Vous êtes sur la page 1sur 11

Abstrak

Penelitian dilakukan untuk meneliti karakteristik mineralogi endapan


nikel laterit pada batuan ultramafik, terhadap 14 sampel titik bor, yang
kemudian dianalisis dan dideskripsi untuk mengetahui proses lateritisasi,
karakteristik mineralogi dan proses pengkayaan unsur dalam zona – zona
pelapukan.

Batuan penyusun daerah penelitian merupakan dunit dan lerzolit, dimana


mineral-mineral yang hadir di dominasi oleh mineral olivin, piroksen dan
serpentin, serta kehadiran mineral-mineral opak seperti kromit dan
magnetit yang persentasenya relatif kecil. Sedangkan mineral-mineral
lempung yang hadir berdasarkan hasil analisi X-Ray Diffraction
diantaranya chlorite, clinochlore, kaolinite dan dickite.
Karakteristik mineralogi daerah penelitian berdasarkan hasil analisis
geokimia maupun deskripsi sampel core menunjukan perilaku masing-
masing unsur yang berbeda, seiring dengan tingkat pelapukan dan
kedalaman titik bor. Perilaku yang berbeda antara unsur-unsur selama
proses pelapukan ditentukan oleh perbedaan mobilitas kimia unsur,
resistensi mineral penyusunnya, proses pengkekaran serta intensitas
pelapukan.

Kata Kunci : Mineralogi Endapan Nikel Laterit

PENDAHULUAN
Nikel laterit adalah produk residual pelapukan kimia pada batuan
ultramafik. Proses ini berlangsung selama jutaan tahun dimulai ketika
batuan ultramafik tersingkap di permukaan bumi. Pelapukan pada
peridotit menyebabkan unsur-unsur dengan mobilitas rendah
sampai immobile seperti Ni, Fe dan Co mengalami pengayaan secara
residual dan sekunder (Burger, 1996). Berdasarkan hasil penyelidikan
eksplorasi yang dilakukan diperkirakan jumlah cadangan bijih laterit
mencapai 82 %, sedangkan sisanya berupa bijih jenis nikel sulfida.
Walaupun demikian, sebagian besar produksi nikel dunia masih berasal
dari bijih sulfida. Di masa mendatang jumlah cadangan bijih sulfida akan
semakin sulit diperoleh, sehingga cadangan bijih laterit akan menjadi
sumber utama produksi bijih nikel. Besarnya cadangan nikel dalam bijih
laterit di Indonesia diduga mencapai 15 % dari cadangan dunia.
1. Rumusan Masalah
Sehubungan dengan karakteristik mineralogi endapan nikel laterit pada
penelitian ini, maka di rumuskan permasalahan yang ada di daerah
penelitian sebagai berikut :
– Bagaimana karakteristik mineralogi pada daerah penelitian

– Bagaimana pola penyebaran zonasi pada daerah penelitian.

1. 2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui karakteristik mineralogi
endapan nikel laterit pada daerah pertambangan nikel Pomalaa, yaitu di
daerah Tambang Tengah Bukit TLA2.

3. Lokasi Penelitian.
Lokasi penelitian ini dilakukan pada kuasa pertambangan PT. Antam Tbk
UBPN Sulawesi Tenggara, yaitu daerah Tambang Tengah (Bukit TLA2
Lembar 3).

PT. Aneka Tambang Nikel Operasi Sulawesi Tenggara, secara administratif


termasuk pada wilayah Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Propinsi
Sulawesi Tenggara. Secara astronomis daerah Kolaka berada pada
4º0º- 4º30º Lintang Selatan dan 121º 30º – 122º00º Bujur Timur (lihat
Gambar 1).

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan meliputi studi pustaka, pekerjaan lapangan,
pengambilan conto batuan, penentuan lokasi pengamatan, pembuatan
zona penyebaran nikel, serta deskripsi sayatan tipis, analisis data, dengan
tahapan sebagai berikut :

1. 1. Tahapan Kajian Pustaka


Pekerjaan pada tahap ini adalah mengumpulkan data sekunder yang
berhubungan dengan keadaan geologi daerah penelitian, baik geologi
regional maupun geologi lokal diantaranya data penyebaran litologi,
kondisi struktur, stratigrafi regional serta genesa pembentukan endapan
nikel laterit. Data tersebut digunakan untuk interpretasi kondisi umum
daerah penelitian.

1. 2. Tahapan Pekerjaan Lapangan


Pekerjaan lapangan dilakukan dengan menggunakan peta topografi untuk
mengetahui topografi dilapangan, morfologi, kelerengan dan pemetaan
zona pelapukan lateritisasi. Pengambilan conto batuan permukaan dan
bawah permukaan, pengamatan hasil dari pemboran, pengambilan data
bor serta penentuan lokasi pengamatan, dan pengambilan dokumentasi.

3. Tahapan Pekerjaan Laboratorium


– Pengamatan Petrografi

– Analisis X-RD (X-Ray Diffractogram)


4. Pengolahan Data dan Analisis
Karakterisasi mineralogi endapan, terutama batuan asal (bedrock)
HASIL PEMBAHASAN
3.1. Geologi Daerah Penelitian
3.1.1. Morfologi/ Topografi Daerah Penelitian
Pada daerah penelitian yang terletak didaerah Tambang Tengah memiliki
kondisi relief berupa perbukitan, ketinggian tertinggi 302,4 meter dpl dan
yang terendah 250,47 meter dpl, pola penyaluran tidak berkembang
dengan baik karena hanya merupakan lembah-lembah yang kering,
tingkat pelapukan cukup tinggi dengan kondisi vegetasi yang cukup tebal
dan tidak adanya singkapan-singkapan yang segar, sehingga pembentukan
endapan nikel pada daerah tersebut berbeda-beda, hal ini dipengaruhi
oleh kondisi morfologinya, dimana pada daerah dengan tingkat kelerengan
landai sampai sedang merupakan tempat pengkayaan nikel, sedangkan
pada daerah dengan tingkat kelerengan curam, erosi mekanik akan
membawa unsur-unsur nikel sebelum unsur-unsur tersebut membentuk
laterit.

Morfologi daerah penelitian bukit TLA2 lembar 3 pada daerah Tambang


Tengah, Unit Bisnis Pertambangan Nikel Pomalaa meliputi
satuan perbukitan berlereng sedang sampai curam dan satuan perbukitan
berlereng landai (Gambar 2 dan 3), satuan perbukitan berlereng landai
menempati bagian barat daerah penelitian, sedangkan satuan perbukitan
berlereng sedang sampai curam menempati bagian selatan daerah
penelitian.

Gambar 2 Peta Morfologi Daerah Penelitian


Gambar 3 Peta Topografi Daerah Penelitian

3.1.1. Litologi
Pengelompokan atau pembagian satuan litologi didasarkan oleh
perbedaan kenampakan fisik baik secara megaskopis maupun
mikroskopis, dimana litologi pada daerah penelitian merupakan satuan
Dunit-Peridotit, satuan peridotit merupakan basement dari Mandala
Geologi Sulawesi Timur yang berumur Kapur Awal (Simandjuntak dkk,
1991). Satuan dunit-peridotit yang merupakan bagian dari ofiolit Sulawesi
Timur, menempati sebagian besar daerah perbukitan yang
mencakup daerah penelitian. Secara megaskopis satuan ini didominasi
oleh batuan beku ultramafik berupa peridotit (dunit dan lerzolit), piroksen
dan sebagian kecil serpentinit yang tersebar setempat-setempat (Gambar
4).

Gambar 4. Dunit yang menjadi batuan dasar pada daerah penelitian

Secara petrografis batuan penyusun satuan adalah dunit dan lherzolit.


Batuan tersebut hampir seluruhnya mengalami serpentinisasi namun
dengan intensitas yang berbeda-beda dari tinggi sampai rendah. Hal ini
dibuktikan dengan adanya rekahan pada bidang kristal olivin maupun
piroksen yang terisi oleh mineral serpentin. Tingkat serpentinisasi rendah
ditunjukkan oleh hadirnya rekahan pada kristal olivin maupun piroksen
yang terisi oleh serpentin namun dengan persentase yang rendah,
sedangkan tingkat seprentinisasi tinggi ditunjukkan oleh kehadiran
rekahan yang intensif pada kristal penyusun dengan persentase yang
tinggi sehingga batuan memiliki kenampakan yang mirip dengan
serpentinit. Selain itu pada sayatan petrografi juga dijumpai kehadiran
mineral-mineral opak seperti kromit dan magnetit namun dengan
persentase yang relatif kecil dan hadir sebagai inklusi maupun pengisi
rekahan pada kristal piroksen ataupun olivin (lihat gambar 5).

Gambar 5. Sayatan petrografi conto batuan TB 283 E yang menunjukkan adanya serpentinisasi
tingkat rendah pada batuan ultramafik (lherzolite) dan kenampakan kromit yang hadir sebagai
inklusi (A). Kenampakan dengan nikol sejajar. (B). Kenampakan dengan nikol bersilang.

Peridotit dan batuan ultramafik lainnya mengalami proses serpentinisasi


dengan intensitas yang berbeda-beda dari redah sampai tinggi. Tingkat
pelapukan pada satuan ini cukup bagus akan tetapi karena morfologi yang
terjal kurang mendukung untuk menghasilkan endapan laterit yang tebal.
Hal ini disebabkan lapukan yang terbentuk akan langsung terkikis oleh air
permukaan. Sebagai batuan basement, satuan ini berulang kali terkena
proses tektonik sehingga menyebabkan intensitas rekahan yang tinggi
pada batuan tersebut. Rekahan – rekahan tersebut biasanya diisi oleh
mineral mineral sekunder hasil pelarutan seperti krisopras, garnierit,
silika, serpentin dan oksida besi. Berdasarkan ciri fisik maupun
petrografisnya satuan ini termasuk dalam Formasi Kompleks Ultramafik.
3.1.1. Struktur Geologi
Struktur kekar berkembang secara intensif pada satuan peridotit dengan
intensitas yang berbeda-beda. Struktur kekar mempunyai implikasi yang
sangat penting dalam pembentukan endapan laterit. Struktur kekar ini
merupakan salah satu faktor yang menentukan intensitas proses
pelapukan yang menghasilkan endapan nikel laterit. Pada batuan
ultramafik kekar-kekar tersebut terisi oleh mineral-mineral sekunder hasil
pelarutan mineral primer dari batuan ultramafik tersebut seperti garnierit,
serpentin dan oksida besi.

Struktur lokal daerah penelitian sangat mempengaruhi distribusi unsur-


unsur pada profil kimia daerah tersebut, dimana pembentukan rekahan-
rekahan pada batuan dasar berupa batuan ultramafik yang intensitasnya
berbeda-beda, sehingga berpengaruh pada tingkat pelapukan dan
pengkayaan unsur Ni, serta unsur-unsur lain yang ada pada profil laterit.
Daerah yang mempunyai intensitas pengekaran yang intensif
kemungkinannya akan mempunyai zona penambahan bijih yang lebih
tebal dibandingkan dengan yang pengekarannya kurang begitu intensif.
Perbedaan intensitas inilah yang menyebabkan ketidak normalan dari
distribusi pengkayaan unsur-unsur dalam profil laterit.

3.2. Karakteristik Mineralogi Daerah Penelitian


Endapan nikel laterit di daerah penelitian dapat dijabarkan menjadi
beberapa zona seperti halnya endapan nikel laterit di lokasi-lokasi lainnya.
Dari hasil analisa XRF terhadap unsur-unsur logam dan oksida utama,
dapat dilakukan pembagian zonasi endapan laterit menjadi zona limonit,
saprolit dan bedrock. Selain dari hasil analisa kimia, petrografi dan X-RD,
pembagian zonasi laterit didasarkan atas deskripsi inti bor secara
langsung di lapangan, yaitu:
1. Zona Limonit
Secara kimiawi zona limonit umumnya ditentukan atas kelimpahan unsur-
unsur yang tidak mudah larut (residual) seperti Fe, Al, Cr, Ti, Mn dan Co
(Waheed, 2001), akan tetapi dalam hal ini unsur yang paling sering
dipakai adalah Fe karena biasanya berasosiasi dengan mineral utama yang
dijumpai pada zona limonit seperti gotit, mangan oksida (asbolit), oksida
besi limonit dan hematit. Pada zona limonit unsur Mg dijumpai dalam
jumlah kecil karena Mg biasanya berasosiasi dengan mineral olivin,
piroksen dan serpentin yang tidak dijumpai di zona ini. Sedangkan unsur
Ni biasanya dijumpai dalam jumlah yang tidak terlalu tinggi. Hal ini
disebabkan Ni memiliki tingkat kelarutan yang terbatas (limited
solubility) yang menyebabkan unsur Ni akan terbawa oleh air tanah ke
zona yang lebih dalam dan sebagian kecil tertahan di zona limonit. Unsur
Ni pada limonit biasanya dijumpai dalam mineral gotit dan Mn oksida
(asbolit).
Dasar klasifikasi zona limonit berdasarkan unsur kimia adalah klasifikasi
Golightly (1981) yaitu: Fe (> 25 %), MgO (< 5 %), dan Ni (<1,5 %). Pada
daerah penelitian kadar Fe pada zona limonit bervariasi dari 15%-
55%. Sedangkan dari hasil deskripsi lapangan zona limonit dicirikan oleh
kenampakan fisik berupa warna coklat kemerah-merahan sampai coklat
tua, ukuran butir lempung-lanau, dijumpai mineral seperti magnetit,
limonit dan gothit (Gambar 6). Diatas lapisan limonit dijumpai adanya
lapisan material overburdendengan ketebalan yang bervariasi dari 1-3
meter namun pada umumnya kurang dari 1 meter.
Gambar 6. Inti bor zona limonit

2. Zona Saprolit
Secara kimiawi zona saprolit ditandai dengan kelimpahan unsur Mg dan
Ni serta berkurangnya unsur Fe. Hal tersebut disebabkan Mg dan Ni
biasanya terakumulasi dalam mineral hydrous silica yang berasal
dari leaching mineral primer penyusun batuan ultramafik. Unsur Ni pada
zona saprolit biasanya berasosiasi dengan mineral olivin, serpentin dan
mineral hydrous silica seperti garnierit dan krisopras. Unsur yang
bersifat immobile seperti Fe biasanya berkurang pada zona ini karena Fe
biasanya terakumulasi sebagai residual enrichment pada zona limonit.
Dasar klasifikasi zona saprolit berdasarkan unsur kimia adalah klasifikasi
Golightly (1972) yaitu : Fe (< 25 %), MgO (> 5 %), dan Ni (> 1,5 %). Seperti
halnya pada zona limonit klasifikasi ini tidak dapat diterapkan
sepenuhnya dalam pembagian zonasi menurut unsur kimia karena banyak
dijumpai anomali di lapangan sehingga diperlukan sedikit penyesuaian.
Hal ini disebabkan tiap daerah memiliki karakteristik yang khas namun
tidak menyimpang terlalu jauh dari model umumnya. Dari hasil deskripsi
lapangan pada titik bor (logging) zona saprolit dicirikan oleh kenampakan
fisik berupa warna coklat kekuning-kuningan sampai kuning kecoklat-
coklatan, ukuran butir pasir halus – kerakal, mulai dijumpai adanya fraksi
material yang lebih kasar yang merupakan hasil pelapukan yang belum
sempurna seperti bongkah batuan dasar, biasanya dijumpai mineral
seperti serpentin, talk, olivin, garnierit, krisopras dan mineral-
mineral hydrous silica lainnya (Gambar 7). Pada umumnya saprolit pada
daerah penelitian merupakan rocky saproliteyaitu zona saprolit yang kaya
akan fragmen batuan dasar yang masih tersisa.
Gambar 7. Inti bor zona saprolit.

3. Zona Bedrock
Secara kimiawi zona bedrock merupakan zona yang memiliki komposisi
kimiawi yang masih sama dengan batuan dasar yang masih fresh. Batuan
dasar dari endapan nikel laterit pada daerah penelitian adalah di dominasi
oleh Dunit dan lherzolit. Batuan tersebut umumnya mengalami
serpentinisasi dengan intensitas lemah sampai tinggi. Unsur yang umum
dijumpai dalam konsentrasi yang tinggi adalah Mg, sedangkan unsur Ni
dan Fe semakin menurun konsentrasinya. Mineral yang umum dijumpai
adalah mineral primer penyusun batuan tersebut yaitu olivin, piroksen
dan serpentin. Secara megaskopis zona bedrock dicirikan oleh batuan
yang masih segar dengan tingkat pelapukan maupun serpentinisasi yang
rendah, kompak, dan masif, masih memperlihatkan struktur, tekstur, dan
komposisi asli dari batuan tersebut (Gambar 8).

Gambar 8. Inti bor zona bedrock

3.3. Analisis Petrografi


Dari analisis petrografi yang dilakukan terhadap 10 sampel batuan
(sayatan tipis) dengan menggunakan mikroskop polarisasi, menunjukkan
bahwa mineral-mineral yang hadir berdasarkan hasil pengamatan dengan
menggunakan mikroskop polarisasi, di dominasi oleh mineral Olivin,
kemudian juga terdapat piroksen, serpentin, kromit dan mineral-mineral
aksesoris lainnya seperti magnetit.

Analisa petrografis no kode TB 270 E dan TB 278 E menunjukan sebagian


besar conto batuan mengalami ubahan (Gambar 9 dan 10). Sayatan tipis
menunjukkan warna kuning kecokelatan dengan mineral penyusun mulai
menunujukkan perubahan warna mulai cerah menjadi cokelat, terdapat
banyak rekahan yang memotong mineral.

Dari beberapa sayatan tipis pada mineral olivin no kode TB 270 E, mulai
berwarna cokelat terutama pada tempat yang berpotongan dengan
rekahan dan alterasi menjadi mineral serpentin yang berwarna abu-abu.

Gambar 9. TB. 270 E. Kenampakan olivin (Ol) yang telah terubah menjadi serpentin (Srp)

Untuk mineral piroksen, sebagian telah megalami proses ubahan menjadi


mineral serpentin (Gambar 10), mineral serpentin memiliki penyebaran
merata, terdapat pada retakan mineral olivin

Gambar 10. TB. 278 E. Kenampakan piroksen (Px) yang telah terubah menjadi serpentin (Srp)
3.4. Analisis X-Ray Diffraction
Untuk analisis XRD di lakukan terhadap 6 sampel. Analisa XRD dilakukan
dengan menggunakan Rigaku Multiflex X-ray diffractometer dengan
radiasi CuKα (pada 40 kV dan 20 mA), 1º divergence slit dan 1º (atau
1/2º) receiving slit, dan graphite monochromator. Hasil analisa
pada random powder mounts diperoleh dari kisaran 2º – 65º pada interval
0.02º, 2º dalam waktu 1 detik. Hasil analisa pada oriented clay
mounts diperoleh dari kisaran 2º – 30º pada interval 0.02º, 2θ tiap detik.
 Interpretasi Difraktogram
Pola-pola difraksi yang dihasilkan kemudian diproses secara otomatis
menggunakan software pengidentifikasi peak yaitu MDI Jade v6.0.
Kondisi yang dibutuhkan dalam identifikasi otomatis : parabolic filter,
threshold = 3 = 0.1%, background = 3/1.0, peak-top = summit dan
wavelength to compute d-spacing = 1.54056 Å (Cu/K-alpha). Untuk
memastikan identifikasi peak yang benar, maka difraktogram tersebut
diperiksa ulang secara manual menggunakan tabel pola-pola X-RD oleh
Chen (1977) dan JCPDS (1988).
Secara umum mineral lempung yang hadir berdasarkan analisa X-Ray
Diffraction (X-RD), diantaranya : (seperti pada Gambar 10A dan B, 11A
dan B, 12A dan B)

– TB 277 E Limonit : terdiri atas komposisi zeolite (kelompok


skapolit), clinochlore dan Talk (kelompok chlorite), dickite (clay
mineral).
– TB 277 E Saprolit : terdiri atas
komposisi chlorite – serpentine, zeolit (kelompok
skapolit), dickite dan kaolinite (Clay mineral)
– TB 270 D Limonit : terdiri atas komposisi chlorite – serpentine
– TB 270 D Saprolit : terdiri atas komposisi kaolinite, dickite (clay
mineral), clinochlore(kelompok klorit) dan chlorite – serpentin
– TB 157 Limonit : terdiri atas komposisi chlorite
– TB 157 Saprolit : terdiri atas komposisi clinochlore (kelompok klorit),
dan kaolinite(clay mineral)

Gambar 11A. Difragtogram TB 277 E Limonit


Gambar 11B. Difragtogram TB 277 E Saprolit

DAFTAR PUSTAKA
Burger, P.A., 1996. Origins and Characteristic of Lateric Nickel
Deposits, Nickel ’96Seminar Proceedings, Kalgoorlie. p 179-183.
Golightly, J.P., 1979, Geology Of Soroako Nickeliferous Laterite Deposite,
Int. Laterite Simp, New Orleans.
Simandjuntak, T.O., Surono, dan Sukido., 1984, Laporan Geologi Lembar
Kolaka Proyek Pemetaan Geologi dan Interpretasi Foto Udara Dalam
Skala 1:250.000, Bandung. 50 p.
Waheed, A., 2002. Nickel Laterites-A Short Course : Chemistry,
Mineralogy, and
Formation of Nickel Laterites (tidak dipublikasikan ).
Waheed, A., 2005. Mineral Associated With Laterites. Tidak
Dipublikasikan, 54 p.

Vous aimerez peut-être aussi