Vous êtes sur la page 1sur 22

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA


Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo 5-25 Yogyakarta 55224

Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung dan Tenggorokan


Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta

Nama : Rani Oktaviani


NIM : 42100075
Dosen Pembimbing Klinik : dr. Arin Dwi Iswarini, Sp. THT-KL, M.Kes

AUDIOMETRI DAN TIMPANOMETRI

I. AUDIOMETRI NADA MURNI


Definisi
Pemeriksaan audiometri digunakan untuk mengevaluasi fungsi pendengaran.
Pemeriksaan audiometri nada murni tergolong dalam pemeriksaan audiologi dasar. Prosedur
pemeriksaan ini tidak terlalu rumit dan boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih.
Pemeriksaan ini dilakukan menggunakan alat audiometer yang menghasilkan nada murni yaitu
bunyi yang hanya terdiri dari satu frekuensi. Hasil pemeriksaan audiometri dikenal sebagai
audiogram. (Indro S dkk, 2007)
Audiometri berasal dari kata audire dan metrios yang berarti mendengar dan mengukur
(uji pendengaran). Audiometri tidak saja dipergunakan untuk mengukur ketajaman pendengaran,
tetapi juga dapat dipergunakan untuk menentukan lokalisasi kerusakan anatomis yang
menimbulkan gangguan pendengaran. (Indro S dkk, 2007)
Audiometer nada murni merupakan prosedur uji sensitivitas masing masing telinga
dengan menggunakan alat listrik yang dapat menghasilkan bunyi nada-nada murni dari frekuensi
bunyi yang berbeda beda, yaitu 250, 500, 1000, 2000, 4000 dan 8000 Hz dan dapat diatur
intensitasnya dalam satuan desibel (dB). Bunyi yang dihasilkan disalurkan melalui ear phone
atau melalui bone conductor ke telinga orang yang diperiksa pendengarannya. Hasilnya akan

1
diperiksa secara terpisah, untuk bunyi yang disalurkan melalui ear phone mengukur ketajaman
pendengaran melalui hantaran udara, sedangkan melalui bone conductor telinga mengukur
hantaran tulang pada tingkat intensitas nilai ambang. Dengan membaca audiogram yang
dihasilkan kita dapat mengetahui jenis dan derajat kurang pendengaran seseorang. Gambaran
audiogram rata-rata sejumlah orang yang berpendengaran normal dan berusia sekitar 18-30 tahun
merupakan nilai ambang baku pendengaran untuk nada murni. (Indro S dkk, 2007)
Tujuan pemeriksaan adalah menentukan tingkat intensitas terendah dalam dB dari tiap
frekuensi yang masih dapat terdengar pada telinga seseorang, dengan kata lain ambang
pendengaran seseorang terhadap bunyi. (Indro S dkk, 2007)

Manfaat Audiometri
1. Untuk kedokteran klinik , khususnya menentuksn penyakit telinga
2. Untuk kedokteran kehakiman, sebagai dasar tuntutan ganti rugi
3. Untuk kedokteran pencegahan, mendeteksi ketulian pada anak-anak, pekerja pabrik. (Indro S
dkk, 2007)

Tujuan Audiometri
Ada empat tujuan audiometri, yaitu:
1. Kegunaan diagnostik penyakit telinga
2. Mengukur kemampuan pendengaran dalam menangkap percakapan sehari-hari. Atau
validitas sosial pendengaran seperti untuk tugas dan pekerjaan, apakah butuh alat bantu
dengar, ganti rugi seperti dalam bidang kedokteran kehakiman dan asuransi.
3. Skrining pada anak balita dan sekolah dasar
4. Monitor pekerja yang bekerja di tempat bising. (Indro S dkk, 2007)

Istilah dalam Audiometri Nada Murni


 Nada murni (pure Tone): merupakan bunyi yang hanya mempunyai satu frekuensi,
dinyatakan dalam jumlah getaran per detik
 Bising: merupakan bunyi yang mempunyai banyak frekuensi, terdiri dari spectrum
terbatas (Narrow band), spektrum luas (White noise)

2
 Frekuensi : merupakan nada murni yang dihasilkan oleh getaran suatu benda yang
sifatnya harmonis sederhana (simple harmonic motion). Dengan satuannya dalam jumlah
getaran per detik dinyatakan dalam Hertz (Hz)
 Intensitas bunyi: dinyatakan dalam desibel (dB). Dikenal dB HL (hearing level), dB SL
(sensation level), dB SPL (sound pressure level). dB HL dan dB SL dasarnya adalah
subjektif, dan inilah yang biasanya digunakan pada audiometer, sedangkan dB SPL
digunakan apabila ingin mengetahui intensitas bunyi yang sesungguhnya secara fisika
(ilmu alam).
 Ambang dengar: merupakan bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi tertentu
yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat ambang dengar menurut
konduksi udara (AC) dan menurut konduksi tulang (BC). Bila ambang dengar ini
dihubung-hubungkan dengan garis, baik AC maupun BC, maka akan didapatkan
audiogram.
 Nilai nol audiometrik (audiometric zone) dalam dB HL dan dB SL, yaitu intensitas
nada murni yang terkecil pada suatu fekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh
telinga rata-rata dewasa muda yang normal (18-30 tahun). Pada tiap frekuensi intensitas
nol audiometrik tidak sama. Pada audiogram angka-angka intensitas dalam dB bukan
menyatakan kenaikan linier, tetapi merupakan kenaikan logaritmik secara pembanding.
Terdapat dua standar yang dipakai adalah ISO (International Standard Organization) dan
ASA (American standard Association). Dengan nilai berupa
0dB ISO = -10 dB ASA atau 10dB ISO = 0 dB ASA
 Notasi pada audiogram. Untuk pemeriksaan audiogram dipakai grafik AC, yaitu dibuat
dengan garis lurus penuh (intensitas yang diperiksa antara 125 – 8000 Hz) dan grafik BC
yaitu dibuat dengan garis terputus-putus (intensitas yang diperiksa: 250 – 4000 Hz).
Untuk telinga kiri dipakai warna biru sedangkan untuk telinga kanan, warna merah.

3
Gambar 1. Notasi Audiogram

 Grafik audiogram, garis vertical menandakan frekuensi. 125 Hz pada garis vertical
paling kiri grafik menandakan frekuensi nada rendah. Semakin ke kanan maka frekuensi
nada makin tinggi (gambar 2a). Frekuensi berbicara terdapat pada 500- 3000 Hz. Garis
horizontal menyatakan intensitas suara. 0 dB pada garis paling atas menandakan suara
yang sangat lemah, dan semakin kebawah intensitas bunyi makin tinggi (gambar 2b).
(Indro S dkk, 2007)

4
Gambar 2. a, Analogi garis vertical pada grafik audiogram; b,Analogi garis horizontal pada
grafik audiogram

Cara Pemeriksaan Audiometri Nada Murni


1. Manual audiometry, juga dikenal sebagai conventional audiometry
2. Automatic audiometry, juga dikenal sebagai Békésy audiometry
3. Computerized audiometry. (Indro S dkk, 2007)

Syarat pemeriksaan Audiometri Nada Murni


1. Alat Audiometer
Audiometer yang tersedia di pasaran terdiri dari enam komponen utama yaitu;
a. Oksilator yang menghasilkan berbagai nada murni,
b. amplifier untuk menaikkan internsitas nada murni hingga dapat terdengar,
c. pemutus (interrupter) yang memungkinkan pemeriksamenekan dan mematikan
tombol nada murni secara halus tanpa tedengar bunyi lain,
d. attenuator agar pemeriksa dapat menaikkan dan menurunkan intensitas ke tingkat
yang dikehendaki,
e. earphone yang mengubah gelombang listrik menjadi bunyi yang dapat didengar,

5
f. sumber suara pengganggu (masking) yang sering diperlukan untuk meniadakan bunyi
ke telinga yang tidak diperiksa. Narrow band masking noise atau garis selubung suara
sempit merupakan suara putih atau white noise (sejenis suara mirip aliran uap atau
deru angin) yang sudah disaring dari enegi suara yang tidak dubutuhkan uantuk
menyelubungi bunyi tertentu yang sedang digarap. Ini adalah bunyi masking yang
paling efektif untuk audiometerik nada murni.
Pada audiometri terdapat pilihan nada dari oktaf yaitu 125, 250, 500, 1000, 2000, 4000
dan 8000 Hz yang memungkinkan intensitas lebih dari 110 dB. Standar alat yang digunakan
berdasarkan BS EN 60645-1(IEC 60645-1). (Indro S dkk, 2007)
Alat audiometer harusnya selalu dapat dikalibrasi dengan exhaustive electroacoustic
calibrations oleh badan pengkalibrasian nasional. Pemeriksaan termasuk pemeriksaan cara
pakai, dan penyesuaian bioakustik seharusnya dilakukan tiap hari sebelum digunakan, sesuai
standar BS EN ISO 389 series. (Indro S dkk, 2007)
2. Lingkungan Pemeriksaan yang Baik
Orang yang diperiksa seharusnya dapat dilihat sepenuhnya oleh pemeriksa. Orang
tersebut tidak boleh melihat atau mendengar pemeriksa dan audiometernya. Pemeriksaan
dilakukan di dalalam ruangan dengan tingkat kebisingan terendah sehingga kepekaan
pendengaran pasien tidak terganggu. Suara tambahan tidak boleh lebih dari 38 dB. Pemeriksaan
ini sesuai standard BS EN ISO 8253-1. (Indro S dkk, 2007)
3. Kontrol Infeksi
Alat yang telah terkena kontak dengan pasien harus dilakukan prosedur kontrol infeksi.
Alat yang dipakai harus dibersihkan dan disinfeksi setiap kali pemakaian. Pemakaian disposable
ear phone sangat direkomendasikan. Pemeriksa harus cuci tangan dengan sabun ataupun alkohol
sebelum menyentuh pasien. (Indro S dkk, 2007)

Teknik Pemeriksaan
Sebelum dilakukan pemeriksaan, anamnesis mengenai riwayat penyakit harus telah
didapatkan dan pemeriksaan otoskopi telah dilakukan. Tanyakan apakah menderita tinnitus atau

6
apakah tidak tahan suara keras. Tanyakan pula telinga yang mendengar lebih jelas. Usahakan
pasien lebih kooperatif. (Indro S dkk, 2007)
 Pemeriksaan liang telinga
Hanya untuk memastikan kanal tidak tersumbat. Telinga harus bebas dari
serumen. Alat bantu dengar harus dilepas setelah instruksi pemerisa sudah dijalankan.
(Indro S dkk, 2007)
 Pemberian instruksi
Berikan perintah yang sederhana dan jelas. Jelaskan bahwa akan terdegar
serangkaian bunyi yang akan terdengar pada sebelah telinga. Pasien harus memberikan
tanda dengan mengangkat tangannya, menekan tombol atau mengatakan “ya” setiap
terdengar bunyi bagaimanapun lemahnya. (Indro S dkk, 2007)
 Pemasangan earphone atau bone conductor
Lepaskan dahulu kacamata atau giwang, regangkan headband, pasangkan di
kepalanya dengan benar, earphone kanan ditelinga kanan kemudian kencangkan sehingga
terasa nyaman. Perhatikan membrane earphone tepat di depan liang telinga di kedua sisi.
(Indro S dkk, 2007)
 Seleksi telinga
Mulailah dengan telinga yang sehat dahulu. (Indro S dkk, 2007)
 Urutan frekuensi
Prosedur dasar pemeriksaan ini adalah, a) dimulai dengan signal nada yang sering
didengar (familiarization), b) pengukuran ambang pendengaran. Dua cara menentukan
nada familiarization: (Indro S dkk, 2007)
a. Dengan memulai dari 1000 Hz, dimana pendengaran paling stabil, lalu secara
bertahap meningkatkan oktaf lebih tinggi hingga terdengar.
b. Pemberian nada 1000 Hz pada 30 dB. Jika terdengar, lakukan pemeriksaan
ambang pendengaran. Jika tidak terdengar nada awal di tinggkatkan intensitas
bunyi hingga 50 dB, dengan menaikkan tiap 10 dB hingga tedengar.
Familiarization tidak selalu dilakukan pada setiap kasus. Terutama pada kasus
forensic atau pasien dengan riwayat ketulian. (Indro S dkk, 2007)

7
Interpretasi Audiogram
Terdapat ambang dengar menurut konduksi udara (AC) dan menurut konduksi tulang
(BC). Apabila ambang dengar ini dihubungkan dengan garis, baik AC maupun BC, maka akan
didapatkan didalam audiogram. (Indro S dkk, 2007)
1. Audiogram Normal
Secara teoritis, bila pendengaran normal, ambang dengar untuk hantaran udara
maupun hantaran tulang tercatrat sebesar 0 dB. Pada anakpun keadaan ideal seperti ini
sulit tercapai terutam pada frekuensi rendah bila terdapat bunyi lingkungan (ambient
noise). Pada keadaan tes yang baik, audiogram dengan ambang dengar 10 dB pada 250,
500 Hz 0 dB pada 1000, 2000,4000, 10000 Hz pada 8000 Hz dapat dianggap normal.
(Indro S dkk, 2007)

Gambar 3. Gamban audiogram pada orang normal 5

2. Gangguan dengar Konduktif


Diagnosis gangguan dengar kondukstif ditegakkan berdasarkan prinsip bahwa
gangguan konduktif (telinga tengah) menyebabkan gangguan hantaran udara yang lebih
besar daripada hantaran tulang. Pada keadaan tuli konduktif murni, keadaan koklea yang

8
baik (intak) menyebabkan hantaran tulang normal, yaitu 0 dB pada audiogram. (Indro S
dkk, 2007)
Pengecualian adalah pada tuli konduktif karena fiksasi tulang stapes (misalnya
pada otosklerosis). Disini terdapat ambang hantaran tulang turun menjadi 15 dB pada
2000Hz. Diperkiran keadaan ini bukan karena ketulian sensorineural, tapi belum
diketahui sebabnya. Penyebab ketulian koduktif seperti penyumbatan liang telinga,
contohnya serumen, terjadinya OMA, OMSK, penyumbatan tuba eustachius. Setiap
keadaan yang menyebabkan gangguan pendengaran seperti fiksasi kongenitalm fiksasi
karena trauma, dislokasi rantai tulang pendengaran, juga akan menyebabkan peninggian
amabang hantaran udara dengan hantaran tulang normal. Gap antara hantran tulang
dengan hantaran udara menunjukkan beratnya ketulian konduktif. (Indro S dkk, 2007)
Derajat ketulian yang disebabkan otitis media sering berfluktuasi. Eksarsebasi dan
remisi sering terjadi pada penyakit telinga tenga terutama otitis media serosa. Pada orang
tua sering mengeluhkan pendengaran anaknya bertambah bila sedang pilek, sesudah
berenang atau sedang tumbuh gigi. dapat juga saat perubahan pada musim tertentu karena
alergi. (Indro S dkk, 2007)
Penurunan Pendengaran akan menetap sekitar 55-60 dB pada pasien otitis media.
Selama koklea normal, gangguan pendengaran maksimum tidak melebihi 60 dB.
Konfigurasi audiogram pada tuli konduktif biasanya menunjukkan pendengaran lebih
pada frekuensi rendah. Dapat pula berbentuk audiogram yang datar. (Indro S dkk, 2007)

9
Gambar 4. Audiogram tuli konduktif 10

3. Gangguan dengar Sensorineural (SNHL)


Tuli sensorineural terjadi bila didapatkan ambang pendengaran hantaran tulang
dan udara lebih dari 25 dB. Tuli sensorineural ini terjadi bila terdapat gangguan koklea,
N.auditorius (NVIII) sampai ke pusat pendengaran termasuk kelainan yang terdapat
didalam batang otak.2 Kelainan pada pusat pendengaaran saja (gangguan pendengaran
sentral) biasanya tidak menyeababkan gangguan dengar untuk nada murni, namun tetap
terdapat gangguan pendengaran tertentu. Gangguan pada koklea terjadi karenadua cara,
pertama sel rambut didalam koklea rusak, kedua karena stereosilia dapat hancur. Proses
ini dapat terjadi karenainfeksi virus, obat ototoxic, dan biasa terpapar bising yang lama,
dapat pula terjadi kongenital. Istilah retrokoklea digunakan untuk sistem pendengaran
sesudah koklea, tetapi tidak termasuk korteks serebri (pusat pendengaran), maka yang
termasuk adalah N.VIII dan batang otak. (Indro S dkk, 2007)
Berdasarkan hasil audiometrik saja tidak dapat membedakan jenis tuli koklea atau
retrokoklea. Maka perlu dilakukan pemeriksaan khusus. Pada ketulian Meniere,
pendengaran terutama berkurang pada frekuensi tinggi. Tuli sensorineural karena
presbikusis dan tuli suara keras biasanya terjadi pada nada dengan frekuensi tinggi. (Indro
S dkk, 2007)
Apabila tingkat konduksi udara normal, hantaran tulang harusnya normal pula.
Bila konduksi udara dan konduksi tulang keduaduannya abnormal dan pada level yang

10
sama, maka pastilahnya masalah terletak pada koklea atau N. VIII, sedangkan telinga
tengah normal. (Indro S dkk, 2007)

Gambar 5. Audiogram tuli sensorineural 10

4. Gangguan Dengar Campuran


Kemungkinan tarjadinya kerusakan koklea disertai sumbatan serumen yang padat
dapat terjadi. Level konduksi tulang menunjukkan gangguan fungsi koklea ditambah
dengan penurunan pendengaran karena sumbatan konduksi udara mengambarkan tingkat
ketulian yang disebabkan oleh komponen konduktif. (Indro S dkk, 2007)
Perbedaan anatara level hantaran udara dan tulang dikenal sebagai “jarak udara-
tulang” atau “air-bone gap”. Jarak udara-tulang merupakan suatu ukuran dari komponen
konduktif dari suatu gangguan pendengaran. Level hantaran udara menunjukkan tingkat
patologi koklea, kadang disebut sebagai “cochlear reserve” atau cabang koklea. (Indro S
dkk, 2007)

11
Gambar 6. Audiogram tuli campuran10

5. Audiogram Nonorganis
Pasien dapat berpura-pura tuli dalam pemeriksaaan, ada yang secara sadar atau
tidak sadar melebih-lebihkan derajat ketuliannya. Pada keadaan ganti rugi atau
kompensasi misalnya, hal ini dapat menguntungkan. Indikasi adanya keadaan ini adalah
bila terdapat ketidakseusaian antara diagnosis klinis dan hasil pemeriksaan audiometric.
Bila tes diulang akan tampak perbedaan nilai ambang. Pemeriksa sebaikya mengulang
pemeriksaan audiometric dan menerangkan ambang yang tidak tetap dan tidak dapt
dipercaya. (Indro S dkk, 2007)
Anak kecil yang member ikanhasi audiogram yang tidak dapat dipercaya biasanya
dapat diperiksa tanpa sadar dengan suara binatang datau music. Ia akan member reaksi
yang benar. Sebaikmua dilakukan pemeriksaan beberapa kali untuk mendapatkan ambang
yang sebenarnya. Ketulian non organis ini perlu mendapatkan pengobatan dari psikiater
atau psikolog. (Indro S dkk, 2007)

12
Derajat Ketulian
Derajat ketulian berdasarkan ISO: (Indro S dkk, 2007)
Ambang pendengaran Interpretasi

0-25 dB Normal

26-40 dB Tuli ringan

41-60 dB Tuli sedang.

61-90 dB Tuli berat

>90 dB Tuli sangat berat

Nilai ambang dengar dapat diukur dengan menggunakan indeks Fletcher, yaitu:
Misal, ambang dengar (AD)= AD 500Hz+ AD 1000Hz+AD 2000 Hz
3

Menurut kepustakanaan terbaru frekuensi 4000 Hz berperan penting untuk pendengaran,


sehingga perlu turut diperhitungkan, sehingga derajat ketulian dihitung dengan menambahkan
ambang dengar 4000Hz dengan kteriga ambang dengar di atas lalu dibagi 4.3
Misal, ambang dengar (AD) = AD 500Hz+ AD 1000Hz+AD 2000 Hz+ AD 4000Hz
4

13
II. TIMPANOMETRI
Pada tahun 1946, Otto Metz secara sistematis mengevaluasi akustik imitans dari
telinga normal dan abnormal. Metz menerangkan dengan jelas perubahanperubahan
akustik imitans yang dihubungkan dengan gangguan-gangguan di telinga tengah.
Pengembangan alat elektroakustik sederhana oleh Terkildsen dan Scott-Nielson pada
tahun 1960 telah memberikan banyak kemajuan, sehingga alat pengukur ini dapat
digunakan dengan mudah di klinik. Selanjutnya pada awal 1970, pengukuran imitans
mulai dimasukkan ke dalam rangkaian tes audiometri rutin (Hidayat, 2009).
Istilah akustik imitans digunakan untuk merujuk kepada baik masuknya akustik
(Kemudahan dengan yang mana energi mengalir melalui suatu sistem) atau impedansi
akustik (perlawanan total terhadap aliran energi udara). Pengukuran akustik imitans
digunakan secara klinis baik sebagai alat screening dan diagnostik untuk identifikasi dan
klasifikasi gangguan perifer (khususnya telinga tengah) dan sentral dan dapat digunakan
sebagai alat untuk memperkirakan sensitivitas pendengaran secara obyektif. Pengukuran
akustik imitans yang paling sering digunakan secara klinis termasuk timpanometri dan
pengukuran reflex stapedial. Timpanometri mengukur akustik imitans di dalam kanal
telinga sebagai fungsi dari variasi dalam tekanan udara (Cummings,2005).
Karakteristik imitansi (impedansi dan/atau masuk) dari sistem telinga tengah
dapat disimpulkan secara obyektif dengan teknik elektropsikologi cepat dan noninvasif
dan kemudian terkait dengan pola yang sudah dikenal baik untuk berbagai temuan jenis
lesi telinga tengah. Tympanometry adalah rekaman terusmenerus impedansi telinga
tengah sebagaimana tekanan udara di kanal telinga secara sistematis meningkat atau
menurun. Awalnya di pengujian, volume saluran telinga diperkirakan. Jika melebihi 2
cm3 , kemungkinan perforasi dari membran timpani harus dipertimbangkan. Sebuah
sistem telinga tengah dengan impedansi rendah (masuk tinggi) lebih mudah menerima
energi akustik, sedangkan telinga tengah dengan impedansi tinggi (masuk rendah)
cenderung untuk menolak energi akustik. Dalam timpanogram itu, pemenuhan statis
(kekakuan yang resiprokal) dari komponen telinga tengah diplot sebagai fungsi dari
tekanan dalam saluran telinga (Snow,2002).
Pada pemeriksaan audiometri impedans diperiksa kelenturan membrane timpani
dengan tekanan tertentu pada meatus akustikus eksterna (Soepardi,2007).

14
Didapatkan istilah:
a. Timpanometri, yaitu untuk mengetahui keadaan dalam kavum timpani.
Misalnya ada cairan, gangguan rangkaian tulang pendengaran (ossicular
chain), kekakuan membrane timpani dan membran timpani yang sangat lentur.
b. Fungsi tuba Eustachius (Eustachian tube function), untuk mengetahui tuba
Eustachius terbuka atau tertutup.
c. Refleks stapedius. Pada telinga normal, refleks stapedius muncul pada
rangsangan 70-80 dB di atas ambang dengar. (Soepardi,2007)
Pada lesi di koklea, ambang rangsang refleks stapedius menurun, sedangkan pada
lesi di retrokoklea, ambang itu naik. (Soepardi,2007)
Audiometri hambatan telah dianggap semakin penting artinya dalam rangkaian
pemeriksaan audiologi. Timpanometri merupakan alat pengukur tak langsung dari
kelenturan (gerakan) membrana timpani dan sistem osikular dalam berbagai kondisi
tekanan positif, normal, atau negatif. Energi akustik tinggi dihantarkan pada telinga
melalui suatu tabung tersumbat; sebagian diabsorpsi dan sisanya dipantulkan kembali ke
kanalis dan dikumpulkan oleh saluran kedua dari tabung tersebut. Bila telinga terisi
cairan, atau bila gendang telinga menebal, atau sistem osikular menjadi kaku, maka
energi yang dipantulkan akan lebih besar dari telinga normal. Dengan demikian jumlah
energi yang dipantulkan makin setara dengan energi insiden. Hubungan ini digunakan
sebagai sarana pengukur kelenturan (Adams,1997)

Timpanometer adalah alat yang digunakan dalam pemeriksaan timpanometri.


Pada dasarnya alat pengukur impedans terdiri dari 4 bagian yang semuanya dihubungkan
ke liang telinga tengah oleh sebuah alat kedap suara, sebagai berikut: A. Oscilator : Alat

15
yang menghasilkan/memproduksi bunyi/nada bolak-balik (biasanya 220 Hz), suara yang
dihasilkan tersebut masuk ke earphone dan diteruskan ke liang telinga. B. Sebuah
mikrofon dan meter pencatat sound pressure level dalam liang telinga. C. Sebuah pompa
udara dan manometer yang dikalibrasi dalam milimeter air (- 600 mmH2O s.d +1.200
mmH2O). Suatu mekanisme untuk mengubah dan mengukur tekanan udara dalam liang
telinga D. Compliancemeter : untuk menilai bunyi yang diteruskan melalui
mikrofon.(Khoriyatul,2010 dan Hidayat, 2009) Gambar 7.Skema Alat yang Digunakan
untuk Pemeriksaan Timpanometri(Hidayat, 2009) Energi akustik tinggi dihantarkan pada
telinga melalui suatu tabung bersumbat, sebagian diabsorbsi dan sisanya dipantulkan
kembali ke kanalis dan dikumpulkan oleh saluran dari kedua tabung
tersebut.(Khoriyatul,2009) Pemeriksaan ini diperlukan untuk menilai kondisi telinga
tengah. Gambaran timpanometri yang abnormal (adanya cairan atau tekanan negatif di
telinga tengah) merupakan petunjuk adanya gangguan pendengaran
konduktif.(Soepardi,2007)

Cara Pemeriksaan
“Probe”, setelah dipasangi “tip” yang sesuai, dimasukkan ke dalam liang telinga
sedemikian rupa sehingga tertutup dengan ketat. Mula-mula ke dalam liang telinga yang
tertutup cepat diberikan tekanan 200 mmH2O melalui manometer. Membrana timpani
dan untaian tulang-tulang pendengaran akan mengalami tekanan dan terjadi kekakuan
sedemikian rupa sehingga tak ada energi bunyi yang dapat diserap melalui jalur ini ke
dalam koklea. Dengan kata lain, jumlah energi bunyi yang dipantulkan kembali ke dalam
liang telinga luar akan bertambah (Sedjawidada,1978).
Tekanan kemudian diturunkan sampai titik di mana energi bunyi diserap dalam
jumlah tertinggi; keadaan ini menyatakan membran timpani dan untaian tulang
pendengaran dalam “compliance” yang maksimal. Pada saat “compliance maksimal” ini
dicapai, tekanan udara dalam rongga telinga tengah sama dengan tekanan udara dalam
liang telinga luar. Jadi tekanan dalam rongga telinga tengah diukur secara tak langsung
(Sedjawidada,1978).
Tekanan dalam liang telinga luar kemudian diturunkan lagi sampai -400 mmH2O.
Dengan demikian akan terjadi lagi kekakuan dari membrana timpani dan untaian tulang-

16
tulang pendengaran, sehingga tak ada bunyi yang diserap, dan energi bunyi yang
dipantulkan akan meningkat lagi (Sedjawidada,1978).
Timpanometri merupakan salah satu dari 3 pengukuran imitans yang banyak
digunakan dalam menilai fungsi telinga tengah secara klinis, di samping imitans statik
dan ambang refleks akustik (Hidayat, 2009).

Cara Kerja Impedans Meter (Timpenometri)


Cara kerja timpanometri adalah alat pemeriksaan (probe) yang dimasukkan ke
dalam liang telinga memancarkan sebuah nada dengan frekuensi 220 Hz. Alat lainnya
mendeteksi respon dari membran timpani terhadap nada tersebut (Hidayat, 2009).
Secara bersamaan, probe yang menutupi liang telinga menghadirkan berbagai
jenis tekanan udara. Pertama positif, kemudian negatif ke dalam liang telinga. Jumlah
energi yang dipancarkan berhubungan langsung dengan compliance. Compliance
menunjukkan jumlah mobilitas di telinga tengah. Sebagai contoh, lebih banyak energi
yang kembali ke alat pemeriksaan, lebih sedikit energi yang diterima oleh membran
timpani. Hal ini menggambarkan suatu compliance yang rendah. Compliance yang
rendah menunjukkan kekakuan atau obstruksi pada telinga tengah. Data-data yang
didapat membentuk sebuah gambar 2 dimensi pengukuran mobilitas membran timpani.
Pada telinga normal, kurva yang timbul menyerupai gambaran lonceng (Hidayat, 2009).
Penghantaran bunyi melalui telinga tengah akan maksimal bila tekanan udara
sama pada kedua sisi membran timpani. Pada telinga yang normal, penghantaran
maksimum terjadi pada atau mendekati tekanan atmosfir. Itulah sebabnya ketika tekanan
udara di dalam liang telinga sama dengan tekanan udara di dalam kavum timpani, imitans
dari sistem getaran telinga tengah normal akan berada pada puncak optimal dan aliran
energi yang melalui sistem ini akan maksimal. Tekanan telinga tengah dinilai dengan
bermacam-macam tekanan pada liang telinga yang ditutup probe sampai sound pressure
level (SPL) berada pada titik minimum. Hal ini menggambarkan penghantaran bunyi
yang maksimum melalui telinga tengah. Tetapi bila tekanan udara dalam salah satu liang
telinga lebih dari (tekanan positif) atau kurang dari (tekanan negatif) tekanan dalam
kavum timpani, imitans sistem akan berubah dan aliran energi berkurang. Dalam sistem
yang normal, begitu tekanan udara berubah sedikit di bawah atau di atas dari tekanan

17
udara yang memproduksi imitans maksimum, aliran energi akan menurun dengan cepat
sampai nilai minimum (Hidayat, 2009).
Pada tekanan yang bervariasi di atas atau di bawah titik maksimum, SPL nada
pemeriksaan di dalam liang telinga bertambah, menggambarkan sebuah penurunan dalam
penghantaran bunyi yang melalui telinga tengah (Hidayat, 2009).

Interpretasi
Timpanogram adalah suatu penyajian berbentuk grafik dari kelenturan relative
sistem timpanoosikular sementara tekanan udara liang telinga diubah-ubah. Kelenturan
maksimal diperoleh pada tekanan udara normal, dan berkurang jika tekanan udara
ditingkatkan atau diturunkan. Individu dengan pendengaran normal atau dengan
gangguan sensoneural akan memperlihatkan sistem timpaniosikular yang normal
(Adams,1997).
Liden (1969) dan Jerger (1970) mengembangkan suatu klasifikasi timpanogram.
Tipe-tipe klasifikasi yang diilustrasikan adalah sebagai berikut (Adams,1997):
1. Tipe A
 Terdapat pada fungsi telinga tengah yang normal.
 Mempunyai bentuk khas, dengan puncak imitans berada pada titik 0 daPa
dan penurunan imitans yang tajam dari titik 0 ke arah negatif atau positif.
Kelenturan maksimal terjadi pada atau dekat tekanan udara sekitar,
memberi kesan tekanan udara telinga tengah yang normal.

18
2. Tipe As.
 Terdapat pada otosklerosis dan keadaan membran timpani yang berparut.
 Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), di mana puncak berada
atau dekat titik 0 daPa, tapi dengan ketinggian puncak yang secara
signifikan berkurang. Huruf s di belakang A berarti stiffness atau
shallowness.
 Kelenturan maksimal terjadi pada atau dekat tekanan udara sekitar, tapi
kelenturan lebih rendah daripada tipe A. Fiksasi atau kekauan sistem
osikular seringkali dihubungkan dengan tipe As.

3. Tipe Ad.
 Terdapat pada keadaan membran timpani yang flaksid atau diskontinuitas
(kadang-kadang sebagian) dari tulang-tulang pendengaran.
 Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), tetapi dengan puncak
lebih tinggi secara signifikan dibandingkan normal. Huruf d di belakang A
berarti deep atau discontinuity.
 Kelenturan maksimum yang sangat tinggi terjadi pada tekanan udara
sekitar, dengan peningkatan kelenturan yang amat cepat saat tekanan
diturunkan mencapai tekanan udara sekitar normal. Tipe Ad dikaitkan
dengan diskontinuitas sitem osikular atau suatu membrana timpani mono
metrik.

19
4. Tipe B
 Timpanogram tidak memiliki puncak melainkan pola cenderung mendatar,
atau sedikit membulat yang paling sering dikaitkan dengan cairan di
telinga tengah (kavum timpani), misalnya pada otitis media efusi. ECV
dalam batas normal, terdapat sedikit atau tidak ada mobilitas pada telinga
tengah. Bila tidak ada puncak tetapi ECV > normal, ini menunjukkan
adanya perforasi pada membran timpani.

5. Tipe C
 Terdapat pada keadaan membran timpani yang retraksi dan malfungsi dari
tuba Eustachius.
 Tekanan telinga tengah dengan puncaknya di wilayah tekanan negatif di
luar -150 mm H2O indikatif ventilasi telinga tengah miskin karena tabung
estachius disfungsi. Pola timpanometrik, dalam kombinasi dengan pola
audiogram, ijin diferensiasi antara dan klasifikasi gangguan telinga tengah.

20
Suatu timpanogram berbentuk huruf W dihubungkan dengan parut atrofik
pada membrana timpani atau dapat pula suatu adhesi telinga tengah, namun
biasanya membutuhkan nada dengan frekuensi yang lebih tinggi sebelum dapat
didemonstrasikan (Snow,2002 dan Hidayat, 2009).

21
DAFTAR PUSTAKA

Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. 1997. p. 30,46 2.
Cummings CW, Flint PW, Harker LA, et al. Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery
Fourth Edition. 20. Snow JB. Diagnostic Audiology, Hearing Aids, and
Habilitation Options. In: Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology Head and
Neck Surgery. BC Decker. Hamilton. London. 2002. p. 3-4 21. Grason-
Stadler.GSI TympStar Version 2 Middle-Ear Analyzer [online] 2010. Available
from URL: http:// www.msrwest.com/ gsi/ tstar.pdf 24
Hidayat, B. Hubungan Antara Gambaran Timpanometri dengan Letak dan Stadium Tumor pada
Penderita Karsinoma Nasofaring di Departemen THTKL RSUP H. Adam Malik
Medan [online] 2009. Available from URL: http:// repository.usu.ac.id/ bitstream/
123456789/ 6424/1/09E01722.pdf
Indro S, Hendarto H, Jenny B. Gangguan pendengaran dan kelainan telinga. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. 6th ed. Jakarta: Balai
Penerbit FK-UI; 2007.p. 10-22.
Khoriyatul. Timpanometri [online] 2010. Available from URL: http:// khoriyatulj.multiply.com/
journal 23.
Sedjawidada R., Manukbua A.,Mangape D. Audiometri Impedans. Himpunan Naskah Lokakarya
Audiologi, Ujungpandang. Bagian THT FK-UH.1978.
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta; Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007. p 15-18,27 5.

22

Vous aimerez peut-être aussi