Vous êtes sur la page 1sur 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertussis (batuk rejan) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi tenggorokan

dengan bakteri ”Bordatella Pertussis”. Penyakit batuk rejan / juga dikenal sebagai ”Pertussis”

atau dalam bahasa Inggris ”Whooping Cough” adalah satu penyakit yang menular. Pertussis bisa

ditularkan melalui udara. Gejala awalnya mirip dengan infeksi saluran nafas atau lainnya yaitu

pilek dengan lendir cair dan jernih, mata merah dan berair, batuk ringan, demam ringan. Pada

stadium ini, kuman paling mudah menular. Setelah 1-2 minggu, timbullah stadium kedua dimana

frekuensi dan derajat batuk bertambah, disertai suara khas : ”nguuuuuk” tadi. Stadium

penyembuhan terjadi 2-4 minggu kemudian, ”nguuuuuk” hilang, namun batuk bisa menetap

hingga lebih dari 1 bulan. Didunia terjadi sekitar 30-50 juta kasus pertahun, dan menyebabkan

kematian pada 300.000 kasus.

(http://ms.wikipedia.org/wiki/Batuk_kokol)
Penyakit ini biasanya terjadi pada anak berusia dibawah 1 tahun. 90% kasus ini

terjadi dinegara berkembang. Penyakit ini biasanya disebabkan oleh Bakterium Bordetella

namun tidak jarang diakibatkan oleh Bordetella Parapertussis. Pertussis dikenal dengan batuk

serius yang diakhiri bunyi seakan –akan ”kokol” apabila anak-anak bernafas. Ia juga disertasi

dengan selema, bersin dan demam yang tidak begitu panas. Selain menyerang anak-anak batuk

pertussis juga menyerang bayi berusia dibawah 1 tahun, ini disebabkan karena ia belum

mendapatkan vaksin. Untuk itu anak-anak diberi vaksin DPT yang diberikan pada 2 bulan, 3

bulan dan akhirnya 5 bulan dari dosis tambahan pada usia 18 bulan. Vaksin ini berkisar selama 5

tahun. Penyakit ini lama-kelamaan dapat menyebabkan kematian. Untuk itulah kami menyusun

makalah yang berjudul ”Makalah Keperawatan Anak I Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan

Pertusis”.

(http://ms.wikipedia.org/wiki/Batuk_kokol)

B. Rumusan Masalah

1. Mengapa pertusis atau batuk rejan dapat menyebabkan kematian?

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui bagaimana cara membuat Asuhan

Keperawatan masalah Pernapasan dengan ganggguan Pertussis.

2. Tujuan Khusus

Mahasiswa akan mampu:

a. Memahami definisi pertusis

b. Mengetahui etiologi terjadinya pertusis


c. Mengetahui manifestasi klinis dari pertusis

d. Mengetahui cara penularan dari pertusis

e. Mengetahui patofisiologi terjadinya pertusis

f. Mengetahui komplikasi dari pertusis

g. Mengetahui diagnose banding dari pertusis

h. Mengetahui pemeriksaan penunjang untuk pertusis

i. Mengidentifikasi penatalaksanaan klien anak dengan pertusis

j. Mengetahui bagaimana pencegahan pertusis

k. Merumuskan asuhan keperawatan pada klien anak dengan pertusis meliputi pengkajian,

diagnosis keperawatan, dan intervensi keperawatan.


BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi

Pertusis adalah infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh berdetellah

pertusis (Nelson, 2000 : 960)

Pertusis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh berdetella pertusisa,

nama lain penyakit ini adalah Tussisi Quinta, whooping cough, batuk rejan. (Arif Mansjoer,

2000 : 428)

Pertusis adalah suatu infeksi akut saluran nafas yang mengnai setiap pejamu yang

rentan. Tetapi paling sering dan serius pada anak-anak. (Behrman. 1992)

Pertusis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat menular

dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodic dan

proksismal disertai nada yang meninggi. (Rampengan. 1993)

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pertusis adalah infeksi bakteri pada

saluran penafasan yang sangat menular dan menyebabkan batuk yang biasanya diakhiri dengan

suara pernafasan dalam bernada tinggi atau melengking.


B. Etiologi

Bordetella pertusis adalah satu-satunya penyebab pertusis yaitu bakteri gram negatif,

tidak bergerak, dan ditemukan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring dan

ditanamkan pada media agar Bordet-Gengou. (Arif Mansjoer, 2000)

Menghasilkan 2 macam toksin antara lain :

1. Toksin tidak tahan panas (Heat Labile Toxin)

2. Endotoksin (lipopolisakarida)

Adapun ciri-ciri organisme ini antara lain:

1. Berbentuk batang (coccobacilus).

2. Tidak dapat bergerak.

3. Bersifat gram negatif.

4. Tidak berspora, mempunyai kapsul.

5. Mati pada suhu 55ºC selama ½ jam, dan tahan pada suhu rendah

(0º- 10ºC).

6. Dengan pewarnaan Toluidin blue, dapat terlihat granula bipolar metakromatik. Tidak sensitif

terhadap tetrasiklin, ampicillin, eritomisisn, tetapi resisten terhadap penicillin.


C. Patofisiologi (Arif Mansjoer, 2000 : 428)

Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian

melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme pathogenesis infeksi oleh Bordetella

pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme

pertahanan pejamu, kerusakan local dan akhirnya timbul penyakit sistemik. Filamentous

Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF) / Pertusis Toxin (PT) dan protein

69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan,

Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasidan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran

napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama

pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan

penyakit yang kita kenal dengan whooping cough.

Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis

toxin. Toksin pertusis mempunyaiu 2 subunit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya

berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A yang aktif pada daerah

aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah

infeksi. Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis

protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target

termasuk lifosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin,

efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkn

konsentrasi gula darah. Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan

limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka fungsi silia
sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh

Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus).

Penumpukan mucus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan

kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi pada saat

ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai

kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder

sebagai akibat anoksia. Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila

sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotic

terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi yang

ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.


D. Manifestasi Klinis (Arif Mansjoer, 2000 : 428)

Masa tunas 7 – 14 hari penyakit dapat berlangsung sampai 6 minggu atau lebih dan

terbagi dalam 3 stadium, yaitu :

1. Stadium Kataralis

Stadium ini berlangsung 1 – 2 minggu pada permulaan hanya berupa batuk-batuk

ringan, terutama pada malam hari. Batuk-batuk ini makin lama makin bertambah berat dan

terjadi serangan dan malam. Gejala lainnya ialah pilek, serak dan anoreksia. Stadium ini

menyerupai influenza.

2. Stadium Spasmodik

Berlangsung selama 2 – 4 minggu pada akhir minggu batuk makin bertambah berat

dan terjadi paroksismal berupa batuk-batuk khas. Penderita tampak berkeringat, pembuluh darah

leher dan muka melebar. Batuk sedemikian beratnya hingga penderita tampak gelisah Gejala –

Gejala Masa inkubasi 5 – 10 hari. Pada awalnya anak yang terinfeksi terlihat seperti terkena flu

biasa dengan hidung mengeluarkan lendir, mata berair, bersih, demam dan batuk ringan. Batuk

inilah yang kemudian menjadi parah dan sering. Batuk akan semakin panjang dan seringkali

berakhir dengan suara seperti orang menarik nafas (melengking). Anak akan berubah menjadi

biru karena tidak mendapatkan oksigen yang cukup selama rangkaian batuk. Muntah-muntah dan

kelelahan sering terjadi setelah serangan batuk yang biasanya terjadi pada malam hari. Selama

masa penyembuhan, batuk akan berkurang secra bertahap. Biasanya anak-anak tidak terkena

demam tinggi pada setiap tahap sakitnya.

3. Stadium Konvalesensi

Berlangsung selama 2 minggu sampai sembuh pada minggu ke – 4 jumlah dan

beratnya serangan batuk berkurang. Juga muntah berkurang, nafsu makan pun timbul kembali.
Ronki difus yang terdapat pada stadium spas,odik mulai menghilang. Infaksi semacam

“Common Cold” dapat menimbulkan serangan batuk lagi.


E. Pathway

Kuman boedetella pertusis

Inhalasi dopler


Hidung Reflek bersin Kuman keluar


Radang Laring Reflek Batuk Kuman Keluar

↓ ↓ ↓

Peningkatan suhu Radang Batuk terus Whoop

tubuh

↓ ↓ ↓ ↓

HIPERTENSI oedema Anoreksia Muntah

Bersihanjalan nafas Perubahanpola Gangguankeseimbang


tidak efektif pemenuhan nutrisi an cairan dan
elektrolit
F. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan Medis (Arif Mansjoer, 2000 : 428)

a. Antibiotik

1) Eritromisin dengan dosis 50 mg / kg BB / hari dibagi dalam 4 dosis. Eritromisin menggugurkan

atau menyembuhkan pertussis bila diberikan dalam stadium kataral, mencegah dan

menyembuhkan pneumonia dan oleh karena itu sangat penting dalam pengobatan pertusis

khususnya pada bayi muda.

2) Ampisilin dengan dosis 100 mg / kg BB / hari, dibagi dalam 4 dosis.

3) Lain-lain : Rovamisin, kotrimoksazol, klorampenikol dan tetrasiklin.

4) Ekspektoran dan mukolitik.

5) Kodein diberikan bila terdapat batuk-batuk yang hebat sekali. Luminal sebagai sedative

b. Imonoglobulin Belum ada persesuaian faham mengenai pemberian imonoglobuli stadium

kataralis, ada penelitian yang mengatakan pembrian imonoglobulin menghasilkan pengurangan

frekwensi efisode batuk poroksismal, tetapi ada pula yang berpendapat bahwa imunoglobulin

tidak faedah. Pemberian imunoglobulin pada stadium paroksismal sama sekali tidak faedah.
2. Penatalaksanaan Keperawatan (Ngastiyah. 1997)

a. Pembersihan jalan nafas.

b. Pemberian oksigen terutama pada serangan batuk yang hebat yang disertai sianosis.

c. Pemberian makanan dan obat. Hindari makanan yang sulit ditelan dan makanan bentuk cair.

d. Pemberian terapi suportif.

1) Dengan memberikan lingkungan perawatan yang tenang, mengatasi dehidrasi berikan nutrisi.

2) Bila pasien muntah-muntah sebaiknya diberikan cairan dan elektrolit secara parenteral.

G. Pemeriksaan Penunjang (Behrman, Kliegnan, Arvin. 1999)

1. Pembiakan lendir hidung dan mulut.

2. Pembiakan apus tenggorokan.

3. Pembiakan darah lengkap (terjadi peningkatan jumlah sel darah putih yang ditandai sejumlah

besar limfosit, LEE tinggi, jumlah leukosit antara 20.000-50.000 sel / m³darah.

4. Pemeriksaan serologis untuk Bordetella pertusis.

5. Foto roentgen dada memeperlihatkan adanya infiltrate perihilus, atelaktasis atau emphysema.
ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN ANAK DENGAN PERTUSIS

A. Pengkajian (Ngastiyah. 1997)

1. Anamnesa

a. Riwayat alergi dalam keluarga , gangguan genetik.

b. Riwayat pasien dengan disfungsi pernapasan sebelumnya, bukti terbaru penularan

terhadap infeksi, allergen / iritan lain , trauma.

c. Adanya kontak dengan penderita pertusis.

d. Riwayat vaksinasi

2. Pemeriksaan fisik

a. Aktivitas / istirahat

Gejala : batuk panjang, kelelahan, demam ringan

Tanda : sesak, kelelahan otot dan nyeri

b. Makanan / cairan

Gejala : nafsu makan hilang, mual / muntah, penurunan BB

Tanda : turgor kulit buruk, penurunan massa otot

c. Nyeri / kenyamanan

Gejala : nyeri dada meningkat karena batuk berulang

d. Integritas ego

Tanda : gelisah

e. Pernafasan
Gejala : batuk, tarikan nafas panjang

Tanda : muka merah, sianotik.

3. Pemeriksan Diagnostik

a. Pemeriksaan sputum

b. Pemeriksaan serologi untuk bordetella pertusis

c. Tes Elisa

d. Foto Rontgen.

B. Diagnosa Keperawatan (Ngastiyah. 1997)

1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan banyaknya sekret.

2. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi

3. Keseimbangan cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan berhubungan dengan

muntah.

4. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia.

C. Intervensi Keperawatan (Wong’s & Whaley. 2010)

1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan banyaknya sekret.

a. Tujuan :

Tujuan yang diharapkan mempertahankan jalan nafas pasien.

b. Kriteria Hasil :

Menunjukkan pola napas efektif dengan frekuensi dan kedalaman dalam

rentang normal.

c. Intervensi Keperawatan :
1) Pertahankan kepatenan jalan nafas, pertahankan support ventilasi nbila diperlukan.

2) Kaji fungsi pernafasan, auskultasi bunyi nafas, kaji kulit setiap setiap 15menit sampai

4jam.

3) Berikan oksigen sesuai program dan pantau pulse oksimetri dan batasi (penyapihan) atau

tanpa alat bantú bila kondisi telah membaik.

4) Kaji kenyamanan posisi tidur anak.

5) Monitor efek samping pemberian pengobatan, monitor serum darah, dan catat kemudian

laporkan ke dokter. Normalnya 10-20 ug/ml pada smeua usia.

6) Kaji gejala dan tanda efek samping mual dan muntah pada gejala awal, dan

kemungkinan kejang.

7) Berikan cairan yang adekuat per oral atau parenteral.

8) Pemberian terapi pernafasan; nebulizer, fisioterapi dada bila indikasi, ajarkan batuk dan

nafas dalam efektif setelah pengobatan dan pengisapan sekret (suction).

9) Jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan pada anak untuk menurunkan

kecemasan.

10) Berikan terapi bermain sesuai dengan usia.

2. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi

a. Tujuan : suhu tubuh kembali normal ( 36 C-37 C )

b. Kriteria Hasil :

1) Suhu tubuh dalam rentang normal

2) Nadi, RR dalam rentang normal

3) Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak pusing


c. Intervensi keperawatan :

1) Ukur tanda vital: suhu.

2) Ajarkan keluarga dalam pengukuran suhu.

3) Lakukan “tepid sponge” (seka) dengan air biasa.

4) Tingkatkan intake cairan.

5) Berikan terapi untuk menurunkan suhu.

3. Keseimbangan cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan berhubungan dengan muntah

a. Tujuan :

Terjadi keseimbangan cairan dalam tubuh

b. Kriteria Hasil :

1) Menunjukkan cairan dibuktikan denagn parameter individual yang tepat , mis :

membran mukosa lembab, turgor kulit baik, pengisian kapiler cepat tanda vital stabil .

c. Intervensi keperawatan :

1) Mengobservasi tanda-tanda vital paling sedikit setiap empat jam.

2) Monitor tanda-tanda meningkatnya kekurangan cairan: turgor tidak elastis, ubun-ubun

cekung, produksi urin menurun.

3) Menobservasi dan mencatat intake dan output.

4) Memberikan hidrasi yang adekuat sesuai dengan kebutuhan anak.

5) Memonitor laboratorium: elektrolit darah, Bj urin, serum albumin.


6) Mempertahankan intake dan output yang adekuat.

7) Memonitor dan mencatat berat badan.

8) Mengurangi kehilangan cairan yang tidak terlihat (insensible wáter loss/ IWL)
4. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia

a. Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi

b. Kriteria Hasil :

1) Adanya peningkatan BB sesuai tujuan

2) Tidak ada tanda-tanda malnutrisi

c. Intervensi Keperawatan :

1) Ijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak, rencanakan unutk

memperbaki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat.

2) Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas

intake nutrisi.

3) Menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan teknik porsi kecil

tetapi sering.

4) Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama, dan dengan skala yang sama.

5) Mempertahankan kebersihan mulut pasien.

6) Menjelaskan pentingnya intake nutrisai yang adekuat untuk penyembuhan penyakit.


D. Evaluasi

1. Menunjukkan pola napas efektif dengan frekuensi dan kedalaman dalam rentang normal.

2. Suhu tubuh dalam rentang normal.

3. Nadi, RR dalam rentang normal.

4. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak pusing.

5. Menunjukkan cairan dibuktikan denagn parameter individual yang tepat , mis :

membran mukosa lembab, turgor kulit baik, pengisian kapiler cepat tanda vital stabil .

6. Adanya peningkatan BB sesuai tujuan.

7. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pertusis (Whooping Cough) adalah salah satu penyakit menular pada anak-anak

disertai dengan serangan batuk-batuk paroksismal dan pada anak besar yang disertai suara khas

(Inspiratory Whoop). Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis.

Bordetella Pertusis adalah suatu kuman tahan asam, tidak bergerak, gram negative. (Nelson,

2000). Masa tunas 7 – 14 hari penyakit dapat berlangsung sampai 6 minggu atau lebih dan

terbagi dalam 3 stadium, yaitu :

1. Stadium kataralis

2. Stadium spasmodik

3. Stadium konvaslensi

(Arif Mansjoer, 2000 : 428)

Penatalaksanaan atau pengobatan pertusis dapat dibagi menjadi 2 yaitu

penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan keperawatan (Arif Mansjoer, 2000 : 428).

Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mengetahui apakah anak terkena pertusis

yaitu dengan Pembiakan lendir hidung dan mulut, pembiakan apus tenggorokan, dll. (Behrman,

Kliegnan, Arvin. 1999)

Asuhan keperawatan yang dilakukan dalam masalah gangguan system pernafasan

dengan pertusis yaitu dengan:

1. Anamnesa

a. Riwayat alergi dalam keluarga , gangguan genetik.


b. Riwayat pasien dengan disfungsi pernapasan sebelumnya, bukti terbaru penularan

terhadap infeksi, allergen / iritan lain , trauma.

c. Adanya kontak dengan penderita pertusis.

d. Riwayat vaksinasi

2. Pemeriksaan fisik

a. Aktivitas / istirahat

b. Makanan / cairan

c. Nyeri / kenyamanan

d. Intergritas ego / pernafasan

3. Pemeriksan Diagnostik

a. Pemeriksaan sputum

b. Pemeriksaan serologi untuk bordetella pertusis

c. Tes Elisa

d. Foto Rontgen.

Diagnosa yang biasanya muncul pada anak dengan pertusis yaitu:

1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan banyaknya sekret.

2. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi

3. Keseimbangan cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan berhubungan dengan

muntah.

4. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia.

(Ngastiyah. 1997)

Intervensi keperawatan yang dilakukan yaitu:

1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan banyaknya sekret.


Intervensi Keperawatan :

a. Pertahankan kepatenan jalan nafas, pertahankan support ventilasi nbila diperlukan.

b. Kaji fungsi pernafasan, auskultasi bunyi nafas, kaji kulit setiap setiap 15menit sampai

4jam.

c. Berikan oksigen sesuai program dan pantau pulse oksimetri dan batasi (penyapihan) atau

tanpa alat bantú bila kondisi telah membaik.

d. Kaji kenyamanan posisi tidur anak.

e. Monitor efek samping pemberian pengobatan, monitor serum darah, dan catat kemudian

laporkan ke dokter. Normalnya 10-20 ug/ml pada smeua usia.

f. Kaji gejala dan tanda efek samping mual dan muntah pada gejala awal, dan

kemungkinan kejang.

g. Berikan cairan yang adekuat per oral atau parenteral.

h. Pemberian terapi pernafasan; nebulizer, fisioterapi dada bila indikasi, ajarkan batuk dan

nafas dalam efektif setelah pengobatan dan pengisapan sekret (suction).

i. Jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan pada anak untuk menurunkan

kecemasan.

j. Berikan terapi bermain sesuai dengan usia.

2. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi

Intervensi keperawatan :

1) Ukur tanda vital: suhu.

2) Ajarkan keluarga dalam pengukuran suhu.

3) Lakukan “tepid sponge” (seka) dengan air biasa.

4) Tingkatkan intake cairan.


5) Berikan terapi untuk menurunkan suhu.

3. Keseimbangan cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan berhubungan dengan muntah

Intervensi keperawatan :

a. Mengobservasi tanda-tanda vital paling sedikit setiap empat jam.

b. Monitor tanda-tanda meningkatnya kekurangan cairan: turgor tidak elastis, ubun-ubun

cekung, produksi urin menurun.

c. Menobservasi dan mencatat intake dan output.

d. Memberikan hidrasi yang adekuat sesuai dengan kebutuhan anak.

e. Memonitor laboratorium: elektrolit darah, Bj urin, serum albumin.

f. Mempertahankan intake dan output yang adekuat.

g. Memonitor dan mencatat berat badan.

h. Mengurangi kehilangan cairan yang tidak terlihat (insensible wáter loss/ IWL)

4. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia

Intervensi Keperawatan :

a. Ijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak, rencanakan unutk

memperbaki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat.

b. Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas

intake nutrisi.

c. Menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan teknik porsi kecil

tetapi sering.

d. Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama, dan dengan skala yang sama.

e. Mempertahankan kebersihan mulut pasien.

f. Menjelaskan pentingnya intake nutrisai yang adekuat untuk penyembuhan penyakit.


(Wong’s & Whaley. 2010)
DAFTAR PUSTAKA

Arief Manjoer. 2000. “Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jilid II”. Jakarta: EGC

Behrman, Kliegnan, Arvin. 1999. “Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Vol.2. Edisi 15.” Jakarta: EGC.

Doenges, Marilynnm E. dkk. 1999. “Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3”. Jakarta: EGC

Ngastiyah. 1997. “Perawat Anak Sakit.” Jakarta: EGC.

Suryadi. 2010. “Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2”. Jakarta: CV Sagung Seto

Wong’s & Whaley. 2010. “Nursing Care Of Infants And Children”. Jakarta: EGC

Vous aimerez peut-être aussi