Vous êtes sur la page 1sur 93

UNIVERSITAS INDONESIA

ASUHAN KEPERAWATAN BERDUKA SITUASIONAL


PADA IBU A YANG MENGALAMI STROKE NON- HEMORAGIK
DI RUANG RAWAT ANTASENA
RUMAH SAKIT MARDZOEKI MAHDI BOGOR

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

ROSIANA PUTRI, S.Kep


0806334413

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN
DEPOK
JUNI 2013
UNIVERSITAS INDONESIA

ASUHAN KEPERAWATAN BERDUKA SITUASIONAL


PADA IBU A YANG MENGALAMI STROKE NON-HEMORAGIK
DI RUANG RAWAT ANTASENA
RUMAH SAKIT MARDZOEKI MAHDI BOGOR

KARYA ILMIAH AKHIR NERS


Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners

ROSIANA PUTRI, S.Kep


0806334413

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN
DEPOK
JUNI 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Karya Ilmiah Akhir Ners ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Rosiana Putri, S.Kep

NPM : 0806334413

Tanda Tangan :

Tanggal : 13 Juni 2013


HALAMAN PENGESAHAN

Karya Ilmiah Akhir Ners ini diajukan oleh :


Nama : Rosiana Putri, S.Kep
NPM : 0806334413
Program Studi : Profesi Ners Keperawatan
Judul Karya Ilmiah Akhir Ners : Asuhan Keperawatan Berduka
Situasional pada Ibu A yang
Mengalami Stroke Non- Hemoragik
di Ruang Rawat Antasena Rumah
Sakit Mardzoeki Mahdi Bogor

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners di
Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Dr. Mustikasari, SKp., MARS. ( )

Penguji : Fauziah, M.Kep., Sp. Kep. Jiwa. ( )

Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 13 Juni 2013
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini.
Penulisan karya ilmiah akhir Ners ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Ners pada Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak, sulit bagi saya untuk menyelesaikan karya ilmiah akhir Ners ini.
Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Mustikasari,
SKp., MARS., selaku dosen pembimbing akademik dan Ibu Fauziah, M.Kep., Sp.
Kep. Jiwa., selaku pembimbing klinik yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan
pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan karya ilmiah akhir Ners ini.
Selain itu, saya juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Dewi Irawaty, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia;
2. Ibu Kuntarti, SKp., M.Biomed, selaku Ketua Program Studi Sarjana dan
Profesi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia;
3. Ibu Riri Maria, SKp., MANP., selaku dosen koordinator mata ajar Karya
Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia;
4. Pihak Rumah Sakit Mardzoeki Mahdi (RSMM) Bogor yang telah
menyediakan lahan praktik untuk mata ajar praktik klinik Keperawatan
Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP) Peminatan Jiwa;
5. Ibu Linggar Kumoro, SKp., selaku Kepala Ruang Antasena RSMM
Bogor
yang telah banyak membantu saya selama praktik di Ruang Antasena;
6. Seluruh staf perawat Ruang Antasena RSMM Bogor yang telah banyak
membantu dan memberikan banyak pengalaman kepada saya selama
praktik di Ruang Antasena;
7. Mama, Bapak, Iyang Ega, Duli Rika, dan Bowo yang telah memberikan
doanya serta dukungan semangatnya;
8. Teman-teman praktik Ruang Antasena (Mbak Cilik, Mbak Yani, Teh Fay,
Oyip) dan My Roommate “Sari” yang telah banyak memberikan semangat
dan membantu saya dalam memberikan kritik dan sarannya selama
penyusunan karya ilmiah akhir Ners ini; dan
9. Pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.

Saya menyadari bahwa penyusunan karya ilmiah akhir Ners ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran untuk
kesempurnaan karya ilmiah akhir Ners ini. Semoga karya ilmiah akhir Ners ini
dapat bermanfaat bagi saya dan pembaca khususnya, serta untuk masyarakat pada
umumnya.

Depok, Juni 2013


Penulis
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini:

Nama : Rosiana Putri, S.Kep


NPM : 0806334413
Program Studi : Profesi Ners Keperawatan
Fakultas : Ilmu Keperawatan
Jenis Karya : Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N)

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Asuhan Keperawatan Berduka Situasional pada Ibu A yang Mengalami


Stroke Non- Hemoragik di Ruang Rawat Antasena
Rumah Sakit Mardzoeki Mahdi Bogor

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 13 Juni 2013
Yang menyatakan

(Rosiana Putri, S.Kep)


Nama : Rosiana Putri, S.Kep
Program Studi : Profesi Ners Keperawatan
Judul : Asuhan Keperawatan Berduka Situasional pada Ibu A
yang Mengalami Stroke Non- Hemoragik di Ruang Rawat
Antasena Rumah Sakit Mardzoeki Mahdi Bogor

Stroke merupakan salah satu penyakit perkotaan yang disebabkan oleh berbagai
faktor, salah satunya adalah gaya hidup buruk yang menjadi masalah kesehatan
yang serius di wilayah perkotaan. Terdapat 11 provinsi mempunyai prevalensi
stroke diatas prevalensi nasional, diantaranya Provinsi Jawa Barat (9.3%). Stroke
dapat menimbulkan dampak negatif terhadap fisik penderitanya, seperti penurunan
fungsi tubuh yang dapat memicu munculnya beberapa masalah psikososial, salah
satunya berduka situasional. Pemunculan emosi positif dengan masalah berduka
situasional diperlukan agar pasien dapat melewati setiap tahapan berduka dengan
baik. Untuk itu, seorang perawat sebaiknya dapat memberikan asuhan keperawatan
dengan membantu memunculkan emosi positif pasien melalui pengungkapan
perasaan dengan cara lisan, aktivitas fisik, sosial dan spiritual berdasarkan tahapan
berduka yang sedang dialaminya.

Kata Kunci:
Asuhan keperawatan, berduka situasional, stroke
Name : Rosiana Putri, S.Kep
Study program : Ners Profession Program
Title : The Nursing Care Process of Situational Grieving on Mrs
A with Stroke Non-Hemoragic Disease in Antasena
Room Care of Mardzoeki Mahdi Bogor Hospital

Stroke is one of the urban disease that caused by many factors, one of them is bad
lifestyle that becomes serious health problem in the urban area. There are eleven
provinces that have higher stroke prevalence than national’s, one of them is West
Java Province (9.3%). Stroke may cause negative impacts on the physical problems,
such as the decline of body function that cause many psychosocial problems, one
of them is situational grieving. The appearance of positive emotions of patient who
has situational grieving problem is needed so that patient can through each stage of
grieving well. For that reason, a nurse should give the nursing care process to help
the patient to appear the positive emotions by expressing his or her feeling with
talking, doing physical activity, social and spiritual according to the stages of
grieving that is being experienced.

Keywords:
Nursing Care Process, Situational Grieving, Stroke
HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ii
LEMBAR PENGESAHAN iii
KATA PENGANTAR iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH vi
ABSTRAK vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii

1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penulisan 5
1.3.1 Tujuan Umum 5
1.3.2 Tujuan Khusus 5
1.4 Manfaat Penulisan 6
1.4.1 Manfaat Keilmuan 6
1.4.2 Manfaat Aplikatif 6
1.4.3 Manfaat Metodologis 6

2. TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1 Stroke 7
2.1.1 Definisi Stroke 7
2.1.2 Penyebab Stroke 7
2.1.3 Klasifikasi Stroke 10
2.1.3.1 Stroke Hemoragik 10
2.1.3.2 Stroke Non-Hemoragik 11
2.1.4 Patofisiologi Stroke Non-Hemoragik 12
2.1.5 Manifestasi Klinis Stroke 12
2.2 Berduka Situasional 14
2.2.1 Definisi Berduka 14
2.2.2 Faktor Penyebab Berduka 15
2.2.3 Tahapan Berduka 17
2.2.4 Tanda dan Gejala Berduka 18
2.2.5 Akibat Berduka 20
2.2.6 Asuhan Keperawatan Berduka 20
3. LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23
3.1 Pengkajian Kasus 23
3.2 Masalah Keperawatan 24
3.3 Pohon Masalah dan Diagnosa Keperawatan 25

4. ANALISIS SITUASI 26
4.1 Profil Lahan Praktik 26
4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait KKMP
dan Konsep Kasus Terkait 27
4.3 Analisis Intervensi Keperawatan Berduka Situasional terhadap
Konsep dan Penelitian Terkait 32
4.4 Alternatif Pemecahan Masalah 36

5. PENUTUP 39
5.1 Kesimpulan 39
5.2 Saran 40
5.2.1 Bidang Keilmuan 40
5.2.2 Bidang Aplikatif 40
5.2.3 Bidang Metodologis 41

DAFTAR PUSTAKA 42
Tabel 2.1 Manifestasi Klinis Stroke Berdasarkan Defisit Neurologis
yang Terkena 13
Tabel 2.2 Tanda dan Gejala Berduka Berdasarkan Respon yang
Muncul 19
Tabel 2.3 Tindakan Keperawatan Berdasarkan Tahapan Berduka 22
Gambar 3.1 Pohon Masalah Keperawatan 25
Lampiran 1 : Pengkajian
Lampiran 2 : Analisa Data
Lampiran 3 : Rencana Asuhan Keperawatan
Lampiran 4 : Catatan Perkembangan
Lampiran 5 : Riwayat Hidup Penulis

xiii Universitas Indonesia


BAB 1
PENDAHULUAN

Pendahuluan merupakan tahap awal dari sebuah penulisan karya ilmiah untuk
memberikan gambaran permasalahan yang ada secara umum dan tujuan dari
diadakannya penulisan. Pada bab pendahuluan ini, penulis membahas latar

belakang yang berisikan justifikasi penulis, rumusan masalah, tujuan penulisan,


serta manfaat penulisan.

1.1 Latar Belakang


Perilaku hidup bersih dan sehat (gaya hidup sehat) masyarakat merupakan
salah satu faktor penting untuk mendukung peningkatan status kesehatan
masyarakat. Seperti diketahui, penduduk perkotaan saat ini harus berhadapan
dengan berbagai masalah kesehatan sebagai akibat gaya hidup dan lingkungan
yang tidak sehat, baik masalah kesehatan konvensional ataupun modern
(Efendi & Makhfudli, 2009). Masalah kesehatan konvensional yang sering
muncul seperti penyakit infeksi dan menular. Sedangkan masalah kesehatan
modern yakni semacam penyakit degeneratif, kelebihan gizi,
penyakit kelamin, serta penyalahgunaan napza dan minuman keras.

Masalah kesehatan yang sering disebabkan karena gaya hidup tidak sehat
diperkotaan adalah munculnya berbagai macam penyakit degeneratif yang
masuk dalam kategori masalah kesehatan modern. Penyakit degeneratif
merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan penyakit yang
muncul akibat kemunduran fungsi sel tubuh, yaitu dari keadaan yang normal
menjadi lebih buruk (Japardi, 2002). Ada sekitar 50 jenis penyakit degeneratif,
diantaranya penyakit jantung dan pembuluh darah (hipertensi, stroke, dan
jantung), endokrin (diabetes mellitus, tiroid, hiperkolesterol), neoplasma
(tumor ganas dan tumor jinak), gangguan pencernaan, kegemukan, dan lain-
lain. Stroke adalah penyebab utama kedua kematian setelah penyakit iskemik
jantung di seluruh dunia, dengan perkiraan 5.5 juta subjek meninggal
karena stroke setiap tahun dari kesemua penyakit degenaratif yang ada (WHO,
2004).

Berdasarkan data WHO (2010), setiap tahunnya terdapat 15 juta orang di


seluruh dunia menderita stroke. Diantaranya ditemukan jumlah kematian
sebanyak 5 juta orang dan 5 juta orang lainnya mengalami kecacatan yang
permanen. Dua pertiga dari kematian ini terjadi di negara-negara dengan
sumber daya rendah. Prevalensi stroke di Indonesia sendiri ditemukan sebesar
8.3 per 1000 penduduk yang menderita stroke atau sebesar 8.3%. Terdapat 11
provinsi mempunyai prevalensi stroke diatas prevalensi nasional dan provinsi
Jawa Barat masuk ke dalam kesebelas provinsi tersebut yaitu sebesar 9.3%
(Riskesdas, 2007).

Penyakit stroke dianggap sebagai salah satu penyakit yang menakutkan bagi
masyarakat karena dianggap sebagai penyakit yang mematikan dari 10 jenis
penyakit mematikan yang masuk dalam daftar data Riskesdas pada tahun 2007.
Stroke didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak yang diakibatkan oleh
berhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer and Bare, 2002).
Berhentinya suplai darah ke otak ini merupakan akibat adanya sumbatan
ataupun pecahnya pembuluh darah yang disebabkan oleh berbagai faktor, salah
satunya adalah gaya hidup atau kebiasaan yang buruk, seperti pola makan yang
tidak sehat, stress, dan kurang gerak (WHO dalam Andry
Hartono, 2006).

Penyakit stroke merupakan masalah kesehatan yang cukup besar sehingga


memerlukan penanganan secara serius. Hal ini dikarenakan penyakit stroke
dapat menimbulkan dampak negatif pada orang yang mengalaminya, yaitu
dapat berdampak negatif atau buruk pada kondisi fisik dan psikologis. Stroke
dapat menyebabkan kelumpuhan atau kelemahan otot, masalah bicara dan
bahasa, masalah memori dan penalaran, kesulitan menelan, masalah
penglihatan, penurunan kesadaran, dan berpotensi terhadap kematian (Stroke
Association, 2008). Kesemua masalah fisik yang muncul tentunya berpeluang
terhadap timbulnya masalah emosional (psikologis) pada penderita stroke.

Berbagai masalah emosional mungkin dialami setelah seseorang mengalami


stroke. Penelitian Hilari, et al (2010) menunjukkan bahwa penderita stroke
pada tahap baseline (bulan pertama hari rawat) akan mengalami distress
sebagai akibat respon dari kehilangan yang dialaminya. Faktor pencetus
terjadinya distress pada tahap baseline ini adalah karena kurangnya dukungan
sosial, rasa kesepian, dan juga ketidakpuasan terhadap lingkungan sosialnya.
Hal ini yang memunculkan rasa depresi pada penderita stroke sebagai respon
rasa kehilangan dan berduka yang dialaminya.

Penelitian Hilari et al sejalan dengan hasil penelitan yang dilakukan Townend,


et al (2010), dimana sebanyak 33 % dari total 89 responden mengalami depresi
pada tahap berduka pasca stroke di bulan pertama terserang stroke. Perasaan
ini muncul sebagai respon karena ketidakmampuan emosional individu
beradaptasi terhadap stroke yang dideritanya. Respon
yang terlihat umumnya perasaan sedih dan rasa tidak berguna.

Respon berduka yang muncul pada penderita stroke merupakan akibat lanjut
dari kehilangan yang dirasakan oleh seseorang yang baru mengalami stroke.
Seperti diketahui, berduka merupakan respon normal pada semua kejadian
kehilangan. Umumnya, respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan
dimanifestasikan dengan perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah
tidur, dan lain-lain (NANDA, 2011).

Respon berduka yang dapat menyebabkan perasaan depresi tentunya dapat


dicegah dan diatasi agar tidak sampai ketahap yang lebih buruk lagi (berduka
disfungsional). Untuk mengatasi atau mencegah rasa depresi sebagai respon
dari berduka yang dialami penderita stroke, tentunya diperlukan berbagai
upaya dari keluarga, tim kesehatan ataupun lingkungan sosial klien. Beckley
(2006) mengatakan peningkatan emosi positif merupakan upaya yang dapat
dilakukan untuk mengatasi rasa depresi yang dialami penderita stroke sehingga
pemulihan status fungsional juga dapat meningkat.

Penelitian lain menyebutkan bahwa dalam proses pemulihan rasa berduka pada
penderita stroke diperlukan orang lain yang berperan untuk memotivasi
penderita stroke agar mau terlibat dalam kegiatan yang meningkatkan status
fungsionalnya (Deiner & Lucas, 2000). Hal ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan Dunn, Elswatte, and Elliot (2009) yang melaporkan bahwa harapan
dan fokus berorientasi pada masa depan dapat meningkatkan emosi positif dan
memotivasi penderita stroke untuk melakukan aktivitas fisik yang
menguntungkan bagi kondisinya setelah stroke. Motivasi ini dapat berasal
dari orang-orang disekitar penderita stroke.

Upaya untuk meningkatkan emosi positif, dukungan sosial, dan motivasi untuk
melakukan aktivitas fisik dinilai cukup berhasil dalam mengatasi perasaan
depresi sebagai respon berduka yang dialami penderita stroke. Penelitan Seale,
et al (2010) menunjukkan dari 840 responden, yaitu sebanyak 35,6% pada tiga
bulan pasca stroke mengalami peningkatan emosi ke arah positif setelah
dilakukan upaya-upaya tersebut. Hal ini dikarenakan emosi positif dapat
mengurangi efek berbahaya dari kecemasan atau depresi yang sering menyertai
terjadinya awal penyakit, termasuk stroke (Fredickson,
et al, 2000).

Masalah berduka yang muncul sebagai respon dari kehilangan fungsi pada
penderita stroke ini harus segera ditangani karena dapat memberikan berbagai
dampak negatif. Dampak negatif yang umumnya muncul adalah perasaan
ketidakberdayaan, gangguan citra tubuh, harga diri rendah, hingga isolasi
sosial. Untuk itu, dibutuhkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak agar
dampak-dampak tersebut tidak muncul. Termasuk bantuan dari seorang
perawat. Perawat harus dapat menangani klien yang mengalami masalah
berduka situasional dengan memberikan asuhan keperawatan yang optimal.
1.2 Perumusan Masalah
Stroke merupakan salah satu penyakit perkotaan yang memiliki masalah yang
kompleks dengan penyebab yang bersifat multifaktorial. Stroke dapat
menimbulkan dampak negatif pada fisik penderitanya, seperti penurunan
fungsi tubuh yang dapat memicu munculnya masalah psikososial. Masalah
psikososial yang biasanya muncul pada awal terserang stroke adalah berduka
situasional sebagai respon dari kehilangan yang dirasakan penderita stroke.

Untuk mengatasi masalah berduka situasional pada penderita stroke agar tidak
berlanjut ke tahap yang lebih parah, seperti depresi, harga diri rendah, hingga
isolasi sosial diperlukan bantuan dari berbagai pihak, termasuk dari perawat
selama proses perawatan di rumah sakit. Perawat harus dapat menangani klien
yang mengalami masalah berduka situasional dengan memberikan asuhan
keperawatan yang optimal pada klien dengan cara membantu pasien
memunculkan emosi positif melalui pengungkapan
perasaan secara verbal, aktivitas fisik, sosial dan spiritual.

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melakukan asuhan keperawatan berduka situasional
pada klien yang mengalami stroke.

1.3.2 Tujuan Khusus


Adapun tujuan khusus dari penulisan karya ilmiah akhir ini adalah
mahasiswa:
 Mampu mengidentifikasi masalah fisik yang muncul pada klien yang
mengalami stroke;
 Mampu memberikan gambaran tentang masalah fisik yang berpengaruh
terhadap masalah psikososial pada klien yang mengalami stroke;
 Mampu memberikan asuhan keperawatan fisik maupun psikososial
pada klien yang mengalami stroke;
 Mampu mengidentifikasi kesenjangan yang terdapat antara teori dan
praktek dalam pelaksanaan asuhan keperawatan berduka situasional
pada klien yang mengalami stroke;
 Mampu mengidentifikasi penyelesaian masalah kesenjangan yang
terjadi antara teori dan praktek dalam pelaksanaan asuhan keperawatan
berduka situasional pada klien yang mengalami stroke.

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Manfaat Keilmuan
Karya ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
keperawatan, khususnya dalam memberikan gambaran tentang pemberian
asuhan keperawatan berduka situasional pada klien yang mengalami stroke.
Sehingga jika menemukan klien yang mengalami stroke perlu dikaji lagi
aspek psikososial pada klien tersebut.

1.4.2 Manfaat Aplikatif


Karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
gambaran pemberian asuhan keperawatan berduka situasional pada klien
yang mengalami stroke pada pihak rumah sakit dan perawat ruangan
Antasena. Hal ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perawat saat
menemui klien yang mengalami stroke, agar dapat memperhatikan aspek
psikososial saat memberikan asuhan keperawatan terhadap klien sehingga
dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang diwujudkan
dengan meningkatnya kepuasaan klien terhadap pelayanan keperawatan
yang diberikan.

1.4.3 Manfaat Metodologis


Karya ilmiah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai penemuan baru terkait
penerapan asuhan keperawatan psikososial pada klien yang mengalami
stroke sehingga kemudian hari dapat dijadikan sebagai sumber rujukan
ilmiah bagi penulisan karya ilmiah berikutnya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab tinjauan pustaka ini, penulis menguatkan permasalahan yang akan
dibahas dalam penulisan hasil asuhan keperawatan berduka situasional yang telah
diberikan sebelumnya. Tinjauan pustaka yang dibahas pada bab ini mengenai

konsep dan teori stroke dan berduka situasional. Selain itu, pada bab tinjauan
pustaka ini penulis juga membahas mengenai konsep dan teori terkait pemberian
asuhan keperawatan kepada klien dengan masalah berduka situasional, mulai dari
sampai dengan rencana tindakan yang akan dilakukan.

2.1 Stroke
2.1.1 Definisi Stroke
Stroke merupakan salah satu gangguan yang terjadi pada sistem neurologis
manusia. Stroke atau Cerebro Vasculer Accident (CVA) adalah suatu
keadaan dimana seseorang kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh
berhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer & Bare, 2002). WHO
(2004) sendiri mendefinisikan stroke sebagai defisit neurologi akut yang
disebabkan oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak
dengan tanda dan gejala sesuai dengan daerah fokal pada otak yang
terganggu. Definisi lain menyebutkan stroke adalah suatu defisit neurologis
mendadak sebagai akibat iskemia atau hemoragik sirkulasi saraf otak
(Ignatavicius & Workman, 2006). Dari beberapa definisi diatas dapat
disimpulkan bahwa stroke merupakan gangguan yang terjadi pada
sistem neurologis sebagai akibat adanya iskemia ataupun hemoragik
pembuluh darah sehingga suplai darah ke bagian otak terhenti.

2.1.2 Penyebab Stroke


Stroke dapat disebabkan oleh beberapa hal, baik karena adanya bekuan
darah ataupun pecahnya pembuluh darah. Menurut Smeltzer and Bare
(2002), penyebab stroke terbagi menjadi empat jenis yaitu karena adanya
trombosis, emboli serebral, iskemia, dan hemoragik serebral. Trombosis dan
emboli serebral merupakan bekuan darah di dalam pembuluh darah otak
yang berasal dari aliran darah bagian tubuh lain sehingga otak bagian distal
tidak memperoleh nutrien dan oksigen. Hal ini menyebabkan terjadinya
penurunan aliran darah ke otak (iskemia). Selain dapat menyebabkan
iskemia, trombosis dan emboli ini juga dapat memicu pecahnya pembuluh
darah serebral dengan perdarahan ke dalam jaringan

otak atau ruang sekitar otak (hemoragik serebral) sehingga mengakibatkan


terjadinya stroke. Stroke merupakan penyakit degeneratif yang tidak dapat
dihindari tetapi dapat dicegah melalui pencegahan berbagai faktor resiko.
Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan stroke,
diantaranya:

 Hipertensi
Hipertensi menjadi faktor risiko karena orang yang mengalami
hipertensi (bukan hanya sistemik melainkan juga ginjal) dapat
menyebabkan kontur pembuluh darah berubah, sehingga apapun yang
lewat mudah tertempel dan memudahkan terjadinya arterosklerosis.

 Penyakit jantung
Sebanyak 40-90% dari penderita Miocard Cardiac Infark (MCI) akan
berkembang menjadi stroke padahal kerusakan terjadi pada pembuluh
darah koroner (Smeltzer & Bare, 2002). Hal ini disebabkan karena
orang dengan MCI akan terjadi kerusakan ditingkat endokardium yang
rapuh sebagai akibat tidak adanya suplai oksigen sehingga
menyebabkan terjadinya nekrotik yang dapat menyumbat pembuluh
darah.
 Diabetus mellitus
Pada penderita diabetes mellitus, viskositas darah akan menjadi kental.
Proses kekentalan darah inilah yang dapat mengendap pada pembuluh
darah. Komplikasi jangka panjangnya akan menyebabkan angiopati
pada pembuluh darah otak (Smeltzer & Bare, 2002).
 Usia
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), seseorang berusia diatas 65 tahun
beresiko terkena stroke lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan data
Riskesdas (2007) bahwa penyakit terbanyak yang dialami seseorang
diatas usia 65 tahun yang dapat menimbulkan kematian baik pada laki-
laki maupun perempuan di Indonesia adalah stroke yaitu dengan
presentase sebesar 20.9% untuk laki-laki dan 24.4% untuk perempuan.

Hal ini disebabkan pada usia lanjut terjadi proses kalsifikasi pembuluh
darah di otak.

 Obesitas
Pada obesitas dapat terjadi hipertensi dan peningkatan kadar kolesterol
sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada pembuluh darah, salah
satunya pembuluh darah otak.

 Habit (kebiasaan)
Pola makan yang salah dapat memicu terjadinya stroke pada individu.
Seringnya mengonsumsi makanan junk food, makanan yang berlemak
atau mengandung kolestrol tinggi dapat memicu penumpukan plak pada
pembuluh darah. Akumulasi konsumsi makanan yang berlemak atau
tinggi kolesterol inilah yang akan berpengaruh terhadap aliran darah
dalam pembuluh darah, dimana elastisitas pembuluh darah dapat
menurun. Lama-kelamaan akan menyebabkan penyumbatan
pembuluh darah dan stroke.

Selain pola makan yang salah, kurang olahraga juga dapat memicu
terjadinya stroke. Hal ini disebabkan karena kurang olahraga dapat
mengakibatkan pembuluh darah seseorang menjadi lemah dan kaku
sehingga menyebabkan aliran darah ke seluruh tubuh, termasuk otak
menjadi kurang lancar. Kebiasaan buruk lain yang dapat menyebabkan
stroke adalah kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok dapat
menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada pembuluh darah,
seperti pengerasan pembuluh darah (Smeltzer & Bare, 2002).
Faktor lain yang juga mempengaruhi timbulnya penyakit stroke adalah
adanya stress emosional. Seperti diketahui, stress emosional kini telah
melanda segenap lapisan masyarakat. Hal ini terutama akibat beban
ekonomi yang semakin berat, kehidupan keras yang menuntut
persaingan ketat, ketidakpuasan terhadap sesuatu yang telah dicapai,
kesulitan dalam hubungan antar manusia, dan sebagainya (Anies,
2005). Stres yang berkepanjangan inilah yang akan membahayakan

karena akan mempengaruhi jantung, dimana dapat menyebabkan


denyut jantung dan tekanan darah meningkat sehingga dapat
meningkatkan resiko timbulnya penyakit stroke.

2.1.3 Klasifikasi Stroke


Secara umum klasifikasi stroke dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu
stroke hemoragik dan stroke non hemoragik (iskemik).

2.1.3.1 Stroke Hemoragik


Stroke hemoragik terjadi apabila pembuluh darah di otak pecah
sehingga menyebabkan iskemia dan hipoksia (Corwin, 2008). Stroke
hemoragik disebabkan rupturnya pembuluh darah di otak sehingga
darah mengisi ruang di antara otak dan tengkorak (hemoragi
subarachnoid) atau ketika terjadi kerusakan pada pembuluh darah arteri
sehingga darah keluar dari pembuluh darah dan mengisi ruang- ruang
di antara jaringan di otak (hemoragi serebral). Penyebab stroke
hemoragik adalah hipertensi, pecahnya aneurisma, atau malformasi
arteriovenosa (hubungan yang abnormal).

Hemoragi dalam otak secara signifikan meningkatkan tekanan


intrakranial, yang memperburuk cedera otak yang dihasilkannya. Stroke
jenis ini umumnya terjadi pada saat melakukan aktifitas, namun juga
dapat terjadi pada saat istirahat. Kesadaran umumnya menurun dan
penyebab yang paling banyak adalah akibat hipertensi yang tidak
terkontrol.
2.1.3.2 Stroke Non Hemoragik
Stroke non hemoragik sering disebut juga dengan stroke iskemik. Pada
stroke non hemoragik, terjadi gangguan pada peredaran darah akibat
obstruksi pembuluh darah. Obstruksi pembuluh darah ini menyebabkan
penurunan aliran darah yang dibutuhkan oleh otak. Obstruksi yang
terjadi pada pembuluh darah dapat disebabkan oleh berbagai macam
faktor. Selain itu, obstruksi yang terjadi juga dapat

sebagian maupun total. Faktor yang paling sering menyebabkan


terjadinya sumbatan pada pembuluh darah tersebut yaitu karena
terjadinya aterosklerosis.

Stroke non hemoragik sendiri didefinisikan sebagai penyumbatan arteri


yang terjadi akibat trombus, yaitu bekuan darah di arteri serebri atau
embolus, yaitu bekuan darah yang berjalan ke arah otak dari tempat lain
di tubuh (Corwin, 2008). Stroke ini biasanya terjadi saat setelah lama
beristirahat, baru bangun tidur atau dipagi hari. Tidak terjadi perdarahan
namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya
dapat timbul edema sekunder. Kesadaran pasien pada umumnya baik.
Stroke iskemik ini terbagi menjadi dua, yaitu stroke trombotik dan
stroke embolik.

 Stroke trombotik
Stroke trombotik terjadi akibat oklusi pembuluh darah, biasanya
karena arterosklerosis berat. Stroke trombotik biasanya berkembang
dalam periode 24 jam. Selama periode perkembangan
stroke, individu dikatakan mengalami stroke in evolution. Pada
akhir periode tersebut, individu dikatakan mengalami stroke lengkap
(completed stroke) (Corwin, 2008).

 Stroke embolik
Stroke embolik berkembang setelah oklusi arteri oleh embolus yang
terbentuk di luar otak. Sumber umum embolus yang menyebabkan
adalah jantung setelah infark miokardium atau
fibrilasi atrium, dan embolus yang merusak arteri karotis komunis
atau aorta (Corwin, 2008).

2.1.4 Patofisiologi Stroke Non Hemoragik


Pada stroke non hemoragik, terjadi gangguan pada peredaran darah akibat
obstruksi pembuluh darah, karena aterosklerosis, trombus, maupun emboli.
Aterosklerosis dapat terjadi akibat hipertensi, kolesterol, stress, serta
berbagai faktor risiko yang lain (Smeltzer & Bare, 2002). Obstruksi
pembuluh darah menyebabkan penurunan aliran darah yang dibutuhkan oleh
otak. Penurunan aliran darah pada pembuluh darah otak hingga 25 ml per
100 g/menit. Aliran darah seharusnya dipertahankan pada 750-1000 ml/min
(55 ml/100 g/menit pada jaringan otak) atau sekitar 20% dari cardiac output
untuk mengoptimalkan fungsi otak (Lewis, et al 2007). Jika kebutuhan akan
oksigen dan nutrisi tidak dapat lagi dikompensasi oleh otak, maka iskemik
pada otak pun akan terjadi.

Penghentian total aliran darah ke otak menyebabkan hilangnya kesadaran


dalam waktu 15-20 detik dan kerusakan otak yang ireversibel terjadi setelah
4-6 menit (Price & Wilson, 2003). Penyumbatan pada satu arteri
menyebabkan gangguan di area otak yang terbatas. Bila aliran darah ke
jaringan otak terganggu (hipoksia), maka akan mempercepat kematian sel.
Kematian jaringan otak pada tempat-tempat tertentu pada akhirnya akan
mengakibatkan gangguan-gangguan neurologis.

2.1.5 Manifestasi Klinis Stroke


Menurut Smeltzer and Bare (2002), manifestasi klinis pada penderita stroke
akan berpengaruh pada lapang penglihatan, verbal, motorik, kognitif
maupun emosional bagi orang yang mengalaminya. Berikut ini penjelasan
dari masing-masing defisit neurologis yang terkena:
Tabel 2.1 Manifestasi Klinis Stroke Berdasarkan Defisit Neurologis
yang Terkena

Defisit Neurologis Manifestasi


Defisit lapang 1. Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah
penglihatan lapang penglihatan): tidak menyadari orang atau
objek ditempat kehilangan, penglihatan,
mengabaikan salah satu sisi tubuh, kesulitan
menilai jarak;
2. Kehilangan penglihatan perifer: kesulitan melihat
pada malam hari, tidak menyadari objek atau
batas objek;
3. Diplopia, penglihatan ganda.
Defisit motorik 1. Hemiparesis: kelemahan wajah, lengan dan kaki
pada sisi yang sama. Paralisis wajah (karena lesi
pada hemisfer yang berlawanan);
2. Ataksia: berjalan tidak mantap, tidak tegak, dan
tidak mampu menyatukan kaki/mendekatkan
kaki, perlu dasar berdiri yang luas;
3. Disartria: kesulitan dalam membentuk kata;
4. Disfagia: kesulitan dalam menelan.
Defisit verbal 1. Afasia ekspresif: tidak mampu membentuk kata
yang dapat dipahami, mungkin mampu bicara
dalam respon kata tunggal;
2. Afasia reseptif: tidak mampu memahami kata
yang dibicarakan, mampu bicara tetapi tidak
masuk akal;
3. Afasia global: kombinasi baik afasia reseptif dan
ekspresif.
Defisit kognitif Pada penderita stroke akan kehilangan memori
jangka pendek dan panjang, penurunan lapang
perhatian, kerusakan kemampuan untuk
berkonsentrasi, alasan abstrak buruk, perubahan
penilaian.
Defisit emosional Penderita akan mengalami kehilangan kontrol diri,
labilitas emosional, penurunan toleransi pada situasi
yang menimbulkan stress, depresi, menarik diri, rasa
takut, bermusuhan dan marah, perasaan isolasi.
Sumber: Cerebrovascular Disease, 2008
Tabel diatas menununjukkan bahwa penyakit stroke merupakan penyakit fisik
yang memerlukan penanganan secara serius. Hal ini dikarenakan penyakit
stroke ternyata tidak hanya menimbulkan dampak secara fisik, namun juga
berdampak pada emosional (psikologis) orang yang mengalaminya. Secara
psikologis, penderita stroke umumnya akan mengalami kehilangan kontrol diri,
labilitas emosional, penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stress,
depresi, menarik diri, rasa takut, bermusuhan dan marah, serta muncul

perasaan isolasi (Stroke Association, 2008). Masalah stress yang muncul


sebagai respon kehilangan dan berduka ini tidak ditangani segera tentunya
dapat memberikan berbagai dampak. Dampak yang muncul diantaranya
perasaan ketidakberdayaan, harga diri rendah, hingga isolasi sosial.

Penelitian Townend, et al (2010) menunjukkan bahwa sebanyak 60 responden


dari total 89 responden yang mengalami stroke di awal penyakitnya (pada
bulan pertama) mengungkapkan perasaan sedih dan tidak berguna karena rasa
berduka akibat kehilangan fungsi tubuhnya. Umumnya mereka tidak menerima
kecacatan yang diderita sehingga efek lebih lanjutnya menyebabkan depresi.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Hilari, et al (2010) yang
menunjukkan bahwa sebanyak 32 % responden stroke dengan aphasia
mengalami stress pada tahap baseline (bulan pertama) sebagai respon
kehilangan yang dialaminya. Dari beberapa penelitian nampak bahwa respon
awal seseorang ketika mengalami stroke adalah perasaan
berduka yang karena kehilangan atau kerusakkan salah satu fungsi tubuhnya.

2.2 Berduka Situasional


2.2.1 Definisi Berduka
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan.
Stroebe dan Stroebe (1987) (dalam Moyle & Hogan, 2006) menganggap
berduka sebagai situasi objektif dari seorang individu yang baru saja
mengalami kehilangan dari sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak
ada. Berduka mengacu pada respons emosional terhadap kehilangan ini,
termasuk beberapa reaksi psikologis dan fisik (Buglass, 2010).

Definisi lain menyebutkan bahwa berduka, dalam hal ini dukacita adalah
proses kompleks yang normal yang mencakup respons dan perilaku emosi,
fisik, spiritual, sosial, dan intelektual ketika individu, keluarga, dan
komunitas menghadapi kehilangan aktual, kehilangan yang diantisipasi,

atau persepsi kehilangan ke dalam kehidupan mereka sehari-hari (NANDA,


2011). Dari berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa berduka
merupakan suatu reaksi psikologis sebagai respon kehilangan sesuatu yang
dimiliki yang berpengaruh terhadap perilaku emosi, fisik, spiritual sosial
maupun intelektual seseorang. Berduka sendiri merupakan respon yang
normal yang dihadapi setiap orang dalam menghadapi
kehilangan yang dirasakan.

Berduka situasional sendiri diartikan sebagai suatu kondisi ketika individu


atau kelompok mengalami sejumlah reaksi dalam merespon kehilangan
yang bermakna yang berhubungan dengan efek negatif akibat peristiwa
kehilangan sekunder, kehilangan gaya hidup dan kehilangan normalitas
sekunder (Carpenito, 2006). Peristiwa kehilangan sekunder timbul akibat
adanya nyeri kronis, penyakit terminal, dan kematian. Kehilangan gaya
hidup timbul akibat peristiwa melahirkan, perkawinan, perpisahan, anak
meninggalkan rumah, dan perceraian. Sedangkan kehilangan normalitas
sekunder muncul sebagai akibat keadaan cacat, bekas luka, dan penyakit.

2.2.2 Faktor Penyebab Berduka


Banyak situasi yang dapat menimbulkan kehilangan yang dapat
menimbulkan respon berduka pada diri seseorang (Carpenito, 2006). Situasi
yang paling sering ditemui adalah sebagai berikut:
1) Patofisiologis
Berhubungan dengan kehilangan fungsi atau kemandirian yang bersifat
sekunder akibat kehilangan fungsi neurologis, kardiovaskuler, sensori,
muskuloskeletal, digestif, pernapasan, ginjal dan trauma;

2) Terkait pengobatan
Berhubungan dengan peristiwa kehilangan akibat dialisis dalam jangka
waktu yang lama dan prosedur pembedahan (mastektomi, kolostomi,
histerektomi);

3) Situasional (Personal, Lingkungan)


Berhubungan dengan efek negatif serta peristiwa kehilangan sekunder
akibat nyeri kronis, penyakit terminal, dan kematian; berhubungan
dengan kehilangan gaya hidup akibat melahirkan, perkawinan,
perpisahan, anak meninggalkan rumah, dan perceraian; dan
berhubungan dengan kehilangan normalitas sekunder akibat keadaan
cacat, bekas luka, penyakit;

4) Maturasional
Berhubungan dengan perubahan akibat penuaan seperti teman-teman,
pekerjaan, fungsi, dan rumah dan berhubungan dengan kehilangan
harapan dan impian.

Rasa berduka yang muncul pada setiap individu dipengaruhi oleh


bagaimana cara individu merespon terhadap terjadinya peristiwa
kehilangan. Menurut Miller (1999) (dalam Carpenito, 2006), dalam
menghadapi kehilangan, individu dipengaruhi oleh:

1) Dukungan sosial (Support System);


2) Keyakinan religius yang kuat;
3) Kesehatan mental yang baik;
4) Banyaknya sumber yang tersedia terkait disfungsi fisik atau
psikososial yang dialami.
2.2.3 Tahapan Berduka
Terdapat beberapa teori mengenai tahap berduka. Salah satunya adalah teori
yang dikemukan Kubler-Ross (1969) (dalam Moyle & Hogan, 2006).
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross adalah berorientasi pada
perilaku dan menyangkut lima tahap, yaitu sebagai berikut:

1) Fase pengingkaran (Denial)


Perasaan tidak percaya, syok, biasanya ditandai dengan menangis,
gelisah, lemah, letih, dan pucat. Individu bertindak seperti seolah tidak
terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk mempercayai bahwa telah
terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti
itu,” atau “Tidak akan terjadi pada saya!” umumnya dilontarkan klien;

2) Fase kemarahan (Anger)


Perasaan marah dapat diproyeksikan pada orang atau benda yang
ditandai dengan muka merah, suara keras, tangan mengepal, nadi cepat,
gelisah, dan perilaku agresif. Individu mempertahankan kehilangan dan
mungkin “bertindak lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini individu akan lebih
sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini
merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan
merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan;

3) Fase tawar menawar (Bargaining)


Individu mampu mengungkapkan rasa marah akan kehilangan, ia akan
mengekspresikan rasa bersalah, takut dan rasa berdosa. Individu
berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas
untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, individu sering kali
mencari pendapat orang lain. Peran perawat pada tahap ini adalah diam,
mendengarkan, dan memberikan sentuhan terapeutik;

4) Fase depresi (Depression)


Fase ini terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari
makna kehilangan tersebut. Individu menunjukan sikap menarik
diri, tidak mau bicara, putus asa. Perilaku yang muncul seperti menolak
makan, susah tidur, dan dorongan libido menurun. Peran perawat pada
fase ini tetap mendampingi individu dan tidak meninggalkannya
sendirian;

5) Fase penerimaan (Acceptance)


Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan, pikiran
yang berpusat pada objek kehilangan mulai berkurang. Peran perawat
pada tahap ini menemani klien bila mungkin, bicara dengan pasien, dan
menanyakan apa yang dibutuhkan klien.

2.2.4 Tanda dan Gejala Berduka


Terdapat beberapa sumber yang menjelaskan mengenai tanda dan gejala yang
sering terlihat pada individu yang sedang berduka. Menurut Buglass (2010),
tanda dan gejala berduka melibatkan empat jenis reaksi, meliputi:

1) Reaksi perasaan, misalnya kesedihan, kemarahan, rasa bersalah,


kecemasan, menyalahkan diri sendiri, ketidakberdayaan, mati rasa,
kerinduan;

2) Reaksi fisik, misalnya sesak, mual, hipersensitivitas terhadap suara dan


cahaya, mulut kering, kelemahan;

3) Reaksi kognisi, misalnya ketidakpercayaan, kebingungan, mudah lupa,


tidak sabar, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, ketidaktegasan;

4) Reaksi perilaku, misalnya, gangguan tidur, penurunan nafsu makan,


penarikan sosial, mimpi buruk, hiperaktif, menangis.

Tanda dan gejala berduka juga dikemukan oleh Videbeck (2001), yang
mencakup ke dalam lima respon, yaitu respon kognitif, emosional, spiritual,
perilaku, dan fisiologis yang akan dijelaskan dalam tabel dibawah ini:
Tabel 2.2 Tanda dan Gejala Berduka Berdasarkan Respon yang Muncul

Respon Berduka Tanda dan Gejala


Respon Kognitif - Gangguan asumsi dan keyakinan;
- Mempertanyakan dan berupaya menemukan
makna kehilangan;
- Berupaya mempertahankan keberadaan orang
yang meninggal atau sesuatu yang hilang;
- Percaya pada kehidupan akhirat dan seolah-
olah orang yang meninggal adalah pembimbing.
Respon Emosional - Marah, sedih, cemas;
- Kebencian;
- Merasa bersalah dan kesepian;
- Perasaan mati rasa;
- Emosi tidak stabil;
- Keinginan kuat untuk mengembalikan ikatan
dengan individu atau benda yang hilang;
- Depresi, apatis, putus asa selama fase
disorganisasi dan keputusasaan.
Respon Spiritual - Kecewa dan marah pada Tuhan;
- Penderitaan karena ditinggalkan atau merasa
ditinggalkan atau kehilangan;
- Tidak memiliki harapan, kehilangan makna.
Respon Perilaku - Menangis terisak atau tidak terkontrol;
- Gelisah;
- Iritabilitas atau perilaku bermusuhan;
- Mencari atau menghindar tempat dan aktivitas
yang dilakukan bersama orang yang telah
meninggal;
- Kemungkinan menyalahgunakan obat atau
alkohol;
- Kemungkinan melakukan upaya bunuh diri
atau pembunuhan.
Respon Fisiologis - Sakit kepala, insomnia;
- Gangguan nafsu makan;
- Tidak bertenaga;
- Gangguan pencernaan;
- Perubahan sistem imun dan endokrin.
Sumber: Videbeck, 2001
2.2.5 Akibat Berduka
Setiap orang merespon peristiwa kehilangan dengan cara yang sangat
berbeda. Tanpa melihat tingkat keparahannya, tidak ada respon yang bisa
dikatakan maladaptif pada saat menghadapi peristiwa kehilangan akut.
Apabila proses berduka yang dialami individu bersifat maladaptif, maka akan
menimbulkan respon detrimental (cenderung merusak) yang berkelanjutan
dan berlangsung lama (Carpenito, 2006). Proses berduka yang

maladaptif tersebut akan menyebabkan berbagai masalah sebagai akibat


munculnya emosi negatif dalam diri individu. Dampak yang muncul
diantaranya perasaan ketidakberdayaan, harga diri rendah, hingga isolasi
sosial.

2.2.6 Asuhan Keperawatan Berduka


Dalam pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan berduka situasional
tentunya juga memerlukan beberapa tahapan yang sama seperti dalam
pemberian asuhan keperawatan dengan masalah yang lain, yang meliputi
tahapan pengkajian hingga evaluasi.

1) Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah pertama yang dapat dilakukan di dalam
proses pemberian asuhan keperawatan. Pengkajian dilakukan agar
perawat dapat memberikan tindakan keperawatan dengan tepat sesuai
dengan masalah-masalah keperawatan yang ditemukan pada klien.
Pengkajian yang dapat dilakukan meliputi pengkajian identitas, riwayat
penyakit (baik riwayat saat ini, dahulu, maupun riwayat
penyakit keluarga), pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dan juga
pengkajian psikososial, sosial serta spiritual klien.

Pengkajian yang dapat dilakukan dalam menentukan diagnosa


keperawatan berduka situasional harus didukung oleh data-data yang
mengarah pada masalah berduka. Data yang mungkin muncul pada
klien yang mengalami masalah berduka dapat diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu data mayor dan minor (Carpenito, 2006):
a. Data Mayor
Ekspresi distress tentang kehilangan yang terjadi.
b. Data Minor
Ide untuk bunuh diri
 Penyangkalan
 Tangis
 Rasa bersalah
 Penderitaan
 Kemarahan
 Sikap putus asa  Perilaku

 Ketidakmampuan mengharap/mencari
berkonsentrasi  Fobia
 Halusinasi penglihatan,  Perasaan tidak berharga
pendengaran, dan sentuhan
mengenai objek atau orang

2) Diagnosa keperawatan: Berduka situasional


Definisi: suatu kondisi ketika individu atau kelompok mengalami
sejumlah reaksi dalam merespon kehilangan yang bermakna yang
berhubungan dengan efek negatif akibat peristiwa kehilangan sekunder,
kehilangan gaya hidup dan kehilangan normalitas sekunder (Carpenito,
2006). Faktor yang berhubungan meliputi faktor patofisiologis akibat
kehilangan fungsi yang bersifat sekunder,
situasional (personal, lingkungan), dan maturasional individu.

3) Rencana Tindakan Keperawatan


Rencana tindakan keperawatan dibuat untuk mencegah terjadinya
proses berduka yang berkepanjangan sehingga pada individu yang

mengalami berduka perlu dilakukan intervensi dengan adekuat.


a. Tujuan
Pasien mampu melalui proses berduka dan menerima kehilangan.
b. Tindakan keperawatan
 Menjelaskan proses berduka;
 Tindakan keperawatan sesuai tahapan berduka seperti tertera
pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.3 Tindakan Keperawatan Berdasarkan Tahapan Berduka

Tahapan Tindakan keperawatan


Mengingkari Memberi kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan
perasaannya dengan cara:
1. Secara verbal mendukung pasien tetapi tidak mendukung
pengingkaran yang dilakukan;
2. Tidak membantah pengingkaran pasien, tetapi menyampaikan
fakta-fakta;
3. Duduk disamping pasien;
4. Teknik komunikasi diam dan sentuhan;
5. Perhatikan kebutuhan dasar pasien.
Marah Mendorong dan memberi waktu pada pasien untuk
mengungkapkan kemarahan secara verbal tanpa melawan dengan
kemarahan dengan cara:
1. Bantu pasien atau keluarga untuk mengerti bahwa marah
adalah suatu respons yang normal untuk merasakan kehilangan
dan ketidak berdayaan;
2. Fasilitasi ungkapan kemarahan pasien dan keluarga;
3. Hindari menarik diri dan dendam, karena pasien atau keluarga
bukan sedang marah pada perawat;
4. Tangani kebutuhannya pada segala reaksi kemarahannya.
Tawar Membantu pasien mengidentifikasi rasa bersalah dan perasaan
menawar takutnya dengan cara:
1. Dengarkan dengan penuh perhatian;
2. Ajak pasien bicara untuk mengurangi rasa bersalah dan
ketakutan yang tidak rasional;
3. Berikan dukungan spiritual.
Depresi Mengidentifikasi tingkat depresi dan membantu mengurangi rasa
bersalah dengan cara:
1. Memberikan kesempatan pasien untuk mengekspresikan
kesedihannya;
2. Memberi dukungan non verbal dengan cara duduk disamping
pasien dan memegang tangan pasien;
3. Bersama pasien membahas pikiran negatif yang sering
timbul;
4. Latih mengidentifikasi hal positif yang masih dimiliki;
Penerimaan 1. Membantu pasien mengidentifikasi rencana kegiatan yang
akan dilakukan;
2. Bantu keluarga dan rekan pasien untuk bisa mengerti
penyebab kehilangan.
Sumber: CHMN, 2006
BAB 3
LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA

Bab ini membahas mengenai laporan asuhan keperawatan yang diberikan terhadap
klien dengan masalah berduka situasional. Laporan asuhan keperawatan pada bab
ini meliputi pengkajian kasus klien kelolaan utama, masalah keperawatan yang
muncul pada klien, dan penentuan diagnosa keperawatan psikososial utama yang
diambil penulis. Dalam menentukan diagnosa keperawatan psikososial utama, pada
bab ini penulis menggambarkan pohon masalah berdasarkan data pengkajian
yang telah dikumpulkan oleh penulis sebelumnya.

3.1 Pengkajian Kasus


Klien bernama Ibu A, usia 66 tahun, di rawat di ruang Antasena V RSMM
Bogor sejak tanggal 5 Mei 2013 dengan diagnosa medis awal Hemiparase
Sinistra ec. Susp SNH. Klien dibawa kerumah sakit dengan alasan mengalami
kelemahan anggota badan sebelah kiri. Klien mengatakan ketika bangun pagi
merasa lengan dan tungkai kirinya terasa lemas dan terasa kesemutan. Sekitar
pukul 11.00 ketika memasak, lengan dan tungkai kirinya terasa semakin berat
dan lemas, klien mulai sulit berjalan dan wajahnya, terutama bibirnya terlihat
tidak simetris. Pada pukul 13.00 keluarga mengatakan bicara klien sudah mulai
pelo, lengan dan tungkai kiri tidak bisa digerakkan lagi, dan kepala terasa berat
sehingga keluarga memutuskan untuk membawa klien ke rumah
sakit.

Saat pertama kali berinteraksi dengan klien, yaitu pada tanggal 7 Mei 2013
diperoleh data bahwa klien masih tampak gelisah dan tidak tenang. Raut wajah
klien tampak tegang, nada suara terkadang tampak meninggi ketika
berinteraksi dengan orang lain dan nampak kurang bersabar. Keluarga
mengatakan ketika hari pertama rawat, klien tampak seperti orang yang
mengalami syok dan cenderung menyalahkan dirinya sendiri serta sering
terlihat bersedih dan menangis.

23 Universitas Indonesia
Klien mengatakan andai saja dirinya menjaga pola makan dan tidak makan
‘ikan asin’ pada malam harinya mungkin dirinya tidak seperti saat ini. Klien
mengatakan takut tidak dapat kembali seperti dulu lagi dan tidak dapat
beraktivitas seperti dulu lagi. Selain itu, klien juga mengatakan jika keadaannya
seperti ini terus dirinya tidak bisa lagi menjaga warung, memasak, menjaga
cucu-cucunya dan mengikuti pengajian seperti biasanya.

Pada saat pemeriksaan klien tampak sadar, namun bicara kurang jelas (bicara
pelo). Keadaan umum sakit sedang dan tampak lemah, kesadaran compos
mentis, dimana verbal klien mengalami afasia. Tanda-tanda vital menunjukkan
bahwa tekanan darah 180/110 mmHg, nadi 88 x /menit, pernapasan 22 x/menit,
suhu 36,7oC. Pemeriksaan jantung dan paru klien dalam batas normal. Pada
pemeriksaan neurologis ditemukan hemiparese sinisitra dengan kekuatan 1,
parase nervus VII sinistra dan XII dextra. Klien
mengalami kelemahan pada anggota tubuh bagian kiri dengan kekuatan otot
sebesar 5555 .
3333
5555 3333

Pengkajian lengkap: terlampir.

3.2 Masalah Keperawatan


Dari hasil pengkajian yang telah dilakukan, lalu dilakukan analisa kasus dan
didapatkan beberapa masalah keperawatan yang muncul, baik masalah
keperawatan fisik maupun psikososial. Namun, disini penulis lebih
menekankan kepada masalah psikososial yang dialami klien. Masalah
psikososial yang dialami klien berhubungan dengan masalah fisik yang
timbul sebelumnya. Seperti diketahui klien masuk ke rumah sakit dengan
masalah hambatan mobilitas fisik akibat stroke, ditandai dengan kelemahan
anggota tubuh bagian kiri, sehingga anggota tubuh bagian kiri sulit untuk
digerakkan dan membuat dirinya tidak bisa beraktivitas seperti biasanya.

Masalah hambatan mobilitas fisik yang dialami klien membuat dirinya


mengalami berduka situasional sebagai respon kehilangan yang dialaminya.
Berduka situasional ini berhubungan dengan efek negatif serta peristiwa
kehilangan sekunder akibat penyakit yang dialami klien, yaitu kehilangan
fungsi tubuh yang dialami klien. Hal ini nampak dari respon klien yang
terkadang masih menyalahkan diri sendiri dan cenderung menyesal pada
aktivitas yang dilakukan sebelum kehilangan. Saat berinteraksi, klien masih
tampak bersedih dan lemas. Keluarga mengatakan klien menjadi malas makan
dan susah tidur karena kejadian ini.

Masalah psikososial lain yang muncul sebagai akibat adanya masalah fisik
pada klien adalah ansietas. Hal ini nampak pada respon klien yang menyatakan
ketakutan “Tidak bisa seperti dulu lagi dan tidak dapat beraktivitas seperti dulu
lagi”. Selain itu terlihat dari adanya respon penyesalan yang diucapkan klien
saat berinteraksi. Klien masih tampak tegang saat berinteraksi, konsentrasi
kurang, dan mulut tampak kering.
Analisa data: terlampir

3.3 Pohon Masalah Dan Diagnosa Keperawatan


Berdasarkan masalah keperawatan yang ditemukan pada klien (Ibu A), maka
penulis mengambil diagnosa utama berduka situasional sebagai core problem
dari masalah psikososial yang ditemukan pada klien. Diagnosa keperawatan
psikososial lain yang ditemukan pada klien adalah ansietas. Berikut ini
gambaran pohon masalah keperawatan yang ditemukan pada klien:

Gambar 3.1 Pohon Masalah Keperawatan

Ansietas

Berduka Situasional

Kehilangan

Hambatan Mobilitas Fisik


BAB 4
ANALISIS SITUASI

Bab ini membahas mengenai hasil analisis situasi terkait dengan pemberian asuhan
keperawatan situasional yang telah dilakukan sebelumnya yang dihubungkan
dengan teori dan penelitian-penelitian sebelumnya sehingga dapat
dicari alternatif pemecahan masalah jika ditemukan adanya kesenjangan. Analisis
situasi ini dikaitkan dengan masalah kesehatan utama yang timbul dan dihubungkan
dengan konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP). Selain itu,
penulis juga menambahkan profil lahan praktik untuk memberikan gambaran
mengenai kondisi dari tempat layanan kesehatan yang dijadikan penulis sebagai
lahan praktik dalam memberikan asuhan keperawatan
terhadap klien.

4.1 Profil Lahan Praktik

Rumah Sakit Mardzoeki Mahdi (RSMM) Bogor merupakan rumah sakit yang
berada di wilayah perkotaan, yaitu di bagian barat Kota Bogor. Seperti
diketahui, dewasa ini penduduk perkotaan harus berhadapan dengan berbagai
masalah kesehatan sebagai akibat gaya hidup dan lingkungan yang tidak sehat
(Anies, 2005). Pertambahan jumlah penduduk adalah faktor predisposisi bagi
masalah kesehatan di lingkungan perkotaan. Sempitnya ruang hidup ditambah
minimnya pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat terhadap ancaman
lingkungan menyebabkan masyarakat perkotaan mengalami berbagai masalah
kesehatan.

Munculnya berbagai masalah kesehatan di perkotaan tentunya memerlukan


penanganan yang serius dari pemerintah setempat dan instansi terkait, misalnya
instansi kesehatan. Penanganan yang serius ini bertujuan agar masalah
kesehatan tidak berdampak lebih parah lagi dan menyebar ke masyarakat lain.
Salah satu instansi kesehatan yang ikut serta berperan

26 Universitas Indonesia
menangani masalah kesehatan adalah Rumah Sakit Mardzoeki Mahdi (RSMM)
yang berada dibawah naungan Departemen Kesehatan RI.

Rumah Sakit Mardzoeki Mahdi (RSMM) Bogor adalah Badan Layanan Umum
yang memiliki kapasitas rawat inap sebanyak 718 tempat tidur, terdiri dari 580
tempat tidur untuk rawat inap psikiatri dan 138 tempat tidur untuk rawat inap
non psikiatri. RSMM menjadi salah satu rumah sakit yang dipilih
masyarakat di wilayah Bogor untuk menangani masalah kesehatan yang
dirasakan masyarakat, baik masalah kesehatan fisik maupun psikis. Terdapat
berbagai macam layanan, fasilitas, dan ruangan di RSMM, salah satunya
adalah ruang Antasena yang merupakan salah satu ruang rawat inap di
RSMM.

Ruang Antasena merupakan ruang rawat inap kelas II dan III di RSMM yang
menangani masalah kesehatan orang dewasa dan lansia dengan kapasitas
sebanyak 35 tempat tidur. Ruang Antasena dikelompokkan menjadi dua
klasifikasi penyakit, yaitu ruang penyakit dalam dan ruang penyakit bedah.
Menurut hasil rekapitulasi data penyakit selama tahun 2012 di ruang Antasena,
terdapat beberapa penyakit yang sering terjadi di ruang Antasena setiap
bulannya, baik di ruang penyakit bedah maupun penyakit dalam, diantaranya
penyakit DM, DHF, thypoid, TBC, stroke, CHF, hipertensi, kanker, tumor, dan
appendiksitis. Dari berbagai masalah penyakit yang sering terjadi di ruang
Antasena, lebih dari 80% masuk dalam kategori penyakit
perkotaan.

4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait KKMP dan


Konsep Kasus Terkait

Analisis asuhan keperawatan yang dilakukan penulis meliputi lima proses


asuhan keperawatan, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana
tindakan keperawatan, implementasi, hingga evaluasi. Langkah pertama yang
dilakukan penulis dalam melakukan pengkajian terhadap klien tentunya adalah
mengkaji identitas klien dan faktor penyebab terjadinya masalah
kesehatan klien saat ini, yaitu stroke non-hemoragik. Dari hasil pengkajian
terhadap klien, baik dari hasil observasi, wawancara terhadap klien dan
keluarga maupun data sekunder rekam medis, didapatkan klien “Ibu A” saat ini
tinggal diwilayah perkotaan, yaitu daerah Balumbang Jaya, Kota Bogor.
Seperti diketahui, menurut data Riskesdas (2007) angka kejadian (prevalensi)
stroke di wilayah Jawa Barat melebihi prevalensi Nasional, yaitu sebesar 9.3%.
Sedangkan berdasarkan hasil wawancara terhadap kepala ruangan
Antasena, penyakit stroke masuk ke dalam peringkat 10 besar dari banyaknya
kasus yang sering ditangani di RSMM Bogor, khususnya ruang Antasena.

Klien yang merupakan penduduk perkotaan tentunya harus berhadapan dengan


berbagai masalah kesehatan sebagai akibat gaya hidup dan lingkungan yang
tidak sehat. Masalah kesehatan tersebut dapat muncul dapat berupa masalah
kesehatan konvensional, seperti penyakit infeksi dan menular ataupun masalah
kesehatan modern, seperti penyakit degeneratif, misalnya hipertensi dan stroke
(Efendi dan Makhfudli, 2009). Kehidupan di perkotaan dapat saja menjadi
salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya penyakit
hipertensi (sejak empat tahun lalu) dan stroke yang dialami klien.

Seperti diketahui penyebab utama timbulnya penyakit stroke di wilayah


perkotaan diperkirakan karena besarnya perubahan gaya hidup akibat
urbanisasi dan modernisasi. Perubahan gaya hidup ini dapat dilihat secara jelas
antara lain dengan munculnya tempat-tempat makan junk food yang
menyediakan makanan serba instan di hampir seluruh sudut kota. Junk food
merupakan makanan yang tidak sehat karena memiliki nilai nutrisi rendah.
Jenis makanan ini mengandung lemak jenuh (saturated fat), garam dan gula,
serta bermacam-macam zat additif seperti monosodium glutamate dan
tartrazine dengan kadar yang tinggi yang dapat memicu terjadinya berbagai
penyakit, termasuk stroke (WHO dalam Andry Hartono, 2006).

Faktor lain yang juga mempengaruhi timbulnya penyakit stroke adalah terkait
stress emosional. Seperti diketahui, stress emosional kini telah melanda
segenap lapisan masyarakat. Hal ini terutama akibat beban ekonomi yang
semakin berat, kehidupan keras yang menuntut persaingan ketat, ketidakpuasan
terhadap sesuatu yang telah dicapai, kesulitan dalam hubungan antar manusia,
dan sebagainya (Anies, 2005). Stres yang berkepanjangan inilah yang akan
membahayakan karena akan mempengaruhi jantung, dimana dapat
menyebabkan denyut jantung dan tekanan darah meningkat. Akibatnya jantung
bekerja lebih berat dan meningkatkan resiko timbulnya penyakit
stroke.

Selain itu, aktivitas fisik (kurang gerak) juga mempengaruhi timbulnya


penyakit stroke. Hal ini disebabkan karena kurang gerak dapat mengakibatkan
pembuluh darah seseorang menjadi lemah dan kaku sehingga menyebabkan
aliran darah ke seluruh tubuh, termasuk ke otak menjadi kurang lancar.
Kehidupan sehari-hari yang ditandai dengan kurang gerak, ingin serba mudah
tanpa banyak mengeluarkan tenaga merupakan ciri kehidupan modern. Banyak
masyarakat perkotaan yang kurang meluangkan waktunya untuk
berolahraga (Japardi, 2002).

Klien sendiri mengakui bahwa selama ini dirinya kurang menjaga pola makan
dan tidak pernah berolahraga. Tidak ada makanan yang dipantang oleh klien
meskipun dirinya mengetahui memiliki hipertensi. Klien mengatakan sangat
jarang sekali kontrol ke puskemas atau pelayanan kesehatan lainnya untuk
memeriksakan hipertensi yang dialaminya, kecuali jika ada keluhan yang
dirasakan cukup berat oleh klien. Selain itu, klien mengakui bahwa dirinya
memang selama ini cenderung mudah emosional dan kurang bersabar dalam
bertindak.

Stroke yang dialami klien menimbulkan berbagai masalah fisik pada dirinya,
salah satunya adalah hemiparase tubuh bagian kiri yang menyebabkan klien
mengalami kehilangan salah satu fungsi tubuhnya sehingga muncul masalah
hambatan mobilitas fisik. Kehilangan fungsi tubuh ini memicu timbulnya
respon berduka situasional pada klien. Hasil pengkajian terhadap faktor
penyebab munculnya masalah berduka situasional ini adalah karena faktor
patofisiologis (kehilangan fungsi tubuh) yang dipengaruhi oleh mekanisme
koping dan support system klien. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hilari,
et al (2010) menyatakan bahwa faktor pemicu munculnya rasa berduka pada
tahap baseline adalah karena kurangnya dukungan sosial, rasa kesepian, dan
ketidakpuasan dengan lingkungan sosial. Penelitan lain menyebutkan bahwa
pemicu munculnya rasa berduka pada penderita stroke karena
ketidakmampuannya beradaptasi menerima kecacatan akibat stroke sehingga
menimbulkan perasaan sedih dan tak berguna (Townend, et al, 2010).

Hasil pengkajian terhadap Ibu A diatas terkait faktor penyebab yang


menimbulkan masalah berduka situasional ternyata sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Hilari, et al (2010) dan Townend, et al (2010). Dimana
faktor penyebab yang mempengaruhi respon berduka situasional adalah karena
adanya faktor patofisiologis dalam diri klien, yaitu kehilangan fungsi tubuh
akibat kecacatan yang dialami klien yang dipengaruhi oleh beberapa
mekanisme koping yang yang buruk dan support system lingkungan sekitar
klien. Karena mekanisme koping yang buruk, klien menjadi sulit untuk
beradaptasi dengan kondisinya saat ini dan menganggap kondisi yang dialami
saat ini sebagai suatu stressor yang tidak dapat diatasi. Selain itu, support
system yang kurang dari keluarga membuat kesedihan klien akan kehilangan
menjadi bertambah. Klien mengatakan hanya anak pertamanya saja yang
memperhatikan dirinya, sedangkan keempat anaknya yang lain belum datang
menjenguknya. Hal ini membuat klien menjadi semakin bersedih.

Setelah data terkumpul, selanjutnya data dianalisa untuk mengetahui adanya


permasalahan dan dirumuskan menjadi diagnosa keperawatan. Dari hasil
pengkajian, diagnosa keperawatan psikososial yang ditemukan pada klien
adalah berduka situasional dan ansietas. Penelitian Lanreville, et al (2009)
menunjukkan bahwa masalah yang umum terjadi pada seseorang yang
mengalami stroke (pasca stroke) adalah kehilangan yang menimbulkan
perasaan berduka. Kesedihan yang muncul pada fase berduka yang dialami
penderita stroke disebabkan adanya pembatasan, baik pembatasan kegiatan
sehari-hari maupun peran sosial yang memunculkan ansietas pasca keluar
rumah sakit nantinya. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa sebanyak 33%
responden penderita stroke di minggu pertama mengalami perasaan sedih dan
rasa tidak berguna karena proses berduka yang dialaminya dan sebanyak 16%
responden mengalami ansietas di minggu pertamanya (Townend, et al, 2010).
Sedangkan menurut NANDA (2011), diagnosa keperawatan psikososial yang
mungkin muncul pada individu dengan stroke adalah dukacita, keputusasaan,
ketidakberdayaan, hambatan interaksi sosial dan gangguan citra tubuh.

Diagnosa keperawatan yang muncul dari hasil pengkajian terhadap klien


ternyata memiliki kesamaan dengan beberapa penelitan yang telah dilakukan
sebelumnya maupun teori terkait, yaitu berduka situasional dan ansietas.
Namun, terdapat beberapa diagnosa yang tidak atau belum muncul pada klien
seperti keputusasaan, ketidakberdayaan, hambatan interaksi sosial, dan
gangguan citra tubuh (NANDA, 2011). Hal ini dikarenakan pada saat
pengkajian, klien masih berada pada tahap baseline, dimana respon yang
sangat terlihat adalah respon berduka karena kehilangan yang dialaminya.

Diagnosa berduka situasional yang ditemukan pada klien tidak sampai


menimbulkan perasaan depresi pada klien. Pada saat pengkajian, penulis
menemukan klien pada tahap tawar menawar dari proses berduka. Sedangkan
tahap denial dan anger menurut keluarga dialami klien pada hari pertama rawat
sebelum penulis melakukan pengkajian terhadap klien. Selama
memberikan asuhan keperawatan juga tidak nampak adanya perasaan depresi
sebagai respon berduka yang dialami klien. Padahal menurut teori Kubler-
Ross, tahapan berduka terdiri dari dari lima tahap, meliputi tahap
pengingkaran, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan.
4.3 Analisis Intervensi Keperawatan Berduka Situasional terhadap Konsep
dan Penelitian Terkait

Setelah menentukan diagnosa keperawatan yang didapat dari hasil pengkajian,


barulah penulis mulai menganalisis intervensi atau rencana tindakan
keperawatan berduka situasional yang akan diberikan pada klien. Rencana
tindakan keperawatan yang dibuat untuk mengatasi berduka situasional pada
klien bertujuan agar klien dapat mengenal peristiwa
kehilangan yang dialaminya, memahami hubungan antara kehilangan yang
dialami dengan keadaan dirinya, mengidentifikasi cara-cara mengatasi berduka
yang dialaminya, dan memanfaatkan faktor pendukung disekeliling klien. Cara
yang dapat dilakukan adalah dengan verbal (mengungkapkan
perasaan), fisik, sosial, dan spiritual (CHMN, 2010).

Penelitian Seale, et al (2010) menunjukkan bahwa cara yang dapat dilakukan


untuk meningkatkan status fungsional pada penderita stroke adalah dengan
mengatasi masalah psikososial yang dialaminya, seperti perasaan sedih dan
tidak berguna. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan memunculkan emosi
positif pada penderita stroke melalui pengungkapan perasaan, aktivitas fisik
hingga meningkatkan aktivitas sosial penderita stroke. Penelitian lain
menyebutkan bahwa untuk mengatasi rasa sedih dan kehilangan pasca stroke
seharusnya tidak ada pembatasan dalam aktivitas fisik sehari-hari maupun
pembatasan peran sosial individu (Landreville, et al, 2009) karena dengan
adanya pembatasan justru akan membuat individu semakin merasa bersedih
dan tidak berguna.

Penjelasan diatas menunjukkan bahwa rencana tindakan keperawatan yang


dibuat penulis mengacu dan sejalan pada teori yang sudah ada dan penelitian
yang dilakukan sebelumnya. Dimana, untuk mengatasi masalah berduka
situasional yang dialami klien, penulis menekankan pada aktivitas
memunculkan emosi positif melalui pengungkapan perasaan, baik secara fisik,
sosial, maupun spiritual klien yang didukung oleh support system klien,
yaitu keluarga dan lingkungan sosial klien. Rencana tindakan keperawatan:
terlampir

Setelah rencana tindakan keperawatan dibuat, barulah penulis mulai


melakukan implementasi atau memberikan tindakan keperawatan kepada
klien. Implementasi untuk mengatasi masalah berduka situasional dilakukan
sebanyak tiga kali pertemuan. Pertemuan pertama dilakukan pada hari Rabu,
tanggal 8 Mei 2013 pukul 10.00-10.30 WIB. Penulis melakukan beberapa
tindakan keperawatan, meliputi mempertahankan hubungan saling percaya
dengan klien yang telah dibina pada saat pengkajian klien sebelumnya,
membantu klien mengungkapkan perasaan yang dirasakan klien, dan
membantu klien mengetahui tahapan berduka yang sedang dialami klien.

Pada pertemuan kedua dalam melakukan implemementasi berduka situasional


(Jumat, 10 Mei 2013 pukul 09.00-09.30), penulis membantu klien untuk
menggambarkan arti kehilangan yang dirasakan klien agar dapat diambil
hikmah dari semua kejadian yang sudah terjadi. Selain itu penulis memberikan
gambaran terhadap klien maupun keluarga mengenai koping yang adaptif yang
dapat digunakan dalam menghadapi proses berduka yang dialami klien. Pada
pertemuan kedua ini penulis menjelaskan cara-cara yang dapat dilakukan klien
untuk mengatasi berduka yang dialaminya, dengan cara mengungkapkan
perasaan secara verbal, secara fisik dengan memberikan kesempatan aktivitas
fisik pada klien dan membuatkan jadwal aktivitas fisik, secara sosial, maupun
secara spiritual. Aktivitas fisik yang dipilih klien
adalah dengan berolahraga di tempat tidur, membaca majalah, dan
mengajarkan ‘ngaji’ cucu-cucunya.

Pada pertemuan ketiga (Sabtu, 11 Mei 2013 pukul 09.30-10.00), implementasi


yang telah dilakukan penulis adalah membantu dan memotivasi klien untuk
menerima kehilangan dengan ikhlas dengan cara meningkatkan nilai spiritual
pada klien. Pada pertemuan ketiga ini, penulis juga menjelaskan pada keluarga
bahwa support keluarga merupakan dukungan terbesar yang
dibutuhkan klien menghadapi proses kehilangan yang terjadi pada klien.
Keluarga diharapkan dapat terus memotivasi klien untuk mencegah efek
berduka situasional lebih lanjut. Disini penulis memberikan edukasi terhadap
keluarga tentang bagaimana cara membimbing klien agar dapat melewati fase
berduka dengan baik sehingga tidak menimbulkan akibat lebih lanjut, seperti
depresi. Catatan perkembangan: terlampir

Setiap memberikan tindakan keperawatan terhadap klien, penulis tentunya


melakukan evaluasi. Seperti diketahui, evaluasi merupakan tahap akhir dari
proses keperawatan yang bertujuan untuk menilai hasil dari keseluruhan
tindakan yang telah dilakukan. Pada evaluasi, penulis mendapatkan respon
klien terhadap tindakan yang sudah dilaksanakan selama tiga hari untuk
mengatasi diagnosa berduka situasional, yaitu tanggal 8, 10, dan 11 Mei 2013.
Dari tujuan khusus 1 hingga 7 yang dilaksanakan, dapat dievaluasi bahwa
semua tujuan yang direncanakan tercapai. Klien dan penulis dapat saling
membina hubungan saling percaya dengan menggunakan komunikasi yang
terapeutik. Hal ini terlihat dari terlaksananya semua kontrak pertemuan
yang telah disepakati dengan klien sebelumnya.

Evaluasi terhadap TUK 2 dan TUK 3, yaitu klien sudah mampu


mengungkapkan kehilangan yang dirasakannya dan mengetahui tahapan
berduka yang sedang dirasakan klien. Klien mengatakan bahwa dirinya merasa
sedih karena kehilangan fungsi tubuh akibat stroke yang dialaminya, namun
rasa kehilangan ini tidak separah ketika dirinya kehilangan suaminya
dahulu yang membuat dirinya tidak keluar rumah selama tiga bulan lebih.
Klien juga mengungkapkan bahwa sesaat setelah dirinya mengetahui terkena
stroke, dirinya merasa sangat syok dan takut serta selalu menyalahkan diri
sendiri. Klien mengatakan sampai saat ini masih ada rasa penyesalan dalam
dirinya sehingga membuat dirinya malas berbuat apa-apa.

Kehilangan yang dirasakan klien yang sudah masuk dalam kategori sesuai
dengan teori kehilangan yang dikemukan oleh Miller. Pada lansia, proses
berduka sering kali dikaitkan dengan kehilangan dalam diri mereka, seperti
perubahan peran, perubahan citra tubuh, atau penurunan fungsi tubuh.
Kehilangan tersebut terkadang lebih sulit diterima dibandingkan kehilangan
orang terdekat (Miler, 1999 dalam Carpenito, 2006). Respon yang dialami
biasanya ada rasa sedih dan perasaan tidak berguna.

Evaluasi terhadap TUK 4 dan TUK 5 yaitu klien sudah mampu


menggambarkan arti kehilangan dan belum dapat menggunakan mekanisme
koping yang adaptif untuk mengatasi kesedihan yang dirasakan klien sehingga
dapat memunculkan emosi positif pada diri klien. Bersama penulis, klien
mengidentifikasi cara-cara yang dapat dilakukan klien untuk mengatasi
berduka yang dialami klien. Klien sudah dapat mengungkapkan perasaaanya
secara verbal. Disini penulis juga mengidentifikasi aktivitas fisik bersama klien
agar dapat dilakukan untuk mengurangi rasa berduka yang dialaminya.
Aktivitas fisik yang dipilih klien adalah dengan berolahraga di tempat tidur,
membaca majalah, dan mengajarkan ‘ngaji’ cucu-cucunya. Kemudian bersama
penulis, klien membuat jadwal latihan fisik dirumah sakit dan untuk
di rumah nantinya.

Upaya untuk meningkatkan emosi positif dan motivasi untuk melakukan


aktivitas fisik dinilai cukup berhasil dalam mengatasi berduka sebagai respon
kehilangan yang dialami penderita stroke. Penelitan Seale, et al (2010)
menunjukkan dari 840 responden, yaitu sebanyak 35,6% pada tiga bulan pasca
stroke mengalami peningkatan emosi ke arah positif setelah dilakukan
upaya-upaya tersebut. Hal ini dikarenakan emosi positif dapat mengurangi
efek berbahaya dari kecemasan atau ketidakberdayaan yang sering menyertai
terjadinya awal penyakit, termasuk stroke (Fredickson, et al, 2000).

Evaluasi terhadap TUK 6 dan TUK 7, yaitu klien sudah mampu menyebutkan
cara kehilangan dengan ikhlas dan menggunakan sistem pendukung yang ada.
Klien sudah mampu mengambil hikmah dari kehilangan yang dialaminya dan
mau kembali mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan
kembali menjalankan ibadah sholat dan mengaji ketika dirawat di ruangan.
Selain itu, klien juga sudah mampu berbagi cerita bersama anak-anaknya
terkait perasaannya. Hal ini nampak ketika keempat anaknya yang lain datang
jauh-jauh dari luar kota mengunjungi dirinya, klien nampak lebih bersemangat.
Klien merasa jika tidak ada keluarganya mungkin dirinya akan sudah tidak
berguna dan berarti apa-apa lagi.

Penggunaan support system yang ada disekitar klien dan keyakinan religious
yang kuat merupakan hal penting yang berpengaruh dalam mengatasi rasa
berduka situasional sehingga dapat meningkatkan status fungsional klien.
Menurut Miller (1999) (dalam Carpenito, 2006), dukungan sosial dan
keyakinan religious yang kuat memiliki pengaruh yang besar terhadap respon
seseorang menghadapi kehilangan. Hal ini juga sejalan dengan penelitian
Hilari, et al (2010), bahwa untuk mengatasi rasa stress dari proses berduka pada
penderita stroke yang harus dilakukan adalah mengatasi faktor pemicu
munculnya rasa stress tersebut. Faktor pemicu yang dimaksud adalah
kurangnya dukungan sosial (support system), kesepian akibat mekanisme
koping yang buruk, dan ketidakpuasaan terhadap lingkungan sosial.

4.4 Alternatif Pemecahan Masalah

Asuhan keperawatan yang diberikan untuk mengatasi masalah berduka


situasional pada klien bertujuan agar klien dapat mengenal peristiwa
kehilangan yang dialaminya, memahami hubungan antara kehilangan yang
dialami dengan keadaan dirinya, mengidentifikasi cara-cara mengatasi
berduka yang dialaminya, dan memanfaatkan faktor pendukung disekeliling
klien. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan verbal (mengungkapkan
perasaan), fisik, sosial, dan spiritual (CHMN, 2010). Dalam memberikan
asuhan keperawatan berduka situasional pada klien, tentunya penulis tetap
memperhatikan tahapan berduka yang sedang dialami klien karena hal ini juga
mempengaruhi penulis merespon keadaan klien saat memberikan asuhan
keperawatan.
Menurut teori Kubler-Ross (1969) (dalam Moyle & Hogan, 2006), tahapan
berduka terdiri dari dari lima tahap, meliputi tahap pengingkaran, kemarahan,
tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Namun, pada kasus yang terjadi,
masalah berduka yang ditemukan pada klien tidak sampai menimbulkan
perasaan depresi pada klien. Klien hanya mengalami tahap pengingkaran dan
kemarahan pada hari pertama rawat, tahap tawar-menawar dan langsung pada
tahap penerimaan yang ditunjukkan dengan respon klien yang berbeda-beda.
Setiap tahap berduka yang terjadi pada klien perlu menjadi perhatian bagi
perawat karena respon dalam memberikan tindakan keperawatan yang akan
dilakukan terhadap klien pun akan berbeda meskipun tujuan asuhan
keperawatan yang akan diberikan tetap sama.

Tindakan keperawatan yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah berduka


situasional pada klien sudah sesuai dengan rencana tindakan keperawatan yang
sudah dibuat sebelumnya. Disini penulis menekankan pada pengungkapan
perasaan agar menimbulkan emosi positif pada diri klien. Cara yang dapat
dilakukan adalah dengan verbal (mengungkapkan perasaan), fisik, sosial, dan
spiritual. Upaya untuk meningkatkan emosi positif dan motivasi untuk
melakukan aktivitas fisik dengan membuat penjadwalan aktivitas dinilai cukup
berhasil dalam mengatasi berduka sebagai respon kehilangan yang dialami
penderita stroke. Penelitan Seale, et al (2010) menunjukkan dari 840
responden, yaitu sebanyak 35,6% pada tiga bulan pasca stroke mengalami
peningkatan emosi ke arah positif setelah dilakukan upaya-upaya tersebut. Hal
ini dikarenakan emosi positif dapat mengurangi efek berbahaya
dari kecemasan atau ketidakberdayaan yang sering menyertai terjadinya awal
penyakit, termasuk stroke (Fredickson, et al, 2000).

Cara lain yang dilakukan oleh penulis adalah dengan menekankan pada
pengungkapan perasaan terkait harapan di masa depan klien setelah terkena
stroke. Disini penulis lebih menggali keinginan-keinginan klien di masa depan
setelah keluar dari rumah sakit nantinya. Cara ini efektif dilakukan karena
perasaan klien lebih banyak tergali lagi sehingga memunculkan emosi
yang positif untuk mewujudkan keinginan-keinginannya. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan Dunn, Elswatte, dan Ellot (2009) yang melaporkan
bahwa harapan dan fokus berorientasi pada masa depan dapat meningkatkan
emosi positif dan memotivasi seseorang untuk bertindak dengan cara
meningkatkan hasil yang menguntungkan setelah stroke.

Selain itu, penulis juga menekankan adanya keterlibatan keluarga sebagai


support system klien dalam menghadapi kehilangan yang dirasakannya.
Keterlibatan orang lain, khususnya keluarga berpengaruh terhadap proses
pemulihan klien. Seperti diketahui, dalam proses pemulihan ini diperlukan
orang lain yang terlibat untuk memotivasi orang yang mengalami stroke agar
mau terlibat dalam kegiatan yang dapat meningkatkan status fungsional
individu (Deiner & Lucas, 2000). Untuk itu, menurut penulis dukungan dari
keluarga juga membawa pengaruh besar buat kesembuhan klien.

Faktor lain yang tidak kalah pentingnya yang dilakukan penulis adalah
menumbuhkan keyakinan religious klien yang kuat. Seperti diketahui,
keyakinan religious yang kuat merupakan hal penting yang berpengaruh dalam
mengatasi rasa berduka situasional sehingga dapat meningkatkan status
fungsional klien. Hal ini sesuai dengan teori Miller (1999) (dalam Carpenito,
2006) yang mengatakan bahwa salah satu faktor yang memiliki pengaruh yang
besar terhadap respon seseorang menghadapi kehilangan adalah keyakinan
religious yang kuat. Cara ini dapat dilakukan oleh perawat lainnya karena dapat
membantu menghantarkan klien pada tahap akhir berduka, yaitu
tahap penerimaan.
BAB 5
PENUTUP

Pada bab ini dibahas mengenai kesimpulan dari hasil penulisan karya ilmiah
berdasarkan asuhan keperawatan yang telah diberikan terhadap klien sebelumnya.
Penulis menyimpulkan hasil karya ilmiah ini secara keseluruhan. Selain itu, dalam
bab ini juga terdapat saran dari penulis yang dapat digunakan bagi bidang
keilmuan, aplikatif dan metodologis.

5.1 Kesimpulan
Penyakit stroke dianggap sebagai salah satu penyakit yang menakutkan bagi
masyarakat karena dianggap sebagai penyakit yang mematikan dari 10 jenis
penyakit mematikan yang masuk dalam daftar data Riskesdas pada tahun 2007.
Berdasarkan data WHO (2010), setiap tahunnya terdapat 15 juta orang di
seluruh dunia menderita stroke. Diantaranya ditemukan jumlah kematian
sebanyak 5 juta orang dan 5 juta orang lainnya mengalami kecacatan yang
permanen. Prevalensi stroke di Indonesia sendiri ditemukan sebesar 8.3 per
1000 penduduk yang menderita stroke atau sebesar 8.3%.

Penyakit stroke merupakan masalah kesehatan yang cukup besar yang


memerlukan penanganan secara serius. Hal ini dikarenakan penyakit stroke
dapat menimbulkan dampak negatif pada orang yang mengalaminya, yaitu
dapat berdampak buruk pada kondisi fisik dan psikologis. Stroke dapat
menyebabkan kelumpuhan atau kelemahan otot, masalah bicara dan bahasa,
masalah memori dan penalaran, kesulitan menelan, masalah penglihatan,
penurunan kesadaran, dan berpotensi terhadap kematian. Kesemua masalah
fisik yang muncul ini tentunya berpeluang terhadap timbulnya masalah
emosional (psikologi) penderita stroke.

Berbagai masalah emosional mungkin dialami setelah seseorang mengalami


stroke. Kebanyakan dari masalah emosional yang muncul mengarah pada
keadaan depresi penderitanya. Depresi yang muncul pada penderita stroke

39 Universitas Indonesia
merupakan akibat lanjut dari respon kehilangan dan berduka yang dirasakan
oleh seseorang yang baru mengalami stroke. Pada klien yang penulis kelola,
ternyata klien yang mengalami masalah berduka tidak mengalami tahap
depresi. Pada awal pengkajian, penulis menemukan klien sudah dalam tahap
tawar menawar.

Tindakan keperawatan yang diberikan terhadap klien lebih mengacu pada


memunculkan emosi positif melalui cara verbal, aktivitas fisik, spiritual, dan
dukungan sosial yang ada pada klien agar rasa berduka yang dirasakan klien
tidak sampai berlarut-larut sehingga dapat menimbulkan masalah yang lain,
seperti depresi, ketidakberdayaan, harga diri rendah, hingga isolasi sosial. Pada
tahap tawar menawar, penulis juga membantu klien mengidentifikasi rasa
bersalah dan perasaan takutnya. Tindakan yang diberikan penulis membawa
klien sampai pada tahap penerimaan tanpa mengalami tahap
depresi sebelumnya.

5.2 Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan yang telah diuraikan di atas, penulis dapat
memberikan saran terkait hasil pemberian asuhan keperawatan berduka
situasional pada klien yang mengalami stroke sebagai berikut:

5.2.1 Bidang Keilmuan


Saran untuk bidang keilmuan agar dapat mengadakan pelatihan atau
seminar keperawatan terkait pemberian asuhan keperawatan psikososial,
salah satunya masalah berduka situasional sehingga dapat membantu
perawat ataupun mahasiswa keperawatan untuk mereview dan mengasah
kembali pengetahuan dan skill perawat mengenai pemberian asuhan
keperawatan berduka situasional.

5.2.2 Bidang Aplikatif


Saran untuk pelayanan di rumah sakit agar dapat memfasilitasi perawat-
perawat di rumah sakitnya untuk mengikuti pelatihan dan memberikan
supervisi terhadap perawat ruangan terkait pemberian asuhan keperawatan
psikososial, termasuk pada masalah berduka situasional. Sedangkan saran
untuk perawat ruangan agar asuhan keperawatan yang diberikan pada klien
tidak hanya sebatas masalah fisik saja, namun juga dapat diberikan asuhan
keperawatan psikososial, termasuk masalah berduka situasional (jika
ditemukan) pada klien di ruang rawat. Selain itu, perawat ruangan juga
diharapkan dapat terus memotivasi dan melibatkan klien dalam setiap

pemberian asuhan keperawatan. agar pemberian asuhan keperawatan dapat


dilakukan sesuai rencana.

5.2.3 Bidang Metodologis


Saran untuk bidang metodologis, dalam hal ini untuk penelitian berikutnya
terkait pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan masalah berduka
situasional adalah diharapkan asuhan keperawatan yang diberikan
berikutnya dapat lebih mengkaji lagi koping keluarga ketika menghadapi
klien yang sedang mengalami proses kehilangan. Hal ini penting karena
keluarga merupakan bagian dari support system untuk membantu klien
mengatasi masalah kehilangan yang dihadapi. Selain itu pada penelitian
berikutnya, asuhan keperawatan pada klien dengan masalah berduka
situasional sebaiknya dapat dilakukan dalam kelompok dengan masalah
yang sama sehingga dapat dilihat keberagaman data dari tiap-tiap individu
yang mengalami masalah berduka situasional.
DAFTAR PUSTAKA

Anies. (2005). Mewaspadai penyakit lingkungan. Jakarta: PT Elex Media


Komputindo.

Beckley, M. N. (2006). Psychological well-being of spouses of stroke patients


during the first year after stroke. Clinical Rehabilitation Journal. Vol. 18,

No.4: 430-7.

Buglass, E. (2010). Grief and bereavement theories. Nursing Standard. Vol.24,


No.41, 44-47.

Carpenito, J., Lynda. (2006). Buku saku diagnosa keperawatan: Handbook of


nursing diagnosis. (10th ed). Jakarta: EGC.

Cerebrovascular Disease. (2008). Nervous System Diseases.


http://www.nervous-system-diseases.com/cerebrovascular-disease.html.
Diunduh pada tanggal 5 Juni 2013 pukul 23.00.

Corwin, Elizabeth J. (2008). Handbook of pathophysiology. (3rd ed).


Pennsylvania: Lippincott Williams & Wilkins.

Deiner, E., & Lucas, R.E. (2000). Handbook of emotions. New York: Guilford.

DepKes RI. (2008). Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2007. Jakarta: Badan
Litbangkes DepKes RI.

Dunn, Elswatte, and Elliot (2009). Grief and its manifestations. Nursing Standard.
Vol.18, No. 45, 45-51.

Effendi, F., & Makhfudli. (2009). Keperawatan kesehatan komunitas: Teori dan
praktik dalam keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Fredickson, et al, (2000). Motivation and emotion. New York: American Scientist.

Hartono, Andry. (2006). Penyakit bawaan makanan: fokus pendidikan kesehatan.


Jakarta: EGC.

Hilari., et al. (2010). Psychological distress after stroke and aphasia: the first six
months. Medical Sciences, Sage Publication Group. Vol.24, No.2, 181-190.

42 Universitas Indonesia
Ignatavicius, D.D., & Workman. (2006). Medical surgical nursing: Critical
thinking for collaborative care. (5th Ed). Missouri: Elsevier Saunders.

Japardi, Iskandar. (2002). Penyakit degeneratif pada medulla spinalis.


http://.www.respiratory.usu.ac.id.pdf . Diunduh pada tanggal 5 Juni 2013 pukul
22.00.

Keliat, dkk. (2006). Modul IC-CMHN: Manajemen keperawatan psikososial dan


pelatihan kader kesehatan jiwa. Jakarta: FIKUI.

Lanreville, Philippe., et al. (2009). The role of activity restriction in post stroke
depressive symptoms. American Psychological Association. Vol.54, No.3, 315-
322.

Lewis, Sharon L., et al. (2007). Medical–surgical nursing: assessment and


management of clinical problems. (Vol.2). Missouri: Mosby Elsevier.

Moyle, W.P., & Hogan, N.S. (2006). Grief theories and models applications to
hospice nursing practice. Journal Of Hospice And Palliative Nursing. Vol.10,
No.6.

NANDA. (2011). Nursing diagnoses: Definition & classification. UK: Wiley-


Blackwell.

Price, Sylvia A., & Wilson, L.M. (2003). Patofisiologi: Konsep klinis proses-
proses penyakit. (Edisi ke-6). Jakarta: EGC.

Seale., et al. (2010). Change in positive emotion and recovery of functional status
following stroke. Rehabilitation Psychology. Vol.55, No.1: 33-39.

Smeltzer, S. C., & Bare (2002). Brunner & Suddarth'sTextbook of medical- surgical
nursing. Philadelphia: Lippincott.

Stroke Association. (2008). Risk factors for stroke and type of stroke in persons
with isolated systolic hypertension. Journal of The American Heart
Association. Vol.29, 1333-1340.

Townend., et al. (2010). Feeling sad and useless: an investigation into personal
acceptance of disability and its association with depression following stroke.
Medical Sciences, Sage Publication Group. Vol.24, No.6, 555-564.
Videbeck, S.I. (2001). Psychiatric mental health nursing. Philadelphia:
Lippincott.

WHO. (2004). Neurology Atlas. http://www.who.int/neurology/atlas/en.html.


Diunduh pada tanggal 5 Juni 2013 pukul 22.00.

WHO. (2010). Stroke . http://who.int/mental_health/html. Diunduh pada tanggal 5


Juni 2013 pukul 22.00.
LAMPIRAN
PENGKAJIAN

Tanggal Pengkajian: 7 Mei 2013


A. Informasi Umum
- Nama : Ibu A
- No.RM : 0-26-23-68
- Jenis Kelamin : Perempuan
- TTL/Usia : Bogor, 15 Juni 1947 (66 tahun)
- Agama : Islam
- Suku/Bangsa : Sunda
- Pendidikan : Tidak sekolah
- Pekerjaan : Pedagang
- Status Perkawinan : Janda
- Alamat : Jl Cilubang RT/RW 04/04, Kelurahan Balumbang
Jaya, Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat
- Dx Medis : Hemiparase Sinistra ec. Susp SNH
- Tanggal Masuk : 5 Mei 2013

B. Alasan Masuk
Klien dibawa kerumah sakit dengan alasan mengalami kelemahan anggota
badan sebelah kiri. Klien mengatakan ketika bangun pagi merasa lengan dan
tungkai kirinya terasa lemas dan terasa kesemutan. Sekitar jam 11.00 ketika
memasak, lengan dan tungkai kirinya terasa semakin berat dan lemas, klien
mulai sulit berjalan dan wajahnya, terutama bibirnya terlihat tidak simetris.
Jam 13.00 keluarga mengatakan bicara klien sudah mulai pelo, lengan dan
tungkai kiri tidak bisa digerakkan lagi, dan kepala terasa berat sehingga
keluarga memutuskan untuk membawa klien ke rumah sakit.

C. Riwayat Penyakit Masa Lalu


Keluarga mengatakan klien mengalami hipertensi sejak empat tahun lalu dan
sangat jarang sekali kontrol ke puskesmas atau pelayanan kesehatan lain,
kecuali jika ada keluhan yang dirasakan berat oleh klien. Biasanya klien hanya
mengkonsumsi obat ‘captropil’ yang biasanya dibeli diwarung. Keluarga juga
mengatakan bahwa selain hipertensi, klien juga mengalami penyakit asam urat
sejak dua tahun yang lalu.

D. Riwayat Penyakit Sekarang


- Keluhan utama : lemah anggota gerak kiri, bicara pelo, pusing,
mual, lemas
- Gejala Penyerta : adanya peningkatan tekanan darah
- Waktu : 7-8 jam SMRS
- Upaya yang dilakukan: dibawa ke rumah sakit

E. Riwayat Penyakit Keluarga dan Genogram


Keterangan:

: perempuan

: laki-laki

: meninggal

: klien

---- : tinggal satu rumah

Klien merupakan anak ke 3 dari 4 bersaudara. Orang tua klien, yaitu ayahnya
memiliki riwayat stroke dan juga hipertensi. Suami klien, yaitu Bpk M
meninggal 15 tahun yang lalu karena DM. Klien dan suaminya dikaruniai 6
orang anak, 3 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Saat ini, klien tinggal
bersama anak pertamanya, menantu, dan kedua cucunya.

F. Pengkajian Fisik

1) Keadaan Umum: Klien tampak sakit berat, keadaan umum lemah,


kesadaran CM (E4M6Vafasia)

2) Tanda-tanda vital:

- Tekanan darah: 180/110 mmHg


- Nadi: 88 x/menit

- RR: 22x/menit

- Suhu: 36.7 0 C

3) Pemeriksaan Head to toe:

- Kepala dan rambut


Bentuk simetris, kulit kepal bersih, tidak tampak lesi, rambut hitam
keputihan, kuat, bersih, distribusi merata.
- Mata
Bentuk simetris, konjungtiva tak anemis, warna pink muda, sklera agak
keruh, warna putih, ikterik tidak ada, fungsi penglihatan tidak ada
kelainan.
- Hidung
Bentuk simetris, tidak ada lesi atau hambatan pada saluran pernafasan
atas, bersih, tidak ada sekret..
- Mulut
Bentuk bibir asimetris, warna merah muda, agak pucat dan kering, gigi
bersih dan lengkap, lidah bersih.
- Telinga
Bentuk kedua daun telinga simetris, bersih, tidak ada serumen ataupun
lesi, fungsi pendengaran tidak ada kelainan.
- Leher
Bentuk leher simetris, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, tidak
tampak bendungan vena jugularis.
- Dada
Bentuk dan pergerakan dinding dada simetris, suara paru vesikuler, tidak
ada wheezing dan ronkhi, bunyi jantung SI & S2, tidak ada murmur dan
gallop.
- Abdomen
Bentuk abdomen tidak ada kelainan, tidak terdapat nyeri tekan,
peristaltik usus ada, BU 10 x/menit, tidak ada pembesaran masa.
- Genitourinaria dan anus: tidak diperiksa
- Kulit dan kuku
Warna kulit sawo matang, bersih, tidak terdapat lesi, tidak tampak
jaundice, turgor kulit baik.kuku bersih.
- Ekstremitas
Akral hangat, simetris, tidak ada sianosis, CRT < 3 detik, tidak ada
fraktur, kekuatan otot 5555 5555

3333 3333

G. Pola Kebiasaan Sehari-hari


1) Biologis
- Pola makan:
Klien mengatakan biasanya makan 3x dalam sehari. Meskipun dirinya
mengetahui menderita hipertensi, klien tidak pernah pantang makan
makanan yang asin. Keluarga mengatakan sebelum klien terserang
stroke, pada pagi harinya klien sempat makan ikan asin. Menurut
keluarga, selama di rumah sakit sendiri,klien mengalami penurunan
nafsu makan. Makan tidak pernah habis.
- Pola minum:
Biasanya dalam sehari klien dapat minum air putih 6-7 gelas dan minum
air teh 1 gelas/hari. Selama di rumah sakit, klien hanya minum 3-4
gelas/hari.
- Pola tidur:
Klien mengatakan dalam sehari biasanya dirinya tidur selama 7-8 jam.
Klien biasanya tidur jam 21.00 malam dan bangun pukul 04.00 pagi.
- Pola eliminasi:
Biasanya dalam sehari, klien BAK sebanyak 4-6 kali dan BAB sebanyak
1kali. Namun, semenjak di rumah sakit, klien mengatakan BAB menjadi
3 hari sekali, sedangkan BAK tidak dapat dihitung karena klien
menggunakan diapers.
- Kebersihan diri:
Klien biasanya mandi 2 x sehari. Namun ketika di rawat di rumah sakit,
klien hanya di lap saja oleh keluarganya.

2) Psikologis
- Keadaan emosi:
Saat pertama kali berinteraksi dengan klien, yaitu pada tanggal 7 Mei
2013, klien masih tampak gelisah dan tidak tenang. Raut wajah klien
tampak tegang, nada suara terkadang tampak meninggi ketika
berinteraksi dengan orang lain dan nampak kurang bersabar. Keluarga
mengatakan ketika hari pertama rawat, klien tampak seperti orang yang
mengalami syok dan cenderung menyalahkan dirinya sendiri serta
sering terlihat bersedih dan menangis.

Klien mengatakan andai saja dirinya menjaga pola makan dan tidak
makan ‘ikan asin’ pada malam harinya mungkin dirinya tidak seperti saat
ini. Klien mengatakan takut tidak dapat kembali seperti dulu lagi dan
tidak dapat beraktivitas seperti dulu lagi. Selain itu, klien juga
mengatakan jika keadaannya seperti ini terus dirinya tidak bisa lagi
menjaga warung, memasak, menjaga cucu-cucunya dan mengikuti
pengajian seperti biasanya.

3) Sosial
- Dukungan keluarga:
Klien mengatakan saat ini dirinya tinggal bersama anak pertamanya,
menantu dan kedua cucunya. Menurutnta, dukungan terbesar berasal
dari keluarga, terutama anak-anaknya, mulai dari anak pertama hingga
anak terakhirnya. Klien mengatakan setiap hari anak-anaknya yang
berada di satu kota selalu bergantian menunggu dirinya di rumah sakit,
hanya anak kelima dan keenam saja yang belum menjenguknya karena
rumahnya berada di luar kota.
- Hubungan keluarga:
Klien mengatakan hubungan antar keluarga cukup baik dan akur. Sangat
jarang sekali anak-anaknya terlibat percekcokan atau perselisihan.
Menurut klien, meskipun dirinya jarang bertemu dengan kesemua
anaknya, tetapi komunikasi tetap berjalan lancar.
- Hubungan dengan oran lain:
Klien mengatakan dirinya tetap aktif mengikuti pengajian. Dalam
seminggu, dirinya bisa aktif mengikuti pengajian 3-4 kali. Klien
mengatakan senang mengikuti pengajian karena selain menambah ilmu
agama, juga dapat menambah teman, meningkatkan tali persaudaraan
dan silaturahmi. Hal ini terlihat saat klien di rawat di rumah sakit, banyak
teman-teman dan tetangga kline datang menjenguk klien secara
bergantian.

4) Spiritual dan kultural


Klien beragama islam dan bersuku sunda. Menurut keluarga, dalam
kesehariannya, klien taat melaksanakan ibadah sholat dan mengaji. Klien
juga rutin mengikuti pengajian disekitar lingkungan rumahnya. Terkait
budaya, menurut klien tidak ada ritual khusus yang dilakukannya terkait
pemeliharaan kesehatan.

H. Data Penunjang
1) Pemeriksaan EKG:
Hasil: normal sinus rhtym
2) Pemeriksaan CT Scan kepala:
Hasil: infark cerebri pada basal ganglia dextra dan paraventrikel lateralis
pada temporoparietal dextra
3) Pemeriksaan Laboratorium ( Tanggal 5 Mei 2013)
Pemeriksaan Hasil

HEMATOLOGI

1. Hemoglobin 13.0 g/dl

2. Trombosit 252.000 mm3

3. Leukosit 10.420 /mm3 (↑)

4. Hematokrit 40 %

KIMIA DARAH

1. SGOT 25 U/L

2. SGPT 26 U/L

3. Ureum 49.8 mg/dl

4. Creatinin 0.94 g/dl

5. GDS 100 mg/dl

4) Daftar terapi medis:


- Citicolin 2 x 500 mg
- CPG 1 x 1 gram
- Aspilet 1 x 1 gram
- IVFD Ringer Laktat 6 jam/kolf
ANALISA DATA

No Data Masalah Keperawatan


1. DS: Kerusakan
- Klien mengatakan kepala kadang- perfusi jaringan
kadang masih terasa pusing; serebral
- Keluarga mengatakan klien awalnya
tampak gelisah dan kurang berespon
pada hari pertama dirawat;
- Keluarga mengatakan klien mengalami
kelemahan anggota tubuh sebelah kiri
sejak dua hari yang lalu saat bangun
tidur.
DO:
- Keadaan umum sakit sedang,
kesadaran CM;
- Klien tampak terbaring lemah;
- Tanda-tanda vital menunjukkan
tekanan darah 180/110 mmHg, nadi 88
x /menit, pernapasan 22 x/menit, suhu
36,7oC;
- Pada pemeriksaan CT-Scan didapatkan
infark cerebri pada basal ganglia dextra
dan paraventrikel
lateralis pada temporoparietal dextra

2. DS: - Klien mengatakan


- Keluarga mengatakan klien mengalami tangan dan kaki

kelemahan anggota tubuh sebelah kiri


sejak dua hari yang lalu saat bangun
tidur;
Hambatan mobilitas fisik
kirinya sulit digerakkan dan terasa
berat jika diangkat;
- Klien mengatakan sudah tidak dapat
berjalan lagi ketika stroke menyerang
dirinya;
- Keluarga mengatakan klien hanya
berbaring saja sejak hari pertama di
rawat.
DO:
5555 3333
- Kekuatan otot ;
5555 3333

- Lengan dan kaki kiri tampak kaku dan


sulit digerakkan;
- ADL tampak dibantu;
- Klien tampak lemas.
3. DS: Hambatan komunikasi
- Keluarga mengatakan bicara klien verbal
mulai tidak jelas sejak terkena stroke
dua hari lalu;
- Keluarga mengatakan sudah dua hari
ini klien menjadi malas bicara karena
merasa mulutnya terasa berat;
- Keluarga mengatakan apa yang
dikatakan klien masih dapat
dimengerti.
DO:
- Klien tampak kesulitan mengeja
artikulasi kata (bicara tampak pelo);
- Bibir tampak asimetris (cenderung
miring ke kanan).
4. DS: Berduka situasional
- Keluarga mengatakan ketika hari
pertama rawat, klien tampak seperti
orang yang mengalami syok dan
cenderung menyalahkan dirinya
sendiri serta sering terlihat
bersedih/menangis;
- Klien mengatakan andai saja dirinya
menjaga pola makan dan tidak makan
‘ikan asin’ pada malam harinya
mungkin dirinya tidak seperti saat ini.
DO:
- Ekspresi wajah klien tampak murung;
- Klien tampak tidak bersemangat;
- Klien tampak sering menyalahkan diri
sendiri;
- Klien tampak gelisah dan tidak
tenang.
5. DS: Ansietas
- Klien mengatakan takut tidak dapat
kembali seperti dulu lagi dan tidak
dapat beraktivitas seperti dulu lagi;
- Klien mengatakan jika keadaannya
seperti ini terus dirinya tidak bisa lagi
menjaga warung, memasak, menjaga
cucu-cucunya dan mengikuti
pengajian seperti biasanya.
DO:
- Klien tampak lesu dan kurang
bersemangat;
- Ekspresi wajah klien tampak murung;
- Klien tampak gelisah dan tidak
tenang.
Diagnosa Keperawatan Prioritas:
1. Kerusakkan perfusi jaringan serebral
2. Hambatan mobilitas fisik
3. Berduka situasional
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Nama Klien : Ibu A (66 tahun) Nama Mahasiswa : Rosiana Putri


Ruang : Antasena V NPM : 0806334413
No. RM : 0-26-23-68
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional
Hasil
1. Kerusakkan perfusi jaringan Setelah 3 x 24 jam Mandiri:
serebral pemberian asuhan 1. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan 1. Mengetahui faktor-faktor yang
keperawatan, perfusi dengan situasi individu/ penyebab koma / berpengaruh terhadap penurunan perfusi
serebral membaik penurunan perfusi serebral dan potensial serebral
dengan kriteria hasil : PTIK
1. Tingkat kesadaran 2. Berikan penjelasan kepada keluarga klien 2. Keluarga lebih berpartisipasi dalam
tidak menurun tentang sebab-sebab gangguan perfusi proses penyembuhan
2. Fungsi kognitif, jaringan otak dan akibatnya
memori, dan 3. Evaluasi pupil dan ukuran bentuk 3. Mengkaji adanya penurunan perfusi
motorik membaik kesamaan serta reaksi terhadap cahaya serebral
3. TIK normal 4. Observasi dan catat tanda-tanda vital dan 4. Mengetahui setiap perubahan yang
4. Tanda-tanda vital kelainan tekanan intracranial terjadi pada klien secara dini dan untuk
stabil penetapan tindakan yang tepat
5. Tidak ada tanda 5. Berikan posisi kepala lebih tinggi 15-30 5. Mengurangi tekanan arteri dengan
perburukan dengan letak jantung (beri bantal tipis) meningkatkan draimage vena dan
neurologis memperbaiki sirkulasi serebral
6. Pertahankan tirah baring, ciptakan 6. Rangsangan aktivitas yang meningkat
lingkungan yang tenang dan batasi dapat meningkatkan kenaikan TIK.
pengunjung Istirahat total dan ketenangan mungkin
diperlukan untuk pencegahan terhadap
perdarahan dalam kasus stroke
Kolaborasi:
1. Pemberian obat neuroprotektor 1. Memperbaiki sel yang masih viable
2. Berikan oksigen sesuai indikasi 2. Memperbaiki sirkulasi ke serebral
2. Hambatan mobilitas fisik Setelah diberikan Mandiri:
asuhan keperawatan 1. Ubah posisi tiap dua jam (prone, supine, 1. Menjaga integritas kulit
selama 3x24 jam, miring)
diharapkan dapat 2. Mulai latihan aktif / pasif rentang gerak 2. Menjaga kekuatan otot agar tidak
mempertahankan sendi pada semua ekstremitas semakin lemah atau membuat kekuatan
tingkat kemampuan otot semakin membaik
ototnya dengan kriteria 3. Topang ekstremitas pada posisi 3. Mencegah terjadinya foot drop
hasil: fungsional. Pertahankan kepala dalam
1. Tidak ada keadaan netral 4. Mempermudah pengaturan posisi pada
kontraktur atau 4. Evaluasi penggunaan alat bantu pengatur klien
foot drop posisi 5. Membantu mobilisasi secara bertahap
2. Kontraksi otot 5. Bantu meningkatkan keseimbangan duduk 6. Mempertahankan integritas kulit
membaik 6. Awasi bagian kulit diatas tonjolan tulang
3. Terpeliharanya
integritas kulit Kolaborasi: 1. Membantu dalam meningkatkan atau
1. Konsul kebagian fisioterapi mempertahankan kekuatan otot
No Diagnosa Tujuan Kriteria Evaluasi Implementasi Rasional
3. Berduka
situasional

TUM: Klien TUK 1: Klien Setelah 3x interaksi, klien Bina hubungan saling percaya dengan Hubungan saling percaya yang baik
dapat dapat membina menunjukkan tanda-tanda menggunakan prinsip komunikasi merupakan dasar yang kuat bagi klien
melewati hubungan saling percaya kepada perawat : terapeutik: dalam mengekspresikan perasaannya.
tahapan proses percaya dengan 1. Klien dapat berinteraksi secara 1. Sapa klien dengan ramah baik verbal 1. Menunjukkan keramahan dan sikap
berduka yang perawat. aktif dengan perawat, yang maupun non verbal; bersahabat;
adaptif. ditunjukkan dengan: 2. Perkenalkan nama, nama panggilan 2. Agar klien tidak ragu kepada perawat;
- Ekspresi wajah perawat dan tujuan perawat
bersahabat berkenalan; 3. Menunjukkan bahwa perawat ingin
- Menunjukkan rasa senang 3. Tanyakan nama lengkap dan nama kenal dengan klien;
- Ada kontak mata panggilan yg disukai klien; 4. Agar klien percaya kepada perawat;
- Mau berjabat tangan 4. Tunjukkan sikap jujur dan menepati
- Mau menyebutkan nama janji setiap berinteraksi dengan klien;
- Mau duduk berdampingan 5. Tunjukkan sikap empati dan 5. Penerimaan yang sesuai dengan
dengan perawat menerima klien apa adanya; keadaan yang sebenarnya dapat
- Bersedia mengungkapkan meningkatkan keyakinan pada
masalah yang dihadapi keluarga serta merasa adanya suatu
pengakuan.
6. Tanyakan perasaan klien dan masalah 6. Perhatian yang diberikan dapat
yang dihadapi klien. meningkatkan harga diri klien.
Dengarkan dengan penuh perhatian;
7. Hindari respon mengkritik atau 7. Respon mengkritik atau menyalahkan
menyalahkan saat klien dapat menimbulkan adanya sikap
mengungkapkan perasaanya; penolakan;
8. Buat kontrak interaksi yang jelas. 8. Memberi info tentang kontrak waktu.

berdu
TUK 2: Klien Setelah 3x interaksi, klien mampu: 1. Tunjukkan sikap menerima sehingga klien tidak
ka.
mampu 1. Mengungkapkan perasaan yang takut mengungkapkan perasaannya secara terbuka
yang
mengungkapkan dialaminya saat kehilangan orang yang tentang kehilangan. Dukung reaksi berduka klien
perasaan dicintainya; yang adaptif;
kehilangan akan 2. Mengekspresikan perasaannya akan 2. Identifikasi bersama klien apa yang dirasakan saat
orang yang proses kehilangan dengan aman. kehilangan salah satu fungsi tubuh.
dicintai dengan
cara yang
positif.
Setelah 3x interaksi, klien mampu
1. Menyebutkan konsep kehilangan; 1. Jelaskan pada klien tentang konsep kehilangan, yaitu
:
TUK 3 : Klien - Menyangkal, jelaskan manfaat tahap
mengetahui menyangkal klien, jangan
tahapan proses
bersal mampu menerima
1. Ungk
ah aspek positif dan
apan
yang negatif dari konsep
perasa
meng kehilangan.
an
hasilk
dapat
an
merin
respo
ganka
n
n
terseb
beban
ut.
klien;

1. Meng
hentik
2. Pengetahuan
an
yang diterima
prese
tentang perasaan
psi
yang
ideali
berhubungan
s
konsep
klien
kehilangan dapat
dan
membantu
agar
meringankan
klien
perasaan
sedang 2. Klien mengetahui posisi paksa klien melewati tahap
dialaminya. berduka yang dialami klien menyangkal dengan cepat tanpa
saat ini. kesiapan emosional;
- Isolasi, perkuat harga diri klien
dengan memberikan privasi,
dorong klien untuk melakukan
aktivitas sosial secara bertahap;
- Depresi, identifikasi tingkat
depresi dan kembangkan
pendekatan yang sesuai, gunakan
rasa berbagi dan empati, hargai
rasa berduka;
- Marah, dorong untuk ungkapkan
kemarahan yang adaptif, redamkan
kemarahan klien secara bertahap,
yakinkan klien bahwa hal ini
adalah takdir Yang maha Kuasa;
- Rasa bersalah, anjurkan klien
untuk mengidentifikasi aspek
positif dari hubungan antar
manusia, dan hindari argumentasi
negatif klien tentang penyebab
peristiwa ini;
- Ketakutan, bantu klien mengenali
perasaannya, gali sikap-sikap
terhadap kematian dan kehilangan,
gali metode-metode koping klien;
- Histeria;
- Dukung privasi klien untuk
menunjukkan rasa berduka yang
adaptif.

2. Anjurkan klien menghubungkan 2. Pengetahuan ini memudahkan


dengan konsep kehilangan. Dengan perawat mengidentifikasi tahap
dukungan sensitivitas, tunjukkan penerimaan klien terhadap musibah
kenyataan situasi yang dihadapi yang dialami
klien saat ini.

TUK 4: Klien Setelah 3x interaksi, klien dapat 1. Identifikasi bersama klien arti 1. Klien tidak mangalami proses
dapat menyebutkan arti kehilangan dan kehilangan. Tanyakan apa yang berduka yang berkepanjangan dan
menggambarkan hikmah yang dapat dipetik. diharapkan klien terhadap peristiwa disfungsional;
arti kematian ini;
atau kehilangan. 2. Identifikasi bersama klien hikmah 2. Menambah kekuatan klien dalam
yang dapat diambil dari peristiwa menghadapi kenyataan ini.
ini.
TUK 5:Klien Setelah 3x interaksi, klien dapat 1. Identifikasi bersama klien faktor- 1. Membantu klien menemukan koping
dapat menyebutkan faktor-faktor yang faktor yang mengancam yang adaptif untuk menghadapi
menggunakan mengancam penyelesaian proses penyelesaian proses berduka: proses berduka klien.
koping yang berduka - Ketergantungan kepada orang
adaptif dalam lain;
menghadapi - Konflik yang tidak teratasi;
proses berduka. - Sistem pemdukung tidak
adekuat;
- Jumlah kehilangan sebelumnya;
- Kesehatan fisik dan psikologis
klien.

TUK 6 : Setelah 3x interaksi, Klien dapat 1. Identifikasi bersama klien mengenai 1. Membantu klien untuk mengambil
Klien dapat menyebutkan cara menerima cara menghadapi musibah dengan hikmah dari setiap kejadian sehingga
menyebutkan kehilangan dengan ikhlas : ikhlas : mampu menerima kehilangan dengan
cara kehilangan 1. Mendekatkan diri kepada - Mendekatkan diri kepada Tuhan ikhlas.
dengan ikhlas. Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Esa, melalui;
melalui; perbanyak sholat perbanyak sholat sunnah,
sunnah, membaca al-qur an, membaca Al-Qur’an, berdoa,
berdoa, beristighfar, beristighfar, bersholawat,
membaca buku-buku agama; membaca buku-buku agama;
2. Mengidentifikasi hikmah - Mengidentifikasi hikmah dari
dari peristiwa ini. peristiwa ini seperti klien
menyebutkan “ini adalah takdir
Tuhan Yang Maha Esa dan ini
jalan yang terbaik”.

TUK 7:Klien Setelah 3x interaksi, klien dapat 1. Libatkan keluarga sebagai sistem 1. Keluarga merupakan support system
dapat menggunakan sistem pendukung pendukung klien dalam menghadapi yang dapat memberi kekuatan dan
menggunakan yang ada. proses berduka dengan cara: dukungan klien dalam menghadapi
sistem - Dukung reaksi berduka keluarga proses berduka.
pendukung yang yang adaptif;
ada. - Identifikasi dan tekankan
kekuatan yang dimiliki keluarga;
- Dukung privasi keluarga untuk
saling menceritakan perasaan
berduka satu sama lain;
- Dukung keluarga untuk
menemani dan menasehati klien;
- Identifikasi lembaga-lembaga
yang dapat membantu misalnya,
majlis ta’lim, asuransi, dan
sebagainya.
CATATAN PERKEMBANGAN

Nama Klien : Ibu A (66 tahun) Nama Mahasiswa: Rosiana Putri


Ruang : Antasena V NPM : 0806334413
No. RM : 0-26-23-68

Hari ke-1
Hari/Tanggal Diagnosa Keperawatan Implementasi Evaluasi (SOAP)
Rabu, Kerusakkan perfusi jaringan Mandiri: Subjektif:
8 Mei 2013 serebral 1. Mengkaji tingkat kesadaran dan GCS - Klien mengatakan mual dan rasa ingin muntah mulai
klien; berkurang;
Pukul: DS: 2. Mengevaluasi pupil dan ukuran bentuk - Klien mengatakan pusing sedikit berkurang.
08.00-08.15 WIB - Klien mengatakan kesamaan serta reaksi terhadap cahaya;
12.00-12.15 WIB kepala masih sering 3. Memberikan penjelasan kepada klien Objektif:
terasa pusing. dan keluarga tentang sebab-sebab - Tingkat kesadaran klien CM, GCS 15 dengan verbal afasia;
gangguan perfusi jaringan otak dan - TTV: TD=160/100 mmHg, Nadi=80 x/menit,
DO: akibatnya; RR=22x/menit, Suhu=36.5°C;
- Tingkat kesadaran CM; 4. Mengobservasi dan mencatat tanda- - Pupil isokor, diameter pupil 2/2, reflek terhadap cahaya +/+;
- GCS: 15, dengan verbal tanda vital dan peningkatan tekanan - Posisi kepala klien tampak lebih tinggi (200);
afasia; intrakranial tiap dua jam, - Klien tampak terpasang nasal kanul dengan aliran O2 2
- Tanda-tanda vital mengobservasi keluhan muntah; L/menit.
menunjukkan tekanan 5. Memberikan posisi kepala lebih tinggi
darah 180/110 mmHg, 15-30 dengan letak jantung (beri bantal Analisa:
nadi 88 x /menit, tipis); Masalah kerusakkan perfusi jaringan serebral teratasi sebagian
pernapasan 22 x/menit, 6. Menciptakan lingkungan yang tenang Planning:
o
suhu 36,7 C; dan membatasi pengunjung. u/ perawat
- Pada pemeriksaan CT- - Observasi TTV dan tingkat kesadaran klien setiap 2 jam dan
Scan didapatkan infark Kolaborasi: tanda-tanda peningkatan TIK;
cerebri pada basal ganglia 1. Memberikan oksigen sesuai indikasi - Pertahankan posisi kepala lebih tinggi 15-30 dengan letak
dextra dan paraventrikel melalui nasal kanul dengan aliran O2 2 jantung (beri bantal tipis);
lateralis pada L/menit; - Lanjutkan terapi medikasi sesuai kolaborasi.
temporoparietal dextra. 2. Memberikan medikasi citicolin 2 x 500 u/ klien
mg sesuai kolaborasi. - Pertahankan tirah baring.
Rabu, Hambatan mobilitas fisik Mandiri: Subjektif:
8 Mei 2013 1. Mengubah posisi tiap dua jam (prone, - Keluarga mengatakan akan merubah posisi tidur klien tiap 2
DS: supine, miring, duduk) dan jam;
Pukul: - Klien mengatakan tangan menganjurkan keluarga untuk - Klien mengatakan cukup lelah berlatih ROM bersama;
09.00-09.30 WIB dan kaki kirinya sulit membantu merubah posisi tidur klien - Klien mengatakan akan berlatih ROM secara teratur sesuai
11.00-11.15 WIB digerakkan dan terasa tiap 2 jam apabila sedang tidak ada kemampuannya.
13.00-13.15 WIB berat jika diangkat; perawat;
- Klien mengatakan sudah 2. Melatih ROM aktif asistif pada Objektif:
tidak dapat berjalan lagi ekstremitas yang lemah dan ROM aktif - Tidak terlihat adanya luka dekubitus pada bagian kulit klien;
ketika stroke menyerang pada ekstremitas yang normal; - Klien masih belum semangat berlatih ROM;
dirinya; 3. Menganjurkan klien untuk berlatih - Kekuatan otot:
- Keluarga mengatakan ROM secara teratur; 5555 3333
klien hanya berbaring saja 4. Mengawasi bagian kulit diatas tonjolan 5555 3333
sejak hari pertama di tulang dan memberikan bantalan pada - Klien tampak mampu melakukan latihan ROM aktif pada
rawat. sela-sela tonjolan tulang; daerah ektremitas yang normal, sedangan pada ektremitas
DO: 5. Membantu meningkatkan yang lemah, latihan ROM tampak dibantu;
- Lengan dan kaki kiri keseimbangan duduk klien;
tampak kaku dan sulit 6. Membantu pemenuhan ADL klien. Analisa:
digerakkan; Masalah hambatan mobilitas fisik teratasi sebagian
- ADL tampak dibantu; Kolaborasi:
- Klien tampak lemas; 1. Melakukan konsul kebagian fisioterapi Planning:
- Kekuatan otot: u/ perawat
5555 3333 - Ubah posisi tidur klien tiap 2 jam;
5555 3333 - Berikan dan motivasi latihan ROM secara teratur;
- Pantau adanya luka dekubitus pada klien;
- Bantu pemenuhan ADL klien.
u/ klien
- Latihan ROM secara mandiri sesuai jadwal.
Rabu, Berduka situasional 1. Mempertahankan hubungan saling Subjektif:
8 Mei 2013 percaya terhadap klien; - Klien mengatakan belum terlalu mengingat nama perawat
DS: 2. Menunjukkan sikap menerima karena baru sekali bertemu;
Pukul: - Keluarga mengatakan sehingga klien tidak takut - Klien mengatakan awalnya dirinya merasa sangat sedih dan
10.00-10.30 WIB ketika hari pertama rawat, mengungkapkan perasaannya secara kesal karena tubuh sebelah kirinya tidak bisa digerakkan;
klien tampak seperti orang terbuka tentang kehilangan; - Klien mengatakan dirinya seperti ini karena dirinya tidak
yang mengalami syok dan 3. Mendukung reaksi berduka klien yang pernah peduli dengan kesehatannya sebelum terkena stroke;
cenderung menyalahkan adaptif; - Klien mengatakan ingin rasanya dirinya memutar kembali
dirinya sendiri serta sering 4. Mengidentifikasi bersama klien apa waktu agar semuanya tidak terjadi;
terlihat yang dirasakan saat kehilangan salah - Klien mengatakan jadi tahu bahwa dirinya saat ini berada
bersedih/menangis; satu fungsi tubuh; dalam fase tawar-menawar.
- Klien mengatakan andai 5. Menjelaskan kepada klien tentang Objektif:
saja dirinya menjaga pola konsep kehilangan dan tahapan - Klien tampak tidak bersemangat;
makan dan tidak makan berduka; - Ekspresi wajah klien masih tampak murung.
‘ikan asin’ pada malam 6. Mengidentifikasi bersama klien
harinya mungkin dirinya tahapan berduka yang sedang dihadapi Analisa:
tidak seperti saat ini. klien saat ini. Masalah berduka situasional teratasi sebagian

DO: Planning:
- Ekspresi wajah klien u/ perawat
tampak murung; - Pertahankan hubungan saling percaya dengan klien;
- Klien tampak tidak - Identifikasi bersama klien arti kehilangan;
bersemangat; - Identifikasi bersama klien hikmah yang dapat diambil dari
- Klien tampak sering peristiwa kehilangan ini;
menyalahkan diri sendiri; - Identifikasi bersama klien faktor-faktor yang mengancam
- Klien tampak gelisah dan penyelesaian proses berduka.
tidak tenang. u/ klien
- Ungkapkan perasaan yang mengganjal pada keluarga atau
orang yang dipercaya.
Hari ke-2

Hari/Tanggal Diagnosa Keperawatan Implementasi Evaluasi (SOAP)


Jum’at, Kerusakkan perfusi jaringan Mandiri: Subjektif:
10 Mei 2013 serebral 1. Mengobservasi dan mencatat tanda- - Klien mengatakan lebih nyaman dengan posisi kepala lebih
tanda vital dan peningkatan tekanan ditinggikan dan pusing menjadi tidak terasa.
Pukul: DS: intrakranial tiap dua jam, serta
08.00-08.15 WIB - Klien mengatakan mengobservasi keluhan muntah; Objektif:
12.00-12.15 WIB pusing sudah jarang 2. Mengevaluasi keluhan pusing klien; - TTV: TD=150/90 mmHg, Nadi=80 x/menit, RR=20x/menit,
timbul 3. Mempertahankan posisi kepala lebih Suhu=36.5°C;
tinggi 15-30 dengan letak jantung (beri - Klien tampak tenang;
DO: bantal tipis); - Posisi kepala klien tampak lebih tinggi (200).
- Tingkat kesadaran CM; 4. Menciptakan lingkungan yang tenang.
- GCS: 15, dengan verbal Analisa:
afasia; Masalah kerusakkan perfusi jaringan serebral teratasi sebagian
- Tanda-tanda vital Kolaborasi:
menunjukkan tekanan 1. Memberikan medikasi citicolin 2 x 500 Planning:
darah 150/100 mmHg, mg sesuai kolaborasi. u/ perawat
nadi 84 x /menit, - Observasi TTV dan tanda-tanda peningkatan TIK tiap 4jam;
pernapasan 20 x/menit, - Pertahankan posisi kepala lebih tinggi 15-30 dengan letak
suhu 36,5oC; jantung (beri bantal tipis);
- Lanjutkan terapi medikasi sesuai kolaborasi.
u/ klien
- Lapor perawat jika ingin muntah.
Jum’at Hambatan mobilitas fisik Mandiri: Subjektif:
10 Mei 2013 1. Mengubah posisi tiap dua jam (prone, - Klien mengatakan sudah berlatih ROM secara mandiri,
DS: supine, miring, duduk) dan meskipun baru 3 kali dalam sehari;
Pukul: - Klien mengatakan tangan menganjurkan keluarga untuk - Klien mengatakan selalu merubah posisi tidurnya, meskipun
08.30-09.00 WIB dan kaki kirinya mulai membantu merubah posisi tidur klien kadang-kadang masih dibantu keluarganya;
10.30-10.40 WIB terasa lebih ringan tiap 2 jam apabila sedang tidak ada - Keluarga mengatakan kemarin klien sempat dibawa ke poli
12.30-12.40 WIB digerakkan dari perawat; fisioterapi;
sebelumnya; 2. Melatih ROM aktif asistif pada - Keluarga mengatakan klien tampak lebih bersemangat
ekstremitas yang lemah dan ROM aktif berlatih ROM setelah merasa tubuhnya semakin lebih
DO: pada ekstremitas yang normal; ringan untuk digerakkan.
- Lengan dan kaki kiri 3. Mengevaluasi latihan ROM secara
masih tampak kaku; mandiri pada klien dan memotivasi Objektif:
- ADL tampak dibantu; klien untuk berlatih ROM secara - Tidak terlihat adanya luka dekubitus pada bagian kulit klien;
- Kekuatan otot: teratur; - Klien tampak mampu melakukan latihan ROM aktif pada
5555 3333 4. Mengawasi bagian kulit diatas tonjolan daerah ektremitas yang normal, sedangan pada ektremitas
5555 3333 tulang dan memberikan bantalan pada yang lemah, latihan ROM tampak dibantu;
sela-sela tonjolan tulang; - Klien tampak lebih bersemangat berlatih ROM;
5. Membantu pemenuhan ADL klien. - Kekuatan otot:
5555 3333
Kolaborasi: 5555 3333
1. Melakukan konsul kebagian fisioterapi
Analisa:
Masalah hambatan mobilitas fisik teratasi sebagian
Planning:
u/ perawat
- Berikan dan motivasi latihan ROM secara teratur;
- Pantau adanya luka dekubitus pada klien;
- Bantu pemenuhan ADL klien.
u/ klien
- Latihan ROM secara mandiri sesuai jadwal;
- Ubah posisi tidur tiap 2 jam;
- Tingkatkan aktivitas ditempat tidur.
Jum’at, Berduka situasional 1. Mempertahankan hubungan saling Subjektif:
10 Mei 2013 percaya dengan klien; - Klien mengatakan masih mengingat nama perawat dan
DS: 2. Menunjukkan sikap menerima mengingat kontrak yang sudah disepakati;
Pukul: - Klien mengatakan sudah sehingga klien tidak takut - Klien mengatakan makna kehilangan adalah mensyukuri
09.00-09.30 WIB mulai menerima mengungkapkan perasaannya secara apa yang masih ada pada dirinya;
keadaannya saat ini terbuka tentang kehilangan; - Klien mengatakan hikmah dibalik semua kejadian yang
meskipun terkadang masih 3. Mengidentifikasi bersama klien arti menimpanya adalah harus lebih menyayangi tubuhnya dan
dibayang-bayangi rasa kehilangan; tidak menyia-nyiakan apa yang telah diberikan Tuhan
penyesalan; 4. Mengidentifikasi bersama klien kepadanya untuk kedepannya;
- Keluarga mengatakan hikmah yang dapat diambil dari - Klien mengatakan mensyukuri keadaannya ternyata lebih
klien sudah lebih terbuka peristiwa kehilangan ini; baik dari hari ke hari dari yang dia bayangkan sebelumnya.
dan mulai mau bercerita 5. Mengidentifikasi bersama klien faktor-
dengan keluarga. faktor yang mengancam penyelesaian Objektif:
proses berduka. - Ekspresi wajah klien tampak lebih cerah;
- Klien tampak tenang;
DO: - Klien tampak lebih terbuka dalam mengungkapkan
- Ekspresi wajah klien perasaannya.
tampak lebih cerah;
- Klien tampak lebih Analisa:
bersemangat; Masalah berduka situasional teratasi sebagian
- Klien tampak tenang.
Planning:
u/ perawat
- Pertahankan hubungan saling percaya dengan klien;
- Identifikasi bersama klien mengenai cara menghadapi
musibah dengan ikhlas;
- Motivasi keluarga sebagai sistem pendukung klien dalam
menghadapi proses berduka.
u/ klien
- Ungkapkan perasaan yang mengganjal pada keluarga atau
orang yang dipercaya.
Hari ke-3

Hari/Tanggal Diagnosa Keperawatan Implementasi Evaluasi (SOAP)


Sabtu, Kerusakkan perfusi jaringan Mandiri: Subjektif:
11 Mei 2013 serebral 1. Mengobservasi dan mencatat tanda- - Klien mengatakan dari kemarin sama sekali tidak merasa
tanda vital dan kelainan tekanan pusing;
Pukul: DS: - intrakranial tiap empat jam, serta - Klien mengatakan tidak ada keluhan mual muntah;
08.00-08.15 WIB DO: mengobservasi keluhan muntah; - Klien mengatakan tubuhnya sudah tidak terasa lemas lagi.
12.00-12.15 WIB - Tingkat kesadaran CM; 2. Mengevaluasi keluhan pusing klien;
- GCS: 15, dengan verbal 3. Mempertahankan posisi kepala lebih Objektif:
afasia; tinggi 15-30 dengan letak jantung (beri - TTV: TD=140/90 mmHg, Nadi=80 x/menit, RR=20x/menit,
- Tanda-tanda vital bantal tipis); Suhu=36.5°C;
menunjukkan tekanan 4. Menciptakan lingkungan yang tenang. - Klien tampak tenang;
darah 150/90 mmHg, nadi - Posisi kepala klien tampak lebih tinggi (200);
82 x /menit, pernapasan - Tanda-tanda peningkatan TIK (-).
o
20 x/menit, suhu 36,4 C; Kolaborasi:
1. Memberikan medikasi citicolin 2 x 500 Analisa:
mg sesuai kolaborasi. Masalah kerusakkan perfusi jaringan serebral teratasi sebagian

Planning:
u/ perawat
- Observasi TTV dan tanda-tanda peningkatan TIK tiap 4jam;
- Pertahankan posisi kepala lebih tinggi 15-30 dengan letak
jantung (beri bantal tipis);
- Lanjutkan terapi medikasi sesuai kolaborasi.
u/ klien
- Lapor perawat jika pusing dan rasa ingin muntah kembali
muncul.
Sabtu Hambatan mobilitas fisik Mandiri: Subjektif:
11 Mei 2013 1. Menganjurkan dan memotivasi klien - Klien mengatakan sudah berlatih ROM secara mandiri
DS: dan keluarga untuk mengubah posisi sesuai jadwal yang sudah dibuat;
Pukul: - Klien mengatakan ADL tiap dua jam (prone, supine, miring, - Klien mengatakan selalu merubah posisi tidurnya, meskipun
08.30-09.00 WIB masih dibantu keluarga; duduk); kadang-kadang masih dibantu keluarganya;
10.30-10.40 WIB - Klien mengatakan 2. Melatih ROM aktif asistif pada - Klien mengatakan tangan kirinya terasa lebih kuat dari
12.30-12.40 WIB aktivitas hanya dilakukan ekstremitas yang lemah dan ROM aktif sebelumnya, terutama saat menggenggam jari-jari tangan
ditempat tidur saja. pada ekstremitas yang normal; kirinya;
3. Mengevaluasi latihan ROM secara - Keluarga mengatakan klien tampak lebih bersemangat
DO: mandiri pada klien dan memotivasi berlatih ROM setelah merasa tubuhnya semakin lebih
- Lengan dan kaki kiri klien klien untuk berlatih ROM secara ringan untuk digerakkan.
tampak lebih luwes; teratur;
- ADL tampak dibantu; 4. Mengawasi bagian kulit diatas tonjolan Objektif:
- Kekuatan otot: tulang dan memberikan bantalan pada - Tidak terlihat adanya luka dekubitus pada bagian kulit klien;
5555 3344 sela-sela tonjolan tulang; - Klien tampak mampu melakukan latihan ROM aktif pada
5555 3333 5. Membantu pemenuhan ADL klien. daerah ektremitas yang normal, sedangan pada ektremitas
yang lemah, latihan ROM sesekali tampak dibantu;
- Kekuatan otot tampak meningkat, yaitu:
5555 3344
5555 3333
- Klien tampak lebih bersemangat berlatih ROM.

Analisa:
Masalah hambatan mobilitas fisik teratasi sebagian

Planning:
u/ perawat
- Berikan dan motivasi latihan ROM secara teratur;
- Bantu pemenuhan ADL klien.
u/ klien
- Latihan ROM secara mandiri sesuai jadwal;
- Ubah posisi tidur tiap 2 jam;
- Tingkatkan aktivitas ditempat tidur.
Sabtu, Berduka situasional 1. Mempertahankan hubungan saling Subjektif:
11 Mei 2013 percaya dengan klien; - Klien mengatakan masih mengingat nama perawat dan
DS: 2. Menunjukkan sikap menerima klien mengingat pertemuan yang sudah dijanjikan sebelumnya;
Pukul: - Klien mengatakan sangat ketika berinteraksi dengan klien; - Klien mengatakan merasa senang karena banyak yang
09.30-10.00 WIB mensyukuri dirinya masih 3. Mengidentifikasi bersama klien memperhatikan dirinya sehingga membuat dirinya menjadi
diberi umur panjang mengenai cara menghadapi musibah lebih bersemangat lagi;
meskipun dirinya harus dengan ikhlas; - Klien mengatakan cara menghadapi musibah dengan ikhlas
mengalami kehilangan 4. Memotivasi keluarga untuk selalu adalah dengan terus mendekatkan diri kepada Tuhan Yang
salah satu fungsi memberikan support atau dukungan Maha Esa dengan tetap menjalankan kewajiban sebagai
tubuhnya; kepada klien karena keluarga seorang muslim, memperbanyak sholat sunnah, membaca
- Keluarga mengatakan merupakan salah satu sistem Al-Qur an, berdoa, beristighfar, dan senantiasa bersholawat;
klien sudah lebih ceria dan pendukung klien agar klien dapat - Klien mengatakan sudah mulai menyadari bahwa apa yang
lebih terbuka dan mulai menghadapi proses berduka dengan menimpanya saat ini merupakan takdir Tuhan yang harus
mau bercerita dengan baik; diterimanya dengan ikhlas;
keluarga. Apalagi setelah 5. Memberikan informasi terhadap - Anak-anak klien mengatakan akan selalu bergantian
semua anaknya sudah keluarga tentang apa yang harus menemani klien di rumah nantinya dan akan terus
datang menjenguknya. dilakukan keluarga untuk mencegah menyemangati klien agar cepat sembuh.
dampak lebih lanjut terjadinya proses
berduka berulang pada klien setelah Objektif:
DO: keluar dari rumah sakit. - Ekspresi wajah klien tampak cerah dan mulai tersenyum;
- Klien tampak tenang; - Klien tampak lebih bersemangat;
- Ekspresi wajah klien
tampak lebih cerah; Analisa:
- Klien tampak lebih Masalah berduka situasional teratasi
bersemangat;
- Keluarga tampak Planning:
memperhatikan klien. u/ perawat
- Motivasi keluarga untuk terus memberikan dukungan dan
perhatian terhadap klien.
u/ klien
- Ungkapkan perasaan yang mengganjal pada keluarga atau
orang yang dipercaya.
BIODATA MAHASISWA

Nama Lengkap : Rosiana Putri, S.Kep

Nama Panggilan : Ochie

Tempat/ Tanggal Lahir : Metro, 31 Juli 1989

Jenis Kelamin : Perempuan

Kewarganegaraan : Indonesia

Suku : Lampung

Agama : Islam

Alamat Sekarang : Jl. Ketapang No 09 Pondok Cina, Kecamatan Beji

Depok, Jawa Barat, 16424

Alamat Rumah : Jl. Waluh No 39, 24 B Tejoagung, Metro Timur

Metro, Lampung, 34111

Nomor HP : 085658955589

Email : chie_oww@yahoo.com

rosiana.putri@ui.ac.id

Motto Hidup : “Never Give Up”

RIWAYAT PENDIDIKAN FORMAL

Institusi Tahun

1. TK Pertiwi Teladan Metro, Lampung 1994-1995

2. SD Pertiwi Teladan Metro, Lampung 1995-2001

3. SMP N 1 Metro, Lampung 2001-2004

4. SMA N 4 Metro, Lampung 2004-2007


5. FMIPA Matematika UNILA, Lampung 2007-2008

6. FIK UI, Depok (Program Sarjana) 2008-2012

7. FIK UI, Depok (Program Ners) 2012-2013

PENGALAMAN ORGANISASI

1. BEM FIK UI 2011, September 2011-Januari 2012 (Bendahara Umum)


2. BEM FIK UI 2011, Febuari-Agustus 2011 (Kepala Departemen Dana, Usaha
dan Sponsorship)
3. BEM FIK UI 2009 ( Staff Biro Humas dan Media)
4. FPPI FIK UI 2009 (Staff Kewirausahaan)
5. Saimala 2009 (Kepala Biro Dana dan Usaha)
6. Himatika Unila 2007 (Anggota)
7. Animasi Unila 2007 (Anggota)

Vous aimerez peut-être aussi