Vous êtes sur la page 1sur 24

Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON

Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id


http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

SISTEM SITOSKELETON
SISTEM SITOSKELETON

Achmad Farajallah, Departemen Biologi FMIPA IPB

Berbagai aktifitas selular biasanya dihubungkan dengan aktifitas berbagai organel  bermembran, baik dalam sistem
endomembran maupun endosimbion, dan aktiftas ribosomal (ekspresi genetik). Semua aktifitas diatas terjadi di dalam sitosol
yang mengikuti kompartementasi sistem organel. Jadi pada saat itu, pemahaman bahwa sitosol adalah cairan agak kental
adalah untuk mendukung aktifitas-aktifitas sel yang diatur oleh organel sel. Kandungan protein cairan sitosol yang mencapai
20-30% dianggap sebagai bagian dari aktifitas enzimatik yang diatur oleh organel dan sebagai protein terlarut yang bebas.

Pendapat diatas menjadi wajar karena kemampuan resolusi mikroskop pada saat itu belum mampu menguraikan lebih ditil
ultrastruktur cairan sitosol. Kemajuan teknik mikroskopi dan berbagai teknik laboratorium lainnya kemudian berhasil
mengungkapkan bahwa cairan sitosol yang agak kental mempunyai ultrastruktur filamen dan tubulus membentuk jejaring
sangat rumit, menjulur-julur mulai dari sekitar nukleus sampai ke membran plasma yang kemudian dikenal sebagai
sitoskeleton. Jadi sitoskeleton adalah matriks protein yang memberikan kerangka arsitektural bagi sel. Kesimpulan itu
kemudian cocok dengan kenyataan bahwa organisasi organel di dalam sel adalah teratur. Sitoskeleton kemudian
dikategorikan sebagai organel yang tidak bermembran. Selain itu, istilah sitoskeleton tidak merujuk ke kondisi yang dinamis,
yang selalu berubah dan terlibat dalam berbagai aktifitas selular yang sangat vital.

Akumulasi pengetahuan yang terjadi sgat pesat tentang ultrastruktur sel kemudian merubah pandangan tentang sitoskeleton.
Ternyata sitoskeleton berperan penting dalam pergerakan sel, pembelahan sel, pengaturan arsitektural organel berikut
mobilitasnya dalam sitosol, dan proses pembentukan mRNA dan komponen selular lainnya. Selain itu, kemudian diketahui
juga bahwa berbagai enzim tidak semuanya terlarut dalam cairan sitosol, melainkan menggerombol dan terikat ke
sitoskeleton dan beberapa jenis enzim dalam lintasan biokimia yang sama ditemukan berada dalam lokasi yang berdekatan
akibat terikat ke sitoskeleton yang sama. Studi yang mendalam tentang hubungan antara sitoskeleton dengan pergerakan sel
kemudian mengungkapkan lebih jauh bahwa fungsi sitoskeleton bukan hanya yang berkaitan dengan pergerakan sel saja.
Sitoskeleton ternyata terlibat dalam berbagai aktifitas intraselular dan membangun interaksi berbagai jenis sel dalam tubuh,
mulai dari pengaturan sinyal, pengenalan dan pengikatan antar mereka.

KOMPONEN-KOMPONEN UTAMA SITOSKELETON

Berdasarkan komponen-komponen penyusun strukturnya, sitoskeleton bisa dibagi menjadi tiga komponen, yaitu filamen
mikro, tubulus mikro dan filamen intermediet. Ketiganya sangat unik untuk sel eukariot yang berhasil diungkapkan akibat

page 1 / 24
Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON
Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id
http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

penggunaan mikroskop elektron. Teknik-teknik biokimia dan imunologi kemudian memperdalam pengetahuan kita tentang
ketiga struktur penyusun sitoskeleton diatas. Akhirnya, teknik immunofluorescence microscopy dan biologi molekular
(termasuk rekayasa genetik) masing-masing berperan dalam mengkarakterisasi lebih lanjut setiap protein penyusun
sitoskeleton, mulai dari ukuran, struktur, distribusi intraselularnya sampai ke mode polimerasinya.

Filamen mikro berdiamater 7 nm merupakan polimer dari protein aktin sehingga seringkali disebut dengan filamen aktin.
Tubulus mikro mempunyai diameter luar 25 nm yang disusun oleh protein tubulin. Sedangkan filamen intermediet
mempunyai diamater diantara filamen mikro dan tubulus mikro, yaitu 8-12 nm, dengan monomer-monomer yang beragam
tergantung jenis selnya walaupun dari segi ukuran dan strukturnya sama. Selain komponen struktural yang utama diatas,
setiap jenis sitoskeleton juga berasosiasi dengan berbagai jenis protein lainnya yang dikategorikan sebagai protein-protein
asesoris.

Fungsi filamen mikro dan tubulus mikro yang paling banyak dikenal adalah mengatur pergerakan sel. Filamen mikro adalah
komponen yang membentuk serabut-serabut otot, sedangkan tubulus mikro adalah komponen utama alat gerak sel dalam
lingkungan cairan atau mengalirkan cairan yang mengenainya, yaitu silia dan flagela. Struktur serabut otot, silia maupun
flagela dikenal lebih awal karena ukurannya yang relatif besar menjadikan bisa diamati menggunakan mikroskop cahaya
biasa. Pengungkapan strukturnya lebih lanjut ternyata diketahui bahwa mereka mempunyai komponen-kompon penyusun
yang sama dan menyatu dengan sitoskeleton. Walaupun kemudian setiap jenis sitoskeleton sepertinya saling terpisah (untuk
keperluan pembahasan yang rinci), pada kenyataanya ketiganya tidak bisa saling dipisahkan dalam menunjang arsitektur sel
dan aktifitas sel.

Filamen mikro Tubulus mikro Filamen intermediet


Struktur Dua rantai F-aktin yang Tabung dengan dinding dari 13 8 protofilamen digabung ujung
saling menganyam protofilamen ketemu ujung dan pada
beberapa tempat saling
tumpang-tindih
Diameter 7 nm Sisi luar: 25 nm, sisi dalam 15 8 -12 nm
nm

Monomer G-aktin a- dan b-tubulin Beberapa jenis protein

Fungsi Kontraksi tot; pergerakan Motilitas sel (aksonemal); Penyokong struktural;


ameboid; lokomosi sel, organisasi dan menjaga bentuk memberi bentuk sel,
distribusi sitoplasmik; sel; pergerakan kromosom, membentuk inti sel,
pembelahan sel, menjaga penambatan dan mobilitas memperkokoh serabut syaraf
bentuk sel organel sel dan menjaga kekuatan elastis
otot

page 2 / 24
Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON
Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id
http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

CATATAN TEKNIK MEMPELAJARI SITOSKELETON

Sebagai komponen cairan sitosol dengan indeks refraksi yang rendah, sitoskeleton tidak bisa diamati menggunakan
mikroskop cahaya biasa, kecuali yang berbentuk meraksasa seperti serabut otot dan benang-benang gelendong selama
mitosis, atau berbentuk yang mudah terlihat seperti silia dan flagela. Dengan begitu, pengetahuan ultrastruktur sitoskeleton
bisa dipelajari akibat kemajuan yang pesat dari teknik-teknik mikroskopik, antara lain immunofluorescence microscopy, digital
video microcopy dan electron microscopy.

§  immunofluorescence microscopy. Antibodi primer akan mengenali dan mengikat protein sitoskeleton. Antibodi sekunder
yang diberi label dengan fluoresen kemudian mengikat antibodi primer yang sudah terikat. Sitoskeleton yang membentuk
kompleks dengan antibodi berlabel akan terlihat berpendar di bawah pengamatan mikroskop.

§  fluorescence techniques. Teknik ini biasa digunakan untuk melacak rangkaian reaksi secara in vivo atau sel dalam keadaan
hidup. Protein sitoskeleton sintetik dilabel dengan fluoresen kemudian disuntikkan ke sel yang hidup. Aktifitas sitoskeleton
berlabel fluoresen kemudian bisa diikuti dengan bantuan mikroskop fuoresen yang dilengkapi dengan kamera video digital.

§  computer-enhanced digital video microscopy. Teknik ini digunakan untuk memproses gambar video digital (high resolution
image) agar semakin kontras dan gambar-gambar di latar belakang yang tidak dikehendaki bisa disamarkan.

§  electron microscopy. Salah satu mikroskop yang menggunakan elektron sebagai pengganti cahaya tampak dan
menggunakan medan magnet sebagai pengganti sistem lensa.

Teknik-teknik mikroskopik diatas berhasil mengungkapkan dari sisi struktur sitoskeleton yang jika dideduksi ke fungsinya
seringkali kurang tepat. Pendekatan teknik-teknik biokimia modern memanfaatkan pengrusakan secara selektif (dan
terkontrol) fungsi-fungsi suatu protein yang terlibat dalam suatu struktur maupun aktifitas selular. Dengan begitu, fungsi
normal protein penyusun struktur sitoskeleton bisa dipelajari. Setelah molekul yang bisa menginaktifkan protein aktin dan
tubulin ditemukan maka berbagai aktifitas selular yang tergantung ke filamen mikro dan tubulus mikro berhasil diungkapkan
satu persatu. Beberapa molekul racun yang biasa digunakan untuk mempelajari sitoskeleton antara lain

·         kolkisin (alkaloid dari tanaman crocus, Colchicum autumnale) mengikat protein tubulin bebas menjadi kompleks
tubulin-kolkisin yang sangat kuat. Akibatnya tubulin terikat ini tidak bisa digunakan untuk menyusun tubulus mikro.

·         Nocodazol adalah substitusi kolkisin untuk mempelajari funvgsi tubulin dalam sel hidup. Kompleks tubulin-nocodazol
tidak sekuat kompleks tubulin-kolkisin. Jika nocodazol dihilangkan maka tubulin menjadi bebas kembali.

·         Vinblastine dan Vincristine (diekstrak dari tanaman Vinca minor) bisa menyebabkan tubulin bebas di dalam sitosol
membentuk agregat.

·         taxol (diekstrak dari Taxus brevifolis) bekerja berkebalikan dengan kolkisin maupun nocodazol, yaitu membuat tubulus
mikro menjadi sangat stabil sehingga tidak bisa terurai menjadi subunit-subunit penyusunnya.

Þ      keempat obat-obatan diatas bisa dikelompokkan sebagai obat antimitosis – karena menganggu proses mitosis. Dalam
kondisi tertentu, jika pembelahan mitosis tidak bisa berlangsung maka pembelahan yang cepat dari sel-sel kanker juga bisa

page 3 / 24
Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON
Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id
http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

dihambat. Dengan begitu, keempatnya bisa juga disebut sebagai antikanker (terutama vinblastine dan vincristine). Taxol
seringkali diresepkan untuk mengatasi pertumbuhan yang sangat cepat sel-sel kanker payudara.

·         Cytochalasin D (suatu metabolit jamur) dan Latrunculin A (diekstrak dari spons Laut Merah, Latrunculia magnifica)
menghambat polimerasi (penambahan subunit-subunit baru di ujung positif) filamen mikro

·         Phalloidin (peptida siklik dari jamur merah mematikan, Amanita phalloides) menghambat depolimerasi filamen mikro
atau menghambat penguraian filamen mikro menjadi subunit-subunitnya

·         Thymosin B4 mengikat monomer G-aktin yang larut dalam sitosol sehingga tidak bisa bergabung dengan protofilamen

·         ADF/cofilin mempercepat penguraian subunit-subunit filamen mikro

Selain teknik mikroskopik dan penggunaan racun diatas, rekayasa genetik (kombinasi teknik biologi molekular dan genetik)
telah berhasil mengintroduksikan mutasi yang spesifik pada gen penyandi protein dari penyusun sitoskeleton. Mutasi buatan
kemudian bisa digunakan untuk memetakan dan sekaligus melacak rangkaian aktifitas selular sebagai fungsi dari suatu
sitoskeleton tertentu.

Agar bisa mengamati sel dalam keadaan hidup, maka teknik-teknik kultur sel yang telah berkembang lebih awal masih tetap
relevan dan merupakan teknik penyokong yang utama.

TUBULUS MIKRO

Dalam sel-sel eukariotik, tubulus mikro (TM) bisa dibedakan menjadi dua tipe, yaitu aksonemal dan sitoplasmik. TM
aksonemal merupakan penyusun flagela dan silia, suatu substruktur sel spesifik yang berfungsi dalam motilitas sel; dan
badan basal. TM aksonemal ini bersifat sangat stabil dan terorganisasi dengan baik. Dalam batang tengah silia dan flagela,
TM berasosiasi dengan protein-protein asesoris membentuk bundel TM. Dalam bentuk bundel yang meraksasa, TM bisa
diamati menggunakan mikroskop cahaya. Akumulasi pengetahuan TM sampai saat ini banyak yang berasal dari pengamatan
terhadap TM silia dan flagela.

Tipe TM yang kedua adalah yang tersebar dan membentuk jejaring yang dinamis di dalam sitoplasma. Tm ini diketahui
setelah teknik fiksasi (mematikan dan mendiamkan sel yang akan diamati) yang lebih baik. Teknik-teknik fiksasi sebelumnya

page 4 / 24
Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON
Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id
http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

hanya bisa melihat butiran (granul) dalam larutan sitosol yang seringkali diartikan sebagai artefak teknik pengamatan.
Kombinasi dengan visualisasi yang juga semakin baik, ternyata granul-granul dalam sitosol sel eukariot membentuk jejaring
halus yang sangat kompleks. TM sitoplasmik ini kemudian diketahui mempunyai beragam fungsi, mulai dari meregangkan
serabut akson sel syaraf, polaritas sel yang bermigrasi sampai ke pembangkitan listrik sel. Pada sel-sel tumbuhan, TM
sitoplasmik berperan dalam membentuk orientasi serabut selulosa selama pertumbuhan dinding sel. Selain itu, TM
sitoplasmik diketahui juga berfungsi dalam menarik kromosom ke arah kutub-kutub yang berlawanan selama mitosis dan
meiosis. Penggunakan kamera video digital kemudian berhasil mengungkapkan lebih jauh bahwa TM sitoplasmik mengatur
juga posisi dan mobilitas organel dan vesikula di dalam sel eukariot.

TM Disusun oleh Heterodimer Protein Tubulin

Sebagaimana disajikan dalam Tabel diatas, diameter berbagai jenis TM yang ada di dalam sel adalah sama, dan yang
berbeda adalah panjangnya. Panjang TM bisa mencapai beberapa mikrometer (misalnya pada flagela) atau kurang dari 200
nm. Dinding TM disusun secara longitudinal oleh polimer-polimer linear protofilamen. Sekitar 13 protofilamen disusun
samping-menyamping yang akhirnya membentuk tabung.

Protofilamen disusun oleh subunit dasar dari heterodimer protein tubulin. Dari lima jenis protein tubulin yang sudah dikenal
mempunyai struktur mirip, yang menjadi komponen penyusun TM adalah a-tubulin dan b-tubulin. Segera setelah disintesis,
keduanya langsung bergabung membentuk ab-heterodimer (atau disingkat dimer tubulin). Struktur heterodimer ini tidak bisa
terurai pada kondisi normal. Secara individual, molekul a-tubulin dan b-tubulin mempunyai diameter 4-5 nm dengan berat
molekul sekitar 50.000 dalton. Setiap molekul protein tersebut berlipat menjadi tiga domain, yaitu domain ujung N (pengikat
GTP), domain tengah (mempunyai situs pengikatan dengan kolkisin) dan domain ujung C (mempunyai situs pengikatan
dengan berbagai protein asesoris). Perbedaan-perbedaan antar penyusun TM biasanya terdapat pada domain ujung C akibat
mengikat protein-protein asesoris yang berbeda. Subunit-subunit tubulin yang berbeda diatas disebut isotipe tubulin.
Setidaknya di dalam sel-sel otak bisa ditemukan lima isotipe untuk a-tubulin dan lima isotipe untuk b-tubulin.

Dalam setiap protofilamen, ab-heterodimer atau penyusunan a-tubulin dan b-tubulin mempunyai orientasi yang tetap.
Dengan kata lain molekul protofilamen mempunyai ujung-ujung yang berbeda dengan karakteristik kimia yang berbeda.
Setelah protofilamen membentuk berbagai jenis TM di dalam sel maka orientasi penyusunan a-tubulin dan b-tubulin-nya
masih tetap sehingga TM  merupakan molekul dengan struktur yang mempunyai orientasi polaritas.

Proses Pembentukan TM

Polimerasi dimer tubulin dalam membentuk TM bersifat reversibel (dapat bolak-balik). Secara in vitro, jika konsentrasi dimer
tubulin, GTP dan ion Mg mencukupi maka pada suhu antara 0-37oC akan terjadi sintesis TM. Titik kritis sintesis TM adalah
pembentukan agregat dimer tubulin menjadi oligomer yang disebut dengan nukleasi atau pembentukan inti. Dari struktur inti
oligomer ini polimerasi untuk membentuk TM selanjutnya terjadi dengan cara menambahkan dimer tubulin yang disebut
elongasi atau pemanjangan.

Agregasi dimer tubulin bebas menjadi oligomer sebagai inti pada awal pembentukan TM terjadi sangat lambat yang dikenal
dengan fase lag. Proses pemanjangan terjadi sangat cepat. Jika kondisi jumlah dimer tubulin dalam sitosol menjadi terbatas
maka pertumbuhan MT melambat dan akhirnya mencapai titik keseimbangan yang dikenal dengan fase plateu. Pada fase
plateu ini, laju penambahan dimer tubulin di salah satu ujung adalah sama dengan laju penguraian dimer tubulin di ujung
yang lain.

Secara in vitro arah pertumbuhan TM mengikuti konsentrasi dimer tubulin. Pada konsentrasi dimer tubulin tinggi maka TM
akan tumbuh, sebaliknya pada konsentrasi dimer tubulin rendah maka TM akan terurai. Kondisi tumbuh dan terurai ternyata
setimbang. Secara keseluruhan, konsentrasi dimer tubulin bebas yang ada dalam sitosol adalah faktor pembatas utama
pertumbuhan TM.

page 5 / 24
Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON
Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id
http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

Polaritas struktur yang inheren pada TM berarti bahwa karakteristik kimia kedua ujungnya saling berbeda. Kedua ujung MT
mempunyai laju pertumbuhan yang berbeda akibat perbedaan laju penambahan atau pengurangan dimer tubulin. Ujung TM
yang tumbuh lebih cepat disebut sebagai ujung positif dan yang lebih lambat tumbuh disebut ujung minus. Dalam kondisi
normal, laju penambahan dimer tubulin di ujung positif adalah sama dengan laju penguraian dimer tubulin di ujung minus.
Kondisi ini disebut treadmilling condition. Dengan kata lain, TM berada dalam kondisi yang stabil dan dinamis. Sifat stabil dan
dinamis tersebut diatur oleh ketersediaan dimer-dimer tubulin bebas di sitosol. Pada saat konsentrasi dimer tubulin yang ada
disekitar ujung positif tinggi maka TM akan tumbuh cepat ke arah positif.

Sebelumnya telah disebutkan bahwa penambahan dimer tubulin ke ujung TM secara in vitro membutuhkan ion Mg dan GTP.
Dimer tubulin harus diaktifkan terlebih dahulu dengan mengikat dua molekul GTP. Setiap satu molekul tubulin mengikat satu
molekul GTP untuk membentuk kompleks GTP-tubulin. Ketika dimer tubulin ditambahkan ke ujung TM maka GTP-tubulin
dihidrolisis menjadi GDP-tubulin. Pengikatan GTP oleh dimer tubulin membutuhkan ion Mg sebagai kofaktor. Di lain
eksperimen, ternyata beberapa dimer tubulin bebas bisa langsung berikatan dengan ujung TM tanpa terlebih dahulu
membentuk kompleks GTP-tubulin. Dengan begitu, ada dua mode penambahan dimer tubulin, yang satu lebih mahal karena
membutuhkan GTP sedangkan yang lain lebih murah karena tanpa membutuhkan GTP.

Dalam eksperimen yang lain, ternyata ditemukan bahwa GTP membentuk kompleks molekul bukan dengan dimer tubulin
bebas melainkan dengan tubulin yang ada di ujung positif TM. Untuk menerangkan hasil eksperimen diatas, ternyata
ditemukan kenyataan yang lain bahwa kompleks GTP-tubulin bebas yang bergabung dengan tubulin di ujung positif tidak
segera dihidrolisis menjadi GDP-tubulin melainkan kemudian membentuk ujung positif bertudung GTP. Keterangan ini bisa
menjelaskan pengaturan cepat tidaknya pertumbuhan TM. Ujung positif bertudung GTP akan jauh lebih cepat menangkap
dimer tubulin bebas yang mengikat GTP dibanding dengan dimer tubulin yang tidak mengikat GTP.

Konsentrasi GTP-tubulin bebas sangat menentukan model stabilitas dinamis TM.  Jika konsentrasi GTP-tubulin bebas tinggi
maka pembentukan ujung positif bertudung GTP terjadi dengan cepat yang kemudian mempercepat pertumbuhan
selanjutnya. Pertumbuhan TM menyebabkan tudung GTP bergeser ke arah ujung minus. Jika konsentrasi GTP tubulin bebas
rendah maka penguraian ujung minus terjadi dengan cepat. Sampai kemudian TM tidak lagi mengandung tudung GTP atau
tudung GTP terlepas. TM tanpa tudung GTP menjadi tidak stabil dan terurai menjadi oligomer atau malah menjadi
subunit-subunit penyusunnya. Kondisi ini disebut dengan microtubule catastrophe, yaitu molekul TM tidak ada lagi dan untuk
membentuknya kembali membutuhkan tahapan dari awal lagi, yaitu agregasi dimer tubulin membentuk oligomer (nukleasi)
dan pemanjangan.

Titik Pertumbuhan TM dari Pusat Pengorganisasi TM (MTOC)

Proses pertumbuhan TM secara in vivo terjadi lebih teratur dengan lokasi di dalam sel yang lebih spesifik untuk setiap fungsi
sel yang juga spesifik. Pada umumnya, TM tumbuh dari struktur sel yang disebut pusat pengorganisasi TM atau
microtubule-organizing center (MTOC). MTOC ini merupakan tempat inisiasi pembentukan oligomer atau titik awal
pertumbuhan TM. MTOC pada saat sel sedang dalam fase pembelahan mitosis disebut sentrosom yang berada di dekat
nukleus. Pada sel-sel hewan normal, sentrosom terdiri atas dua sentriol yang dikelilingi oleh material berbentuk granula yang
disebut parasentriol. Dari gambaran mikroskop elektron, titik pertumbuhan TM berasal dari material parasentriol ini.

Struktur sentriol dalam sentrosom sangat simetris, yaitu dinding masing-masing sentriol tersusun atas sembilan pasang dari
TM bersusun triplet. Pada sebagian besar sel, satu sentriol membentuk sudut dengan sentriol pasangannya. Walaupun
keuntungan struktur menyudut ini belum diketahui, sentriol berperan penting dalam membentuk badan basal sebagai titik
melekat (titik asal) TM yang menyusun aksonema flagela dan silia. Peran sentriol pada sel-sel yang tidak mempunyai silia
maupun flagela belum diketahui. Pada sel-sel hewan, peran sentriol yang terlihat adalah mengumpulkan material parasentriol
membentuk sentrosom sebagai titik nukleasi TM. Jika sentriol dihilangkan secara in vitro maka material
microtubule-nucleating (»parasentriol) dan MTOC tidak terbentuk. Meskipun begitu, sel yang tidak mempunyai sentriol masih
bisa melakukan pembelahan sel karena kromosom bisa mengorganisasikan TM-nya sendiri. Jika dilihat pada sel-sel tanaman
yang tidak mempunyai sentriol bisa diartikan bahwa sentriol tidak terlalu berperan penting dalam pembentukan MTOC.

Material parasentriol didominasi oleh protein g-tubulin yang berbentuk cincin. Beberapa molekul yang lain adalah protein
pericentrin. Kompleks protein cincin dari g-tubulin diketahui berperan dalam membentuk nukleasi MT yang kemudian tumbuh
ke arah luar dari sentrosom. Selain sentrosom, badan basal juga diketahui bisa bertindak sebagai MTOC.

page 6 / 24
Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON
Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id
http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

Pemanjangan TM ke seluruh bagian sel berpusat di beberapa MTOC yang ada di dalam sel. Artinya ujung minus TM ada di
kompleks MTOC sedangkan ujung positifnya ada di posisi distal MTOC.  Dengan begitu, MTOC juga bisa berperan dalam
mengatur jumlah TM yang ada di setiap sel sebagai manifestasi kemampuan MTOC membentuk inti TM. Kemampuan MTOC
ini bisa meningkat dengan pesat akibat meningkatnya jumlah molekul pericentrin ketika sel masuk ke fase profase dan
metafase.

Pengaturan Stabilitas TM dalam Sel

Kemampuan MTOC dalam membentuk inti TM sebagaimana yang terjadi dalam sentrosom mempunyai konsekuensi dinamika
TM dalam sel.  Ujung minus TM ada di sentrosom maka ujung positifnya akan menjulur ke arah periferal sel. Dalam kondisi
tertentu, TM bisa melepaskan diri dari sentrosom dengan cara menguraikan ujung minusnya. Biasanya TM yang telah lepas
dari sentrosom  akan lenyap dalam sitosol karena terurai menjadi subunit-subunit penyusunnya. Di lain pihak, beberapa TM
terus bertahan lama di sitosol dan tidak mengalami pertumbuhan akibat ujung positifnya diproteksi dari penambahan dimer
tubulin. Misalnya, TM yang tumbuh dari sentrosom menuju ke kinetokor sejak profase sampai ke pembelahan sel akan terus
bertahan. Jika dalam selang waktu itu terjadi penguraian maka TM baru akan tumbuh lagi dari sentrosom. Jadi ujung positif TM
yang berikatan dengan kinetokor tidak bisa mengalami penambahan dimer tubulin sehingga pertumbuhan tidak terjadi.

Protein Asesoris TM (MAPs)

Beragam protein diketahui mempengaruhi struktur, pembentukan dan fungsi TM yang dikenal sebagai protein asesoris TM
atau microtubule-associated proteins (MAPs). Dari isolasi sel, kandungan MAPs bisa mencapai 10-15% dari massa TM.
Beberapa jenis MAPs berikatan di sepanjang dinding TM pada jarak yang teratur maupun tidak teratur. Tonjolan MAPs ini
menyebabkan TM bisa berikatan dengan TM lain, filamen dan struktur-struktur sel lainnya. MAPs yang ditemukan berikatan
pada ujung positip TM diketahui berfungsi menyetabilkan subunit-subunit dalam pemanjangan TM, sedangkan yang berikatan
pada ujung negatif diketahui membantu penguraian subunit-subunit menjadi monomer bebas.

Beberapa MAPs yang sangat intensif dipelajari adalah yang ada di sel-sel otak.

MAPs tersebut bisa dibagi menjadi motor dan nonmotor. MAPs motor menggunakan ATP sebagai sumber energinya untuk
mendorong organel sel dan vesikula, dan mengatur pergeseran dua TM yang saling berdekatan. Sedangan MAPs nonmotor
berfungsi mengontrol organisasi TM dalam sitosol. Di dalam sel syaraf, MAPS nonmotor ini berperan dalam pembentukan
penjuluran-penjuluran akson dan dendrit. Aktifitas pengaliran rangsang (listrik) dalam akson jauh lebih banyak dibanding
dalam dendrit diduga karena TM di akson membentuk bundel-bundel yang jauh lebih banyak, selain karena jenis MAPs-nya
antara akson dan dendrit juga berbeda. Jadi, perbedaan-perbedaan jenis MAPs antar sel menyebabkan organisasi TM juga
berbeda, walaupun struktur TM-nya sendiri sangat stabil.

FILAMEN MIKRO

page 7 / 24
Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON
Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id
http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

Filamen mikro (FM) atau lebih dikenal dengan filamen aktin merupakan komponen sitoskeleton dengan ukuran paling kecil,
yaitu sekitar 7 nm. Akumulasi pengetahuan tentang filamen mikro ini berasal dari penelahaan yang intensif terhadap
serabut-serabut kontraktil sel-sel otot. Kontraksi otot dihasilkan oleh interaksi antara filamen aktin atau filamen tipis dengan
miosin atau filamen tebal. FM ini bukan hanya bisa ditemukan dalam sel-sel otot melainkan dalam hampir semua sel eukariot
dengan fungsi yang sangat beragam, baik yang berhubungan dengan fungsi-fungsi pergerakan sel maupun struktur sel.
Beberapa fungsi pergerakan yang dibantu oleh FM adalah gerak ameboid, migrasi sel diatas permukaan dan pergerakan
teratur cairan sitosol (cytoplasmic streaming) pada sel-sel tumbuhan maupun hewan. Selain itu, FM membantu mekanisme
pelekukan membran sel pada awal-awal sitokinesis. Keterlibatan FM dalam fungsi-fungsi struktural terlihat pada peranan FM
dalam jejaring yang memperkuat pengikatan antar sel melalui matriks ekstraselular.

Sebagai pemberi bentuk sel, sitosol beberapa jenis sel dipenuhi oleh jejaring FM yang disebut dengan sel korteks, biasanya
jejaring FM tadi mengumpul membentuk lapisan di bawah membran sel. Dalam hal ini, jejaring FM bisa disebutkan sebagai
yang memberi bentuk sel sekaligus bisa juga disebutkan sebagai yang memberi kekuatan mekanis sel. Pada sel-sel epitel
saluran pencernaan, jejaring FM mengorganisasikan diri membentuk bundel yang kemudian mengisi pelekukan membran sel
yang disebut mikrovili.

Protein Aktin adalah Subunit Penyusun FM

Dalam sitosol sel-sel eukariot, protein aktin berada dalam jumlah yang sangat banyak. Protein aktin disintesis sebagai
polipeptida tunggal yang terdiri dari 375 asam amino dengan berat molekul sekitar 42 kDa. Polipeptida aktin yang baru
disintesis akan mengalami pelipatan-pelipatan membentuk banyak huruf U saling menyambung yang kemudian bagian
tengahnya mempunyai afinitas yang tinggi terhadap ATP ataupun ADP.Satu molekul aktin yang aktif disebut G-aktin. Pada
kondisi yang tepat, molekul-molekul G-aktin bebas mengalami polimerasi membentuk FM yang kemudian disebut F-aktin.
Molekul aktin, baik dalam bentuk monomer (G) maupun polimernya (F) bisa berikatan dengan beragam protein lainnya.
Molekul aktin yang berikatan dengan suatu protein kemudian memberikan fungsi yang berlain-lainan tergantung protein yang
diikatnya.

Pada dasarnya, struktur protein aktin bersifat sangat stabil atau identik di berbagai jenis sel, malah yang paling stabil
dibanding TM dan FI (filamen intermediet). Protein aktin fungsional bisa jadi sangat beragam di dalam satu sel, antar jenis sel
maupun antar sel dari spesies yang berbeda. Berdasarkan kesamaan runutan asam aminonya, setidaknya protein aktin bisa
dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu aktin spesifik untuk otot (a-aktin)  dan aktin selain di sel-sel otot (b- aktin
dan g-aktin). Selain itu, b- aktin dan g-aktin yang ditemukan di dalam satu sel atau di berbagai jenis sel bisa jadi saling
berbeda. Misalnya, pada sel epitel dengan orientasi basal-apikal, biasanya b- aktin paling banyak ditemukan di bagian apikal
sedangkan g-aktin paling banyak ditemukan di bagian basal dan lateral.

Selain jenis aktin yang beragam, kelompok protein yang mempunyai runutan asam amino serupa dengan protein aktin
kemudian disebut sebagai actin-related proteins (Arps). Misalnya, protein aktin di sel-sel ayam dan di sel ragi mempunyai
kesamaan runutan asam amino lebih dari 90%, sedangkan Arps memperlihatkan kesamaan runutan asam amino hanya
sekitar 50%. Arps2 dan Arps3 ternyata ditemukan terlibat dalam pengaturan pembentukan inti polimerasi FM pada sel-sel
yang sedang bermigrasi.

Proses Pembentukan FM

Sebagaimana dimer tubulin, monomer G-aktin akan mengalami polimerasi menjadi FM dan sebaliknya FM akan mengalami
depolimerase menjadi G-aktin kembali. Awal polimerase G-aktin bebas terjadi sangat pelan sampai terbentuk inti filamen
(fase lag) kemudian dilanjutkan dengan pemanjangan filamen yang terjadi sangat cepat. Akhirnya, dua filamen yang sudah
memanjang saling berpilin membentuk struktur molekul heliks. Satu pilinan terdiri atas 13.5 monomer F-aktin dengan panjang
sekitar 36-37 nm. Molekul-molekul aktin dalam FM mempunyai orientasi yang sama yang menyebabkan FM secara inheren
mempunyai polaritas struktur, yaitu ujung-ujungnya saling berbeda. Sifat polaritas FM bisa dibuktikan dengan menginkubasi
FM dengan myosin subfragmen (S1). Fragmen S1 akan berikatan dengan F-aktin layaknya menghias FM dengan
rumbai-rumbai yang mengarah ke satu arah. Berdasarkan pola arah dari setiap molekul miosin yang melekat ke F-aktin maka
ujung positif adalah yang di depan dan ujung minus adalah yang dibelakang sesuai arah rumbai molekul miosin. Polaritas FM

page 8 / 24
Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON
Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id
http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

menjadi sangat penting berkaitan dengan penambahan dan penguraian monomer-monomer aktin.

Pada kondisi penambahan monomer G-aktin lebih cepat di ujung positif dibanding penguraiannya di ujung minus maka FM
disebut mengalami pertumbuhan, atau sebaliknya. Kondisi arah rumbah protein miosin pada beberapa FM tidak bisa dijadikan
patokan. Jika G-aktin mengalami polimerasi menjadi filamen berukuran pendek yang kemudian mengikat S1 maka polimerasi
selanjutnya bisa ke arah yang berlawanan dari arah rumbai-rumbai S1. Dengan begitu, ujung filamen yang mengalami
penambahan kemudian disebut ujung positif. Artinya, akan disebut  ujung positif jika mengalami pertumbuhan yang lebih
cepat dibanding penguraian di ujung minusnya.

Pada saat monomer G-aktin mengalami polimerasi membentuk filamen, maka ATP yang berikatan dengan G-aktin akan
dihidrolisis menjadi ADP. Hal yang serupa dengan GTP yang berikatan dengan dimer tubulin dalam pertumbuhan TM. Dengan
begitu, ujung-ujung FM yang mengalami pertumbuhan (ujung positif) akan mempunyai tudung kompleks ATP-F-aktin. Semakin
ke ujung negatif maka kompleks ATP-F-aktin akan berubah menjadi ADP-F-Aktin. Dari hasil eksperimen in vitro, ternyata
kompleks ATP-G-aktin dan ADP-G-aktin mempunyai peluang yang sama untuk membuat pertumbuhan FM. Hal ini berarti
kebutuhan pengaturan dengan pembentukan kompleks ATP-G-aktin tidak terlalu diperlukan untuk pertumbuhan FM.

Pengaturan pembentukan dan penguraian FM terjadi sangat kompleks di dalam sel hidup, yaitu melibatkan berbagai jenis
protein berukuran kecil (antara lain protein G, Rac, Rho dan Cdc42) maupun membran fosfolipid (yaitu fosfolipid inositol).
Pengaturan tersebut meliputi tahap-tahap awal pembentukan nukleasi (agregasi G-aktin) dan perpanjangan FM yang
sebelumnya sudah ada dan pengaturan depolimerasi. Semua molekul yang terlibat dalam pengaturan FM melakukannya
dengan mekanisme yang berbeda-beda, walaupun semuanya melibatkan (setidaknya di tahap-tahap awal pengaturannya)
pengikatan GTP.

Jika tidak ada faktor-faktor yang lain, maka pertumbuhan FM sangat tergantung pada ketersediaan monomer ATP-G-aktin
bebas dalam sitosol. Jika dalam sitosol terdapat molekul yang menyebabkan G-aktin menjadi tidak bebas, misalnya thymosin
B4, maka pertumbuhan FM akan terganggu. Sebagaimana disebutkan diatas, peluang ATP-G-aktin dan ADP-G-aktin adalah
sama untuk ditambahkan ke ujung positif FM. Berarti jika ATP-G-aktin tidak tersedia bebas dan yang tersedia bebas adalah
ADP-G-aktin maka FM tetap mengalami pertumbuhan sampai kemudian ADP-G-aktin juga tidak tersedia akibat diikat oleh
ADF/cofilin. Dalam kondisi tertentu, ADF/cofilin mengikat ADP-G-aktin dari ujung minus FM yang kemudian dilepaskan ke
sitosol. Jika hal tersebut yang terjadi maka pertumbuhan FM tetap normal karena ADP-G-aktin menjadi tersedia bebas
kembali.

Protein Tudung Berfungsi Menstabilkan ujung-ujung FM

Sebagaimana halnya pada TM, ujung-ujung FM tidak bisa tumbuh atau terurai karena ditutupi oleh protein tudung. Salah satu
jenis protein tudung yang menghalangi  penambahan monomor G-aktin di ujung sitif adalah Cap-Z. Dengan begitu, Cap-Z bisa
dianggap sebagai molekul penstabil FM.

Interaksi antar FM diatur oleh Protein Pengikat Aktin

Sebagai bagian dari sitoskeleton, FM fungsional bisa membentuk polimer aktin dengan berbagai derajat organisasi, mulai dari
struktur yang membutuhkan kekuatan (misalnya mikrovilli, pemanjangan ujung akrosomal sperma avertebrata laut) sampai
ke struktur jejaring yang longgar (misalnya struktur korteks sel). Keragaman struktur yang luas tersebut sangat tergantung
pada protein-protein pengikat aktin (= protein asesoris pada TM).

page 9 / 24
Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON
Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id
http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

Mikrovilli

Mikrovilli adalah penjuluran-penjuluran yang terdapat pada sisi apikal sel-sel epitel saluran pencernaan. Satu sel bisa
mempunyai ratusan mikrovili dengan diameter 0.1 μm dan panjang 1-2 μm sehingga luas permukaan sel bisa bertambah 20
kali lipat. Untuk menyokong struktur mikrovili, di bagian tengahnya terdapat susunan sejajar dari FM membentuk bundel yang
sangat kuat. Setiap FM yang menyusun bundel saling diikat oleh protein fimbrin dan villin. Keduanya dikenal sebagai 
actin-bundling proteins. Ujung-ujung positif FM berada di ujung mikrovili berikatan dengan membran sel melalui plaque padat
elektron. Bundel dari FM juga membentuk ikatan saling-silang dengan membran plasma di sisi lateral melalui struktur protein
miosin I dan kalmodulin. Sedangkan di bagian dasar mikrovilli, setiap bundel FM membentuk jejaring filamen yang lebih
longgar yang disebut terminal web.  Dalam terminal web ini, setiap FM saling diikat oleh miosin dan spektrin, yang kemudian
diikatkan ke protein terikat membran plasma atau ke filamen intermediet yang ada di sitoplasma. Dengan begitu, terminal
web berfungsi sebagai fondasi (penambat) agar penjuluran mikrovilli yang perpendikular (tegak lurus) dengan dinding saluran
pencernaan bisa kokoh.

Korteks Sel

Pada sebagian besar sel-sel hewan bisa ditemukan adanya korteks sel. Korteks sel ini merupakan jejaring tiga dimensi FM
tepat dibawah membran plasma. Di beberapa bagian, FM penyusun korteks membentuk ikatan dengan protein terikat
membran sel. Dari struktur seperti di atas, fungsi FM adalah untuk memperkokoh membran plasma, membentuk permukaan
sel yang kuat, mengatur perubahan-perubahan bentuk sel dan terlibat dalam pergerakan sel. Untuk membentuk jejaring tiga
dimensi, beberapa FM dianyam atau saling dilekatkan oleh protein-protein pengikat aktin yang dikenal sebagai actin-binding
proteins. Salah satu protein tersebut adalah protein filamin yang terdiri dari gabungan dua utas polipeptida yang saling
identik dan ujung-ujung keduanya melekat ke situs pelekatan protein dalam F-aktin. Dalam hal ini, dua FM disilangkan dan
pada posisi silangan diikat oleh dua tali dari protein filamin. Struktur seperti itu memungkinkan terbentuknya jejaring tiga
dimensi dari FM sehingga cairan sitosol di bagain korteks mempunyai tekstur gel (kondisi gel). Jika struktur jejaring FM diputus
maka sitosol di bagian korteks akan semakin encer (kondisi sol).  Perubahan kondisi gel ke sol atau sebaliknya berarti diatur
oleh pembentukan dan pemutusan jejaring FM yang ada di sitosol. Mekanismenya melibatkan protein gelsolin yang bisa
memutuskan jejaring FM yang dibangun oleh filamin dan juga bisa membentuk tudung protein di ujung-ujung FM.

Lamellipodia

Struktur khusus pada sel yang bisa melakukan lokomosi antara lain adalah lamellipodia. Organisasi jejaring FM yang
menyusun lamellipodia lebih baik dibanding yang menyusun korteks tapi masih lebih baik yang menyusun mikrovilli. Struktur
FM pada lemellipodia tumbuh bercabang-cabang. Percabangan filamen aktin dibantu oleh molekul profilin. Pada awal
pembentukannya, inisiasi nukleasi dibantu molekul mirip aktin, yaitu kompleks Arp2/3. Selain itu, kompleks Arp2/3 juga
menginisiasi titik tumbuh cabang. Percabangan yang dibuat oleh Arp2/3 ini bisa diinaktifasi oleh suatu kelompok protein yang
dikenal dengan Wiskott Aldrich syndrome protein (WASP). Sindrom ini menyebabkan platelet tidak bisa berubah bentuk
sehingga tidak bisa menjadi penyumbat jika pembuluh darah bocor (mekanisme pembekuan darah terganggu).

page 10 / 24
Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON
Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id
http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

Fungsi lain dari FM adalah membentuk pelekukan membran sel pada saat sitokinesis. Untuk bisa melakukan fungsi diatas
maka FM harus berikatan dengan protein yang tertanam ke membran plasma dengan bantuan molekul penghubung (linker).
Beberapa molekul penghubung FM dengan protein membran adalah band 4.1, ezrin, radixin dan moesin yang dikenal sebagai
kelompok protein FERM. Mutasi yang menyebabkan protein kelompok Ferm ini tidak berfungsi akan menyebabkan berbagai
proses selular terganggu, misalnya sitokinesis, sekresi dan pembentukan mikrovili. Dalam sel darah merah, protein
penghubung antara FM dengan protein membran adalah spektrin dan ankyrin. Keperluan FM yang ada dalam sel-sel darah
mamalia adalah untuk mengatur perubahan-perubahan bentuk sel selama masa fungsionalnya (misalnya melalui pembuluh
kaplier yang sangat sempit dan pengangkutan  oksigen).

FILAMEN INTERMEDIET

Filamen intermediet (FI) mempunyai diameter 8-12 nm yang berada diantara filamen mikro (7 nm) dan tubulus mikro (15-25
nm), atau berada diantara filamen tebal dan filamen tipis sel-sel otot. Sampai saat ini, akumulasi pengetahuan tentang
ultrastruktur FI banyak diperoleh dari sel-sel hewan, terutama yang ada di otot sebagaimana ditemukan pertama kalinya.

FI merupakan komponen sitoskeleton yang paling stabil dan komponennya paling sedikit larut dalam sitosol. Kestabilan ini
diperlihatkan oleh kenyataan tidak rusaknya FI dalam perlakuan detergen dan larutan berion tinggi maupun rendah pada saat
sel dipecah. Sebaliknya, teknik pemecahan sel diatas menguraikan FM maupun TM menjadi subunit-subunit penyusunnya.
Karena kestabilannya dalam menopang sitoplasma, sebenarnya istilah sitoskeleton lebih merujuk ke filamen intermediet ini
dibanding ke FM dan TM.

FI Bersifat Spesifik Jaringan

FI hanya ditemukan pada sel-sel eukariot yang menyusun organisme multiselular. Polipeptida yang membentuk
subunit-subunit penyusun FM dan TM relatif sama pada berbagai jenis sel, sebaliknya, polipeptida yang menyusun
subunit-subunit FI sangat beragam dengan runutan asam amino yang berbeda-beda, baik antar jaringan dalam satu tubuh
organisme multiselular maupun antar organisme itu sendiri.  Berdasarkan pada jenis sel ditemukannya, setidaknya FI bisa
dikelompokkan menjadi 6 kelas. Kelas I dan II terdiri dari protein-protein keratin yang banyak ditemukan membentuk
tonofilamen di dalam sel-sel epitel. Sel-sel epitel merupakan sel pembentuk jaringan epitel yang biasa ditemukan di sisi paling
luar dari suatu organ atau melapisi rongga tubuh, misalnya jaringan epitel yang membentuk lapisan mukosa dari saluran
pencernaan. FI kelas I merupakan keratin yang bersifat asam, sedangkan kelas II bersifat basa atau netral; dan keduanya bisa
terdiri atas 15 macam protein keratin yang berbeda.

FI kelas III meliputi vimentin, desmin dan protein-protein GFA (glial fibrilliary acidic). Vimentin ditemukan dalam jaringan ikat
dan sel-sel lain yang berkembang dari sel-sel non epitel. Dalam kultur sel-sel fibroblas, filamen vimentin sangat jelas terlihat
menjulur-julur dari titik tengah ke arah perifer sel. Desmin banyak ditemukan dalam sel-sel otot, dan protein GFA hanya
ditemukan dalam sel-sel penyokong syaraf, termasuk sel-sel glial yang mengelilingi akson (sel Schwann). FI kelas IV adalah
protein-protein neurofilamen (NF) yang hanya ditemukan dalam sel-sel syaraf yang kemudian bisa dibedakan menjadi dua,
yaitu NF major (NF-L) dan NF minor (NF-M dan NF-H). FI kelas V adalah protein lamin atau nuclear lamin yang ditemukan di
sisi dalam dari membran yang membungkus inti sel. FI kelas IV adalah nestin yang hanya ditemukan pada sel-sel syaraf yang
bersifat embrional.

Selain berdasarkan jenis selnya, pembagian FI menjadi enam kelas diatas juga didasarkan pada gen-gen penyandi proteinnya
yang masih saling berhubungan sebagai satu keluarga gen penyandi FI. Perbedaan-perbedaan antar jenis sel dalam satu
tubuh kemudian ditentukan oleh mode ekspresi dan modifikasi pascatranslasinya. Dengan begitu, spesifisitas setiap kelas FI
kemudian membuat FI bisa digunakan sebagai pelacak jenis-jenis sel dalam satu tubuh. Pada saat ini, analisis FI  biasanya
menggunakan mikroskop fluoresensi. Pelacakan jenis-jenis sel dalam tubuh organisme multiselular biasa dilakukan untuk

page 11 / 24
Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON
Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id
http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

menentukan asal-usul sel kanker yang mengalami metastasis sebagai dasar dari pemilihan tindakan medis selanjutnya.

Protein Fibrosa adalah Subunit Penyusun FI

Walaupun subunit-subunit protein penyusun FI sangat beragam dari segi ukuran dan sifat-sifat kimianya, mereka disandikan
oleh gen-gen yang masih berhubungan. Semua subunit penyusun FI bisa dikategorikan sebagai protein fibrosa. Bandingkan
dengan protein globular yang menjadi subunit-subunit penyusun FM dan TM. Semua protein fibrosa penyusun FI mempunyai
domain tengah berbentuk batang yang saling homolog dengan ukuran yang sangat stabil (berkisar antara 310-318 asam
amino) dan bisa membentuk struktur sekunder yang juga stabil. Domain tengah tersebut terdiri atas empat segmen
berstruktur heliks yang saling disambung oleh segmen penyambung berukuran pendek. Domain tengah diapit oleh ujung N
dan ujung C yang sangat beragam dari segi ukuran, runutan asam amino dan fungsinya. Dengan begitu, fungsi dari setiap FI
ditentukan oleh ujung N maupun oleh ujung C-nya.

Pembagian kelas filamen intermediet

Kelas Protein FI BM (kDa) Jaringan Fungsi


I Keratin bersifat asam 40-56.5 Epitel Kekuatan mekanis
II Keratin bersifat basa 53-67 Epitel Kekuatan mekanis
atau netral
III Vimentin 54 Fibroblas, sel-sel yang berasal dari Mengatur bentuk
mesenkim, lensa mata sel
III Desmin 53-54 Otot, terutama otot polos Menyokong sifat
kontraktil
III Protein GFA 50 Sel-sel glial dan asterosit Mengatur bentuk
sel
IV Protein neurofilamen Syaraf pusat dan tepi Pemanjangan dan
diameter akson
NF-L (major) 62

NF-M (minor) 102

NF-H (minor) 110

V Nuclear lamin Semua tipe jaringan Membungkus dan


memberi bentuk
inti sel
Lamin A 70

Lamin B 67

page 12 / 24
Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON
Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id
http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

page 13 / 24
Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON
Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id
http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

page 14 / 24
Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON
Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id
http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

Lamin C

page 15 / 24
Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON
Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id
http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

60

page 16 / 24
Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON
Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id
http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

page 17 / 24
Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON
Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id
http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

page 18 / 24
Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON
Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id
http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

VI

page 19 / 24
Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON
Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id
http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

Nestin

page 20 / 24
Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON
Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id
http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

240

page 21 / 24
Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON
Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id
http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

Sel-sel induk syaraf

page 22 / 24
Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON
Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id
http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

Belum diketahui

Dengan subunit-subunit protein fibrosa seperti diterangkan diatas maka struktur FI yang paling mungkin adalah berbentuk
dimer dengan struktur domain tengah dari dua subunit fibrosa saling menganyam seperti anyaman tali, kemudian domain
ujung-ujungnya berurai (berumbai) membentuk struktur globular. Dua dimer protein fibrosa kemudian beinteraksi secara
paralel dengan dua dimer yang lain membentuk protofilamen yang tetramer. Jika beberapa protofilamen saling berinteraksi
secara lateral maupun longitudinal maka akan membentuk struktur filamen intermediet yang utuh. Dengan kata lain, satu
filamen intermediet terdiri atas delapan protofilamen yang menebal dan menipis di beberapa tempat akibat sambungan antar
protofilamen (ujung-ujung protein fibrosa) tidak berada pada posisi yang sama.

FI Membangun Kekuatan Mekanis Jaringan

Berdasarkan keterangan di atas maka bisa dipahami bahwa FI merupakan penentu struktur yang penting pada sebagian
besar sel dan jaringan. Pada hampir setiap sel yang menerima tekanan mekanis yang besar akan mempunyai struktur FI
untuk meredam tekanan mekanis tersebut. Misalnya tonofilamen yang ditemukan dalam sel-sel yang menyusun jaringan
epitel. Tonofilamen ini merupakan jalinan protein fibrosa keratin yang ada di sitoplasma dan terikat ke desmosom. Desmosom
merupakan tumpukan (plaque) protein tertanam membran yang berfungsi mengikat sel-sel bertetangga untuk membentuk
gabungan sel-sel epitel sehingga bisa berjajar dengan rapat dan kuat. Selain ke desmosom, tonofilamen juga terikat ke
hemidemosom, yaitu tumpukan protein yang mengikat sel-sel epitel ke membran basal dan atau ke matriks ekstraselular.
Sistem tonofilamen, desmosom dan hemidesmosom menjadikan jaringan epitel sangat kuat menahan tekanan mekanis,
terutama pada saat harus meregang maupun pada saat menerima tekanan. Jika gen penyandi protein keratin mengalami
mutasi atau sengaja direkayasa sehingga menjadi tidak berfungsi maka sel-sel penyusun jaringan epitel akan mudah terurai.
Misalnya rekayasa genetik terhadap keratinosit pada tikus transgenik akan menyebabkan sel-sel penyusun epidermisnya
mudah lepas. Kerusakan genetik (genetic defisiensi) keratin akibat mutasi alami pada manusia akan menyebabkan sel-sel
epidermis yang menyusun kulit mudah lepas yang dikenal dengan epidermolysis bullosa simplex (EBS). Selain EBS, dikenal
juga amyotrophic lateral sclerosis (ALS) dan cardiomyopathies yang menyebabkan kerusakan oganisasi otot jantung dengan
simptom kelainan jantung bawaan.

Di dalam sel, FI membentuk struktur berlipat-lipat yang dikenal dengan nuclear lamina di sisi dalam membran inti. Protein
lamina ini terdiri atas tiga jenis protein lamin yang bisa dibedakan berdasarkan berat molekulnya, yaitu A, B dan C. Pada saat
mitosis, membran inti akan mengalami penguraian akibat protein-protein lamin yang memperkuatnya mengalami fosforilasi.
Setelah mitosis selesai, gugus fosfat yang ada di setiap protein lamin dilepaskan kembali sehingga membentuk filamen lamin
yang kembali kokoh.

FUNGSI-FUNGSI SEL TERKAIT SITOSKELETON

Ketiga komponen sitoskeleton, yaitu filamen mikro, tubulus mikro dan filamen intermediet yang sebelumnya dibahas secara
terpisah, pada kenyataannya di dalam sel fungsional (hidup) saling berinteraksi dan bekerja sama membangun bentuk dan
menyokong berbagai aktifitas sel.  Salah satunya adalah Pengenalan antar sel dan adhesi.

page 23 / 24
Achmad Farajallah | SISTEM SITOSKELETON
Copyright Achmad Farajallah achamad@ipb.ac.id
http://achamad.staff.ipb.ac.id/sistem-sitoskeleton/

Sebagai bagian dari pengintegrasi mekanis, ketiga komponen sitoskeleton dihubungkan oleh protein penghubung yang
spesifik. Misalnya, tonofilamen bisa bergabung dengan tumpukan protein desmosom atau hemidesmosom karena diperantai
oleh kelompok protein plakin yang terdiri atas plectin, desmoplakin dan bullous pemphigoid antigen 1 (BPAG1). Beberapa
protein penghubung diatas memberikan kekuatan mekanis tambahan terhadap desmosom dan hemidesmosom. Peranan
plakin dalam membentuk kekuatan mekanis tidak terbatas pada desmosom dan hemidesmosom, melainkan juga
menghubungkan antara filamen intermediet dengan filamen mikro maupun tubulus mikro. Misalnya, protein plectin ternyata
mempunyai situs-situs pengikatan dengan filamen intermediet, filamin mikro dan tubulus mikro. Dengan adanya protein
plektin, setiap komponen sitoskeleton bisa saling menganyam membentuk stuktur jejaring yang sangat kompleks di dalam sel
maupun antar sel.

page 24 / 24

Vous aimerez peut-être aussi