Vous êtes sur la page 1sur 24

https://fencepurimahua.wordpress.

com/2015/04/27/analisis-penetapan-
komoditas-unggulan-hasil-hutan-bukan-kayu-dan-strategi-pengembangan-di-
kabupaten-seram-bagian-barat-provinsi-maluku/

Analisis Penetapan Komoditas Unggulan Hasil Hutan Bukan Kayu dan Strategi
Pengembangan di Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku

27 APRIL 2015 / FENOPURI

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Akhir-akhir ini telah terjadi penurunan produksi dari hutan alam yang diiringi juga dengan
berkurangnya kualitas ekosistem hutan alam di seluruh Indonesia, termasuk juga penurunan
produk-produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Jenis-jenis pohon hutan penghasil komoditas
HHBK mempunyai keunggulan komparatif dan paling banyak bersinggungan dengan
masyarakat sekitar hutan. Beberapa jenis produk HHBK di Indonesia telah lama diusahakan dan
diambil hasilnya oleh masyarakat sekitar hutan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka,
bahkan sebagian masyarakat menggunakan produk-produk HHBK sebagai sumber utama atau
bahkan satu-satunya sumber penghasilan (Rostiwati et all, 2010).
Dalam konteks ekonomi pemanfaatan hutan selama ini masih memandang hutan sebagai
sumber daya alam penghasil kayu. Kondisi ini mendorong eksploitasi kayu secara intensif untuk
memenuhi pasar dunia maupun domestik tanpa memperhatikan nilai manfaat lain yang dapat
diperoleh dari hutan. Sebagai akibat telah terjadi penurunan luas dan kualitas ekosistem hutan.
Hutan sebagai sistem sumberdaya alam memiliki potensi untuk memberi manfaat multiguna, di
samping hasil kayu, hutan dapat memberi manfaat berupa hasil hutan bukan kayu dan
lingkungan. Hasil riset menunjukkan bahwa hasil hutan kayu dari ekosistem hutan hanya
sebesar 10 % sedangkan sebagian besar (90%) hasil lain berupa HHBK yang selama ini belum
dikelola dan dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
(Dephut, 2009a).
Luas hutan Indonesia 120,3 juta Ha, memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi yaitu
30 s/d 40 ribu jenis tumbuhan tersebar di hampir seluruh pulau yang berpotensi menghasilkan
HHBK yang cukup besar. Beberapa jenis HHBK memiliki nilai cukup tinggi baik di pasar domestik
maupun di pasar global antara lain rotan, bambu, gaharu, atsiri, dan jenis lain (Dephut, 2009a).
Secara ekonomis HHBK memiliki nilai ekonomi tinggi dan berpeluang untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Walaupun memiliki nilai ekonomi tinggi namun
pengembangan usaha dan pemanfaatan HHBK selama ini belum dilakukan secara intensif
sehingga belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan
perekonomian masyarakat (Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan No. P.21/Menhut-II, 2009).
Beberapa hambatan yang dihadapi dalam pengembangan HHBK antara lain pemanfaatan HHBK
selama ini hanya bertumpu pada pemungutan dari hutan alam dan bukan dari hasil budidaya
sehingga ketika hutan alam rusak pasokan HHBK juga rusak, beragamnya jenis komoditas dan
belum berkembangnya teknologi budidaya maupun pemanfaatan HHBK. Melihat potensi nilai
ekonomi serta permasalahan yang ada, pemerintah melalui Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.35/Menhut-II/2007 telah menetapkan jenis-jenis HHBK, dengan demikian adanya
sebuah tuntutan untuk mengembangkan tanaman HHBK secara lebih serius.
Upaya pengembangan HHBK perlu dilakukan secara berkelanjutan, mengingat komoditas HHBK
sangat beragam di setiap daerah dan banyak melibatkan berbagai pihak dalam memproses
hasilnya, maka strategi pengembangan perlu dilakukan dengan memilih jenis prioritas yang
diunggulkan berdasarkan pada kriteria, indikator dan standar yang ditetapkan. Dengan
tersedianya jenis komoditas HHBK unggulan maka usaha budidaya dan pemanfaatannya dapat
dilakukan lebih terencana dan terfokus sehingga pengembangan HHBK dapat berjalan dengan
baik, terarah dan berkelanjutan.
Produk hasil hutan berupa kayu pada tahun 1980-an s/d 1990-an memang menjadi pemasok
devisa dan mesin penggerak pembangunan, namun saat ini telah berakhir dengan makin
berkurangnya kawasan hutan serta makin maraknya aksi pencurian kayu. Dengan melihat
prospek hasil hutan kayu semakin meredup, ada harapan baru yang justru muncul dari produksi
HHBK yang terus mengalami peningkatan cukup signifikan. Kontribusi HHBK dari berbagai
kelompok (kelompok resin, minyak atsiri, minyak lemak, tannin, tumbuhan obat, palma dan
bambu, alkaloid dan kelompok lainnya) dimana pada tahun 2002 tercatat sebesar US$ 17,69
juta, meningkat menjadi US$ 22,55 juta tahun 2004, dan selanjutnya sampai dengan tahun
2006 meningkat lagi menjadi US$ 43,76 juta. Jumlah tersebut belum termasuk kontribusi dari
hasil perdagangan flora dan fauna yang tidak dilindungi (PP No. 8/1999) yakni sebesar US$
61,3 ribu (1999) kemudian meningkat drastis menjadi US$ 3,34 juta pada tahun 2003. (Dephut,
2009b).
Data Departemen Kehutanan (Dephut, 2009b) menunjukkan terjadi peningkatan jumlah ekspor
hasil hutan bukan kayu dari 42,520 ton (2002), meningkat lagi menjadi 567,853 ton (2006).
Rincian produksi HHBK dan Nilai Ekspor tahun 2002 s/d 2006 dapat dilihat pada Lampiran 1.
Melihat pesatnya perkembangan ekspor seperti yang tergambar dalam Lampiran 1 tersebut,
seharusnya memacu kita untuk lebih giat mengembangkan komoditas yang cukup potensial ini
dengan mempertimbangkan keberadaan sumberdaya hasil hutan berupa kayu saat ini cukup
memprihatinkan (Hatta, 2009).
Untuk melihat potensi nilai ekonomi serta kontribusi HHBK, penulis berkeinginan untuk
melakukan kajian serta analisis guna menetapkan komoditas unggulan HHBK di Kabupaten
Seram Bagian Barat Provinsi Maluku guna dijadikan acuan dalam menyusun strategi
pengembangannya sehingga pengembangan komoditas unggulan HHBK tersebut menjadi lebih
baik, terarah, dan berkelanjutan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di dalam dan di sekitar hutan, pendapatan daerah, dan devisa negara.

1.2. Perumusan Masalah


Pemanfaatan hutan selama ini masih berorientasi pada hasil hutan kayu baik dari hutan alam
maupun dari hutan tanaman, padahal disisi lain masih terdapat potensi kawasan hutan yang
bernilai ekonomis yang perlu digali dan dioptimalkan pengelolaan, pemanfaatan, maupun
pemungutannya, seperti aneka usaha kehutanan dari hasil hutan bukan kayu yang hampir tidak
terjamah, meskipun potensinya sangat besar.
Sejalan dengan itu, ke depan pembangunan kehutanan diharapkan tidak lagi hanya berorientasi
pada hasil hutan kayu, tetapi sudah selayaknya menggali potensi HHBK, sehingga perlu
kebijakan dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan HHBK sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku. Pengelolaan pemanfaatan HHBK secara jelas tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, dimana pada pasal 26 mengatur tentang pemungutan
HHBK pada hutan lindung, dan pasal 23 dan 26 mengatur pemanfataan HHBK pada hutan
produksi. Penjabaran lebih lanjut terkait dengan pemungutan dan pemanfaatan HHBK
dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, upaya optimalisasi HHBK juga terdapat
dalam pasal 28 (Pemungutan HHBK pada Hutan Lindung), pasal 43 dan 44 (Pemanfaatan HHBK
dalam hutan alam dan tanaman pada hutan produksi).
Jenis HHBK yang telah ditetapkan pengelompokkannya dalam Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.35/Menhut-II/2007, masih terdapat berbagai permasalahan dalam pengelolaan serta
pemanfaatannya oleh instansi kehutanan baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Hal ini
disebabkan karena penetapan jenis HHBK unggulan daerah belum dilakukan sehingga sangat
menghambat proses pengembangan pada setiap daerah kabupaten/kota. Permasalahan dalam
pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan HHBK, sampai kepada belum dilakukannya
penetapan jenis HHBK unggulan daerah juga terjadi di daerah kabupaten/kota di Maluku.
Berkaitan dengan hal tersebut maka penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai
berikut: 1) Jenis HHBK apa saja yang tersebar dan menjadi basis di Kabupaten Seram Bagian
Barat? 2) Jenis HHBK apa saja yang tergolong komoditas unggulan di daerah tersebut? dan 3)
Bagaimana strategi pengembangan komoditas unggulan HHBK tersebut?

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan diadakannya penelitian ini adalah:
1. Melakukan inventarisir jenis komoditas basis HHBK yang tersebar di Kabupaten Seram
Bagian Barat.
2. Menganalis dan menetapkan komoditas unggulan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di
Kabupaten Seram Bagian Barat.
3. Menyusun strategi pengembangan yang berkaitan dengan komoditas unggulan HHBK di
Kabupaten Seram Bagian Barat

1.4. Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Sebagai masukan bagi perusahaan/perorangan yang ingin melakukan investasi dalam
pengembangan, pemanfaatan dan pengelolaan HHBK di Kabupaten Seram Bagian Barat;
2. Menjadi acuan dalam perbaikan program pengembangan guna memacu revitalisasi
pengelolaan dan pemanfaatan HHBK di Kabupaten Seram Bagian Barat;
3. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi Maluku serta
Pemerintah Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat menyangkut tingkat keunggulan komoditas
HHBK serta strategi pengembangannya guna dijadikan acuan dalam penentuan kebijakan
diwaktu mendatang;
4. Sebagai masukan bagi penulis dan pihak terkait lainnya untuk melakukan penelitian
selanjutnya dalam rangka pengembangan pendidikan ilmu kehutanan khususnya bidang
manajemen hasil hutan.

1.5. Kerangka Pemikiran


HHBK memiliki potensi cukup besar untuk meningkatkan nilai ekonomi dari sumber daya hutan
dengan beragam hasil yang dapat diperoleh. Potensi ini menjadi prospek yang tinggi untuk
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Pemanfaatan HHBK
saat ini masih terkendala beberapa faktor antara lain skala pemanfaatannya masih rendah,
dilakukan dalam skala kecil oleh petani, terbatasnya modal petani untuk mengembangkannya,
data dan informasi HHBK belum tersedia, serta pola pengembangannya belum terfokus pada
komoditas tertentu sehingga upaya pengembangan belum dilakukan secara intensif.
Pemanfaatan HHBK masih bertumpu pada pemungutan dan belum berbasis pada budidaya
sehingga kelestarian hasil HHBK belum terjamin. Di samping itu pemanfaatannya belum
didukung regulasi dan kewenangan yang jelas. Untuk mengembangkan HHBK agar lebih
intensif maka kebijakan dan strategi pengembangan dilakukan secara selektif terhadap jenis
tertentu yang ditetapkan melalui penetapan jenis unggulan dilakukan pada sentra wilayah
tertentu.
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bersifat material
(bukan kayu) yang diambil dari hutan untuk dimanfaatkan bagi kegiatan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam upaya mengubah haluan pengelolaan hutan dari
timber extraction menuju sustainable forest management, Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) atau
Non Timber Forest Products (NTFP) memiliki nilai yang sangat strategis. HHBK merupakan salah
satu sumber daya hutan yang memiliki keunggulan komparatif dan bersinggungan langsung
dengan masyarakat sekitar hutan (Anonimus, 2008).
HHBK dapat berasal dari kawasan hutan dan luar kawasan hutan / lahan milik atau hutan
rakyat. HHBK yang berasal dari kawasan hutan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 dan perubahannya dibedakan menjadi :
(a) HHBK yang berasal dari hutan lindung dan dikenal dengan nama pemungutan, (b) HHBK
yang berasal dari hutan produksi baik hutan alam maupun hutan tanaman dikenal dengan
istilah pemanfaatan. Pemungutan HHBK yang berasal dari hutan lindung antara lain berupa
rotan, madu, getah, buah, jamur, dan sarang burung walet. Pemanfaatan HHBK yang berasal
dari hutan produksi antara lain berupa pemanfaatan :
a. Rotan, sagu, nipah, bambu yang meliputi kegiatan penanaman, pemanenan, dan
pemasaran hasil.
b. Getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan pemanenan,
pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil. (Lampiran Peraturan Menteri
Kehutanan No. P.19/Menhut-II, 2009)
HHBK memiliki potensi cukup besar untuk meningkatkan nilai ekonomi dari sumber daya hutan
dengan beragam hasil HHBK yang dapat diperoleh. Potensi ini menjadi prospek yang tinggi
untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Akan tetapi,
untuk mengetahui komoditas basis HHBK yang ada dalam suatu wilayah, maka perlu dilakukan
analisis Location Quotient (LQ). Hal ini perlu dilakukan agar selanjutnya dapat ditetapkan
apakah komoditas basis yang telah diperoleh termasuk dalam komoditas unggulan HHBK atau
tidak (Ron Hood, 1998).
Suatu komoditas HHBK disebut sebagai komoditas basis bila produksi suatu komoditas yang
dihasilkan oleh masyarakat di suatu daerah yang definitif melebihi kebutuhan masyarakat di
daerah yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, suatu komoditas basis merupakan
komoditas yang diekspor suatu daerah ke daerah lain termasuk ke pasar internasional.
Penetapan jenis HHBK unggulan dilakukan dengan metode description scoring, yaitu melalui
pengukuran nilai indikator dari tiap kriteria untuk jenis yang akan ditetapkan keunggulannya.
Aspek penilaian mencakup kriteria ekonomi, biofisik dan lingkungan, kelembagaan, sosial, dan
teknologi. Jenis HHBK unggulan dikelompokkan dalam 4 (empat) unggulan, yakni unggulan
nasional, unggulan provinsi, unggulan lokal (kabupaten/kota setempat), dan bukan unggulan;
yang dapat dipergunakan sebagai arahan dalam mengembangkan jenis HHBK di tingkat pusat
dan daerah.
Kriteria ekonomi adalah aspek yang mengukur besaran ekonomi dari jenis HHBK yang sedang
dievaluasi. Parameter ekonomi mempunyai bobot terbesar (35%) dalam pemilihan komoditas
unggulan HHBK. Kriteria biofisik dan lingkungan mempunyai bobot 15% dalam pemilihan
komoditas unggulan HHBK. Kelembagaan merupakan aspek penting dalam penetapan tingkat
keunggulan suatu komoditas HHBK karena menyangkut unsur pelaku dan tata aturan produksi
dan perdagangan HHBK tersebut, di mana parameter ini mempunyai bobot 20% dalam
penetapan komoditas unggulan HHBK. Kriteria sosial sebagai salah satu kriteria dalam
penetapan tingkat keunggulan suatu komoditas HHBK merupakan keberpihakan kepada
masyarakat lokal dalam pengusahaan lokal, di mana parameter ini mempunyai bobot 15%
dalam penetapan komoditas unggulan HHBK. Aspek teknologi dipilih sebagai kriteria penentuan
unggulan komoditas HHBK karena memiliki peran dalam pengembangan HHBK tersebut baik
dalam menjamin pasokan HHBK sebagai bahan baku maupun dalam peningkatan nilai tambah
HHBK tersebut, di mana parameter ini mempunyai bobot 15% dalam penetapan komoditas
unggulan HHBK (Permenhut P.19/Menhut-II/2009).
Selanjutnya, pengembangan HHBK merupakan upaya pemberdayaan masyarakat lokal sesuai
prinsip hutan untuk rakyat (forest for people). Pemberdayaan yang dilakukan harus
memperhatikan dimensi sosial, ekonomi dan ekologi agar pemanfaatan hutan lestari dapat
dicapai. Posisi masyarakat dalam pengembangan HHBK harus benar-benar sebagai pelaksana
utama, sedangkan pemerintah bertindak sebagai fasilitator atau pendukung dari setiap program
pengembangan (Harun, 2009).
Penyusunan strategi pengembangan HHBK dapat dilakukan dengan menggunakan matriks
SWOT (Strengths–Weakness–Opportunities–Threats). Di mana terlebih dahulu dikumpulkan
faktor – faktor internal (kekuatan dan kelemahan) serta faktor-faktor eksternal (peluang dan
ancaman) yang memengaruhi pengembangan HHBK yang dihasilkan oleh suatu daerah,
sehingga dapat disusun strategi pengembangan yang sistematis dan berdaya guna. Untuk lebih
memperjelas upaya kajian dan analisis penetapan komoditas unggulan HHBK serta bagaimana
strategi pengembangannya, maka dapat dilihat pada skema kerangka pemikiran seperti yang
tertera pada Gambar 1.1 berikut ini.

Gambar1.1 Kerangka Pemikiran Analisis Penetapan HHBK Unggulan


dan Strategi Pengembangannya.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Hutan


2.2. Hasil Hutan
2.3. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
2.4. Potensi Hasil Hutan Di Maluku
2.5. Analisis
2.6. Analisis Penetapan Komoditas Unggul HHBK dan Strategi Pengembangan
2.6.1. Metode LQ
2.6.2. Analisis SWOT

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian ini adalah di Kabupaten Seram Bagian Barat sebagaimana tampak pada
Gambar 2 yang meliputi 11 Kecamatan yaitu Kecamatan Seram Barat, Kecamatan Kairatu,
Kecamatan Kairatu Barat, Kecamatan Inomosol, Kecamatan Amalatu, Kecamatan Teluk
Elpaputih, Kecamatan Taniwel, Kecamatan Taniwel Timur, Kecamatan Huamual, Kecamatan
Waesala, dan Kecamatan Manipa yang merupakan sentra pengumpulan hasil hutan bukan kayu.
Untuk menganalisis tingkat keunggulan komoditas HHBK yang memiliki nilai basis tertinggi
maka penentuan lokasi penelitian dilakukan secara puposive sampling yaitu daerah lokasi dipilih
secara cermat sehingga sesuai dengan tujuan penelitian. Waktu penelitian direncanakan selama
2 (dua) bulan yaitu pada bulan April s/d Mei 2013.

Gambar 2.1 Lokasi Penelitian

3.2. Metode Penelitian


3.2.1. Menghitung Komoditas Basis HHBK
Analisis data dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
a) Insert data
Insert data series menurut subsektor selama lima tahun
terakhir ke dalam spreadsheet dengan format kolom dan baris. Kolom diisi nama wilayah
dan tahun sedangkan baris diisi nama jenis komoditas HHBK yang akan dianalisis.
b) Menghitung nilai rataan produksi satu wilayah
Untuk jenis HHBK, dihitung rataan jumlah produk tiap komoditas dari satu wilayah. Hasil rataan
yang diperoleh diberi notasi “bki”. Selanjutnya jumlahkan produksi rataan masing-masing
komoditas di semua wilayah itu (penjumlahan vertikal) menurut masing-
masing komoditi. Hasilnya menunjukkan jumlah produksi per areal HHBK
yang selanjutnya diberi notasi “Tbki”.
c) Menjumlahkan luas areal panen dan atau populasi HHBK.
Jumlahkan luas areal panen dari tiap komoditas atau populasi HHBK
secara vertikal menurut wilayah. Penjumlahan ini menghasilkan total luas panen atau total
produksi HHBK dari tiap wilayah yang diberi notasi “BKt”.
Selanjutnya jumlahkan luas panen semua komoditas atau jumlah populasi HHBK dari
semua wilayah yang kemudian diberi notasi “TBKt”.
d) Menghitung LQ
Langkah terakhir dalam tahapan ini adalah menghitung nilai LQ. Caranya dengan
memasukkan notasi-notasi yang
diperoleh ke dalam formula LQ, yaitu bki/Tbki sebagai
pembilang dan BKt/TBKt sebagai penyebut. Secara ringkas ditulis:

bki/Tbki
LQ =
BKt/TBKt

Dimana:
LQ = Komoditas basis HHBK
bki = Produksi tiap komoditi satu wilayah …………….…………..(Ton)
Tbki = Total produksi semua komoditi satu wilayah…………….…(Ton)
BKt = Produksi tiap komoditi seluruh wilayah …………………….(Ton)
TBKt = Total produksi semua komoditi seluruh wilayah……………(Ton)
e) Interpretasi nilai LQ
Nilai LQ yang diperoleh akan berada dalam kisaran lebih kecil atau sama dengan satu sampai
lebih besar dari angka 1, atau 1 > LQ >1. Besaran nilai LQ menunjukkan besaran derajat
spesialisasi atau konsentrasi dari komoditas itu di wilayah yang bersangkutan relatif terhadap
wilayah referensi. Artinya semakin besar nilai LQ di suatu wilayah,
semakin besar pula derajat kosentrasinya di wilayah
tersebut.

3.2.2. Menghitung Nilai Unggulan HHBK


Untuk menghitung nilai unggulan masing-masing komoditas HHBK, metode yang digunakan
adalah metode Statistik Non Parametrik (description scoring) sebagaimana ditetapkan dalam
lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.21/Menhut-II/2009. Pengolahan dan analisa
data yang bersifat kuantitatif yang dikumpulkan dari lapangan. Data kemudian disusun dalam
tabulasi dari tiap kecamatan untuk jenis HHBK yang sedang diteliti, selanjutnya pengolahan
data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Kuantifikasi data pengukuran tiap indikator untuk tiap kriteria dalam data katagorik dan
dinyatakan dalam 3 (tiga) selang nilai. Nilai 3 mencerminkan nilai katagori tinggi, 2
menunjukkan nilai katagori sedang dan nilai 1 menunjukkan katagori rendah dalam
menentukan tingkat keunggulan.
2. Scoring yakni pemberian nilai tiap indikator dengan nilai 3, 2 dan 1 sesuai dengan ukuran
standar yang ditetapkan.
3. Penghitungan Nilai Indikator Tertimbang (NIT):
NIT suatu kriteria (NITk) adalah hasil bagi antara bobot suatu kriteria (Bk) dengan jumlah
indikator pada kriteria tersebut (JIk) dikali dengan jumlah hasil pembagian antara nilai indikator
dengan nilai indikator maksimal (dalam hal ini 3) yang ada dalam kriteria bersangkutan. Secara
matematis, perhitungan dilakukan dengan rumusan berikut:
Dimana :
NIT = Nilai Indikator Tertimbang
k = Kriteria penentuan unggulan ( 1 …. 5)
n = Jumlah indikator dalam tiap kriteria
Ni = Nilai indikator tiap kriteria
Bk = Besarnya nilai Bobot dari kriteria ke k
Nimax = Nilai indikator terbesar, dalam hal ini 3
JIk = Jumlah indikator untuk kriteria ke k
1. Perhitungan Total Nilai Unggulan (TNU) suatu jenis HHBK dilakukan dengan menjumlahkan
semua nilai indikator tertimbang dari semua kriteria.
TNU = NIT ekonomi + NIT Biofisik + NIT Kelembagaan + NIT Sosial + NIT Teknologi
2. Penetapan Nilai Unggulan
Berdasarkan Total Nilai Unggulan (TNU) jenis HHBK dikelompokan ke dalam tiga kelas Nilai
Unggulan (NU) sebagai berikut :
1. Nilai Unggulan 1
Adalah jenis komoditas HHBK yang memiliki nilai TNU antara 78 – 100
2. Nilai Unggulan 2
Adalah jenis komoditas HHBK yang memiliki nilai TNU antara 54 – 77
3. Nilai Unggulan 3
Adalah jenis komoditas HHBK yang memiliki nilai TNU antara 30 – 53

V. HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1. Potensi dan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
Di Kabupaten SBB
Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam di Provinsi Maluku di lakukan oleh
masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Hasil penelitian dan pengamatan di lapangan
menunjukkan bahwa potensi serta penyebaran HHBK di Kabupaten SBB cukup baik dan
memiliki peluang untuk dikembangkan setelah terlebih dahulu diketahui komoditas basis HHBK
dari daerah tempat penelitian tersebut.
Untuk lebih jelas mengenai potensi dan penyebaran HHBK di Kabupaten SBB, kedua hal ini
disajikan dalam Gambar 5.1 berikut ini.

Gambar 5.1. Peta potensi dan penyebaran HHBK di Kabupaten Seram Bagian Barat
Gambar 5.1 diatas memberikan informasi penyebaran dan potensi produksi ketiga komoditi
tersebut. Sesuai hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditi damar tersebar di 4 kecamatan
dengan perkiraan luas panen 5.087 Ha, Kayu Putih tersebar 8 kecamatan dengan total luas
panen 18.094 Ha, sedangkan Sagu tersebar hampir di semua kecamatan dengan luas panen
3.712 hektar. Dari total luas penyebaran tersebut terlihat bahwa penyebaran 3 komoditi HHBK
tersebut tidak merata pada semua kecamatan, peta penyebaran komoditi Damar, Kayu Putih
dan Sagu per Kecamatan di Kabupaten SBB dapat dilihat pada Lampiran 4-14.
Berkaitan dengan proses pemanenan, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa produk HHBK
yang dipungut dari kawasan hutan di Provinsi Maluku oleh pemegang Izin Pemungutan Hasil
Hutan Bukan Kayu (IPHH-BK) terdiri dari : Damar, Daun Kayu Putih, Rotan, Kemedangan, dan
Sagu. Produksi HHBK di Provinsi Maluku 5 tahun terakhir (2008-2012) tiap komoditi
berfluktuatif dari tahun ke tahun, dimana total produksi HHBK sejak tahun 2008-2012 terdiri
dari Damar 2.400,80 ton, Minyak Minyak Kayu Putih 1.310,68 ton, Rotan 696,49 ton,
Kemedangan 548,35 ton, dan Sagu 860,24 ton. Gambaran produksi HHBK di Maluku tahun
2008-2012 dapat dilihat pada gambar 5.2 berikut.
Secara rinci dan detail produksi HHBK per komoditi di Provinsi Maluku tahun 2008-2012 dapat
dilihat pada Lampiran 15.
Dari data total produksi HHBK di Provinsi Maluku tersebut dan dikompilasi dengan hasil
penelitian di lapangan terdapat produksi HHBK yang berasal Kabupaten SBB, dimana pada
kabupaten ini terdapat tiga komoditi HHBK yakni Damar, Kayu Putih, dan Sagu yang telah
diusahakan serta memiliki nilai ekonomi yang terbukti telah mendorong peningkatan
kesejahteraan masyarakat, daerah dan negara.
Produksi riil HHBK di Kabupaten SBB tahun 2008-2013 sebesar 2.258,84 ton dengan rincian
Damar 1.910,50 ton, Minyak Kayu Putih 114,85 ton, dan Sagu 233,49 ton. Gambaran produksi
HHBK di Kabupaten SBB tahun 2008-2013 dapat dilihat pada gambar 5.3 berikut.

Gambar 5.3. Grafik Produksi Per Komodti HHBK di Kabupaten


Seram Bagian Barat Tahun 2008-2012

Sementara secara terperinci produksi HHBK per komoditi di Kabupaten SBB tahun 2008-2012
dapat dilihat pada Lampiran 16.
Hasil penelitian di lapangan tergambar bahwa komoditi HHBK berupa damar, kayu putih, dan
sagu banyak diusahakan oleh masyarakat setempat karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi
serta akses pasar yang lebih mudah. Data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten SBB
menunjukkan bahwa terdapat 15 pedagang pengumpul dan 63 petani damar yang tersebar di
Kecamatan Kairatu, Taniwel, dan Inomosol.
Sementara untuk komoditi Kayu Putih sesuai hasil penelitian dan disesuaikan dengan data
pada Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal Kabupaten Seram Bagian Barat
terdapat 260 petani pengumpul dan pengolah kayu putih yang tersebar di Kecamatan Seram
Barat, Waesala, Kepulauan Manipa, Taniwel dan Taniwel Timur, sedangkan komoditi HHBK
berupa sagu yang juga telah terdata pada Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Seram Bagian
Barat sebanyak 9 usaha skala kecil dan 23 petani pengolah tepung sagu yang tergabung dalam
2 kelompok usaha tersebar di Kecamatan Seram Barat, Huamual, Kairatu dan Kairatu Barat.
Rincian pengusaha dan petani (pengumpul) Damar, Sagu dan Kayu Putih dapat dilihat pada
daftar Lampiran 17, 18 dan 19.
5.2. Analisis Komoditas Basis HHBK
Hasil inventarisir di lapangan menunjukkan bahwa komoditi HHBK yang banyak tersebar di
Kabupaten SBB terdiri dari Kelompok Resin berupa damar dan gaharu; diikuti oleh Kelompok
Minyak Atsiri berupa kayu putih dan kulit lawang; Kelompok Minyak, Lemak, Pati dan Buah-
Buahan berupa kenari, ketapang, aren, nipah, sagu, jamur, kecapi, durian, matoa, melinjo, dan
pala hutan, dll; Kelompok Tanin, Bahan Pewarna dan Getah berupa ketapang, pinang, pulai,
bintanggur, cempaka dll; Kelompok Obat-Obatan berupa pulai, cempaka, johar, kelor, kecapi,
mahoni, salam, titi, waru, dll; Kelompok Tanaman Hias berupa anggrek, beringin, pakis, palem,
dll; Kelompok Palma dan Bambu berupa Rotan, Bambu, Nibung, dll; Kelompok Hewani berupa
babi hutan, rusa, dan binatang buruan lainnya.
Sebagaimana yang diuraikan di atas bahwa dari semua komoditi HHBK yang tersebar di
Kabupaten SBB baru 3 (tiga) komoditi yaitu Damar, Kayu Putih, dan Sagu yang telah
diusahakan secara serius oleh masyarakat setempat baik secara kelompok maupun individu
dengan keterlibatan pihak pemerintah dan swasta sehingga telah menggerakan perekonomian
masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
Gambar 5.4 menunjukkan 3 komoditi HHBK berupa Damar, Kayu Putih dan Sagu yang telah
diusahakan secara serius oleh masyarakat di lokasi penelitian.

Gambar 5.4. Komoditi HHBK Yang Sedang Diusahakan oleh Masyarakat


Di Kabupaten Seram Bagian Barat

Penyebaran luas panen serta perkiraan potensi produksi ketiga komoditi tersebut seperti yang
disajikan dalam Tabel 5.1 menunjukkan bahwa komoditi damar tersebar di 4 kecamatan dengan
perkiraan luas penyebaran 5.087 Ha serta perkiraan potensi produksi ± 1.118,88 ton, Kayu
Putih tersebar di 8 kecamatan dengan luas penyebaran 18.094 Ha dengan perkiraan produksi ±
54.282 ton, serta Sagu tersebar hampir disemua kecamatan dengan luas panen 3.712 Ha dan
potensi produksi ± 97.944 ton.

Tabel 5.1 Penyebaran dan perkiraan potensi produksi HHBK


Di Kabupaten SBB

No. Lokasi Penyebaran/ Kecamatan Jenis Komoditi HHBK


Damar Kayu Putih Sagu
Luas (Ha) Produksi (ton) Luas (Ha) Produksi (ton) Luas (Ha) Produksi (ton)
1 Kairatu – –
382,00 10.146,00 115,00 2.530,00
2 Kairatu Barat – –
826,00 2.478,00 185,00 20.350,00
3 Amalatu – – – –
220,00 4.840,00
4 Inamosol 640,00 192,00 – – –

5 Elpaputih – – – –
100,00 2.200,00
6 Seram
Barat 2.933,00 879,90 3.103,00 9.309,00 942,00 20.724,00
7 Huamual 288,00 86,40 590,00 1.770,00 655,00
14.410,00
8 Waesala – –
7.716,00 23.148,00 95,00 2.090,00
9 Kep. Manipa – –
880,00 2.640,00 112,00 2.464,00
10 Taniwel 1.226,00 367,80 130,00 390,00 440,00
9.680,00
11 Taniwel Timur – –
1.467,00 4.401,00 848,00 18.656,00
Total KAb.
SBB. 5.087,00 1.526,10 18.094,00 54.282,00 3.712,00 97.944
,00

Sebagaimana telah diuraikan bahwa dari potensi produksi HHBK di Kabupaten SBB
sebagaimana di atas, terdapat produksi riil dari komoditi-komoditi tersebut yang telah
dimanfaatkan oleh masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi riil damar 5
tahun terakhir 2008-2012 sebesar 1.910,50 ton, minyak kayu putih sebesar 114,85 ton, dan
sagu sekitar 233,49 ton.
Dari hasil perbandingan antara produksi riil komoditi HHBK dengan total produksi seluruh
wilayah (skala provinsi) dibagi dengan produksi riil satu wilayah (skala kabupaten) maka dapat
dianalisis komoditas basis HHBK pada Kabupaten SBB dengan menggunakan metode Location
Quotient (LQ). Metode yang dapat mengidentifikasi komoditas unggulan yang diakomodasi dari
Miller dan Wright (1991) telah menempatkan komoditi Damar dengan nilai LQ terbesar yaitu
2,05 menjadi komoditas basis HHBK di Kabupaten SBB, sedangkan komoditi Sagu hanya
memiliki nilai LQ sebesar 0,70 dan Kayu Putih dengan nilai LQ 0,23 yang menjadi komoditi basis
HHBK dengan nilai terendah. Ketepatan metode LQ yang menjadikan Damar sebagai komoditas
basis di Kabupaten SBB ini diperkuat dengan hasil observasi di lapangan bahwa komoditi
Damar merupakan komoditas yang menjadi sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat
(petani) pengumpul di sekitar Kabupaten SBB, terutama wilayah-wilayah yang menjadi
konsentrasi penyebaran Damar. Rincian hasil analisis dengan menggunakan metode LQ untuk
menentukan komoditas basis HHBK dapat dilihat pada Lampiran 20.

5.3. Analisis Komoditas Unggulan HHBK


Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan analisis terhadap komoditas basis HHBK di
lokasi penelitian telah menempatkan komoditi Damar sebagai komoditas yang memiliki basis
terbesar dilihat dari skala produksi serta dampak ekonomi.
Sekilas penulis ingin menggambarkan bahwa Pohon Damar (Agathis dammara (Lamb.) Rich.)
adalah sejenis pohon anggota tumbuhan runjung (Gymnospermae) yang merupakan tumbuhan
asli Indonesia. Damar menyebar di Maluku, Sulawesi, hingga ke Filipina (Palawan dan Samar).
Di Jawa, tumbuhan ini dibudidayakan untuk diambil getah atau hars-nya.
Untuk mengetahui tingkat keunggulan Damar di lokasi penelitian penulis telah melakukan
pengumpulan data dari berbagai stakeholder melalui penyebaran kuisioner dan wawancara
langsung dengan pihak terkait dan petani damar pada beberapa desa di Kabupaten SBB untuk
dijadikan bahan analisis dalam menentukan nilai indikator tiap kriteria. Daftar stakeholder untuk
menganalisis HHBK unggulan dapat lihat pada Lampian 21.
Respodens yang dipilih sebanyak 25 orang memiliki karakterisrik sosial ekonomi yang bervariasi
dengan rata-rata tingkat umur 51 tahun memiliki tingkat pendidikan rata-rata 10, pengalaman
usaha HHBK jenis damar rata-rata telah mencapai > 20 tahun serta memiliki tanggungan dalam
keluarga rata-rata 6 orang. Karakterisrik sosial ekonomi stakeholder dapat dilihat pada
Lampiran 22.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perhitungan nilai tingkat keunggulan HHBK komoditas
Damar dengan menggunakan metode Statistik Non Parametrik (description scoring) serta
pengolahan data yang dilakukan dengan tahapan kuantifikasi data pengukuran tiap indikator
untuk tiap kriteria dalam data katagorik, maka hasil analisis matriks kriteria dan indikator HHBK
unggulan menunjukkan bahwa jumlah nilai indikator ekonomi adalah 14, diikuti oleh biofisik dan
lingkungan; 8, kelebagaan; 9, sosial; 5, dan teknologi; 2. Nilai pembobotan tiap kriteria tersebut
di atas dapat dilihat pada Lampiran 23.
Hasil perhitungan dan analisis kriteria dan indikator tertimbang menunjukan bahwa Nilai
Indikator Tertimbang (NIT) untuk kriteria ekonomi sebesar 23,33, biofisik dan lingkungan; 8,00,
kelembagaan; 10,00, sosial; 12,50 dan teknologi 5,00 dengan total NIT adalah 58,83. Apabila
hasil penentuan Nilai Indikator Tertimbang untuk Damar (58,83) disesuaikan dengan metode
Total Nilai Unggulan (TNU) jenis HHBK yang disesuaikan dengan ketentuan dikelompokkan ke
dalam 3 (tiga) tingkat Nilai Unggulan (NU) yaitu NU-1 merupakan unggulan Nasional dengan
nilai TNU antara 78 – 100, NU-2 merupakan unggulan provinsi dengan nilai TNU antara 54 –
77, dan NU-3 merupakan unggulan kabupaten/kota dengan nilai TNU antara 30 – 53, maka
dapat disimpulkan bahwa Damar merupakan komoditas unggulan yang masuk dalam kategori
unggulan Provinsi Maluku, sehingga dalam pengembangan dan pengelolaannya perlu mendapat
perhatian yang serius dari Pemeritah Daerah Provinsi Maluku. Hasil perhitungan Nilai Indokator
Tertimbang tiap kriteria (NITk) dapat dilihat pada Lampiran 24.

5.4. Produksi kayu bulat


Sebagai data penunjang atau pelengkap, maka produksi kayu bulat sebagai salah satu bagian
dari pemanfaatan hasil hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengembangan
HHBK di Kabupaten SBB. Kegiatan pemanfaatan hutan oleh pemegang izin yang sah di dalam
kawasan hutan yang diizinkan meliputi kegiatan Pengelolaan hutan produksi dalam hutan alam
di Provinsi Maluku dilakukan melalui kegiatan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
(IUPHHK), Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), dan Izin Lain Yang Sah (ILS).
Tercatat selama lima tahun terakhir (2008 – 2013) realisasi produksi kayu bulat yang dihasilkan
dari IUPHHK, IPK , dan ILS hanya mencapai 1.404.458.92 m³ atau 67,45% dari target
tebangan sebesar 2.082.201,27 m³. Dari produksi kayu bulat tersebut tercatat di Kabupaten
SBB hanya sebesar 86.952,94 m³ atau 64,61% dari target sebesar 134.591,21 m³. Rincian
realisasi produksi kayu bulat periode Tahun 2008–2012 per wilayah seperti disajikan pada tabel
5.2.
Tabel 5.2. Target dan Realisasi Produksi Kayu Bulat IUPHHK, IPK dan ILS
Per Wilayah Produksi Tahun 2008-2012

Wilayah Produksi Produski (m³)


2008 2009 2010 2011 2012
Provinsi Maluku 223.979,44 324.226,49 313.770,86 326.171,21 216.310,92
Kabupaten Seram 24.917,01 – 33.357,39 28.678,54 –
Bagian Barat
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Maluku, 2013
Berdasarkan data produksi kayu bulat tersebut di atas menunjukkan bahwa komoditi hasil
hutan khususnya kayu di Maluku terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun, dengan
demikian produk kayu hutan alam tidak lagi bisa diandalkan untuk memberikan kontribusi bagi
pendapatan negara, daerah dan masyarakat diwaktu yang akan datang. Hal ini memberikan
indikasi bahwa pengembangan HHBK baik secara alami maupun teknologi budidaya yang sesuai
akan menjadi harapan dan peluang yang menjanjikan untuk meningkatkan nilai ekonomi dari
sumber daya hutan disamping menjadi prospek yang tinggi untuk meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan, teristimewa di kawasan Kabupaten SBB.
Gambar 5.8 memperlihatkan perkembangan produksi kayu bulat yang terus mengalami
penurunan selama 5 tahun terkhir.
Gambar 5.8.Gafik perkembangan produksi kayu bulat
Di Maluku secara umum dan Kab. SBB secara khusus

5.5. Strategi Pengembangan Damar


Untuk mencapai tujuan pengelolaan HHBK di Kabupaten SBB sebagaimana yang telah
direncanakan dengan komoditas unggulannya Damar maka perlu ditetapkan suatu strategi.
Strategi menjadi penting karena merupakan penyataan rencana yang mencakup banyak hal
secara terpadu yang menghubungkan keunggulan-keunggulan guna mengatasi persoalan yang
datang baik dari internal dan eksternal. Analisis SWOT yang terdiri dari analisis internal dan
eksternal, digunakan untuk menentukan dan menganalisis strategi dimaksud. Analsis
lingkungan internal bertujuan untuk mengidentifikasi dan menjelaskan berbagai faktor yang
menjadi kekuatan (Strength) dan kelemahan (Weakness), di mana kajian internal hakekatnya
merupakan analisis dan evaluasi atas kondisi, kinerja dan permasalahan yang dihadapi dalam
pelaksanaan pembangunan. Sedangkan analisis lingkungan eksternal bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menjelaskan berbagai faktor yang menjadi peluang (Opportunity) dan
ancaman (Threat).

5.5.1. Identifikasi Faktor-faktor Internal dan Eksternal


Beberapa faktor internal dan eksternal dalam menentukan prioritas strategi pengelolaan dan
pengembangan Damar adalah:
(1) Faktor Internal
a. Kekuatan
1. Tingginya potensi sumber daya Damar
2. Tersedianya SDM (petani pengumpul) pengelola Damar
3. Tersedianya sarana dan prasarana transportasi yang memadai
4. Adanya fasilitasi pemerintahan dalam pengembangan Damar
5. Adanya kearifan lokal dalam melindungi hutan dan menjaga ketersediaan produk Damar
b. Kelemahan
1. Rendahnya tingkat pendidikan petani pengumpul Damar
2. Minimnya penguasaan teknologi pengelolaan Damar
3. Pemungutan damar masih bersifat tradisional
4. Kualitas produk Damar rendah
5. Belum tersedianya kelembagaan petani pengumpul Damar
6. Keterbatasan biaya dalam pengembangan Damar
7. Minimnya informasi pasar Damar
8. Pemanfaatan Damar tidak terkendali
9. Berkurangnya potensi Damar
(2) Faktor Eksternal
a. Peluang
1. Tersedianya lahan hutan sebagai penghasil produk Damar
2. Daya dukung lahan untuk budidaya masih sangat luas
3. Adanya dukungan pemerintah dalam pengembangan Damar
4. Adanya regulasi yang mendorong pengembangan Damar
5. Adanya permintaan pasar yang tinggi terhadap produk Damar
b. Ancaman
1. Maraknya kegiatan pembalakan liar
2. Adanya kegiatan perladangan berpindah yang mengancam ekosistem hutan termasuk
Damar
3. Peningkatan jumlah penduduk yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan lahan
untuk pemukiman dan pertanian
4. Belum adanya batas-batas antar desa yang jelas mengakibatkan terjadinya konflik
kepentingan lahan
5. Pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan di luar kegiatan kehutanan
6. Pemberian izin usaha pemanfaatan hutan

5.5.2 Evaluasi Faktor-faktor Internal dan Eksternal


Analisis SWOT yang terdiri dari analisis internal dan eksternal digunakan untuk menentukan dan
menganalisis strategi dalam pengembangan damar. Hasil skoring faktor internal dan eksternal
yang diperoleh berdasarkan rating dan pembobotan terhadap faktor-faktor internal dan
eksternal yang dibuat berdasarkan pendapat para pemangku kepentingan, secara lengkap
scoring disajikan pada Tabel 5.3 dan Tabel 5.4 matriks IFAS dan Mattiks EFAS.

Tabel 5.3. Matriks IFAS Hasil Pembobotan, Rating, dan Scoring


Faktor Dimensi Internal Bobot Rating Skor
Kekuatan (S)
1. Tingginya potensi sumber daya Damar 0,1208 3,54 0,4275
2. Tersedianya SDM (petani pengumpul) pengelolan Damar 0,0993 2,92 0,2903
3. Tersedianya sarana dan prasarana transportasi yang memadai 0,0916 2,69 0,2466
4. Adanya fasilitas pemerintahan dalam pengembangan Damar 0,0890 2,62 0,2329
5. Adanya kearifan lokal dalam melindungi hutan dan menjaga ketersediaan produk
Damar 0,1205 3,54 0,4264
1,6239
Kelemahan (W)
1. Rendahnya tingkat pendidikan petani pengumpul Damar 0,0471 1,38 0,0652
2. Minimnya penguasaan teknologi pengelolaan Damar 0,0463 1,38 0,0641
3. Pemungutan Damar masih bersifat tradisional 0,0392 1,15 0,0452
4. Kualitas produk Damar rendah 0,0389 1,15 0,0449
5. Belum tersedianya kelembagaan petani pengumpul Damar 0,0341 1,00 0,0341
6. Keterbatasan biaya dalam pengembangan damar 0,0673 2,00 0,1347
7. Minimnya informasi pasar Damar 0,0570 1,69 0,0965
8. Pemanfaatan Damar tidak terkendali 0,0746 2,23 0,1665
9. Berkurangnya potensi Damar 0,0737 2,15 0,1589
TOTAL 0,8105

Tabel 5.4. Matriks EFAS Hasil Pembobotan, Rating, dan Scoring

Faktor Dimensi Internal Bobot Rating Skor


Peluang (O)
1. Tersedianya lahan hutan sebagai penghasil produk Damar 0,1261 3,54 0,4462
2. Daya dukung lahan untuk budidaya masih sangat luas 0,1354 3,85 0,5211
3. Adanya dukungan pemerintah dalam pengembanagn Damar 0,0589 1,69 0,0998
4. Adanya regulasi yang mendorong pengembangan Damar 0,0513 1,46 0,0751
5. Adanya permintaan pasar yang tinggi terhadap produk Damar 0,1168 3,38 0,3953
1,5376
Tantangan (T)
1. Maraknya kegiatan pembalakan liar 0,0870 2,54 0,2208
2. Adanya kegiatan perladangan berpindah yang mengancam ekosistem hutan termasuk
Damar 0,1054 3,08 0,3243
3. Peningkatan jumlah penduduk yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan lahan
untuk pemukiman dan pertanian 0,0972 2,85 0,2766
4. Belum adanya batas-batas antar desa yang jelas mengakibatkan terjadinya konflik
kepentingan lahan 0,0962 2,77 0,2664
5. Pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan di luar kegiatan
kehutanan 0,0646 1,92 0,1243
6. Pemberian izin usaha pemanfaatan hutan 0,0606 1,85 0,1120
TOTAL 1,3247

Berdasarkan hasil pengolahan data pada matrik evaluasi faktor strategis internal dan eksternal,
didapatkan besaran nilai dari masing-masing matrik, yang kemudian akan dimasukan kedalam
analisa kuadran.
 Nilai Matrik Evaluasi Faktor Strategis Internal:
Total Kekuatan – Total Kelemahan
1,62 – 0,81 = 0,81
 Nilai Matrik Evaluasi Faktor Strategis Eksternal:
Total Peluang – Total Ancaman
1,53 – 1,32 = 0,21

Berdasarkan Gambar 5.9, hasil analisis kuadran menunjukkan bahwa posisi pengelolaan Damar
berada pada Kuadran I. Kuadran I menggambarkan penggunaan seluruh kekuatan untuk
memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.
5.5.3 Alternatif Strategi Pengembangan Damar
Dari hasil analisa SWOT yang dilakukan, pengelolaan Damar di Kabupaten SBB menempati
posisi pada Kuadran I diagram SWOT. Beberapa strategi SO (Strength Opportunities) yang
menjadi alternatif meliputi:
a. Peningkatan jumlah dan mutu produksi damar
Hasil hutan bukan kayu (Damar) merupakan jenis tanaman yang tumbuh, baik di dalam
maupun di luar kawasan hutan. Peranan Damar sudah dirasakan masyarakat sebagai salah satu
sumber pendapatan, namun sistem pengelolaanya masih bersifat tradisional sehingga kualitas
yang dihasilkan masih jauh dari standar yang diharapkan dan harganya masih relatif rendah.
Dalam hal ini strategi pengembangan berupa budidaya berbasis agroforestry dapat dilakukan
dengan memperhatikan jumlah penduduk usia produktif, partisipasi masyarakat, dukungan
pemerintah, permintaan pasar yang mendukung dalam pengembangan Damar. Selanjutnya
untuk memperkuat pengembangan pohon penghasil Damar dapat dilakukan dengan
intensifikasi dan ekstensifikasi yang diharapkan mampu meningkatkan jumlah dan mutu
produksi.
b. Penguatan Kelembagaan dan peraturan perundangan
Penguatan kelembagaan akan memberikan manfaat jika setiap aktivitasnya didasarkan pada
kondisi sosial budaya masyarakat dan potensi yang ada di masyarakat sekitar
hutan. Karenanya diperlukan suatu program khusus yang secara spesifik dapat mendorong
pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.Program Penguatan Kelembagaan dimaksudkan agar
terjalin hubungan jejaring kerja antara semua stakeholder mulai dari pemerintah, pengusaha,
petani, peneliti, perguruan tinggi dan LSM untuk mendapatkan informasi tentang supply dan
harga serta teknologi sehingga komuditas Damar mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Selain
itu penyusunan peraturan dan perundang-undangan serta pedoman untuk mendorong
berkembangnya usaha Damar.
c. Peningkatan sumber daya manusia
Peningkatan sumber daya manusia (manajemen usaha tani) melalui pendidikan / pelatihan
untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan wawasan. Melalui peningkatan kapasitas petani
dengan berbagai cara seperti melalui pelatihan teknik budidaya dan pengolahan hasil secara
rutin akan meningkatkan profesionalisme masyarakat untuk memanfaatkan peluang yang ada.
d. Pengembangan Permodalan dan Pemasaran
Peningkatan kemampuan modal usaha tani dengan mengupayakan kemudahan sumber
permodalan bagi petani dan pengusaha serta turut mengembangkan sistem pemasaran hasil
Damar dengan kegiatan seperti : (1) Fasilitasi modal usaha kepada petani melalui subsidi
maupun kredit yang disesuaikan dengan kondisi setempat; (2) Peningkatan akses masyarakat
terhadap modal dan pasar dalam usaha Damar; (3) Peningkatan promosi potensi pemanfaatan
dan pengolahan Damar. Dengan adanya strategi pemasaran yang baik maka akan memenuhi
permintaan pasar terhadap Damar pada tingkat standar yang sesuai dengan kebutuhan
konsumen.

5.6 Prioritas Strategi Pengelolaan Damar


Untuk mengetahui prioritas strategi yang akan diimplementasikan, maka dilakukan evaluasi
pilihan strategi alternatif dengan pendekatan Quantitative Strategies Planning Matrix (QSPM).
Tahapan ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan strategi mana yang dianggap paling
baik untuk diimplementasikan. Matriks QSPM akan menentukan keterkaitan relatif (relative
attractiveness) strategi terhadap faktor-faktor kunci (key factors) dari lingkungan internal
dan eksternal. Beberapa strategi SO (Strength oppurtunities) yang dipilih yaitu :
1. Peningkatan jumlah dan mutu produksi damar
2. Penguatan Kelembagaan Desa
3. Peningkatan sumber daya manusia
4. Pengembangan Permodalan dan Pemasaran
Berdasarkan perhitungan QSPM dapat diketahui prioritas strategi yang ditentukan dengan
melakukan ranking terhadap strategi-strategi yang didasarkan pada nilai TAS dari yang terbesar
sampai terkecil. Urutan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.5.

Tabel 5.5. Hasil Pemeringkatan Matriks Quantitative Strategic Planning (QSPM)


No Alternatif Strategi TAS
1. Peningkatan jumlah dan mutu produksi Damar 3,61
2. Penguatan Kelembagaan desa dan peraturan perundangan 3,46
3. Peningkatan sumber daya manusia 3,55
4. Pengembangan permodalan dan pemasaran 3,40

Berdasarkan hasil pemeringkatan Matriks Quantitative Strategic Planing (QSPM) di atas, maka
strategi yang diprioritaskan untuk pengelolaan dan pengembangan Damar di Kabupaten SBB
adalah peningkatan jumlah dan mutu produksi damar dengan nilai TAS = 3,61, diikuti dengan
peningkatan sumber daya manusia TAS = 3,55, Penguatan Kelembagaan Desa TAS = 3,46,
serta perlu adanya pengembangan permodalan dan pemasaran TAS = 3,40.
Berdasarkan uraian hasil penelitian di atas yang telah menempatkan damar sebagai komoditas
HHBK unggulan daerah Provisi Maluku dengan 4 strategi prioritas, maka untuk mendorong
percepatan pelaksanaan strategi-strategi mengembangkan komoditas unggulan tersebut untuk
mencapai hasil-hasil yang maksimal, perlu dipetakan peran pelaku utama ke dalam lini-lini
kegiatan dan hubungan keterkaitan antar lini dalam pengembangan HHBK. Pelaku utama
dikelompokkan dalam lini-lini kegiatan sebagai berikut:
a. Lini : Fasilitasi, Regulasi
b. Lini : Litbang
c. Lini : Produksi
d. Lini : Industri
e. Lini : Pemasaran
f. Lini : Penyuluhan dan Pengembangan SDM
g. Lini : Inkubasi dan BDS

Hubungan antar lini diatur berdasarkan penetapan kelompok institusi, kegiatan operasional dan
keluaran yang harus dihasilkan dari tiap-tiap lini seperti tercantum pada tabel 5.6.

Tabel. 5.6. Hubungan Antar Lini Dalam Pengembangan HHBK

No Lini Institusi Kegiatan Operasional Keluaran (Output)


1 Litbang 1. Balitbang
2. PT
3. R&D Dlm Negeri
4. R&D Luar Negeri 1. Kajian prosesing
2. Kajian budidaya
3. Kajian Sosek
4. Kajian nilai tambah
5. Kajian kriteria dan standar 1. Paket-paket teknologi produksi
2. Paket teknologi budidaya
3. Kosep pemberdayaan
4. Kriteria dan Standar Pengembangan HHBK
2 Fasilitasi 1. Kemenhut
2. Pemda ProvKab
3. Instansi terkait (Perindag, dll)
1. Penguatan kelembagaan
2. Pemberian insentif berupa pilot proyek, kemudahan pendanaan, dll
3. Pemberdayaan masyarakat
4. Penyiapan regulasi yg kondusif
1. Kebijakan pemanfaatan lahan
2. Kebijakan pemberian insentif (HTR, Bank, dll)
3. Kebijakan kepastian pasar para pihak terkait
4. Asosiasi pelaku usaha dan kelembagaan kelompok tani pengembangan HHBK
5. Bertambah masyarakat pengembang HHBK
3 Porduksi Bahan Baku 1. Pelaku usaha (BUMN, BUMS), koperasi
2. Kelompok tani
1. Budidaya
2. Terapan teknologi seperti stek, kultur jaringan, dll
1. HHBK sebagai bahan baku industri
2. HHBK sebagai bahan pangan, serat, obat (konsumsi langsung)
4 Industri 1. Pelaku usaha (BUMN, BUMS), koperasi
2. Kelompok tani 1. Proses untuk peningkatan nilai tambah
2. Ketersediaan bahan baku sesuai kapasitas industri
3. Desain produksi sesuai pasar
1.Produksi olahan untuk:
a. Pasar dalam negeri
b. Pasar luar negeri

5 Pemasaran 1. Dephut
2. Dep. Perindustrian,
3. Dep. Perdagangan
1. Penyebarluasan informasi
2. Promosi
3. Melakukan analisis pasar
1. Munculnya unit-unit usaha
2. Pemahaman oleh masyarakat
3. Permintaan HHBK

Guna mendorong pelaksanaan percepatan penerapan strategi pengembangan komoditi damar


di Kabupaten SBB, penulis merekomendasikan penggunaan model pendekatan pengembangan
HHBK sesuai kebijakan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2009 yaitu
Pendekatan Klasterisasi Damar. Klaster adalah kelompok yang terdiri atas jejaring pengusaha
yang secara bersama-sama memajukan kesejahteraan di tingkat wilayah melalui penguasaan
dan pengendalian rantai suplai dan rantai nilai. Klaster menjadi perangkat deskriptif
pengembangan ekonomi wilayah yang mengandung makna yang lebih kaya untuk mendorong
perubahan di dalam dinamika di lokasi penelitian. Klaster merepresentasikan rantai suplai dari
suatu spektrum aliran produk dan jasa yang saling berkaitan yang didukung oleh penyediaan
infrastruktur fisik dan infrastruktur ekonomi. Klaster menyediakan nilai tambah tenaga kerja,
baik tenaga kerja rendah maupun tenaga kerja yang berkenaan dengan nilai tambah tinggi.
Klasterisasi pengembangan damar berimplikasi pada penataan konfigurasi industri pada
spektrum barang dan jasa yang melayani pengembangan damar pada tingkatan industri dan
jasa berikut ini:
 Resource-based industry, yang dimulai dari usaha produktif pengumpulan atau budidaya
bahan asalan Damar dan pengolahan hulu Damar serta industri bahan penolong.
 Low-technology industry, yang meliputi fasilitas pemrosesan produk Damar untuk dijual
kepada konsumen melalui teknologi konvensional non-automatic.
 Medium-technology industry, yakni usaha pengolahan Damar melalui proses-proses
automatic maupun kimia sebelum disajikan kepada konsumen.
 Jasa perdagangan perantara.
 Jasa perdagangan lokal.
 Jasa perdagangan antar pulau.
 Jasa perdagangan internasional.
Manfaat Pengembangan Damar Berbasis Klaster yaitu :
1. Dapat mengkonsentrasikan inovasi produksi, manajemen dan pemasaran
2. Mengintegrasikan proses produksi dan rantai suplai dalam peningkatan daya saing.
3. Untuk mempertemukan mitra usaha dalam mekanisme transaksi yang menjamin
keberlanjutan bisnis.
4. Untuk memonitor efektivitas keterkaitan usaha di dalam kesatuan rantai nilai.
5. Untuk membangun gugus kerja berkualitas.
6. Untuk membangun pemasaran yang efektif dalam rangka peningkatan daya saing sisi
permintaan..
7. Untuk mengefisienkan pelayanan finansial.
8. Untuk mencegah praktek kecurangan usaha.
Model pelaksanaan pembangunan klaster setidaknya mencakup tiga tahapan besar, yakni
tahapan inisiasi, tahapan peningkatan produksi, dan tahapan peningkatan daya saing melalui
kualitas dan inovasi. Menjadi jelas kiranya bahwa pembangunan klaster damar tidaklah sekedar
memperbanyak produksi pada suatu wilayah, tetapi lebih dari itu menyangkut pengembangan
keterkaitan bisnis di dalam jejaring yang teratur, disertai dengan peningkatan kualitas dan
pengembangan inovasi produk dan jasa serta manajemen bisnis sebagaimana gambar 5.10.

Gambar 5.10. Tahapan dan Proses Pengembangan Komoditi HHBK Damar


Pola pembinaan yang dikembangkan dapat mengembangkan pola klaster maupun
mengkombinasikan dengan lainnya sehingga pengambil kebijakan Pusat dengan para pihak di
daerah (Pemda, UPT, Bank maupun lembaga keuangan non bank di buat skim pendanaan)
dapat bersinergi.
Pemerintah sebagai pemicu (trigger) dalam pengembangan HHBK dapat berperan antara lain
dalam hal:
1. Membangun Pilot Project pengembangan HHBK dengan Pola BOT (Built, Operate, Transfer)
dalam hal ini pemerintah membangun unit HHBK secara langsung mulai dari produksi bahan
baku sampai unit-unit industri pengolahannya. Selain itu menyiapkan SDM, Sarana Prasarana
kemudian secara bertahap diserahkan ke Kelompok Tani untuk dikelola lebih lanjut.
2. Menyiapkan Sarana Prasarana produksi untuk diberikan kepada kelompok-kelompok yang
akan membentuk unit-unit pengembangan tanaman penghasil resin Damar, sarana produksi
dapat berupa: benih unggul (materi genetik unggul), mesin pemroses, pupuk dll, sehingga
produk Damar yang dihasilkan dapat memenuhi Standar Nasional Indonesia/Internasional.
3. Membantu Penguatan Kelembagaan antara lain melalui:
– Penyiapan Pedoman;
– Pelatihan Teknis;
– Pelatihan Manajerial;
– Studi banding;
– Pertemuan, seminar, diskusi;
– Pemasaran.
– Promosi

VI. KESIMPULAN DAN SARAN


6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terkait dengan analisis penetapan komoditas
unggulan HHBK dan strategi pengembangan di Kabupaten SBB sebagaimana yang telah
dijelaskan maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Berkaitan dengan pemanfaatan HHBK, di Kabupaten SBB terdapat 3 (tiga) komoditi yaitu
Kayu Putih, Damar, dan Sagu yang telah diusahakan secara serius oleh masyarakat setempat
baik secara kelompok maupun perorangan/individu dengan keterlibatan pihak pemerintah dan
swasta, sehingga telah menggerakan perekonomian masyarakat di dalam dan di sekitar hutan.
2. Penyebaran dan perkiraan luas panen serta produksi ketiga komoditi tersebut (Damar,
Kayu Putih dan Sagu) sesuai hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditi Damar tersebar di 4
kecamatan dengan luas panen 5,087 Ha dengan perkiraan potensi produksi ± 1.526,10 ton,
sedangkan komoditi Kayu Putih tersebar 8 kecamatan dengan total luas panen
18.094 Ha dengan perkiraan potensi produksi ± 54.282 ton, serta komoditi sagu tersebar
hampir di semua kecamatan dengan luas panen 3.712 Ha dan potensi produksi ± 97.944 ton.
Dari potensi produksi HHBK tersebut terdapat produksi riil dari masing-masing komoditi yang
telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Produksi damar 5 tahun terakhir 2008-2012 sebesar
1.910,50 ton, kayu putih 114,85 ton dan sagu 233,49 ton.
3. Nilai LQ yang merupakan hasil perbandingan antara produksi riil komoditi HHBK satu
wilayah (skala kabupaten) dengan total produksi seluruh wilayah (skala provinsi) menunjukkan
bahwa komoditi Damar memiliki nilai terbesar yaitu 2,05, diikuti oleh komoditi Sagu dengan
nilai 0,70 dan Kayu Putih 0,23. Dengan demikian dapatlah ditetapkan bahwa komoditas HHBK
jenis Damar merupakan komoditas basis di Kabupaten SBB.
4. Hasil analisis kriteria dan indikator HHBK unggulan menunjukkan bahwa nilai indikator
tertimbang kriteria ekonomi sebesar 23,33, biofisik dan lingkungan sebesar 8,00, kelembagaan;
10,00, sosial; 12,50, dan teknologi; 5,00, maka Total Nilai Indikator Tertimbang (NIT) adalah
58,83. Dengan hasil perhitungan nilai unggulan HHBK komoditas Damar di Kabupaten SBB yang
menunjukkan bahwa TNU Damar adalah 58,83, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
Damar merupakan komoditas unggulan Provinsi Maluku (berada pada Tingkat Nilai Unggulan
(TNU) dengan nilai antara 54 -77).
5. Evaluasi hasil analisis SWOT terhadap faktor internal dan faktor eksternal untuk
menentukan strategi pengembangan damar menunjukan bahwa nilai total skor kekuatan adalah
1,62 dan kelemahan 0,81 dengan nilai matriks IFAS 0,81 sedangkan nilai total skor peluang
adalah 1,53 dan tantangan 1,32 dengan nilai matriks EFAS 0,21. Hasil analisis kuadran
menunjukkan bahwa posisi pengelolaan damar berada pada Kuadran I, dimana perlu
menggunakan seluruh kekuatan untuk memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. Beberapa
strategi SO (Strength Opportunities) yang dipandang penting untuk menjadi alternatif adalah:
a) Peningkatan jumlah dan mutu produksi damar melalui kegiatan budidaya berbasis
agroforestry, intesifikasi dan ekstensifikasi tanaman, sosialisasi/ penyuluhan mutu produk
damar, fasilitasi pemerintah terhadap teknik pengolahan hasil serta perbaikan sarana dan
prasarana transportasi dari dan ke lokasi pemungutan damar.
b) Penguatan kelembagaan dan peraturan perundangan melalui jejaring kerja antara
pemerintah, pengusaha, petani, peneliti, perguruan tinggi dan LSM, selain itu perlu adanya
asosiasi pedagang dan KUD yang khusus menangani komoditas damar dan akses yang muda
kepada pedagang pengumpul terkait masalah perizinan, selain itu perlu adanya dukungan
berupa Peraturan Menteri, Peraturan Daerah Provinsi Maluku atau Peraturan Daerah Kabupaten
SBB atau peraturan kepala daerah yang terkait dengan pengembangan HHBK khusus komoditas
damar di Kabupaten SBB.
c) Peningkatang sumber daya manusia melalui pendidikan dan latihan secara berkala untuk
meningkatkan kapasitas dan profesionalisme petani terkait dengan teknik budidaya dan
pengolahan hasil serta metode pengembangan sumber daya damar.
d) Pengembangan permodalan dan pemasaran melalui fasilitasi modal usaha, fasilitasi akses
pemasaran dan promosi hasil dan potensi damar, sehingga diharapkan dapat menimbulkan
minat invetasi pedagang besar yang melakukan kerjasama dengan petani dalam
pengembangan komoditas damar di Kabupaten Seram Bagian Barat.
Selain itu hasil perhitungan QSPM menunjukkan bahwa terdapat urutan strategi-strategi
kebijakan prioritas yang perlu dilakukan oleh pemerintah yaitu peningkatan jumlah dan mutu
damar (TAS 3,61), diikuti dengan peningkatan sumberdaya manusia (TAS 3,55), penguatan
kelembagaan desa (TAS 3,46) dan pengembangan permodalan dan akses pemasaran (TAS
3,40).
6.2. Saran
Dari kesimpulan di atas serta demi terlaksananya berbagai strategi pengembangan HHBK
khusus komoditi Damar di Kabupaten SBB sesuai hasil penelitian ini maka penulis menyarankan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Potensi HHBK di Kabupaten SBB cukup besar namun belum diusahakan secara maksimal
hal ini terlihat dari hasil penelitian hanya 3 (tiga) komoditi berupa damar, kayu putih dan sagu
yang telah diusahakan dan dapat menggerakan perekonomian masyarakat dan daerah
setempat dengan demikian diharapkan Pemerintah Daerah Kabupaten SBB dapat mendorong
pengelolaan komoditi HHBK yang lain, sehingga dapat meningkatkan produksi dan penyebaran
yang pada akhirnya akan meningkatkan basis masing-masing komoditas.
2. Komoditas Damar di Kabupaten SBB sesuai hasil penelitian ini merupakan komoditi HHBK
unggulan Provinsi, sehingga Pemerintah Daerah Provinsi Maluku perlu mengembangkan
komoditi tersebut dan menjadikannya sebagai komoditi andalan Maluku dalam mensejahterakan
di dalam dan di sekitar hutan di Kabupaten SBB, dan disisi lain pemanfaatannya tidak merusak
ekologi sehingga konsep hutan lestari masyarakat sejahtera dapat terwujud.
3. Agar Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Maluku dapat mengusulkan kepada Gubernur
Maluku untuk menetapkan Damar sebagai komoditas unggulan Provinsi Maluku dan
disampaikan kepada Menteri Kehutanan Republik Indonesia sebagai dasar dalam penentuan
kebijakan anggaran pengembangan komoditi yang bersangkutan.
4. Perlu adanya dukungan kebijakan-kebijakan untuk melaksanakan strategi prioritas yaitu
kebijakan mutu produk Damar, kebijakan peningkatan kualitas SDM petani Damar, kebijakan
penguatan kelembagaan, kebijakan penetapan harga jual Damar ditingkat petani dan kebijakan
peran pemerintah daerah kabupaten, provinsi dan pemerintah pusat dalam pengembangan
komoditi Damar di Maluku.
5. Pemerintah Provinsi Maluku cq. Dinas Kehutanan Provnsi Maluku perlu mendorong
percepatan pembangun Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) untuk mengintegrasikan konsep
pengelolaan hutan lestari yang pada akhirnya dapat mendukung penerapan strategi
pengembangan komoditi damar di Kabupaten SBB dengan pendekatan klasterisasi
pengembangan damar sebagai HHBK unggulan, penguatan unit pengembangan, pendekatan
kemitraan, pemberian insentif, dan penguatan regulasi dalam mendukung pengembangan
komoditas HHBK bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2008. Sebuah Potensi Bagi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Departemen


Kehutanan. Jakarta, 2008
Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta : Kanisius.
Alwi Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Departemen Pendidikan
Nasional Balai Pustaka.
BPKH Maluku 2012. Neraca Sumber Daya Hutan Provinsi Maluku Tahun 2011, Balai Pemantapan
Kawasan Hutan Wilayah IX, Ambon, 2012.
BPS 2012, Maluku Dalam Angka 2012, BPS Maluku. UD. Aman Jaya.
BPS 2012, Seram Bagian Barat Dalam Angka 2012, BPS Seram Bagian Barat. Siwalima
Printing.
Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. PT.
Pradnya Paramita. Jakarta.
David, Fred R. 2006. Manajemen Strategis. Buku 1, Edisi kesepuluh. Jakarta : Salemba Empat.
David, Fred R. 2009. Manajemen Strategis Konsep. Edisi 12. Salemba Empat, Jakarta.
Dephut 2009a. Arahan Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Departemen
Kehutanan. Jakarta, 2009.
Dephut 2009b. Buku Statistik Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta, 2009.
Harun, M.K. 2009. Saatnya Berpikir Hutan Bukan Hanya Kayu. Jakarta, 2009
Hatta, V. 2009. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Perlu Kearifan. Jakarta, 2009
Hendayana, R. 2003. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) Dalam Penentuan Komoditas
Unggulan Nasional. Litbang Departemen Pertanian, Jakarta 2002.
Himpunan Peraturan Perundang – Undangan Tentang Kehutanan dan Illegal Logging. 2007.
Bandung : Fokusmedia.
Isserman, Andrew.M. 1977 ‘ The Location Quotient Approach for Estimating Regional Economic
Impacts’, AIP Journal
Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II. 2009. Kriteria dan Indikator
Penetapan Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan. Jakarta : Departemen Kehutanan.
Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan No. P.21/Menhut-II. 2009. Strategi Pengembangan
Hasil Hutan Bukan Kayu Nasional. Jakarta : Departemen Kehutanan.
Miller. M..M, J.L.Gibson, & G.N. Wright .1991. ‘Location Quotient Basic Tool for
Economic Development Analysis’ Economic Development Review, 9(2);65
Peter dan Yenny Salim. 2002. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English
Press.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.36 tahun 2008 tentang Izin Usaha Pemafaatan Hasil
Hutan Bukan Kayu Dalam Hutan Alam (IUPHHBK-HA) atau Dalam Hutan Tanaman (IUPHHBK-
HT) pada Hutan Produksi, Jakarta : Departemen Kehutanan.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37 tahun 2007 tentang Izin Usaha Pemanfaatan HKm
(IUPHKm), Jakarta : Departemen Kehutanan.
Purimahua F. 2010. Kontribusi Sektor Kehutanan Terhadap Pendapatan Daerah Di Maluku
(Penekanan Pada Hasil Hutan Kayu) Sripsi. Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan Universitas
Pattimura Ambon, 2010.
Rangkuti F. 2008. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Reorientasi Konsep
Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta.
Robinson, Pearce. 2008. Manajemen Strategis. Formulasi, Implementasi, dan Pengendalian.
Buku 1, Edisi 10. Jakarta : Salemba Empat.
Ron Hood, 1998. Economic Analysis: A Location Quotient. Primer. Principal Sun Region
Associates, Inc.
Rostiwati, dkk. 2010. Silvikultur Tanaman Penghasil Hasil Hutan Bukan Kayu. Puslitbang
Peningkatan Produktivitas Hutan, Bogor.
Rusastra, I W., B. Sayaka, dan Saptana. 2002. Kebijakan harga dan subsidi faktor produksi.
Dalam T. Sudaryanto, I W. Rusastra, A. Syam, dan M. Ariani (Ed.). Analisis Kebijakan:
Paradigma pembangunan dan kebijakan pengembangan agro industri. Monograph Series No.
21. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Spurr, 1973. Forest Ekology. Firts Edition, Jhon Wiley and Sons Inc, New York.
Suwanda R. 1985. Jenis-Jenis Kayu Di Maluku Utara dan Maluku Selatan, Jakarta.
Suharso dan Ana Retnoningsih. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Lux.
Semarang:Widya Karya.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan, Sekretaris Negara RI, Jakarta.

Tentang iklan-iklan ini

Vous aimerez peut-être aussi