Vous êtes sur la page 1sur 13

Manajemen Kontemporer Trauma Vaskular pada Masa Perang

ABSTRAK
Tujuan: Manajemen trauma pada masa perang telah mengalami kemajuan dalam
hal penegakkan diagnosa serta penatalaksaan trauma vaskular. Pengalaman terakhir
telah mendorong untuk dilakukannya kajian ulang terhadap manajemen luka
khususnya efek ledakan terhadap pola cedera serta strategi pengobatannya. Tujuan
dari tulisan ini adalah untuk memberikan analisa terhadap pola cedera serta strategi
tatalaksana pasien dengan cedera vaskular dalam keadaan perang modern.
Metode: Dari bulan Desember 2001 sampai Maret 2004, semua pengungsi perang
dievaluasi secara prospektif dan dilakukan peninjauan secara retrospektif. Data yang
dikumpulkan meliputi lokasi, jenis, dan mekanisme cedera vaskular; trauma lain
yang terkait; hasil perbaikan vaskular; hasil awal; jumlah amputasi; serta
komplikasi. Hasil dari pendekatan diagnostik serta terapeutik tersebut, terutama
dikaitkan dengan perawatan pasien cedera akibat ledakan.
Hasil: Dari 3057 tentara yang dievakuasi dari medan perang, 1524 (50%)
mengalami luka tembak. Pasien yang dicurigai dengan cedera vaskular sebanyak
107 (7%) pasien, sehingga pasien tersebut dimasukkan kedalam penelitian ini. Dari
pasien tersebut, sebanyak 68 (64%) pasien mengalami cedera akibat alat peledak, 27
(25%) pasien akibat tembakan, dan 12 (11%) pasien mengalami cedera tumpul
traumatis. Sebagian cedera (59/66 [88%]) terjadi pada ekstremitas. Pada setengah
(48/107) pasien, dilakukan reparasi vaskular pada rumah sakit di Irak atau
Afghanistan. 28 (26%) pasien memerlukan intervensi operasi tambahan ketika
pasien pulang ke Amerika Serikat. Cedera vaskular yang diakibatkan oleh fraktur
ditemukan pada 37% pasien. 21 dari 107 pasien tersebut dilakukan amputasi primer
sebelum evakuasi. Amputasi setelah perbaikan vaskular dilakukan pada 8 pasien.
Dari jumlah tersebut, 5 pasien mengalami destruksi ekstremitas akibat luka yang
terkontaminasi serta graft yang terinfeksi. 67 (63%) pasien menjalani pemeriksaan
angiografi. Indikasi dari angiografi tersebut adalah untuk mengetahui mekanisme
cedera (42%), hasil temuan pemeriksaan yang abnormal (33%), perencanaan operasi
(18%), atau evaluasi perbaikan (7%).
Kesimpulan: Tulisan ini merupakan analisa terbesar terhadap cedera vaskular pada
tentara AS selama lebih dari 30 tahun ini. Berdasarkan pola trauma, persentase
tertinggi pasien adalah cedera ekstremitas. Repair arteri menggunakan graft vena
autologous tetap merupakan pengobatan pilihan. Peningkatan trauma akibat ledakan
dalam konflik modern meningkatkan kebutuhan untuk dilakukannya arteriografi
kontras. Pendekatan endovaskular telah memberikan manajemen kontemporer dan
terbukti penting dalam tatalaksana cedera vaskular ketika perang. (J Vasc Surg
2005; 41: 638-44).

PENDAHULUAN
Sejak zaman Hippokrates, bidang operasi vaskular telah menerapkan teknik
perawatan pada pasien yang mengalami cedera akibat konflik bersenjata.
Manajemen trauma vaskular saat ini telah berubah akibat terjadinya perang pada
abad ke-20 serta dengan adanya kontribusi dari Debakcy, Hughes, Rich, dan
lainnya. Perang global melawan terorisme, tentara yang terlibat dalam pertempuran
bersenjata di Irak dan Afghanistan, memberikan tantangan kepada ahli bedah militer
kontemporer untuk menerapkan teknik yang telah diajarkan oleh pendahulu kita
dalam meninjau pendekatan diagnostik dan terapeutik dalam upaya perawatan
tentara yang terluka tersebut akibat cedera vaskular.
Tujuan dari laporan ini adalah untuk memberikan tinjauan lengkap
berdasarkan pengalaman terhadap pola cedera serta strategi manajemen kontemporer
yang digunakan dalam tatalaksana cedera vaskular militer modern. Berdasarkan
laporan dari daerah perang, penilitian ini memberikan analisis terbesar terhadap
cedera vaskular pada tentara AS pada lebih dari 30 tahun.

METODE
Dari bulan Desember 2001 hingga Maret 2004, dilakukan evaluasi terhadap
semua korban militer AS yang dievakuasi ke Walter Reed Army Medical Center.
Pasien dengan riwayat atau yang dicurigai dengan cedera vaskular diperiksa oleh
ahli bedah vaskular senior. Pasien tersebut secara prospektif dimasukkan kedalam
database klinis, dan data klinis lanjutan pasien ditinjau secara retrospektif. Data
demografis meliputi usia pasien, jenis kelamin, jaringan yang terkena, dan tanggal
terjadinya cedera.
Dilakukan dokumentasi pola cedera secara khusus, dilakukan mekanisme
terjadinya cedera vaskular, lokasi dan jenis pembuluh yang terkena, dan adanya
trauma lain yang terkait. Perbaikan vaskular dianalisis berdasarkan jenis tindakan
yang dilakukan, serta penggunaan okulasi vena autogenous yang dibandingkan
dengan penggunaan prostetik. Dilakukan pencatatan data awal berupa kebutuhan
amputasi. Selain itu juga dilakukan pencatatan pendekatan arteriografi, termasuk
cedera arteri okult serta penggunaan catheter-based techniques dalam
penatalaksanaan cedera vaskular. Selanjutnya dilakukan tinjauan terhadap
komplikasi yang ditemukan pada pasien serta hasil klinis pasien.

HASIL
Demografi
Selama penelitian, sebanyak 3057 tentara dievakuasi ke senter kami untuk
dilakukan evaluasi medis. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1524 (50%) pasien
mengalami cedera langsung. Sebanyak 107 (7%) pasien diketahui atau dicurigai
mengalami cedera vaskular, dan pasien tersebut dimasukkan kedalam kelompok
studi. 91 pasien mengalami cedera selama Operation Iraqi Freedom, dan 15 pasien
lainnya mengalami cedera di Afghanistan selama Operation Enduring Freedom.
Dari 107 pasien tersebut, sebanyak 105 pasien berjenis kelamin laki-laki, dan 2
perempuan. Usia rata-rata pasien adalah 29 tahun (dengan rentang 19-64 tahun).
48 dari 107 pasien yang dievaluasi telah mengalami perbaikan vaskular.
Laporan awal terhadap pasien memberikan hasil yang tidak konsisten. Sisanya
sebanyak 59 pasien dilakukan evaluasi terhadap kecurigaan cedera vaskular.

Pola Cedera.
Sebagian besar trauma (68 [64%]) disebabkan oleh bahan peledak seperti
rocket-propelled grenades, antipersonnel landmines, high-explosive mortars, dan
improvised explosive devices (IED). High-velocity gunshot wounds berkaitan dengan
cedera vaskular pada 27 (25%) pasien. Penyebab cedera vaskular lainnya berupa
kecelakaan kendaraan bermotor (5%) atau traumatic crush-type injuries (4%), yang
biasanya berkaitan dengan kendaraan bermotor, alat berat atau mesin lainnya. Selain
itu, 1 pasien mengalami gigitan harimau, dan 2 pasien dikembalikan untuk
dilakukan evaluasi medis terhadap penyakit vaskular. Distribusi luka paling banyak
ditemukan pada ekstremitas atas (39%), bawah (51%), leher (7%), dan pelvis (3%).
Cedera spesifik
48 pasien menjalani 64 perbaikan vaskular yang melibatkan 53 arteri dan 11
vena. Transeksi arteri brakialis (23%) merupakan cedera vaskular yang paling
banyak dilakukan. Selanjutnya diikuti oleh cedera arteri femoralis superfisial (21%),
popliteal (9%), dan arteri radial (17%). Tabel I menunjukkan distribusi cedera arteri
di Irak dan Afghanistan. Cedera pada jaringan lunak, kebanyakan diakibatkan oleh
ledakan, open fraktur tulang panjang, dan multiple blast fragments, sering berkaitan
dengan cedera vaskular.

Manajemen cedera vaskular.


48 pasien dengan cedera vaskular mendapatkan manajemen emergensi di
rumah sakit perang atau ditangani oleh tim bedah perang. Beberapa pasien menjalani
amputasi atau debridemen luka di Landsthul, Jerman, selama evakuasi medis ke
Amerika Serikat. 9 perbaikan vaskular tambahan dilakukan setelah pasien sampai di
Walter Reed Army Medical Center, Washington, DC. Waktu rata-rata kedatangan
pasien adalah 8,5 hari.
Kerusakan arteri segmental akibat cedera jaringan lunak masif yang
memerlukan repair graft interposisi dilakukan pada 27 (50%) cedera (Tabel I). Vena
saphena digunakan pada 22 kasus, dan and polytetrafluoroethylene digunakan pada
5 kasus. Perbaikan arteri lateral dilakukan pada 5 pasien. Thrombectomy end-to-end
dilakukan pada 4 pasien. Ligasi arteri jarang digunakan dan biasanya digunakan
pada cedera vaskular tibialis atau brachialis.
11 cedera vena dimasukkan dalam laporan ini. 1 cedera vena subklavia, 1
cedera vena poplitea, dan 1 cedera vena jugularis yang mendapatkan jahitan lateral.
Terdapat 6 reparasi vena femoralis dan 2 vena iliaka. Terdapat cedera vena lainnya
namun tidak dilaporkan.

Amputasi.
Dari 107 pasien dalam penelitian ini, 21 (19,6%) pasien menjalani amputasi
primer sebelum sampai di institusi kami. Below-knee amputation (BKA) merupakan
jenis yang paling banyak dilakukan (40%). Seperempat pasien melakukan above-
knee amputation. Selain itu, dilakukan sebanyak 4 below-elbow amputations pada
ekstremitas atas, 1 transmetatarsal amputation, dan 1 ray amputation. Selain itu, 4
pasien menjalani amputasi ekstremitas bawah bilateral (above-knee amputation,
BKA, atau kombinasi), dan 1 menjalani kombinasi BKA dan disarticulation hip
(Tabel II).

11 (52%) pasien dilakukan amputasi akibat fraktur tulang panjang, cedera


nervus tibialis, atau defisit sensorik mayor. 8 dari 48 pasien dengan cedera vaskular
memerlukan perbaikan segera di area perang oleh tim bedah atau rumah sakit
perang, dengan tingkat amputasi sebesar 16%. Alasan utama dilakukannya amputasi
di rumah sakit perang adalah ekstremitas yang unsalvageable, ditandai dengan
kombinasi fraktur tulang panjang, cedera saraf, dan cedera soft tissue yang luas. 5
pasien (62%) memiliki kerusakan ekstremitas yang diakibatkan infeksi graft atau
trombosis. 1 pasien dengan rhabdomyolysis ekstensif disertai infeksi luka
menyebabkan disarticulation hip, 1 pasien dengan kerusakan soft tissue yang luas,
dan 1 pasien dengan gangren pada kaki. Semua amputasi yang dilakukan di Walter
Reed memiliki infeksi, terlepas dari penggunaan antibiotik perioperatif.
Komplikasi.
Dari 48 pasien yang melakukan reparasi vaskular awal di Irak dan
Afghanistan, 21 (44%) pasien mengalami komplikasi terkait. Komplikasi yang
paling umum adalah oklusi graft atau infeksi. Dari 5 pasien yang menggunajan
polytetrafluoroethylene graft, 4 dari 5 pasien terinfeksi atau mengalami trombosis.
Graft dipotong dan diganti dengan graft vena autologous.

Cedera arteri femoralis superfisial (SFA) memiliki tingkat komplikasi


tertinggi. Dari 11 perbaikan SFA, 9 memerlukan removal graft atau komplikasi luka.
2 pasien mengalami sindrom kompartemen yang dikenali secara dini dan dilakukan
fasciotomi emergensi. Tidak terdapat komplikasi terkait ligasi karotid radial atau
eksternal.

Arteriografi dan luka arteri okultisme.


Dua pertiga pasien dalam penelitian ini menjalani evaluasi arteriografi. 69
arteriogram dilakukan pada 67 (63%) pasien. 45 arteriogram awal dilakukan untuk
mengevaluasi dugaan adanya cedera, dan 22 arteriogram dilakukan pada 48 pasien
untuk dilakukan reparasi pembuluh darah. 46 arteriogram dilakukan pada
ekstremitas bawah (66%), dan 13 (19%) dilakukan di ekstremitas atas. 15% pasien
menjalani pemeriksaan karotid dan 1 aortogram toraks. Indikasi arteriografi
mencakup pendeteksian mekanisme atau tingkat keparahan cedera, pemeriksaan
fisik yang abnormal, perencanaan operasi rekonstruktif, atau evaluasi perbaikan
vaskular sebelumnya. Indikasi arteriografi serta hasil dapat dilihat pada Tabel III.

31 pasien (46,2%) dari 67 pasien yang menjalani evaluasi arteriografi


memiliki temuan abnormal. Arteriografi memungkinkan dalam pendeteksian 40
cedera okult terhadap 31 pasien, 5 pasien telah melakukan reparasi sebelumnya. 9
(29%) dari 31 pasien memerlukan intervensi lanjutan (Tabel IV). Mayoritas lesi
okult merupakan suatu keadaan asimtomatik dari oklusi ulna, radius, atau tibia. 3
arteriovenosa dan 4 pseudoaneurisma juga ditemukan dan ditatalaksana.

Indikasi arteriografi yang paling umum untuk mengevaluasi pasien dengan


cedera akibat ledakan dan cedera akibat fragmen ledakan yang mengenai ekstremitas
bawah (28/67 [42%]). Sepertiga (22/67) pasien memiliki hasil pemeriksaan fisik
abnormal yang ditandai dengan penurunan ankle/brachial index, penurunan pulsasi
nadi, atau ditemukan adanya bruit atau thrill. Arteriogram dilakukan untuk
mengetahui mekanisme cedera dimana ditemukan adanya cedera akibat ledakan
pada 25% (7/28) pasien, seperti yang tercantum pada Tabel III. Selain itu, dua
pertiga cedera okult disebabkan oleh alat peledak.
Secara keseluruhan, 31 pasien dalam penelitian ini, sebanyak 18 (58%)
pasien memiliki pulsasi yang normal, 10 (32%) pasien dengan pemeriksaan
ankle/brachial index dan sensoris yang abnormal; dan 3 (10%) pasien sulit diperiksa
karena adanya fiksator eksternal yang digunakan untuk menstabilkan fraktur.

Terapi endovaskular.
Hampir sepertiga (9/31) pasien dengan hasil arteriogram yang abnormal
memerlukan beberapa operasi atau prosedur. Sebagian besar intervensi dilakukan
sebagai manajemen pseudoaneurisma atau fistula arteriovenosa. Sepertiga (3/9)
pasien memiliki hasil pemeriksaan fisik yang normal ketika datang. Lebih dari
setengah (5/9) pasien melakukan catheter-based technique. 2 low-profile covered
stents dipasang pada arteri aksilaris dan brakialis. 3 coil embolizations dilakukan
pada pasien dengan pseudoaneurisma atau fistula arteriovenosa. Tabel IV
mencatumkan jenis tatalaksana terhadap 9 permasalahan arteri tersebut.

PEMBAHASAN
Konflik militer yang berlangsung di Irak dan Afghanistan telah
mengakibatkan ribuan korban tewas. Diagnosis dan penanganan luka okult,
penggunaan teknik endovaskular, dan komplikasi terkait penggunaan prosthetic
grafts mendorong dilakukannya penelitian ini dan menghasilkan tinjauan terkini
mengenai trauma vaskular ketika perang.
Dalam penelitian ini, sebagian besar cedera vaskular (64%) disebabkan oleh
alat peledak, dimana 90% terjadi pada ekstremitas. Hampir semua trauma terjadi
pada bagian wajah, lengan, dan kaki. Pasien dengan cedera vaskular pada badan
hanya sedikit yang dapat selamat, sehingga menyebabkan prevalensi cedera
ekstremitas paling banyak ditemukan. Pola cedera saat ini sesuai dengan
pengalaman sebelumnya yang menunjukkan bahwa cedera pada ekstremitas paling
banyak disebabkan oleh bahan peledak ber-energi tinggi. Selama Perang Dunia II
dan perang Korea-Vietnam, lebih dari 60% cedera vaskular disebabkan oleh ledakan
pada ekstremitas. Dalam laporan ini, luka tembak menyebabkan 25% cedera
vaskular, menghasilkan luka di dalam kavitasi yang sering berkaitan dengan patah
tulang dan cedera neurovaskular.
Hampir setengah (44%) pasien yang menjalani repair vaskular melibatkan
arteri brakialis atau femoralis superfisial. Berdasarkan laporan Vietnam Vascular
Registry, 60% cedera arteri utama terjadi pada ekstremitas bawah. Pada penelitian
ini, cedera arteri femoralis superfisial dan arteri brakialis paling banyak ditemukan.
Seperti pada laporan perang sebelumnya, cedera pada aorta thorakalis atau
abdominalis ditemukan kurang dari 5%.
48 pasien menjalani prosedur repair vaskular oleh tim bedah di rumah sakit
perang. Sebagian besar repair vaskular dilakukan dalam 6 jam pertama setelah
cedera. Evakuasi aeromedik yang cepat memungkinkan pasien untuk menjalani
operasi darurat secepat mungkin sehingga memberikan hasil yang baik. Sebaliknya,
hanya 81 (3%) dari 2471 cedera vaskular yang menjalani repair selama Perang
Dunia II.
Reparasi arteri dengan graft vena saphena paling banyak dilakukan (42%)
dalam penelitian ini. Arteri brakialis (32%), arteri femoralis superial (27%), dan
poplitea (23%) merupakan zona yang paling banyak menggunakan graft vena.
Dalam kebanyakan kasus, repair dilakukan oleh 2 tim bedah dimana 1 tim bertugas
untuk mengambil vena saphena sedangkan operator lain melakukan eksplorasi serta
persiapan vena yang akan di repair. Sepertiga cedera vaskular berkaitan dengan
fraktur tulang panjang. Pemasangan eksternal fiksator dilakukan untuk menstabilkan
fraktur dan meminimalkan kerusakan dari arteri baru tersebut. Jika memungkinkan ,
graft vena ditutupi oleh jaringan sehat atau dialirkan ke daerah sekitar cedera dan
tidak ditempatkan pada daerah yang terkontaminasi. Ketika sampai di fasilitas
perawatan, beberapa graft vena dipotong karena terdapat jaringan yang
terkontaminasi serta berisiko tinggi mengalami ruptur anastomosis.
Repair primer terhadap cedera vaskular jarang dilakukan pada penelitian ini.
Bahan peledak militer sering menyebabkan luka yang dalam serta kehilangan arteri
segmental sehingga menghalangi manajemen ini. Agar perbaikan primer dapat
berjalan dengan baik, penting untuk melakukan debridement yang memadai. Dalam
kasus luka tusukan atau luka akibat terkena fragmen rudal dimana lebih sering
terjadi laserasi arteri, metode repair lebih memungkinkan untuk dilakukan.
Mobilisasi ujung arteri pada pasien muda sehat, dapat menyebabkan terbentuknya
arteri primer yang tensionless.
Pada penelitian ini, dilakukan ligasi pada semua arteri radialis, ulnaris,
karotid eksternal, dan vena jugularis. Ligasi terhadap cedera vaskular merupakan
pilihan yang tepat sebagai tatalaksana awal terhadap kerusakan pembuluh darah.
Metode ini telah dianjurkan sebelumnya dengan tingkat komplikasi yang rendah.
Ligasi pembuluh darah pada daerah cedera harus dihindari karena menimbulkan
risiko rupturnya pembuluh darah akibat infeksi bakteri. Oleh karena itu, disarankan
untuk melakukan debridemen terlebih dahulu yang diikuti dengan ligasi pembuluh
darah di daerah cedera. Setelah dilakukan ligasi, dilakukan pemeriksaan ekstremitas
menggunakan Doppler untuk memastikan adanya perfusi jaringan yang baik.
Penggunaan graft prostetik pada trauma arteri masih kontroversial. Selama
perang Vietnam, hampir semua pasien yang menggunakan graft prostetik
mengeluhkan adanya komplikasi. Dalam penelitian ini, dilakukan 5 repair
menggunakan graft prostetik, dimana 4 diantaranya gagal dikarenakan adanya
infeksi. Pada pasien tersebut dilakukan amputasi sekunder. Berdasarkan temuan
tersebut dan laporan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penggunaan graft
prostetik memberikan hasil yang buruk, sehingga tidak disarankan.
Dalam penelitian ini, 25% pasien memerlukan intervensi operasi tambahan
setelah dilakukannya evakuasi medis di zona perang. Pasien biasanya membutuhkan
irigasi dan debridemen luka, skin graft, perbaikan graft vaskular, atau diagnosis luka
okult. Di Vietnam, sebesar 28% repair arteri utama tidak sukses pada operasi awal
yang selanjutnya memerlukan prosedur tambahan untuk mendapatkan hasil yang
memuaskan. Semua luka harus dianggap terkontaminasi dan repair arteri dilakukan
menggunakan fluks jaringan lokal untuk mengurangi risiko ruptur arteri. Sebagian
besar cedera soft tissue pada ekstremitas sangatlah kompleks dimana melibatkan
gabungan dari cedera vaskular, ortopedi, dan neurologis. Tatalaksana luka ini
dilakukan oleh tim ahli bedah multidisiplin yang berpengalaman. Meskipun luka
akibar ledakan memerlukan rotational flaps atau split-thickness skin grafting,
vacuum dressings dapat mempercepat penyembuhan luka. Hampir semua luka
dilakukan vacuum-assisted closure dressings yang dilakukan antara washouts.
Metode ini sangat penting dalam pengelolaan luka terbuka kompleks dan
mempermudah pengelolaan pasien dengan defek jaringan lunak yang besar.
Dalam penelitian ini, komplikasi yang ditemukan berupa kerusakan soft
tissue yang besar, kerusakan berat segmen arterial serta infeksi. Sepertiga cedera
ekstremitas berhubungan dengan cedera nervus tibialis, defek sensoris, atau fraktur
tulang multiple. Jumlah komplikasi yang ditemukan pada penelitian ini tidak
berbeda jauh dari perang Vietnam. Infeksi paling banyak menyebabkan kegagalan
graft serta menyebabkan amputasi sekunder. Cedera dari arteri femoralis superfisial
menimbulkan komplikasi pascaoperasi yang paling tinggi. Dari 11 repair, 9 (82%)
menyebabkan terjadinya komplikasi atau infeksi pada graft. Semua graft yang
terinfeksi harus dieksisi dan amputasi. 2 pasien memiliki sindrom kompartemen.
Namun informasi detail mengenai laporan tersebut masih kurang dimana sebagian
besar telah dilakukan fasciotomi sebelum pasien dibawa ke Walter Reed. Fasciotomi
liberal sangat disarankan dilakukan di zona perang karena pengawasan pasien akan
menjadi lebih sulit ketika dilakukan dievakuasi aeromedika dalam waktu lama.
Dalam penelitian ini dilakukan 8 tindakan amputasi terhadap pasien dengan cedera
vaskular yang membutuhkan tatalaksana segera di Irak atau Afghanistan. Kami
berpersepsi bahwa kebanyakan amputasi diakibatkan oleh trauma soft tissue yang
luas serta dengan adanya infeksi. Cedera arteri bukanlah faktor utama kehilangan
anggota badan. Sedangkan 8 (7,4%) dari 107 pasien menjalani tindakan amputasi
sekunder, semuanya disebabkan oleh infeksi. Hal ini sebanding dengan perang
Korea dan Vietnam, di mana terdapat penurunan insidensi amputasi primer
sedangkan adanya peningkatan amputasi sekunder akibat infeksi luka.
Dalam penelitian ini, arteriografi digunakan untuk mengetahui cedera
pembuluh darah okult. Pengalaman pada pasien trauma sipil menunjukkan bahwa
pemeriksaan arteriografi pada trauma tumpul simptomatik atau trauma tembus tidak
memberikan hasil yang efektif pada kebanyakan kasus. Berbanding terbalik dengan
penelitian ini dimana terdapat persentase besar (46%) dari temuan arteriografi dalam
penelitian ini (Tabel III) menunjukkan bahwa cedera akibat ledakan merupakan
mekanisme yang berisiko tinggi dan cenderung menyebabkan cedera vaskular okult,
terutama jika berkaitan dengan fraktur tulang panjang atau cedera neurologis.
Sebagian besar kelainan arteriografi berupa ditemukannya oklusi asimtomatik dari
arteri tibialis. Akan tetapi sebanyak 7 (18%) dari 40 pasien dengan fistula
arteriovenosa dan pseudoaneurisma memerlukan perawatan. Ketika dilakukan
evaluasi terhadap pasien dengan cedera ledakan asimptomatik di ekstremitas,
sebanyak 25% pasien memiliki cedera arteri akibat fragmen rudal. Sepertiga pasien
memiliki temuan arteriografi yang abnormal. Oleh karena itu, pemeriksaan standar
tidak dapat dilakukan pada pasien dengan trauma militer. Selain itu, banyak tentara
yang memiliki tempat tugas yang jauh dari rumah sakit tersier. Hal ini dapat
meningkatkan keparahan kondisi pasien. Oleh karena itu, pada keadaan ini
dianjurkan dilakukannya arteriografi.
Pendekatan endovaskular dilakukan pada pasien dengan 5 arteri okult
menggunakan arteriografi (Tabel IV). 3 fistula arteriovenosa tibialis berhasil
dilakukan coil embolized. Low-profile covered stents digunakan pada 2 pasien, 1
pasien dengan pseudoaneurisma arteri brakialis proksimal dan 1 pasien dengan
pseudoaneurisma arteri aksilaris. Kedua cedera ini berhubungan dengan fistula
arteriovenosa. Pemasangan stent atau coil per kutan telah dilakukan pada pasien
sipil. Pendekatan endovaskular pada trauma militer juga telah dijelaskan sebelumnya
dan digunakan pada kelompok kami. Sifat lesi yang stabil membuat pasien sangat
cocok untuk mendapatkan terapi endovaskular. 1 sampai 4 minggu setelah cedera,
sebagian besar cedera mulai sembuh, dengan luka parut yang signifikan pada pasien
tersebut. Kompleksitas kerusakan soft tissue serta adanya cedera tulang
menyebabkan lesi tersebut sulit untuk dilakukan intervensi, serta penempatan stent
pada cedera dengan kavitasi yang dalam cukup sulit. Semua covered stents
ditempatkan secara perkutan didekat lokasi cedera pada pasien yang mendapat
antibiotik intravena. Pemasangan catheter-based memiliki efek yang baik dalam
mengurangi morbiditas pada pasien dengan cedera vaskular okult.

KESIMPULAN
Pola cedera vaskular militer saat ini hampir sama dengan temuan pada masa
lalu. Cedera arteri brakialis dan arteri femoralis superfisial merupakan jenis yang
paling sering ditemukan. Dalam penelitian ini, paling banyak disebabkan oleh
ledakan. Luka dapat menyebabkan kerusakan yang luas sehingga mengakibatkan
hilangnya arteri segmental, dan sering berkaitan dengan fraktur dan cedera nervus.
Fasciotomi, debridemen luka dan ekstensif pada jaringan sehat dilakukan bersamaan
dengan irigasi serta penilaian luka yang cermat diperlukan sebagai upaya
penyelamatan anggota tubuh. Penggunaan graft vena saphena autologous tetap
merupakan pilihan utama pada sebagian besar cedera vaskular. Meski jarang
digunakan dalam kondisi perang, repair cedera vaskular menggunakan graft
prostetik dapat mengakibatkan terjadinya infeksi atau trombosis peningkatan
insidensi amputasi. Setelah dilakukan repair, pembuluh darah harus ditutup dengan
jaringan yang sehat dan diberikan antibiotik untuk mencegah kontiminasi bakteri.
Oleh karena itu, cedera paling baik dengan ligasi dan diikuti dengan graft vena
autologous pada zona cedera. Komplikasi terhadap pasien masih tinggi dimana 25%
pasien memerlukan operasi tambahan ketika sampai di Amerika Serikat. Tatalaksana
sekunder pada cedera soft tissue ekstensif dipermudah dengan penggunaan dressing
vakum. Pola cedera dapat diketahui berdasarkan pemeriksaan arteriografi terutama
pada pasien dengan luka ledakan yang disertai defek soft tissue yang besar serta
cedera tulang. Catheter-based strategies dapat digunakan dalam pengelolaan fistula
arteriovenosa traumatis dan aneurisma yang terkait. Pendekatan endovaskular
terhadap cedera kompleks menimbulkan perbedaan yang signifikan terhadap
penanganan cedera vaskular jika dibandingkan konflik sebelumnya.

Vous aimerez peut-être aussi