Vous êtes sur la page 1sur 22

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 PENYAKIT JANTUNG KORONER

Penyakit jantung koroner adalah gangguan fungsi jantung akibat berkurangnya

suplai darah ke otot jantung karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner

(Balitbangkes 2013). Penyakit jantung koroner dapat diklasifikasikan menjadi dua

jenis, yaitu stable coronary artery disease (SCAD) dan acute coronary syndrome

(ACS). Penyakit jantung koroner stabil (SCAD) merupakan salah satu bagian dari

penyakit jantung koroner yang ditandai dengan manifestasi klinis berupa adanya

fase/episode ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan jumlah suplai oksigen yang

bersifat sementara, akibat dari iskemia/hipoksia, yang secara umum dapat dipicu oleh

olahraga yang berlebihan, emosi, maupun stress yang terjadi secara berulang maupun

terjadi secara spontan. Episode iskemia/hipoksia umumnya dihubungkan dengan rasa

tidak nyaman pada dada (angina pectoris) yang berlangsung singkat dan membaik

bila aktifitas dihentikan/istirahat.


Sedangkan ACS adalah istilah yang menggambarkan kondisi yang terkait dengan

iskemia/infark miokard yang terjadi akibat penurunan jumlah aliran darah koroner

yang berlangsung dengan tiba-tiba. Penanda/ marker utama dari ACS adalah

ketidakseimbangan mendadak antara jumlah oksigen yang diperlukan dengan jumlah

asupan oksigen yang tersedia, yang umumnya disebabkan oleh obstruksi arteri

koroner. Ketidakseimbangan ini juga dapat disebabkan oleh beberapa kondisi lain

seperti peningkatan kebutuhan oksigen pada kondisi pembatasan aliran darah akibat

adanya lesi miokard, insufisiensi koroner oleh penyebab lain (contoh : angina

vasospastik, coronary embolism (emboli koroner), arteritis koroner; dapat dipicu juga

oleh penyebab non koroner seperti hipotensi, anemia parah, hipertensi, takikardia,

kardiomiopati hipertropik, stenosis aorta berat); kerusakan miokardiak non iskemik

seperti miokarditis, cardiac contusion, obat-obatan kardiotoksik; dan beberapa factor

lain yang tidak berhubungan langsung (contoh : stress kardiomiopati, emboli paru,

gagal jantung berat, dan sepsis). Berdasarkan peningkatan segmen ST/ ST-segment

elevation ACS dapat dibagi menjadi 2, yaitu NSTEMI (Non-ST-elevation Miokardiac

Infark) dan STEMI (ST-elevation Miocardiac Infark). Dinyatakan sebagai NSTEMI

bila tidak ditemukan peningkatan segmen ST dan dinyatakan sebagai STEMI apabila

ditemukan adanya peningkatan segmen ST.


2.2 MANIFESTASI PENYAKIT JANTUNG KORONER

2.2.1 Angina Stabil

A) Definisi angina stabil

Angina merupakan rasa tidak nyaman yang digambarkan sebagai nyeri

atau sesak pada daerah dada depan (namun dapat juga menyebar ke daerah

leher, bahu, rahang, maupun lengan). Angina pada umumnya dipicu oleh

aktivitas yang berat atau stress emosional. Beberapa orang dapat mengalami

gejala lain seperti perut terasa tidak nyaman, sesak nafas, atau mual. Angina

adalah gejala utama dari iskemik miokard yang umumnya disebabkan oleh

penyempitan pembuluh darah arteri koroner sehingga suplai aliran darah kaya

oksigen menuju jantung menjadi terhambat. The Health Survey for England,

pada tahun 2006 melaporkan sekitar 8% pria dan 3% wanita berusia 55 sampai

64 tahun sudah pernah mengalami angina, sedangkan untuk wanita dan pria

berusia 65 sampai 74 tahun persentase yang sudah pernah mengalami angina

sebanyak 14% dan 8%. Diperkirakan hampir dua juta orang di Inggris sudah

pernah mengalami angina (NICE, 2012)

B) Gejala Angina Stabil

Gejala yang umum timbul pada angina stabil adalah rasa tidak nyaman pada

daerah dada. Rasa nyeri yang timbul dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori,

yang terdiri dari lokasi, karakteristik, durasi, dan hubungannya dengan aktivitas

pemicu maupun factor-faktor yang dapat meringankan gejala. Rasa tidak


nyaman akibat iskemik miokard umumnya terasa pada daerah dada, dekat

sternum, tetapi dapat juga terasa menjalar/menyebar dari epigastrum ke rahang

bawah atau gigi, diantara tulang belikat atau dapat pula terasa pada lengan

sampai pergelangan tangan dan jari tangan.

Rasa tidak nyaman tersebut sering dijelaskan sebagai tekanan, rasa sesak/

berat terkadang mencengkram, atau sensasi terbakar. Angina dapat terjadi

dalam durasi waktu yang singkat, biasanya tidak lebih dari 10 menit atau

bahkan kurang dari 1 menit pada sebagian besar kasus. Namun apabila nyeri

dada belangsung dalam hitungan detik, kemungkinan tidak berkaitan dengan

angina. Karakteristik terpenting dari angina stabil adalah kaitannya dengan

aktivitas/olahraga berat dan stress emosional. Pada umumnya gejala akan

memburuk dengan meningkatnya aktivitas seperti kegiatan mendaki maupun

saat berada di daerah berudara dingin, dan gejala akan menghilang dalam

beberapa saat jika factor penyebabnya dihilangkan.


Tabel 2.1 Klasifikasi Angina ( ESC, 2013)

Typical angina (definite) Memenuhi ketiga karakteristik berikut:

1. Rasa tidak nyaman pada dada di daerah

substernal secara kualitas dan durasi

2. Dipicu oleh aktivitas berat yang berlebih atau

stress emosional

3. Hilang dengan istirahat dan/atau obat nitrat

dalam beberapa menit

Atypical angina Memenuhi 2 dari karakteristik tersebut

(probable)

Non anginal chest pain Kurang atau hanya memenuhi 1 dari 3 karakteristik

tersebut

Tabel 2.2 Klasifikasi Tingkat Keparahan Angina menurut Canadian

Cardiovascular Society (ESC, 2013)

Kelas I Aktivitas biasa seperti berjalan dan menaiki anak tangga

tidak menyebabkan angina. Angina terjadi saat melakukan

pekerjaan berat dalam waktu yang lama

Kelas II Aktivitas biasa menjadi sedikit terbatasi. Angina timbul saat

berjalan atau meniki tangga dengan cepat, atau setelah


makan, ketika cuacaberangin dan dingin, mengalami stress

emosional, atau hanya beberapa jam setelah bangun tidur.

Berjalan lebih dari 100-200 meter pada kondisi normal.

Kelas III Ditandai dengan keterbatasan untuk melakukan aktivitas

fisik biasa. Angina terjadi pada saat berjalan sejauh 100-200

meter atau saat meniki tangga pada kondisi normal

Kelas IV Ketidakmampuan melakukan aktivitas fisik apapun secara

normal. Angina dapat timbul saat sedang beristirahat.

2.3 CLOPIDOGREL

Penggunaan obat antiplatelet pada penyakit jantung koroner memegang peran

penting untuk mencegah terjadinya agregasi platelet/ event trombotik akut sekaligus

mencegah berkembangnya kerusakan ventrikel jantung yang dapat memicu kejadian

kardiovaskular akut (infark miokard dan kematian). Salah satu antiplatelet yang

banyak digunakan adalah golongan inhibitor reseptor P2Y12 turunan thienopiridine

yaitu clopidogrel. Clopidogrel merupakan bentuk prodrug yang memerlukan proses

bioaktivasi oleh hepar untuk dapat berubah menjadi bentuk aktifnya. Metabolit aktif

clopidogrel mempunyai mekanisme kerja dengan membentuk ikatan yang ireversibel

dengan reseptor P2Y12 pada permukaan platelet, sehingga reseptor tidak dapat

berikatan dengan ADP (Adenosine Diphosphate) dan menyebabkan agregasi platelet

tidak terjadi (AHA, 2006).


2.3.1 Mekanisme Aksi Clopidogrel

Untuk dapat menghasilkan efek antiplatelet, clopidogrel memerlukan bioaktivasi

melalui metabolisme hepatik. Clopidogrel yang diberikan melalui rute oral akan

diabsorpsi di usus halus, namun sejumlah tertentu clopidogrel akan dikeluarkan

kembali menuju lumen intestinal oleh pompa Glycoprotein (P-gp). Setelah

diabsorbsi, sebanyak 85% dari clopidogrel akan diubah menjadi bentuk metabolit

inaktif oleh aktivitas enzim esterase. Selanjutnya, sekitar 15 % clopidogrel yang

tersisa akan mengalami 2 tahap transformasi untuk menjadi metabolit aktif. Pada

tahap pertama, clopidogrel akan diubah menjadi 2-oxo-clopidogrel dengan bantuan

beberapa enzim diantaranya CYP2C19, CYP1A2, dan CYP2B6. Selanjutnya pada

tahap kedua dengan bantuan enzim CYP3A4/5, CYP2B6, CYP2C19, atau CYP2C9

akan menghasilkan metabolit reaktif yang selanjutnya akan membentuk ikatan

irreversible dengan reseptor P2Y12 pada permukaan platelet, yang akan menghambat

aktivasi platelet selama masa hidup platelet (~10 hari). Pada kondisi normal reseptor

P2Y12 seharusnya berikatan dengan ADP (Adenosine diphosphate), yang selanjutnya

akan mengaktivasi kompleks glikoprotein (GP) IIb/IIIa secara lemah dan sementara.

Ikatan antara reseptor P2Y12 dengan ADP juga akan menstimulasi rilis granul-granul

platelet yang mengandung lebih banyak ADP yang selanjutnya akan semakin

meningkatkan aktivasi (GP) IIb/IIIa. Ketika (GP) IIb/IIIa sudah teraktivasi, maka

(GP) IIb/IIIa akan mengikat fibrinogen yang larut dan faktor von Willebrand yang

akan memicu agregasi platelet. Berdasarkan proses terjadinya agregasi platelet, dapat

terlihat bahwa penghambatan ikatan antara reseptor P2Y12 dengan ADP oleh
clopidogrel memberikan efek yang signifikan terhadap penurunan aktivasi platelet

yang pada akhirnya juga mengurangi bahkan mencegah agregasi platelet (Libertas

Academia, 2010)

2.4 FARMAKOGENOMIK CLOPIDOGREL

Clopidogrel merupakan prodrug yang harus dimetabolisme menjadi metabolit

aktifnya dengan enzim agar dapat bekerja sebagai antiplatelet. Bioaktivasi

clopidogrel berlangsung melalui dua tahap yang dikatalisis oleh enzim CYP2C19,

CYP1A2, CYP2B6, CYP3A4/5, dan CYP2C9. Banyaknya jumlah enzim yang

terlibat meningkatkan peluang untuk terjadinya variasi genetik. Gen CYP2C19, yang

merupakan anggota dari CYP450, memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi, yang

ditunjukkan dengan sekitar 25 jenis bentuk polimorfnya. Bentuk polimorfisme

clopidogrel yang paling umum ditemukan adalah CYP2C19 *1(normal function

allel), CYP2C19*2 dan CYP2C19*3 (loss of function allel), dan CYP2C19*17 (gain

of function allel). Adanya polimorfisme genetik pada gen penyusun enzim CYP2C19

pada allele *2 (rs4244285, c.681G>A) mengakibatkan penurunan metabolisme

clopidogrel, sehingga jumlah metabolit aktif yang dihasilkan menurun dan berujung

dengan penurunan efek antiplateletnya. Suatu studi yang dilakukan terhadap 8 orang

pasien korea yang menggunakan clopidogrel, menunjukkan bahwa pasien dengan

polimorfisme homozygot alel non-fungsional CYP2C19(*2/*2) dan CYP2C19(*2/*3)

memiliki daya inhibisi agregasi platelet 30% dan 37% lebih rendah dibandingkan

dengan polimorfisme heterozygot CYP2C19(*1/*1/*2/*3) (Kim et al, 2008).


Polimorfisme genetik CYP2C19 pada allele *2 (rs4244285, c.681G>A) terbilang

cukup tinggi pada ras Asia, yaitu sekitar 29-35% (SA Scott et al, 2013).

2.5 PLATELET FUNCTION TEST

Tes fungsi platelet memegang peran penting dalam menentukan responsivitas

pasien terhadap terapi antiplatelet. Terdapat tiga jenis ketegori tes yang umum

digunakan untuk memonitor efek terapi clopidogrel. Kategori pertama adalah tes

yang didasarkan pada agregasi platelet, contoh komersialnya adalah light

transmission aggregometry (LTA) dengan menggunakan plasma yang kaya akan

platelet.,

Test fenotip dilakukan untuk mengukur reaktivitas platelet pada pasien yang

sedang menggunakan clopidogrel. Terdapat beberapa jenis test yang dapat dilakukan

untuk mengetahui reaktivitas platelet, seperti rapid point of care platelet function

assays ( contoh: Verifynow, Platelet Function Analyzer [PFA]-100, Plateletworks);

mengukur reaktivitas terhadap mediator (contoh : vasodilator stimulated

phosphoprotein [VASP] phosphorylation using flow cytometry), dan tes fungsi

platelet (contoh : agregometri dengan menggunakan agonis yang sesuai). Disebut

sebagai tes fenotip karena tes-tes tersebut bertujuan untuk mengetahui keadaan

fenotip klinis, yaitu reaktivitas platelet.


2.4.1 Light Transmission Aggregometry

Light transmission aggregometry ditemukan pada awal tahun 1960 dan sampai

saat ini masih digunakan sebagai standar utama untuk tes fungsi platelet. Meskipun

tes ini sangat banyak digunakan, namun tes ini kurang terstandarisasi dengan baik

dan terdapat variasi yang luas dalam praktiknya di laboratorium ( Jennings et al,

2008; Moffat et al, 2005; Cattaneo et al, 2009)

a) Preparasi sampel untuk LTA

Sampel darah yang sudah diberi buffer sitrat yang telah dikumpulkan

disentrifuge untuk memperoleh plasma yang kaya akan platelet dan plasma

yang mengandung sangat sedikit platelet. Untuk menyiapkan plasma yang

kaya akan platelet (platelet rich plasma/PRP) tabung berisi darah utuh harus

disentrifuge pada 170-200g selama 10 menit dengan menggunakan rotor

yang selalu berputar tanpa berhenti pada suhu ruangan. PPP (platelet poor

plasma) disiapkan dengan melakukan sentrifugasi terhadap sampel pada

1500 g selama kurang lebih 15 menit (Christie et al,2008)

Pada akhir proses sentrifugasi sebanyak 2/3 bagian dari PRP dan PPP

harus diambil secara hati-hati dengan menggunakan pipet plastik dan tidak

boleh menyentuh lapisan keruh dan sel-sel darah merah. PRP dan PPP

tersebut kemudian dipindahkan ke dalam tabung polipropilen, lalu ditutup

dan disimpan pada suhu ruangan. PRP selanjutnya dibiarkan selama 30 menit

sebelum dites. Perhitungan jumlah platelet harusnya dilakukan terhadap PRP


kecuali jika jumlahnya lebih besar dari 600 x 109/L, perhitungan jumlah

platelet seharusnya tidak disesuaikan dengan PPP, karena dapat

menghasilkan inhibisi agregasi platelet yang palsu (Linnemann et al, 2008;

Cattano et al 2007). Analisis PRP dengan jumlah platelet <150 x 109/L masih

memungkinkan untuk dilakukan, tapi hasilnya harus diberi perlakuan khusus

calciumdisetarakan dengan hasil test, dengan melarutkannya dengan buffer

sebagai pengganti PPP).

b) Agonis yang dgunakan pada LTA

Beberapa jenis agonis yang secara umum digunakan dalam melakukan

LTA yaitu ADP, epinephrine, collagen (type 1, tendon), asam arakhidonat,

dan ristocetin. Tambahan agonis lain yang dapat digunakan antara lain

seperti ɣ- thrombin, thrombin receptor activating peptides (TRAP), collagen-

related peptide, analog endoperoksida U46619, dan calcium ionophore

A23187, dapat digunakan apabila diperlukan penyelidikan yang lebih

mendetail. Dosis agonis yang digunakan oleh sebagian besar laboratorium

adalah epinephrine (0.5-10 µM), ADP (0.5-20 µM), dan collagen (1.0-

5.0µg/ml).

c) Prosedur LTA

Prosedur diawali dengan menambahkan sebanyak 1/10 bagian volume

agonis ke dalam PRP untuk menginisiasi agregasi platelet dan konsentrasi

akhir agonis yang terdapat di dalam PRP kemudian dicatat. Platelet


aggregometer mengukur perubahan densitas/kerapatan optik (transmisi

cahaya)

2.4.2
1.5 POLYMERASE CHAIN REACTION

Penemuan terkait fungsi dan peran DNA dalam kehidupan, dahulu menjadi suatu

rangsangan luar biasa bagi munculnya berbagai penelitian genetik dan banyak ahli

biologi terkenal terutama Delbruck, Chargaff, Crick, dan Monod turut berkontribusi

pada masa kejayaan ilmu genetika. Pada tahun 1971-1973 penelitian genetik

mengalami perkembangan pesat yang dikenal sebagai awal revolusi penelitian

biologi. Suatu metode baru yang disebut sebagai teknologi DNA rekombinan atau

genetic engineering berhasil ditemukan. Adapun inti dari teknologi DNA rekombinn

ini adalah gene cloning. .Teknologi DNA rekombinan ini memungkinkan proses

sequencing DNA menjadi lebih cepat dan efektif.

Polymerase Chain Reaction (PCR) ditemukan oleh Kary Mullis pada tahun 1985.

Penemuan PCR ini semakin memudahkan peneliti untuk melakukan proses

sequencing DNA. Jika dahulu untuk melakukan kloning digunakan molekul DNA

sirkular sebagai vector, yang selanjutnya menghasilkan molekul DNA rekombinan

yang kemudian dimasukkan dalam host berupa plasmid bakteri dimana molekul DNA

rekombinan akan bereplikasi. Proses ini membutuhkan waktu yang cukup panjang

(berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan) untuk menghasilkan gen baru yang

diinginkan, selain itu gen yang sudah berhasil direplikasi di dalam host akan sulit

untuk ditentukan keberadaannya, karena jumlahnya yang banyak dan bercampur dari

gen-gen lain yang dimiliki oleh host. Namun sekarang, dengan adanya PCR, peneliti

cukup dengan menggunakan DNA yang telah digabung dengan beberapa reagen

kemudian ditempatkan dalam tabung pada thermal cycler dan selanjutnya molekul
DNA mendapat perlakuan sesuai dengan program yang pada akhirnya akan

menghasilkan DNA yang diharapkan dalam jumlah yang besar (Brown, 2010).

Polymerase Chain Reaction merupakan suatu proses amplifikasi selektif karena

dapat memperpanjang DNA sesuai urutan tertentu selama diketahui urutan

nukleotidanya. Dalam penerapan PCR, 2 oligonukleotida pendek yang disebut primer

akan menempel pada masing- masing pita yang telah terpisah (single strand). Primer

berfungsi sebagai pembatas daerah yang akan diamplifikasi. Dengan adanya primer

pada kedua untai DNA template, maka proses PCR ini dimungkinkan untuk

mengamplifikasi region/sekuen tertentu. Kunci utama dalam PCR adalah menemukan

cara agar amplifikasi hanya terjadi pada DNA target, dan meminimalkan amplifikasi

pada DNA non target. Dalam proses amplifikasi juga selalu menggunakan enzim

DNA polymerase dari Thermus aquaticus, yang bersifat thermostable sehingga tahan

terhadap proses pemanasan.


Gambar 2.12 Proses Polymerase Chain Reaction

1.5.1 Prinsip Umum PCR

PCR merupakan proses dengan siklus berulang pada suhu yang berbeda yang

meliputi tahapan denaturation, annealing, dan extension. Untai ganda DNA template

dipisahkan dengan denaturasi thermal (92-950C). Suhu denaturasi ini dipengaruhi

oleh komposisi basa penyusun DNA. Semakin tinggi kandungan basa G dan C,
semakin tinggi pula suhu denaturasi yang dibutuhkan karena terdapat 3 ikatan

hidrogen antara basa G dan C, sedangkan basa A dan T hanya memiliki 2 ikatan

hydrogen. Semakin banyak jumlah ikatan hidrogennya maka semakin tinggi pula

suhu dan energi yang dibutuhkan untuk memecahkan ikatan ini.

Tahap kedua, yaitu penempelan primer pada region tertentu DNA target. Kondisi

penempelan primer dipengaruhi oleh panjang untai, banyaknya kandungan basa G

dan C, dan konsentrasi primer sendiri. Suhu optimal penempelan primer adalah suhu

sedikit di bawah melting temperature antara primer dan DNA template.

Tahap ketiga adalah elongation/extension atau tehap pemanjangan dimana terjadi

sintesis DNA baru yang dikatalisa oleh enzim DNA polymerase (Taq polymerase).

Suhu optimum Taq polymerase umumnya adalah 720C. Panjang untaian DNA yang

diamplifikasi menentukan durasi proses elongasi (Handoyo dkk, 2001).

Gambar 2.13 Suhu dalam proses PCR (Brown, 2010)


1.5.2 Komponen Bahan yang Digunakan Dalam PCR

Untuk melakukan amplifikasi DNA dengan menggunakan PCR, diperlukan

bahan-bahan yang mendukung proses tersebut, yaitu :

1. DNA template

Berfungsi sebagai cetakan pebentuk molekul DNA baru. Dapat berupa

DNA kromosom atau DNA plasmid yang mengandung fragmen DNA target

yang diinginkan. Penyiapan DNA template dapat dilakukan dengan metode

lisis sel. Prinsip metode lisis sel adalah perusakan dinding sel tanpa merusak

DNA, oleh karena itu dilakukan dengan cara memecah dinding sel

menggunakan buffer lisis. Komponen buffer lisis yang digunakan tergantung

pada sampel. Beberapa komponen buffer yang sering digunakan seperti 5mM

Tris-Cl pH 8,5; 0,1mM EDTA pH 8,5; 0,5% Tween-20 dan 100µg/mL

Proteinase-K (ditambahkan dalam keadaan segar).

Gambar 2.14 Ccara Penyiapan DNA

2. Buffer PCR dan MgCl2

Reaksi PCR hanya akan berlangsung pada kondisi pH tertentu, sehingga

dibutuhkan buffer untuk menjaga pH dan kekuatan ionik bagi kerja enzim
polymerase. Ion Mg2+ berperan sebagai kofaktor bagi enzim polymerase yang

berperan dalam meningkatkan interaksi primer dengan template yang

membentuk kompleks larut dengan dNTPs.

3. Primer

Primer berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA target yang akan

diamplifikasi. Umumnya panjang primer 18- 30 basa. Primer yang pendek

memiliki spesifitas yang rendah dan kemungkinan terjadinya mispriming

(penempelan primer di tempat yang tidak seharusnya) semakin tinggi. Jika

ukuran primer lebih dari 30 basa, tidak terjadi spesifitas secara bermakna,

justru menyebabkan biaya menjadi lebih mahal.

Komposisi primer juga merupakan hal penting. Urutan nukleotida yang

sama perlu dihindari karena dapat menurunkan sesifitas primer. Kandungan

basa (G+C) primer sebaiknya sama atau lebih besar dari kandungan (G+C)

DNA target, selain itu urutan nukleotida pada ujung 3’ sebaiknya G atau C

karena nukleotida A atau T lebih toleran terhadap mismatch.

Melting temperature (Tm) merupakan suhu dimana 50% untai ganda

DNA terpisah. Secara teoritis (Tm) dapat dihitung dengan rumus :

[2(A+T)+4(C+B)], (Tm) sebaiknya berkisar antara 50-650C.


4. dNTPs

Berfungsi sebagai building blocks DNA dalam proses extension. Terdiri

dari dATP (deoksiadenosin trifosfat), dTTp (deoksitimidin trifosfat), dCTP

(deoksisitidin trifosfat), dGTP (deoksiguanosin trifosfat).

5. Enzim Polymerase

Enzim polymerase berperan sebagai katalisator untuk reaksi polimerisasi

DNA. Enzim ini dihasilkan oleh bakteri termofilik atau hipertermofilik

sehingga enzim ini termostabil sampai suhu 950C.

Berikut ini merupakan tahapan dalam proses PCR, diantaranya :

1. Campuran dari DNA (primer, DNA polymerase) dipanaskan sampai suhu

940C, dimana ikatan hydrogen antara 2 pita DNA pecah sehingga DNA

menjadi pita tunggal (single strand).

2. Kemudian suhu diturunkan hingga 50-600C. Pada suhu ini merupakan suhu

yang optimal untuk penggabungan kedua pita kembali dalam larutan yang

mengandung banyak DNA pendek yang disebut oligonukleotida/primer.

Primer-primer tersebut akan menempel pada posisi spesifik dari DNA pita

untai tunggal.

3. Suhu ditingkatkan kembali menjadi 740, sehingga enzim polymerase (Taq

DNA polymerase) yang menempel pada satu ujung end masing-masing primer

dan membentuk pita DNA baru yang melengkapi DNA template sehingga

akan didapatkan 4 pita


4. Suhu kemudian dinaikkan lagi menjadi 940sehingga 2 pasang DNA tadi

terdenaturasi kembali menjadi pita tunggal. Selanjutnya setelah denaturasi

akan terjadi proses penempelan (annealing) dan sistesis DNA baru. Siklus ini

dapat berlangsung/ diulangi sampai 25-30 kali.

Karena keunggulannya ini teknik PCR menjadi teknik yang dianggap paling

efisien untuk membuat DNA rekombinan, namun dibalik keunggulan yang

ditawarkan, PCR memiliki 2 keterbatasan utama yaitu :

1. Posisi pada proses penempelan primer harus diketahui secara tepat agar dapat

membuat primer yang sesuai dengan gen yang akan diperbanyak, sehingga

harus dilakukan isolasi gen terlebih dahulu.

2. Terdapat batasan panjang DNA sequencing yang akan diperbanyak dengan

PCR, sehingga jika dibutuhkan gen yang utuh, harus dilakukan dengan cara kloning

2.6 ELEKTROFORESIS GEL

Elektroforesis gel adalah teknik yang digunakan untuk memisahkan molekul

dalam campuran dengan menggunakan muatan listrik. Molekul DNA bermuatan

negatif, sehingga pada saat ditempatkan pada daerah bermuatan listrik akan bergerak

menuju ke kutub positif. Perpindahan dari molekul tergantung pada bentuk dan

muatannya terhadap rasio massa.

Gel elektroforesis umumnya terbuat dari agarosa, polyacrylamide atau

merupakan campuran keduanya. Terdiri dari jaringan berpori yang kompleks

sehingga molekul DNA harus melaluinya untuk mencapai kutub positif. Molekul
DNA yang lebih kecil akan lebih cepat untuk melewati gel, sehingga metode ini dapat

digunakan untuk memisahkan molekul DNA dengan ukuran molekul yang berbeda.

Gambar 2.15 Proses Elektroforesis (Brown, 2010)

Setelah molekul DNA tersebut dipisahkan, langkah selanjutnya adalah

pewarnaan pita DNA dengan menggunakan Ethidium bromide (EtBr) untuk membaca

hasil pemisahan di bawah sinar ultraviolet. Pita-pita menunjukkan posisi yang

berbeda karena ukurannya berbeda dengan ukuran DNA.


Gambar 2.16 Penampakan Pita DNA (Brown, 2010)

Vous aimerez peut-être aussi