionarisnya. Di sana ia memanggil kembali orang-orang yang telah ia baptis dan yang
sekarang telah kembali ke kekafiran, kemudian ia melanjutkan perjalanan ke daerahdaerah
yang belum dijangkau.

Pada hari Minggu Pentakosta tahun 755, di Dackum, di sepanjang Sungai Borne, ia
merencanakan kebaktian di tempat terbuka, mengajar dan meneguhkan orang-orang percaya
baru. Ketika sedang berdiri di tepi sungai, sambil menyiapkan kebaktian, segerombolan
penjahat kafir menyerangnya. Orang-orang yang ada di pihaknya mencoba melawan, tetapi
Bonifatius berteriak: "Hentikanlah, anak-anakku, dari pertikaian ... Jangan takut kepada
mereka yang membunuh badan ini, tetapi tidak dapat membunuh jiwa yang abadi ... Terimalah
dengan tenang serangan maut sesaat ini, agar Anda dapat hidup dan memerintah bersama-sama
Kristus selama-lamanya."
Menurut saksi mata, ia mati dengan Injil di tangannya.

Para kritikus berkata bahwa Bonifatius hanyalah seorang organisatoris. Sebagian besar karya
misinya adalah politik, yaitu membina kesetiaan pada gereja Roma di tempat-tempat gereja
melemah. Dan adalah benar bahwa ia membantu meletakkan dasar bagi kekaisaran Roma yang
suci dan politik kepausan Abad Pertengahan. Berkat Bonifatius, Jerman merupakan benteng
bagi gereja Roma sampai jaman Reformasi.

Akan tetapi tidak ada yang dapat meragukan kesalehan, keberanian ataupun kesetiaan
pelayanan Bonifatius. Seperti yang ditulis sejarawan Kenneth Scott Latourette, "Tidak banyak,
jika pun ada, misionaris Kristen yang telah menyajikan dengan lebih tepat, idealisme iman
mereka yang hendak disebarluaskan dengan perilaku mereka. Rendah hati, meskipun ada
kesempatan yang menggiurkan untuk mendapatkan posisi gerejawi yang tinggi; tanpa cacat
skandal; seorang yang mandiri dan tekun berdoa; berani, mengorbankan diri sendiri, dan adil.
Bonifatius adalah salah seorang panutan yang luar biasa bagi kehidupan Kristen.

Tahun 732 Pertempuran Tours


Jika bukan karena Charles Martel, kita semua mungkin, sekarang, berbicara dalam bahasa Arab
dan berlutut menghadap Mekah lima kali sehari. Di Tours, Charles Martel dengan pasukan
orang-orang Frank memukul balik pasukan-pasukan muslim yang ganas, yang telah menyapu
Afrika Utara dan sedang menuju Eropa. Pertempuran di Tours itulah yang menyelamatkan
peradaban Barat.

Perkembangan Islam yang pesat adalah gerakan luar biasa dalam sejarah. Pada tahun 622, para
pengikut Muhammad hanyalah sekelompok visioner teraniaya yang berkumpul di Mekah.
Seratus tahun kemudian mereka tidak hanya menguasai Arab, tetapi juga Afrika Utara,
Palestina, Persia (Iran), Spanyol dan sebagian India. Mereka
sedang mengancam Perancis dan Konstantinopel.

Bagaimana mereka melakukan itu? Pertobatan, diplomasi dan pasukan-pasukan tempur yang
berdedikasi. Juga boleh dikatakan bahwa kejatuhan Kekaisaran Romawi meninggalkan
wilayah yang siap untuk penanaman agama baru ini.

Agama Muhammad berkembang di Mekah, salah satu dari dua kota besar di Arab. Agama ini
bersifat monoteistis, legalistis dan agak sederhana. Muhammad menegaskan bahwa ia telah
menerima sistem tersebut dari Allah, dan ia berkata bahwa ia adalah rasul yang ditunjuk Allah.
Warga Mekah menolak ajaran-ajaran baru Muhammad dan mereka mempersulit kehidupan
para pengikutnya. Maka pada tahun 622, rasul tersebut dengan rombongannya melarikan diri
ke Madinah (kota terbesar lain di Arab). Pelarian ini (hijriah) mengawali kalender Muslim dan
sekaligus
merupakan awal ekspansi yang luar biasa.

Arab pada saat itu menjadi tempat berkumpulnya pengembara beraneka suku yang berperang
satu sama lain. Islam membawa persatuan – bukan saja dalam agama, tetapi juga hukum,
ekonomi dan politik. Ketika Muhammad wafat pada tahun 632, timbullah pertikaian di antara
pengikutnya tentang siapa yang akan menjadi
penerusnya. Namun agama tersehut tetap berkembang.

Menjelang tahun 636, orang-orang Muslim telah menguasai Suriah dan Palestina. Mereka
menguasai Alexandria pada tahun 642 dan Mesopotamia pada tahun 646. Kartago jatuh pada
tahun 697, ketika pasukan Muslim menyapu Afrika Utara, memenangkan daerah-daerah yang
sampai hari ini masih berada di tangan Muslim. Pada tahun 711, mereka melintasi terusan
Gibraltar dan masuk ke Spanyol. Mereka segera mengokohkan penguasaan atas Semenanjung
Iberia dan akhirnya bergerak lebih jauh dari Pyrenees. Pada saat yang sama, orang-orang
Muslim telah memasuki
daerah Punjab di India dan hampir memasuki Konstantinopel.

Konstantinopel adalah ibu kota kekaisaran Byzantin, kehanggaan satu-satunya yang tertinggal
dari Kekaisaran Romawi. Berabad-abad sebelumnya, Kekaisaran Romawi terbagi atas Timur
dan Barat, dan kekaisaran Barat jatuh ke tangan suku-suku Jerman seperti Vandal, Ostrogoth
dan Frank. Satu-satunya kuasa yang dipegang Roma adalah Gereja, tetapi kuasa ini masih
sedang bertumbuh. Melalui para misionaris seperti Augustinus di Inggris dan Bonifatius di
Jerman, Roma mendapat kesetiaan spiritual
dari daerah-daerah pendudukannya dahulu.

Ancaman Islam ialah menggabungkan kekuatan agama dan politik. Namun agama Islam bukan
saja menumbangkan kekuasaan politik, ia juga menobatkan warga jajahan dengan menawarkan
(atau memaksakan) sistem agama baru.

Charles Martel adalah penguasa dari kalangan kaum Frank, salah satu suku Jerman yang
menguasai kekaisaran Barat. Kaum Frank ini pernah menyerang Perancis pada tahun 355, dan
secara resmi telah bertobat ke dalam kekristenan Roma di bawah pemerintahan Clovis I (481-
511). Seperti para penguasa Frank sebelumnya, Charles pun menggunakan Gereja untuk
kepentingannya sendiri. Ia merasa senang mendukung misionaris Roma di antara suku-suku
Jerman lainnya – ini akan menambah kekuasaan kaum Frank di Jerman. Namun, ia segera
menyelewengkan Gereja kaum Frank bagi keuntungan pribadinya. Meskipun ia
menyelamatkan gereja Roma dari kehancuran di Tours, sebenarnya ia berperang untuk
melindungi daerah Frank.

Jenderal pasukan Muslim Abd-er-Rahman yang memimpin pasukannya ke Utara, masuk tepat
di daerah Frank. Charles Martel (Martel artinya "Palu") berhadapan dengannya di antara Tours
dan Poitiers serta memukulnya mundur. Dalam suatu rangkaian pertempuran sengit, kaum
Frank memukul mundur pasukan Muslim ke
Spanyol, mengakhiri perkembangan Muslim di Eropa.

Tentunya, pertahanan di Konstantinopel pada tahun 718 juga sama pentingnya dalam memukul
penaklukan kaum Muslim. Tetapi bagi mereka yang menelusuri warisan Eropa Barat,
pertempuran Tours adalah yang menentukan. Seandainya Muslim yang menang, mereka
mungkin mundur di kemudian hari; mungkin mereka menyebar dan menipis. Namun seperti
pesatnya mereka berkembang, begitu juga mereka menduduki daerah-daerah yang telah
dimenangkan dengan kokoh. Dua belas setengah abad kemudian mereka masih merupakan
kekuatan yang disegani, dan daerah-daerah pendudukan mereka masih menolak kesaksian
Kristen.

Tahun 800 Karel Agung Dinobatkan Menjadi Kaisar

Haruskah negara dan gereja menjadi satu? Dalam dunia kuno, setiap negeri mempunyai dewa-
dewanya sendiri – dan kaisar Roma adalah salah satunya. Tidak seorang pun yang memisahkan
agama dari politik. Ketika Konstantinus bertobat dan membawa agama Kristen ke kerajaan
sebagai agama yang disenangi, terjalinlah hubungan (kerajaan) dengan gereja. Bahkan setelah
kerajaan itu jatuh, banyak kalangan berpegang pada ide bahwa seharusnya ada kekaisaran
Kristen. Namun siapa yang seharusnya memimpin? Apakah pemimpin spiritual, Sri Paus,
apakah kuasa itu harus ada di tangan seorang raja? Sepanjang Abad Pertengahan, para
pemimpin
senantiasa mencari jawaban bagi pertanyaan ini.

Menjelang pertengahan abad kedelapan, kepausan telah menjadi kuat, namun masih belum
mencapai tujuannya, yaitu memulihkan ketertiban di dunia Barat. Pada tahun 754, sebuah
dokumen palsu yang dikenal dengan Donation of Constantine, berupaya melestarikan ide suatu
Kekaisaran Romawi. Menurut Donation, Kaisar Roma Konstantinus telah pindah ke
Konstantinopel untuk membiarkan Sri Paus mengawasi (wilayah) Barat. Konstantinus telah
meninggalkan bagian kekaisaran itu kepada
uskup Roma.

Mengikuti maksud yang terkandung dalam Donation of Constantine, raja kaum Frank, Pepin
III, putra Charles Martel, memutuskan mengambil Ravenna dari kaum Lombardus untuk
kemudian diberikan kepada Paus. Pada tahun 756, Donation of
Pepin memberikan Papal State (wilayah Kepausan) kepadanya.

Meskipun Sri Paus telah mendapatkan wilayahnya sendiri, ia tidak pernah mengadakan
pengawasan langsung. Pengawasan tetap ada di tangan putra Pepin,
Charles Agung – atau Karel Agung.
Pada tahun 771, ketika Karel Agung naik takhta, ia memulai dengan penaklukan selama tiga
dekade. la mendorong perbatasan kerajaannya ke arah timur dan akhirnya ia menguasai
Burgundy, sebagian besar Italia, Alamania, Bavaria dan Thurginia. Di utara ia menguasai
Saxony dan Frisia. Di sebelah timur kedua daerah tersebut, ia menciptakan daerah-daerah
dengan organisasi militer khusus yang disebut marches. Daerah-daerah itu terbentang dari Laut
Baltik sampai ke Adriatik. Untuk pertama
kali, sebagian besar Eropa menikmati kepemimpinan yang stabil.

Sampai pada hari Natal tahun 800, Karel Agung memegang gelar raja. Pada hari suci itu, Paus
Leo II menobatkan dia sebagai kaisar, dan sekali lagi tampaknya Eropa Barat mempunyai
seorang kaisar yang mengikuti jejak Konstantinus.

Tentunya Karel Agung menerima sungguh-sungguh pemikiran bahwa ia telah menjadi kaisar
Kristen, karena semua surat-surat keluarnya berbunyi: "Karel, dengan
kehendak Allah, Kaisar Roma".

Kaisar baru ini mempunyai perawakan yang menimbulkan rasa segan – tinggi, tegar, tangkas
berkuda, dan pahlawan yang gagah berani namun terkadang kejam. Ia tampil di Eropa dengan
figur seorang bapak yang berkuasa, tetapi juga yang berkebajikan.

Karel Agung sama sekali tidak ingin kehilangan kekuasaannya. Kaisar di Konstantinopel tidak
menimbulkan masalah apa pun, karena ia telah memahami hak Karel Agung. Tetapi mereka
yang ada di bawahnya, ataupun Paus, mungkin berniat menanggalkan beberapa otoritas Karel
Agung. Karena daerah pemerintahannya sangat luas, Karel Agung menunjuk dua orang pejabat
yang dikenal sebagai missi dominici. Kedua orang ini berkeliling ke seluruh kekaisaran untuk
memeriksa para pejabat setempat. Paus sendiri tidak dapat mengelak dari mata mereka yang
tajam,
dan missi tersebut berkuasa atas gereja dan negara.

Meskipun Karel Agung sedikit saja terpelajar, di bawah pemerintahannya yang damai terwujud
kebangkitan seni dan ilmu yang dikenal sebagai Carolingian Renaissance (Kebangkitan
Carolingia). Kaisar tersebut mensponsori sebuah sekolah istana di Aachen. Alcuin, seorang
terpelajar Anglo-Saxon menjadi guru di sana; ia menasihati murid-muridnya: "Waktu berjalan
seperti air yang mengalir. Jangan sia-siakan hari-hari belajar dengan bermalas-malasan!"
Alcuin menulis buku teks tentang tata bahasa, ejaan, retorika dan logika. Ia juga menulis
ulasan-ulasan Injil, dan berpihak
pada paham ortodoks dalam berbagai perdebatan teologi.

Bukan saja sekolah Aachen yang merangsang penuntutan ilmu di seluruh kekaisaran, Karel
juga membuat aturan bahwa setiap biara harus memiliki sebuah sekolah untuk mengajar
"semua orang yang dengan pertolongan Allah sanggup belajar".

Carolingian Renaissance berhasil memelihara banyak tulisan dunia kuno. Karena para
biarawan membuat salinan-salinan karya Latin kuno – beberapa di antaranya terhias dengan
cantik – biara-biara pun menjadi "bank kebudayaan". Dalam banyak hal, tanpa jerih-payah para
biarawan ini, karya-karya kuno mungkin sudah hilang dari
jangkauan kita.

Pada masa kekacauan dan peperangan, pemerintahan Karel Agung memberi stabilitas politik
dan kebudayaan. Dia menjamin bahwa Barat akan memelihara pusaka kuno ini, bahwa
kekristenan akan tersebar di kekaisarannya, dan bahwa biara akan mengajar elemen dasar
keyakinan itu sendiri. la juga memberi Paus perlindungannya.

Akan tetapi, Karel Agung tidak punya alasan untuk memberikan kuasanya kepada Paus.
Apakah ia bukan kaisar Kristen yang loyalitas penuhnya adalah untuk Allah? Sesungguhnya,
figur yang luar biasa ini tunduk hanya kepada Dia.

Ketika Karel Agung wafat pada tahun 814, kekaisarannya sedikit demi sedikit mulai pecah,
terbagi-bagi di antara tiga orang putranya, dan perlahan-lahan Paus pun
meraup kekuasaan.

Namun Karel Agung telah mewariskan kepada Barat suatu visi yang memikat: Seorang raja
Kristen dengan otoritas tertinggi di seluruh daerah kekuasaannya. Ratusan tahun berikutnya,
para paus dan raja berupaya mendapatkan kekuasaan semacam itu di daerahnya sendiri – dan
juga di daerah lain. Gagasan ini memakan waktu lama untuk hilang.

863 Cyrillus dan Methodius Mengabarkan Injil kepada Orang-orang Slavia

Berabad-abad sebelum Michelangelo atau kapur tulis digunakan, seorang misionaris yang
artistik telah membuat lukisan "The Last Judgement" (Penghakiman Terakhir)
di sebuah tembok – dan memenangkan seorang raja bagi Kristus.
Menurut cerita, sang pelukis itu ialah Methodius, yang juga merupakan seorang biarawan dan
misionaris, dan sang raja itu ialah Boris dari Bulgaria. Methodius dengan saudaranya, Cyrillus,
mempunyai karir menonjol. Di antara perbuatan mereka yang luar biasa, mereka membawa
iman Kristen kepada orang-orang Slavia. Dalam proses itu, mereka berbuat banyak untuk
mengubah serta memelihara kebudayaan Slavia. Gereja yang di kemudian hari menghasilkan
Hus, Comenius dan banyak lagi pengikut lainnya yang terjaring dalam revolusi spiritual
Zinzendorf, dimulai dengan
dua bersaudara Yunani dari Tesalonika itu.

Mereka berdua adalah gerejawan yang penuh dedikasi. Methodius, saudara tua, adalah kepala
sebuah biara Yunani. Cyrillus (kemudian dikenal sebagai Konstantinus), seorang profesor
filsafat di Konstantinopel, sudah memulai misinya pada orang-orang Arab. Pada tahun 860,
mereka menggabungkan kekuatan untuk
menginjili suku Khazar, di timur laut Laut Hitam.

Ketegangan Timur-Barat sudah memuncak ketika Roma bersaing dengan Konstantinopel


untuk memperoleh kontrol atas agama dan politik di daerah perbatasan. Ketika Rostislav,
penguasa daerah Moravia besar (salah satu daerah perbatasan), khawatir atas orang-orang
Frank dan Jerman yang melewati batas daerah Slavia, ia berpaling ke Timur. Ia meminta
Michael III, penguasa di Konstantinopel, untuk mengirim bantuan dan misionaris. Dengan
demikian, permintaan itu pun
sampai pada Cyrillus dan Methodius.

Kedua kakak beradik yang tiba pada tahun 863 dengan cepat mempelajari bahasa daerah
setempat dan rnulai menerjemahkan Injil serta liturgi gereja ke dalam bahasa Slavia. Cyrillus
menemukan alfabet baru yang didasarkan pada huruf Yunani. (Inilah yang mendasari alfabet
Rusia. Istilah "Cyrillic" sampai saat ini masih dipergunakan
beberapa kalangan.)

Berabad-abad sebelum Wycliffe, Hus atau Luther, ide mengadakan kebaktian dalam bahasa
selain bahasa Latin atau Yunani mengejutkan banyak kalangan. Uskup agung Jerman dari
Salzburg mempertanyakan hal itu. Mungkin ia dimotivasi oleh politik ketimbang kesalehan.
Gereja Roma tidak dapat berpangku tangan ketika daerah Moravia ini yang ada di bawah
kekuasaannya sedang ditimurkan. Cyrillus dan Methodius berangkat ke Roma pada tahun 868
untuk mempertahankan penggunaan bahasa daerah dalam kebaktian. Paus Adrianus II setuju
dengan Cyrillus dan Methodius, dengan mengizinkan mengadakan liturgi dalam bahasa Slavia.
Mereka berdua menjadi biarawan Roma. Pada tahun berikutnya Cyrillus meninggal dunia,
tetapi Methodius kembali ke Moravia sebagai uskup. Meskipun ia merupakan utusan resmi
Paus, biara Jerman menangkap dan memenjarakannya selama tiga tahun. Paus berikutnya,
Yohanes VIII, mengintervensi dan berpihak kepadanya dengan memerdekakan gereja Slavia.
Namun Methodius senantiasa mendapat perlawanan
dari biara Jerman hingga wafatnya pada tahun 885.

Tidak lama kemudian, liturgi Latin menggantikan liturgi Slavia, dan gereja di daerah ini pun
mulai menurun. Namun, iman Kristen yang tangguh dan bebas sudah tertanam. Di tengah-
tengah problem yang mereka hadapi, Cyrillus dan Methodius telah menanamkan tradisi Kristen
di Moravia dan di negara-negara sekitarnya, yang telah memelihara serta mengembangkan
iman tersebut ke seluruh dunia.

Tahun 909 Biara Didirikan di Cluny

Pada abad kesembilan dan kesepuluh, Gereja benar-benar sakit. Pergumulan politik telah
mencabik-cabik Eropa. Para pemimpin Gereja mulai merampas tanah dan kekuasaan. Mereka
mulai menggunakan kekerasan dan penipuan, serta bersikap
amoral – sama seperti panglima-panglima perang orang kafir.

Kemudian William Pious, Pangeran Aquitaine, mendirikan sebuah biara di Cluny. Biara
menjadi perkumpulan independen yang bebas dari perebutan kekuasaan dalam kekaisaran dan
di bawah perlindungan Paus. Biara mengacu pada peraturan-peraturan yang digariskan oleh
Benedictus dari Nursia pada tahun 500-an – kemiskinan, kesucian dan kesetiaan. Peraturan
Benedictus ini disambut dengan baik. Orang termasyhur seperti Gregorius Agung dan Karel
Agung telah menyebarkannya, dan dengan singkat diselenggarakan di seluruh kekaisaran pada
abad kesembilan. Tetapi,
peraturan itu tidak pernah mengakar sampai sekarang di Cluny.

Sederet pemimpin cakap seperti Berno, Odo, Majolus, Odilo, Hugh membuat Cluny berhasil.
Dengan petunjuk mereka, biara-biara baru bertumbuh di Perancis, Italia dan Jerman, sebagai
"asuhan" Cluny. Biara-biara yang telah ada datang ke Cluny untuk meminta bantuan. Pada
zaman feodal itu, Cluny menjadi pusat dunia spiritual. Ia mulai meluaskan kekuasaannya jauh
dari tujuan asal. Tetapi, sudah waktunya suatu gerakan perubahan, dan Cluny memimpinnya.
Tempat itu merupakan gedung gereja terbesar di dunia Kristen Barat, sampai Gereja Santo
Petrus dibangun di Roma. Hingga tahun 1100M, Cluny mungkin telah memimpin sebanyak
2.000 biara.

Gerakan biara ini berdampak bagi pembaruan gereja. Para biarawan memberi contoh dan
mengembangkan perilaku Kristen. Jabatan imam mengalami perbaikan ketika biarawan Cluny
menjadi uskup-uskup dan paus-paus. Cluny menentang keras simoni
– pembelian jabatan imam — dan Nicolaitanisme – pengambilan istri atau pemeliharaan
gundik oleh para imam.

Namun Cluny berhasil juga mengikis beberapa kebiasaan yang disenangi masyarakat kafir.
Golongan kesatria mulai mengembangkan tindakan-tindakan kesatriaan Kristiani. Pernyataan
Cluny tentang "Truce of God" – yang menyatakan bahwa berperang dari hari Kamis malam
hingga hari Minggu pagi adalah pelanggaran – lebih kurang membatasi berbagai peperangan
kecil antara kaum bangsawan, meskipun larangan itu tidak diberlakukan ketika berperang
dengan orang-orang kafir. Karena Paus Urbanus II adalah keluaran biara Cluny, maka
pengaruhnya juga mungkin ikut bertanggung jawab atas terjadinya Perang Salib Pertama.

Kekuasaan Cluny mencapai puncaknya di bawah Kepala Biara Hugh (1049-1109). Di bawah
Peter Venerable (melayani antara 1122 sampai 1156) keadaan mulai menurun. Mungkin
kekuasaan telah menarik Cluny dari kesederhanaan Benedictus. Ordo Cistercian Bernardus di
kemudian hari memperbarui momentum spiritual gereja.

Tahun 988 Pertobatan Vladimir, Pangeran Rusia

Pertobatan penguasa kafir yang senang berfoya-foya telah membawa agama Kristen
ke Rusia. Meskipun kekristenan sudah menembus Rusia pada awal abad kesepuluh, tetapi
agama ini tidak diterima secara umum. Pada tahun 957 Olga, puteri dari Kiev yang menjanda,
telah dibaptis. Ia meminta Raja Jerman, Otto I, agar mengirimkan misionaris ke negerinya;
tetapi mungkin tidak begitu berhasil, karena kepercayaan
kafir tetap hidup.

Vladimir, cucu Olga, adalah salah seorang dari orang-orang kafir. Ia mendirikan sejumlah kuil
kafir, ia juga terkenal akan kekejaman dan pengkhianatannya. la mempunyai 800 selir dan lima
orang istri, dan bila ia tidak berperang, ia pergi berburu dan berpesta. Anda mungkin hampir
tidak akan memilih orang ini untuk
menyebarkan agama Kristen kepada rakyatnya.

Seperti kebanyakan penguasa, Vladimir ingin rakyatnya hidup berkecukupan. Ia melihat bahwa
ia dapat melakukannya dengan menghimpun rakyatnya dalam satu agama. Jadi, menurut
laporan, ia mengirim orang-orangnya untuk meneliti agama-agama yang menonjol. Agama
Islam dan Yahudi dengan keketatan dalam soal makanan tidak menarik baginya. Jadi ia
terpaksa harus memilih salah satu antara
Kristen Roma dan gereja Timur.

Setelah menghadiri kebaktian di Gereja Holy Wisdom di Konstantinopel, orang-orang


Vladimir melapor: "Kami tidak tahu bahwa kami berada di surga atau di atas bumi, karena
sudah pasti, tidak ada kemuliaan dan keindahan seperti itu di mana pun di bumi ini. Kami tidak
dapat menggambarkannya bagi Anda. Yang kami tahu adalah bahwa Tuhan berada di antara
mereka dan bahwa kebaktian mereka melampaui pemujaan di tempat-tempat lain. Kami tak
dapat melupakan keindahan itu."

Menurut cerita, karena keindahannya itulah Vladimir memilih aliran Ortodoks. Kristen
Ortodoks adalah agama tetangga kerajaannya, Kekaisaran Byzantin, yang paling kuat, terkaya
dan sangat berbudaya. Ketika ia ditawari Anna, saudara perempuan Basilius, kaisar Byzantin,
untuk menjadi istrinya, Vladimir menerima. Ia kemudian menggabungkan kedudukannya
sendiri dengan tetangganya itu.

Pada tahun 988 Vladimir dibaptis, dan setahun kemudian ia menikahi Anna. Tetapi kedua
peristiwa itu tidak merupakan isyarat bahwa ia tunduk pada Kekaisaran Byzantin.

Pilihan Vladimir dengan jelas menunjukkan bahwa gereja Rusia akan memusatkan perhatian
pada kebaktian. Gereja Ortodoks Timur selalu menekankan keindahan. Nama agama yang
dipilih oleh pangeran itu ialah Pravoslavie, yang artinya "ibadah yang benar" atau "kemuliaan
sejati". Bagi orang Rusia, kekristenan adalah liturgi.

Setelah pembaptisan Vladimir, dengan tidak begitu sulit, rakyat pun mengesampingkan
kepercayaan lama. Meskipun Rusia tidak menjadi negara Kristen dalam sekejap mata, keadaan
mulai berubah. Awal mula pertobatan massal tidak terlalu mendalam, tetapi dengan bantuan
para biarawan -- yang selalu merupakan kekuatan utama Gereja Ortodoks Timur – agama baru
ini mulai dirasakan pengaruhnya.

Berkat Cyrillus dan Methodius, Rusia memiliki liturginya sendiri dalam bahasanya sendiri —
Slavonic. Di gereja-gereja indah yang dibangun Vladimir dan penerusnya, rakyat dapat
mengikuti liturgi indah dalam bahasa mereka sendiri.

Pertobatan Vladimir membawa akibat efektif atas gaya hidupnya. Ketika ia memperistri Anna,
ia menceraikan kelima orang istri lamanya. la memusnahkan semua patung-patung, melindungi
kaum miskin, mendirikan sekolahsekolah dan gereja-gereja, serta hidup damai dengan negara-
negara tetangga. Menjelang ajalnya, is membagi-bagikan semua miliknya kepada orang-orang
miskin. Gereja Yunani akhirnya mengangkat dia sebagai santo.

Tahun 1054 Skisma Gereja Timur dan Barat

Selama bertahun-tahun lamanya gereja-gereja di Timur dan di Barat tumbuh terpisah satu sama
lain. Apa yang pada satu masa merupakan gereja tunggal, perlahan-lahan terpisah menjadi dua
gereja dengan identitasnya masing-masing.

Banyak perbedaan pendapat yang dicari-cari untuk mengipas-ngipas pertikaian tersebut.


Gereja Timur menggunakan bahasa Yunani, Barat menggunakan Latin. Ini berkat Vulgata dan
para teolog yang menulis dalam bahasa itu. Bentuk kebaktian berbeda: roti yang dipakai untuk
perjamuan, tanggal mulai masa puasa, dan cara merayakan misa. Di Timur, para rohaniwan
boleh menikah dan mereka memelihara janggut. Para imam di Barat dilarang menikah dan
mukanya dicukur bersih.

Teologinya pun berbeda. Timur merasa kurang enak dengan ajaran purgatory (tempat
penyucian jiwa-jiwa sebelum masuk surga). Barat menggunakan istilah Latin filioque, "dan
dari Putra", dalam Pengakuan Iman Nicea, setelah anak kalimat tentang Roh Kudus yang
berbunyi bahwa Roh "datangnya dari Bapa". Bagi Timur,
penambahan tersebut merupakan ajaran sesat.

Perbedaan pendapat yang berlangsung selama berabad-abad lamanya meledak karena dua
orang kuat yang bertikai. Pada tahun 1043, Michael Cerularius menjadi patriarkh
Konstantinopel. Pada tahun 1049 Leo IX menjadi Paus. Leo menginginkan Michael – dan
melalui dia, gereja Timur – tunduk pada Roma. Paus mengirim utusan ke Konstantinopel tetapi
Michael menolak bertemu mereka. Maka utusan tersebut mengucilkan Michael atas nama Paus.
Sang patriarkh pun membalas dengan
mengucilkan utusan tersebut.

Dengan yang satu menuduh yang lain sebagai bukan Kristen sejati, kedua uskup tersebut
menciptakan skisma (perpecahan gereja). Namun bukan mereka sendiri penyebab perpecahan
itu. Kedua orang yang bertikai itu mempunyai sejarah perbedaan pendapat. Skisma itulah aksi
terakhir untuk membuktikannya.

Seperti disebutkan dalam Pengakuan Iman, kedua belah pihak percaya pada "satu gereja
Katolik yang kudus dan apostolik". Tabun 1089 Paus Urbanus mencoba memperbaiki
perpecahan itu dengan menghapuskan pengucilan terhadap patriarkh tersebut. la juga
membangkitkan Perang Salib Pertama dalam upayanya menyatukan
Timur dan Barat, namun gagal.

Pada abad-abad berikutnya, usaha mempersatukan gereja-gereja tersebut muncul, tetapi tidak
satu pun yang berhasil. "Reuni" jangka pendek pada tahun 1204 hanya meningkatkan
permusuhan di antara mereka. Pada tahun 1453, ketika orang-orang Turki Muslim menguasai
Konstantinopel, beberapa orang Kristen Timur berseru bahwa mereka lebih menyenangi orang-
orang Muslim ketimbang orang Katolik. Agaknya sebuah kawasan Kristen yang bersatu sukar
dicapai.

Meskipun perbedaan antara kedua gereja itu tidak begitu penting, namun sesungguhnya hal itu
berkaitan dengan masalah kekuasaan. Pada zaman ketika wibawa para uskup merupakan kunci
bagi stabilitas gereja, tidak ada dua orang yang dapat menuntut wibawa yang sama. Ketika
Timur dan Barat gagal sepakat, mereka berjalan masing-masing dengan caranya sendiri.

Tahun 1095 Paus Urbanus II Melancarkan Perang Salib Pertama

Meskipun menjelang abad kesebelas sebagian besar Eropa memeluk agama Kristen secara
formal — setiap anak dipermandikan, hierarki gereja telah ada untuk menempatkan setiap
orang percaya di bawah bimbingan pastoral, pernikahan dilangsungkan di Gereja, dan orang
yang sekarat menerima ritual gereja terakhir — namun Eropa tidak memperlihatkan diri
sebagai Kerajaan Allah. Pertikaian selalu bermunculan di antara pangeran-pangeran Kristen,
dan peperangan antara para
bangsawan yang haus tanah membuat rakyat menderita.

Pada tahun 1088, seorang Perancis bernama Urbanus II menjadi Paus. Kepausannya itu
ditandai dengan pertikaian raja Jerman, Henry IV — kelanjutan kebijakan pembaruan oleh
Gregorius VIII yang tidak menghasilkan apa-apa. Paus yang baru ini tidak ingin meneruskan
pertikaian ini. Tetapi ia ingin menyatukan semua kerajaan Kristen. Ketika Kaisar Alexis dari
Konstantinopel meminta bantuan Paus melawan orang-orang Muslim Turki, Urbanus melihat
bahwa adanya musuh bersama ini akan
membantu mencapai tujuannya.

Tidak masalah meskipun Paus telah mengucilkan patriarkh Konstantinopel, serta Katolik dan
Kristen Ortodoks Timor tidak lagi merupakan satu gereja. Urbanus mencari jalan untuk
menguasai Timur, sementara ia menemukan cara pengalihan bagi
para pangeran Barat yang bertengkar terus.

Pada tahun 1095 Urbanus mengadakan konsili Clermont. Di sana ia menyampaikan


khotbahnya yang menggerakkan: "Telah tersebar sebuah cerita mengerikan ... sebuah golongan
terkutuk yang sama sekali diasingkan Allah ... telah menyerang tanah (negara) orang Kristen
dan memerangi penduduk setempat dengan pedang, menjarah dan membakar." la berseru:
"Pisahkanlah daerah itu dari tangan bangsa yang jahat itu
dan jadikanlah sebagai milikmu."

"Deus vult! Deus vult! (Allah menghendakinya)," teriak para peserta. Ungkapan itu telah
menjadi slogan perang pasukan Perang Salib. Ketika para utusan Paus melintasi Eropa,
merekrut para kesatria untuk pergi ke Palestina, mereka mendapatkan respons antusias dari
pejuang-pejuang Perancis dan Italia. Banyak di antaranya tersentak karena tujuan agamawi,
tetapi tidak diragukan juga bahwa yang lain berangkat untuk keuntungan ekonomi. Ada juga
yang ingin berpetualang merampas kembali tanah
peziarahan di Palestina, yang telah jatuh ke tangan Muslim.

Mungkin, para pejuang tersebut merasa bahwa membunuh seorang musuh non-Kristen adalah
kebajikan. Membabat orang-orang kafir yang telah merampas tanah
suci orang Kristen tampaknya seperti tindakan melayani Allah.
Untuk mendorong tentara Perang Salib, Urbanus dan para paus yang mengikutinya
menekankan "keuntungan" spiritual dari perang melawan orang-orang Muslim itu. Dari sebuah
halaman Alquran, Urbanus meyakinkan para pejuang itu bahwa dengan melakukan perbuatan
ini, mereka akan langsung masuk surga, atau sekurang-
kurangnya dapat memperpendek waktu di purgatory.

Dalam perjalanannya menuju tanah suci, para tentara Perang Salib berhenti di Konstantinopel.
Selama mereka ada di sana, hanya satu hal yang ditunjukkan: Persatuan antara Timor dan Barat
masih mustahil. Sang kaisar melihat para prajurit yang berpakaian besi itu sebagai ancaman
bagi takhtanya. Ketika para tentara Perang Salib mengetahui bahwa Alexis telah membuat
perjanjian dengan orang-orang Turki, mereka merasakan bahwa "pengkhianat" ini telah
menggagalkan bagian pertama misi
mereka: menghalau orang-orang Turki dari Konstantinopel.

Dengan bekal dari sang kaisar, pasukan tersebut melanjutkan perjalanannya ke selatan dan
timur, menduduki kota-kota Antiokhia dan Yerusalem. Banjir darah mengikuti kemenangan
mereka di Kota Suci itu. Taktik para tentara Perang Salib ialah "tidak membawa tawanan".
Seorang pengamat yang merestui tindakan tersebut menulis bahwa para prajurit "menunggang
kuda mereka dalam darah yang tingginya
mencapai tali kekang kuda".

Setelah mendirikan kerajaan Latin di Yerusalem, dan dengan mengangkat Godfrey dari
Bouillon sebagai penguasanya, mereka berubah sikap, dari penyerangan ke pertahanan.
Mereka mulai membangun benteng-benteng baru, yang hingga kini,
sebagian darinya masih terlihat.

Pada tahun-tahun berikutnya, terbentuklah ordo-ordo baru yang bersifat setengah militer dan
setengah keagamaan. Ordo paling terkenal adalah Ordo Bait Allah (Knights Templars) dan
Ordo Rumah Sakit (Knights Hospitalers). Meski pun pada awalnya dibentuk untuk membantu
para tentara Perang Salib, mereka menjadi organisasi militer yang tangguh dalam pendiriannya
sendiri.

Perang Salib pertama merupakan yang paling sukses. Meskipun agak dramatis dan
bersemangat, berbagai upaya kemiliteran ini tidak menahan orang-orang Muslim secara efektif.
Pada tahun 1291, pasukan Muslim menduduki kola Acre, yang secara efektif mengakhiri
Perang Salib.

Dalam banyak hal, Perang Salib telah meninggalkan warisan negatif. Hubungan yang rusak
antara gereja-gereja Timur dan Barat, dan kekejaman para tentara Perang Salib hanya membuat
musuh-musuh mereka lebih fanatik. Ditambah lagi, semua pelajaran yang diterima selama
peperangan, telah menjadi bagian dari strategi mereka untuk diterapkan dalam pertempuran
melawan orang-orang Kristen lain.

Tanggapan yang ditujukan pada panggilan Urbanus, meningkatkan kuasa kepausan. Ia berhasil
mengumpulkan sejumlah besar prajurit yang bersedia mati demi imannya, perbuatan yang tidak
dapat diremehkan oleh pangeran mana pun.
Pergumulan kekuasaan antara Gereja dan negara belum usai.

Tahun 1115 Bernardus Mendirikan Biara di Clairvaux

Kebiaraan telah menentukan cita-cita kesucian dan kesederhanaan untuk kalangannya sendiri.
Untuk sementara waktu, setiap gerakan biara memenuhi secara efektif maksud-maksud baik
itu, tetapi lambat-laun kelengahan dan keduniawian telah menguasainya. Maka, sebuah tatanan
baru, dengan ketulusan dan kesederhanaan yang
lebih keras, muncul.

Lewat pertengahan abad kesepuluh, para Benediktin telah menjadi mangsa kuasa tersebut dan
membutuhkan pembaruan. Dari golongan mereka sendiri berkembanglah Cistercian (Ordo
Biarawan Pulih), yang ingin kembali ke hidup sederhana dengan
bekerja dan berdoa.

Seorang Cistercian yang paling besar — seorang yang sangat mempengaruhi Gereja zaman
pertengahan - adalah Bernardus. Ia meyakinkan tiga puluh biarawan dalam ordonya, untuk
mengikutinya ke sebuah biara baru, yang akan ia bangun di Clairvaux. Dari biara itu, Bernardus
membawa namanya ke dunia Kristen. Menjelang kematiannya pada tahun 1153, ia telah
mendirikan enam puluh lima rumah Cistercian, mendorong orang-orang beriman teguh,
menyulitkan para raja,
menghasilkan para paus dan mengkhotbahkan Perang Salib.
Sambil mencari reformasi moral dan kesucian pribadi, Bernardus menekankan keharusan
pengalaman pribadi tentang Kristus dan mendorong penyangkalan diri serta mengubah cinta
terhadap duniawi menjadi cinta terhadap Allah. Tekanannya itu
membawa ke kesucian umum yang lebih Iuas.

Sebagai seorang teolog dan penulis berinspirasi, Bernardus berkata bahwa teologi dan
pemahaman Alkitab "harus menembus hati ketimbang penjelasan kata-kata". Tidak seperti para
Skolastik yang menekankan akal budi, Bernardus berfokus pada perlunya perubahan hidup. Ia
berupaya semampunya membungkam berbagai ajaran orang-orang seperti Petrus Abelardus,
contoh sempurna dari orang yang selalu ragu-ragu
pada Abad Pertengahan.

Meskipun Bernardus berpegang teguh pada ortodoksi, ia membawa tekanan kuat pada Maria
bagi kesalehan abad pertengahan. la menolak doktrin Immaculate Conception (Doktrin tentang
Maria yang dikandung tanpa dosa). Baginya, hanya Kristus yang tidak berdosa. Di kemudian
hari, orang-orang Kristen mengembangkan ide-idenya
dan menjadikannya sistem kepercayaan Gereja.

Meskipun Bernardus menyukai kehidupan sederhana, kesohorannya sebagai santo, penulis dan
pengkhotbah tersebar jauh melewati tembok-tembok biaranya. la terlibat dalam politik yang
bergejolak ketika itu, hingga ke titik penentuan antara dua pesaing yang menuntut takhta paus.
Ia juga adalah juru bicara yang gagah untuk Perang Salib
Kedua – yang terbukti tidak efektif sama sekali.

Terkadang, orang yang berpikiran tinggi ini keras kepala dan tidak bertenggang rasa.
Keberadaannya sebagai campuran antara tokoh publik dan mistik sungguh mengherankan. Ia
tetaplah pembela kebenaran, orang yang ikut campur tangan dalam urusan dunia, namun tetap
tidak tercemari oleh urusan-urusan itu. Bernardus dari Clairvaux mewariskan kepada orang
lain tujuan tunggalnya: penyerahan sepenuhnya kepada Allah.

Tahun ±1150 Universitas Paris dan Universitas Oxford Didirikan

Apa yang akan terjadi jika Anda berdebat dengan profesor teologi Anda – mungkinkah Anda
menang? Kemungkinannya, pada Abad Pertengahan, Anda akan dicap sebagai seorang
penganut ajaran sesat dan akan dikeluarkan dari sekolah. Hal itulah yang terjadi pada diri Petrus
Abelardus yang cerdas. Inilah salah satu sebab
berdirinya universitas.

Pada awalnya, pendidikan lanjutan selalu diberikan di biara-biara atau di sekolah-sekolah


katedral. Tetapi sekolah-sekolah semacam ini mulai menarik guru-guru dari luar biara. Guru-
guru seperti ini selalu mempertanyakan dogma gereja yang resmi.

Itulah kasus Abelardus. Ia dan beberapa orang seperti dia menjalankan "praktik privat" dan
hidup dari honor yang disumbangkan para murid di tempat mereka mengajar. Abelardus sendiri
mempunyai bermacam-macam karir. Ia mendirikan sekolahnya sendiri di St. Denis, kembali
mengajar di Katedral Notre Dame, kemudian mengajar di sekolahnya sendiri. Kesohorannya
menarik murid-murid ke Paris, tetapi Gereja tidak yakin apakah ia dapat dipercaya. Akhirnya,
sekelompok guru semacam itu, yang dipecat dari biara-biara di Notre Dame, mendirikan usaha
di tepi kiri Sungai Seine.

Ada perdebatan: apakah Bologna atau Paris yang mempunyai "universitas" pertama. Di
Bologna, guru Irnerius mendirikan sekolah hukum pada tahun 1088, yang diizinkan oleh Kaisar
Frederick Barbarossa pada tahun 1159. Tetapi istilah "universitas" datangnya dari Paris. Pada
zaman pertengahan, semua jenis usaha diorganisasi dengan rapi. Jadi, para guru dan murid
sepanjang Seine mengorganisasi sejenis serikat sekerja, Universitas Societas Magistrorum et
Scholarium (Masyarakat Universal Pengajar dan Murid), di bawah kuasa seorang rektor.
Rektor ini secara agak longgar bertanggung jawab pada uskup Paris, dan mempunyai
wewenang
memberikan surat izin mengajar.

Pada tahun 1200, Philip II dari Perancis memberikan status resmi bagi "universitas" ini. Seperti
di Bologna, para pengajar dan pelajar memiliki keistimewaan sosial dari rohaniwan, walaupun
terpisah dari mereka. Paus Innocentius III (yang telah belajar di Paris) menguatkan status
sekolah tersebut pada tahun 1208. Pengurus universitas benar-benar mogok pada tahun 1229
— 1231 karena pertikaian dengan uskup tentang pengawasan proses pendidikan. Paus
Gregorius IX mengakhirinya dengan pengaturan
sendiri bagi sekolah tersebut.

Universitas Paris menjadi poros pendidikan bagi sebagian besar Eropa, sekurang-kurangnya di
bagian utara pegunungan Alpen. Dengan demikian, berkembanglah empat "kebangsaan" dalam
studi, dengan mengelompokkan guru dan murid dari latar belakang yang sama: Perancis,
Inggris/Jerman, Normandia, Picardia (dari dataran rendah). Para pelajar asing membutuhkan
pemondokan juga, yang telah disediakan negara. Hal inilah yang membentuk kerangka
"colleges" (perguruan-perguruan tinggi) di bawah naungan universitas. Paris pun
mengembangkan empat bidang studi:
seni, kedokteran, hukum dan teologi.

Pada tahun 1167, jauh sebelum universitas Paris menerima status resmi, Henry II melarang
pelajar Inggris belajar di Paris. Sebuah Studium Generale pun didirikan di Oxford, yang
diorganisasikan secara resmi di bawah seorang rektor, pada tahun 1215.

Abad ketiga belas merupakan masa subur pendidikan. Paris, Oxford dan Bologna menjadi
pusat-pusat teologi, filsafat dan ilmu pengetahuan. Berbagai peristiwa ini telah membentuk
tradisi pendidikan yang terpelihara sampai hari ini.

Universitas-universitas tersebut merupakan inkubator (alat penetas telur) bagi Renaisans (masa
kebangkitan kembali) masa Reformasi.

Tahun 1173 Peter Waldo Memulai Gerakan Kaum Waldens

Sebelum Reformasi, beberapa kelompok orang Kristen merasa keberatan atas jalan yang
ditempuh Gereja Katolik. Salah satunya ialah kaum Waldens, yang dimulai seorang saudagar
Perancis, yang merasa kecewa terhadap gereja Abad Pertengahan.
Pada suatu hari, Peter Waldo mendengar seorang penyanyi keliling bernyanyi tentang seorang
muda yang kaya, yang meninggalkan keluarganya dan kembali setelah bertahun-tahun
lamanya. Orang muda itu kembali dengan berpakaian seperti seorang pengemis dan menjadi
begitu kurus sehingga sanak keluarganya sendiri tidak mengenalinya. Hanya saat ia menemui
ajalnya ia menampakkan identitas sesungguhnya. Ia telah hidup di antara orang-orang miskin
dan mati dengan gembira, gembira akan menemui Allah yang selalu tersenyum kepada orang
miskin.

Tergerak oleh cerita itu, Waldo segera bertindak, menyisihkan dana secukupnya untuk istrinya,
dan menempatkan kedua putrinya di asrama. Sisa kekayaannya ia bagikan kepada orang
miskin. Ia mempekerjakan dua orang imam untuk menerjemahkan Alkitab dalam bahasa
Perancis dan mulai menghafal tulisan-tulisan panjang. Kemudian ia mulai mengajar orang-
orang biasa tentang Kristus.

Meskipun para biarawan dan biarawati telah mengajar tentang kemiskinan dan penyangkalan
diri — walaupun mereka sendiri sering gagal berpegang pada sumpah mereka — gereja melihat
hal ini sebagai sesuatu yang perlu mereka praktikkan. Tidak banyak orang berharap bahwa
orang-orang biasa dapat hidup suci.
Waldo dan para pengikutnya — yang menamakan dirinya sebagai Orang-orang Miskin dari
Lyons — yakin bahwa Yesus menginginkan ajaran-Nya dijalankan semua orang. Dengan
berpasangan para Waldens mengunjungi tempat-tempat umum,
mengajarkan Perjanjian Baru kepada orang-orang awam.

Perbedaan antara Gereja dan para pengajar ini tampak jelas bagi uskup agung Lyons. Ia
memerintahkan mereka menghentikannya. Waldo menyitir Rasul Petrus: "Kita harus lebih taat
kepada Allah daripada kepada manusia" (Kis. 5:29). Meskipun uskup agung mengucilkan
Waldo, hal itu tidak menghentikan dia ataupun gerakan yang menyandang namanya. Para
Waldens mengajukan banding kepada Paus Alexander II. Meskipun ia dapat dikejar sampai
pada Persidangan Lateran Ketiga (1179), orang-orang Waldens yang sibuk "berpasangan,
berjalan tanpa alas kaki, berpakaian wol, tanpa memiliki apa pun, dengan anggapan semua
benda milik bersama seperti para rasul", mengesankan Paus. Karena mereka hanyalah orang-
orang awam belaka, walau bagaimanapun, ia tidak dapat mengizinkan mereka mengajar tanpa
persetujuan
seorang uskup — suatu hal yang tidak mungkin mereka capai.

Mengingat perkataan dalam Kisah Para Rasul, Waldo dan pengikutnya melanjutkan
pengajarannya. Ini mengakibatkan pengucilan mereka oleh Paus Lucius III pada
tahun 1184.

Kaum Waldens tidak mengajarkan ajaran sesat, walaupun Gereja menuduh mereka demikian.
Mereka bersifat ortodoks. Namun, karena mereka berada di luar struktur gereja, para pengikut
Waldo ini tidak mendapat pengakuan hierarki Gereja. Bagi orang-orang gerejawi Abad
Pertengahan, apa pun yang ada di luar Gereja adalah
ajaran sesat.

Banyak orang Kristen Perancis dan Italia, yang telah kecewa dengan Gereja yang bersifat
duniawi, berpaling ke Waldensian, yang mengajarkan imamat bagi setiap orang percaya.
Mereka menolak relikwi, ziarah dan paraphernalia seperti air suci dan pakaian-pakaian
rohaniwan, hari-hari para santo dan perayaan lainnya, serta purgatory. Komuni bukanlah
sesuatu untuk dilaksanakan setiap hari Minggu, dan para pengkhotbah Waldens berbicara serta
membacakan Injil kepada orang-orang
dalam bahasa mereka sendiri.

Pada tahun 1207, Paus Innocentius III menawarkan bahwa para Waldens akan diterima jika
mereka mau tunduk pada para pejabat Gereja Katolik. Banyak yang kembali — tetapi yang
lain tidak. Pada tahun 1214 Paus mengutuk mereka sebagai orang-orang berhaluan ajaran sesat
dan menyerukan agar mereka ditindas. Inkuisisi (penyelidikan dan pengadilan Gereja Katolik)
melaksanakan tugasnya dengan
melenyapkan mereka.

Kendati mengalami semua penindasan ini, namun kaum Waldens tidak jera, dan tetap
meneruskannya. Mereka menyebar di seluruh Eropa, dan ketika Reformasi muncul, mereka
disambut hangat oleh sebagian kaum Protestan. Sekarang mereka menganggap dirinya sebagai
orang-orang Protestan. Kaum Waldens adalah saksi hidup bahwa pada masa-masa suram
sejarah Gereja, gerakan perbaikan bate selalu akan muncul dari dalam Gereja.

Tahun 1206 Fransiskus dari Asisi Meninggalkan Kekayaannya

Memasuki abad ketiga belas, masa depan bagi pemuda Fransiskus Bernardone tampak cerah.
Sebagai seorang putra pedagang kain di Asisi, Italia, Fransiskus tentunya dapat mengharapkan
kehidupan seorang kesatria dan kaya.

Asisi sedang berperang dengan tetangganya Perugia, jadi Fransiskus pun berangkat ke medan
perang. Dengan pakaian besi, helm berjambul dan tombak di sisinya, ia tampak bersinar.
Karena tertangkap dalam suatu pertempuran, ia menjadi tawanan perang selama satu tahun di
Perugia. Tidak berapa lama setelah dibebaskan, ia sakit parah. Semua pengalaman ini
membuatnya bertanya-tanya apa arti harta yang diwarisinya.
Suatu hari, ketika ia sedang berkuda, ia melihat seorang penderita lepra di jalanan. Fransiskus
sebelumnya pernah merasa mual melihat pengemis seperti ini dan mulai melarikan kudanya
dengan cepat melewati dia, tetapi orang ini beda adanya. Penderita lepra ini berparaskan wajah
Kristus. Diliputi dengan perasaan devosi spiritual, Fransiskus turun dari kudanya dan mencium
pengemis tersebut. Ia memberi uang kepada pengemis itu, dan membawanya ke tujuannya
dengan duduk di atas kuda
di belakangnya.

Dorongan untuk mempedulikan orang-orang yang sedang membutuhkan bertumbuh dalam diri
Fransiskus, meskipun ayahnya mengejeknya. Pada tahun 1206 Fransiskus meninggalkan
rumahnya, melepaskan harta ayahnya, kemudian ayahnya memutuskan hubungan dengan dia.
Orang muda ini mengabdikan dirinya pada kehidupan miskin. Makanan atau pakaian sekecil
apa pun akan diberikannya kepada mereka yang membutuhkannya. Ia sendiri menjadi seorang
pengemis, tanpa malu-malu meminta-minta dari orang "berada", agar ia dapat membagikannya
kepada orang yang "tidak berada".
Fransiskus mulai berkhotbah di kapel-kapel dekat Asisi yang telah ditinggalkan. Pesan Injil
yang sederhana tentang kasih dan pelayanan telah menghasilkan banyak pengikut setia. Bagi
mereka yang ingin bergabung dengannya dengan meninggalkan harta mereka, ia menggariskan
sekumpulan peraturan untuk hidup; peraturan-peraturan dasar Ordo Fransiskan (Fransiscan
Order). Ia bersama-sama tujuh orang rekannya pergi ke Roma untuk mendapatkan persetujuan
Paus bagi ordonya.

Menjelang tahun 1218, sudah ada sekurang-kurangnya 3.000 pengikut Fransiskus. Ia telah
mengobarkan semangat mereka. Gereja telah menimbun harta dan kuasa. Dalam masyarakat
Italia, yang kaya bertambah kaya, dengan restu Gereja, sementara si miskin mati kelaparan.
Namun, Fransiskus menawarkan cara kesederhanaan baru, yang tidak dinodai oleh ketamakan.
Banyak yang taat beragama mengikuti teladannya. Banyak lagi, yang tidak ingin
mengorbankan hartanya, mengagumi para pengkhotbah miskin ini dan mendukung mereka
dengan pemberian sedekah.

Berabad-abad kemudian, Martin Luther mengkritik dengan tajam tradisi Fransiskan ini karena
penekanannya pada perbuatan baik – menurutnya hanya iman yang akan memberi keselamatan.
Namun, dalam banyak hal, kedua reformis ini bertempur melawan musuh yang sama: gereja
yang hanya mempedulikan kelestarian statusnya sendiri, dan melupakan ajaran-ajaran Kitab
Suci yang sederhana.

Pada puncak kemasyhurannya, pada bulan Oktober tahun 1226, Fransiskus wafat. Dua tahun
kemudian ia diangkat menjadi santo. Kata-kata terakhirnya ialah, "Saya telah menunaikan
tugas saya, semoga Kristus sekarang mengajar Saudara tugas-tugas Saudara."

Tahun 1215 Konsili Lateran Keempat

Paus yang berkuasa antara tahun 1198 dan 1216, Innocentius III, mewujudkan kepausan yang
sangat berkuasa dalam sejarah Abad Pertengahan. Orang yang susah diajak kompromi dan
yang berbakat ini berupaya membawa ketertiban dan disiplin pada Gereja. Ia mengadakan
perubahan dan memusatkan administrasi Gereja serta
terlibat juga dalam urusan-urusan politik pada zamannya.

Innocentius menginginkan kepausan yang mengontrol berbagai urusan gerejawi dan negara.
Apabila para Paus yang terdahulu menjuluki diri mereka sebagai "wakil Petrus", Innocentius
menuntut hak sebagai "wakil Kristus". Dengan menyatakan bahwa ia adalah duta Kristus di
bumi, ia berkata bahwa Paus adalah "perantara antara Allah dan manusia, di bawah Allah tetapi
di atas manusia". Dengan tegas ia menjalankan tugasnya, seperti mengasingkan para pangeran
yang susah diatur
ataupun mengusir orang-orang sesat.

Pada tahun 1215, pada Konsili Lateran Keempat, Gereja menyerap banyak ide-ide innocentius.
Dalam sidang yang panjang selama tiga hari, mereka menghasilkan
ratusan dekrit.

Karena Innocentius merasa peduli, bahwa setiap orang Kristen yang telah dibaptis harus
menampilkan citra kekristenan, sidang tersebut mewajibkan setiap orang mengaku dosa kepada
seorang pastor dan mengambil komuni setiap tahun.

Melalui Konsili Lateran Keempat ini, doktrin "Transubstansiasi" (doktrin bahwa substansi roti
dan anggur berubah menjadi substansi tubuh dan darah Kristus) dengan resmi menjadi bagian
dari gereja. Secara tidak resmi, ide bahwa roti dan anggur adalah tubuh dan darah Kristus telah
beredar selama bertahun-tahun. Gereja memandang pengambilan komuni sebagai bagian
penting untuk mendapatkan keselamatan; penyangkalan, seperti halnya dengan pengucilan,
berbahaya bagi jiwa. Dengan kesempatan berhubungan langsung dengan tubuh dan darah
Kristus, para imam memegang peranan penting dalam otoritas Gereja. Pengucilan berkekuatan
besar karena hal itu menyangkal hubungan seseorang dengan Kristus.

Menyadari ketidaktahuan banyak imam, Innocentius mendorong persidangan itu untuk


memberlakukan peraturan bahwa setiap katedral harus memiliki seorang guru teologi. Dengan
demikian akan ada orang yang memberi penjelasan kepada para imam.
Seirama dengan pandangan tinggi Innocent tentang otoritas paus, kepercayaannya bahwa
hanya ada satu Gereja yang benar, tempat kebenaran spiritual tersimpan, telah mewujudkan
kepausan yang lebih kokoh. Setuju atau tidak dengan Gereja bukan lagi suatu pilihan. Para
pengikut ajaran sesat membahayakan bukan saja jiwa mereka sendiri, tetapi jiwa orang lain
juga. Konsili mengatur langkah agar negara menghukum orang-orang sesat dan menyita harta
mereka. Para pejabat yang enggan melepaskan orang sesat akan dikucilkan, dan mereka yang
bekerja sama dengan
Gereja akan menerima pengampunan penuh.

Sekali lagi Gereja menghadapi masalah penunjukan pejabat Gereja yang kafir. Para penguasa
yang tidak beragama ditolak untuk menetapkan para uskup di kawasannya. Hanya paus yang
dapat menetapkan atau mencopot uskup-uskup menurut Konsili. lnnocentius menolak
menerima uskup agung Canterbury yang ditetapkan raja Inggris, John. Untuk memaksa John
patuh, paus mengucilkannya. Karena takut akan kehilangan takhtanya, raja yang keras kepala
itu akhirnya mengalah.

Konsili itu juga menyerukan agar orang-orang Yahudi diharuskan mengenakan identitas
khusus. Orang-orang Kristen dilarang mengadakan transaksi dagang dengan mereka. Lambat
laun hal ini mewujudkan perkampungan Yahudi tersendiri (Jewish ghettos).

Dalam dekrit ini dan yang lainnya, Innocentius telah menciptakan lembaga yang sampai
Reformasi mempunyai pengaruh dominan di Eropa.

Tahun 1273 Thomas Aquinas Menyelesaikan Karyanya Summa Theologica

Orang yang sistem teologinya di kemudian hari menjadi panduan bagi gerejanya, dulunya
dijuluki sebagai 'Dumb Ox" (sapi bisu) oleh rekan-rekan sekolahnya di Cologne. Meskipun
julukan ini mungkin cocok mengingat tubuhnya yang besar, lamban dan sikapnya yang serius,
nama ini tentunya tidak mencerminkan kecerdasan otaknya.
Teolog terbesar Abad Pertengahan, Thomas Aquinas, dilahirkan pada tahun 1225 dalam
keluarga bangsawan yang kaya. Menjelang usia lima tahun ia terkenal akan kesalehannya, dan
orangtuanya pun mengirim dia ke sekolah biara.

Pada usia empat belas tahun, ia pergi ke Universitas Naples. Di sana Thomas begitu terkesan
dengan guru Dominikannya. Ia memutuskan untuk menjadi seorang
biarawan Dominikan juga.

Keluarga Thomas berupaya keras mengubah pikirannya. Mereka mencoba menculiknya,


membujuknya dan menyekap dia selama satu tahun, namun akhirnya mereka mengalah.
Thomas pergi ke Paris untuk belajar pada Albertus Magnus, yang
kemudian mempekerjakannya ke Paris.

Pada zaman ini, filsuf-filsuf bukan Kristen mengusik otak para pemikir Kristen. Karya-karya
Aristoteles, Averroes yang Muslim dan Maimonides yang Yahudi telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Latin. Para sarjana tertarik kepada para filsuf yang menjelaskan seluruh jagat
raya tanpa mengacu pada Kitab Suci Perjanjian Baru.

Melanjutkan tradisi kesarjanaan, Thomas berupaya menyatukan rangkaian filsafat dan teologi
yang agak terpisah. Ia membedakan keduanya, yang ia sebut akal dan wahyu, namun ia
menekankan bahwa keduanya itu tidak perlu dipertentangkan. Keduanya adalah sumber
pengetahuan la mengatakan bahwa keduanya berasal dari Allah, namun, "Dalam teologi suci,
segala sesuatu diperlakukan dari sudut pandang Allah."

Thomas memahami keterbatasan rasio, yang hanya didasari pengetahuan melalui indra.
Sementara kita dibawa rasio untuk percaya kepada Allah, menurutnya, hanya wahyulah yang
akan menunjukkan Allah Tritunggal yang ada di Alkitab. Wahyu sendiri dapat dengan
sempurna menunjukkan asal-usul dan nasib manusia. Dengan menggunakan wahyu dan logika
sebagai dasarnya, manusia dapat membangun teologi yang akan menjelaskan dirinya dan alam
semesta ini.

Argumentasi Summa Theologica yang berliku-liku itu menunjukkan kesanggupan Thomas


Aquinas untuk melakukan penalaran yang rumit. Pada awalnya ia ditentang. Di Gereja, banyak
yang tidak menerima penekanan kaum Skolastik pada akal. Tetapi tidak lama kemudian, karya
ini dan karya-karya lainnya, seperti Summa Contra Gentiles, yang pada satu masa mengundang
perbantahan, telah menjadi bagian terkemuka doktrin Gereja. Ketika Gereja Katolik mengatur
kekuatan melawan kebangkitan Protestan pada Konsili Trente, mereka menggunakan karya-
karya Aquinas.

Meskipun ia telah menjadi salah seorang teolog, guru dan pengkhotbah terkemuka gereja,
keberadaan Aquinas tetap sederhana. Tiga bulan menjelang kematiannya, pada tahun 1274, ia
mengumumkan bahwa penglihatan dari surga dengan jelas menunjukkan bahwa teologinya
hanyalah "tumpukan jerami". Ia membuang tulisan-tulisan teologis, dan Summa Theologica
tidak pernah benar-benar diselesaikan.

Tahun ±1380 Wycliffe Mengawasi Penerjemahan Alkitab ke dalam Bahasa Inggris

"Seorang tokoh berperawakan tinggi dan kurus, ditutupi jubah hitam panjang dan ringan ...
kepalanya dihiasi jenggot yang bertumhuh lebat menampilkan ketampanan yang berpandangan
tajam; matanya yang jernih dan menembus, bibir tertutup rapat
sebagai tanda berpendirian teguh."

Begitulah John Wycliffe berdiri di depan uskup London pada tahun 1377, menjawab semua
pertanyaan tentang ajaran sesat yang dituduhkan kepadanya. Temannya sekaligus
pendukungnya, John Gaunt, pangeran Lancaster, melangkah dengan arogan ke dalam gereja.
Pembicaraan apakah Wycliffe harus berdiri atau duduk berubah menjadi pertengkaran. Hal itu
kemudian berubah menjadi pertikaian. John Gaunt pun lari menyelamatkan diri. Bayangkan
saja, Wycliffe adalah seorang pemberani dan pembicara blak-blakan baik dalam teologi
maupun pengetahuan. Tetapi dalam politik
ia selalu terjebak dalam pertempuran antara dua pihak.

John Wycliffe adalah orang terpelajar yang terkemuka pada zamannya. Seluruh Inggris
menghormati kebijakannya. Pendidikan di universitas masih merupakan fenomena baru ketika
itu, dan peranan Wycliffe sungguhlah besar bagi reputasi
Oxford, tempat ia belajar dan mengajar.

Namun, kehidupannya penuh dengan kontroversi. Ia mempunyai kebiasaan berbahaya, yaitu


mengatakan apa yang dipikirkannya. Jika apa yang dipelajarinya membuatnya
mempertanyakan tentang ajaran Katolik resmi, ia langsung menyuarakannya. Ia
mempertanyakan hak gereja atas kuasa duniawi dan kekayaannya. Ia mempertanyakan juga
penjualan surat-surat pengampunan dan jabatan-jabatan gerejawi, penyembahan para santo dan
relikwi yang berbau takhayul, serta kuasa paus. la mempertanyakan juga pandangan resmi
tentang Ekaristi (doktrin transubstansiasi) yang dikeluarkan oleh Konsili Lateran Keempat.
Untuk pandangan-pandangan semacam ini dan lainnya, ia selalu harus membela diri di hadapan
para
uskup dan konsili-konsili.

Inggris penuh sentimen terhadap Gereja Roma, bahkan pada tahun-tahun 1300-an.
Kepemimpinan sekuler sangat kuat di Inggris. Para pangeran — dan banyak orang awam —
menyesaalkan cara Gereja merampas kekuasaan dan harta. John Gaunt sering memakai ide-ide
dan kesohoran Wycliffe dalam berargumentasi dengan Gereja. Sebagai imbalannya, ia
memberi Wycliffe semacam perlindungan dari hierarki.

Untuk sementara, Wycliffe merupakan pahlawan yang populer. Para pengikutnya, yakni
Lollard, para imam yang menganut kemiskinan para rasul dan mengajarkan Kitab Suci kepada
kalangan umum, mengembara di Inggris dengan Injil. Tetapi tatkala pengaruhnya. menurun,
Wycliffe menjadi kurang berguna bagi para sponsornya, termasuk Lancaster. Peristiwa tahun
1377 mengakibatkan tulisannya dilarang.

Oposisi pun semakin intensif. Sementara ia sendiri diamankan dari kekerasan, tulisan-
tulisannya dibakar dan ia dicopot dari kedudukannya di Oxford serta dilarang
menyebarluaskan pandangannya.

Hal ini memberinya waktu untuk menerjemahkan Alkitab. Menurut Wycliffe, setiap orang
harus diberi keleluasaan membaca Kitab Suci dalam bahasanya sendiri. "Oleh karena Alkitab
berisikan Kristus, yang diperlukan untuk mendapatkan keselamatan, Alkitab sangat diperlukan
bagi semua orang, bukan bagi para imam saja," tulisnya. Maka meskipun Gereja tidak setuju,
ia bekerja bersama sarjana lain untuk menerjemahkan Alkitab Inggris pertama yang lengkap.
Menggunakan salinan tulisan tangan Vulgata (Alkitab terjemahan Bahasa Latin), Wycliffe
berusaha keras membuat Kitab Suci agar dapat dimengerti oleh orang-orang sebangsanya.
Edisi pertama diterbitkan. Penerbitan kedua yang diselesaikan setelah Wycliffe meninggal,
mengalami perbaikan. Namun edisi itu dikenal sebagai "Alkitab Wycliffe", dan
dibagi-bagikan secara ilegal oleh para Lollard.

Wycliffe terkena stroke di gereja dan meninggal pada tanggal 31 Desember 1384. Tiga puluh
satu tahun kemudian, Konsili Konstanz mengucilkan dia, dan pada tahun 1428 kuburannya
digali dan tulang-tulangnya dibakar, abunya disebarkan di sungai Swift.

Tidak ada yang tahu secepat apa idenya akan tersebar di seluruh Eropa. Dampak ajarannya
pada para pemimpin di kemudian hari, seperti Yohanes Hus, memberikan Wycliffe julukan
"Bintang Fajar Reformasi". Ia sendiri berusaha tetap bertahan di Gereja Roma sepanjang
hidupnya, tetapi dalam hati dan benak para pendengarnya, Reformasi sudah bergerak secara
diam-diam.

Tahun 1415 Yohanes Hus Dibakar pada Tiang Pancang

"Kita akan memberinya kesulitan." "We'll cook his goose." Orang yang dimaksud kata-kata
tersebut ialah Yohanes Hus, yang arti nama belakangnya adalah goose (angsa) dalam
bahasanya, Ceko. Orang yang mengucapkan kata-kata di atas mengacu pada fakta bahwa Hus
dibakar di tiang pancang. Namun ketika para penguasa negara dan gereja menghukum Hus,
mereka sesungguhnya menyulut api nasionalisme dan
reformasi Gereja.

Pada tahun 1401, Yohanes ditahbiskan menjadi imam. Sebagian besar karirnya dihabiskan
dengan mengajar di Universitas Charles, di Praha dan berkhotbah di Kapel Betlehem yang
berpengaruh, yang letaknya tidak jauh dari universitas itu.

Meskipun negara John Wycliffe letaknya jauh dari Bohemia, pengaruhnya telah tersebar di
sana setelah Raja Richard II menikah dengan Anne, saudara perempuan raja Bohemia. Anne
telah membuka jalan bagi orang Bohemia belajar di Inggris, dengan demikian tulisan-tulisan
Wycliffe yang berbau reformasi telah menyusup ke Bohemia.

Pada dinding-dinding Kapel Betlehem terdapat lukisan-lukisan paus dan Kristus dengan
perilaku yang berlawanan. Ketika paus berkuda, Kristus berjalan kaki tanpa alas, ketika Yesus
membasuh kaki para murid-Nya, kaki paus diciumi. Hus tersinggung dengan keduniawian para
agamawan seperti itu, dan ia pun berkhotbah dan mengajar melawan hal itu, sambil
menekankan kesucian pribadi serta kemurnian hidup. Dengan menekankan peranan Alkitab
dalam otoritas Gereja, ia mengangkat pengajaran yang bersifat alkitabiah ke kedudukan
penting dalam pelayanan di gereja.

Ajaran Hus menjadi populer di kalangan umum dan beberapa dari kalangan aristokrat,
termasuk sang ratu. Ketika pengaruhnya di universitas bertumbuh pada
proporsi yang besar, popularitas tulisan Wycliffe pun bertambah.

Uskup Agung Praha menolak ajaran Hus. la memerintahkan Hus untuk berhenti berkhotbah
dan meminta universitas membakar tulisan-tulisan Wycliffe. Ketika Hus menolak perintahnya,
uskup agung tersebut menghukumnya. Paus Yohanes XXIII (salah seorang dari tiga orang paus
dalam Skisma Besar) menempatkan Praha di bawah interdict – suatu tindakan yang secara
efektif mengucilkan seluruh kota itu, karenanya tidak seorang pun yang dapat menerima
sakramen gereja. Hus setuju meninggalkan Praha, untuk membantu kota itu, tetapi ia senantiasa
menarik massa, seperti ketika ia berkhotbah di gereja dan mengadakan persekutuan-
persekutuan di
clam terbuka.

Hus mengembangkan perlawanan terhadap kaum rohaniwan bukan saja dengan meninggalkan
gaya hidup rohaniwan yang amoral dan mewah – termasuk paus – tetapi menegaskan bahwa
hanya Kristus sajalah Kepala Gereja. Dalam bukunya On the Church (Tentang Gereja), ia
membela otoritas kaum rohaniwan, namun menekankan bahwa hanya Allah yang dapat
mengampuni dosa. Paus ataupun uskup, tambahnya, tidak dapat menciptakan doktrin yang
berlawanan dengan Alkitab, tidak juga seorang Kristen sejati yang dapat patuh pada perintah
rohaniwan, jika ternyata
hal itu jelas-jelas salah.

Pada tahun 1414, Hus dipanggil ke Konsili Konstanz untuk mempertanggungjawabkan


ajarannya. Kaisar Romawi yang saleh, Sigismund, menjanjikan keamanannya.

Konsili telah mengambil sikap bagi Hus. Setibanya di sana, Hus langsung ditangkap.
Konsili mengutuk baik ajaran Wycliffe maupun Hus. Ketika ia diserang, ia menolak
menyangkal pernah menyatakan bahwa apabila seorang paus atau uskup berada dalam dosa,
maka ia bukan lagi paus atau uskup. Secara lisan Hus telah menyertakan
juga sang raja dalam daftar tersebut.
Sigismund memanggil Konsili itu untuk memperbaiki Skisma Besar, dan mereka telah
melakukannya. Tetapi tentunya tidak ada konsili yang mernulihkan otoritas seorang paus akan
membebaskan seorang pemberontak yang mempertanyakan hak tersebut.

Walau terkuras karena masa penjara yang panjang, penyakit dan kurang tidur, ia tetap
menyatakan bahwa ia tidak bersalah dan menolak melepaskan "kesalahannya". Pada Konsili ia
berseru, "Meskipun ditawarkan sebuah kapel penuh dengan emas, saya
tidak akan mundur dari kebenaran."

Pada tanggal 6 Juli 1415, Gereja dengan resmi mengutuk Hus dan menyerahkannya kepada
para otoritas sekuler untuk segera dihukum. Dalam perjalanan menuju tempat ia dieksekusi,
Hus melewati halaman sebuah gereja. Di sana berkobar api unggun yang dibuat dari buku-
bukunya. Sambil tertawa ia mengatakan kepada orang-orang di jalan agar tidak mempercayai
kebohongan yang beredar tentang dia. Ketika ia tiba di tempat ia akan dibakar di atas tiang
pancang, pejabat pemerintah yang bertugas menyarankan Hus menarik kembali pandangannya.
"Allah adalah saksi saya," jawab gerejawan tersebut, "bukti yang mereka kemukakan salah.
Saya tidak pernah mengajar atau berkhotbah kecuali dengan maksud memenangkan manusia,
jika mungkin, dari dosa mereka. Hari ini saya akan mati dengan gembira."

Setelah ia meninggal, abu jasad Yohanes Hus ditaburkan di sebuah sungai. Kematiannya, yang
dihadapinya dengan berani, meningkatkan rnartabatnya. Dipicu semangat kebangsaan dan
keagamaan, para pengikutnya memberontak melawan Gereja Katolik dan kekaisaran yang
didominasi oleh Jerman. Mereka menggulingkan keduanya secara efektif. Walaupun Paus
mencoba segala upaya menindas gerakan ini, gerakan itu tetap bertahan sebagai gereja
independen, yaitu Unitas Fratrum ("Persatuan Persaudaraan").

Tahun 1456 Johann Gutenberg Membuat Alkitab Cetak yang Pertama

Selama Abad Pertengahan, tidak banyak orang memiliki Alkitab atau buku-buku apa pun. Para
biarawan menyalin teks dengan tangan di atas lembaran-lembaran papyrus atau kertas kulit
hewan. Biaya bagi bahan maupun waktu penyalinannya adalah sesuatu yang tidak dapat dicapai
orang-orang biasa, bahkan mengharapkan buku yang
mungkin dia butuhkan tersedia.
Tidak banyak orang yang dapat membaca dalam bahasanya sendiri, dan buku-buku umumnya
– termasuk Alkitab – hanya tersedia dalam bahasa Latin, bahasa yang dimengerti hanya oleh
segelintir orang. Orang-orang awam bergantung pada imam setempat dan lukisan-lukisan atau
patung-patung di gereja untuk informasi mengenai Alkitab. Acap kali imam setempat kurang
atau sama sekali tidak terlatih dalam bahasa Latin, dan pengetahuannya tentang Alkitab sangat
minim. Meskipun para sarjana berdebat tentang Alkitab dan menulis ulasan-ulasan, namun
pemikiran mereka agak sukar ditelaah oleh orang-orang Kristen awam pada umumnya.

Salah satu perubahan besar pada abad kelima belas mempunyai dampak besar pada keadaan
ini. Pada tahun 1440-an, Johann Gutenberg bereksperimen dengan keping-keping cetakan
logam yang dapat dipindah-pindahkan. Dengan menyusun buku dalam cetakan timah, ia dapat
menghasilkan salinan dalam jumlah yang besar, dengan
jumlah dana yang jauh lebih kecil daripada salinan tangan.

Pada tahun 1456 Gutenberg — atau sekelompok orang termasuk dia — mencetak 200 salinan
Alkitab Hieronimus, Vulgata. Orang biasa masih belum dapat memahami firman Allah, tetapi
ini adalah langkah pertama suatu revolusi besar.

Untuk sementara para pakar percetakan Mainz ini merahasiakan teknik Gutenberg sebagai
rahasia perusahaan. Namun menjelang tahun 1483, tatkala Martin Luther lahir, setiap negara
di Eropa memiliki sekurang-kurangnya satu percetakan. Dalam tempo lima puluh tahun sejak
pencetakan Alkitab pertama oleh Gutenberg, percetakan-percetakan telah mencetak jauh
melebihi salinan-salinan yang dihasilkan para biarawan berabad-abad lamanya. Buku-buku
bermunculan dalam sejumlah
bahasa, dan orang yang melek huruf bertambah.

Tanpa penemuan Gutenberg, mungkin tujuan Reformasi memakan waktu lebih lama untuk
dicapai. Selama hanya para rohaniwan yang dapat membaca firman Allah dan
membandingkannya dengan ajaran gereja, maka dampaknya terbatas sekali bagi
orang-orang Kristen awam.

Dengan penemuan percetakan ini, Luther dan para reformator lainnya dapat menyampaikan
firman Allah kepada "setiap bocah pembajak (ladang) dan gadis pelayan". Luther
menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Jerman yang baik dan mudah dibaca, yang
digunakan berabad-abad lamanya. Tidak lagi seorang imam, paus atau konsili yang menjadi
perantara bagi orang percaya dan pemahaman Alkitabnya. Meski banyak yang menyatakan
bahwa tidak semua orang dapat mengerti firman Allah tanpa dijelaskan oleh para gerejawan,
orang-orang Jerman itu
mulai melakukan hal itu.

Ketika mereka membaca, orang-orang biasa ini mulai meresapi dunia Alkitab yang dramatis.
Kegiatan-kegiatan iman di rumah-rumah tangga sudah dimungkinkan. Perlahan-lahan tembok
antara pastor dan jemaat mulai runtuh. Daripada cemas akan "Apa yang harus saya akui kepada
seorang imam?," orang percaya dapat bertanya,
"Apakah hidup saya sesuai dengan ajaran Alkitab?"

Dengan penemuan alat cetak yang rumit ini, maka tersulutlah api di seluruh Eropa, yaitu api
yang menyebarkan Injil dan yang membuat orang melek huruf.

Tahun 1478 Pendirian Inkuisisi Spanyol

Pada mulanya, Gereja merasa amat prihatin terhadap adanya kepercayaan sesat — bidat — dan
telah mencari cara menanganinya. Acap kali langkah tersebut merupakan sikap tawar-menawar
pendapat teologis dan pengucilan badan-badan ajaran sesat dari gereja. Namun, gereja yang
baru mulai tumbuh, tidak mampu memberlakukan sistem keyakinan apa pun pada mereka yang
bersalah.

Pada tahun 1184, Paus Lucius III, yang mempedulikan iman setiap pengunjung gereja,
meminta para uskup "menyelidiki" iman dombanya masing-masing. Seseorang yang
tertangkap sebagai penganut ajaran sesat dikucilkan — dikeluarkan dari Gereja. Namun, tak
ada yang melukainya secara fisik, dan jika ia melepaskan paham sesatnya itu, maka ia diterima
kembali di Gereja. Secara teoretis Gereja menerapkan sarana ini untuk memperbaiki dengan
penuh kasih seorang saudara yang
tersesat dan melindungi yang lain dari kesalahan yang sama.

Ketika ajaran sesat populer — khususnya Gerakan Albigens di Perancis — bertumbuh, Gereja
mengambil tindakan yang lebih tegas. Pada Konsili Lateran Keempat, Paus Innocentius III
mendukung negara yang menghukum para penganut ajaran sesat dan menyita harta mereka.
Para pejabat sekular yang tidak mendukung
Gereja juga terancam pengucilan.
Namun, Inkuisisi tersebut tidak sepenuhnya terorganisasi hingga pada Sinode Toulouse, pada
tahun 1229. Sebagai respons atas pembacaan Alkitab Cathari — sebuah kelompok bidat yang
telah menyertakan banyak kesalahan Manichaean — dan Waldens, sinode tersebut melarang
kaum awam memiliki Kitab Suci dan memulai serangan sistematis melawan berbagai
kepercayaan yang tidak dapat diterima. Paus Gregorius IX memberi kuasa menyiksa para
pengikut ajaran sesat kepada para biarawan Dominikan yang diwajibkan mengontrol ortodoksi.
Karena bertanggung jawab hanya pada otoritas paus, maka para Dominikan menjadi senjata
ampuh dalam kelompok hierarki.

Pada tahun 1252, Paus Innocentius IV mengizinkan penyiksaan sebagai cara mendapatkan
informasi dan pengakuan dalam kasus ajaran sesat. la percaya bahwa pengikut ajaran sesat
merupakan "kaki yang membusuk" yang harus diamputasi, jika tidak, mereka akan
menginfeksi seluruh tubuh. Kekejaman yang diberlakukan melawan ajaran sesat tampaknya
adalah harga yang relatif kecil bagi ortodoksi Gereja.

Gereja masih tidak dapat menyebabkan pertumpahan darah, sehingga semua pengajar sesat
diserahkan kepada negara untuk dieksekusi — biasanya dengan cara dibakar hidup-hidup.

Para penguasa Spanyol pada paroh kedua abad kelima belas, Raja Ferdinand dan Ratu Isabella,
meyakini bahwa negaranya akan makmur hanya jika ia benar-benar Kristen. Karena mereka
menunjukkan pengabdian mendalam pada ajaran Katolik, mereka menerima gelar Catholic
Kings (Raja-raja Katolik) dari paus. Pada tahun 1478 mereka meminta paus mendirikan
Inkuisisi di Spanyol dengan mereka sendiri sebagai inkuisitornya.

Banyak orang Yahudi dan Muslim di Spanyol yang menjadi Kristen dengan setengah hati,
namun ketakutan masih menyelimuti mereka, karena mereka secara diam-diam masih
mempraktikkan keyakinan lama mereka. Pada tahun 1492, raja-raja Katolik
mengusir semua orang Yahudi dan Muslim dari negara mereka.

Inkuisitor agung Spanyol adalah Tomas de Torquemada, seorang biarawan Dominikan yang
namanya menjadi buah bibir karena kekejamannya. Meskipun ia tampak sebagai seorang
model Kristen dalam kehidupan pribadinya, menyangkal diri dan hidup suci, namun orang
terpelajar ini telah menunjukkan semangatnya sampai taraf yang berlebihan. Dengan
petunjuknya, banyak orang yang dibakar hidup-hidup, sementara yang lain membayar denda
yang amat tinggi atau melakukan penebusan
dosa yang memalukan.

Karena Inkuisisi tersebut mempunyai kuasa menyita harta terhukum, maka ia tidak kekurangan
dana untuk melanjutkan penyiksaan dengan bermacam-macam cara. Bahkan, Inkuisisi menjual
jabatan "familiar" – seseorang yang dapat memberi informasi tentang orang lain, sementara ia
sendiri terbebas dari penangkapan.

Sementara aliran Protestan menguasai Eropa, di Spanyol aliran tersebut justru menjadi sasaran
Inkuisisi. Di sana, buku-buku Protestan dilarang dan dugaan bahwa seseorang adalah Protestan
sudah cukup untuk mengundang para inkuisitor. Meskipun beberapa di antara orang Protestan
yang dieksekusi merupakan orangorang Spanyol, pengalaman tersebut telah membuat banyak
orang kembali ke Katolik.

Akibatnya, Protestantisme tidak pernah bertahan di Spanyol seperti halnya di lain tempat.
Meskipun orang-orang Protestan mengalami penyiksaan di negara-negara lain di Eropa, hal itu
tidaklah seberapa ganas seperti Inkuisisi di Spanyol, yang berlanjut hingga abad kesembilan
belas.

Tahun 1512 Michelangelo Menyelesaikan Langit-langit Kapel Sistina

Ketika kita menengadah ke langit-langit Kapel Sistina, figur-figur yang ada di sana seolah-olah
turun ke bawah, dengan jelas menghidupkan sembilan babak dalam Kitab Kejadian, tujuh nabi
Ibrani dan lima sibil, malaikat yang mengumumkan kedatangan Mesias. Sepintas lalu kita
dapat melihat bahwa ini adalah sesuatu yang berbeda dari
seni lukis Abad Pertengahan.

Seni lukis Abad Pertengahan yang spiritual, tetapi sering dengan gaya yang tinggi dan tidak
realistis, telah membuka jalan bagi realisme baru yang banyak menggunakan perspektif dan
pengetahuan anatomi. Namun seni lukis baru ini mencerminkan berbagai perubahan pemikiran
mendalam yang telah mengubah dunia Kristen.

Selama abad-abad kelima belas dan keenam belas, Renaisans telah mulai menguasai Eropa.
Pujangga Kristen, Petrarch, menggali manuskrip-manuskrip Latin kuno dan mempopulerkan
studinya. Dari sini berkembanglah rasa kemanusiaan, yang memberi dorongan untuk
mempelajari sastra klasik dan menerapkan prinsip-prinsipnya dalam kehidupan. Dengan
perlahan tapi pasti, penekanan yang lebih besar sudah mulai diterapkan pada manusia,
kemampuan berpikir dan tindakannya. Meskipun kekristenan masih sering mempunyai
dampak besar pada pemikiran, namun dunia ini
perlahan-lahan beralih dari kehidupan yang berpusat pada gereja.

Seperti kebanyakan orang-orang Renaisans, Michelangelo Buonarroti mencapai wawasan luas.


Ia menulis sajak indah, menjadi pelukis, pemahat dan arsitek sempurna. Di bawah perlindungan
Paus Julius II, Leo X, Clemens VII dan Paulus III, ia mewujudkan berbagai lukisan dan patung
hebat yang mencerminkan semangat zamannya.

Di bawah Julius II, Michelangelo menerima proyek melukis langit-langit kapel Sistina, kapel
pribadi paus. Dari tahun 1508 sampai 1512 ia mewujudkan fresco hebat yang menggambarkan
lelaki dan wanita yang berdarah-daging, yang tampaknya dapat menerima hidup ini dengan
senang hati. Kisah-kisah Alkitab yang dilukiskan secara duniawi adalah hal asing bagi seni
lukis Abad Pertengahan. Meskipun bertemakan spiritual, orang-orang tersebut tampaknya
bercitra duniawi ketimbang surgawi.

Pada tahun 1534, Michelangelo kembali ke Kapel Sistina untuk melukis tembok di belakang
altar. Last Judgement (Penghakiman Terakhir) melukiskan Yesus yang teguh. Figur-figur
masif yang diselamatkan bangkit, sementara yang terkutuk jatuh dengan sedih, tanpa harapan
untuk mengubah nasib mereka. Ketika Paus Paulus pertama kali melihat karya ini, dengan rasa
kagum ia berdoa, "Tuhan, janganlah menghukum aku akan dosa-dosaku bila Engkau datang
pada Hari Penghakiman."

Meskipun mungkin ia terkenal karena lukisannya, Michelangelo tidak menganggap dirinya


sepenuhnya sebagai seorang pelukis. Cinta pertamanya adalah seni pahat patung, bidang
kemahirannya, seperti dibuktikannya pada patung David (Daud) yang hebat, Pieta yang lembut,
yang menggambarkan Maria dengan Putra-nya yang telah
menjadi kurban; dan Musa yang saleh sedang marah.

Ketika manusia semakin menjadi ukuran segala sesuatu dan ketika Reformasi menantang
otoritas Gereja Katolik, pengaruh humanisme pun meningkat. Itu bermula dari orang-orang
Kristen – dan sebagian besar humanis tetap berpegang pada iman (Kristen).

Vous aimerez peut-être aussi