Vous êtes sur la page 1sur 47

ASKEP MHI (Mild Head Injury)

Kamis, 11 November 2010


ASKEP MILD HEAD INJURY

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar

1. Pengertian Cedera Kepala

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau

tanpa disertai perdarahan interstisial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya

kontinuitas otak (Tarwoto,dkk,2007:125).

Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak.

Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit

neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer

& Bare 2001).

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada

kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Arif

Mansjoer,dkk,2000:3).

Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi

terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Pierce A. Grace,2007:91).

Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi

normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam (Fransisca B.

Batticaca,2008:96).
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang

tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung

pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).

Sedangkan menurut penulis, trauma kepala atau cedera kepala yaitu suatu proses

terjadinya trauma terhadap kepala yang dipengaruhi oleh tiga mekanisme yaitu akselerasi,

deselerasi, dan deformitas yang disebabkan karena terjadinya kecelakaan lalu lintas, terjatuh,

kecelakaan industry, kecelakaan olahraga, dan luka pada persalinan, yang dapat

mengakibatkan terjadinya gangguan traumatik pada fungsi otak.

2. Etiologi dan Mekanisme Cedera

a. Etiologi

Cedera kepala dapat disebabkan:

1) Kecelakaan lalu lintas

2) Terjatuh

3) Kecelakaan industri

4) Kecelakaan olahraga

5) Luka pada persalinan

(Sumber:Tarwoto,dkk,2007:125)

b. Mekanisme cedera

Cedera kepala disebabkan karena adanya daya/kekuatan yang mendadak di kepala. Ada tiga

mekanisme yang berpengaruh dalam trauma kepala yaitu akselerasi, deselerasi dan

deformitas.
1) Akselerasi yaitu jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada Orang

yang diam kemudian dipukul atau terlempar batu.

2) Deselerasi yaitu jika kepala bergerak membentur benda yang diam, misalnya pada saat

kepala terbentur.

3) Deformitas adalah perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma,

misalnya adanya fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau pemotongan pada jaringan otak.

Pada saat terjadinya deselerasi ada kemungkinan terjadi rotasi kepala sehingga dapat

menambah kerusakan. Mekanisme cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan pada

daerah dekat benturan (kup) dan kerusakan pada daerah yang berlawanan dengan benturan

(kontra kup).

( Sumber: Tarwoto,dkk,2007:125)

3. Anatomi dan Fisiologi Sistem Persarafan

Dalam kepala terdapat cranium, Otak, syaraf-syaraf otak (nervi craniales), meninges

dan organ indera khusus. Kepala juga merupakan tempat masuknya makanan dan dihirup dan

dihembuskan udara.

Sistem syaraf terdiri dari sel-sel syaraf (neuron) dan sel-sel penyongkong dan

terintegrasi satu sama lain sehingga bersama-sama berfungsi sebagai satu unit. Neuron adalah

sel-sel sistem syaraf khusus peka rangsang yang menerima masukan sensorik atau aferen dari

ujung-ujung syaraf perifer khusus atau dari organ reseptor sensorik dan menyalurkan

masukan motorik atau masukan eferen ke otot-otot dan kelenjar-kelenjar yaitu organ-organ

efektor.

Neuron tertentu disebut interneuron, hanya mempunyai fungsi menerima dan

mengirim data neural ke neuron-neuron lain. Interneuron disebut juga neuron asosiasi.

Neuroglia merupakan penyongkong, pelindung dan sumber nutrisi bagi neuron-neuron otak
dan medula spinalis. Sel Schwann merupakan pelindung dan penyongkong neuron-neuron

dan tonjolan neuronal di luar sistem syaraf pusat.

Sistem syaraf di bagi menjadi sistem syaraf pusat dan sistem syaraf tepi. Sistem syaraf

pusat terdiri dari otak dan medula spinalis. System syaraf tepi terdiri dari neuron aferen dan

eferen sistem syaraf somatic dan neuron sistem syaraf otonom (viseral).

a. Sistem syaraf pusat

Sistem syaraf pusat dilindungi oleh tulang tengkorak dan tulang belakang dan dilindungi

pula oleh suspense dalam cairan serebrospinal yang diproduksi oleh tiga lapis jaringan yang

disebut meninges (durameter, araknoid, piameter).

1. Otak

Otak manusia kira-kira merupakan 2% dari berat badan orang dewasa, otak menerima

sekitar 20% curah jantung dan memerlukan 20% pemakaian oksigen tubuh dan sekitar 400

kilo kalori energi setiap harinya. Suplai darah otak dijamin oleh dua pasang arteria yaitu

arteria vetebralis dan arteria karotis interna. Otak di bagi menjadi tiga bagian besar, yaitu

screbrum, batang otak dan serebelum.

Gambar 1.1
Anatomi Otak

a. Serebrum otak

Fungsi serebrum :

1) Mengingat pengalaman yang lalu

2) Pusat persyarafan dan menangani , aktivitas mental, akal, intelegensi, keinginan dan

memori

3) Pusat menangis, buang air besar dan buang air kecil


( Sumber: Syafuddin,2006:279)

Serebrum terdiri dari dua hemisfer (Substansia grisia dan substansia alba) dan empat lobus

(frontal, parietal, temporal, osksipital).

1) Lobus frontal berfungsi mengontrol perilaku individu, membuat keputusan, kepribadian

dan menahan diri.

2) Lobos parietal (lobus sensori) area ibi menginterpresikan sensasi dan mengatur individu

mampu mengetahui posisi dan letak bagian tubuhnya.

3) Lobus temporal berfungsi mengitegrasi sensasi kecap, baud an pendengaran, ingatan jangka

pendek, sangat berhubungan dengan daerah ini.

4) Lobus osksipital terletak pada lobus posterior hemisfer serebri, bagian ini

bertanggungjawab menginterpresikan penglihatan.

b. Batang otak (diensefalon)

Batang otak terdiri dari medula oblongata, pons dan otak tengah.

1) Medula oblongata merupakan pusat refleksi yang penting untuk jantung, vasontriktor

pernapasan, bersin, batuk, menelan, salvias dan muntah.

2) Pons merupakan mata rantai penghubung yang pentingpada jaras kortiko sereberalis yang

menyangtukan hemisfer serebri dan sereberi. Bagian bawah pons berperan dalam pengaturan

penafasan. Nukleus saraf kranial V (trigeminus), VI (abdusen), VII ( fasiallis), dan VIII

(vestibolokoklearis dan audotorius).

3) Otak tengah merupakan bagian pendek dari batang otak yang letaknya di atas pons.

c. Serebelum (otak kecil)


Serebelum terletak pada bagian bawah dan belakang tulang tengkorak di pisahkan dengar

serebrum oleh fisula transversial di- belakang oleh pons varoli dan di atas medula oblongata.

Organ ini banyak menerima serabut aferen sensoris merupakan pusat koordinasi integrasi.

(Sumber: Syafuddin, 2006: 278)

2. Medula spinalis

Fungsi medula spinalis :

a. Pusat penggerakan otot-otot tubuh terbesar di kornu motorik atau kornu ventralis.

b. Mengurus kegiatan refleks-refleks spinalis serta refleks lutut.

c. Merangsang rancangan koordinasi dari otot dan sendi ke serebelum.

d. Sebagai penghubung antara segmen medula spinalis.

e. Mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagiantubuh.

Medula spinalis merupakan suatu struktur lanjutan tunggal yang memanjang dari

medula oblongata melalui foramen magnum dan terus ke bawah melalui kolumna vertebratis

sampai setinggi vertebra lumbalis pertama (LI) orang dewasa. Medula spinalis terbagi

menjadi 31 segmen yang menjadi tempat asal dari 31 pasang saraf spinal. Segmen-segmen

tersebut diberi nama sesuai dengan vertebra ten=mpat keluarnya radiks saraf yang

bersagkutan, sehingga medula spinalis di bagi menjadi bagian servikal, torakal, lumbal dan

sakral.

(Sumber Sylvia Anderson Price, 2006 : 1008)

b) Sistem Saraf Tepi (PNS)

Secara anatomis, di bagi menjadi 31 pasang saraf spinal dan 12 pasang saraf kranial.

Saraf perifer terdiri dari neuron-neuron yangmenerima pesan-pesan neural sensorik (aferen)

yang menuju SSP atau menerima pesan-pesan neural motorik (eferen). Dari SSP, atau

keduanya. Saraf spinal menghantarkan pesan-pesan aferan maupun pesan-pesan eferen dan

demikian saraf-saraf spinal dinamakan saraf campuran. Saraf cranial berasal dari bagian
permukaan otak. Lima pasang merupakan saraf motorik, tiga pasang merupakan saraf

sensorik dan empat pasang merupakan saraf campuran. Secara fungsional PNS di bagi

menjadi sistem saraf somatic dan sistem saraf otonom.

Sistem saraf somatic terdiri dari saraf campuran. Bagian aferen membawa informasi

sensorik yang disadari maupun informasi sensorik yang tak disadari (missal, nyeri, suhu,

raba, propricsepsi yang disadari maupun yang tak disadari, penglihatan, pengecapan,

pendengaran dan penciuman) dari kepala, dinding tubuh dan ekstremitas. Saraf eferen

terutama berhubungan dengan otot rangka tubuh sistem saraf somatis menangani interaksi

dan respons terhadap lingkungan luar.

Sistem saraf otonom merupakan sistem saraf campuran. Serabut-serabut aferennya

membawa masukan dari organ-organ visceral (menangani pengaturan denyut jantung,

diameter pembuluh darah, pernapasaan, pencernaan makanan,rasa lapar, mual, pembuangan

dansebagainya). Saraf eferen motorik sistem saraf tubuh dan ekstremitas. Saraf eferen

terutama berhubungan dengan otot rangka tubuh sistem saraf somatic menangani interaksi

dan respons terhadap lingkungan luar.

Sistem saraf otonom merupakan sistem saraf campuran. Serabut-serabut eferennya

membawa masukan dari organ-organ visceral (menangani pengaturan denyut jantung,

diameter pembuluh darah pencernaan makanan, rasa lapar, mual, pembuangan dan

sebagainya). Saraf eferen motorik sistem saraf otonom mempersarafi otot polos, otot jantung

dan kelenjar-kelenjar visceral. Sistem saraf otonom terutama menangani pengaturan fungsi

visceral dan interaksinya dengan lingkungan internal.

Sistem otonom dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah sistem saraf

otonom parasimpatis (parasympthethic otonomic nervous system, PANS) dan sistem saraf

otonom simpatis (sympthethic otonomic nervous system. SANS). Bagian simpatis

meninggalkan SSP dari daerah torakal dan lumbal (torakolumbal) medulla spinalis. Bagian
parasimpatis keluar dari otak (melalui komponen saraf cranial) dan bagian sacral medulla

spinalis (kraniosakral). beberapa fungsi simpatis adalah peningkatan kecepatan denyut

jantung dan pernapasan, serta penurunan aktifitas saluran cerna. Tujuan utama SANS adalah

mempersiapkan tubuh agar siap menghadapi stress, atau yang disebut respons bertemu atau

lari. Sebaliknya, sistem saraf parasimpatis otonom menurunkan kecepatan denyut jantung dan

pernapasan, dan meningkatkan pergerakan saluran cerna sesuai dengan ke butuhan

pencernaan dan pembuangan. Jadi, saraf parasimpatis membantu konservasi dan homeostatis

fungsi-fungsi tubuh.

Table 1.1
Efek Otonom pada Berbagai Organ Tubuh

Organ efektor Efek rangsangan simpatis Efek rangsangan parasimpatis


MATA
a. Pupil Dilatasi (midrilasis) Kontraksi (miosis)
b. Otot siliaris Relaksasi (penglihatan tubuh) Kontraksi (penglihatan dekat)

KELENJAR KEPALA Sekresi menurun Merangsang sekresi


a. Lakrimalis Sekresi menurun Merangsang sekresi
b. Nasofaring Sekresi sedikit, kental Denyut berkurang
c. Saliva a. Denyut meningkat Kecepatan konduksi berkurang
d. Jantung b. Kecepatan konduksi meningkat Kecepatan denyut berkurang
c. Kekuatan denyut meningkat Kekuatan denyut berkurang

Vasodilatasi Minimal
PEMBULUH DARAH Vasodilatasi Minimal
a. Koroner Vasokontriksi Minimal
b. Otot rangka Vasokontriksi Minimal
c. Visera abdomen
d. Kulit
DARAH
a. Koagulasi Meningkat
b. Glukosa Meningkat
c. Asam lemak bebas Meningkat
d. Paru Bronkodilatasi Bronkokonstriksi
e. Usus Paristaltik dan tonus menurun Peristaltik dan tonus meningkat
Tonus menurun (biasan
f. Lumen Tonus meningkat (biasanya relaksasi)
kontraksi)
g. Sfingter Mungkin terhambat Merangsang sekresi
h. Sekresi hati Glikogonglisis Merangsang kontraksi

i. Kandung dan saluran empedu Menghambat kontraksi Kontraksi


j. Medulla adrenal Sekresi epinefrin dan norepinefrin
k. Otot kandung kemih Relaksasi (biasanya)
l. Organ seksual Ejakulasi
m. Kelenjar keringat Merangsang kelenjar keringat Ereksi
tertentu

n. Otot-otot pilomotor Kontraksi


o. Jaringan adiposa Lipolisis

Sumber: Sylvia Anderson Price, 2006:1009

4. Klasifikasi

Klasifikasi umum berdasarkan kerusakan jaringan otak akibat trauma.

a. Komotio cerebri, gangguan fungsi neurologic ringan yang terjadi sesaat dengan gejala

hilangnya kesadaran biasanya kurang dari 10 menit dengan atau tampa di sertai amnesia

retrograde, mual, muntah, nyeri kepala, vertigo dan tampa adanya kerusakan struktur otak.

b. Kontusio cerebri, gangguan fungsi neurologik dengan hilangnya kesadaran lebih dari 10-15

menit di sertai kerusakan otak tetapi kontinuitas otak masih utuh.

c. Laseratio cerebri, gangguan fungsi neurologic di sertai kerusakan otak yang berat dengan

fraktur tengkorak terbuka, masa otak terkelupas keluar dari rongga intracranial.
Table 1.2

Kategori Penentuan Keparahan Cedera Kepala Berdasarkan Nilai Skala Koma Glassglow

Penentuan Keparahan Deskripsi Frekuensi


Minor/ringan/mild GCS=13-15 55%
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran
atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit
 Tidak ada fraktur tengkorak, tidak
ada kontusio sersbral, tidak ada
hematom
Sedang/moderate GCS= 9-12 24%
 Kehilangan kesadaran atau amnesia
lebih dari 30 menit tetapi kurang dari
24 jam
 Dapat mengalami fraktur tengkorak
Berat/severe GCS=3-8 21%
Kehilangan kesadaran atau amnesia
lebih dari 24 jam juga meliputi
kontusio serebral, laserasi atau
hematom intracranial.

Sumber: Cholik Harun Rosjidi, 2007:33

3. Patofisiologi
Trauma kepala

Cedera jaringan otak setempat Cedera menyeluruh

erusakan setempat Kekuatan diserap sepanjang jaringan otak


Sawas darah otak rusak

Vasodilator pembuluh darah&oedem CO2 meningkat, pH menurun


(ketidakseimbangan CES&CIS)

Mobilisasi sel ke darah oedem

Peningkatan TIK Hipoxia

n otak Peningkatan perfusi jaringan otak


an otak
Penurunan tingkat kesadaran
Defisit neurologis
Gangguan pemenuhan kebutuhan ADL
Gangguan saraf vagal Gangguan fungsi medulla Kerusakan
persepsi&kognitif
Penurunan fungsi kontraksi Gangguan fungsi otot
Otot polos lambung respirasi Kerusakan Perubahan
Mobilitas fisik persepsi&sensori
Penurunan kemampuan Perubahan frekuensi
Absorbsi makanan respirasi
Nausea Resti pola nafas tidak efektif

Vomitus
Resti deficit cairan

(Sumber: http://www.scribd.com/doc/20357839/cedera-kepala)

4. Manifestasi Klinis
a. Epidural hematoma Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater

akibat pecahnya pembuluh darah / cabang – cabang arteri meningeal media yang terdapat

diantara duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena sangat berbahaya

. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di

lobus temporalis dan parietalis. Gejala – gejalanya :

1) Penurunan tingkat kesadaran

2) Nyeri kepala

3) Muntah

4) Hemiparese

5) Dilatasi pupil ipsilateral

6) Pernapasan cepat dalam kemudian dangkal ( reguler )

7) Penurunan Nadi

8) Peningkatan suhu

b. Subdural hematoma

Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik.

Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat

diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam –

2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan. Gejala – gejalanya :

1) Nyeri kepala

2) Bingung

3) Mengantuk

4) Menarik diri

5) Berfikir lambat

6) Kejang

7) Udem pupil.
d. Perdarahan intra serebral

Berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler dan vena.

Gejala – gejalanya :

1) Nyeri kepala

2) Penurunan kesadaran

3) Komplikasi pernapasan

4) Hemiplegi kontra lateral

5) Dilatasi pupil

6) Perubahan tanda – tanda vital

e. Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan

otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat. Gejala – gejalanya :

1) Nyeri kepala

2) Penurunan kesadaran

3) Hemiparese

4) Dilatasi pupil ipsilateral

5) Kaku kuduk.

(Sumber: http://www.scribd.com/)

Selain itu trauma kepala akan menimbulkan tanda-tanda sesuai pusat mana yang

mengalami kerusakan dan dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Bagian depan/frontal

1) Kelumpuhan dalam melakukan gerakan tubuh

2) Ketidakmampuan melakukan gerakan kompleks

3) Kehilangan spontanitas dalam interaksi social


4) Kehilangan fleksibilitas dalam berpikir

5) Ketidakmampuan membuat keputusan

6) Ketidakmampuan focus pada tugas

7) Emosi yang labil

8) Perubahan tingkahlaku social

9) Perubahan kepribadian

10) Kesulitan dalam memecahkan masalah

11) Ketidakmampuan mengungkapkan kata-kata

b. Bagian atas kepala/parietal

1) Ketidakmampuan mengikuti lebih dari satu objek pada saat yang sama

2) Ketidakmampuan menyebutkan nama benda

3) Kesulitan dalam membaca

4) Kesulitan dalam menggambar benda

5) Kesulitan dalam membedakan kiri dan kanan

6) Kesulitan dalam berhitung

7) Kehilangan kecakapan yang diperoleh sebelumnya untuk melaksanakan pekerjaan

8) Ketidakmampuan memusatkan perhatian

9) Kesulitan pada penglihatan dan koordinasi lengan

c. Belakang kepala/oksipital

1) Penurunan penglihatan

2) Kesulitan menentukan letak benda disekitarnya

3) Kesulitan dalam mengidentifikasi warna

4) Halusinasi

5) Ilusi

6) Buta huruf
7) Kesulitan dalam mengenali gambarn benda

8) Kesulitan dalam membaca dan menulis

d. Disamping kepala di atas telinga/temporal

1) Kesulitan dalam mengenal orang

2) Kesulitan dalam mengartikan kata-kata

3) Gangguan dalam membedakan apa yang dilihat dan didengar

4) Kesulitan dalam mengidentifikasi dan mengungkapkan benda

5) Kehilangan memori jangka pendek

6) Gangguan memori jangka panjang

7) Gangguan tingkahlaku seksual

8) Ketidakmampuan mengelompokkan benda

9) Kerusakan lobus kanan dapat menyebabkan bicara terus-menerus

10) Peningkatan perilaku agresif

e. Otak bagian dalam

1) Penurunan kemampuan pernafasan

2) Disfagia

3) Disorientasi lingkungan

4) Gangguan keseimbangan dan pergerakan

5) Pusing dan mual

6) Sulit tidur

f. Dasar tengkorak

1) Gangguan dalam koordinasi gerakan

2) Ketidakmampuan mencapai dan menggenggam benda

3) Tremor

4) Pusing
5) Gangguan bicara

6) Ketidakmampuan melakukan pergerakan yang tepat

(Sumber: Cholik Harun Rosidi, 2007:47)

4. Komplikasi

a. Edema serebral dan herniasi

Dapat menimbulkan iskemia, infark, kerusakan otak irreversible dan kematian.

b. Defisit neurologic dan psikiatrik

Dapat mengalami paralisis saraf local seperti anosmia (tidak dapat mencium bau-bauan) atau

abnormalitas gerakan mata, dan deficit neurologic gerakan seperti afasia, defek memori, dan

kejang post traumatic atau epilepsy. Pasien mengalami sisa penurunan psikologis organic

(melawan, emosi labil, atau tidak tahu malu, perilaku agresif) dan konsekuensi gangguan,

kurangnya wawasan terhadap respon emosi.

c. Komplikasi lain setelah traumatic

Berupa:

1) Infeksi sistemik

Seperti: Pneumonia, Infeksi saluran kemih, Septikemia.

2) Infeksi bedah neuro

Seperti: Infeksi luka, Osteomielitis, Meningitis, Ventikulitis, Abses otak.

3) Osifikasi heterotrofik

Seperti: Nyeri tulang pada sendi-sendi yang penunjang berat badan.

( Sumber: Brunner dan Suddart,2002:2215 )

5. Penatalaksanaan
Pasien dengan trauma kepala berat sering mengalami gangguan pernapasan, syock

hipovolemik, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, tekanan intracranial yang tinggi,

kejang-kejang, gangguan kardiovaskuler. Perlu mendapat penanganan yang tepat.

a. Pengelolaan Pernapasan

Pasien harus ditempatkan dalam posisi miring atau seperti posisi koma, periksa mulut

keluarkan gigi palsu bila ada, jika banyak ludah atau lendir lakukan penghisapan dan

bersihkan sisa muntahan bila ada. Lakukan hiperoksigenasi sebelum, selama dan sesudah

penghisapan. Hindari fleksi leher yang berlebihan karena bias mengakibatkan terganggunya

jalan napas atau peningkatan TIIK. Pasang Tuba orotrakeal. Trakesotomi dilakukan bila lesi

didaerah mulut atau faring parah.

Perawat harus mengkaji frekuensi dan upaya pernapasan pasien, warna kulit, bunyi

pernapasan ekspansi dada. Bila terdapat gangguan, gas darah arteri harus diukur

mengevaluasi efektifitas ventilasi. Bila pasien gelisah dan melawan bantuan respirasi, perlu

diberikan penenang diazepam. Posisi pasien harus selalu diubah setiap 3 jam dan lakukan

fisioterapi dada 2 kali sehari.

b. Gangguan Mobilitas Fisik

Pasca cidera posisi harus dibentuk segera. Posisi yang benar akan membantu

menghambat tonus abnormal dan memungkinkan penanganan yang lebih mudah oleh terapis

fisik dan okupasi serta perawat yang membantu pasien mempertahankan rentang gerak

penuh. Posisi tubuh yang umu pasca cidera kepala adalah opistotonus perawatan harus

dilakukan dengan tujuan untuk menghentikan pola refleksif dan penurunan tonus otot

abnormal. Perawat harus menghindarkan terjadinya kontraktur dengan melakukan ROM pasif

dengan meregangkan otot dan mempertahankan mobilitas fisik. Perawat harus menggerakan

setiap sendi sesuai rentang gerak normalnya. Lakukan waktu memandikan pasien.

c. Kerusakan Kulit
Dengan hilangnya fungsi motorik, klien sangat rentan terjadinya kerusakan kulit,

pasien tidak sadar atau pasien yang immobilitas adanya penekanan, kelembaban, gesekan,

danpenurunan sensasi. Satu-satunya cara menghindari gangguan intregritas kulit adalah

hilangkan penekanan. Dan intervensi yang paling efektif adalah mobilitas.

d. Masalah Hidrasi

Pada klien cidera kepala terjadi konstriksi arteri-arteri renalis sehingga pembentukan

urine berkurang dan garam ditahan didalam tubuh akibat peningkatan tonus ortosimpatik.

Pengukuran masukan dan haluran cairan yang akurat dan evaluasi terhadap perubahan berat

badan dari hari kehari sangat penting pada pengkajian keseimbangan cairan. Pada dua hari

pertama masukan cairan sebaiknya dibatasi 1 L/24 jam, hari ketiga keempat 1,5 L dan

seterusnya 2 L/24 jam. Bila diberikan terapi koertikosteroid, diuretic atau cairan

hiperosmolar, jumlah cairan disesuaikan. Cairan yang diberikan ialah campuran Glukosa 5%

dan NaCl 0,4%. Perawat juga harus mengkaji kulit klien dan membrane mukosa terhadap

kekeringan dan pecah-pecah, yang mencetuskan timbulnya cidera lanjut. Evaluasi terhadap

perubahan kardiovaskuler secara ketat terutama dengan mengukur tanda-tanda vital, tekanan

vena sentral serta curah jantung.

e. Nutrisi pada trauma Otak Berat

Nutrisi pada klien trauma otak memerlukan jumlah kalori 2 kali lipat dengan

meningkatnya aktivitas system saraf ortosimpatik yang tampak pada hipertensi dan takikardi.

Kegelisaan dan tonus otot yang meningkat menambah kebutuhan kalori. Bila ebutuhan kalori

ini tidak dipenuhi maka jaringan tubuh dan lemak akan diurai, penyembuhan luka akan lebih

lama, timbul dekubitus, daya tahan tubuh menurun. Sebelum nutrisi diberikan kemampuan

menelan gunakan sonde untuk memasukan nutrisi. Evaluasi juga penutupan bibir dan gerakan

lidah, bicara ngorok yang menandakan penurunan otot orofaringeal. Selain itu pertimbangan

lain sebelum memberikan makanan peroral adalah status pernapasan dan kekuatan batuk.
f. Masalah Eliminasi

Pemantauan eliminasi usus dan fasilitas defekasi normal adalah tanggung jawab

keperawatan. Pada fase akut perawatan cidera otak, tanggung lainnya diprioritaskan seperti

pencegahan peningkatan TIK. Mekanisme normal dari pengosongan usus secara dasar oleh

aktivitas refleks pada tingkat medulla spinalis. Pada cidera otak, control volunteer pada

perangsangan dan penghambatan refleks terganggu. Rangsang dengan jari untuk

menimbulkan refleks ditingkat medulla. Ini dapat dilakukan dengan jari bersarung tangan,

enema volume kecil atau iritan kimia seperti biosaodil (dukolak), supositorio. Selain masalah

defekasi yang diperhatikan juga hádala masalah eliminasi urine. Pada fase akut kateter bisa

menjadi sumber infeksi. Latihan Bandung kemih bisa dimulai dengan kateter intermitten,

frekuensi berkemih atau sistostomi suprapubik indwelling yang memberikan infeksi lebih

sedikit.

g. Masalah Komunikasi

1) Disfasia

Ketika berkomunikasi dengan pasien disfasia, yang paling baik adalah dengan menggunakan

bahasa yang sederhana dengan gerakan tangan dan isyarat lingkungan. Menunjukkan objek,

nada suara, ekspresi wajah. Waktu dalam sehari, dan rutinitas rumah sakit berperan terhadap

pemahaman klien gunakan kalimat pendek, nada suara normal karena klien tidak tuli, klien

hanya mengalami kesulitan memahami arti apa yang didengar.

2) Disartia

Sekelompok gangguan wicara yang diakibatkan dari gangguan control otot mekanik bicara,

kerusakan pada saraf pusat.

3) Apraksia

Ketidakmampuan untuk melakukan, meminta, gerakan kompleks atau trampil oleh karena

kelemahan otot, deficit sensori, kurang pemahaman. Dibagi apxaksia idesional, idemotor,
oral. Ciri utama apraksia adalah ketidakmampuan mengikuti perintah, tapi mampu melakukan

secara spontan. Perawatan dilakukan ara menghindari perintah, biarkan klien melakukan

dengan spontan. Hindari perintah minum tapi berikan gelas, biarkan reflek minum bekerja.

h. Obat-obatan yang sering digunakan

1) Manitol IV dengan dosis awal 1 g/kg BB, evaluasi 15-20 menit, bila belum ada perbaikan

tambahkan dosis 0,25 g/kg BB. Hati-hati terhadap kerusakan ginjal.

2) Steroid digunakan untuk mengurangi edema otak.

3) Natrium bikarbonat, untuk mencegah terjadinya asidosis.

4) Antikonvulsan, masih bersifat controversial. Tujuan pemberian untuk profilaksis kejang.

5) Terapi koma, merupakan langkah terakhir untuk mengendalikan TIK secara, konservatif.

Terapi ini menurunkan metabolisme otak, mengurangi edema, dan menurunkan TIK.

Biasanya dilakukan 24-48 jam.

6) Antipiretik, demam akan memperburuk keadaan karena akan meningkatkan metabolisme

dan dapat terjadi dehidrasi, kerusakan otak. Jika penyebab infeksi tambahkan Antibiotik.

7) Sedasi, gaduh gelisah merupakan gejala yang sering ditemukan pada penderita cidera otak

dan dapat meningkatkan tekanan intracranial. Lorazepam (Ativan) 1-2 mg IV/IM dapat

diberikan dan dapat diulang pemberiannya dalam 2-4 jam. Kerugian pemberian sedasi ini

adalah kita tidak dapat memantau kesadaran penderita.

8) Antasida AH2, untuk mencegah perdarahan GIT: Simetidin, Ranitidin, Famotidin.

9) Furosemid, adakalanya diberikan bersama dengan obat anti edema lain. Dosis 1 mg/k BB

IV dapat iulang tiap 6-12 jam.

g. Penatalaksanaan trauma kepala yang memerlukan tindakan bedah saraf

Penatalaksanaan trauma kepala yang memerlukan tindakan bedah saraf, merupakan

proses yang terdiri dari serangkaian tahapan yang saling berkaitan satu sama laian dalam
mengambil keputusan dalam melakukan tindakan pembedahan antara lain adalah sebagai

berikut :

1) Tahap 1

a) Penilaian awal pertologan pertama, dengan memprioritaskan penilaian yaitu :

(1) Airway : Jalan Nafas

(a) Memberikan jalan dari sumbatan lendir, muntahan, benda asing

(b) Bila perlu dipasang endotrakeal

(2) Breathing : Pernapasan

Bila pola pernapasan terganggu dilakukan nafas buatan atau ventilasi dengan respirator

(3) Circulation : Perearan darah

(a) Mengalami hipovelemik syok

(b) Infus dengan cairan kristaloid

(c) Ringer lactat, Nac 10,9%, D5%, 45 salin

(4) Periksa adanya kemungkinan adanya

perdarahan

(a) Tentukan hal berikut : lamanya tak sadar, lamanya amnesia post trauma, sebab cedera, nyeri

kepala, muntah.

(b) Pemeriksaan fisik umum dan neurologist

(c) Monitor EKG

b) Diagnosis dari pemeriksaan laboratorium dan foto penunjang telah dijelaskan didepan

c) Indikasi konsul beda saraf :

(1) Coma berlangsung > 6 jam

(2) Penurunan kesadaran (gg neurologos progresif)

(3) Adanya tanda-tanda neorologist fokal, sudah ada

sejak
terjadi cedera kepala

(4) Kejang lokal atau umum post trauma

(5) Perdarahan intra cranial

2) Tahap II : Observasi perjalanan klinis dan perawatan supportif

3) Tahap III

a) lndikasi pembedahan

(1) Perlukaan pada kulit kepala.

(2) Fraktur tulang kepala

(3) Hematoma intracranial.

(4) Kontusio jaringan otak yang mempunyai diameter > 1 cm dan atau laserasi otak

(5) Subdural higroma

(6) Kebocoran cairan serebros pinal

b) Kontra indikasi

(1) Adanya tanda renjatan/shock, bukan karena trauma tapi karena sebab lain missal: rupture alat

viscera (rupture hepar, lien, ginjal), fraktur berat pada ekstremitas.

(2) Trauma kepala dengan pupil sudah dilatasi maksimal dan reaksi cahaya negative, denyut nadi

dan respirasi irregular.

c ) Tujuan pembedahan

( l ) Mengeluarkan bekuan darah dan jaringan otak yang nekrose

(2) Mengangkat tulang yang menekan jaringan otak

(3) Mengurangi tekanan intracranial

(4 ) Mengontrol perdarahan

(5) Menutup/memperbaiki durameter yang rusak

(6) Menutup defek pada kulit kepala untuk mencegah infreksi atau kepentingan kosmetik.

d) Persiapan pembedahan
(1) Mempertahankan jalan naf as agar tetap bebas

(2) Pasang infuse

(3) Observasi tanda-tanda vital

(4) Pemeriksaan laboratorium

(5) Pemberian antibiotik profilaksi

(6) Pasnng NGT, DC

(7) Therapy untuk menurunkan TIK, dan anti konvulsan

4) Tahap IV:

a) Pembedahan Spesifik

(1) Perlukaan pada kulit prinsipnya dilakukan "debridemen" Pada lesi desak ruang intrakranial

traumatic pada prinsipnya dilakukan kraniotomi yang cukup luasnya.

(2) Pada hematom Epipidual biasanya dilakukan

(a) Trepansi

(b) Kraniotomi yang diperluas dengan kraniektomi

Bila diagnosa dengan CT scan yang menunjukkan lesi dengan jelas, cukup dengan

kraniotomi yang terbatas. Pada epidural hematom yang lebih tebal < 1,5-1 cm, belum perlu

tindakan operasi.

(3) Pada Hematom Subdural

Pada Hematom Subrudal akut senantiasa diperlukan kraniotomi yang luas. Tindakan

kraniektomi atau membuat lubang bur tidak dianggap cukup, ini hanya hematom subdural

yang kronis,

(4) Pada Hematom intraserebral dart kontusio serebri dengan efek massa yang jelas.

Dilakukan tindakan kraniotomi yang cukup luas;

(a) Bila terdapat kontusio dengan diameter > 1cm, dipermukaan kortelis hendaknya diisap

sampai batas jaringan otak yang sehat.


(b) Menimbulkan efek massa yang jelas

(c) Menyebabkan penyimpangan garis tengah > 45 mm

(d) Volume diperkirakan > 30 cc atau diameter > 3 cm

(e) Menunjukkan peninggian tekanan inrakarnial > 30 mmHg dan atau berkaitan dengan

gangguan neurologik yang progresif

Pada hematorna intraserebral yang kronis dapat dilakukan dengan trepanasi secara

konvensional dan aspirasi.

(5) Pada intraventrikuler hematoma;

(a) Kraniotomi aspirasi hematom

(b) Trepanasi – drenase ventrikurel

(c) Bila timbul tanda-tanda hidrosefalus, dilakukan ventrikuloperitoneal shunt.

Prognosis buruk bila GCS < 8 pada saat masuk dirawat. Bila GCS > 8 prognosis lebih baik

kira-kira 86% hidupnya tidak tergantung orang lain.

(6) Pada subdural higroma Pada Rhinorrhea

(7) Pada Laserasi otak

(8) Pada fraktur tulang kepala terbuka

(9) Pada fraktur yang menekan tertutup

b) Evaluasi: komplikasi yang perlu diperhatikan:

(l) Perdarahan ulang

(2) Kebocoran cairan otak

(3) lnfeksi pada luka atau sePsis

(4) Timbulnya edema serebri

(5) Timbulnya edema pulmonum neurogenik, peninggian TIK

(6) Nyeri kepala setelah penderita sadar Kovulsi

c) Outcome
Outcome akibat trauma kepala. waluupun sudah dilakukan tindakan operasi tergantung

beberepa faktor diantaranya:

(l) Saat dilakukan operasi

(2) Tergantung pada penilaian tingkat kesadaran faktor usia

(3) Tergantung tanda-tanda vital waktu masuk

(4) Tergantung pada peninggian intrakraniel Tergantung pada faktor hematom: jenis, sifatnya,

volume dan lokalisasinya, misalnya:

(a) Outcome epidural hematem dengan kontusio serebri lebih buruk daripada kalau hanya ada

epidural hematomnya (Guillermann, 1996)

(b) Volume hernatom epidural (EDH) : EDH < 50 cc dengan mortaiitas 12%, EDH 50 - 100 cc

dengan mortalitas 33%, EDH > 100 cc dengan mortalitas 66%.


B. Asuhan Keperawatan Prria Cedera Kepnla

l. Pengkajian

Pengkajian adalah langkah awal dari tahapan proses keperawatan dalam mengkaji

harus memperhatikan data dasar pasien. Informasi yang didapat dari klien (sumber data

primer), data yang didapat dari orang lain (data sekunder), catatan kesehatan klien, informasi

atau laporan laboratorium, tes diagnostik, keluarga dan orang terdekat, atau anggota team

kesehatan merupakan pengkajian data dasar (A. Aziz Alimul Hidayat 2001:12)

a. Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab): nama umur, hubungan pasien dengan

penanggung jawab.

b. Riwayat kesehatan meliputi berikut ini :

1) Kapan cedera terjadi?

2) Apa penyebab cedera?

3) Apakah peluru kecepatan tinggi?

4) Apa objek yang membentur?

5) Bagaimana proses terjadinya cedera pada kepala? Apakah Klien jatuh?

6) Dari mana arah datangnya pukulan? Bagaimana kekuatan pukulan?

7) Apakah Klien kehilangan kesadaran?

8) Berapa lama durasi dan periode sadar?

9) Dapatkah Klien dibangunkan?

(Sumber: Fransisca B. Batticaca, 2008:102)

c. Bidang Pengkajian

l) Tingkat kesadran dan responsivitas.

Tingkat kesadaran atau responsivitas diujikaji secara teratur karena perubahan pada

tingkat kesadaran mendahului semua perubahan tanda vital dan neurologik lain. Skala koma
Glasgaw digunakan untuk mengkaji tingkat kesadaran berdasarkan tiga kriteria pembukaan

mata respon verbal dan respon motorik terhadap perintah verbal atau stimulus nyeri.

Tabel 1.3
Glassgow Coma Scale (GCS)

Buka mata (E) Respon motorik (M) Respon verbal terbaik (V)
4 = Spontan 6 = Mengikuti perintah 5 = Orientasi baik dan sesuai
3 = Dengan perintah 5 = Melokalisir nyeri 4 = Disorientasi tempat dan waktu
2 = Dengan rangsang 4 = Menghindari nyeri 3 = Bicara kacau
1 = Tidak ada reaksi 3 = Fleksi abnormal 2 = Mengerang
2 = Ekstensi abnormal 1 = Tidak ada suara
1 = Tidak ada gerakan

Sumber : Suzanne C. Smeltze, 2001:2091

Klasifikasi tingkat kesadaran berdasarkan karakteristiknya :

a) Sadar : Sadar penuh akan sekeliling, orientasi baik terhadap orang, tempat dan waktu,

kooperatif, dapat mengulang beberapa angka menit setelah diberitahu.

b) Otomatisme : Tingkah laku relatif normal (misal, mampu makan sendiri) dapat berbicara

dalam kalimat tetapi kesulitan mengingat dan memberi penilaian, tidak ingat peristiwa-

peristiwa sebelum periode hilangnya kesadaran, dapat mengajukan pertanyaan yang semua

berulang kali, bertindak secara otomatis tanpa dapat mengingat apa yang baru daya atau yang

telah dilakukannya. Mengetahui perintah sederhana.

c) Konfusi : Malakukan aktivitas yang bertujuan dengan gerakan yang canggung, disorientasi

waktu tempat dan orang, gangguan daya ingat tidak mampu mempertahankan pikiran atau

ekspresi, biasanya . Sulit dibangunkan menjadi tidak kooperatif.

d) Delirium : Disorientasi waktu, tempat dan orang, tidak kooperatif, agitasi, gelisah bersifat

selalu menolak.

e) Stupor : Diam, mungkin tampaknya tidur, berpesan terhadap rangsangan suara yang keras,

terganggu oleh cahaya, berespon baik terhadap rangsangan rasa sulit.

f) Stupor dalam: Bisu, sulit dibangunkan (sedikit respon terhadap rangsang nyeri).
g) Koma : Tidak sadar, tidak berespon terhadap rangsangan nyeri maupun verbal. Refleks masih

ada.

h) Koma ireversible dan kematian : Refleks t,ilang, pupil tcrpikasi dan dilatasi. Pernafasan dan

denyut jantung berhenti.

2) Fungsi serebal

Fungsi setiap lobus serebar dan gejala-gejala yang ditimbulkan penderita.


Tabel 1.4
Fungsi dan gangguan serebal
Lobus Srebal Fungsi Gangguan
Frontal (a) Penilaian kepribadian bawaan(c) Gangguan penilaian,
(b) Keahlian mental kompleks penampilan dan kebersihan
(abstraksi, membuat konsep, diri
memperkirakan masa depan) (d) Gangguan afek, proses
berpikir dan fungsi motorik
(e)
Temporal Memori pendengaran, memori Gangguan memori kejadian
kejadian yang baru terjadi, yang baru terjadi, kejang
daerah auditorius primer yang psikomotor, tuli
mempengaruhi kesadaran
Paralel Bicara, berhitung, topografi Afiasi, gangguan sensorik,
(f) Dominan kedua sisi tubuh akalkulia.
(g) Non dominan Kesadaran sensorik, sintesis Disorientasi, hilang kesadaran
(h) ingatan yangkompleks sisi tubuh yangberlawanan
Oksipital Memori, visual penglihatan Defisit penglihatan dan buta

Sumber : Sylvia Anderson Price : 2006:1048

3) Pemeriksaan saraf kranial

a) Nervus olfaktorius (nerves kranial 1)

Nervus olfaktorius menghantarkan bau menuju otak dan kemudian diolah lebih lanjut.

Dengan mata tertutup dan pada saat yang sama satu lubang hidung ditutup. Penderita diminta

membedakan zat aromatik lemah seperti vanila, cengkeh, kopi dan lain-lain.

b) Nervus optikus (nervus kranial II)

Nervus optikus menghantarkan impuls dari retina menuju klasma optikum. Kemudian

melalui traktus optikus menuju korteks oksipitalis untuk dikenali dan diinterpretasikan saraf

ini dapat diperiksa dengan tes ketajaman penglihatan dengan menggunakan tes snellen atau

penderita diminta membaca berbagai ukuran huruf pada surat kabar. Dan dengan tes lapang

pandang dengan cara penderita diminta untuk menutup salah satu matanya dan diminta untuk

melihat lurus ke depan. Sebuah pensil atau jari pemeriksa digerakan memasuki lapang

pandang mata yang tidak tertutup dilakukan dari empat arah. Penderita diminta untuk

menyebutkan kapan pensil atau juri mulai tampak memasuki lapang pandang.
c) Nervus okulomotoris, troklearis dsn abdusen (nervus III, IV dan V)

Ketiga saraf ini diperiksa bersama karena bekerja sama mengatur otot-otot ekstra okuler.

Selain itu, saraf okulomotoris juga berfungsi mengangkat kelopak mata atas dan

mempersarafi otot konstriktor yang mengubah ukuran pupil. Persarafan ini diperiksa dengan

menyuruh penderita mengikuti gerakan tangan atau pensil dengan mata bergerak ke atas,

bawah, medial dan lateral. Selain itu persarafan ini diperiksa dengan cara refleks pupil

terhadap cahaya.

d) Nervus trigeminus (nervus V)

Nervus trigeminus membawa serabut motorik maupun sensorik dan memberi persarafan ke

otot temporalis dan maseter, yang merupakan otot-otot pengunyah. Bagi motorik saraf ini

diperiksa dengan meminta pendcrita mengatupkan gigi dan menggerakan rahang.

e) Nervus fasialis (nervus VII)

Saraf ini membawa serabut sensorik yang menghantar persepsi pengecepan bagian anterior

lidah dan serabut motorik yang mempersarafi semua otot ekspresi wajah, termasuk

tersenyum, mengerutkan dahi dan menyeringai. Bagian motorik nervus fasialis dapat dinilai

dengan menyuruh penderita melakukan berbagai gerakan wajah dan memperhatikan cara

bicara penderita. Sensasi pengecapan dapat dinilai dengan meminta penderita dengan

membedakan rasa manis, asam, asin dan pahit.

f) Nervus vestibulokoklearis (nervus VII)

Saraf vestibulokoklearis berfungsi mempertahankan keseimbangan dan menghantarkan

impuls yang memungkinkan seseorang mendengar. Pemerikasa ini dilakukan dengan tes

pendengaran {whispering watc tick test) dan dengan menggunakan garpu tala (tes rinne dan

weher)

g) Nervus glosufaringeus dan nervus vagus ( nervus IX dan X)


Nervus glusofaringeus memiliki bagian sensorik yang menghantarkan pengecapan bagian

posterior lidah, mempersarafi sinus karotikus dan korpus karotikus serta memberi sensasil

faring. Nervus vagus mempersarafi semua visera toraks dan abdomen dan mengahantarkan

impuls dari dinding usus, jantung dan paru. Penilaian nervus vagus ditujukan pada evaluasi

fungsi motorik palatum, faring dan laring. Fungsi ini dinilai dengan mengevaluasi palatum

mole dan refleks menelan.

h) Nervus asesorius (nervus Xl)

Nervus asesorius adalah nervus motorik yang mempersarafi otot sternokleido mastoideus dan

bagian otot trapezius. Fungsi ini dinilai dengan penderita diminta untuk menggerakan kepala

dan penderita diminta mengangkat rengan ke arah vertikal.

i) Nervus hipoglosus (nervus kranialis)

Nervus hipoglosus mempersarafi otot-otot lidah. Fungsi lidah yang normal sangat penting

urrtuk berbicara.dan menelan.

4) Pemeriksaan fungsi motorik

Berbagai kerusakan sistem motorik pada tiap tingkatan dapat mengganggu koordinasi

dan gaya berjalan. Tes yang dapat mengetahui adanya gangguan koordinasi: penderita

diminta untuk berjalan pada satu garis dengan tumit ditempelkan pada ujung jari kaki yeng

lain. Selain itu penderita diminta untuk meniru gerakan sederhana yang cepat (memukulkan

telapak tangan dan punggung tangan pada lutut secara bergantian). Gaya bejalan dapat dinilai

dengan meminta penderia berjalan.

Tonus dan kekuatan otot harus diperhatikan, gangguan neuron motorik atas

meningkatkan tonus otot, sedangkan gangguan neuron motor bawah menurunkan tonus otot.

Tonus otot diperiksa dengan cara menggerakan sendi secara pasif, Kekuatan otot dapat

diperiksa dengan membandingkan otot saat sisi dengan otot sisi lainnya pada waktu penderita

mencoba melakukan gerakan-gerakan pemeriksa.


5) Tes Rangsang Meningeal (Tes Rangsang Selaput Otak)

a) Nuchal rigidity (kuku kuduk)

Cara pemeriksaan: klien tanpa bantal, lakukan terlebih dahulu fleksi leher ke lateral,

menyingkirkan kemungkinan kekakuan leher karena proses lokal di leher seperti fraktur dan

artritis akut. Lakukan fleksi leher (mendekatkan dagu ke sternum), mengalami tahanan

karena nyeri yang timbul

b) Tanda Kernig

Lakukan fleksi paha hingga persendian panggul mencapai sudut 900 derajat, setelah itu

tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut. Positif jika terdapat rasa tahanan dan

sakit sebelum mencapai sudut 135 derajat.

c) Tanda Brudzinski I dan II

Bila pada saat fleksi leher terjadi juga fleksi pada kedua lutut, maka tanda Brudzinski I

positif.

Tanda Brudzinski II, dilakukan satu tungkai difleksikan pada persendian panggul,

sedang tungkai yang lain lagi berada dalam keadaan ekstensi. Positif bila tungkai yang

eksterisi ikut fleksi.


6) Aktivitas/istirahat

Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan, perubahan kesadaran, letargi,

hemiparese, quadriplegia, masalah dalam keseimbangan, kehilangan tonus otot.

7) Sirkulasi

Perubahan tekanan darah atau normal. Perubahan frekuensi jantung (bradikardi,

takikardi).

8) Integritas ego

Perubahan tingkah laku atau kepribadian, cemas, mudah tersinggung, bingung.

9) Elimiansi

Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi makanan/cairan,

mual muntah dan mengalami perubahan selera, gangguan menelan.

10) Nyeri atau ketidaknyamanan

Sakit kepala dengan intensitas dan durasi yang berbeda, wajah menyeringai, gelisah

tidak bisa beristirahat.

11) Pernafasan

Perubahan pola nafas, stridor, ronki, mengi positif.

12) Pemeriksaan diagnostik

Menurut Marilyn E.Doengoes, et. Al, 2000 :272

a) CT Scan, bertujuan untuk mengidetifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler,

pergeseran jaringan otak.

b) MRI tujuannya sama dengan CT Scan.

c) Angiografi serebral menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak

akibat edema, perdarahan dan trauma.

d) EEG, memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.


e) Sinar X, mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari

garis-garis tengah (karena perdarahan edema), adanya fragmen tulang.

f) BAER (Brain Aditory Evoked Respon) rnenunjukan fungsi korteks dan batang otak.

g) PET (Position Emission Tomography menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada

otak.

h) Fungsi lumbal, CSS, menduga kemungkinan adanya pcrdarahan subraknoid.

i) GDA (Gus Darah Arteri), mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenesi yang akan

dapat meningkatkan TIK, Kimia atau elekrolit darah, mengetahui ketidakseimbangan yang

berperan dalam meningkatkan TIK atau perubahan mental.

k) Pemeriksaan toksikologi, mendeteksi obat yang mungkin bertanggungjawab terhadap

penurunan kesadaran.

l) Kadar antikonvulsan darah: Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup

efektif untuk mengatasi kejang.


2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah kebutuhan klinis mengenai seseorang, keluarga, atau

masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual atau

potensial. (A. Aziz Alimul Hidayat 2001:24)

Berikut ini adalah diagnosa keperawatan Cedera kepala menurut Marilyn E. Doengoes

at. all 2000, 273-289 :

a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh

hematoma.

b. Resiko tinggi pola nafas tidak efektif bcrhuhungan dengan kerusakan neurovaskuler

c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan transmisi

d. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis

e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif

f. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengun trauma jaringan

g. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

penurunan tingkat kesadaran.

h. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan krisis situasional

i. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan

kurang pemajanan.
3. Rencana Keperawatan

Perencanaan adalah pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi,

mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifikasi dalam diagnosis keperawatan (Nikmatur

Rohmah, 2009:58)

Berikut ini adalah intervensi keperawatan Cedera kepala menurut Marilyn E Doengoes:

a. Perubahan perfusi jaringan serebral

l) Dapat dihubungkan dengan:

Penghentian aliran darah oleh sol (hemoragi, hematoma): edema serebral (respon lokal atau

umum pada cedera perubahan metabolik takur lajak obat alkohol), penurunun TD sistematik

atau hipoksia (hipovolemia, distamia jantung).

2) Kemungkinan dibuktikan oleh :

a) Perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori.

b) Perubahan respon motorik atau sensorik gelisah.

c) Perubahan tanda vital.

3) Hasil yang diharapkan atau kriteria evaluasi pasien akan :

Mempertahankan tingkat kesadaran biasa atau perbaikan, kognisi dan fungsi motorik atau

sensorik.
Tabel 1.5
Intervensi diagnosa perubahan perfusi jaringan serebral
Intervensi Rasional
1. Tentukan faktor-faktor yang1. Menentukan pilihan intervensi
berhubungan dengan keadaan tertentu
atau yang menyebabkan koma
penurunan perfusi jaringan otak dan
potensial peningkatan TIK
2. Pantau/catat status neurologist secara2. Mengkaji adanya kecenderungan pada
teratur dan bandingkan dengan nilai tingkat kesadaran dan potensial
standar (GCS) peningkatan TIK
3. Kaji respon motorik terhadap3. Mengukur kesadaran secara
penglihatan yang sederhana keseluruhan dan kemampuan untuk
merespon pada rangsangan eksternal
dan merupakan petunjuk keadaan
kesadaran terbaik pasien
4. Kaji perubahan pada penglihatan4. Gangguan penglihatan yang dapat
seperti adanya penglihatan yang kabur, diakibatkan oleh kerusakan
ganda, lapang pandang menyempit dan mikroskopik pada otak mempunyai
kedalaman presepsi konsekuensi terhaap keamanan
5. Catat ada atau tidaknya refleks-refleks5. Penurunan refleks menandakan
tertentu seperti refleks melenlan, batuk adanya kerusakan pada tingkat otak
dan babinski dan sebagainya tengah atau batang otak
6. Pertahankan kepala atau leher pada6. Kepala yang miring pada salah satu
posisi tengah atau posisi netral, sisi menekan vena juguralis dan
sokong dengan gulungan handuk kecil menghambat darah vena yang
atau bantal kecil selanjutnya akan meningkatkan TIK
7. Batasi pemberian cairan sesuai7. Pembatasan cairan mungkin
indikasi. Beri cairan melalui IV diperlukan untuk menurunkan edema
dengan alat kontrol serebral; meminimalkan fluktasi aliran
vaskuler TD dan TIK
8. Berikan oksigen tambahan sesuai8. Menurunkan hipoksemia yang mana
indikasi dapat meningkatkan vasolidai dan
volume darah serebral yang meingkat
TIK
b. Resiko tinggi terhadap tidak efektif pola nafas

1) Faktor resiko meliputi :

a) Kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernafasan otak).

b) Kerusakan persepsi atau kognitif.

c) Obstruksi trakeobronkial.

2) Kemungkinan dibuktikan oleh :

Tidak dapat diterapkan; adanya tanda-tanda dan gejala dapat membuat diagnosis aktual.

3) Hasil yang diharapkan atau kriteria evaluasi, pasien akan :

Mempertahankan pola pernafasan normal atau efektif, bebas diangosis, dengan GDA dalam

batas normal pasien.

Tabel 1.6
Intervensi pada diagnosis resiko tinggi terhadap tidak efektif pola nafas
Intervensi Rasional
1. Pantau frekuensi, irama kedalaman1. Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi
pernafasan, catat ketidakteraturan
pulmonal (umumnya mengikuti cedera otak), atau
pernafasan menandakan lokasi atau luasnya keterlibatan otak
2. Angkat kepala tempat tidur sesuai2. Untuk memudahkan ekspansi paru atau ventilasi paru
aturannya, posisi miring sesuai indikasidan kemungkinan lidah jatuh yang menyambut jalan
nafas
3. Anjurkan pasien untuk melakukan nafas3. Mencegah atau menurunkan atelektasis
dalam yang efektif jika pasien sadar
4. Auskultasi suara nafas, perhatikan4. Untuk mengidintifikasi adanya masalah paru seperti
daerah hipoventilasi dan adanya suara- atelaktasi atau obstruksi jalan nafas yang membahayakan
suara tambahan yang tidak normal oksigensi serebral dan atau menandakan terjadinya
(seperti krekesl, ronchi, mengi) infeksi paru (umumnya merupakan komplikasi paru dari
cedera kepala)

5. Melihat keadaan ventilasi dan tanda-tanda komplikasi


yang berkembang
5. Lakukan ronsen torak
6. Berikan oksigen 6. Memaksimalkan oksigen pada daerah arteri dan
membantu dalam pencegahan hipoksia

c. Perubahan persepsi sensorik

l) Dapat dihubungkan dengan :

Perubahan persepsi sensorik, transmisi dan atau integrasi (trauma atau defisit neurologis).
2) Kemungkinan dibuktikan oleh :

a) Disorientasi terhadap waktu tempat dan orang.

b) Perubahan dalam respon terhadap rangsang.

c) Inkoordinasi motorik perubahan dalam postur, ketidakmampuan untuk memberi tahu posisi

bagian tubuh (propiosepsi).

d) Perubahan pola komunikasi.

3) Hal yang diharapkan atau kriteria evaluasi pasian akan :

a) Melakukan kembali atau mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi.

b) Mengikuti perubahan dalam kemampuan dan adanya keterbatasan residu.

Tabel 1.7
Intervensi pada diagnosa perubahan persepsi sensorik
Intervensi Rasional
1. Evaluasi atau pantau secara teratur perubahan1. Fungsi serebral bagian atas biasanya terpenuhi
orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan lebih dulu oleh adanya gangguan sirkulasi,
atau afektif, sensorik dan proses pikir oksigenasi
2. Kaji kesadaran sensorik seperti respon2. Informasi penting untuk keamanan
sentuhan, panas atau dingin, benda tajam atau
tumpul dan kedasaran terhadap gerakan dan
letak tubuh
3. Hilangkan suara bising atau stimulasi yang3. Menurunkan ansietas, respon emosi yang
berlebihan sesuai kebutuhan berlebihan atau bingung yang berhubungan
dengan sensorik yang berlebihan
4. Bicara dengan suara yang lembut dan pelan,4. Pasien mungkin mengalami keterbatasan perhatian
gunakan kalimat yang pendek dan sederhana, atau pemahaman selama masa akut dan
pertahankan kontak mata penyembuhan
5. Buat jadwal istirahat yang adekuat atau periode5. Mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan,
tidur tanpa ada gangguan memberikan kesempatan untuk tidur

d. Perubahan proses pikir

1) Dapat dihubungkan dengan perubahan fisiologis, konflik psikologis.

2) Kemungkinan dibuktikan oleh :

a) Defisit atau perubahan memori jarak jauh saat ini yang baru terjadi

b) Pengalihan perhatian, perubahan lapang atau konsentrasi perhatian.

c) Disorientasi pada waktu, tempat, orang, lingkungan dan kejadian.


3) Hal yang diharapkan atau kriteria evaluasi pasien akan :

a) Memperhatikan atau melakukan kembali orientasi mental dan reabilitas biasanya.

b) Mengenai perubahan berpikir atau perilaku

c) Berpartisipasi dalam aturan terapeuntik atau penyerapan kognitif.

Tabel 1.8
Intervensi pada Diagnosa Perubahan Proses Pikir
Intervensi Rasional
1. Kaji rentang perhatian, kebingungan,1. Rentang perhatian kemampuan untuk konsentrasi
dan catat tingkat ansietas pasien mungkin memendek secara tajam yang menyebabkan dan
merupakan potensi terhadap terjadinya ansietas yang
mempengaruhi proses pikir pasien
2. Pastikan dengan orang terdekat untuk2. Masa pemulihan cedera kepala meliputi fase agitasi,
membandingkan kepribadian atau respon marah, dan fase berbicara atau proses pikir yang
tingkah laku pasien sebelum mengalami kacau
trauma dengan respon pasien sekarang
3. Pertahankan bantuan yang konsisten3. Memberikan pasien perasaan yang stabil dan mampu
dari staff sebanyak mungkin mengontrol situasi
4. Berikan penjelasan mengenai prosedur-4. Kehilangan struktur internal (perubahan dalam memori,
prosedur dan tekanan kembali alasan dan kemampuan untuk membuat konseptual)
penjelasan yang diberikan itu oleh menimbulkan kekuatan
senyawa lain
5. Jelaskan pentingnya melakukan5. Pemahaman bahwa pengkajian dilakukan secara teratur
pemeriksaan neurologis secara berulang untuk mencegah atau membatasi komplikasi yang
dan teratur mungkin terjadi atau tidak menimbulkan suatu hal yang
serius pada pasien dapat membantu menurunkan ansietas
6. Koordinasikan atau ikut serta pada6. Membantu dengan metode pengajaran yang baik untuk
pelatihan kognitif atau program kompensasi gangguan pada kemampuan berfikir dan
rehabilitasi sesuai indikasi mengatasi masalah konsentrasi, memori, daya penilaian,
runtunan dan menyelesaikan masalah
e. Kerusakan mobilitas fisik

l) Dapat dihubungkan dengan :

Kerusakan persepsi kognitif, penurunan kekuatan atau tahanan, terapi pembatasan atau

kewaspadaan keamauan, misalnya: tirah baring, imobilisasi.

2) Kemungkinan dibuktikan oleh

a) Ketidakn mampuan bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik termasuk mobilitas di

tempat tidur, pemindahan ambulasi.

b) Kerusakan koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan atau kontrol otot.

3) Hal yang diharapkan atau kriteria evaluasi pasien akan:

Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit atau

kompensasi.

Tabel 1.9
Intervensi pada diagnosa kerusakan mobilitas fisik
Intervensi Rasional
1. Periksa kembali kemampuan dan1. Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara
keadaan secara fungsional pada fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang
kerusakan yang terjadi akan dilakukan
2. Letakkan pasien pada posisi tertentu2. Perubahan posisi yang teratur menyebabkan penyebaran
untuk menghindari kerusakan karena terhadap berat badan dan meningkatkan sirkulasi
tekanan padaseluruh tubuh
3. Pertahanan kesejajaran tubuh secara3. Bidai tangan bervariasi dan didesain untuk mencegah
fungsional, seperti pantat, kaki dan deformitas tangan dan meningkatkan fungsinya secara
tangan optimal
4. Berikan atau bantu untuk melakukan4. Mempertahankan mobilitas dan fungsi sendi atau posisi
rentang gerak normal ekstermitas dan menurunkan terjadinya yang
statis
5. Instruksikan atau bantu pasien dengan5. Proses penyembuhan lambat seringkali menyertai trauma
program latihan dan penggunaan alat kepala dan pemulihan secara fisik merupakan bagian
mobilitas yang amat penting dari suatu program pemulihan secara
fisik merupakan bagian yang penting dari suatu program
pemulihan tersebut
6. Berikan perawatan kulit dengan cermat,6. Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan
masase dengan pelembab dan ganti menurunkan resiko terjadinya ekskoriasi kulit
linen atau pakaian yang basah

f. Resiko tinggi terhadap infeksi :


l) Faktor resiko meliputi :

a) Jaringan trauma, kulit rusak. prosedur infasif

b) Penurunan kerja sillia, slasis cairan tubuh.

c) Kekurangan nutrisi.

d) Respon inflamasi tertekan (penggunan steroid).

e) Perubahan integritas system tertutup (kebocoran CSS).

2) Kemungkinan dibuktikan oleh :

Tidak dapat diharapkan; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual.

3) Hal yang diharapkan atau kriteria evaluasi pasian akan :

a) Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.

b) Mencapai penyembuhan luka tepat waktu bila ada.


Tabel 1.10
Intervensi pada Diagnosa Resiko Tinggi terhadap Infeksi
Intervensi Rasional
1. Berikan perawatan aseptic dan antiseptik.1. Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi
Pertahankan teknik cuci tangan yang baik nasokomial
2. Observasi daerah kulit yang mengalami2. Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan
kerusakan (seperti luka, garis jahitan), untuk melakukan tindakan dengan segera dan
daerah yang terpasang alat invasi (seperti mencegah terhadap komplikasi selanjutnya
infus) catat karakteristik dari drainase dan
adanya inflamasi
3. Pantau suhu tubuh secara teratur 3. Dapat mengidentifikasi perkembangan sepsis yang
selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan
dengan segera
4. Batasi pengunjung yang dapat menularkan4. Menurunkan pemajanan terhadap pembawa kuman
infeksi atau cegah pengunjung yang penyebab infeksi
mengalami infeksi saluran nafas bagian atas
5. Berikan antibiotik sesuai indikasi 5. Terapi profilaktif dapat digunakan dalam pasien yang
mengalami trauma, kebocoran CSS atau setelah
dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko
terjadinya infeksi nasokomial

g. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.

l) faktor resiko meliputi :

Perubahan kemampuan untuk mencerna nutrisi (pemurnian tingkat kesadaran), kelemahan

otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik.

2) Kemungkinan dibuktikan oleh :

Tidak dapat diterapkan; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual.
3) Hal yang diharapkan kriteria evaluasi pasien akan :

a) Mendemonstrasikan pemeliharaan atau kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan

b) Tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi dengan nilai laboratorium dalam rentang normal

Tabel 1.11
Intervensi pada Diagnosa Resiko Tinggi terhadap Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah,1. Faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis
menelan, batuk, dan mengatasi sekresi makanan sehingga pasien harus terlindung dari
aspirasi
2. Auskultasi bising usus, catat adanya2. Fungsi saluran pencernaan biasanya tetap baik pada
penurunan atau hilangnya suara yang kasus cedera kepala. Jadi bising usus membantu
hiperaktif dalam menentukan respon untuk makan atau
berkembangnya komplikasi
3. Timbang berat badan sesuai indikasi 3. Mengevalusi keefektifan atau kebutuhan mengubah
pemberian nutrisi
4. Berikan makanan dalam jumlah kecil dan4. Meningkatkan proses pencemaran dan toleransi
dalam waktu yang sering dan teratur pasien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat
meningkatkan kerjasama pasien saat makan
5. Tingkatkan kenyamanan lingkungan yang5. Sosialisasi waktu makan dengan orang terdekat atau
santai termasuk sosialisasi saat makan teman dapat meningkatkan pemasukan dan
menormalkan fungsi makan
6. Konsultasikan dengan ahli gizi 6. Merupakan sumber yang efektif untuk kebutuhan
kalori atau nutrisi tergantung pada usia, berat badan,
ukuran tubuh, keadaan penyakit sekarang
h. Perubahan proses keluarga

1) Dapat dihubungkan dengan :

Transisi dan krisis situasional. Ketidakpastian tentang hasil atau harapan,

2) Kemungkinan dibuktikan oleh :

a) Kesulitan beradaptasi terhadap perubahan atau menghadapi pengalaman traumatik secara

konstruktif.

b) Ketidak tepatan untuk mengekpresikan atau menerima perasaan dari anggota keluarga.

3) Hal yang diharapkan atau kriteria evaluasi pasien akan :

a) Mulai mengekpresikan perasaan dengan bebas dan tepat

b) Mengidentifikasikan sumber-sumber internal dan eksternal untuk menghadapi situasi.

Tabel 1.12
Intervensi pada Diagnosa Perubahan Proses Keluarga
Intervensi Rasional
1. Catat bagian-bagian dari unit keluarga,1. Menentukan adanya sumber keluarga dan
keberadaan atau keterlibatan system mengidentifikasi hal-hal yang diperlukan
pendukung
2. Anjurkan keluarga untuk menentukan hal-hal2.Kegembiraan dapat berubah menjadi kesedihan atau
yang menjadi perhatiannya tentang keseriusankemarahan akan ”kehilangan dan kebutuhan pertemuan
kondisi, kemung-kinan untuk meninggal atau dengan orang baru yang mungkin asing bagi keluarga
kecatatan (ketidakmampuan) dan bahkan tidak disukai oleh keluarganya” berlarutnya
perasaan seperti tersebut diatas dapat menimbulkan
depresi
3. Tentukan dan anjurkan untuk menggunakan3. Berfokus kepada kekuatan dan penguatan kemampuan
cara-cara koping tingkah laku yang cukup khusus untuk menghadapi krisis cacat sekarang ini
sebelumnya dilakukan
4. Libatkan keluarga dalam pertemuan tim4. Memfasilitasi komunikasi, memungkinkan keluarga
rehabilitasi dan perencanaan perawatan atau untuk menjadi bagian integral dari rehabilitasi dan
pengambilan keputusan memberikan rasa kontrol

i) Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan

1) Dapat dihubungkan dengan :

Kurang pemahaman, tidak mengenal informasi atau sumber-sumber, kurang mengingat atau

keterbatsan kognitif,

2) Kemungkinan dibuktikan oleh :


Meminta informasi, pernyataan salah konsepsi, ketidakakuratan mengikuti instruksi.

3) Hal yang diharapkan atau kriteria evaluasi pasien akan :

a) Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan pengobatan, potensial kornplikasi.

b) Melakukan prosedur yang dilakukan dengan benar.

Tabel 1.13
Intervensi pada Diagnosa Kurang Pengetahuan
Intervensi Rasional
1. Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk1. Memungkinkan untuk menyampaikan bahan yang
belajar dari keluarga pasien dan juga didasarkan atas kebutuhan secara individual
keluarganya
2. Berikan kembali informasi yang2. Membantu dalam menciptakan harapan yang realitas
berhubungan dengan proses trauma dan dan meningkatkan pemahaman pada keadaan saat ini
pengaruh sesudahnya dan kebutuhannya
3. Diskusikan rancana untuk memenuhi3. Berbagai tingkat bantuan mungkin perlu
kebutuhan perawatan diri direncanakan yang didasarkan atas kebutuhan yang
bersifat individual
4. Berikan kembali atau berikan penguatan4. Aktivitas, pembatasan, pengobatan atau kebutuhan
terhadap pengobatan yang diberikan terapi yang direkomendasikan diberikan atau disusun
sekarang. Indikasi program yang kontinu atas dasar pendekatan antara disiplin atau evaluasi
setelah proses penyembuhan amat penting untuk perkembangan pemulihan atau
pencegahan terhadap komplikasi
5. Berikan instruksi dalam bentuk tulisan dan5. Memberikan penggunaan visual dan rujukkan setelah
jadwal mengenai aktivitas, obat-obatan dan sembuh
faktor-faktor penting lainnya
4. lmplementasi

lmplementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik.

Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditunjukkan kepada nursing

order untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu tindakan

yang spesifik dilakukan memotivasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan

klien.(Nursalam 2001:63).

5. Evaluasi

Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan Pasien (hasil

yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan (Nikmatur

Rohmah, 2009:94).
Diposkan oleh Nurlita's blog

nurlita-aprilia-solechati.blogspot.com/

Vous aimerez peut-être aussi