Vous êtes sur la page 1sur 4

ANALISIS DAMPAK REFORMASI PERPAJAKAN PPH BADAN DAN FAKTORFAKTOR

YANG BERPENGARUH TERHADAP TARIF PAJAK EFEKTIF PADA PERUSAHAAN GO


PUBLIC DI INDONESIA

Dasar hukum pengenaan PPh adalah Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 sebagai
perubahan keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Dalam Undang-Undang PPh No. 36 Tahun 2008 Pasal 2 Ayat 1, subjek pajak penghasilan
terdiri atas: Orang Pribadi; Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan,
menggantikan yang berhak; Badan; dan Bentuk Usaha Tetap. Tambahan pula, objek pajak
penghasilan adalah penghasilan. Tarif PPh Badan yang semula bersifat progresif (progressive
tax rate) sebesar 10% untuk Penghasilan Kena Pajak (PKP) – 0 sampai 50 juta, 15% untuk PKP
– 50 juta sampai 100 juta dan 30% untuk PKP – lebih dari 100 juta, setelah reformasi
perpajakan telah berubah menjadi tarif PPh Badan yang bersifat tunggal/tetap (fixed tax
rate) sebesar 28% pada tahun 2009 dan 25% pada tahun 2010.

Dalam entitas bisnis pasti terdapat upaya meminimalisir pajak, karenanya terdapat istilah
ETR dan STR. ETR adalah tarif pajak yang sesungguhnya berlaku atas penghasilan Wajib
Pajak yang diperoleh dari perhitungan rasio antara beban pajak penghasilan kini (current
tax expense) dengan laba sebelum pajak penghasilan (earning before income tax/EBIT).
Selanjutnya, ETR akan dibandingkan dengan tarif pajak resmi atas PPh Badan atau yang
dikenal dengan istilah Tatif Pajak Wajib (Statutory Tax Rate/STR) dimana STR
merupakan tarif pajak yang ditetapkan pemerintah/tarif pajak atas PKP dengan rasio antara
beban pajak penghasilan kini (current tax expense) terhadap PKP (taxable income).
persediaan. Bedanya laporan keuangan fiskal dan komersial ini menyebabkan nilai ETR
dan STR perusahaan juga berbeda, oleh karenanya perlu dilakukan koreksi fiscal. Koreksi
fiskal terjadi karena adanya perbedaan pengakuan penghasilan maupun biaya antara akuntansi
dengan perpajakan. Perbedaan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu perbedaan
waktu (perbedaan pengakuan pendapatan dan biaya menyebabkan laba berbeda) dan perbedaan
tetap (perbedaan waktu dalam mengakui pendapatan dan biaya antara sehingga
menyebabkan laba berbeda).

Untuk mengetahui perubahan ETR perusahaan terhadap STR serta faktor-faktor


yang berpengaruh terhadap ETR perusahaan, maka digunakan variabel-variabel seperti ukuran
perusahaan, intensitas sediaan, intensitas modal dan rasio hutang jangka panjang terhadap modal.
Seluruh perusahaan yang diteliti kemudian dikelompokkan menjadi dua bagian
berdasarkan karakteristik perusahaan tersebut, yaitu:

a. Tipe 1: perusahaan dengan ETR yang semakin mendekati STR atau bahkan telah
melampaui STR dalam arti yang positif. Dalam arti positif berarti bahwa ETR
tersebut menguntungkan pihak pemerintah dan merugikan pihak perusahaan
b. Tipe 2: perusahaan dengan ETR yang semakin menjauhi STR maupun semakin
mendekati STR dalam arti yang negatif. Dalam arti negatif berarti bahwa
menguntungkan pihak perusahaan dan merugikanpihak pemerintah.

Pengaruh Size terhadap ETR Perusahaan

Zimmerman (1983) dan Kim dan Limpaphayom (1998, pada perusahaan di Hongkong)
menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara ETR dengan firm size, yang berarti
bahwa semakin besar ukuran perusahaan, semakin besar pula ETR. Sebaliknya, hubungan
yang negatif antara kedua variabel tersebut dikemukakan oleh Gupta and Newberry
(1997), Kim dan Limpaphayom (1998, pada perusahaan di Taiwan, Korea, Malaysia dan
Thailand). Lain halnya dengan Stickney dan McGee (1982) dan Soepriyanto (2011) yang
menemukan bahwa tidak terdapat pengaruh antara size dengan ETR. Kecenderungan untuk
melakukan penghematan pajak (parent/subsidiaries) dalam suatu perusahaan lebih mungkin
terjadi pada perusahaan berskala besar dimana mereka memiliki lebih banyak anak
perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan berskala besar memiliki ETR yang rendah.
Perusahaan yang ter-listed di BEI dikategorikan sebagai perusahaan yang berpotensial dan
berskala besar
Pengaruh Capital Intensity dan Inventory Intesity terhadap ETR Perusahaan.

Pelsko (2003) menemukan bahwa terdapat hubungan yang berbanding lurus antara
proporsi aset tetap terhadap total aset dengan ETR. Namun, Stickney dan McGee (1982), Gupta
dan Newberry (1997), Grant Richardson dan Roman Lanis (2007) dan Soepriyanto (2011)
menyatakan bahwa capital intensity berbanding terbalik terhadap ETR. Hal ini dikarenakan
preferensi perpajakan yang terkait dengan investasi dalam aset tetap, terutama pada
ketentuan depresiasi yang dipercepat. Perusahaan diperbolehkan untuk menyusutkan aset
tetap sesuai dengan perkiraan masa manfaat pada kebijakan perusahaan. Namun, pada
preferensi perpajakan menetapkan aset tetap dengan masa manfaat tertentu yang umumnya lebih
cepat bila dibandingkan dengan masa manfaat yang diprediksi perusahaan. Lain halnya
dengan persediaan, Zimmerman (1983), Gupta dan Newberry (1997), Pelsko (2003) dan
Soepriyanto (2011) menemukan bahwa proporsi sediaan terhadap total aset berbanding
lurus terhadap ETR karena inventory akan habis dalam jangka waktu yang singkat (satu
tahun).
Pada Gambar 4.1 di atas, terlihat bahwa pada tipe 1 di tahun 2008, 2009 dan 2010 ETR
lebih besar daripada STR, hal ini menguntungkan pemerintah karena pajak yang
dibayarkan melebihi ekspektasi. pemerintah. Sedangkan pada Gambar 4.2, pada tipe 2 di tahun
2008 dengan ETR lebih besar daripada STR. Selebihnya di tahun 2009 dan 2010 pada tipe 2,
ETR berada di bawah STR. Hal ini merugikan pemerintah karena pajak yang dibayarkan
tidak mencapai ekspektasi pemerintah.

Sebagian besar perusahaan pada tipe 1 bergerak di sektor perdagangan, jasa dan
investasi karena perusahaan pada sektor ini memiliki inventory turnover yang tinggi sehingga
penjualan meningkat dan ETR meningkat pula. Sedangkan sebagian kecil perusahaan pada tipe 1
bergerak di sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi karena perusahaan pada sektor ini
memiliki aset tetap yang banyak sehingga dapat memanfaatkan beban penyusutan sebagai tax
shield dalam pembayaran pajak. Sebagian besar perusahaan pada tipe 2 bergerak di
sektor perdagangan, jasa dan investasi karena pemerintah melakukan tindak pencegahan
atas terjadinya defisit aktivitas perdagangan atas barang dagang, jasa, investasi dengan
pemberian insentif pajak pada perusahaan tertentu akibat menurunnya pertumbuhan ekonomi
Indonesia karena krisis global
Perusahaan pada tipe 1 rata-rata membayar pajak sebesar 33,10% dari jumlah laba
sebelum pajaknya yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan perusahaan pada tipe 2 yang
rata-rata membayar pajak sebesar 23,56% dari jumlah laba sebelum pajaknya. Dimana
perusahaan pada tipe 1 beroperasi secara kurang agresif dan perusahaan pada tipe 2 lebih
bersifat agresif dengan tax planning perusahaan yang cukup bagus.
Dari hasil penelitian menunjukkan besar atau kecilnya ukuran perusahaan, baik pada
tipe 1 maupun 2, bukan merupakan faktor untuk menentukan besar kecilnya jumlah pajak
yang dibayar perusahaan. sedikit banyaknya persediaan (inventory) yang dimiliki
perusahaan, baik pada tipe 1 maupun 2, bukan merupakan faktor untuk menentukan besar
kecilnya jumlah pajak yang dibayar perusahaan banyak sedikitnya fixed asset yang dimiliki
perusahaan untuk kedua tipe 1 dan 2 merupakan salah satu faktor dalam menentukan
besar kecilnya jumlah pajak yang dibayar perusahaan. banyak sedikitnya hutang jangka
panjang yang dimiliki perusahaan pada tipe 1 merupakan salah satu faktor dalam menentukan
besar kecilnya jumlah pajak yang dibayar perusahaan.

Vous aimerez peut-être aussi