Vous êtes sur la page 1sur 36

LAPORAN KASUS RSUD DR PIRNGADI

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)

Pimpinan Sidang
dr. Lily

Disusun oleh :

Yeugan Naidu Sanjeevi 130100467


Tiurma Rosdiana Simanjuntak 130100206
Nitya Devi Murthi 130100434
Rinanda Yuni A.Lubis 130100034
Albert Nego Androw M. Sitepu 130100102

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUD DR PIRNGADI 2017

1
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :

Nilai :

PIMPINAN SIDANG

dr. Lily

2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT.Tuhan Yang Maha Esa,
yang telah memberikan berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan laporan kasus ini yang berjudul Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) “”.

Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, RSUD Dr. Pirngadi Medan.

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing dr. Lily yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan banyak masukan
dalam proses penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis dapat menyelesaikan tepat
pada waktunya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dokter PPDS di
Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang membantu penulis dalam menyelesaikan
penyusunan laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga untuk itu penulis berharap agar pembaca dapat memberikan kritik dan
saran yang membangun sebagai koreksi bagi penulis untuk mendapatkan laporan kasus
yang lebih baik.Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir kata kami selaku
penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Januari

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................ i


KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Tujuan ............................................................................................................ 2
1.3 Manfaat .......................................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definis dan Epidemiologi PPOK ................................................................... 3
2.2 Faktor Resiko PPOK ...................................................................................... 4
2.3 Patofisiologi PPOK ........................................................................................ 6
2.4 Diagnosis PPOK ............................................................................................ 7
2.5 Klasifikasi PPOK ......................................................................................... 11
2.6 Diagnosis Banding PPOK ............................................................................ 11
2.7 Penatalaksanaan PPOK ................................................................................ 12
2.8 Komplikasi PPOK......................................................................................... 15
BAB 3 STATUS ORANG SAKIT ............................................................................... 16
BAB 4 FOLLOW UP ................................................................................................... 26
BAB 5 DISKUSI KASUS ............................................................................................ 29
BAB 6 KESIMPULAN ................................................................................................ 31
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 32

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan suatu kelainan dengan ciri-
ciriadanya keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible.1Fungsi paru
mengalami kemunduran dengan bertambahnya usia. Dalam usia yang lebih lanjut, kekuatan
otot pernapasan dapat berkurang sehingga sulit bernapas. Berkurangnya fungsi paru-paru
juga disebabkan oleh berkurangnya sistem respirasi seperti fungsi ventilasi paru.1
Salah satu penyebab PPOK adalah merokok, Merokok merupakan penyebab
terpenting PPOK, jauh lebih penting dibandingkan faktor lainnya. Tetapi tidak seluruh
perokok menjadi PPOK, hal tersebut berhubungan dengan faktor genetik.2 Meskipun
seluruh perokok tidak menjadi PPOK, tetapi 15% diantaranya dapat berkembang menjadi
PPOK. 92% perokok menyatakan mereka terbiasa merokok saat berkumpul dengan
anggota keluarga lainnya ketika didalam rumah, sehingga anggota keluarga lain
merupakan perokok pasif.2
Asap rokok yang terhisap ke dalam paru-paru perokoknya merupakan asap rokok
utama (main stream smoke), sedangkan asap ujung batang rokok yang terbakar merupakan
asap rokok sampingan (side stream smoke). Dalam asap rokok tersebut mengandung sekitar
4000 zat kimia berbahaya , antara lain aseton (bahan cat), arsen (racun), cadmium (aki
kendaraan), ammonia (pembersih lantai), karbon monoksida (asap knalpot), butane (bahan
bakar ringan), DDT (insektisida).2
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan salah satu penyakit yang
memilki beban kesehatan tertinggi.World Health Organization (WHO) dalam Global Status
of Non-communicable Diseases tahun 2010 mengkategorikan PPOK ke dalam empat besar
penyakit tidak menular yang memiliki angka kematian yang tinggi setelah penyakit
kardiovaskular, keganasan dan diabetes. GOLD Report 2014 menjelaskan bahwa biaya
untuk kesehatan yang diakibatkan PPOK adalah 56% dari total biaya yang harus dibayar
untuk penyakit respirasi. Biaya yang paling tinggi adalah diakibatkan kejadian eksaserbasi
dari penyakit ini. Kematian menjadi beban sosial yang paling buruk yang diakibatkan oleh

5
PPOK, namun diperlukan parameter yang bersifat konsisten untuk mengukur beban sosial.
Parameter yang dapat digunakan adalah Disability-Adjusted Life Year (DALY), yaitu hasil
dari penjumlahan antara Years of Life Lost (YLL) dan Years Lived with Disability (YLD).
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, diperkirakan pada tahun 2030, PPOK akan
menempati peringkat ketujuh, dimana sebelumnya pada tahun 1990 penyakit ini
menempati urutan keduabelas.3
1.2 Tujuan

Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah:


1. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis tentang Penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK).
2. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran yang telah didapat terhadap
kasusPenyakit paru obstruktif kronis(PPOK) serta melakukan penatalaksanaan yang
tepat, cepat, dan akurat sehingga mendapatkan prognosis yang baik.

1.3 Manfaat

Beberapa manfaat yang didapat dari penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Untuk lebih memahami dan memperdalam secara teoritis tentang Penyakit paru
obstruktif kronis PPOK.
2. Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi pembaca mengenai Penyakit paru
obstruktif kronis PPOK.

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2. PPOK ( Penyakit Paru Obstruktif Kronik )


2.1. Defenisi dan Epidemiologi
Menurut GOLD (Global Inisiative for Chronic Obstructive Lung Disease), PPOK
adalah penyakit paru yang dapat dicegah diobati dengan beberapa efek ekstrapulmonal
yang signifikan berkontribusi terhadap tingkat keparahan penderita. Karakteristik penyakit
ini ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel.
Hambatan aliran udara tersebut biasanya bersifat progressif dan berhubungan dengan
respon inflamasi pulmonal terhadap partikel atau gas berbahaya.4Penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah
menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti
faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya
jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam
ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.5
Di seluruh dunia, PPOK menduduki peringkat keenam sebagai penyebab utama
kematian pada tahun 1990. Hal ini diproyeksikan menjadi penyebab utama keempat
kematian di seluruh dunia pada 2030 karena peningkatan tingkat merokok dan perubahan
demografis di banyak negara.6 PPOK adalah penyebab utama kematian ketiga di Amerika
Serikat dan beban ekonomi PPOK di AS pada tahun 2007 adalah 426 juta dollar dalam
biaya perawatan kesehatan dan kehilangan produktivitas.7Data prevalensi PPOK yang ada
saat ini bervariasi berdasarkan metode survei, kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis
yang dilakukan pada setiap studi.8Data di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
2013 (RISKESDAS), prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7%. Angka kejadian penyakit ini
meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding
perempuan(3,3%).9

7
2.2. Faktor Resiko
Kebiasaan merokok merupakan penyebab kausal yang terpenting. Selain itu,
terdapat faktor-faktor resiko yang lain seperti riwayat terpajan polusi udara di lingkungan
dan tempat kerja, hiperaktivitas bronkus, riwayat infeksi saluran nafas berulang, dan
defisiensi antitripsin alfa-1. Di Indonesia defisiensi antitripsin alfa-1 sangat jarang terjadi.5
Dalam pencatatan perlu diperhatikan riwayat merokok. Termasuk perokok aktif, perokok
pasif, dan bekas perokok. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu
perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam
tahun. Kategori ringan 0-200, sedang 200-600, dan berat >600.2 Faktor resiko tersebut
terdiri atas:

1. Genetik
Genetik sebagai faktor risiko yang pernah di ditemukan adalah defisiensi beratantitripsin
alfa-1, yang merupakan inhibitor dari sirkulasi serin protease. Walaupun defisiensi
antitripsin alfa-1 relevan hanya pada sedikit populasi di dunia, itu cukup menggambarkan
interaksi antara genetik dan paparan lingkungan dapat menyebabkan PPOK. Risiko genetik
terhadap keterbatasan bernafas telah di observasi pada saudara atau orang terdekat
penderita PPOK berat yang juga merokok, dengan sugesti dimana genetik dan faktor
lingkungan secara bersamaan dapat mempengaruhi terjadinya PPOK. Gen tunggal seperti
gen yang memberi kode matriks metalloproteinase 12 (MMP12) berhubungan dengan
menurunnya fungsi paru.11

2. Umur dan Jenis Kelamin


Umur sering dikaitkan sebagai faktor risiko PPOK. Masih belum jelas apakahkeadaan fisik
yang menurun pada usia tua atau akibat pajanan lingkungan yang secara kumulatif didapat
di sepanjang hidup yang menjadi penyebab PPOK. Sebelumnya, kebanyakan penelitian
menunjukkan prevalensi dan angka mortalitas lebih tinggi pada pria dibanding wanita.
Namun pada data di negara berkembang menunjukkan bahwa prevalensi penyakit pada pria
maupun wanita hampir sama, mungkin akibat perubahan pola merokok tembakau di

8
masyarakat. Beberapa penelitian juga memperkirakan wanita lebih mudah terkena efek
rokok tembakau dibanding pria.11

3. Pertumbuhan dan Perkembangan Paru


Pertumbuhan paru berhubungan dengan proses masa kehamilan, kelahiran, dan pajanan
pada masa kecil dan remaja. Sebuah penelitian besar, secara meta analisismenemukan
hubungan positif antara berat lahir dan FEV1 pada masa dewasa danbeberapa menemukan
infeksi paru saat anak-anak.11

4. Merokok
Di seluruh dunia, merokok merupakan faktor risiko paling umum pada PPOK. Prevalensi
tertinggi gejala gangguan pernafasan dan penurunan fungsi paru terjadipada perokok.
Angka penurunan FEV1, dan angka mortalitas lebih tinggi didapat pada perokok dibanding
non perokok. Paparan asap rokok pada perokok pasif juga merupakan faktor risiko
terjadinya gangguan pernafasan dan PPOK denganpeningkatan kerusakan paru akibat
partikel dan gas yang masuk. Pada penelitian yang telah dilakukan di negara-negara Eropa
dan Asia, menunjukkan bahwa adanya hubungan antara merokok dan terjadinya PPOK
menggunakan metode cross-sectional dan cohort.10

5. Paparan lingkungan kerja


Paparan lingkungan kerja seperti debu organik dan anorganik, bahan kimia, dan asap dari
bahan kimia, tidak begitu dipermasalahkan sebagai faktor risiko PPOKsudah menemukan
cukup bukti untuk menyimpulkan bahwa adanya hubungan antara paparan lingkungan
kerja dan peningkatan keparahan PPOK.10 Hubungan yang konsisten antara paparan
lingkungan kerja dan PPOK tersebut sudah diobservasi dengan penelitian epidemiologi
multipel berkualitas tinggi.10

6. Polusi udara
Polusi udara di daerah kota dengan level tinggi sangat menyakitkan bagi pasien PPOK.
Penelitian cohort longitudinal menunjukkan bukti kuat tentang hubungan polusi udara dan
penurunan pertumbuhan fungsi paru di usia anak-anak dan remaja. Hubungan tersebut
9
diobservasi dengan ditemukannya karbon hitam di makrofag pada saluran pernafasan dan
penurunan fungsi paru yang progresif. Hal ini menunjukkan hal yang masuk akal secara
biologi bagaimana peran polusi udara terhadap penurunan perkembangan fungsi paru.11

7. Asma
Asma tidak digolongkan sebagai PPOK karena bersifat reversibel.13 Ada hubungan antara
asma kronik dengan obstruksi jalan napas dan percepatan penurunan fungsi paru. Karena
obstruksi jalan napas dapat menyebabkan PPOK, dapat disimpulkan bahwa asma, dengan
atau tanpa faktor risiko tambahan, dapat menjadi predisposisi terjadinya PPOK.11

2.3. Patofisiologi

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan suatu istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya.
Bronkitis kronik dan emfisema merupakan dua penyakit yang sering ditemukan bersama-
sama pada PPOK. Temuan patologis utama pada bronkitis kronik adalah hipertrofi kelenjar
mukosa bronkus dan peningkatan jumlah dan ukuran sel-sel goblet, dengan infiltrasi sel-sel
radang dan edema mukosa bronkus. Pembentukan mukus yang meningkat mengakibatkan
gejala khas yaitu batuk produktif. Batuk kronik yang disertai peningkatan sekresi mukus
menyebabkan bronkiolus rusak dan dindingnya melebar.9 Pasien bronkitis kronik lanjut
mengalami penurunan dorongan respirasi dan retensi CO2, yang berhubungan dengan nadi
kuat, vasodilatasi, konfusi, nyeri kepala, flapping tremor, dan edema papil.13 Rokok dan
polusi udara merupakan predisposisi infeksirekuren karena memperlambat aktivitas silia
dan fagositosis, sehingga timbunanmukus meningkat sedangkan mekanisme pertahanannya
melemah. Alfa1-antiprotease penting sebagai perlindungan terhadap protease yang
terbentuk secara alami. Kekurangan protease ini merupakan faktor penting terjadinya
emfisema. Protease dihasilkan oleh bakteri, PMN, monosit, dan makrofag sewaktu proses
fagositosis berlangsung dan mampu memecah elastin dan makromolekul lain pada jaringan
paru. Normalnya, antiprotease mencegah kerusakan jaringan paru. Selama inspirasi, lumen
bronkiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa

10
dan banyaknya mukus. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkiolus tersebut kembali
menyempit, sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara. Hilangnya elastisitas
dinding bronkiolus pada emfisema juga dapat menyebabkan kolaps prematur. Dengan
dengan demikian udara terperangkap pada segmen paru yang terkena, akibatnya terjadi
pengembangan (distensi) berlebihan serta penggabungan beberapa segmen alveolus. Pada
emfisema dapat timbul banyak bula (rongga parenkim yang terisi udara dengan diameter
lebih dari 1 cm) yang dapat ataupun tidak saling berhubungan. Bleb (rongga subpleura
yang terisi udara) yang terbentuk akibat ruptura alveoli dapat pecah ke dalam rongga pleura
sehingga menimbulkan pneumotoraks spontan.12

2.4. Diagnosis
Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, lalu pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis
Diagnosis klinis pada PPOK harus dipertimbangkan pada pasien yang mengalami sesak
napas (dyspnea), batuk kronis atau produksi sputum kronis, mengi dan riwayat terpapar
faktor resiko dari PPOK. Batuk kronis merupakan gejala awal pada umumnya, sering
diabaikan pasien sebagai gejala karena dianggap merupakan gejala konsekuensi dari
merokok ataupun paparan lingkungan.

Produksi sputum pada penderita PPOK umunya terjadi ketika pasien mengalamibatuk yang
kuat.11 Pada pasien bronchitis kronik, produksi sputum dialami hampir setiap hari selama 3
bulan atau 2 tahun berturut-turut.Dyspnea merupakan penyebab utama keterbatasan dan
kekhawatiran pada pasien.Penilaian kuantitas dyspnea dan hubungannya dengan kualitas
kesehatan dan prediksi mortalitas penderita PPOK dapat diukur menggunakan kuesioner
Modified MedicalResearch Council scale (mMRC scale).11

11
Tabel 2.1.4.1 Skala sesak menurut Modified Medical Research Council (mMRC)

Pada saat anamnesis kita perlu mempertimbangkan apakah pasien memiliki riwayat
merokok ataupun bekas perokok, baik dengan gejala maupun tanpa gejala pernafasan.
Penentuan derajat merokok dapat dilihat menggunakan indeks Brinkman. Indeks Brinkman
yaitu jumlah batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun.
Interpretasi hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Pertimbangkan kemungkinan pasien pernah terpapar zat iritan yang bermakna di tempat
kerja. Pasien dengan riwayat penyakit emfisema pada keluarga juga perlu kita
pertimbangkan dalam anamnesis pasien PPOK. Faktor predisposisi pada masa bayi/anak
misalnya berat bayi lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas, infeksi saluran napas
berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara dapat membantu penegakkan diagnosa
kita.5

12
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Terlihat adanya tanda-tanda seperti pursed - lips breathing yaitu sikap seseorang yang
bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai
mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik. Hal lain yang dapat
ditemukan pada inspeksi penderita PPOKadalah barrel chest (diameter antero-posterior
dan transversal sebanding), penggunaan otot bantu napas, hipertropi otot bantu napas,
pelebaran sela iga, bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edematungkai. Selain itu tampak juga penampilan pink puffer yaitu gambaran
yang khaspada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed – lips
breathing atau blue bloater, yaitu gambaran khas pada bronkitis kronik, penderitagemuk
sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.5

b. Palpasi
Pada emfisema didapati suara fremitus melemah dan sela iga melebar.5

c. Perkusi
Pada emfisema, terdengar suara perkusi hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma lebih rendah, dan hepar terdorong ke bawah.5

d. Auskultasi
Pada saat auskultasi terdengar suara napas vesikuler normal, atau melemah. Selain itu
terdengar suara ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa.
Periode ekspirasi pada pasien PPOK terdengar memanjang dan bunyi jantung terdengar
jauh.5

3. Pemeriksaan penunjang
a. Faal paru
Pemeriksaan rutin faal paru menggunakan spirometri. Dalam hasil pemeriksaan spirometri
akan didapatkan hasil VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP. Obstruksi ditentukan oleh
13
nilai VEP1 prediksi dalam persen (%) dan atau VEP1/KVP dalam persen (%). Dinyatakan
obstruksi apabila nilai persentase VEP1(VEP1/VEP1 pred) adalah < 80% dan nilai
persentase VEP1 (VEP1/KVP) <75 %. VEP1 merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Uji
bronkodilator dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai
awal dan < 200 ml. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.5

b. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit

c. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada
emfisema terlihat gambaran hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar, diafragma
mendatar, jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye dropappearance).
Pada bronkitis kronik gambaran paru cenderung normal, namun terdapat corakan
bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus.5

d. Pemeriksaan bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas
berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.5

14
2.5. Klasifikasi
Tabel 2.1.5. Tabel klasifikasi PPOK berdasarkan spirometri.11

2.6. Diagnosis banding

Lima penyakit yang menjadi diagnosis banding PPOK adalah asma, sindroma
obstruksi pascatuberkulosis, pneumotoraks, gagal jantung kronik, dan penyakit obstruksi
saluran napas lain misalnya bronkiektasis.5

15
2.7. Penatalaksanaan
1. Edukasi
Menurut skala prioritas, edukasi yang pertama adalah berhenti merokok.Dokter juga harus
berpartisipasi mengatasi kecanduan nikotin yang dialami perokok. Dalam mempertahankan
pasien tidak merokok dalam jangka panjang, dokter bisa menganjurkan konsumsi nikotin
dalam bentuk permen karet, inhaler, spray, dan tablet sublingual. Dokter harus memberi
edukasi tentang dosis konsumsi yang tepat agar hasilnya optimal. Kontraindikasi
pemberian nikotin tersebut adalah penyakit arteri koroner tidak stabil, ulkus peptikum, dan
stroke. Selain konsumsi nikotin pengganti rokok, dokter juga dapat meresepkan sediaan
varenicline dan bupropion dalam mengatasi kecanduan nikotin.11

16
2. Bronkodilator
Merupakan penatalaksanaan yang meningkatkan FEV1 dan variabel spirometri lainnya.
Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebulizer tidak dianjurkan pada penggunaan
jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release)
atau obat berefek panjang (long acting). Golongan antikolinergik digunakan pada derajat
ringan sampai berat. Golongan ini bekerja menginhibisi reseptor muskarinik (Chest, 2008).
Pada shortacting antikolonergik seperti ipratotrium bromida dan oxitropium bromida, akan
menginhibisi reseptor M2 dan M3. Pada long acting seperti tiotropium, akan menginhibisi
reseptor M3 dan M1.11 Disamping sebagai bronkodilator, antikolinergik juga mengurangi
sekresi lendir .14
Golongan agonis beta – 2 bekerja mereleaksasi otot polos pernafasan dengan menstimulasi
reseptor beta-2 adrenergik yang akan menghasilkan antagonis fungsional
bronkokonstriksi.11 Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak. Peningkatan jumlah
penggunaan dapat digunakan sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang (long acting) seperti
tulobuterol. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, namun
tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip
dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi berat.14
Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2 akan memperkuat efek bronkodilatasi, yang
lebih baik karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.14 Golongan
xantin dalam bentuk lepas lambat (slow release) digunakan sebagai pengobatan
pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Sediaan teoflin
biasanya berguna bagi anak yang tidak dapat menggunakan inhalan dan orang orang
dewasa yang gejala nokturnalnya lebih dominan. Bentuk tablet biasa atau puyer digunakan
untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang harus monitor kadar aminofilin
darah .14

17
3. Antiinflamasi
Antiinflamasi digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi. Golongan yang dipilih umumnya
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan
bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator
yaitu meningkat > 20% dan minimal 250 mg.14

4. Antibiotik
Antibiotik yang digunakan sebagai lini pertama umumnya amoksisilin dan makrolid. Lini
kedua antibiotik diberikan sediaan amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon,
dan makrolid baru. Jika pasien dalam perawatan di rumah sakit dapat dipilih sediaan
amoksilin dan klavulanat atau sefalosporin generasi II & III injeksi atau kuinolon per oral
dan dikombinasikan dengan yang anti pseudomonas seperti aminoglikose per injeksi,
kuinolon per injeksi, sefalosporin generasi IV per injeksi.14

5. Mukolitik
Mukolitik bekerja mengurangi viskositas sputum dan mengurangi adhesitivitas untuk
membantu ekspektorasi. Namun jika dievaluasi secara keseluruhan, manfaat mukolitik
8
pada PPOK hanya sedikit. Mukolitik hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut
karena. Walaupun mukolitik dapat mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik,
tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin. 14

6. Antitusif
Batuk, walaupun sering dikeluhkan pasien, namun dapat menjadi faktor protektif
signifikan. Oleh karena itu, antitusif harus diberikan dengan hati – hati.11

7. Terapi oksigen
Terapi oksigen berkepanjangan (> 15 jam per hari) pada pasien PPOK telah terbukti
meningkatkan daya tahan pasien dengan hipoksemia berat. Indikasipemberian terapi
oksigen berkepanjangan adalah PaO2 ≤ 7.3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 ≤ 88%, dengan atau
tanpa hiperkapinia dikonfirmasi terjadi dua kali dalamperiode tiga minggu. Indikasi lain
18
terapi oksigen berkepanjangan pada PPOK adalah PaO2 berada diantara 7.3 kPa (55
mmHg) dan 8.0 kPa (60 mmHg) atau SaO2 berada di 88% disertai hipertensi pulmonal,
edema perifer akibat penyakit gagal jantung kongestif, atau polisitemia (hematokrit
>55%).11Terapi oksigen jangka panjang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama
bila tidur atau sedang aktivitas. Lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen
dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah
hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur. Terapi oksigen pada waktu aktivitas
bertujuan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuanaktivitas. Pemberian
oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90% . 14

8. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal
napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas
kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di
rumah.Ventilasi mekanik terdiri dari ventilasi intermiten non invasif (NIV), baik yang
menggunakan tekanan negatif ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi mekanik invasif
dengan oro-tracheal tube atau trakeostomi. Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal
dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi. 14

2.8. Komplikasi
Komplikasi dari PPOK adalah adanya gagal napas. Gagal napas kronik dijumpai hasil
analisis gas darah PO2 < 60 mmHg dan PCO2 > 60 mmHg, dan pH normal.Gagal napas
akut dan gagal napas kronik ditandai dengan adanya sesak napas dengan atau tanpa
sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. Selain gagal
napas, infeksi berulang juga menjadi komplikasi PPOK. Pada pasien PPOK, produksi
sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi
infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini sistem imun menjadi lebih rendah, ditandai
dengan menurunnya kadar limposit darah. Kor pulmonal juga menjadi komplikasi PPOK
yang ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung
kanan.14

19
BAB 3
STATUS ORANG SAKIT

NomorRekamMedis : 01.04.77.23
Tanggal Masuk : 21/01/18 Dokter Ruangan :
dr. Ratna
Jam : 18.25 WIB Dokter Chief of Ward :
dr. Lily
Ruang : Asoka 2, Ruang XIV, Dokter Penanggung Jawab Pasien
PD Wanita Bed 4 :dr. M. Gusti S, Sp. PD

ANAMNESA PRIBADI
Nama : Mijah
Umur : 83 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Jl. Karantina 11, No. 17 E, Medan Timur

ANAMNESA PENYAKIT
Keluhan Utama : Sesak Nafas
Telaah : Hal ini telah dialami os± 1 tahun dan memberat dalam 1
minggu sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas terutama
dirasakan saat beraktivitas seperti berjalan jauh, menyapu
halaman dan lain-lain. Namun sesak semakin lama semakin
memberat meskipun dalam keadaan istirahat. Sesak nafas
dirasakan setiap saat dan tidak dipengaruhi oleh cuaca.
Riwayat sesak nafas 3 tahun yang lalu dijumpai.

20
Os juga mengeluhkan batuk, hal ini dialami os sejak 1 tahun
ini. Batuk disertai dengan dahak yang berwarna putih, kental,
tidak berbau dan tidak ada darah. Riwayat keringat
malam tidak dijumpai. Riwayat penurunan berat badan tidak
dijumpai.
Os juga mengeluhkan lemas serta wajah sering tampak pucat
dan mudah lelah, dan nafsu makan berkurang sejak 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit. . Riwayat merokok dijumpai
sejak umur 32 tahun sebanyak 1 bungkus rokok per hari.
Riwayat sakit gula tidak dijumpai. Riwayat hipertensi tidak
dijumpai. Riwayat keluarga yang mengalami keluhan yang
sama tidak dijumpai. Riwayat pekerjaan ibu rumah tangga.
Riwayat terpapar debu tidak dijumpai.
RPT : -
RPO : Tidak jelas

ANAMNESA ORGAN
Jantung Sesak nafas : (+) Edema : (-)
Angina pectoris : (-) Palpitasi : (-)
Lain-lain : (-)

Saluran Pernafasan Batuk-batuk : (+) Asma, bronkitis: (-)


Dahak : (+) Lain-lain : (-)

Saluran Pencernaan Nafsu makan : Penurunan BB : (-)


Keluhan mengunyah : (-) Keluhan defekasi : (-)
Keluhan perut : (+) Lain-lain : (-)

Saluran Urogenital Sakit buang air kecil : (-) BAK tersendat : (-)
Mengandung batu : (-) Keadaan urin : (-)
Haid : (-) Lain-lain : (-)
21
Sendi dan Tulang Sakit pinggang : (-) Keterbatasan gerak : (-)
Keluhan persendian : (-) Penggunaan spalk/gips: (-)
Endokrin Haus/Polidipsi : (-) Gugup : (-)
Poliuri : (-) Perubahan suara : (-)
Polifagi : (-) Lain-lain : (-)
SarafPusat Sakit kepala : (-) Hoyong : (-)
Lain-lain : (-)
Darah dan Pembuluh Darah Pucat : (+) Perdarahan : (-)
Petechie : (-) Purpura : (-)
Lain-lain : (-)
Sirkulasi Perifer Claudicatio intermitten : (-) Lain-lain : (-)

ANAMNESA FAMILI :-

PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK


STATUS PRESENS
Keadaan Umum Keadaan Penyakit
Sensorium : Compos Mentis Pancaran wajah : Lemah
Tekanan darah : 120/80 mmHg Sikap paksa :(+)
Nadi : 101x/menit Refleks fisiologis: + / +
Pernafasan : 28x/menit Refleks patologis : - / -
Temperatur : 37,60C

Anemia (+), Ikterus (-), Dispnoe (+), Sianosis (-), Edema (-), Purpura (-)
Turgor Kulit : baik Keadaan Gizi : baik
Berat Badan : 50 kg Tinggi Badan : 150 cm

BB BB
BW = x 100% BMI =
TB − 100 (TB)2

22
50 50
BW = x 100% BMI =
150 − 100 (1,5)2

BW = 100 % BMI = 22,2 kg/m2

Kesan :Normoweight

KEPALA
Mata : Konjungtiva palpebra pucat (+/+), ikterus (-/-), Lain-lain : ( - )
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Dalam batas normal
Mulut : Lidah : Dalam batas normal
Gigi geligi : Dalam batas normal
Tonsil/Faring : Dalam batas normal

LEHER
Struma tidak membesar, tingkat : (-)
Pembesaran kelenjar limfe : (-)
Posisi trakea : Medial, TVJ : R-2 cmH2O
Kaku kuduk : (-), lain-lain : (-)

THORAX DEPAN
Inspeksi
Bentuk : Simetris Fusiformis, penggunaan otot bantu nafas(+)
Pergerakan : Nafas cepat (+) tidak tampak ketinggalan bernafas
Lain-lain : (-)

Palpasi
Nyeritekan :(-)
Fremitus suara : SF Kanan = Kiri, Kesan : Melemah
Iktus : Tidak teraba

23
Perkusi
Paru
Perkusi : Hipersonor pada seluruh lapangan paru
Batas Paru Hati R/A : ICS V relatif, ICS VI absolut
Peranjakan : ±1 cm
Jantung
Batas atas jantung : ICS II LMCS
Batas kiri jantung : ICS V LMCS
Batas kanan jantung : ICS III LPSD

Auskultasi
Paru
Suara pernafasan : Vesikuler melemah
Suara tambahan : Wheezing (+)
Jantung
S1 S2 reg, murmur(-), S3 gallop (-), lain-lain (-)
HR:100 x/menit, reguler, intensitas : baik

THORAX BELAKANG
Inspeksi : Simetris fusiformis, penggunaan otot bantu nafas (+)
Palpasi : Sulit dinilai.
Perkusi : Hipersonor
Auskultasi : Suara pernafasan : SP= Vesikuler melemah, ekspirasi memanjang
ST= Wheezing (+/+)

24
ABDOMEN
Inspeksi
Bentuk : Simetris
Gerakan lambung/usus : Tidak terlihat
Vena kolateral :(-)
Caput medusa :(-)

Palpasi
Dinding abdomen : Soepel
HATI
Pembesaran :(-)
Permukaan : Tidak teraba
Pinggir : Tidak teraba
Nyeri tekan :(-)
LIMPA
Pembesaran :(-)
GINJAL
Ballotement :(-)
TUMOR :(-)

Perkusi
Pekak hati : ( -)
Pekak beralih :(-)
Auskultasi
Peristaltik usus : Normoperistaltik ( + ) Normal
Lain-lain : (-)

PINGGANG
Nyeri ketuk sudut kosto vertebra : (-)

INGUINAL : Tidak dilakukan pemeriksaan


25
GENITALIA LUAR : Pasien Laki-Laki
PEMERIKSAAN COLOK DUBUR (RT)
Perineum : Tidak dilakukan pemeriksaan
Sphincter Ani : Tidak dilakukan pemeriksaan
Lumen : Tidak dilakukan pemeriksaan
Mukosa : Tidak dilakukan pemeriksaan
Sarung tangan : Tidak dilakukan pemeriksaan

ANGGOTA GERAK ATAS ANGGOTA GERAK BAWAH


Kiri Kanan
Deformitas sendi: (-) Edema : - -
Lokasi: (-) Arteri femorais: + +
Jari tabuh: (-) Arteri tibialis posterior + +
Tremor ujung jari : (-) Arteri dorsalis pedis + +
Telapak tangan sembab: (-) Refleks KPR : + +
Sianosis : (-) Refleks APR : + +
Eritema Palmaris: (-) Refleks fisiologis: + +
Lain-lain: (-) Refleks patologis : - -
Ganggren : - -

PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN


Darah Kemih Tinja
Hb : 9.0 g/dl Warna: Kuning jernih Warna : tdp
Eritrosit : 3,62 x 106/mm3 Protein:- Konsistensi : tdp
Leukosit : 8.380/mm3 Reduksi:- Eritrosit :-
Trombosit : 281.000/ μL Bilirubin: - Leukosit :-
Hitung Jenis : Urobilinogen : + Amoeba/Kista : -
Eosinofil : 0,6 %

26
Basofil : 0,1 % Sedimen Telur Cacing
Neutrofil : 78,7 % Eritrosit : 0 /lpb Ascaris : tdp
Limfosit : 15,3 % Leukosit : 0-3/lpb Ankylostoma : tdp
Monosit : 5,3 % Silinder :- T. Trichiura : tdp
KGD ad R : 134 mg/dL Epitel :- Kremi : tdp
MCV : 76 fL
MCH : 24,9 pg
MCHC : 32,7 g/dL

RESUME
Keluhan utama :Dyspnoe
Telaah : Hal ini telah dialami os ± 1 tahun
dan memberat dalam 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit
DOE (+). Dyspnoe dirasakan setiap
saat dan tidak dipengaruhi oleh
cuaca. Riwayat dyspnoe (+).
Batuk berdahak (+) hal ini dialami
ANAMNESA os sejak 1 tahun ini, yang
berwarna putih dan kental.
Wajah pucat (+), mudah lelah (+),
lemas(+), anoreksia (+) sejak 1
minggu terakhir. Riwayat merokok
(+) dengan IB (Indeks Brikman) =
800 (Berat).
RPT :-
RPO: Tidak jelas
Keadaan Umum : Sedang
STATUS PRESENS Keadaan Penyakit : Sedang
Keadaan Gizi : Normal

27
TANDA VITAL
Sensorium : Compos Mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 101x/menit
Pernafasan : 28 x/menit
Temperatur : 37,6 0C
STATUS LOKALISATA
Kepala : Konjungtiva anemis (+/+)
Sklera ikterik (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
PEMERIKSAAN FISIK TVJ: R-2 cmH2O
Thorax : Inspeksi : Simetris fusiformis
Otot bantu nafas (+)
Palpasi : SF Ka=Ki, Kes : Melemah
Perkusi : Hipersonor pada kedua
lapangan paru
Auskultasi : SP = Vesikuler melemah,
ekspirasi memanjang
ST = Wheezing (+)
Abdomen : Soepel, H/L/R tidak teraba
Ekstremitas : dbn
Darah : Anemia
LABORATORIUM
Kemih : Normal
RUTIN
Tinja : Normal
 PPOK Eksaserbasi Akut + Anemia e.c Penyakit Kronis .
DIAGNOSA BANDING  Asma Bronchiale + Anemia e.c Defisiensi Fe
 Congestive Heart Failure
DIAGNOSA  PPOK Eksaserbasi Akut + Anemia e.c Penyakit Kronis
SEMENTARA dd/ Defisiensi Besi

28
PENATALAKSANAAN Aktivitas : Tirah Baring

Diet : MB

Tindakan Suportif : IVFD NaCl 0.9% 20 gtt/i makro


O2 2-4 l/i via nasal kanul
Medikamentosa :

Nebul Ventolin /8 jam


Nebul Flexotide /8 jam
N asetil sistein 3 x 200 mg

RENCANA PENJAJAKAN DIAGNOSTIK / TINDAKAN LANJUTAN


1. EKG
2. Foto Thorax
3. Spirometri
4. AGDA
5. Sputum BTA
6. Morfologi darah tepi

BAB 4
FOLLOW-UP

FOLLOW-UP TANGGAL 22-23/01/2018

29
S Sesak nafas (+) batuk (+) dahak (+)

Sens : CM, HR:100x/i , RR: 32 x/i, TD:


O 120/80, temp: 37,6°c
Mata: konjungtiva anemis (-/-),
Sklera ikterik (-/-), Leher TVJ : R+2 cm
H2O
Paru : SP: vesikuler melemah,
ST : Wheezing (+)
Hasil Lab:
Hb : 9 g/Dl
Leukosit : 8.340
PPOK Ekserbasi Akut
A Anemia e.c Penyakit Kronis
Tirah baring
P Diet MB
IVFD NaCl 0,9 % 20 gtt/i
O2 2-4 lpm
Nebul Ventolin / 8 jam
Nebul Flexotide / 8 jam
Asetyl Sistein 3 x 20 mg

+ Inj. Dexametasone 1 amp/8 jam/iv


(23/01/18)

FOLLOW- UP TANGGAL 24/01/2018


S Sesak nafas (+)berkurang
Sens : CM, Td : 110/70, HR: 80x/i,
O RR:28x/i, Temp: 36.7°c
Mata: konjungtiva anemis (-/-),
Sklera ikterik (-/-), Leher TVJ : R+2 cm
H2O

Paru :
SP: vesikuler melemah, ekspirasi
memanjang
ST : Wheezing (+)
Abdomen : simetris, Soepel, H/L/R: TTB
Peristaltik (+)
Ekstremitas : Oedem (-/-)
PPOK Ekserbasi Akut
A Anemia e.c Penyakit Kronis
Tirah baring

30
P Diet MB
IVFD NaCl 0,9 % 20 gtt/i makro
O2 2-4 lpm via nasal kanul
Nebul Ventolin / 8 jam
Nebul Flexotide / 8 jam
Inj. Dexametasone 1amp/8jam/iv
Asetyl Sistein 3 x 20 mg

31
BAB 5
DISKUSI KASUS

Teori Diskusi

Faktor Resiko Faktor resiko pasien, yaitu:


1. Genetik  Usia > 40 tahun
2. Umur dan Jenis Kelamin  Riwayat merokok dijumpai sejak

3. Merokok umur 32 tahun sebanyak 1 bungkus

4. Paparan lingkungan kerja rokok per hari dengan IB (Indeks

5. Polusi udara Brikman) = 800 (Berat)

6. Asma

Pemeriksaan Penunjang Hasil Pemeriksaan Laboratorium Rutin:


a. Faal paru Hb : 9,0 g/dl
Pemeriksaan rutin faal paru menggunakan Eritrosit : 3,62 x 106/mm3
spirometri. Dalam hasil pemeriksaan Leukosit : 8. 380/mm3
spirometri akan didapatkan hasil VEP1, Trombosit : 281.000/μL
VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP. Hitung Jenis :
b. Darah rutin Eosinofil : 0,6 %
Hb, Ht, leukosit Basofil : 0,1 %
c. Radiologi Neutrofil : 78,7 %
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk Limfosit : 15,3 %
menyingkirkan penyakit paru lain. Pada Monosit : 5,3 %
emfisema terlihat gambaran hiperinflasi,
hiperlusen, ruang retrosternal melebar,
diafragma mendatar, jantung menggantung
(jantung pendulum / tear drop / eye
dropappearance). Pada bronkitis kronik

32
gambaran paru cenderung normal, namun
terdapat corakan bronkovaskuler bertambah
pada 21 % kasus.5
d. Pemeriksaan bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan
Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan untuk memilih
antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas
berulang merupakan penyebab utama
eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.5

Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada pasien ini :


Prinsip penatalaksanaan: - Terapi cairan NaCl 0,9% 20 tetes makro
1. Edukasi - Nebul Ventolin/ 8 jam
2. Bronkodilator - Nebul Flexotid/8 jam
3. Antiinflamasi - Inj. Dexametasone 1amp/8jam/iv
4. Antibiotik - N asetil sistein 3x200 mg
5. Mukolitik
6. Antitusif
7. Terapi oksigen
8. Ventilasi mekanik

33
BAB 6
KESIMPULAN

Seorang perempuan, M, berusia 82 tahun datang ke Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Pringadi Medan dengan keluhan sesak napas didiagnosa dengan PPOK Eksaserbasi Akut
dan diberi tatalaksana berupa:

 Tirah baring
 Diet jenis MB II.
 IVFD NaCl 0,9% 20gtt/menit,
 Nebul Ventolin /8 jam
 Nebul Flexotide /8 jam
 Inj. Dexametasone 1amp/8jam
 N asetil sistein 3 x 200 mg

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Vestbo J, Hurd S, Agusti A, Jones P, Vogelmeier C, Anzueto A, et al. Global


strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease: GOLD executive summary. Am J Respir Crit Care Med.
2014;187(4):347 - 65.
2. WHO. Global status report on noncommunicable diseases 2010 : Description of the
global burden of NCDs, their risk factors and determinants. 2012.
3. Lopez AD, Shibuya K, Rao C, Mathers CD, Hansell AL, Held LS, et al. Chronic
obstructive pulmonary disease: current burden and future projections. European
Respiratory Journal. 2011;27(2):397-412.
4. GOLD Inc. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevention.
[diakses 4 November 2011]. Di unduh dari URL:
http://www.goldcopd.com/Guidelineitem .asp?l1=2&l2=1&intId=989
5. Mangunnegoro H, dkk. PPOK, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: 2003. hal 1-56
6. Mathers CD, Loncar D "Projections of Global Mortality and Burden of Disease
from 2002 to 2030". PLoS Med. 3 (11): e442:10.1371/journal.pmed.0030442
7. Elizabeth G. Nabel, M.D 2007 NHLBI Morbidity and Mortality Chart Book"
(PDF). Retrieved 2008-06-06.
8. Vestbo J, Hurd S, Agusti A, Jones P, Vogelmeier C, Anzueto A, et al. Global
strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease: GOLD executive summary. Am J Respir Crit Care Med.
2014;187(4):347 - 65.
9. Indonesia KKR. Riset Kesehatan Dasar 2013. 2013.
10. Eisneret al. 2010. An Official American Thoracic Society Public Policy Statement:
Novel Risk Factors and the Global Burden of Chronic Obstrutive Pulmonary
Disease. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, 182: 693-
718.

35
11. Global Initiate for Chronic Lung Disease. 2014. Global Strategy for the Diagnosis,
Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.Updated
2014. GOLD Inc.
12. Wilson, L. M. 2012. Pola Obstruktif pada Penyakit Pernapasan. In S. A. Price, & L.
M. Wilson, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit 6 ed., Vol. 2,
pp.783-789. Jakarta: EGC.
13. Ward, J. P., Ward, J., Leach, R. M., & Wiener, C. M. 2007. At a Glance Sistem
Respirasi 2nd ed. Jakarta: Erlangga.
14. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. PPOK Penyakit Paru Obstruktf Kronik
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Paru. Avaiable form: http://klikpdpi.com/konsensus/konsensusppok/ppok.pdf

36

Vous aimerez peut-être aussi