Vous êtes sur la page 1sur 62

BAB I

PENDAHULUAN

Zoonosis adalah penyakit atau infeksi yang ditularkan secara alamiah di antara
hewan vertebrata dan manusia. Peternakan di Indonesia rentan terhadap berbagai
penyakit, termasuk zoonosis. Dengan demikian, zoonosis merupakan ancaman baru
bagi kesehatan manusia. Berkembangnya zoonosis dalam beberapa tahun terakhir
menjadi tanda bertambahnya ancaman penyakit yang mematikan bagi manusia yang
ditularkan oleh hewan. Sampai saat ini, terdapat tidak kurang dari 300 penyakit
hewan yang dapat menulari manusia. Dalam 20 tahun terakhir, 75% penyakit baru
pada manusia terjadi akibat perpindahan patogen dari hewan ke manusia atau bersifat
zoonotik, dan dari 1.415 mikroorganisme pathogen pada manusia, 61,6% bersumber
dari hewan. 1
Zoonosis dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui beberapa cara, yaitu
kontak langsung dengan hewan pengidap zoonosis dan kontak tidak langsung melalui
vektor atau mengonsumsi pangan yang berasal dari ternak sakit, atau melalui aerosol
di udara ketika seseorang berada pada lingkungan yang tercemar. Penyakit yang
diderita ternak selama pemeliharaan dapat menular ke manusia melalui konsumsi
bahan pangan asal ternak tersebut. Berbagai penyakit ternak saat ini sedang
berjangkit di beberapa daerah di Indonesia. 1
Berdasarkan hewan penularnya, zoonosis dibedakan menjadi zoonosis yang
berasal dari satwa liar, zoonosis dari hewan yang tidak dipelihara tetapi ada di sekitar
rumah, seperti tikus yang dapat menularkan leptospirosis, dan zoonosis dari hewan
yang dipelihara manusia. Wabah zoonosis banyak menelan korban jiwa, seperti di
Malaysia. Lebih dari 80 orang meninggal dunia diduga akibat penyakit yang berasal
dari babi, yang ditandai dengan peradangan otak (ensefalitis) yang ditularkan oleh
nyamuk. WHO juga mencatat terdapat 310 kasus avian influenza (AI) atau flu burung
dengan 189 kematian pada manusia. Wabah flu babi juga telah melanda Amerika
Serikat dan Meksiko dengan korban meninggal di Meksiko 68 orang, 20 orang positif
flu babi, dan 1.004 orang dinyatakan terinfeksi. 1
BAB II
PEMBAHASAN
Penyakit zoonosis adalah penyakit infeksi yang secara alamiah dapat menular
di antara hewan vertebrata dan manusia (WHO). Penyakit zoonosis ini dapat
disebabkan oleh berbagai jenis mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur maupun
protozoa.2
Zoonosis mencakup berbagai penyakit menular yang secara biologis berbeda
satu dengan lainnya. Banyaknya penyakit yang dapat digolongkan sebagai zoonosis
dikarenakan adanya perbedaan yang kompleks di antara penyakit tersebut. Penyakit
zoonosis dapat dibedakan antara lain berdasarkan penularannya, reservoir utamanya,
asal hewan penyebarnya, dan agens penyebabnya. Berdasarkan agens penyebabnya,
zoonosis dibedakan atas zoonosis yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, atau
yang disebabkan oleh jamur.1

A. Anthraks
Nama antraks berasal dari kata yunani buat batubara yaitu anthracis, oleh
karena lesi nekrotik (eschar) berwarna hitam seperti batubara. Anthrax adalah
penyakit zoonosis yang disebabkan oleh kuman bacillus anhtracis, suatu basil
yang dapat membentuk spora dan ditularkan ke manusia melalui kontak dengan
binatang yang terinfeksi atau bahan dari binatang yang terkontaminasi.3
1. Etiologi Anthrax
Anthrax disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis yang merupakan
bakteri berbentuk batang besar dengan ujung persegi dan sudutnya tajam
dengan ukuran panjang 3 – 5 µm dan lebar 1 – 2 µm. Bakteri ini bersifat
Gram positif yang akan tampak berwarna biru ungu di bawah mikroskop bila
diwarnai dengan Gram. Pemeriksaan di bawah mikroskop terhadap preparat
ulas yang diambil dari specimen darah atau jaringan hewan penderita akan
tampak bakteri ini tersusun berpasangan, berantai maupun sendiri sendiri
dengan gambaran khas seperti ruas pohonbambu / bamboo tree appearance.
Bacillus anthracis dapat membentuk endospora yang berbentuk oval dan
terletak central , tidak lebih besar daripada diameter bentuk vegetatifnya. 4
Bacillus antracis penyebab penyakit antraks mempunyai dua bentuk siklus
hidup, yaitu fase vegetatif dan fase spora.
 Fase Vegetatif
Berbentuk batang, berukuran panjang 1-8 mikrometer, lebar 1-1,5
mikrometer. Jika spora antraks memasuki tubuh inang (manusia atau
hewan memamah biak) atau keadaan lingkungan yang memungkinkan
spora segera berubah menjadi bentuk vegetatif, kemudian memasuki fase
berkembang biak. Sebelum inangnya mati, sejumlah besar bentuk
vegetatif bakteri antraks memenuhi darah. Bentuk vegetatif biasa keluar
dari dalam tubuh melalui pendarahan di hidung, mulut, anus, atau
pendarahan lainnya.Ketika inangnya mati dan oksigen tidak tersedia lagi
di darah bentuk vegetatif itu memasuki fase tertidur (dorman/tidak
aktif).Jika kemudian dalam fase tertidur itu terjadi kontak dengan oksigen
di udara bebas, bakteri antraks membentuk spora (prosesnya disebut
sporulasi). Pada fase ini juga dikaitkan dengan penyebaran antraks melalui
serangga, yang akan membawa bakteri dari satu inang ke inang lainnya
sehingga terjadi penularan antraks kulit, akan tetapi hal tersebut masih
harus diteliti lebih lanjut. 4

Gambar 1. Bacillus anthraci


 Fase Spora
Berbentuk seperti bola golf, berukuran 1-1,5 mikrometer. Selama fase ini
bakteri dalam keadaan tidak aktif (dorman), menunggu hingga dapat
berubah kembali menjadi bentuk vegetatif dan memasuki inangnya.Hal ini
dapat terjadi karena daya tahan spora antraks yang tinggi untuk melewati
kondisi tak ramah--termasuk panas, radiasi ultraviolet dan ionisasi,
tekanan tinggi, dan sterilisasi dengan senyawa kimia. Hal itu terjadi ketika
spora menempel pada kulit inang yang terluka, termakan, atau karena
ukurannya yang sangat kecil--terhirup. Begitu spora antraks memasuki
tubuh inang, spora itu berubah ke bentuk vegetatif.4

Gambar 2. Spora Anthrax

2. Patogenesis Anthrax
Manusia terinfeksi jika spora B. antrhacis masuk ke dalam tubuh melalui
kontak dengan hewan yang terinfeksi atau produk hewan terkontaminasi,
gigitan serangga, inhalasi atau tertelan. Pada manusia, bentuk yang paling
sering terjadi adalah antraks kulit, yang ditandai oleh lesi kulit terlokalisir
dengan eschar sentral yang dikelilingi oleh edema nonpitting yang nyata. 5
B.anthracis adalah organisme di tanah yang tersebar di seluruh dunia.
Kasus pada manusia dapat dibagi secara umum menjadi kasus industri dan
agrikultur. Pada kasus agrikultur transmisi terjadi langsung dengan kontak
dengan discharges binatang yang terinfeksi seperti tinja, atau tidak langsung
melalui gigitan lalat yang telah makan pada bangkai binatang tersebut. Atau
bisa pula disebabkan makan daging mentah atau kurang dimasak dari binatang
terinfeksi. Kasus industri disebabkan kontak dengan spora yang terdapat pada
bahan dari binatang terinfeksi seperti rambut, wol, kulit, tulang pada saat
proses industri. Oleh karena spora bisa bertahan lama sekali maka transmisi
bisa melalui barang yang terbuat dari binatang seperti selimut wol, ikat
pinggang dari kulit, drum terbuat dari kulit. 5
Strain virulen B. anthracis adalah patogenik pada hewan, termasuk tikus
dan marmut percobaan. Faktor virulensi yang diketahui adalah tiga protein
yang secara kolektif disebut toksin antraksis dan polipeptida kapsul
antifagositik yang mengandung residu asam D-glutamat yang terangkai oleh
ikatan peptida yang terdiri dari gugus gama karboksil. Gen yang menentukan
produksi toksin antraks dan poolipeptida kapsul adalah pada plasmid B.
anthracis terpisah. 5
B. anthracis adalah suatu kuman patogen ekstraseluler yang dapat
menghindari fagositosis, menyerbu aliran darah, bermultiplikasi dengan cepat
menjadi suatu densitas populasi yang tinggi in vivo dan membunuh dengan
cepat. Polipeptida kapsuler dan toksin antraks dikenal sebagai faktor virulensi
dari B. anthracis. Kapsul B. anthracis terdiri dari asam poli-D-glutamat dan
memberikan resistensi terhadap fagositosis. Toksin antraks terdiri dari tiga
protein yang disebut protective antigen (PA), edema faktor (EF) dan lethal
factor (LF). Toksin ini ditemukan dari demonstrasi yang memindahkan darah
steril dari binatang percobaan yang tidak terinfeksi yang membunuh resepien.
Tidak satu pun dari 3 exotoxin di atas bisa menyebabkan efek biologis pada
binatang percobaan bila diberikan sendiri-sendiri. PA mempunyai efek
mengikat reseptor permukaan sel, sehingga bisa digunakan oleh EF dan LF
untuk masuk ke sitoplasma. 5
Kombinasi PA dan EF akan menyebabkan edema lokal dan menghambat
fungsi PMN, sedangkan kombinasi PA dan LF akan menyebabkan syok dan
kematian cepat, bisa dalam waktu 60 menit. Antibiotik akan melenyapkan
kuman antraks, tetapi toksin yang telah diproduksi kuman akan tetap
berfungsi melanjutkan proses penyakit sampai toxin tersebut dimetabolisir.5

Gambar 3. Mekanisme anthrax toxin sehingga menyebabkan patologi

Gambar 4. Mekanisme infeksi akibat anthrax


Pada cutaneous anthrax, spora kuman tersebut akan masuk melalui kulit
yang luka atau melalui luka yang disebabkan serat dari binatang terinfeksi. Di
jaringan subkutan spora tersebut akan berubah menjadi bentuk vegetatif,
bermultiplikasi dan mengeluarkan eksotoksin dan material kapsul
antifagositik (plasmid pX02). Akan terjadi edema dan nekrosis jaringan. 6
Selanjutnya kuman akan di fagosit oleh makrofag dan menyebar ke
kelenjar getah bening setempat, di mana disini toksin akan menyebabkan
perdarahan, edema dan nekrosis (limpadenitis). Terakhir basil tersebut akan
masuk peredaran darah dan menyebabkan pneumonia, meningitis dan sepsis. 6
Pada inhalation Antraks (lebih jarang terjadi dibanding dengan tipe
lainnya) terjadi inhalasi spora (aerosol dengan ukuran partikel kurang dari 5
um) dimana spora akan sampai di alveoli, difagosit oleh makrofag dan
selanjutnya dibawa ke kelenjar getah bening mediastinum. Spora yang di
tanah akan menggumpa dan akan susah menjadi aerosol, sehingga tidak
menyebabkan inhalation antraks. 6
Di sini terjadi germination, berkembang biak dan pembentukan toksin,
sehingga terjadi limfadenitis dan mediatinitis yang hemoragis. Kapiler paru
bisa terkena yang menyebabkan trombosis dan gagal napas. Juga bisa terjadi
efusi pleura. Penyebab kematian dari inhalation anthrax ini adalah gagal
napas, syok dan edema paru. 6
Bila spora masuk melalui mulut setelah makan daging terkontaminasi
yang mentah atau kurang masak maka akan terjadi yang disebut
oropharyngeal atau intestinal anthrax. Pada oropharyngeal Anthrax ini terjadi
pembengkakan farynx dan bisa juga menyebabkan obstuksi trakea atau
limfadenopati servikal dengan edema. Pada intestinal Antraks terjadi edema,
nekrosis dan perdarahan mukosa usus besar dan kecil, limfadenopati
mesenterika, asites hemoragis dan sepsis. 6
Gambar 5. Jalur penularan anthrax pada manusia

3. Manifestasi Klinis Anthrax


Ada beberapa jenis manifestasi Antraks dengan insidensi berbeda di setiap
negara, juga antara negara maju dan berkembang. Ada 3 jenis yaitu cutaneous
anthrax, inhalation Antraks dan gastrointestinal antraks,di mana semuanya
bisa menyebabkan bakteremi, sepsis dan meningitis. Meningitis terjadi pada
5 % semua kasus anthrax. 7-8
a. Cutaneous Anthrax
Jenis ini mencakup 90 % kasus Antraks pada manusia. Setelah massa
inkubasi 1-7 hari akan timbul lesi berbentuk papula kecil sedikit gatal
pada tempat spora masuk (biasanya di lengan, tangan kemudian leher dan
muka), yang dalam beberapa hari berubah jadi bentuk vesikel yang tidak
sakit berisi cairan serosanguineous, tidak purulen dan kemudian menjadi
ulkus nekrotik yang sering dikelilingi vesikel-vesikel kecil. Ukuran lesi
sekitar 1-3 cm. khas dalam 2-6 hari akan timbul eschar berwarna hitam
seperti batubara (black carbuncle) yang berkembang dalam beberapa
minggu menjadi ukuran beberapa sentimeter yang kemudian menjadi
parut setelah 1-2 minggu.Setelah itu dasar kulit dari lesi terlihat undurasi,
panas, berwarna merah, non-pitting edema yang bisa meluas sampai
demikian luasnya (malignant edema). Sehingga terjadi hipotensi oleh
karena perpindahan cairan intravaskuler ke subkutan. 7-8
Gambaran sistemik berupa demam, mialgia, sakit kepala, lemah badan dan
limfadenopati lokal. Bila tidak digunakan antibiotik maka 20 % fatal,
dimana terjadi penyulit bakteriemi yang berlanjut ke meningitis,
pneumonia atau sepsis. 7-8
Penyembuhan spontan terjadi terjadi pada 80 sampai 90 persen kasus yang
tidak diobati, tetapi edema dapat berlanjut selama berminggu-minggu.
Pada 10 sampai 20 persen pasien tidak diobati, yang mengalami infeksi
progresif, dapat terjadi bakterimia dan sering disertai demam tinggi dan
kematian cepat. 7-8

Gambar 6. Cutaneous Anthrax

b. Inhalation Anthrax
Inkubasi 1 sampai 5 hari, tetapi dapat sampai 60 hari, tergantung jumlah
spora yang masuk. Jenis ini terjadi pada kurang dari 5 % kasus. Setelah
inkubasi 10 hari timbul gambaran klinik akut yang terdiri dari 2 fase
(bifasik), yaitu fase initial yang ringan dimana didapatkan demam, lemah,
mialgia, batuk kering dan rasa tertekan di dada dan perut (flu like) yang
pada pemeriksaan fisik mungkin ditemukan ronki, kemudian tiba-tiba
disusul fase kedua yang berat dan sering fatal setelah terlihat seperti ada
perbaikan fase pertama. Fase kedua ini cepat sekali memburuk berupa
panas tinggi, sesak nafas, hipoksia, sianosis, stridor dan akhirnya syok
dengan kematian dalam beberapa hari. Pemeriksaan fisik memberikan
gambaran infeksi paru dengan kemungkinan sepsis dan meningitis.
Inhalation Anthrax tidak memberikan gambaran klasik pneumonia,
sehingga tidak didapatkan sputum yang purulen. 7-8

Gambar 7. Inhalation Anthrax

Kemiripan yang sering terjadi pada gejala antraks inhalasi (penyakit


pencukur bulu domba) dengan penyakit pernapasan karena virus yang
berat telah mempersulit diagnosis dini. Setelah 1 sampai 3 hari fase akut
terjadi, yang disertai demam, dispnea, stridor, hipoksia dan hipotensi,
biasanya akan terjadi kematian dalam 24 jam, dengan angka kematian bisa
mencapai 90 %, tergantung fasilitas. Kadang-kadang pasien memberikan
gejala fulminan. Temuan radiologik khas yang berkaitan dengan
mediastinitis hemoragik adalah pelebaran mediastinum yang simetrik oleh
karena limfadenopati. Inhalation Anthrax tidak dapat ditularkan antar
manusia. 7-8
c. Gastrointestinal Anthrax
Setelah kira-kira 2-5 hari memakan daging yang mengandung spora, maka
timbul demam, nyeri perut difus, muntah, diare. Bisa timbul muntah darah
dan berak darah, berisi darah segar atau melena. Bisa pula terjadi perforasi
usus. Selain itu terjadi limfadenitis mesenterial dan asites. 7-8
Gejala antraks saluran cerna bervariasi dan terdiri dari demam, mual dan
muntah, nyeri perut, diare berdarah dan kadang asites yang terjadi secara
cepat. Diare kadang masif, sehingga terjadi hemokonsentrasi dan volume
intravaskuler yang menurun hebat. Gambaran utama antraks orofaring
adalah demam, nyeri tenggorok, disfagia, limfadenopati regional yang
nyeri dan toksemia, sesak napas juga dapat terjadi. Lesi primer sering
terdapat pada tonsil. Perkembangan selanjutnya dari keduanya adalah
sepsis, meningitis dan kematian. Angka kematian berkisar 25 sampai 60
%.7-8
Gambar 8. Gastrointestinal Anthrax

4. Pemeriksaan Penunjang
Spesimen yang diperiksa adalah cairan atau pus dari lesi lokal, darah dan
sputum. Apusan yang diwarnai dari lesi lokal atau darah dari hewan yang mati
sering memperlihatkan batang gram positif besar berbentuk rantai. Anthrax
dapat diidentifikasi dalam apusan yang dikeringkan dengan teknik pewarnaan
imunofluoresensi. 5
Bila ditumbuhkan dalam lempeng agar darah, organisme menghasilkan
koloni nonhemolitik abu-abu sampai putih dengan tekstur kasar dan gambaran
“ground-glass”. Pertumbuhan keluar berbentuk koma (kaput medusa) dapat
menonjol dari koloni. Pewarnaan gram memperlihatkanbatang gram positif
besar. Fermentasi karbohidrat tidak berguna. Pada medium semi-padat,
basilus anthrax selalu nonmotil sedangkan organisme nonpatogenik terkait
(misalnya, B cereus) memperlihatkan motilitas secara “berkelompok”. Biakan
anthrax yang virulen membunuh tikus atau marmut pada injeksi
intraperitoneal. Demonstrasi kapsul memerlukan pertumbuhan pada medium
yang mengandung bikarbonat dalam 5-7 % karbondioksida. Lisis oleh
bakteriograf-Y anthrax spesifik dapat membantu dalam mengidentifikasi
organisme. 5
Enzyme-linked immunoassay (ELISA) telah dikembangkan untuk
mengukur antibody terhadap edema dan toksin letal, tetapi uji tersebut belum
dipelajari secara luas. Serum akut dan konvalesen yang diperoleh dengan
selang waktu 4 minggu harus diuji. Hasil yang positif adalah perubahan
empat kali atau titer tunggal lebih dari 1:32. 5
Laboratorium memberikan hasil leukosit yang normal atau sedikit
meningkat dengan PMN yang dominan. Cairan pleura atau likuor
serebrospinal memperlihatkan gambaran hemoragis dengan relatif sedikit sel
darah putih. Pemeriksaan gram dan kultur (dengan media standar) dari lesi
kulit, apus tenggorok, cairan pleura, asites, likuor serebrospinal dan darah
akan memperlihatkan kuman gram positif dengan gambaran khas anthrax.
Pemeriksaaan radiologi sangat penting pada Inhalation anthrax dimana akan
didapatkan gambaran mediastinum yang melebar. 5

5. Terapi pada Anthrax


a. Antibiotik
Pemberian antibiotik intravena direkomendasikan pada kasus antraks
inhalasi, gastrointestinal dan meningitis. Pemberian antibiotik topikal
tidak dianjurkan pada antraks kulit Antraks kulit dengan gejala sistemik,
edema luas, atau lesi di kepala dan leher juga membutuhkan antibiotik
intravena. Walaupun sudah ditangani secara dini dan adekuat, prognosis
antraks inhalasi, gastrointestinal, dan meningeal tetap buruk. B. anthracis
alami resisten terhadap antibiotik yang sering dipergunakan pada
penanganan sepsis seperti sefalosporin dengan spektrum yang diperluas
tetapi hampir sebagian besar kuman sensitif terhadap penisilin,
doksisiklin, siprofloksasin, kloramfenikol, vankomisin, sefazolin,
klindamisin, rifampisin, imipenem, aminoglikosida, sefazolin, tetrasiklin,
linezolid, dan makrolid. Bagi penderita yang alergi terhadap penisilin
maka kloramfenikol, eritromisin, tetrasikilin, atau siprofloksasin dapat
diberikan. 5
Pada antraks kulit dan intestinal yang bukan karena bioterorisme, maka
pemberian antibiotik harus tetap dilanjutkan hingga paling tidak 14 hari
setelah gejala reda.. Oleh karena antraks inhalasi secara cepat dapat
memburuk, maka pemberiaan antibiotik sedini mungkin sangat perlu.
Keterlambatan pemberian antibiotik sangat mengurangi angka
kemungkinan hidup. Oleh karena pemeriksaan mikrobiologis yang cepat
masih sulit dilakukan maka setiap orang yang memiliki risiko tinggi
terkena antraks harus segera diberikan antibiotik sambil menunggu hasil
pemeriksaan laboratorium. Sampai saat ini belum ada studi klinis
terkontrol mengenai pengobatan antraks inhalasi. Untuk kasus antraks
inhalasi Food and Drug Administration (FDA) menganjurkan penisilin,
doksisiklin, dan siprofloksasin sebagai antibiotik pilihan. Setelah serangan
antraks yang terjadi pada tahun 2001 di AS dan berdasarkan uji kepekaan
yang dilakukan, CDC menganjurkan kombinasi 2-3 antibiotik untuk
pengobatan antraks inhalasi. Pemberian dua atau lebih antibiotik intravena
dikatakan sangat bermanfaat meningkatkan angka harapan hidup.
Mengingat kemungkinan rekayasa kuman pada antraks inhalasi akibat
serangan bioterorisme (kuman menjadi resisten terhadap satu atau lebih
antibiotik) juga menjadi salah satu alasan pemberian kombinasi antibiotik
ini. 5
b. Vaksin
Vaksin pertama kali dicoba oleh Louis Pasteur pada tahun1881 pada
binatang. Pada saat ini yang dianjurkan untuk manusia adalah AVA
(anthrax vaccine adsorbed) yang terdiri dari nonencapsulated, attenuated
starin (Stern strain). Vaksin lain yang masih dilakukan trial saat ini adalah
vaksin rekombinan antigen (cell-free antigen) yang antara lain
mengandung LE dan EF. Vaksin diberikan ulang pada minggu ke-2, 4 dan
kemudian pada bulan ke-6, 12 dan 18. Vaksin bisa diberikan pada pekerja
industri atau peternakan atau siapapun yang punya resiko kontak spora.
Vaksin AVA saja tidak bisa digunakan buat postexposure prophylaxis,
sehingga untuk maksud ini digunakan antibiotic 60 hari atau dikombinasi
dengan vaksin. 5
Di AS pemberian vaksin antraks (anthrax vaccine adsorbed/AVA)
terhadap kelompok risiko tinggi terpajan spora sudah rutin dilakukan.
Sebanyak 0,5 ml AVA yang disuntikkan secara subkutan diberikan pada
minggu ke 0, 2, dan 4, dan bulan ke 6, 12, dan 18, selanjutnya booster
dilakukan setiap tahun. Bila terpajan kuman antraks maka pemberian
antibiotik selama 60 hari setelah pajanan ditambah dengan vaksinasi akan
memberikan proteksi yang optimal. Seperti vaksin pada umumnya, vaksin
antraks juga menyebabkan rasa sakit, kemerahan, rasa gatal,
pembengkakan dan benjolan pada daerah suntikan. Sekitar 30% laki-laki
dan 60% wanita melaporkan reaksi lokal ini, tapi biasanya hanya untuk
waktu yang tidak lama. Benjolan dapat menetap selama beberapa minggu
kemudian menghilang. Diluar daerah suntikan, 5-35% melaporkan adanya
rasa sakit pada otot, sendi, sakit kepala, demam, menggigil, mual,
kehilangan nafsu makan dan kelemahan. Tapi gejala-gejala ini biasanya
menghilang setelah beberapa hari.
Gambar 9. Terapi Farmakologis Infeksi Bacillus Anthraks
Vaksin antraks diberikan kepada orang-orang yang berhubungan dengan
tempat pengolahan produk ternak import dan orang-orang yang terlibat
dalam kegiatan diagnostik dan penyelidikan yang memungkinkan mereka
kontak dengan spora antraks. Vaksin hanya diberikan kepada laki-laki dan
perempuan sehat berusia 18 sampai 65 tahun. Karena belum diketahui
apakah dapat menyebabkan kelainan janin, maka vaksin ini tidak
diberikan kepada wanita hamil. Vaksin ini tidak boleh diberikan kepada
orang dengan : Reaksi hipersensitivitas, Infeksi HIV, Reaksi immuno-
supresif, Wanita hamil, Usia <18 dan >65 tahun, Penyakit pernafasan akut
atau infeksi aktif, Pemakaian obat imuno-supresan seperti steroid (mis.
Prednison).

B. LEPTOSPIROSIS
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia
maupun hewan yang disebabkan kuman leptospira patogen dan digolongkan
sebagai zoonosis. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever,
slime fever, swamp fever, autumnal fever, infektious jaundice, field fever, cane
cutter fever, canicola fever, nanukayami fever, 7-day fever dan lain-lain. 9
1. Epidemiologi
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang tersebar di seluruh
dunia, disemua benua kecuali Antartika, namun terbanyak didapati didaerah
tropis. Penularan leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang
terinfeksi kuman leptospira. Kuman leptospira mengenai sedikitnya 160
spesies mamalia, seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut, dan
sebagainya. Binatang pengerat terutama tikus merupakan vektor yang paling
banyak. Tikus merupakan vektor utama dari L. icterohaemorrhagica penyebab
leptospirosis pada manusia. Dalam tubuh tikus kuman leptospira akan
menetap dan membentuk koloni serta berkembang biak di dalam epitel tubus
ginjal tikus dan secara terus dikeluarkan melalui urin saat berkemih.
Penyakit ini bersifat musiman, didaerah beriklim sedang masa puncak
insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperatur
adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup kuman leptospira,
sedangkan didaerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan. 9
International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai Negara
dengan insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga dunia untuk
mortalitas. Di Indonesia leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Barat,
Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Pada Kejadian
Banjir Besar Di Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari 100 kasus
leptospirosis dengan 20 kematian. Epidemi leptospirosis dapat terjadi akibat
terpapar oleh genangan /luapan air (banjir) yang terkontaminasi oleh urin
hewan yang terinfeksi.9

2. Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili treponemataceae,
suatu mikroorganisme spirocheata. Secara sederhana, genus leptospira terdiri
atas dua spesies yaitu L.interrogans yang patogen dan L. biflexa yang hidup
bebas (non patogen atau saprofit). Spesies L.interrogans dibagi menjadi
beberapa serogrup dan serogrup ini dibagi menjadi banyak serovar menurut
komposisi antigennya. Saat ini telah ditemukan lebih dari 250 serovar yang
tergabung dalam 23. Beberapa serovar L.interrogans yang dapat menginfeksi
manusia di antaranya adalah L. Icterohaemorrhagiae, L.manhao L. Javanica,
L. bufonis, L. copenhageni, dan lain-lain. Serovar yang paling sering
menginfeksi manusia ialah L. icterohaemorrhagiae dengan reservoir tikus, L.
canicola dengan reservoir anjing, L. pomona dengan reservoir sapi dan babi.
9,10

Menurut West Indian med. j. vol.54 no.1 Mona Jan. 2005. Serogrup
leptospira yang sering menyebabkan leptospirosis adalah:
Tabel 1. Serogrup leptospira10,11

Kuman leptospira bersifat aquatic micro-organism dan slow-growing


anaerobes, bentuknya berpilin seperti spiral, tipis, organisme yang dapat
bergerak cepat dengan kait di ujungnya dan 2 flagella periplasmik yang dapat
menembus ke jaringan. Panjangnya 6-20 µm dan lebar 0,1 µm ( lihat gambar
1). Kuman ini sangat halus tapi dapat dilihat dengan mikroskop lapangan
gelap dan pewarnaan perak. 9,11
Kuman leptospira dapat hidup di air tawar selama lebih kurang 1 bulan.
Tetapi dalam air laut, selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat
mati. Kuman leptospira hidup dan berkembang biak di tubuh hewan. Semua
hewan bisa terjangkiti. Paling banyak tikus dan hewan pengerat lainnya,
selain hewan ternak. Hewan piaraan, dan hewan liar pun dapat terjangkit. 10

Gambar 1. Leptospira

3. Penularan9,12
Penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung.
Penularan langsung dapat terjadi melalui darah, urin, atau cairan tubuh lain
yang mengandung kuman leptospira masuk ke dalam tubuh pejamu; dari
hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan; dan dari manusia ke
manusia meskipun jarang Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak
dengan genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang
telah tercemar urin binatang yang terinfeksi leptospira. Infeksi tersebut terjadi
jika terdapat luka / erosi pada kulit atau selaput lendir. Terpapar lama pada
genangan air yang terkontaminasi terhadap kulit yang utuh juga dapat
menularkan leptospira.
Oleh karena leptospira diekskresi melalui urin dan dapat bertahan hidup
berbulan-bulan , maka air memegang peranan penting sebagai alat transmisi.
Kelompok pekerjaan yang beresiko tinggi terinfeksi leptospirosis antara lain
pekerja-pekerja di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja
tambang, tentara, pembersih selokan, parit/saluran air, pekerja di perindustrian
perikanan, atau mereka yang selalu kontak dengan air seni binatang seperti
dokter hewan, mantri hewan, penjagal hewan atau para pekerja laboratorium.

4. Patogenesis9,10,11
Patogenesis leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Kuman
leptospira masuk kedalam tubuh pejamu melalui luka iris atau luka abrasi
pada kulit, konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring,
esofagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet
infeksius dan minum air yang terkontaminasi. Meski jarang, pernah
dilaporkan penetrasi kuman leptospira melalui kulit utuh yang lama terendam
air saat banjir.
Infeksi melalui selaput lendir lambung, jarang terjadi, karena ada asam
lambung yang mematikan kuman leptospira. Kuman leptospira yang tidak
firulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari
aliran darah setelah satu atau dua hari infeksi. Organisme virulen mengalami
multiplikasi di darah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari
darah dan cairan serebrospinal pada hari keempat sampai sepuluh perjalanan
penyakit.
Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil, sehingga
menimbulkan vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenesis
kuman leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan
toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada kuman leptospira
mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri
gram (-) dan aktifitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel
endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai
trombositopenia.
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di
dalam ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstitium, tubulus ginjal dan
lumen tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi
mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan
kebocoran cairan dan hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan
perubahan permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal ginjal.
Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel sel hati yang ringan, pelepasan
bilirubin darah dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular,
kolestasis intrahepatik sampai berkurangya sekresi bilirubin.

Gambar 2. Penularan dan manifestasi leptosirosis20

Dapat juga leptospira masuk kedalam tubuh melalui kulit atau selaput
lendir, memasuki akiran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke
jaringan tubuh. Kemudian terjadi respon immunologi baik secara selular
maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibody
spesifik. Walaupun demikian beberapa organism ini masih bertahan pada
daerah yang terisolasi secara immunologi seperti di dalam ginjal dimana
bagian mikro organism akan mencapai convoluted tubulus. Bertahan disana
dan dilepaskan melaliu urin. Leptospira dapat dijumpai dalam urin sekitar 8
hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan
fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari
darah setelah terbentuknya agglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari,
mikro organism hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler.
Leptospiuria berlangsung 1-4 minggu.
Tiga mekanisme yang terlibat pada pathogenese leptospirosis : invasi
bakteri langsung, faktor inflamasi non spesifik, dan reaksi immunologi.

Masuk melalui luka di kulit, konjungtiva,


Selaput mukosa utuh

Multiplikasi kuman dan menyebar melalui aliran darah

Kerusakan endotel pembuluh darah kecil :
ekstravasasi Sel dan perdarahan


Perubahan patologi di organ/jaringan
- Ginjal : nefritis interstitial sampai nekrosis tubulus, perdarahan.
- Hati : gambaran non spesifik sampai nekrosis sentrilobular disertai
hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer.
- Paru : inflamasi interstitial sampai perdarahan paru
- Otot lurik : nekrosis fokal
- Jantung : petekie, endokarditis akut, miokarditis toksik
- Mata : dilatasi pembuluh darah, uveitis, iritis, iridosiklitis.
5. Patologi12,13,14
Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin
yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi bagi beberapa
organ. Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel
kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbadaan antaraderajat gangguan fungsi
organ dengan kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histology
yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional
yang nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukan bahwa kerusakan
bukan berasal dari struktur organ. Lesi inflamasi menunjukan edema dan
infiltrasi dari sel monosit, limfosit dan sel plasma. Pada kasus yang berat
terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan disfungsi
hepatoseluler dengan retensi bilier. Selain di ginjal, leptospira juga dapat
bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk ke dalam cairan
cerebrospinalis dalam fase spiremia. Hal ini menyebabkan meningitis yang
merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai komplikasi
leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati,
otot dan pembuluh darah.
Kelainan spesifik pada organ:
Ginjal: interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan
bentuk lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal.
Gagal ginjal terjadi akibat nekrosis tubular akut. Adanya peranan
nefrotoksisn, reaksi immunologis, iskemia, gagal ginjal, hemolisis dan invasi
langsung mikro organism juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal.
Hati: hati menunjukan nekrosis sentrilobuler fokal dengan infiltrasi sel
limfosit fokal dan proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus
yang diotopsi, sebagian ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya
organisme ini terdapat diantara sel-sel parenkim.
Jantung: epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat.
Kelainan miokardium dapat fokal atau difus berupa interstitial edema dengan
infiltrasi sel mononuclear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi
neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal pada miokardium dan endikarditis.
Otot rangka: Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa fokal
nekrotis, vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyari otot yang terjadi pada
leptospira disebabkan invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan
antigen leptospira pada otot.
Pembuluh darah: Terjadi perubahan dalam pembuluh darah akibat
terjadinya vaskulitis yang akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan
perdarahan atau petechie pada mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera
dan perdarahan bawah kulit.
Susunan saraf pusat: Leptospira muda masuk ke dalam cairan
cerebrospinal (CSS) dan dikaitkan dengan terjdinya meningitis. Meningitis
terjadi sewaktu terbentuknya respon antibody, tidak p-ada saat masuk CSS.
Diduga terjadinya meningitis diperantarai oleh mekanisme immunologis.
Terjadi penebalan meningen dengan sedikit peningkatan sel mononuclear
arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptic, biasanya paling
sering disebabkan oleh L. canicola.
Weil Desease. Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai
dengan ikterus, biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan
kesadaran dan demam tipe kontinua. Penyakit Weil ini biasanya terdapat pada
1-6% kasus dengan leptospirosis. Penyebab Weil disease adalah serotype
icterohaemorragica pernah juga dilaporkan oleh serotype copenhageni dan
bataviae. Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal, hepatic atau
disfungsi vascular.

6. Manifestasi Klinis9,11
Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 2 – 26 hari, biasanya 7 - 13 hari
dan rata-rata 10 hari.
Gambaran klinis pada Leptospirosis:
Sering : demam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, mialgia,
conjuctival suffusion, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam
kulit, fotophobi
Jarang : pneumonitis, hemoptoe, delirium, perdarahan, diare, edema, splenomegali,
atralgia, gagal ginjal, peroferal neuritis, pancreatitis, parotitis, epididimytis,
hematemesis, asites, miokarditis

Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas ( bifasik ) yaitu fase


leptospiremia/septikemia dan fase imun.
 Fase Leptospiremia / fase septikemia (4-7 hari)
Fase leptospiremia adalah fase ditemukannya leptospira dalam darah dan
css, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya
di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis dan
pingang disertai nyeri tekan pada otot tersebut. Mialgia dapat di ikuti
dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang disertai mengigil, juga
didapati mual dengan atau tanpa muntah disertai mencret, bahkan pada
sekitar 25% kasus disertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan
keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada hari ke 3-4
dapat di jumpai adanya conjungtivitis dan fotophobia. Pada kulit dapat
dijumpai rash yang berbentuk macular, makulopapular atau urtikaria.
Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta
limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat di tangani pasien
akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ-organ
yang terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset.
Pada keadaan sakit yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti
oleh bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi demam kembali.
Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun.
 Fase Imun (minggu ke-2)
Fase ini disebut fase immune atau leptospiruric sebab antibodi dapat
terdeteksi dalam sirkulasi atau mikroorganisme dapat diisolasi dari urin,
namun tidak dapat ditemukan dalam darah atau cairan serebrospinalis.
Fase ini muncul sebagai konsekuensi dari respon imun tubuh terhadap
infeksi dan berakhir dalam waktu 30 hari atau lebih.
Gejala yang muncul lebih bervariasi dibandingkan dengan gejala pada fase
pertama. Berbagai gejala tersebut biasanya berlangsung selama beberapa
hari, namun ditemukan juga beberapa kasus dengan gejala penyakit
bertahan sampai beberapa minggu. Demam dan mialgia pada fase yang
ke-2 ini tidak begitu menonjol seperti pada fase pertama. Sekitar 77%
pasien dilaporkan mengalami nyeri kepala hebat yang nyaris tidak dapat
dikonrol dengan preparat analgesik. Nyeri kepala ini seringkali merupakan
tanda awal dari meningitis.
Anicteric disesase ( meningitis aseptik ) merupakan gejala klinik paling
utama yang menandai fase imun anicteric Gejala dan keluhan meningeal
ditemukan pada sekitar 50 % pasien. Namun, cairan cerebrospinalis yang
pleiositosis ditemukan pada sebagian besar pasien. Gejala meningeal
umumnya menghilang dalam beberapa hari atau dapat pula menetap
sampai beberapa minggu. Meningitis aseptik ini lebih banyak dialami oleh
kasus anak-anak dibandingkan dengan kasus dewasa.
Icteris disease merupakan keadaan di mana leptospira dapat diisolasi dari
darah selama 24-48 jam setelah warna kekuningan timbul. Gejala yang
ditemukan adalah nyeri perut disertai diare atau konstipasi ( ditemukan
pada 30 % kasus ), hepatosplenomegali,mual, muntah dan anoreksia.
Uveitis ditemukan pada 2-10 % kasus, dapat ditemukan pada fase awal
atau fase lanjut dari penyakit. Gejala iritis, iridosiklitis dan khorioretinitis
( komplikasi lambat yang dapat menetap selama beberapa tahun ) dapat
muncul pada minggu ketiga namun dapat pula muncul beberapa bulan
setelah awal penyakit.
Komplikasi mata yang paling sering ditemukan adalah hemoragia
subconjunctival, bahkan leptospira dapat ditemukan dalam cairan
aquaeous. Keluhan dan gejala gangguan ginjal seperti azotemia, piuria,
hematuria, proteinuria dan oliguria ditemukan pada 50 % kasus.
Manifestasi paru ditemukan pada 20-70 % kasus. Selain itu,
limfadenopati, bercak kemerahan dan nyeri otot juga dapat ditemukan.
 Fase Penyembuhan / Fase reconvalesence (minggu ke 2-4)
Demam dan nyeri otot masih bisa dijumpai yang kemudian berangsur-
angsur hilang.

a. Leptospirosis anikterik 1,10


- 90% dari seluruh kasus leptospirosis di masyarakat.
- Perjalanan penyakit leptospirosis anikterik maupun ikterik umumnya
bifasik karena mempunyai 2 fase, yaitu : 3
1) Fase leptospiremia/fase septikemia
 Organisme bakteri dapat diisolasi dari kultur darah, cairan
serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh.
 Selama fase ini terjadi sekitar 4-7 hari, penderita mengalami
gejala nonspesifik seperti flu dengan beberapa variasinya.
 Karakteristik manifestasi klinis : demam, menggigil
kedinginan, lemah dan nyeri terutama tulang rusuk, punggung
dan perut.
 Gejala lain : sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah
darah, ruam, sakit kepala regio frontal, fotofobia, gangguan
mental, dan gejala lain dari meningitis.
b. Fase imun atau leptospirurik
 Sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari
urine dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi pada darah atau
cairan serebrospinalis.
 Fase ini terjadi karena akibat respon pertahanan tubuh terhadap
infeksi dan terjadi pada 0-30 hari atau lebih.
 Gangguan dapat timbul tergantung manifestasi pada organ
tubuh yang timbul seperti gangguan pada selaput otak, hati,
mata atau ginjal.
 Manifestasi klinik terpenting leptospirosis anikterik :
meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga sering tidak
terdiagnosis.
 Pasien leptospirosis anikterik jarang diberi obat, karena
keluhannya ringan, gejala klinik akan hilang dalam kurun
waktu 2 sampai 3 minggu.
 Merupakan penyebab utama fever of unknown origin di
beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia.
 Adanya conjunctival suffusion dan nyeri tekan di daerah betis,
limfadenopati, splenomegali, hepatomegali dan ruam
makulopapular dapat ditemukan meskipun jarang.
 Kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklitis dapat dijumpai
pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik.

b. Leptospirosis ikterik 12,15


- Demam dapat persisten dan fase imun menjadi tidak jelas atau nampak
tumpang tindih dengan fase septikemia.
- Keberadaan fase imun dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah
kuman leptospira yang menginfeksi, status imunologi, status gizi
pasien dan kecepatan memperoleh terapi yang tepat.
- Pasien tidak mengalami kerusakan hepatoselular, bilirubin meningkat,
kadar enzim transaminase serum hanya sedikit meningkat, fungsi hati
kembali normal setelah pasien sembuh.
- Leptospirosis sering menyebabkan gagal ginjal akut, ikterik dan
manifestasi perdarahan, yang merupakan gambaran klinik khas
penyakit Weil.
- Azotemia, oliguria atau anuria umumnya terjadi dalam minggu kedua
tetapi dapat ditemukan pada hari ketiga perjalanan penyakit.
- Pada leptospirosis berat, abnormalitas pencitraan paru sering dijumpai
meskipun pada pemeriksaan fisik belum ditemukan kelainan.
- Pencitraan yang paling sering ditemukan adalah patchy alveolar
pattern yang berhubungan dengan perdarahan alveoli yang menyebar
sampai efusi pleura. Kelainan pencitraan paru umumnya ditemukan
pada lobus perifer paru bagian bawah.
- Komplikasi berat seperti miokarditis hemoragik, kegagalan fungsi
beberapa organ, perdarahan masif dan Adult Respiratory Distress
Syndromes (ARDS) merupakan penyebab utama kematian yang hampir
semuanya terjadi pada pasien-pasien dengan leptospirosis ikterik.
- Penyebab kematian leptospirosis berat : koma uremia, syok
septikemia, gagal kardiorespirasi dan syok hemoragik.
- Faktor-faktor prognostik yang berhubungan dengan kematian pada
pasien leptospirosis hádala oliguria terutama oliguria renal,
hiperkalemia, hipotensi, ronkhi basah paru, sesak nafas, leukositosis
(leukosit > 12.900/mm3), kelainan Elektrokardiografi (EKG)
menunjukkan repolarisasi, infiltrat pada foto pencitraan paru.
- Kelainan paru pada leptospirosis berkisar antara 20-70% pada
umumnya ringan berupa batuk, nyeri dada, hemoptisis, meskipun
dapat juga terjadi Adult Respiratory Distress Síndromes (ARDS) dan
fatal.
- Manifestasi klinik sistem kardiovaskular pada leptospirosis dapat
berupa miokarditis, gagal jantung kongestif, gangguan irama jantung.

Tabel 2: Perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik :

Sindroma, Fase Gambaran klinik Spesimen laboratorium


Leptospirosis anikterik *
Fase leptospiremia (3-7 Demam tinggi, nyeri kepala, Darah, cairan
hari) mialgia, nyeri perut, mual, serebrospinal
muntah, conjunctival
suffusion.
Fase imán (3-30 hari) Demam ringan, nyeri kepala, Urin
muntah, meningitis aseptik
Leptospirosis ikterik
Fase leptospiremia dan Demam, nyeri kepala, Darah, cairan
fase imán (sering menjadi mialgia, ikterik, gagal ginjal, serebrospinal (minggu I)
satu atau tumpang tindih) hipotensi, manifestasi Urin (minggu II)
perdarahan, pneumonitis
hemoragik, leukositosis.
* antara fase leptospiremia dengan fase imun terdapat periode asimtomatik (1-3 hari)
7. Diagnosis
a. Anamnesis
Pada anamnesis identitas pasien, keluhan yang dirasakan dan data
epidemiologis penderita harus jelas karena berhubungan dengan
lingkungan pasien. Identitas pasien ditanyakan : nama, umur, jenis
kelamin, tempat tinggal, jenis pekerjaan, dan jangan lupa menanyakan
hewan peliharaan maupun hewan liar di lingkungannya, karena
berhubungan dengan leptospirosis.
Biasa yang mudah terjangkit pada usia produktif, karena kelompok ini
lebih banyak aktif di lapangan. Tempat tinggal; dari alamat dapat
diketahui apakah tempat tinggal termasuk wilayah padat penduduk,
banyak pejamu reservoar, lingkungan yang sering tergenang air maupun
lingkungan kumuh.
Kemungkinan infeksi leptospirosis cukup besar pada musim pengujan
lebih-lebih dengan adanya banjir. Keluhan-keluahan khas yang dapat
ditemukan, yaitu : demam mendadak, keadaan umum lemah tidak
berdaya, mual, muntah, nafsu makan menurun dan merasa mata makin
lama bertambah kuning dan sakit otot hebat terutama daerah betis dan
paha.
b. Pemeriksaan Fisik12,14,16
 Gejala klinik menonjol : ikterik, demam, mialgia, nyeri sendi serta
conjungtival suffusion.
 Gejala klinik yang paling sering ditemukan : conjungtival suffusion
dan mialgia.
 Conjungtival suffusion bermanifestasi bilateral di palpebra pada hari
ke-3 selambatnya hari ke-7 terasa sakit dan sering disertai perdarahan
konjungtiva unilateral ataupun bilateral yang disertai fotofobia dan
injeksi faring, faring terlihat merah dan bercak-bercak.
 Mialgia dapat sangat hebat, pemijatan otot betis akan menimbulkan
nyeri hebat dan hiperestesi kulit.
 Kelainan fisik lain : hepatomegali, splenomegali, kaku kuduk,
rangsang meningeal, hipotensi, ronkhi paru dan adanya diatesis
hemoragik.
 Perdarahan sering ditemukan pada leptospirosis ikterik dan
manifestasi dapat terlihat sebagai petekiae, purpura, perdarahan
konjungtiva dan ruam kulit.
 Ruam kulit dapat berwujud eritema, makula, makulopapula ataupun
urtikaria generalisata maupun setempat pada badan, tulang kering atau
tempat lain.

Gambar 3. Conjungtiva suffision dan ikterik pada sklera23

c. Pemeriksaan Penunjang1
1) Pemeriksaan laboratorium umum
a) Pemeriksaan darah
 Pemeriksaan darah rutin : leukositosis normal atau menurun.
 Hitung jenis leukosit : peningkatan netrofil.
 Trombositopenia ringan.
 LED meninggi.
 Pada kasus berat ditemui anemia hipokrom mikrositik akibat
perdarahan yang biasa terjadi pada stadium lanjut perjalanan
penyakit.
b) Pemeriksaan fungsi hati
 Jika tidak ada gejala ikterik  fungsi hati normal.
 Gangguan fungsi hati : SGOT, SGPT dapat meningkat.
 Kerusakan jaringan otot  kreatinin fosfokinase meningkat 
peningkatan terjadi pada fase-fase awal perjalanan penyakit,
rata-rata mencapai 5 kali nilai normal.
2) Pemeriksaan laboratorium khusus14,15,17
Pemeriksaan Laboratorium diperlukan untuk memastikan diagnosa
leptospirosis, terdiri dari pemeriksaan secara langsung untuk
mendeteksi keberadaan kuman leptospira atau antigennya (kultur,
mikroskopik, inokulasi hewan, immunostaining, reaksi polimerase
berantai), dan pemeriksaan secara tidak langsung melalui pemeriksaan
antibodi terhadap kuman leptospira (MAT, ELISA, tes penyaring).
Pemeriksaan yang spesifik adalah pemeriksaan bakteriologis dan
serologis. Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan bahan
biakan/kultur leptospira dengan medium kultur Stuart, Fletcher, dan
Korthof. Diagnosa pasti dapat ditegakkan jika dalam waktu 2-4
minggu terdapat leptospira dalam kultur.
Gold standard pemeriksaan serologi adalah MAT (Mikroskopik
Aglutination Test), suatu pemeriksaan aglutinasi secara mikroskopik
untuk mendeteksi titer antibodi aglutinasi dan dapat mengidentifikasi
jenis serovar. Pemeriksaan serologis ini dilakukan pada fase ke-2
(hari ke 6-12). Dugaan diagnosis leptospirosis didapatkan jika titer
antibodi > 1:100 dengan gejala klinis yang mendukung.
Ig M ELISA merupakan tes yang berguna untuk mendiagnosis secara
dini, tes akan positif pada hari ke-2 sakit ketika manifestasi klinis
mungkin tidak khas. Tes ini sangat sensitif dan efektif (93%). Tes
penyaring yang sering dilakukan di Indonesia adalah Lepto Dipstik
asay, Lepto Tek Dri Dot dan LeptoTek Lateral Flow.
Komplikasi di hati ditandai dengan peninggian transaminase dan
bilirubin. Pada 50% kasus didapat peninggian Creatinin Fosfokinase
(CPK) pada fase awal sampai mencapai 5x normal. Hal ini tidak
terjadi pada hepatitis viral. Jadi jika terdapat peninggian transaminase
dan CPK, maka diagnosis leptospirosis lebih mungkin daripada
hepatitis viral.
Pada pemeriksaan urine didapatkan perubahan sedimen urine
(leukosituria, eritrosit meningkat dan adanya torak hialin atau
granuler). Pada leptospirosis ringan bisa terdapat proteinuria dan pada
leptospirosis berat dapat terjadi azotemia.
Pemeriksaan langsung darah atau urine dengan mikroskop lapangan
gelap sering gagal dan menyebabkan misdiagnosis, sehingga lebih
baik tidak digunakan. Pada Leptospirosis yang sudah mengenai otak,
maka pemeriksaan CSS didapatkan peningkatan sel-sel PMN ( pada
awal ) tapi kemudian digantikan oleh sel-sel monosit, protein pada
CSS normal atau meningkat, sedangkan glukosanya normal.

8. Penatalaksanaan
a. Pencegahan 10,13
Pencegahan penularan kuman leptospira dapat dilakukan melalui tiga
jalur intervensi yang meliputi intervensi sumber infeksi, intervensi pada
jalur penularan dan intervensi pada penjamu manusia.
Kuman leptospira mampu bertahan hidup bulanan di air dan tanah, dan
mati oleh desinfektans seperti lisol. Maka upaya ”Lisolisasi” upaya
"lisolisasi" seluruh permukaan lantai , dinding, dan bagian rumah yang
diperkirakan tercemar air kotor banjir yang mungkin sudah berkuman
leptospira, dianggap cara mudah dan murah mencegah "mewabah"-nya
leptospirosis.
Selain sanitasi sekitar rumah dan lingkungan, higiene perorangannya
dilakukan dengan menjaga tangan selalu bersih. Selain terkena air kotor,
tangan tercemar kuman dari hewan piaraan yang sudah terjangkit penyakit
dari tikus atau hewan liar. Hindari berkontak dengan kencing hewan
piaraan. Biasakan memakai pelindung, seperti sarung tangan karet
sewaktu berkontak dengan air kotor, pakaian pelindung kulit, beralas kaki,
memakiai sepatu bot, terutama jika kulit ada luka, borok, atau eksim.
Biasakan membasuh tangan sehabis menangani hewan, ternak, atau
membersihkan gudang, dapur, dan tempat-tempat kotor.
Hewan piaraan yang terserang leptospirosis langsung diobati , dan
yang masih sehat diberi vaksinasi. Vaksinasi leptospirosis disarankan
untuk manusia yang memiliki risiko tinggi terjangkit, dan pemberiannya
harus diulang setiap tahun. Tikus rumah perlu dibasmi sampai ke sarang-
sarangnya. Begitu juga jika ada hewan pengerat lain. Jangan lupa bagi
yang aktivitas hariannya di peternakan, atau yang bergiat di ranch. Kuda,
babi, sapi, bisa terjangkit leptospirosis, selain tupai, dan hewan liar
lainnya yang mungkin singgah ke peternakan dan pemukiman, atau ketika
kita sedang berburu, berkemah, dan berolahraga di danau atau sungai.
Selain itu penyediaan air minum juga harus terjaga baik dan diklorinasi.
Ternak Babi merupakan hewan yang mampu bertahan dari infeksi akut
yang dapat mengeluarkan bakteri leptospira dalam jumlah besar dalam
jangka waktu lama, bisa sampai setahun. Hewan babi merupakan sumber
penularan leptospirosis, disebut sebagai Swine herd’s disease. Oleh karena
itu, peternak babi diimbau agar mengandangkan ternaknya dan jauh dari
sumber air. Saluran buangan ternak hendaknya diarahkan ke tempat
khusus sehingga tidak mencemari lingkungan.
b. Terapi Kuratif9,10,11,17
Terapi pilihan (DOC) untuk leptospirosis sedang dan berat adalah
Penicillin G, dosis dewasa 4 x 1,5 juta unit /i.m, biasanya diberikan 2 x
2,4 unit/i.m, selama 7 hari.

Tujuan Pemberian Obat Regimen


1. Treatment
a. Leptospirosis ringan Doksisiklin 2 x 100 mg/oral atau
Ampisillin 4 x 500-750 mg/oral atau
Amoxicillin 4 x 500 mg/oral

b.Leptospirosis sedang/ berat Penicillin G 1,5 juta unit/6jam i.m atau


Ampicillin 1 g/6jam i.v atau
Amoxicillin 1 g/6jam i.v atau
Eritromycin 4 x 500 mg i.v

2. Kemoprofilaksis Doksisiklin 200 mg/oral/minggu

 Terapi untuk leptospirosis ringan


Pada bentuk yang sangat ringan bahkan oleh penderita seperti sakit flu
biasa. Pada golongan ini tidak perlu dirawat. Demam merupakan gejala
dan tanda yang menyebabkan penderita mencari pengobatan. Ikterus
kalaupun ada masih belum tampak nyata. Sehingga penatalaksanaan
cukup secara konservatif.
Penatalaksanaan konservatif
- Pemberian antipiretik, terutama apabila demamnya melebihi 38°C
- Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Kalori diberikan dengan
mempertimbangkan keseimbangan nitrogen, dianjurkan sekitar 2000-
3000 kalori tergantung berat badan penderita. Karbohidrat dalam
jumlah cukup untuk mencegah terjadinya ketosis. Protein diberikan
0,2 – 0,5 gram/kgBB/hari yang cukup mengandung asam amino
essensial.
- Pemberian antibiotik-antikuman leptospira. Paling tepat diberikan
pada fase leptospiremia yaitu diperkirakan pada minggu pertama
setelah infeksi. Pemberian penicilin setelah hari ke tujuh atau setelah
terjadi ikterus tidak efektif. Penicillin diberikan dalam dosis 2-8 juta
unit, bahkan pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4 dapat
diberikan sampai 12 juta unit (sheena A Waitkins, 1997). Lama
pemberian penisilin bervariasi, bahkan ada yang memberikan selama
10 hari.
- Terapi suportif supaya tidak jatuh ke kondisi yang lebih berat.
Pengawasan terhadap fungsi ginjal sangat perlu.

Terapi untuk leptospirosis berat16


- Antipiretik
- Nutrisi dan cairan. Pemberian nutrisi perlu diperhatikan karena nafsu
makan penderita biasanya menurun maka intake menjadi kurang.
Harus diberikan nutrisi yang seimbang dengan kebutuhan kalori dan
keadaan fungsi hati dan ginjal yang berkurang. Diberikan protein
essensial dalam jumlah cukup. Karena kemungkinan sudah terjadi
hiperkalemia maka masukan kalium dibatasi sampai hanya
40mEq/hari. Kadar Na tidak boleh terlalu tinggi. Pada fase oligurik
maksimal 0,5gram/hari. Pada fase ologurik pemberian cairan harus
dibatasi. Hindari pemberian cairan yang terlalu banyak atau cairan
yang justru membebani kerja hati maupun ginjal. Infus ringer laktat
misalnya, justru akan membebani kerja hati yang sudah terganggu.
Pemberian cairan yang berlebihan akan menambah beban ginjal.
Untuk dapat memberikan cairan dalam jumlah yang cukup atau tidak
berlebihan secara sederhana dapat dikerjakan monitoring / balance
cairan secara cermat. Pada penderita yang muntah hebat atau tidak
mau makan diberikan makan secara parenteral. Sekarang tersedia
cairan infus yang praktis dan cukup kandungan nutrisinya.
- Pemberian antibiotik. Pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4
dapat diberikan sampai 12 juta unit (sheena A Waitkins, 1997). Lama
pemberian penisilin bervariasi, bahkan ada yang memberikan selama
10 hari. Penelitian terakhir : AB gol. fluoroquinolone dan beta laktam
(sefalosporin, ceftriaxone) > baik dibanding antibiotik konvensional
tersebut di atas, meskipun masih perlu dibuktikan keunggulannya
secara in vivo.
- Penanganan kegagalan ginjal. Gagal ginjal mendadak adalah salah sati
komplikasi berat dari leptospirosis. Kelainan ada ginjal berupa akut
tubular nekrosis (ATN). Terjadinya ATN dapat diketahui dengan
melihat ratio osmolaritas urine dan plasma (normal bila ratio <1). Juga
dengan melihat perbandingankreatinin urine dan plasma, ”renal failire
index” dll.
- Pengobatan terhadap infeksi sekunder. Penderita leptospirosis sangat
rentan terhadap terjadinya beberapa infeksi sekunderakibat dari
penyakitnya sendiri atau akibat tindakan medik, antara lain:
bronkopneumonia, infeksi saluran kencing, peritonitis (komplikasi
dialisis peritoneal), dan sepsis. Dilaporkan kelainan paru pada
leptospirosis terdapat pada 20-70% kasus (Kevins O Neal, 1991).
Pengelolaan sangat tergantung dari jenis komplikasi yang terjadi. Pada
penderita leptospirosis, sepsis / syok septik mempunyai angka
kematian yang tinggi.

C. RABIES
1. Definisi
Rabies juga disebut penyakit anjing gila merupakan penyakit infeksi akut
pada sistem saraf pusat (otak)disebabkan oleh virus rabies.Penyakit ini
merupakan penyakit zoonosa (zoonosis) yaitu penyakit infeksi yang
ditularkan dari hewan ke manusia melalui pajanan atau Gigitan Hewan
Penular Rabies (GHPR) yaitu anjing, kera, musang, anjing liar,
kucing.Penularan rabies juga biasanya terjadi melalui gigitan hewan yang
telahterinfeksi, pencemaran luka segar atau selaput lendir dengan saliva atau
otak hewan yang telah terinfeksi.19

2. Epidemiologi
Rabies telah menyebabkan kematian pada orang dalam jumlah yang cukup
banyak. Tahun 2000, World Health Organization (WHO) memperkirakan
bahwa setiap tahun di dunia ini terdapat sekurang-kurangnya 50.000 orang
meninggal karena rabies. Rabies bisa terjadi disetiap musim atau iklim, dan
kepekaan terhadap rabies kelihatannya tidak berkaitan dengan usia, seks atau
ras.20
Beberapa daerah di Indonesia yang saat ini masih tertular rabies
sebanyak 16 propinsi, meliputi Pulau Sumatera (Sumatera Utara,
SumateraBarat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung), Pulau
Sulawesi (Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Tenggara), Pulau Kalimantan (Kalimantan Tengah, Kalimantan
Selatan, dan Kalimantan Timur) dan Pulau Flores. Kasus terakhir yang terjadi
adalah Propinsi Maluku (Kota Ambon dan Pulau Seram).21
3. Etiologi
Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam familia
Rhabdoviridae, genus Lyssa. Virus berbentuk peluru dengan salah satu
ujungnya berbentuk kerucut dan pada potongan melintang berbentuk bulat
atau elips (lonjong). Virus tersusun dari ribonukleo kapsid dibagian tengah,
memiliki membran selubung (amplop) di bagian luarnya yang
pada permukaannya terdapat tonjoloan (spikes) yang jumlahnya lebih dari
500 buah. Pada membran selubung (amplop) terdapat kandungan lemak yang
tinggi (glikoprotein). Virus berukuran panjang 180 nm, diameter 75 nm,
tonjolan berukuran 9 nm, dan jarak antara spikes4-5 nm.22
Virus peka terhadap sinar ultraviolet, zat pelarut lemak, alkohol
70%,yodium, fenol dan klorofrom.Virus juga akan mati dengan deterjen,
sabun, etanol 45%, solusi yodium. Virus dapat bertahan hidup selama 1 tahun
dalam larutan gliserin 50%. Pada suhu 600ºC virus mati dalam waktu 1 jam
dan dalam penyimpanan kering beku (freezedried) atau pada suhu 40ºC dapat
tahan selama bebarapa tahun.23

Gambar 1.Gambar Struktur Virus Rabies.

Keterangan : Virus rabies dengan bentuk seperti peluru yang dikelilingi


oleh paku-pakuglikoprotein. Glikonukleoproteinnya tersusun dari
nukleoprotein, phosphorylated atau phosphoprotein dan
polimerase.Diagram melintang ini menunjukkan lapisan konsentrik yaitu
amplop dengan membran ganda, protein m dan digulung dalam RNA.
2.4 Patogenesis
Gambar 2. Perjalanan Penyakit Rabies

Virus rabies masuk ke dalam tubuh melalui luka atau kontak langsung
dengan selaput mukosa. Virus rabies tidak bisa menembus kulit yang utuh.
Virus rabies membelah diri dalam otot atau jaringan ikat pada tempat
inokulasi dan kemudian memasuki saraf tepi pada sambungan neuromuskuler.
Setelah virus menempel pada reseptor nikotinik asetilkolin lalu virus
menyebar secara sentripetal melalui serabut saraf motorik dan juga serabut
saraf sensorik tipe cepat dengan kecepatan 50 sampai 100 mm per hari.Setelah
melewati medulla spinalis, virus bereplikasi pada motor neuron dan ganglion
sensoris, akhirnya mencapai otak.Virus melekat atau menempel pada dinding
sel inang. Virus rabies melekat pada sel melalui duri glikoproteinnya,
reseptor asetilkolin nikotinat dapat bertindak sebagai reseptor seluler untuk
virus rabies.Kemudian secara endositosis virus dimasukkan ke dalam sel
inang.Pada tahap penetrasi, virus telah masuk kedalam sel inang dan
melakukan penyatuan diri dengan sel inang yang ditempati, terjadilah
transkripsi dantranslasi.24
Jika virus telah mencapai otak, maka ia akan memperbanyak diri dan
menyebar kedalam semua bagian neuron. Setelah memperbanyak diri dalam
neuron-neuron sentral virus kemudian bergerak ke perifer. Dengan demikian,
virus dapat menyerang hampir seluruh jaringan dan organtubuh dan
berkembang biak dalam jaringan seperti kelenjar ludah. Virus rabies
menyebar menuju multi organ melalui neuron otonom dan sensorik terutama
melibatkan jalur parasimpatis yang bertanggung jawab atasinfeksi pada
kelenjar ludah, kulit, jantung, dan organ lain. Gambaran patognomonik dalam
infeksi rabies adalah terdapatnya badan negri yang khas yang terdapat dalam
sitoplasma sel ganglion besar hewan yang terinfeksi rabies.25

Gambar 3.Negri body.


Gambar 4. Skema patogenesis infeksi virus rabies.

4. Masa Inkubasi
Inkubasi (masa tunas) dari virus rabies masuk melalu gigitan sampai
timbul gejala klinis berkisar antara 2 minggu sampai 2 tahun, pada umumnya
3-8 minggu. Menurut WHO rata-rata 30-90 hari. Variasi masa inkubasi bisa
tergantung oleh letak luka gigitan, semakin dekat dengan otak seperti di atas
bahu, gejala klinis akan cepat timbul, juga kedalaman luka, jenis virus dan
jumlah virus yang masuk. Dipengarui juga oleh daya tahan tubuh penderita,
virulensi virus, banyak gigitan, gigitan terdapat pada wajah karena dekat
dengan medulla oblongata dan banyak mengandung saraf yang halus dan
kecil.22
5. Gejala Klinis
Gejala klinis pada manusia dibagi menjadi empat stadium:26, 27
a. Stadium Prodromal
Gejala awal yang terjadi adalah perasaan gelisah, demam, malaise, mual,
sakitkepala, gatal, merasa seperti terbakar, kedinginan, kondisi
tubuhlemah dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari.
b. Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan padatempat bekas
luka kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksiyang berlebihan
terhadap ransangan sensoris.
c. Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggidengan gejala
berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus,ketakutan terhadap
rangsangan cahaya, tiupan angin atau suarakeras. Penderita menjadi
bingung, gelisah, dan rasa tidak nyaman.Kebingungan menjadi semakin
hebat dan berkembangmenjadi argresif, halusinasi, dan selalu
ketakutan.Tubuh gemetar atau kaku kejang.
d. Stadium Paralisis
e. Gejala tidak khas, terdapat monoplegi atau paraplegi flaksid, kematian
karena kelumpuhan otot nafas.

6. Diagnosis
Diagnosis rabies hanya berdasarkan gejala klinis sangat sulit ditegakan,
kecuali terdapat gejala klinis yang khas yaituhidrofobia.Pemeriksaan
penunjang lainnya yang dapatdikerjakan:5,9
a. Darah rutin
Dapat ditemukan peningkatan leukosit (8000-13000/mm)dan penurunan
hemoglobin serta hematokrit.
b. Urinalisis
Dapat ditemukan albuminuria dan sedikit leukosit.
c. Cairan serebrospinal
Rabies Virus–Specific Antibodiesdalam serum dan LCS
(Rapid fluorescent focus inhibition test/RFFIT), dapat ditemukan
monositosissedangkan protein dan glukosa dalam batas normal atau
sedikit meninggi.

7. Diagnosis Banding
Rabies harus dipertimbangkan sebagai penyebab pada semua
penderitadengan gejala neurologik, psikiatrik atau laringofaringeal yang tak
bisadijelaskan, khususnya bila terjadi didaerah endemis atau orang
yangmengalami gigitan binatang pada daerah endemis rabies.23
Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatureaksi
psikologik orang-orang yang terpapar dengan hewan yang didugamengidap
rabies. Penderita dengan rabies histerik akan menolak jikadiberikan minum
(pseudohidropobia) sedangkan pada penderita rabies seringmerasa
haus.4Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya
yang pendek, adanyatrismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme,
statusmental normal, cairan serebrospinal biasanya normal dan tidak
terdapathidropobia. Ensefalitis dapat dibedakan dengan metode pemeriksaan
virusdan tidak dijumpai hidrofobia.4Selain itu, intoksikasi obat-obatan juga
dapat menjadi diagnosis banding.22
8. Penatalaksanaan28

Gambar 5. Tata Laksana Rabies


Prosedur 1) Penanganan luka gigitan hewan penular rabies :
o Cuci luka gigitan hewan tersangka rabies dengan air (sebaiknya air
yang mengalir), dengan sabun atau detergent selama 10 – 15 menit.
o Beri antiseptik (alkohol 70 %, betadine, obat merah dan lain-lain).
o Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi
2) Dosis dan cara pemberian vaksin anti rabies :
o Vaksin PVRV ( Purufied Vero Rabies Vaccine) terdiri dari vaksin
kering dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml dalam syringe.
 Dosis dan cara pemberiannya sesudah digigit adalah ; Cara
pemberiannya adalah disuntikkan secara intra muskular (im)
didaerah deltoideus / lengan atas kanan dan kiri. Dosis untuk
anak dan dewasa sama yaitu 0,5 ml dengan 4 kali pemberian
yaitu hari ke 0 (dua kali pemberian sekaligus), hari ke 7 satu
kali pemberian dan hari ke 21 satu kali pemberian.
 Dosis dan cara pemberian VAR bersamaan dengan SAR
sesudah digigit ; cara pemberiannya sama diatas. Dosis untuk
anak dan dewasa sama yaitu Dasar 0,5 ml dengan 4 kali
pemberian yaitu hari ke 0 (dua kali pemberian sekaligus), hari
ke 7 satu kali pemberian dan hari ke 21 satu kali pemberian.
Ulangan 0,5 ml sama pada anak dan dewasa pada hari ke 90.
3) Dosis dan cara pemberian Serum Anti Rabies ( SAR ).
o Serum heterolog ( Kuda ), mempunyai kemasan bentuk vial 20 ml (
1ml=100 IU). Cara pemberian ; disuntikkan secara infiltrasi disekitar
luka sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan intra muscular. Dosis 40
Iu/KgBB diberikan bersamaan dengan pemberian VAR hari ke 0,
dengan melakukan skin test terlebih dahulu.
o Serum homolog, mempunyai kemasan bentuk vial 2 ml ( 1 ml= 150
IU). Cara pemberian ; disuntikkan secara infiltrasi disekitar luka
sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan intra muscular. Dosis 20
Iu/kgBB diberikan bersamaan dengan pemberian VAR hari ke 0,
dengan sebelumnya dilakukan skin test.
- Vaksin Anti Rabies dilakukan lengkap bila:
a. Hewan atau anjing yang menggigit positif rabies
b. Hewan atau anjing liar atau gila yang tidak dapat di observasi atau
hewan tersebut dibunuh.
- Penyuntikan vaksin anti rabies tidak dilanjutkan bila hewan yang
menggigit tetap sehat selama observasi sampai 10 hari.
- Petugas atau tenaga medis harus memakai sarung tangan, pakaian dan
masker
- Dokter/perawat harus beri penjelasan mengenai jumlah VAR/SAR,
termasuk manfaat ataupun efek samping yang mungkin timbul.
- Minta persetujuan tindakan sebelum pemberian VAR/SAR
- Selain VAR/SAR, terapi hanya bersifat simptomatis dan suportif seperti
pemberian anti kejang.

9. Pencegahan
a. Pemeliharaan hewan piaraan dilaksanakan dengan tanggung jawab dan
memperhatikan kesejahteraan hewan, jangan diliarkan, atau dikeluarkan
dari rumah tanpa pengawasan atau tanpa tali ikatan.
b. Berikan vaksin anti rabies pada hewan peliharaan secara berkala di Pusat
Kesehatan Hewan (Puskewan), Dinas Kesehatan Hewan atau Dinas
Peternakan, atau ke dokter hewan.
c. Segera melapor ke puskesmas/Rumah Sakit terdekat apabila digigit oleh
hewan tersangka rabies untuk mendapatkan Vaksin Anti Rabies (VAR)
sesuai indikasi.
d. Apabila melihat hewan dengan gejala rabies, segera laporkan ke Pusat
Kesehatan Hewan (Puskewan), Dinas Peternakan/yang membawahi
bidang peternakan atau Dinas Kesehatan Hewan.25, 27, 28
10. Prognosis
Tanpa penanganan, penderita hanya bertahan sekitar 8 hari,
sedangkandengan penangan suportif, penderita dapat bertahan hingga
beberapa bulan.Sebelum ditemukan pengobatan, kematian biasanya terjadi
dalam 3-10 hari.Kebanyakan penderita meninggal karena sumbatan jalan
nafas,kejang, kelelahan atau kelumpuhan total. Hingga saat ini belum ada
laporankasus yang dapat bertahan hidup setelah manifestasi dari penyakit
rabiestimbul. Pada manusia yang tidak mendapatkan vaksin rabies hampir
selalufatal terutama setelah muncul gejala neurologi, tetapi bila setelah
terpapar virus diberikan vaksin akan mencegah perkembangan virus.26

D. CAMPYLOBACTERIOSIS
Campylobacteriosis merupakan penyakit infeksi yang terutama disebabkan
oleh bakteri Campylobacter jejuni. Campylobacteriosis adalah penyakit diare
akut, dimana banyak kasus infeksi terhadap manusia dan hewan tidak
menunjukkan adanya gejala. Gejala-gejala dari penyakit campylobacteriosis yaitu
diare (kadang-kadang sampai berdarah, sakit pada bagian perut, demam, mual,
dan muntah. Gejala-gejala tersebut biasanya mulai terlihat setelah 2 hari hingga 5
hari setelah proses infeksi (Missouri Departement of Health and Senior Services,
2006).
Setiap tahunnya terdapat banyak sekali kasus campylobacteriosis yang
disebabkan oleh C. jejuni. Jumlah bakteri C. jejuni yang masuk ke dalam tubuh
manusia untuk dapat menimbulkan penyakit (dosis infeksi) adalah rendah,
berkisar antara 500 sel hingga 10.000 sel bakteri. Dosis infeksi ini berdasarkan
beberapa faktor termasuk faktor transmisi dan kerentanan atau ketahanan tubuh
setiap individu. Biasanya pada anak-anak, dosis infeksi lebih rendah dari orang
dewasa (Food Safety Authority of Ireland, 2002). Patogenesis dari C. jejuni
meliputi inang/host dan faktor spesifik patogen. Menurut Altekruse (et al., 1999),
patogenisitas dari C. jejuni kemungkinan meliputi beberapa hal yaitu kemotaksis,
motilitas, dan flagela, dimana dibutuhkan untuk penempelan dan kolonisasi di
dinding epitel usus.
Selain itu, menurut Wassenaar (1997), terdapat empat faktor patogenitas yang
dikenali dari C. jejuni yaitu motilitas, pelekatan (adherence), invasi, dan produksi
toksin. Motilitas tidak hanya dibutuhkan oleh C. jejuni untuk mencapai situs
penempelan tetapi juga dibutuhkan untuk penetrasi C. jejuni ke dalam sel-sel
usus. Pelekatan C. jejuni ke permukaan epitelial merupakan hal yang penting
untuk kolonisasi dan akan meningkatkan konsentrasi lokal dari produk sekresi
bakteri. Setelah terjadi kolonisasi lalu terjadi invasi yang diikuti dengan
penempelan yang disertai dengan penetrasi ke dalam sel. Setelah itu adalah
produksi toksin yang merupakan faktor yang penting untuk patogenesis C. jejuni
(Wassenaar, 1997).
Sekali kolonisasi C. jejuni terjadi, akan menimbulkan invasi terhadap sel
inang, produksi toksin, inflamasi dan sekresi yang aktif (active secretion), dan
gangguan epitelial dengan kebocoran cairan serosal. Sebagian besar kasus
penyakit campylobacteriosis pada manusia adalah sporadis atau tersebar.
Transmisi C. jejuni terhadap manusia biasanya dikarenakan oleh beberapa hal
yaitu konsumsi raw milk, air minum, memakan daging unggas yang kurang
matang, konsumsi daging ternak, kontak langsung dengan anjing atau kucing
(biasanya anjing atau kucing yang terkena diare), dan lain-lain (Altekruse et al.,
1999).
Gambar 1. Campylobacter jejuni (Altekruse et al., 1999)

1. Mekanisme
C. jejuni yang masuk ke dalam tubuh manusia memproduksi toksin yang
merupakan salah satu faktor patogenitas. Toksin yang dihasilkan oleh C.
jejuni adalah Cytolethal Distending Toksin (CDT) (Whitehouse et al., 1998).
CDT ini termasuk ke dalam tipe eksotoksin (Shimeld, 1999), yaitu toksin
yang diproduksi di dalam sel bakteri sebagai bagian dari proses pertumbuhan
dan metabolisme serta disekresikan oleh bakteri tersebut ke dalam media
tempat bakteri tersebut tumbuh (Tortora et al., 2004).
Eksotoksin merupakan suatu protein yang secara enzimatis cukup
berbahaya walaupun dalam jumlah yang sedikit. Selain itu, eksotoksin mudah
terlarut dalam cairan tubuh, sehingga akan mudah untuk masuk dan berdifusi
ke dalam darah serta cepat tertransportasi ke dalam sel-sel pada jaringan
tubuh. Secara umum, eksotoksin bekerja dengan menghancurkan bagian
tertentu dari sel inang atau dengan menghambat fungsi metabolik tubuh.
Eksotoksin memiliki sifat yang spesifik pada jaringan tubuh tertentu, seperti
CDT yang dihasilkan oleh C.jejuni bekerja pada sel epitel usus. Eksotoksin
terbagi atas 3 tipe yang berdasarkan pada struktur dan fungsinya yaitu (1) A-B
toksin, (2) membrane-disrupting toxin, dan (3) superantigen (Tortora et al.,
2004).
Menurut Lara-Tejero & Galan (2001, dalam Jinadasa et al., 2011), CDT
merupakan termasuk tipe A-B toksin. A-B toksin juga disebut toksin tipe III,
dimana toksin tersebut terbagi atas dua bagian yaitu bagian A dan B yang
keduanya merupakan polipeptida. Bagian A merupakan komponen aktif yang
biasanya merupakan enzim dan bagian B merupakan komponen “binding”
(Tortora et al., 2004).
CDT yang diproduksi oleh C. jejuni memiliki bagian B yang terdiri dari
CdtA dan CdtC sebagai komponen “binding”. Cdt A dan CdtC berikatan
dengan lipid membran sel (CDT bersifat hidrofobik) karena terdapat reseptor
pada membran sel tersebut yang berupa glikolipid atau glikoprotein, oleh
karena itu dapat terjadi perlekatan. Setelah itu, CdtB yang merupakan bagian
A sebagai komponen aktif masuk ke dalam sel. CdtB ini dilapisi oleh clathrin-
coated pit, sehingga memudahkan transportasi menuju ke dalam nukleus
melalui badan golgi dan retikulum endoplasma (Jinadasa et al., 2011).

Gambar 2. Masuknya CDT ke dalam sel epitel usus (Jinadasa et al., 2011)
Produksi CDT pada C.jejuni bergantung dari ekspresi tiga gen yaitu cdtA,
cdtB, dan cdtC (Whitehouse et al., 1998). Secara spesifik, CDT menyebabkan
kegagalan aktivasi CDC2 dan memblok siklus sel pada fase G2. CDC2
merupakan cyclin dependent kinase A-1, yang juga dikenal sebagai cell
division control (Sarmoko dan Larasati, 2010). Siklus sel terbagi menjadi dua
fase utama yaitu fase M dan interfase. Fase M adalah fase yang terjadi selama
proses mitosis terjadi dan selama duplikasi kromosom terpisah menjadi dua
nuclei, serta sitokinesis yaitu selama seluruh sel terbagi menjadi dua sel anak.
Interfase merupakan periode di antara pembelahan sel, dimana merupakan
saat sel tumbuh dan mulai melakukan berbagai aktivitas metabolisme.
Interfase meliputi fase G1, fase S, dan fase G2. Fase G1 adalah tahap
pertumbuhan sel, mulai terjadi metabolisme, dan duplikasi organel sel. Fase S
merupakan sintesis DNA dimana terjadi replikasi DNA dan duplikasi
kromosom dan Fase G2 adalah tahap pertumbuhan sel dan persiapan untuk
mitosis. Pada sel mamalia, fase M biasanya membutuhkan waktu kurang lebih
1 jam, sedangkan interfase membutuhkan waktu lebih lama yaitu berhari-hari
(Karp, 2010).

Gambar 3. Siklus Sel (Karp, 2010)


Menurut Whitehouse (et al., 1998), target langsung dari CDT belum dapat
teridentifasi tetapi pengaruh utama dari CDT adalah memblok siklus sel pada
fase G2, dimana CDT menyebabkan kerusakan checkpoint pada siklus sel fase
G2 akibatnya siklus sel terganggu. Setiap tahap dalam siklus sel dikontrol
oleh regulator siklus sel yaitu cyclin (terdiri atas cyclin D, E, A, dan B),
Cyclin Dependent Kinase (Cdk) terdiri atas Cdk4, Cdk6, Cdk2, dan Cdk1 =
CDC2), dan Cdk Inhibitor (CKI). Siklus sel dimulai dari masuknya sel dari
fase G0 ke fase G1 karena adanya stimulus dari growth factor.
a. Pada fase awal G1, Cdk4 dan Cdk 6 diaktifkan oleh CycD. Kompleks
Cdk4-Cdk6 dan CycD akan menginisiasi fosforilasi protein
retinoblastoma (pRb) sehingga fungsi histon deasetilasi (menjaga
kekompakan struktur kromatin) menjadi terganggu akibatnya struktur
DNA menjadi longgar dan faktor transkripsi (p53) menjadi lepas yang
semula diikat oleh pRb dan transkripsi dari E2F responsive genes yang
dibutuhkan dalam progresi siklus sel ke fase S menjadi aktif.
b. Pada fase transisi dari G1 ke S, Cdk2 aktif dengan berikatan dengan CycE.
Kompleks tersebut melanjutkan fosforilasi pRb (hiperfosforilasi) sehingga
proses transkripsi yang dipacu oleh E2F tetap aktif dan restriction point
yang ada di batas fase G1/S dapat terlampaui. Pada saat inilah CycA
ditranskripsi. Ketika siklus sel akan memasuki fase S, CycE akan
didegradasi dan Cdk2 yang dibebaskan akan mengikat CycA.
Kompleks Cdk2-CycA dibutuhkan sel untuk mereplikasi DNA selama
fase S. Kompleks ini akan memfosforilasi protein yang dibutuhkan dalam
replikasi DNA supaya aktif (CDC6 = Cell Division Cycle 6). Kompleks
tersebut juga menjaga agar tidak terjadi multireplikasi DNA.
c. Pada akhir fase S, CycA akan melepas Cdk2 dan mengikat Cdk1 (CDC2)
yang meregulasi transisi sel dari S ke G2. Kompleks CycA-Cdk1 akan
memfasilitasi kondensasi kromatin yang dibutuhkan untuk penggandaan
sel. Pada fase G2, sel juga memiliki kesempatan untuk melakukan
mekanisme repair apabila terjadi kesalahan sintesis DNA.
d. Memasuki fase mitosis, CycA akan didegradasi dan akan terjadi
peningkatan ekspresi CycB yang akan berikatan dengan Cdk1. Kompleks
Cdk1-CycB secara aktif memacu mitosis. Kompleks ini berperan penting
dalam control rearrangement mikrotubul selama mitosis. (Sarmoko dan
Larasati, 2010).
Berdasarkan proses siklus sel tersebut, CDT yang dihasilkan oleh C. jejuni
menyebabkan tidak aktifnya CDC2 atau Cdk1 sehingga tidak dapat berikatan
dengan CycA dan tidak dapat membentuk kompleks Cdk1-CycA akibatnya
siklus sel terhenti di fase G2. Oleh karena itu terjadi kematian sel dan
kerusakan sel pada bagian sel epitel di mukosa usus. Kerusakan mukosa usus
ini menyebabkan gangguan absorpsi dan sekresi abnormal (Whitehouse et al.,
1998).

E. BRUCELLOSIS
Penyakit Brucellosis merupakan penyakit ternak yang menjadi problem
nasional baik untuk kesehatan masyarakat maupun persoalan ekonomi peternak.
Penyakit ini disebabkan oleh mikroorganisme yang termasuk dalam genus
Brucella, dengan infeksi yang tersifat pada hewan maupun manusia. Di Indonesia
kecenderungan meningkatnya populasi dan lebih seringnya mutasi sapi perah
menjadi penyebab utama meningkatnya kasus brucellosis. Penyakit bruselosis
telah dimasukkan dalam daftar penyakit menular yang harus dicegah dan
diberantas sejak tahun 1959.

1. Etiologi
Penyakit brucellosis, atau yang dikenal dengan penyakit keluron pada sapi
disebabkan oleh Brucella Abortus. Secara morfologi, kuman Brucella. Spesies
brucellosis yang lain diantaranya adalah Brucella suis dan Brucella meletensis
juga dapat menyerang sapi, namun organisme tersebut biasanya hanya
terbatas didalam system retikuloendotelial, serta tidak mengakibatkan
gambaran penyakit yang jelas.

2. Cara Penularan
Cara penularan yang paling banyak adalah melalui air atau pakan yang
tercemar oleh selaput janin atau cairan yang keluar dari rahim hewan
penderita infeksi. Penularan bakteri brucellosis ini melalui jilatan dari sapi
sapi tersebut, kemudian bakteri brucellosis dapat memasuki tubuh melalui
selaput lender konjungtiva atau melalui gesekan kulit yang sehat. Untuk
terjadinya infeksi melalui konjungtiva diperlukan kurang lebih 1,5 juta bakteri
brucella.
Penularan dari pejantan yang terinfeksi brucellosis kepada induk betina
dapat terjadi melalui kawin alami atau juga dapat melalui proses inseminasi
buatan dilakukan lewat intra uterin dengan sperma yang mengandung
brucellosis. Penularan penyakit brucellosis juga dapat terjadi melalui air susu
induk yang diminum oleh pedet sapi, namun terjadinya infeksi melalui air
susu tersebut sangat kecil sekali.
Penularan kepada manusia dapat terjadi melalui saluran pencernaan,
misalnya minum air susu yang tidak dimasak yang berasal dari ternak
penderita brucellosis. Penularan melalui selaput lendir atau kulit yang luka,
misalnya kontak langsung dengan janin atau plasenta (ari-ari/bali) dari sapi
penderita brucellosis dapat juga menyebabkan penularan brucellosis pada
manusia.

3. Patogenesis
Permulaan infeksi brucellosis terjadi pada kelenjar limfe supramamaria.
Pada uterus, lesi pertama terlihat pada jaringan ikat antara kelenjar uterus
mengarah terjadinya endometritis ulseratif, kotiledon kemudian terinfeksi
disertai terbentuknya eksudat pada lapisan allantokhorion. Brucella banyak
terdapat pada vili khorion, karena terjadi penghancuran jaringan, seluruh vili
akan rusak menyebabkan kematian fetus dan abortus. Jadi kematian fetus
adalah gangguan fungsi plasenta disamping adanya endotoksin. Fetus
biasanya tetap tinggal di uterus selama 24-72 jam setelah kematian. Selaput
fetus menderita oedematous dengan lesi dan nekrosa.
Pada hewan jantan, infeksi akan diikuti oleh orkhitis yang kronis dan
perlekatan antara tunika vaginalis testis, sel mani abnormal dan fibriosis yang
kronis dari jaringan interstitial. Terjadi pengumpulan makrofag dan limfosit
pada jaringan testis. Ampula dan vas deferent, terjadi nekrosa jaringan
ikatnya.

4. Gejala klinis
Gejala klinis dari penyakit brucellosis ini adalah abortus atau
dimasyarakat dan peternak dikenal dengan nama keluron. Keguguran biasanya
terjadi pada umur kebuntingan 6 sampai 9 bulan kebuntingan, selaput fetus
yang yang diaborsikan terlihat oedema, hemoragi, nekrotik dan adanya
eksudat kental serta adanya retensi plasenta, metritis dan keluar kotoran dari
vagina. Penyakit brucellosis ini juga menyebabkan perubahan didalam
ambing. Lebih dari separo dari sapi-sapi yang titer aglutinasinya tinggi
menunjukkan presentasi yang tinggi didalam ambingnya.
Selain itu juga penyakit brucellosis ini menimbulkan lesi higromata
terutama pada daerah sekitar lutut. Lesi ini terbentuk sebagai regangan
sederhana atas bungkus sinovia pada persendian, yang berisi cairan yang
jernih atau jonjot fibrin maupun nanah. Kemungkinan terjadinya higroma
akibat adanya suatu trauma kemudian kuman kuman brucella yang berada
didalam darah membentuk koloni didaerah persendian tersebut
Pada pejantan penyakit brucellosis dapat menyerang pada testis dan
mengakibatkan orkhitis dan epididimitis serta gangguan pada kelenjar
vesikula seminalis dan ampula. Brucellosis juga menyebabkan abses serta
nekrosis pada buah pelir dan kelenjar kelamin tambahan. Sehingga semen
yang diambil dari pejantan mungkin mengandung bakteri brucella abortus.
 Sapi
Gejala klinik yang mencolok terjadi abortus, terutama pada usia
kebuntingan lanjut (7-8 bulan). Umumnya sapi hanya mengalami
keguguran sekali saja pada kebuntingan yang brurutan. Meskipun
demikian induk sapi yang mengalami keguguran tersebut masih membawa
Br. abortus sampai 2 tahun. Sapi yang terinfeksi secara kronik dapat
mengalami higroma (pembesaran kantong persendian karena berisi cairan
bening atau fibrinopurulen).
 Babi
Menimbulkan arthritis, osteomielitis, bursitis dan spondilitis. Kadang-
kadang ditemukan pula posterior paralisis yang disebabkan oleh nekrosis
discus intervetebrales. Pada babi jantan dapat ditemukan orchitis tetapi
Br.suis tidak ditemukan pada semen atau urine. Dibandingkan dengan sapi
abortus relatif jarang terjadi pada babi.
 Anjing
Br. canis merupakan penyebab utama sterilitas pada pejantan dan abortus
pada induk, terutama terjadi di kennel (pembiak) anjing di Amerika.
Anjing yang menerita brucellosis akut mengalami kebengkaan kelenjar
limfe prefemuralis dan submandibularis. Pada anjing jantan brucellosis
menyebabkan orchitis sehingga testis terlihat membengkak beberapa lama
kemudian diikuti atropi, testis terlihat mengecil karena sel pembentuk
spermatozoa mengalami kerusakan
5. Penanggulangan Dan Pencegahan Brucellosis
Pencegahan brucellosis pada sapi didasarkan pada tindakan higiene dan
sanitasi, vaksin anak sapi dengan Strain 19 dan pengujian serta penyingkiran
sapi reaktor. Tindakan higienik sangat penting dalam program pencegahan
brucellosis pada suatu kelompok ternak. Sapi yang tertular sebaiknya dijual
atau dipisahkan dari kelompoknya, kemudian fetus dan placenta yang
digugurkan harus dikubur atau dibakar dan tempat yang terkontaminasi harus
didesinfeksi dengan 4% larutan kresol atau desinfektan sejenis.
Program vaksinasi dilakukan pada anak sapi umur 3-7 bulan dengan
vaksin Brucella Strain 19. Tapi penggunaan Strain 19 harus hati-hati karena
dapat menyebabkan brucellosis atau demam undulan pada manusia.
Metode pengendalian lainnya ialah vaksinasi dengan 45/20 terhadap
semua ternak, uji serologik secara teratur dengan SAT atau BRT dan CFT,
monitoring dengan MRT dan isolasi atau penyingkiran reaktor (Anonim,
2008). Pada umumnya di Indonesia prinsip pengendalian brucellosis adalah
metode test and slaughter (uji dan potong) merupakan cara terakhir dalam
program pemberantasan penyakit brucellosis.

Vous aimerez peut-être aussi