Vous êtes sur la page 1sur 108

MAKALAH FARMAKOTERAPI TERAPAN

DIABETES MELITUS

Disusun Oleh:
Kelompok 1 & 2

Arga Wahyu Hidayat Nurfitriyana


Bernike Delarosa Ratih Dwi Amaliah
Deni Lastanto Tafdilul Arfan
Dwika Vashti Talitha
Evy Febry Firdausy Verona Shaqila
Fransisca Daisa Wydha Septia
Lilis Hermawati Zakiyah Zahra
Liza Fitriani
Muhammad Teguh

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
2017

1
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada tim penulis sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah tentang Diabetes Mellitus.
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini ada bantuan dan
tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk
itu dalam kesempatan ini penulis menghantarkan rasa hormat dan terima kasih
kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Tim penulis menyadari bahwa proses penulisan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, tim
penulis telah berupaya denan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki
sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karena itu, tim penulis dengan rendah
hati dan tangan terbuka menerima masukan, saran dan usul guna penyempurnaan
makalah ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembacanya.

Depok, Mei 2017

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................................1

KATA PENGANTAR.........................................................................................................2

DAFTAR ISI.......................................................................................................................3

BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................................4

BAB 2 GEJALA, TIPE, DAN KOMPLIKASI DIABETES MELITUS.............................6

BAB 3 PENYAKIT-PENYAKIT YANG BERHUBUNGAN DENGAN DM..................15

BAB 4 PEMERIKSAAN LABORATORIUM UNTUK DIAGNOSIS DM.....................33

BAB 5 TERAPI DIABETES MELITUS ..........................................................................40

BAB 6 INFORMASI UNTUK PASIEN DIABETES MELITUS.....................................79

BAB 7 TERAPI NON FARMAKOLOGI.........................................................................89

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................103

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kinerja
insulin atau kedua-duanya (ADA, 2010). WHO memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3
juta pada tahun 2030. Laporan ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah
penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035. Sedangkan
International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan jumlah
penyandang DM di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta
pada tahun 2035. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003,
diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia diatas 20 tahun sebanyak 133 juta
jiwa. Dengan mengacu pada pola pertambahan penduduk, maka diperkirakan pada
tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia diatas 20 tahun.
Hiperglikemia sebagai manifestasi klinik dari DM yang terjadi dari waktu
ke waktu akan menyebabkan berbagai kerusakan dalam tubuh terutama sistem
kardiovaskular dan sistem saraf (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2014). Komplikasi DM biasanya berjalan dengan gejala-gejala yang ringan
sampai berat, bahkan dapat menyebabkan kematian akibat baik komplikasi akut
maupun kronis.
Apoteker memiliki peran yang sangat penting dalam keberhasilan
penatalaksanaan diabetes. Mendampingi, memberikan konseling dan bekerja sama
erat dengan penderita dalam penatalaksanaan diabetes sehari-hari khususnya
dalam terapi obat merupakan salah satu tugas profesi kefarmasian. Membantu
penderita menyesuaikan pola diet sebagaimana yang disarankan ahli gizi,
mencegah dan mengendalikan komplikasi yang mungkin timbul, mencegah dan
mengendalikan efek samping obat, memberikan rekomendasi penyesuaian rejimen
dan dosis obat yang harus dikonsumsi penderita bersama-sama dengan dokter
yang merawat penderita, yang kemungkinan dapat berubah dari waktu ke waktu

4
sesuai dengan kondisi penderita, merupakan peran yang sangat sesuai dengan
kompetensi dan tugas seorang apoteker.

1.2. TUJUAN PENULISAN


Tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui dan memahami definisi, gejala, klasifikasi, dan komplikasi
diabetes melitus
2. Mengetahui dan memahami pemeriksaan Laboratorium yang harus
dilakukan untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus
3. Mengetahui dan memahami golongan obat yang dipakai untuk
pengobatan diabetes mellitus
4. Mengetahui dan memahami penyakit yang berhubungan dengan diabetes
melitus
5. Mengetahui dan memahami informasi yang harus diketahui dalam
penatalaksanaan diabetes mellitus

5
BAB 2
GEJALA, TIPE, DAN KOMPLIKASI DIABETES MELITUS

2.1 Definisi dan Gejala Diabetes Mellitus


Diabetes mellitus (DM) merupakan golongan penyakit gangguan metabolik
yang ditandai dengan hiperglikemia dan abnormalitas pada metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein. Diabetes melitus ini dapat disebabkan baik oleh
gangguan pada sekresi insulin, sensitivitas jaringan terhadap insulin, ataupun
keduanya.
Tabel 1. Kriteria diabetes mellitus berdasarkan kadar glukosa plasma
Glukosa Plasma Puasa Glukosa Plasma 2 Jam
Setelah Makan
Normal < 100 mg/dL < 140 mg/dL
(<5,6 mmol/L) (<7,8 mmol/L)
Pra Diabetes 100-125 mg/dL 140-199 mg/dL
(5,6-6,9 mmol/L) (7,8-11,1 mmol/L)
Diabetes Mellitus ≥ 126 mg/dL ≥ 200 mg/dL
(≥ 7,0 mmol/L) (≥ 11,1 mmol/L)

Gejala umum DM diantaranya adalah polidipsia, poliuria, polifagia,


pengelihatan kabur, gatal pada area genital, penyembuhan luka yang lama, serta
turunnya berat badan. Polidipsia atau sering haus merupakan gejala umum DM.
Rasa haus terjadi setiap saat dan persisten, merupakan respon terhadap keadaan
hiperosmolar dan dehidrasi. Polidipsia biasanya diikuti dengan poliuria. Poliuria
atau sering berkemih bermula dari kadar glukosa darah yang tinggi, lalu tidak
semua glukosa direabsorpsi di glomerulus sehingga glukosa dikeluarkan melalui
tubulus distal dan menumpuk disana. Gula bersifat diuretik osmotik sehingga
menarik air dari tubuh untuk keluar bersamanya, maka volume urin meningkat.
Polifagia atau nafsu makan disebabkan kadar glukosa dalam darah meningkat
sehingga menyebabkan viskositas darah meningkat dan aliran terhambat, maka
otak kekurangan glukosa yang merupakan sumber energi satu-satunya. Otak yang
kekurangan energi menimbulkan rasa lapar sehingga nafsu makan meningkat.

6
Pengelihatan kabur merupakan kehilangan ketajaman pandangan dan
ketidakmampuan untuk melihat detail. Hal ini dikarenakan pengaruh dari keadaan
hiperosmolar pada lensa mata dan humor vitreous. Glukosa dengan kadar yang
tinggi pada darah menyebabkan pembengkakan osmotik pada lensa mata sehingga
jarak fokus normal berubah dan menyebabkan pengelihatan kabur. Pengelihatan
kabur dapat terjadi pada satu mata atau pada kedua mata.
Penurunan berat badan dapat dikatakan signifikan apabila berat badan
menurun sebanyak lebih dari 4,5 kg atau lebih dari 5% berat badan). Sel-sel tubuh
yang kekurangan energi menyebabkan pembakaran lemak dan otot sehingga berat
badan menurun. Pasien dengan DM tipe 1 akan mengalami penurunan berat badan
meskipun nafsu makan normal atau meningkat, dikarenakan sedikitnya jumlah air
dalam tubuh dan terjadinya glukoneogenesis.
Kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan sirkulasi darah menjadi
buruk sehingga transportasi O2 dan sel monosit terhambat dan penyembuhan luka
menjadi lama. Gatal pada area genital terjadi apabila penderita DM kurang
menjaga kebersihan area genital. Urin penderita mengandung glukosa dengan
kadar tinggi, dimana glukosa merupakan tempat tumbuh bakteri (gula sebagai
makanan bakteri), maka timbul rasa gatal.

2.2 Diabetes Mellitus Tipe 1


2.2.1. Definisi
Diabetes mellitus tipe 1 disebut juga dengan insulin dependent diabetes
mellitus (IDDM). Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit
populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita
diabetes. DM tipe 1 merupakan hiperglikemia yang disebabkan oleh defisiensi
insulin absolut.

2.2.2. Patofisiologi
Gangguan produksi insulin pada DM tipe 1 umumnya terjadi karena
kerusakan sel β pulau Langerhans pankreas yang disebabkan oleh reaksi
autoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam virus,
diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya.
Terdapat beberapa tipe autoantibodi yang dihubungkan dengan DM tipe 1, antara

7
lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet Cell Surface
Antibodies), dan antibodi terhadap GAD (Glutamic Acid Decarboxylase).
1) ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies)
ICCA merupakan autoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM tipe
1. Hampir 90% penderita DM tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di
dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu,
keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM tipe 1.
ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat
dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans. Seperti yang telah
diketahui bahwa pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa
tipe sel, yaitu sel β, sel α, dan sel δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α
memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel δ memproduksi hormon
somatostatin.
2) ICSA (Islet Cell Surface Antibodies)
Autoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface
Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita DM tipe 1. Sama
seperti ICCA, titer ICSA juga semakin menurun sejalan dengan lamanya
waktu. Beberapa penderita DM tipe 2 ditemukan positif ICSA.
3) Antibodi terhadap GAD (Glutamic Acid Decarboxylase)
Autoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada
hampir 80% pasien yang baru didiagnosis positif menderita DM tipe 1.
Sebagaimana halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga semakin
lama semakin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Keberadaan
antibodi anti-GAD merupakan prediktor kuat untuk DM tipe 1, terutama pada
populasi risiko tinggi.
Selain ketiga autoantibodi yang telah dijelaskan tersebut, terdapat
autoantibodi lain yang telah diidentifikasi, antara lain IAA (Anti-Insulin
Antibody). IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM tipe
1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi
insulin.
Destruksi autoimun dari sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas
langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang
menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM tipe 1. Selain defisiensi
insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM tipe 1 juga menjadi
tidak normal. Pada penderita DM tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang

8
berlebihan oleh sel α pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan
menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM tipe 1 hal ini tidak
terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal
ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini
adalah cepatnya penderita DM tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila
tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk
menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar
gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang pada penderita DM tipe
1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon
terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang
dapat berakibat fatal pada penderita DM tipe 1 yang sedang mendapat terapi
insulin.
Meskipun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM
tipe 1, namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi
penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang
diberikan. Terdapat beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal
ini, salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya
asam lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali
di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan
metabolisme glukosa di jaringan-jaringan perifer, seperti misalnya di jaringan otot
rangka yang kemudian akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh.
Defisiensi insulin juga akan menurunkan sekresi dari beberapa gen yang
diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen
glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor
glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) pada jaringan adiposa.
Lebih dari 90% penderita DM tipe 1 mempunyai sedikitnya satu antibodi
yang terkait dengan diabetes. Semakin rusaknya sel β pankreas, metabolisme
glukosa menjadi terganggu karena berkurangnya produksi insulin yang diikuti
dengan glukosa yang berlebih. Pada diagnosis, sebagian besar pasien sudah
kehilangan 90% dari fungsi sel β pankreasnya. 10% sisa fungsinya pada diagnosis
menandakan “honeymoon period”. Honeymoon period adalah kondisi pada saat
pasien sudah menerima injeksi insulin dimana pankreas tidak dalam kondisi
tertekan karena ada bantuan insulin dari injeksi sehingga sel βdapat mengeluarkan

9
insulin untuk mengontrol kadar gula darah. Honeymoon period ini tidak dapat
ditentukan waktunya hingga fungsi sel β hilang total. Pada saat inilah pasien akan
menjadi benar-benar kekurangan insulin dan memerlukan insulin dari luar tubuh.

2.3 Diabetes Mellitus Tipe 2


2.3.1 Definisi
Diabetes mellitus tipe 2 disebut juga dengan non-insulin dependent
diabetes mellitus. DM tipe 2 ditandai dengan hiperglikemia yang disebabkan
karena menurunnya respon sel (resistensi) terhadap insulin dan defisiensi sekresi
insulin. Kasus DM tipe 2 terjadi pada hampir 90-95% dari keseluruhan populasi
penderita diabetes dan umumnya terjadi pada usia di atas 40 tahun. Pada DM tipe
2, insulin tetap dihasilkan namun jumlahnya tidak mampu untuk menjaga glukosa
darah dalam kadar normal.

2.3.2 Gejala dan Faktor Risiko


Penderita DM tipe 2 umumnya baru terdeteksi pada usia di atas 40 tahun
atau setelah timbulnya komplikasi. Hal ini disebabkan karena perkembangan
penyakit yang lambat dan bertahap serta didukung pola hidup yang kurang baik
dan menurunnya fungsi organ. Penderita umumnya tidak menunjukkan gejala
khusus, tetapi terkadang mengalami gejala yang sama seperti DM tipe 1
(polifagia, polidipsia, dan poliuria). Penderita DM tipe 2 memiliki kecenderungan
kelebihan berat badan (obesitas) serta tekanan darah dan kolesterol darah yang
tinggi. Berikut ini adalah beberapa faktor risiko dari DM Tipe 2 (Tabel 2).

10
Tabel 2. Faktor risiko diabetes mellitus tipe 2
Riwayat - Diabetes dalam keluarga
- Impaired Glucose Tolerance (IGT) atau Impaired
Fasting Glucose (IFG)
- Penyakit vaskular
- Diabetes gestasional atau melahirkan bayi dengan
berat badan lebih dari 4 kg
Obesitas ≥ 20% melebihi berat badan ideal atau BMI ≥ 25 kg/m 2
Hipertensi ≥ 140/90 mmHg pada dewasa
Dislipidemia Kadar HDL rendah ≤ 35 mg/dL dan kadar trigliserida ≥
250 mg/dL
Etnik atau ras Asia
Pola Hidup - Kurang olahraga atau beraktivitas fisik
- Pola makan tinggi karbohidrat

2.3.3 Patofisiologi
DM tipe 2 ditandai dengan hiperglikemia yang disebabkan karena
menurunnya respon sel (resistensi) terhadap insulin dan defisiensi insulin relatif.
Menurunnya respon atau sensitivitas sel terhadap insulin terjadi pada jaringan
target, yaitu otot, hati, dan adiposa. Reseptor insulin pada sel-sel target tersebut
gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Glukosa yang berasal
dari makanan dan masuk ke aliran darah menyebabkan kadar glukosa darah
meningkat. Glukosa merupakan stimulan kuat untuk sekresi insulin. Ketika kadar
glukosa darah meningkat, glukosa akan masuk ke dalam sel β pankreas melalui
transporter glukosa GLUT 2 (berlokasi di sel β pankreas, hati, ginjal), kemudian
difosforilasi oleh glukokinase dan menghasilkan ATP. Semakin banyak glukosa
yang masuk ke dalam sel menyebabkan jumlah ATP intraselular meningkat.
Peningkatan jumlah ATP intraselular ini menyebabkan penutupan kanal K yang
sensitif terhadap ATP dan terjadi depolarisasi sel, yang kemudian memprakarsai
masuknya ion Ca melalui kanal Ca yang sensitif terhadap voltase dan selanjutnya
merangsang pelepasan insulin.
Pada penderita DM tipe 2, insulin tetap dihasilkan dengan mekanisme
seperti yang telah dijelaskan tersebut. Namun, terjadi penurunan respon sel
terhadap insulin (resistensi insulin) pada jaringan target sehingga glukosa tidak
dapat masuk ke dalam sel dan tetap berada di aliran darah yang mengakibatkan
terjadinya kondisi hiperglikemia. Dalam keadaan normal, insulin akan berikatan
pada reseptornya di permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular

11
yang menyebabkan translokasi GLUT 4 ke permukaan sel. Glukosa kemudian
akan ditranspor masuk ke dalam sel melalui transporter glukosa (GLUT 4)
tersebut. Sedangkan pada pasien dengan DM tipe 2, terdapat kelainan pengikatan
insulin dengan reseptornya yang disebabkan karena kurangnya jumlah tempat
reseptor pada membran sel atau ketidaknormalan reseptor insulin secara intrinsik,
sehingga GLUT 4 tidak dapat mengalami translokasi dan tidak mampu
mentranspor glukosa masuk ke dalam sel.
Resistensi insulin dapat terjadi karena faktor genetik atau faktor
lingkungan, seperti misalnya pola hidup yang meyebabkan obesitas. Berikut ini
adalah beberapa penyebab terjadinya resistensi insulin:
1) Kelainan genetik yang menyebabkan kegagalan reseptor insulin untuk
merespon insulin
2) Adanya rangsangan berkepanjangan terhadap reseptor insulin sehingga
menyebabkan penurunan jumlah reseptor insulin (down-regulation)
3) Produksi autoantibodi insulin yang berikatan dengan reseptor insulin
sehingga memblok akses insulin ke reseptor
4) Kekurangan atau tidak berfungsinya gen penghasil leptin, sehingga gagal
merespon rasa kenyang dan meyebabkan insensitivitas insulin
Resistensi insulin terjadi pada situs atau jaringan target yang seharusnya
responsif terhadap insulin, antara lain:
1) Pada jaringan hati, glukagon bekerja dengan merangsang glikogenolisis
sehingga menyebabkan peningkatan produksi glukosa hepatik sebagai
akibat dari tidak bekerjanya insulin untuk memasukkan glukosa ke dalam
sel pada jaringan tersebut.
2) Pada jaringan otot, onset aksi insulin yang terlambat akibat resistensi
insulin menyebabkan penurunan kemampuan pengambilan glukosa pada
otot skeletal.
3) Pada jaringan adiposa, glukagon bekerja sebagai akibat tidak bekerjanya
insulin dengan merangsang lipolisis dan menyebabkan peningkatan asam
lemak bebas dalam darah.
Resistensi insulin yang berkelanjutan akan menyebabkan terjadinya
defisiensi sekresi insulin relatif. Hal ini terjadi karena sel β pankreas tidak mampu
menghasilkan insulin yang memadai untuk mengompensasi resistensi insulin dan
menyediakan insulin yang cukup setelah sekresi insulin dilakukan (mengalami
overkompensasi).

12
2.3.4 Perbedaan DM Tipe 1 dengan DM Tipe 2
Berikut ini adalah beberapa aspek yang membedakan DM tipe 1 dengan
DM tipe 2 (Tabel 3).

Tabel 3. Perbedaan DM tipe 1 dengan DM tipe 2


DM Tipe 1 DM Tipe 2
Umur Pada usia anak-anak dan > 30 tahun
remaja hingga < 30 tahun
Onset penyakit Tiba-tiba Bertahap
Prevalensi 5-10% 90-95%
Berat badan Umumnya kurus Normal atau obesitas
Etiologi Defisiensi insulin absolut Resistensi insulin,
(autoimun, idiopatik) defisiensi insulin relatif
Kadar insulin darah Rendah hingga tidak ada Normal
Gejala Umumnya timbul (poliuria, Tidak menunjukkan gejala
polifagia, polidipsia)
Komplikasi saat Jarang Umum
diagnosis
Terapi penyakit Insulin Diet, olahraga, obat
antidiabetik oral

2.4 Diabetes Mellitus Gestasional (GDM)


2.4.1 Definisi
Diabetes mellitus gestasional adalah keadaan intoleransi glukosa yang
ditemukan pertama kali pada masa kehamilan. GDM terdeteksi pada trisemester
kedua atau ketiga masa kehamilan. Sekitar 7% kehamilan (dalam rentang 1-14%
tergantung jumlah populasi dan metode diagnosis yang digunakan) diketahui
mengalami GDM. Faktor risiko GDM antara lain obesitas, glikosuria, usia di atas
30 tahun, riwayat keluarga penderita diabetes, riwayat menderita GDM atau
intoleransi glukosa, dan riwayat bayi makrosomia.

2.4.2 Patofisiologi
Selama kehamilan plasenta akan menghasilkan hormon-hormon seperti
estrogen, progesteron, kortisol, Human placental lactogen (hPL), dan Human
placental growth hormone (hPGH). Hormon-hormon tersebut dapat menurunkan
sensitivitas insulin. Dengan bertambahnya masa kehamilan maka pertumbuhan
plasenta akan semakin besar. Hal ini menyebabkan produksi hormon meningkat

13
sehingga resistensi insulin meningkat (biasanya dimulai pada kehamilan minggu
ke 20-24).
Hormon steroid (estrogen, progesteron, dan kortisol) dapat mengganggu
keseimbangan glukosa-insulin dengan jalan menurunkan afinitas reseptor insulin
terhadap glukosa. Peningkatan hPGH berkontribusi terhadap terjadinya resistensi
insulin melalui peningkatan ekspresi subunit P85α dan penghambatan aktivasi PI
3-kinase. Jika aktivitas PI 3-kinase terhambat maka vesikel yang mengandung
GLUT-4 tidak terjadi translokasi dari dalam sel ke membran sel sehingga tidak
ada transpor glukosa ke dalam sel. HPL yang diproduksi plasenta meningkatkan
metabolisme asam lemak serta menstimulasi lipolisis untuk mencukupi kebutuhan
energi yang meningkat selama kehamilan dan memastikan asupan glukosa yang
cukup untuk janin. Kadar asam lemak yang meningkat menyebabkan antagonis
kerja insulin. Adipokitokin jaringan adiposa juga diketahui dapat menyebabkan
GDM. Adipokin dapat mengganggu sinyal isulin yang dapat menyebabkan
resistensi insulin.

BAB III
KOMPLIKASI DIABETES

Menurut standar ADA (American Diabetes Association), terapi diabetes


dapat menghasilkan beberapa kondisi penyerta yang umum maupun munculnya
komplikasi yang merupakan akibat dari perkembangan penyakit diabetes melitus.
Komplikasi kronis atau komplikasi jangka panjang dari penyakit diabetes terdiri
dari komplikasi yang melibatkan pembuluh darah kecil (mikroangiopati) seperti
retinopati, neuropati, dan nefropati. Sedangkan yang melibatkan pembuluh darah
besar (makroangiopati) seperti asterosklerosis, hiperlipidemia,dan hipertensi
Diabetes mellitus merupakan penyakit yang dapat menimbulkan komplikasi.
Komplikasi yang terjadi akibat diabetes mellitus sangat berbahaya hingga

14
menyebabkan kematian. Komplikasi diabetes mellitus secara umum dapat dibagi
menjadi 2 kategori besar yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronis.
3.1 KOMPLIKASI AKUT
3.1.1 Hipoglikemia
Hipoglikemia merupakan suatu kondisi saat gula darah yang masuk terlalu
rendah pada penderita diabetes yang memakai insulin. Apabila tidak segera
ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan akhirnya kematian. Dari hasil survei
yang pernah dilakukan di Inggris diperkirakan 2 – 4% kematian pada penderita
diabetes tipe 1 disebabkan oleh serangan hipoglikemia (Depkes RI, 2005). Pada
penderita hipoglikemia, kadar glukosa plasma penderita kurang dari 50 mg/dL,
walaupun ada orang-orang tertentu yang sudah menunjukkan gejala hipoglikemia
pada kadar glukosa plasma di atas 50 mg/dL.
Kadar glukosa darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak
mendapat pasokan energi sehingga tidak dapat berfungsi bahkan dapat rusak.
Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita diabetes tipe 1, yang dapat
dialami 1–2 kali perminggu. Pada penderita diabetes tipe 2, serangan
hipoglikemia lebih jarang terjadi, meskipun penderita tersebut mendapat terapi
insulin.

Hipoglikemia pada penderita diabetes umumnya terjadi apabila penderita


(Depkes RI, 2005):
 Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang atau malam)
 Makan terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh dokter atau
ahli gizi
 Berolah raga terlalu berat
 Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih besar dari pada
seharusnya
 Minum alkohol
 Stress
 Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat meningkatkan risiko
hipoglikemia

15
Disamping penyebab di atas pada penderita DM perlu diperhatikan apabila
penderita mengalami hipoglikemik, kemungkinan penyebab lainnya adalah
(Depkes RI, 2005):
a) Dosis insulin yang berlebihan
b) Saat pemberian yang tidak tepat
c) Penggunaan glukosa yang berlebihan misalnya olahraga anaerobik
berlebihan
d) Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan kepekaan individu terhadap
insulin, misalnya gangguan fungsi adrenal atau hipofisis.
Gejala-gejala yang timbul:
1) Fase 1
Gejala-gejala yang timbul akibat aktivasi pusat autonom di
hipotalamus sehingga dilepaskannya hormon epinefrin. Gejalanya berupa
palpitasi, banyak keluar urin, banyak keringat, tremor, ketakutan, rasa lapar,
dan mual. Gejala ini merupakan gejala awal karena pada saat itu pasien
masih sadar dan dengan demikian dapat mengambil tindakan yang perlu
untuk mengatasi terjadinya hipoglikemik awal tersebut.
2) Fase 2
Gejala yang terjadi akibat mulai terjadinya gangguan fungsi otak,
karena itu dinamakan juga gejala neurologi. Gejala berupa pusing,
pandangan kabur, ketajaman mental menurun, hilangnya keterampilan
motorik yang halus, penurunan kesadaran, kejang-kejang, dan koma.
Tingakatan hipoglikemia:
1) Hipoglikemia ringan, Kadar glukosa darah 50-60 mg/dL, masih dapat
diatasi sendiri, menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari yang nyata,
otak mulai kekurangan asupan glukosa sebagai sumber energi, gejalanya
sakit kepala, vertigo, perubahan.
2) Hipoglikemia sedang, Kadar glukosa darah <50 mg/dL, otak mulai
kekurangan asupan glukosa sebagai sumber energi, gejalanya sakit kepala,
vertigo, perubahan memori, perilaku irasional, dll
3) Hipoglikemia berat, Kadar glukosa darah <35 mg/dL, membutuhkan terapi
glukosa untuk menanganinya, fungsi sistem saraf pusat mengalami
gangguan berat, disorientasi, kejang, penurunan kesadaran.
3.1.2 Ketoasidosis Diabetik

16
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan
metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama
disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. Lebih sering ditemukan
pada DM tipe 1. KAD mungkin merupakan manifestasi awal dari DM tipe1 atau
mungkin merupakan akibat dari peningkatan kebutuhan insulin pada DM tipe1
pada keadaan infeksi, trauma, infark miokard, atau kelainan lainnya (Gotera, W,
2010).
Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak dalam beberapa
hari, perubahan metabolik yang khas untuk KAD biasanya tampak dalam jangka
waktu pendek (< 24 jam). Umumnya penampakan seluruh gejala dapat tampak
atau berkembang lebih akut dan pasien dapat tampak menjadi KAD tanpa gejala
atau tanda KAD sebelumnya. Gambaran klinis klasik termasuk riwayat poliuria,
polidipsia, dan polifagia, penurunan berat badan, muntah, sakit perut, dehidrasi,
lemah, pandangan kabur, dan akhirnya koma.
Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit yang menurun, pernapasan
kussmaul, takikardia, hipotensi, perubahan status mental, syok, dan koma. Lebih
dari 25% pasien KAD menjadi muntah – muntah. Perhatian lebih harus diberikan
untuk pasien dengan hipotermia karena menunjukkan prognosis yang lebih buruk.
Demikian pula pasien dengan abdominal pain, karena gejala ini dapat merupakan
akibat atau sebuah indikasi dari pencetusnya, khususnya pada pasien muda.
Evaluasi lebih lanjut diperlukan jika gejala ini tidak membaik dengan koreksi
dehidrasi dan asidosis metabolik (Gotera, W, 2010).
Ketoasidosis diakibatkan oleh kekurangan insulin yang dapat terjadi karena
(Watkins J.P., 2003):
• Menghentikan insulin atau mengurangi dosis salah atau dengan sengaja
• Resistensi terhadap insulin selama infeksi atau penyakit kambuhan lainnya
• Onset diabetes Tipe 1 yang tidak diketahui.
Onset klinis ketoasidosis terjadi beberapa jam atau hari. Gejala diabetes
yang tidak terkontrol selalu hadir. Muntah pada penderita diabetes tipe 1 selalu
serius. Pasien biasanya berkonsultasi dengan dokter mereka selama hari-hari
sebelumnya, namun kehadiran diabetes yang tidak terkontrol sering diabaikan.
Kontrol diabetes harus selalu dinilai jika pasien diabetes menjadi tidak sehat

17
dengan alasan apapun. Banyak kasus ketoasidosis dapat dicegah. Ketoasidosis
diabetik ditandai dengan kadar glukosa yang lebih besar dari 250 mg/dL, pH
kurang dari 7,3, kadar bikarbonat kurang dari 18 mEq/L, kadar keton yang
meningkat, dan dehidrasi (Watkins J.P., 2003).

Gambar 1. Patofisiologi ketoasidosis diabetic


Kekurangan insulin dapat merangsang peningkatan regulasi hormon
(glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan). Tanpa memiliki
kemampuan untuk menggunakan glukosa, tubuh membutuhkan sumber energi
alternatif. Aktivitas lipase meningkat, menyebabkan kerusakan jaringan adiposa
yang menghasilkan asam lemak bebas. Komponen ini diubah menjadi asetil
koenzim A, beberapa di antaranya memasuki siklus Krebs untuk produksi energi,
sisanya dimasukkan ke dalam keton (aseton, acetoasetat, dan β-hidroksibutirat).
Keton bisa digunakan untuk energi, tapi terakumulasi dengan cepat. Glikogen dan
protein dikatabolisasi untuk membentuk glukosa. Secara bersamaan, faktor-faktor
tersebut menghasilkan hiperglikemia, yang menyebabkan diuresis osmotik yang

18
mengakibatkan dehidrasi, asidosis metabolik, dan keadaan hiposmosmolar
(Westerberg, D.P., 2013).

3.1.3 Hyperosmolar Hyperglycemic Syndrome (HHS)


HHNK merupakan suatu keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas
dan hiperglikemia serta diikuti oleh perubahan tingkat kesadaran. Kelainan dasar
biokimia pada sindrom ini berupa kekurangan insulin yang signifikan. Keadaan
hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotik sehingga terjadi
kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk mempertahankan keseimbangan osmotik,
cairan akan berpindah dari ruang intrasel ke ruang ekstrasel. Dengan adanya
glukosuria dan dehidrasi, akan dijumpai keadaaan hipernatremia dan peningkatan
osmolaritas. Perbedaan yang mendasar antara ketoasidosis diabetik (KAD) dan
Hiperglikemia hiperomolar non-ketonik (HHNK) yaitu pada HHNK terjadi tanpa
ketosis dan asidosis. HHNK lebih sering terjadi pada DM tipe 2 (Stoner, G.D.,
2005).
Awal terjadinya HHNK adalah Glucosuric diuresis. Glukosuria merusak
kapasitas konsentrat ginjal, yang selanjutnya memperburuk kehilangan air. Dalam
kondisi normal, ginjal bertindak sebagai katup pengaman untuk menghilangkan
glukosa yang diatas ambang batas tertentu dan mencegah terakumulasi lebih
lanjut. Namun, penurunan volume intravaskular atau penyakit ginjal yang
mendasarinya menurunkan laju filtrasi glomerulus, menyebabkan konsentrasi
glukosa meningkat. Hilangnya lebih banyak air daripada sodium menyebabkan
hipermosmolaritas. Terdapat insulin, tapi tidak cukup untuk mengurangi kadar
glukosa darah, terutama dengan adanya resistensi insulin yang signifikan (Stoner,
G.D., 2005).
Faktor penyebab HHNK dapat dibagi menjadi enam kategori (Stoner, G.D.,
2005):
 Infeksi
Infeksi merupakan penyebab utama hiperglikemia hyperosmolar (57,1
%). Infeksi yang paling umum terjadi adalah pneumonia oleh gram
negatif, infeksi saluran kemih dan sepsis.
 Pengobatan
 Ketidakpatuhan

19
Kepatuhan yang buruk terhadap obat diabetes juga dianggap sering
menyebabkan (21 %).
 Diabetes yang tidak terdiagnosis
Diabetes yang tidak terdiagnosis sering dikaitkan dengan keadaan
hiperglikemia hiperosmolar karena tidak mengenali gejala awal
penyakit ini.
 Penyalahgunaan zat,
 Penyakit yang menyertai.
Infark miokard, kecelakaan serebrovaskular, emboli paru, dan
trombosis mesenterika telah diidentifikasi sebagai penyebab
hiperglikemia hipermosmolar.
Dalam sebuah penelitian terhadap populasi perkotaan yang
mempresentasikan hiperglikemia hiperemmolar, tiga penyebab utama adalah
kepatuhan yang buruk terhadap pengobatan, penggunaan etanol, dan penggunaan
kokain. Penggunaan steroid jangka panjang dan gastroenteritis adalah penyebab
umum keadaan hiperglikemia hiperemmolar pada anak-anak. HHNK ditandai
dengan adanya peningkatan kadar glukosa darah lebih dari 600 mg/dL (33,3
mmol/L) dan osmolaritas lebih dari 320 mOsmol/kg air (normal = 290 ± 5),
dengan pH lebih besar dari 7,30 dan disertai ketonemia ringan atau tanpa
ketonemia (Stoner, G.D., 2005).
Gejala klinis yang timbul pada HHNK adalah lemah, gangguan
penglihatan, atau kram kaki. Mual dan muntah bisa terjadi, namun jauh lebih
jarang terjadi jika dibandingkan pada pasien dengan KAD. Akhirnya, pasien
mengalami gejala neurologis kelesuan, kebingungan, hemiparesis (sering salah
didiagnosis sebagai kecelakaan serebrovaskular), kejang, atau koma yang pada
akhirnya menyebabkan pasien harus dibawa pada perawatan medis (Stoner, G.D.,
2005).

3.2 KOMPLIKASI KRONIK


Komplikasi kronik pada diabetes militus terdiri dari mikrovaskular dan
makrovaskular. Komplikasi diabetes yang termasuk mikrovaskular meliputi:
3.2.1 Retinopati
Hiperglikemia yang berlangsung lama merupakan faktor resiko
penyebab terjadinya retinopati. Kerusakan sel yang terjadi sebagai hasil proses

20
biokimiawi akibat hiperglikemia kronis terjadi pada jaringan saraf (saraf optik
dan retina), vaskular retina dan lensa. Berikut ini merupakan mekanisme
petofisiologi yang diduga menyebabkan terjadinya retinopati:
a. Hiperglikemia memicu terbentuknya reactive oxygen intermediates (ROIs)
dan advanced glycation end products (AGEs). ROIs dan AGEs merusak
perisit dan endotel pembuluh darah serta merangsang pelepasan faktor
vasoaktif seperti nitric oxide (NO) dan endotelin yang akan memperparah
kerusakan.
b. Hiperglikemia kronik mengaktivasi jalur poliol yang meningkatkan
glikosilasi dan ekspresi aldosa reduktase sehingga terjadi akumulasi
sorbitol. Sorbitol merupakan suatu senyawa gula dan alkohol yang tidak
dapat melewati membran basal sehingga akan tertimbun dalam jumlah
yang banyak dalam sel. Kerusakan sel terjadi akibat akumulasi sorbitol
yang bersifat hidrofilik sehingga sel menjadi bengkak akibat proses
osmotik.
c. Hiperglikemia mengaktivasi transduksi sinyal intraseluler protein kinase C
(PKC) dan vascular endothelial growth factor (VEGF) sehingga terjadi
trombosis dan oklusi kapiler retina. Peningkatan PKC juga mengganggu
permeabilitas dan aliran darah vaskular retina yang pada akhirnya terjadi
inflamasi dan hipoksia pada retina.
d. Hipoksia menyebabkan ekspresi faktor angiogenik yang berlebihan
sehingga merangsang pembentukan pembuluh darah baru yang memiliki
kelemahan pada membran basalnya, dan kekurangan jumlah perisit.
Akibatnya, terjadi kebocoran protein plasma dan perdarahan di dalam
retina dan vitreous.
(Chung et al., 2003).
Gejala yang timbul meliputi:
1. Kesulitan membaca
2. Penglihatan kabur
3. Penglihatan menurun
4. Melihat lingkaran-lingkaran cahaya
5. Melihat bintik gelap dan cahaya kelap-kelip

Klasifikasi
1) Retinopati Diabetik Non Proliferatif

21
Retinopati diabetik proliferatif merupakan tipe paling ringan dan
kadang tidak memperlihatkan gejala. Mikroaneurism merupakan tanda
paling awal pada retinopati diabetik non proliferatif. Dengan optalmoskopi
atau foto warna fundu, mikroaneurism tampak berupa bintik merah.
Kelainan morfologi lain adalah terjadinya penebalan membran basal,
pendarahan ringan, adanya eksudat yang tampak berwarna kuning, edema,
dan pendarahan ringan.
2) Retinopati Diabetik Proliferatif
Retinopati diabetik proliferatif ditandai dengan adanya
pembentukan pembuluh darah baru yang terdiri dari satu lapisan endotel
tanpa sel perisit dan membran basal sehingga bersifat sangat rapuh dan
mudah mengalami pendarahan. Pembuluh darah baru tersebut tumbuh
secara abnormal keluar dari retina dan meluas ke vitreous. Pendarahan
sampai ke vitreous akan menghalangi transmisi cahaya sehingga
menimbulkan gangguan penglihatan.

Gambar 3.2. Retinopati diabetik non proliferatif derajat sedang dengan


edema makula (A) dan retinopati diabetik proliferatif dengan
edema makula dan perdarahan pre-retina (B).

3.2.2 Neuropati
Ada beberapa mekanisme yang dapat menyebabkan diabetes neuropati,
diantaranya yaitu:
a. Jalur Poliol
Hiperglikemia menyebabkan peningkatan kadar glukosa
intraseluler pada saraf sehingga mmenyebabkan saturasi pada jalur normal
glikolisis. Kelebihan glukosa didorong ke jalur poliol dan dikonversi ke
sorbitol oleh aldosa reduktase, lalu diubah menjadi fruktosa oleh sorbitol

22
dehidrogenase. Akumulasi dari pembentukan sorbitol dan inositol
menyebabkan berkurangnya kadar myoinositol yang menyebabkan
penurunan aktivitas membran pada kanal Na+ dan K+. Penurunan aktivitas
ini menyebabkan gangguan transportasi dan kerusakan struktur dari saraf
(Chung et al., 2003). Berikut merupakan skema pembentukan sorbitol dan
fruktosa pada jalur poliol.

Gambar 3.1. Skema pembentukan sorbitol dan fruktosa melalui jalur poliol
b. Penurunan Kadar Mioinositol
Pasien diabetes mellitus memiliki level rendah myoinositol di saraf
perifer. Myoinositol adalah komponen membran sel yang normalnya
ditemukan berlimpah di jaringan saraf. Myoinositol sangat berperan dalam
transmisi impuls. Teori yang menjelaskan bagaimana hiperglikemia pada
pasien DM mempengaruhi penurunan level myoinositol adalah glukosa
akan berkompetisi dengan myoinositol, sehingga menghambat transpor
aktif myoinositol oleh saraf. Terjadinya peningkatan poliol pathway akan
menyebabkan hilangnya myoinositol saraf. Abnormalitas ini dapat segera
dikembalikan menjadi keadaan normal dengan kontrol glukosa darah
(Frykberg et al., 2006).

Gejala
Beberapa pasien diabetes yang mengalami komplikasi, muncul
tanpa gejala dan beberapa lainnya muncul dengan gejala awal seperti
nyeri, kesemutan, dan sakit pada kaki. Gejala yang muncul pada kerusakan
saraf akibat diabetes antara lain:
1) Nyeri, kesemutan, sakit pada jari, kaki, lengan, dan tangan
2) Lelah pada otot-otot kaki atau tangan
3) Gangguan pencernaan, mual, dan muntah
4) Diare atau konstipasi

23
5) Pusing atau pingsan akibat terlalu lama berdiri atau duduk
6) Masalah pada urinasi
7) Disfungsi ereksi pada pria atau vagina yang kering pada wanita

Klasifikasi
Diabetes neuropati terdiri dari beberapa tipe yang diklasifikasikan
yaitu sebagai berikut:
1) Neuropati perifer
Neuropati perifer merupakan jenis diabetes neuropati yang paling
umum terjadi. Dapat menyebabkan hilangnya rasa pada jari kaki,
tangan, kaki, dan lengan.
2) Neuropati otonom
Neuropati otonom menyebabkan peubahan pada pencernaan, fungsi
kandung kemih, dan respon seksual. Hal ini juga mempengaruhi
saraf yang mengatur tekanan darah.
3) Neuropati proksimal
Neuropati proksimal menyebabkan nyeri pada paha, pinggul atau
bokong, dan menyebabkan kelemahan di kaki.
4) Neuropati fokal
Neuropati fokal merupakan keadaan dimana secara tiba-tiba terjadi
kelemahan satu atau sekelompok saraf yang menyebabkan
kelemahan otot atau rasa sakit.

Diabetes neuropati dapat menyebabkan beberapa penyakit seperti gigi


menjadi mudah goyang, disfungsi ereksi, dan yang paling sering terjadi yaitu foot
ulcer. Laki-laki yang menderita diabetes mellitus dapat mengalami disfungsi
ereksi karena meningkatnya glukosa pada darah dan mengakibatkan rusaknya
sistem saraf tepi yang pada akhirnya menghambat aliran darah untuk mengalir ke
penis. Pasien diabetes mellitus sangat rentan giginya cepat goyang, hal ini
dikarenakan imunitas dan hormonal pada penderita diabetes mellitus yang sudah
menurun akibat fungsi leukosit terganggu dan kadar glukosa darah yang tinggi.
Infeksi yang terjadi di rongga mulut juga menyebabkan kerusakan pada jaringan
penyangga gigi dan kerusakan tulang alveolar yang cukup berat sehingga
mengakibatkan gigi penderita mudah goyang. Apabila penderita diabetes mellitus
ingin mencabut gigi yang goyang, dianjurkan untuk mengecek kadar glukosa

24
darah terlebih dahulu, karena dikhawatirkan jika kadar glukosa darahnya sangat
tinggi akan terjadi pendarahan.

Diabetic Foot Ulcer


Diabetes neuropati merupakan 60% penyebab terjadinya foot ulcer.
Penyakit ini dapat diderita oleh pasien baik yang mengidap diabetes mellitus tipe
1 maupun tipe 2. Meningkatnya kadar glukosa dalam darah mengakibatkan
meningkatnya beberapa enzim seperti aldose reduktase dan sorbitol
dehidrogenase. Akibat meningkatnya glukosa, sintesis dari myoinositol menjadi
berkurang dan menyebabkan terganggunya penghantaran pada saraf (Frykberg et
al., 2006).

Pasien diabetes yang terluka pada bagian saraf berada pada risiko tinggi
untuk terkena cedera ringan tanpa menyadari terjadinya cedera tersebut sampai
menjadi ulcer. Risiko terbentuknya foot ulcer pada pasien diabetes mellitus
dengan gangguan sensorik meningkat hingga tujuh kali lipat bila dibandingkan
dengan pasien non diabetes. Diabetes mellitus yang mengenai saraf otonom dapat
menyebabkan kulit menjadi mudah kering dan pecah-pecah sehingga menjadi
rentan terhadap infeksi (Acoloplast Quick Guide, 2012). Perubahan yang terjadi
dapat memperparah perkembangan ulser dan lama kelamaan dapat menyebabkan
kehilangan anggota badan.
Pasien foot ulcer pada awalnya tidak sadar telah terkena ulserasi pada
kakinya karena tidak terlihat oleh pasien (dibawah kaki). Oleh karena itu dapat
dijelaskan bahwa penyakit ini dinamakan “cermin diabetes”, karena pasien tidak
sadar sudah terjadi ulserasi pada kakinya. Penderita foot ulcer secara tidak sadar
dapat menggaruk bagian kaki hingga terjadinya luka, hal ini dikarenakan kulit
pasien yang kering dan secara tidak sadar memicu pasien untuk menggaruk bagian
tersebut. Luka yang muncul biasa disebut “gula kering”, sedangkan bila luka
tersebut terkena infeksi maka akan menimbulkan “gula basah” yaitu bagian luka
pada penderita menjadi berair.

25
3.2.3 Glaukoma
Glaukoma adalah kondisi mata yang biasanya disebabkan oleh peningkatan
abnormal pada intra ocullar pressure/ tekanan intra okular (IOP/TIO), dimana
lebih besar dari 20 mmHg. Tekanan tinggi tersebut juga dapat mencapai 60-70
mmHg, menyebabkan terjadinya kompresi pada saraf optik, sehingga
menyebabkan kematian dari serabut saraf (Ramona, 2011). Ada 2 tipe glaukoma:
open angle dan angle closure.
Open angle glaucoma disebabkan oleh penyumbatan parsial saluran
drainase. Sudut antara kornea dan iris terbuka, namun aliran aqueous humor
lambat. Tekananpun akan meningkat secara bertahap dalam mata selama jangka
waktu yang panjang (Ramona, 2011).
Angle closure glaucoma disebabkan oleh penyumbatan seluruhnya secara
mendadak pada saluran drainase aqueous humor. Tekanan di dalam mata akan
meningkat dan menyebabkan kehilangan penglihatan yang lebih cepat. Fitur
anatomi yang dapat terjadi seperti sudut drainase yang sempit, ruang anterior yang
sempit, dan iris yang tipis. Biasanya ini terjadi ketika pupil melebar dan lensa
menempel ke belakang iris. Hal ini dikarenakan untuk mencegah aqueous humor
mengalir melalui pupil ke ruang anterior. Akumulasi cairan dalam ruang posterior,
akan menekan iris sehingga menyebabkan iris lebih menonjol keluar dan
memblokir sudut drainase seluruhnya (Ramona, 2011).
Hubungan glaukoma dengan diabetes militus
Kadar gula darah yang tinggi menyebabkan viskositas darah menjadi lebih
kental. Dikarenakan pembuluh darah mata yang sangat halus, maka lebih
memberikan dampak yang berpengaruh. Dikarenakan viskositas darah yang
kental, maka oksigen sulit untuk mencapai sel tujuan sehingga terjadi hipoksia.
Oleh karena itu, pembuluh darah di mata menjadi melemah dan mengalami
kerusakan dan kebocoran. Dalam upaya memperbaiki hal ini, pembuluh darah
baru akan terbentuk, dimana proses ini disebut dengan neovaskularisasi. Namun,
pembuluh darah yang baru tersebut lebih lemah dari pada pembuluh darah induk,
sehingga cenderung untuk pecah dan bocor (Wong, Bui, & Vingrys, 2011).
Neovaskularisasi tidak hanya mempengaruhi retina. Pembuluh darah baru
juga dapat tumbuh dalam iris dan memotong aliran aqueous humor melalui

26
penutupan sudut trabecular meshwork. Oleh karena itu, dapat disebut sebagai
glaukoma neovaskular (Wong, Bui, & Vingrys, 2011).
Penyakit Ginjal Kronik
Keadaan diabetes melitus berupa hiperglikemia akan menyebabkan
peningkatan produk glikosilasi dengan proses non enzimatik yang disebut AGEs
(Advanced Glycation End-Products). Proses ini dapat berlangsung di intraseluler
dan ekstraseluler. AGEs intraseluler akan mengaktivasi protein kinase C, MAPK,
serta NF-κB. Aktivasi ketiga zat ini akan meningkatkan ekspresi TGF-β pada sel
mesangial dan sel endotel glomerulus. TGF-β akan memacu aktivasi dari
connective tissue growth factor (CTGF). TGF- β dan CTGF akan memacu sintesis
kolagen tipe I dan IV serta peningkatan akumulasi fibronektin di mesangial.
Serangkaian aktivitas tersebut akan meningkatkan proliferasi jaringan ikat dan
menyebabkan hipertrofi glomerulus dan ekspansi mesangial yang akhirnya akan
menyebabkan glomerulosklerosis (Fernandes et al., 2014).
Di sisi lain, glukosa di ekstraseluler akan tersintesis menjadi AGEs dan
berikatan dengan resepptor yang disebut RAGEs (Receptor forAdvanced
Glycation End-Products). Reseptor ini terletak pada membran sel endotel dan sel
mesangial. Ikatan AGEs dengan RAGE ini akan menyebabkan terbentuknya ROS
(Reactive Oxygen Species), penurunan aktivasi eNOS (endothelial Nitrit Oxyde
Synthetase), inaktivasi NO (Nitrit Oxide), memacu timbulnya jalur PKC, dan
berikatan dengan NF-kB (Nuclear Factor-KappaB) di nukleus sel sehingga
meningkatkan transkripsi berbagai protein seperti endothelin, ICAM-1 (Cellular
Adhesion Molecule-1), VEGF, IL-1, IL-6, dan TNF-α. Peningkatan protein ini
akan memacu terjadinya infiltrasi sel-sel radang seperti makrofag, monosit, dan
leukosit. Peningkatan sitokin dan adanya infiltrasi sel radang ini selanjutnya akan
menyebabkan terjadinya abnormalitas pada glomerulus. Kerusakan glomerulus
dan tubulus mengakibatkan ekskresi protein yang berlebihan
(albuminuria/proteinuria) serta peningkatan ureum dan kreatinin dalam darah
yang pada akhirnya berujung pada gagal ginjal (Juan et al., 2011).

27
Komplikasi diabetes yang termasuk mikrovaskular meliputi:
3.2.4 Hiperlipidemia
Hiperlipidemia merupakan peningkatan kolesterol atau trigliserida serum di
atas batas normal. Resistensi insulin, pada kasus DM terjadi penurunan aktivitas
lipoprotein lipase sehingga terjadi peningkatan lipolisis. Sintesis VLDL
meningkat di hati dan pada gilirannya akan menaikkan kadar trigliserida darah.
Kenaikan VLDL ini akan sedikit banyak juga akan menyebabkan kenaikan LDL
karena pada proses metabolismenya dari VLDL melalui IDL akan terbentuk LDL
(McPhee dan Ganong, 2006).

3.2.5 Aterosklerosis
Aterosklerosis merupakan kondisi pengerasan pembuluh darah arteri
yang ditandai dengan penimbunan endapan lemak, trombosit, neutrofil,
monosit, dan makrofag dalam lapisan sel endotel (tunika intima) dan
akhirnya kelapisan otot polos (tunika media).
a. Mekanisme :
1. Kerusakan sel endotelial, pemeabilitas meningkat
2. LDL masuk, agregasi trombosit, migrasi monosit, berubah menjadi
makrofag dalam intima, pelepasan radikal O2
3. Inaktivasi NO, menghambat penempelan monosit dan platelet di
endotel  proliferasi sel otot halus dan menurunnya vasodilatasi
4. Oksidasi LDL, fagositosis oleh makrofag, membentuk sel busa  plak
(Jeffrey et al., 2012).
b. Peningkatan risisko aterosklerosis pada penderita diabetes adalah
1. Peningkatan terjadinya faktor risiko lain seperti hipertensi dan
hyperlipidemia
2. Diabetes merupakan faktor risiko pada aterosklerosis akibat resistensi
insulin
Diabetes bekerja secara sinergis dengan faktor risiko lain yang dapat
menyebabkan peningkatan risiko aterosklerosis.

3.2.6 Hipertensi
Pada pasien DM tipe I, terjadinya hipertensi diduga memiliki keterkaitan
dengan mikroalbuminuria dan merupakan suatu konsekuensi dari kerusakan

28
ginjal. Pada pasien hipertensi dengan DM tipe I juga diketahui adanya
peningkatan aktivitas penukar Na+-Li+ dan Na+-H+. Sedangkan untuk pasien
DM tipe II, hipertensi yang timbul diduga memiliki keterkaitan secara klinis
dengan kondisi lain seperti dislipidemia, obesitas, dan aterosklerosis. Sindrom ini
lebih dikenal dengan sindrom resistensi insulin, sindrom metabolik, atau sindrom
X. Resistensi insulin merupakan penyakit metabolik yang ditunjukan dengan
adanya pengurangan penggunaan glukosa pada otot rangka perifer. Penyakit ini
menyebabkan jumlah insulin yang dibutuhkan untuk mencapai normoglikemia
menjadi lebih besar (Jeffrey et al., 2012).
Patogenesis hipertensi pada pasien DM dapat diakibatkan karena adanya
kondisi hiperglikemia pada pasien DM yang akan menyebabkan peningkatan
viskositas darah. Viskositas darah merupakan salah satu faktor yang berperan
dalam tekanan darah. Dengan meningkatnya viskositas darah, tahanan pembuluh
darah atau resistensi perifer akan meningkat sehingga dapat meningkatkan
tekanan darah dikarenakan darah yang kental akan membuat kerja otot-otot
jantung lebih berat memompa darah sehingga tekanan darah akan naik.
Pada kondisi hiperglikemia juga diketahui adanya peningkatan spesi
oksigen reaktif (ROS) sebagai hasil dari adanya reaksi stres oksidatif. Peningkatan
kadar ROS ini dapat menurunkan kadar nitric oxide (NO) yang seharusnya
berperan dalam relaksasi vaskular. Pada pasien hiperglikemia juga diketahui
adanya peningkatan kadar transforming growth factor beta (TGF-B) yang dapat
meningkatkan proliferasi dari sel serta penurunan kadar matrix metalloproteinase
(MMP) yang seharusnya berperan dalam remodelling atau perbaikan jaringan.
Hal-hal tersebut akan menyebabkan terjadinya inflamasi vaskular yang
selanjutnya berujung pada disfungsi endotel. Endotel berperan dalam regulasi
tekanan darah dengan mengatur vasokontriksi dan vasorelaksasi Jeffrey et al.,
2012).
Disfungsi endotel akan menyebabkan penurunan elastisitas dari pembuluh
darah yang selanjutnya dapat meningkatkan resistensi perifer yang berujung pada
peningkatan tekanan darah. Kondisi seperti ini yang berlangsung terusmenerus
akan menyebabkan terjadinya penyakit hipertensi.

29
Resistensi insulin/hiperinsulinemia dicurigai sebagai penyebab
berkembangnya hipertensi melalui ketidaknormalan signalling insulin serta
berhubungan dengan kekacauan kardiovaskular dan metabolik. Hiperinsulinemia
berkontribusi dalam patogenesis hipertensi pada individu yang memiliki
kecenderungan genetik mengalamai hipertensi. Hiperglikemia kronik dapat
menyebabkan kerusakan ginjal melalui glikolisasi dari protein glomerular.
Selanjutnya, hiperinsulinemia juga dapat menyebabkan reabsorpsi natrium pada
tubular proksimal dan distal serta menstimulasi saraf simpatis. Penuunan aktivitas
peptida natriuretik akan meningkatkan aktivitas dari sistem renin-angiotensin
(RAA) dan saraf simpatis. Sebaliknya, hipertensi juga akan memperparah
kerusakan ginjal dan kondisi komorbiditas ini berkaitan satu sama lain (Sampanis,
C., & Zamboulis, C., 2008).

Gambar 3.3. Peran hiperinsulinemia dalam patogenesis hipertensi

Timbulnya hipertensi pada pasien DM tipe I dan tipe II ditandai dengan


adanya peningkatan resistensi vaskular perifer. Peningkatan pertukaran Na juga
berperan dalam patogenesis hipertensi pada pasien DM.Reabsorpsi tubular dari
glukosa akan menyebabkan trasnsportasi natrium dalam jumlah yang besar. Pasien
DM memiliki gangguan dalam mengeksreksikan beban saline intravena dan
kegagalan dalam peningkatan jumlah natrium yang diekskresikan melalui urin.

30
Retensi natrium pada pasien DM juga dikaitkan dengan penurunan kemampuan
untuk melepaskan faktor natriuretik (Eipstein, M., & Sowers, R., 2002).
Peningkatan resistensi vaskular dan kontraktilitas otot halus vaskular juga
akan mempengaruhi agonisnya yaitu norepinefrin dan angiotensin II. Insulin
berperan dalam pengaturan pompa membran yaitu, pompa Ca 2+-ATPase dan Na+,
K+-ATPase. Kekurangan atau resistensi insulin akan menyebabkan penurunan
aktivitas dari pompa-pompa ini yang akan menyebabkan peningkatan kosnnetrasi
Ca2+. Pompa lainnya yang dipengaruhi oleh insulin adalah penukar Na+-H+.
Sebuah studi menunjukkan adanya peningkatan aktivitas Na +-H+ pada
pasien hipertensi dengan resistensi insulin dibanding dengan pasien hipertensi saja
sehingga dapat disimpulkan bahwa resistensi insulin dapat menyebabkan
peningkatan aktivitas pertukaran Na+-H+ yang selanjutnya juga akan
meningkatkan peningkatan Ca2+. Hiperglikemia kronik pada pasien DM juga
berperan dalam patogenesis hipertensi melalui beberapa mekanisme.
Hiperglikemia akan menyebabkan hiperfiltrasi glomerular dari glukosa yang akan
menstimulasi transporter glukosa-Na+ yang selanjutnya akan menyebabkan retensi
natrium. Hiperglikemia kronik juga dapat meningkatkan kekakuan (rigiditas) dari
pembuluh darah. Glukosa dengan konsentrasi tinggi memiliki efek toksik pada sel
endotelial yang akan menurunkan endhotelialmediated vascular relaxation,
peningkatan konstriksi serta kecenderungan terjadinya hiperplasia otot halus
vaskular dan remodeling vascular.

BAB IV

31
PEMERIKSAAN LABORATORIUM UNTUK DIAGNOSIS DIABETES
MELITUS

Pemeriksaan glukosa darah sangatlah penting untuk penderita diabetes,


karena dengan pemeriksaan inilah dapat diketahui seseorang terkena diabetes atau
tidak, dan uji ini juga dapat digunakan untuk memeriksa efek terapi obat.
Pemeriksaan kadar glukosa dalam darah dapat dilakukan dengan beberapa cara,
berikut penjelasannya:
4.1 Pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu
Pemeriksaan ini dengan mengukur kadar glukosa darah dilakukan sewaktu-
waktu (random), terlepas dari waktu makan terakhir. Namun hasil pengujian ini
kurang akurat, karena dapat dipengaruhi beberapa faktor seperti jeda waktu
pengambilan darah dengan waktu makan, dan jumlah makanan yang dikonsumsi
sebelum pengambilan. Oleh karena itu pasien dapat dikatakan terkena diabetes,
jika pasien mengalami gejala DM seperti poliuria, polidipsia, dan kehilangan berat
badan dan melebihi dari kadar gula yang dipersyaratkan yaitu ≥ 200 mg/dL (11,1
mmol / L). Biasanya uji ini hanya digunakan untuk coba-coba, bila dengan
pengujian ini kadar gula darah seseorang melewati batas yang dipersyaratkan,
maka perlu pengujian lebih lanjut untuk mendiagnosa apakah pasien ini terkena
diabetes atau tidak.

Bukan DM Belum pasti DM DM


Kadar glukosa darah Plasma vena <100 100-199 ≥200
sewaktu (mg/dl) Darah kapiler <90 90-199 ≥200

4.2 Pemeriksaan Glukosa Darah Puasa (FPG)


Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengukur kadar glukosa dalam darah
setelah berpuasa selama 12 jam. Berikut syarat kadar gula darah yang dapat
digunakan untuk mendiagnosis pasien:

Kategori Nilai
Normal <100 mg / dL (5,6 mmol / L)
Impaired Fasting Glucose 100 - 125 mg / dL (5,6-6,9 mmol / L)

32
Diabetes ≥126 mg / dL (7,0 mmol / L)

4.3 Pemeriksaan Glukosa Post-Prandial (PPG)


Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengukur kadar glukosa dalam darah
setelah 2 jam makan. Biasanya uji ini dilakukan bila kadar gula sewaktu melebihi
batas, untuk melihat apakah setelah mengkonsumsi makanan, kadar gula kembali
normal atau tidak. Uji ini juga biasanya digunakan untuk melihat apakah terapi
obat yang diberikan dapat mengembalikan kadar glukosa darah menjadi normal.
Hasil uji ini kurang akurat karena dipengaruhi oleh jumlah makanan yang
dikonsumsi.
Kategori Nilai
Normal <140 mg / dL (7,8 mmol / L)
Impaired Fasting Glucose 140 - 199 mg / dL (7,8-11,1 mmol / L)
Diabetes ≥200 mg / dL (11,1 mmol / L)

4.4 Pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)


Terkadang kebingungnan dalam penegakkan diagnosis tetap ada bahkan
setelah sampel ulangan dianalisis, contohnya hasil borderline atau hasil yang
tampak bertentangan. Pada situasi seperti ini, dianjurkan untuk melakukan Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) merupakan
suatu metode yang dapat membantu diagnosis diabetes melitus atau resistensi
insulin.
Pengujian ini merupakan indikator yang lebih akurat dibandingkan dengan
pengujian tusukkan jari. Tes ini digunakan untuk menentukan apakah tubuh
memiliki kesulitan memetabolisme asupan gula / karbohidrat. Pasien diminta
untuk mengambil minuman glukosa dan kadar glukosa darah mereka diukur
sebelum dan pada interval setelah minuman manis.
Tes toleransi glukosa orat (TTGO) merupakan tes yang bermanfaat untuk
membantu diagnosis:
a. Pre-diabetes
b. Diabetes gestasional pada wanita hamil
c. Resistensi insulin
d. Hipoglikemia reaktif
a. Prosedur dalam TTGO adalah sebagai berikut:

33
Pada tes ini, pasien harus mengonsumsi diet normal paling tidak selama 3
hari sebelum tes. Pasien juga diminta untuk tidak makan atau minum selama 8
sampai 12 jam sebelum tes. Pasien mungkin diminta untuk tidak meminum obat
tertentu hingga tes dilakukan, tapi hanya jika obat tersebut akan mempengaruhi
hasil tes. Sampel puasa diambil tepat sebelum pasien diberi glukosa oral (75 g
glukosa oral dalam sekitar 300 mL air), larutan glukosa tersebut harus diminum
dalam waktu sekitar 5 meni. Pasien harus relatif tidak aktif dan tidak merokok
selama tes. Sampel darah lanjutan kemudian akan diambil pada interval reguler
30/60 menit atau tes tunggal setelah dua jam. Tes dapat dilakukan hingga 3 jam.
b. Penilaian hasil TTGO
Normal IGT Diabetes
Sampel puasa < 6 mmol/L 6.0-7.0 mmol/L > 7 mmol/L
7.9-11.0
m
m
2-h PG < 7.8 mmol/L > 11.0 mmol/L
o
l/
L

Jika berada pada rentang toleransi glukosa terganggu, pasien akan


dianjurkan untuk mengubah pola hidup. Pada beberapa kasus, pengobatan untuk
menurunkan glukosa darah akan disarankan. Jika sudah pada rentang diabetes,
pengobatan kadar glukosa dalam darah akan diresepkan untuk membantu agar
kadar gula darah dalam tubuh pasien tetap stabil.

4.5 Pemeriksaan HbA1c


Komponen utama hemoglobin adalah hemoglobin A, yaitu 90% dari total
komponen hemoglobin. Komponen minor hemoglobin adalah hemoglobin A2 dan
F, yang merupakan hasil rantai gen hemoglobin yang berbeda: δ dan Υ.
Komponen minor lainnya adalah modifikasi post-translasional hemoglobin A.
Hemoglobin A1c merupakan komponen minor paling besar dari sel darah
manusia, normalnya 4% dari total hemoglobin A.
Hemoglobin A1 (HbA1C) adalah derivat adult hemoglobin (HbA), dengan
penambahan monosakarida (fruktosa atau glukosa). Hemoglobin A1c adalah

34
subtipe utama, merupakan fraksi terpenting dan terbanyak yaitu sekitar 4-5% dari
total hemoglobin dan paling banyak diteliti di antara tiga jenis HbA1 (HbA1a,b
dan c). Hemoglobin A1c merupakan ikatan antara hemoglobin dengan glukosa,
sedangkan fraksi-fraksi lain merupakan ikatan antara hemoglobin dan heksosa
lain. Struktur molekuler HbA1c adalah N-(1-doxy)- fructosyl-hemoglobin atau N-
(1-deoxyfructose- 1-yl) hemoglobin beta chain. Hemoglobin A1c adalah glukosa
stabil yang terikat pada gugus N-terminal pada rantai HbA0, membentuk suatu
modifi kasi post translasi sehingga glukosa bersatu dengan kelompok amino bebas
pada residu valin N-terminal rantai β hemoglobin. Glikasi juga dapat terjadi pada
residu lisin tertentu dari hemoglobin rantai α dan β; glikohemoglobin total atau
total hemoglobin terglikasi yang dapat diukur, dikenal dengan nama HbA1c.
Glikasi hemoglobin tidak dikatalisis oleh enzim, tetapi melalui reaksi kimia akibat
paparan glukosa yang beredar dalam darah terhadap sel darah merah. Laju sintesis
HbA1c merupakan fungsi konsentrasi glukosa yang terikat pada eritrosit, selama
pemaparan. Konsentrasi HbA1c tergantung pada konsentrasi glukosa darah dan
usia eritrosit.
Kadar HbA1c normal adalah 3,5%-5%. Kadar rata-rata glukosa darah 30
hari sebelumnya merupakan kontributor utama HbA1c. Kontribusi bulanan rata-
rata glukosa darah terhadap HbA1c adalah: 50% dari 30 hari terakhir, 25% dari
30-60 hari sebelumnya dan 25% dari 60-120 hari sebelumnya. Hubungan
langsung antara HbA1c dan ratarata glukosa darah terjadi karena eritrosit terus
menerus terglikasi selama 120 hari masa hidupnya dan laju pembentukan
glikohemoglobin setara dengan konsentrasi glukosa darah.
Pengukuran HbA1c penting untuk kontrol jangka panjang status glikemi
pada pasien diabetes. Hubungan antara A1c dan glukosa plasma adalah kompleks.
Kadar HbA1c lebih tinggi didapatkan pada individu yang memiliki kadar glukosa
darah tinggi sejak lama, seperti pada diabetes mellitus. Banyak penelitian
menunjukkan bahwa A1C adalah indeks ratarata kadar glukosa selama beberapa
minggu sampai bulan sebelumnya.
Hemoglobin HbA1c telah digunakan secara luas sebagai indikator kontrol
glikemik, karena mencerminkan konsentrasi glukosa darah 1-2 bulan sebelum
pemeriksaan dan tidak dipengaruhi oleh diet sebelum pengambilan sampel darah.

35
Hemoglobin A1c merupakan alat pemantauan yang penting dalam
penatalaksanaan pasien dengan diabetes melitus. Kontrol glikemik pada pasien
diabetes tipe 2 secara skematik dapat digambarkan sebagai ‘triad glukosa’, dengan
komponen A1C, kadar glukosa puasa, dan kadar glukosa postprandial.
Tes HbA1C dapat dilakukan dengan mengambil darah dari jari tetapi sering
diambil dari sampel darah yang diambil dari lengan pasien. Konsentrasi HbA 1C
dinyatakan sebagai persentase dari konsentrasi hemoglobin total; HbA1C 7% atau
kurang menunjukkan kontrol glikemia baik. HbA1C digunakan secara luas dalam
klinik dan perawatan primer diabetes untuk melengkapi informasi dari satu atau
bahkan satu seri pengukuran glukosa darah. Hasil palsu terkadang diperoleh pada
pasien dengan struktur hemoglobin abnormal bawaan (hemoglobinopati).

Kriteria diagnosis diabetes ≥6.5% (48 mmol/mol)


Beresiko diabetes (prediabetes) 5.7–6.4%
Nilai normal HBA1c <6,5 %

Kelebihan penentuan HBA1C adalah terstandardisasi sesuai


DCCT/UKPDS; sedangkan pengukuran glukosa kurang terstandar; Memiliki
indeks paparan glukosa keseluruhan yang lebih baik dan dapat menilai komplikasi
jangka panjang; Relatif tidak terpengaruh oleh keadaan akut (misalnya stres atau
penyakit yang terkait); Dapat digunakan untuk petunjuk terapi dan penyesuaian
terapi; Dapat dilakukan kapan saja dan tidak membutuhkan puasa atau tes khusus;
Tidak atau kurang dipengaruhi oleh obatobat yang mempengaruhi metabolisme
glukosa; Satu jenis pemeriksaan yang dapat digunakan untuk diagnosis dan
penilaian kontrol glikemik. Kekurangan penentuan HBA1C adalah Pada beberapa
keadaan, HbA1c tidak dapat mencerminkan kontrol glukosa darah. Hal ini penting
diketahui karena dapat menyebabkan under- atau over treatment.
HbA1c mmol/mol %
Normal < 42 mmol/mol < 6,0%
Prediabetes 42 – 47 mmol/mol 6,0 – 6,4%
Diabetes > 48 mmol/mol > 6,5%

mmol/mol Rata-rata glukosa darah mmol/L


119 18 mmol/L

36
108 17 mmol/L
97 15 mmol/L
86 13 mmol/L
75 12 mmol/L
64 10 mmol/L
53 8 mmol/L
42 7 mmol/L
31 5 mmol/L

Faktor yang mempengaruhi penentuan HBA1C adalah sebagai berikut:


Eritropoiesis Peningkatan HBA1c : defisiensi vitamin b12,
penurunan Eritropoiesis
Penurunan HBA1c: penggunaan eritropoietin,
besi, vitamin b12, penyakit hati
kronis
Gangguan hemoglobin haemoglobinopathies, HbF, methaemoglobin
dapat meningkatkan atau
menurunkanHbA1c.
Glikasi Peingkatan HBA1c : alkoholik, gagal ginjal
kronik, penurunan pH intraeritrosit
Penurunan HBA1c : aspirin, vitamin C dan E,
peningkatan pH intraeritrosit
Kerusakan eritrosit Peningkatan HBA1c : peningkatan umur eritrosit:
splenektomi
Penurunan HBA1c : penurunan umur eritrosit:
haemoglobinopathies,
splenomegaly, rheumatoid arthritis
atau obat yaitu anti
retroviral,ribavirin and dapsone.
Assay Peningkatan HBA1c : hiperbilirubinaemia,
alkoholik, aspirin dosis tinggi, penggunaan opium
kronik.
Penurunan HBA1c : hipertriglyceridaemia

37
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
a. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma
puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam
<140 mg/dl;
b. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2
-jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100
mg/dl
c. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

BAB 5
TERAPI DIABETES MELITUS

Penatalaksanaan Penyakit Diabetes Mellitus


5.1 Terapi Farmakologi

Tujuan Terapi pada penderita Diabetes nonpreganansi

a. Tujuan Terapi (Dipiro 9th)

1. Memperbaiki gejala

38
2. Menurunkan resiko komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular

3. Menurunkan mortilitas

4. Memperbaiki kualitas hidup

b. Target kadar gikemik

Biochemical Index ADA ACE and AACE


HbA1C <7% (<0.07) <6.5% (<0.065)
Preprandial Plasma Glucose 7—130 mg/dL <110 mg/dL
(3.9 – 7.2 mmol/L) (<6.1 mmol/L)
Postprandial Plasma Glucose < 180 mg/dL <140 mg/dL
(<10 mmol/L) (7.8 m
mo
l/L
)
c. Target kadar nonglikemik (ACCP, 2013)

1. Tekanan darah kurang darri 140/80 mmHg ; 140/90 mmHg (JNC 8)

2. LDL-C < 100 mg/dL; kurang dari 70 mg/dL pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular

3. Trigliserida < 150 mg/Dl

5.2 Famakoterapi pada Diabetes Mellitus Tipe 1

Pada penderita diabetes tipe 1 pengobatan yang dilakukan yaitu dengan


insulin. Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Pada
DM Tipe I, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak
lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe I
harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolism karbohidrat di
dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Pada prinsipnya, sekresi insulin
dikendalikan oleh tubuh untuk menstabilkan kadar gula darah.
Seperti telah diketahui, pada pasien DM terjadi gangguan sekresi insulin
basal dan prandial untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas
normal baik pada keadaan puasa maupun setelah makan. Dengan mengetahui

39
mekanisme tersebut, maka telah dipahami bahwa hakikat pengobatan DM adalah
menurunkan kadar glukosa darah baik puasa maupun setelah makan. Dalam
rangka mencapai sasaran pengobatan yang baik, maka diperlukan insulin dengan
karkateristik menyerupai orang sehat, yaitu kadar insulin yang sesuai dengan
kebutuhan basal dan prandial. Pemberian insulin basal, selain insulin prandial,
merupakan salah satu strategi pnegobatan untuk memperbaiki kadar glukosa darah
puasa atau sebelum makan. Oleh karena glukosa darah setelah makan merupakan
keadaan yang dipengaruhi oleh kadar glukosa darah puasa, maka diharapkan
kadar glukosa basal juga ikut turun. Algoritma Terapi DM tipe 1:

Idealnya, sesuai dengan keadaan fisiologis tubuh, terapi insulin diberikan


sekali untuk kebutuhan basal dan tiga kali dengan insulin prandial untuk
kebutuhan setelah makan. Namun demikian, terapi insulin yang diberikan dapat
bervariasi sesuai dengan kenyamanan penderita selama terapi insulin mendekati
kebutuhan fisiologis. Rejimen injeksi harian multipel ini diterapkan untuk
penderita dengan DMT1. Walaupun banyak cara yang dapat dianjurkan, namun
prinsip dasarnya adalah sama; yaitu insulin prandial dikombinasikan dengan insuli
basal dalam usaha untuk menirukan sekresi insulin fisiologis. Berbagai macam
regimen terapi insulin yang diberikan dengan suntikan multiple dapat dilihat
berikut:
Table berbagai regimen suntikan insulin:

40
5.2.1 Insulin

a. Mekanisme kerja
Insulin dalam memberikan efeknya harus berikatan dengan reseptor
insulin. Reseptor insulin memiliki struktur heterotetramer yang terdiri dari
subunit glikoprotein 2 α dan 2 β, yang dihubungkan dengan ikatan disulfide
dan berlokasi di membrane sel. Gen yang mengkode reseptor insulin terletak
pada lengan pendek dari kromosom 19. Insulin berikatan dengan subunit α
ekstraseluler, yang mengakibatkan perubahan bentuk sehingga
mengakibatkan ikatan ATP pada komponen intraseluler dari subunit β.
Ikatan ATP akan memicu fosforilasi dari subunit β melalui enzim tyrosine
kinase. Fosforilasi tyrosine pada substrat intraseluler ini disebut sebagai
(IRS). IRS dapat mengikat molekul-molekul sinyal yang lain, yang dapat
mengaktivasi insulin (Wilcox, 2005).
Terdapat 4 jenis protein IRS. IRS 1 merupakan IRS terbesar di otot
rangka. IRS 2 merupakan IRS penting di liver, yang berfungsi dalam
aktivitas perifer dari insulin dan pertumbuhan dari sel β pancreas. IRS 3
ditemukan hanya pada jaringan adipose, sel β, dan liver. Sedangkan IRS 4
ditemukan di timus, otak dan ginjal. IRS yang telah terfosforilasi akan
mengikat src-homology-2 domain protein (SH2) yang spesifik, yang
meliputi enzim penting seperti phosphatidylinositol-3-kinase (PI 3-kinase)
dan phosphotyrosine phosphatase SHPTP2 (atau Syp), dan protein lain yang
bukan enzim tapi dapat menghubungkan IRS-1 dengan system sinyal
intraseluler yang lain (Grb2 yang menghubungkan dengan jalur RAS (rat
sarcoma protein)) (Wilcox, 2005).

41
Struktur Insulin

PI 3-kinase akan mengakibatkan translokasi dari protein glukosa


transporter, glikogen, lipid dan sintesis protein, anti-lipolisis, serta mengatur
glukoneogenesis di liver. PI 3-kinase bekerja melalui kinase serine dan
threonine seperti Akt/protein kinase B (PKB), protein kinase C (PKC) dan
PI dependent protein kinases1& 2 (PIPD 1&2) (Wilcox, 2005).
Membrane sel yang berstruktur bilayer lipid akan menyebabkan sifat
impermeable pada molekul karbohidrat. Oleh karena itu, dibutuhkan system
transport untuk mengangkut glukosa. Glukosa dapat masuk ke dalam sel
melalui facilitated diffusion yang membutuhkan ATP, yakni melalui Glukosa
Transporter (GLUT). Terdapat 5 subtipe dari GLUT berdasarkan spesifisitas
terhadap substrat, profil kinetk, dan distribusinya pada jaringan. Sebagai
contoh, sel otak memiliki GLUT 1 sehingga sel tersebut mapu memasukkan
glukosa ke dalam sel dalam konsentrasi yang rendah di darah tanpa
membutuhkan insulin. Sementara itu GLUT 4 pada sel adipose dan sel otot
membutuhkan insulin dan konsentrasi glukosa yang tinggi. PI 3-kinase
merupakan protein yang penting dalam translokasi GLUT 4 ke membrane
sel pada sel otot dan adipose (Wilcox, 2005).

42
Mekanisme Kerja Insulin

b. Kategori insulin berdasarkan durasi terapi setelah injeksi:

Untuk terapi, ada berbagai jenis sediaan insulin yang tersedia, yang
terutama berbeda dalam hal mula kerja (onset) dan masa kerjanya (durasi).
Sediaan insulin untuk terapi dapat digolongkan menjadi 5 kelompok, yaitu:
1) Insulin Kerja Cepat (Rapid-acting)
Insulin kerja cepat yaitu lispro, aspart, dan glulisin. Ketiga zat aktif
ini merupakan analog dari regular insulin disuntikkan secara subkutan
yang diabsorbsi lebih cepat, mencapai konsentrasi puncak (Cmax) yang
lebih cepat, dan durasi lebih singkat dibandingkan dengan regular insulin.
Pengunaan insulin kerja pendek lebih nyaman digunakan karena pasien
dapat mengonsumsi makanan setelah 10 menit penyuntikkan insulin ke
dalam tubuh (dibandingkan 30 menit). Diberikan secara subkutan (sc),
dapat juga diberikan secara intravena (iv). Membantu pasien yang mudah
mengalami hipoglikemia sebelum makan siang dan yang lambat makan
malam dan yang mudah mengalami hipoglikemia nokturnal.
2) Insulin Kerja Singkat (Short-acting)
Insulin Regular adalah kristal insulin yang tidak dimodifikasi yang
biasanya disebut sebagai insulin alami. Merupakan larutan jernih dengan
waktu onset yang cepat dan durasi kerja yang pendek. Regular insulin ini
diberikan 30-45 menit sebelum makan untuk mencapai glukosa
preprandial yang optimal, dan mencegah hipoglikemia setelah makan.

43
Penyerapan regular insulin berlanjut setelah masa postprandial
menyebabkan level insulin dalam darah terus meningkat yang dapat
menyebabkan hipoglikemia 3-5 jam setelah injeksi. Dosis insulin harus
disesuaikan untuk mengoptimasi kadar glukosa dalam darah 3-5 jam
setelah penginjeksian. Dapat diberikan secara injeksi atau infus intravena
(iv), injeksi intramuskular (im), atau injeksi subkutan (sc).
3) Insulin Kerja Mengenah (Intermediate-acting)
Insulin ini mempunyai masa kerja sedang dan mula kerja yang
cepat. Insulin jenis ini dapat digunakan dua kali sehari, dan dapat
digunakan untuk anak yang telah mempunyai pola hidup lebih teratur
untuk menghindari terjadinya hipoglikemia. Biasa digunakan pada pagi
hari atau sebelum tidur malam atau pagi hari dan sebelum tidur malam.
Diberikan secara subkutan (sc).
Insulin golongan ini dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
a) Insulin Isophane (NPH/Neutral Protamine Hagedorn) yaitu kombinasi
insulin suspensi dari zinc kristalin dengan protamin (polipeptida).
Insulin dengan protamin akan memperlambat awal kerja (onset) dan
memperpanjang lama kerja. Biasanya dikombinasikan dengan insulin
kerja singkat (soluble), insulin kerja cepat (Aspart, Lispro, Glulisine).
b) Insulin Lente merupakan endapan amorf insulin dengan ion zinc yang
dikombinasikan dengan 70% insulin ultralente (insulin suspensi zinc
yang membentuk partikel-partikel besar sehingga larut secara
perlahan, memperlambat awal kerja dan memperpanjang lama kerja).
Memiliki awal kerja yang lebih lambat dan lama kerja yang lebih
panjang.
4) Insulin Kerja Panjang (Long-acting)
Insulin jenis ini umumnya tidak memberikan puncak spektrum
pada serum sehingga dapat diberikan tanpa memerhatikan waktu adanya
makanan. Biasa Digunakan pada pagi hari atau sebelum tidur malam.
Diberikan secara subkutan (sc). Insulin jenis ini diantaranya ialah Insulin
Ultralente, Detemir, Glargine, dan Degludec.

5) Insulin Kombinasi
Merupakan kombinasi insulin yang dapat mengontrol gula darah
saat makan dan insulin yang dapat mengontrol gula darah selain saat

44
makan. Dari sediaan yang ada sering dibuat campuran dengan tujuan
memperoleh sediaan yang mula kerja cepat dan masa kerja panjang.
Campuran tersebut dapat dibuat sesuai IU dengan kemauan kita dan
keadaan penderita, tetapi sediaan campuran tersebut tidak stabil dalam
larutan sehingga pembuatannya harus dilakukan sesaat sebelum
penggunaannya.

c. Tempat Suntikan Insulin


Cara Pemberian Sediaan insulin saat ini tersedia dalam bentuk obat
suntik yang umumnya dikemas dalam bentuk vial. Kecuali dinyatakan lain,
penyuntikan dilakukan subkutan (di bawah kulit). Lokasi penyuntikan yang
disarankan ditunjukan pada gambar disamping ini.

Penyerapan insulin dipengaruhi oleh beberapa hal. Penyerapan paling


cepat terjadi di daerah abdomen, diikuti oleh daerah lengan, paha bagian

45
atas dan bokong. Bila disuntikkan secara intramuskular dalam, maka
penyerapan akan terjadi lebih cepat, dan masa`kerjanya menjadi lebih
singkat. Kegiatan fisik yang dilakukan segera setelah penyuntikan akan
mempercepat waktu mula kerja (onset) dan juga mempersingkat masa kerja.
Selain dalam bentuk obat suntik, saat ini juga tersedia insulin dalam bentuk
pompa (insulin pump) atau jet injector, sebuah alat yang akan
menyemprotkan larutan insulin ke dalam kulit. Sediaan insulin untuk
disuntikkan atau ditransfusikan langsung ke dalam vena juga tersedia untuk
penggunaan di klinik. Penelitian untuk menemukan bentuk baru sediaan
insulin yang lebih mudah diaplikasikan saat ini sedang giat dilakukan.
Diharapkan suatu saat nanti dapat ditemukan sediaan insulin per oral atau
per nasal.

d. Kontraindikasi
1. Pasien yang rentan mengalami kondisi hipoglikemia
a) Tingginya sensitivitas pasien terhadap insulin, misalnya insufisiensi
adrenal atau pituitari;
b) Tidak tepatnya waktu makan dengan waktu tercapainya kadar puncak
insulin;
c) Kerja fisik yang berlebihan.
2. Pasien hipersensitivitas
a) Ada bekuan atau terjadi denaturasi pada sediaan insulin;
b) Adanya kontaminan pada sediaan insulin;
c) Pasien sensitif terhadap senyawa yang ditambahkan pada proses
formulasi sediaan insulin, misalnya Zn2+, protamin, fenol, dll;
d) Reaksi alergi lokal pada kulit karena IgE atau resistensi akibat
timbulnya antibodi IgG. Bila terjadi dilakukan pemeriksaan kadar
antibodi insulin-specific IgG atau IgE untuk mengetahui penyebab
reaksi yang terjadi. Reaksi alergi kulit yang terjadi dapat diatasi
dengan antihistamin atau glukokortikoid.

e. Efek Samping
1. Hipoglikemia
a) Hipoglikemia lebih sering terjadi pada pasien dengan terapi insulin
yang intensif dibandingkan yang dosis regimennya kurang intensif;

46
b) Pasien dengan DM tipe 1 lebih cenderung sering terjadi hipoglikemia
dibandingkan dengan pasien DM tipe 2;
Solusi : Diberikan edukasi tentang tanda-tanda (takikardi, tremor,
berkeringat) atau gejala hipoglikemia (lebih sering terjadi
neuroglikopenik seperti kebingungan, agitasi, kehilangan kesadaran,
dan/atau berlanjut ke keadaan koma), cara penanggulangan
hipoglikemia yang tepat, dan pemantauan kadar gula darah.
2. Kenaikan berat badan
Kenaikan berat badan dikarenakan penambahan lemak yang berhubungan
dengan dosis harian dan kadar insulin plasma.
a) Kenaikan berat badan tidak dikehendaki pada sebagian besar populasi
DM tipe 2, tetapi dapat merupakan sebuah keuntungan bagi pasien
yang DM tipe 1 yang kurus;
b) Kenaikan berat badan berhubungan dengan terapi intensif insulin dan
bisa diminimalisasi dengan penggantian fisiologis insulin.
Solusi : Berolahraga secara teratur
3. Lipodistrofi : Lipohipertrofi dan Lipoatrofi
a) Lipohipertrofi, terjadi pertumbuhan jaringan lemak yang berlebih
akibat pengaruh lipogenik dan growth-promoting dari kadar insulin
yang tinggi di daerah penyuntikan.
b) Lipoatrofi, terjadi kehilangan lemak (penghancuran jaringan lemak) di
bawah permukaan kulit daerah penyuntikan akibat antibodi insulin
atau reaksi alergi.

Lipohipertrofi Lipoatrofi
Solusi: Penyuntikan dilakukan di daerah yang berbeda dari sebelumnya.

f. Dosis dan Pemakaian

47
a. Pada pasien DM tipe 1: rata-rata kebutuhan insulin harian adalah 0,5 –
0,6 unit/kg BB per hari. Selama honeymoon phase, dosis ini bisa
menurun hingga 0,1 – 0,4 unit/kg BB per hari.
b. Selama penyakit akut atau adanya ketosis atau keadaan relatif resisten
insulin : dibutuhkan dosis yang lebih tinggi adalah 0,5 – 1 unit/kg BB per
hari.
c. Pada pasien DM tipe 2: dibutuhkan dosis yang lebih tinggi (0,7 – 2,5
unit/kg BB per hari) untuk pasien dengan resistensi insulin yang
signifikan. Dosis sangat bervariasi tergantung reistensi insulin dan insulin
oral yang diberikan bersama.

g. Sediaan Insulin yang beredar

48
49
h. Bentuk Sediaan Insulin
Ada berbagai cara untuk menyuntikkan insulin disesuaikan dengan
bentuk sediaan insulin. Beberapa penderita sering menggunakan syringe dan
needle.terdapat perangkat lain yang dapat digunakan seperti pena insulin, jet
injector, atau pompa

1. Syringe dan needle Insulin

Digunkan untuk menyuntikkan insulin di bawah kulit. Jarum insulin


terdapat berbagai ukuran. Sebagian besar jarum memiliki lapisan khusus
untuk membantu melewati kulit untuk mengurangi rasa sakit.
Cara Menggunakan Suntikan Insulin:

2. Pena insulin

Perangkat yang terlhat seperti pena dengan jarum pendek halus di


ujungnya. Pena ini berisi insulin untuk beberapa suntikan. Terdapat
beberapa pena yang reusable yang dapat diganti dengan insulin ketika
sudah kosong. Terdapat juga yang hanya sekali pakai. Letakkan jarum

50
baru di ujung pena setiap kali akan menyuntikkan diri. Jarum pena
terdapat berbagai panjangnya (antara 4mm-12mm) dan alat
pengukur/gauge (semakin tinggi gauge, semakin tipis jarumnya).
Pastikan anda menggunakan jenis insulin dan jarum untuk pena Anda.
Jangan berbagi pena insulin atau cartridge dengan yang lain.Orang yang
lebih berat sebaiknya menggunakan jarum yang lebih panjang daripada
orang kurus. Jika orang kurus meggunakan jarum panjang, resiko terkena
jaringan otot, sebaliknya jika orang berat menggunakan jarum pendek
menyebabkan dosis tidak tepat. Mencubit kulit sebelum menyuntikkan
insulin membantu.
Langkah-langkah Penggunaan Insulin Pen:

Buka tutup pen Lepaskan kertas dari tutup Bersihkan pen dengan
yang alkohol
menahan
jarum

Pasang jarum Atur knob hingga 2 unit. Atur knob dosis kembali
Lalu tekan dengan
hingga memutar
angka 0. sesuai
Hal ini dengan
bertujuan dosis
untuk yang

51
menghilan dianjurka
gkan n.
gelembung

Pegang pen dengan ibu jari Swab tempat yang akan


Cubit permukaan yang
pada disuntik dengan alkohol
akan di
injection
suntik.
button
Lalu
suntikan
insulin
dengan
sudut 90o.
tekan
injection
button
hingga
semua
dosis
yang
diharapka
n. Lalu
pegang
jarum
tetap
ditempat
hingga 10
detik,
baru tarik
jarum
dari kulit.

52
Lepaskan needle dan buang
pada tempat
sampah
khusus
untuk
membuang
needle/jaru
m.

3. Jet Injektor

Insulin dengan jet injector ini mengunakan tekanan udara yang kuat
untuk menyemprotkan insulin melalui kulit. Injector insulin tidak
menggunakan jarum suntik.
4. Pompa insulin

Pompa insulin dipakai di bagian luar tubuh. Pompa terhubung ke tubuh


dengan tabung fleksibel yang memiliki ujung yang menempel di bawah
kulit. Cartridge dimasukkan ke dalam pompa. Insulin mengalir melalui
tabung ke dalam tubuh. Pompa mengendalikan berapa banyak insulin
yang dapat masuk ke dalam tubuh. Dengan pompa dapat memberik
insulin selama 24 jam.

g. Penyimpanan Sediaan Insulin (Depkes, 2005)


Insulin harus disimpan sesuai dengan anjuran produsen obat yang
bersangkutan. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Untuk Insulin yang belum dibuka:
a) Insulin harus disimpan di lemari es pada temperatur 2-8o C.
b) Jangan simpan insulin di dalam freezer higga membeku.
c) Buang insulin jika sudah masuk tanggal kadaluarsa
d) Hindarkan dari cahaya matahari langsung dalam penyimpanannya

53
e) Keluarkan insulin dari kulkas selama 1-2 jam agar sesuai suhu
tubuh, jika disuntikkan dalam keadaan dingin bisa membuat
suntikan terasa lebih menyakitkan.
2. Setelah dibuka:
a) Setelah penggunaan pertama, jangan disimpan dalam lemari es,
simpan pada suhu kamar saja
b) Setelah 28 hari, buang insulin yang telah dibuka
c) Jauhkan dari sinar matahari langsung
d) Jangan tinggalkan insulin di dalam mobil yang panas atau terkena
sinar matahari langsung atau did alam mobil hingga semalaman.
h. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Penyuntikan Insulin
a) Sebelum menyuntikkan insulin, kedua tangan dan daerah yang
akan disuntik haruslah bersih. Bersihkan dengan cairan alkohol
70% dengan menggunakan kapas bersih dan steril.

b) Untuk sediaan insulin dalam vial, tutup vial insulin harus diusap
dengan cairan alkohol 70%.

c) Ambillah sejumlah insulin yang akan diberikan. Lalu suntikkanlah


ke dalam vial melalui dinding vial untuk mencegah terjadi ruang
vakum dalam vial. Hal ini terutama diperlukan bila akan dipakai
campuran insulin.

d) Bila mencampur insulin kerja cepat dengan insulin lainnya, insulin


kerja cepat harus diambil terlebih dahulu.

e) Setelah insulin masuk ke dalam jarum suntik, periksa apakah


mengandung gelembung atau tidak. Satu atau dua ketukan pada alat
suntik dalam posisi tegak akan dapat mengurangi gelembung
tersebut.

f) Penyuntikan dilakukan pada jaringan bawah kulit (subkutan). Pada


umumnya suntikan dengan sudut 90o. Pada pasien kurus dan anak-
anak, kulit dijepit (dicubit) dan insulin disuntikkan dengan sudut
45o agar tidak terjadi penyuntikkan otot (intramuskular).

Hal yang perlu diperhatikan saat akan menyuntikkan insulin :

54
a) Bila kadar glukosa darah tinggi, sebaiknya disuntikkan di daerah
perut dimana penyerapan akan lebih cepat.
b) Namun bila kondisi kadar glukosa pada darah rendah, hindarilah
penyuntikkan pada daerah perut.
c) Secara urutan, area proses penyerapan paling cepat adalah dari
perut, lengan atas dan paha. Insulin akan lebih cepat diserap apabila
daerah suntikkan digerak-gerakkan.
d) Penyuntikkan insulin pada satu daerah yang sama dapat
mengurangi variasi penyerapan.
e) Penyuntikkan insulin selalu di daerah yang sama dapat merangsang
terjadinya perlemakan dan menyebabkan gangguan penyerapan
insulin. Daerah suntikkan sebaiknya berjarak 1 inci (+2,5 cm) dari
daerah sebelumnya.
f) Lakukanlah rotasi di dalam satu daerah selama satu minggu, lalu
baru pindah ke daerah yang lain.
g) Bila proses penyuntikkan terasa sakit atau mengalami perdarahan
setelah proses penyuntikkan, maka daerah tersebut sebaiknya
ditekan selama 5 – 8 detik.
h) Untuk mengurangi rasa sakit saat penyuntikan dapat melakukan :

1) Penyuntikan dengan suhu kamar (dianjurkan untuk


mengguling-gulingkan alat suntik di antara telapak tangan atau
menempatkan botol insulin pada suhu kamar, sebelum
disuntikkan)
2) Pastikan bahwa dalam alat suntik tidak terdapat gelembung
udara
3) Tunggulah sampai alkohol kering sebelum menyuntik
4) Usahakanlah agar otot daerah yang akan disuntik tidak tegang
5) Tusuklah kulit dengan cepat
6) Jangan merubah arah suntikkan selama penyuntikkan atau
mencabut suntikan
7) Jangan menggunakan jarum yang sudah tampak tumpul
(penggunaan jarum biasanya maksimal 2x penggunaan)

55
5.3 Famakoterapi pada Diabetes Mellitus Tipe 2
Pada penderita DM Tipe 2, terapi awal yang dilakukan yaitu dengan
merubah gaya hidup yang akan meminimalkan resistensi insulin dan resiko
cardiovascular. Dalam kasus dimana pasien memiliki kelebihan berat
badan/overweight (BMI 25-29,9) atau pada pasien obesitas (BMI > 30),
perubahan gaya hidup termasuk diet rendah kalori, rendah lemak, rendah
kolesterol, aktivitass fisik rutin, hentikan merokok. Obesitas sangat terkait dengan
resistensi insulin pada jaringan. Berdasarkan American Diabetes Association dan
Europe Association for the Study of Diabetes terapi awal untuk penderita diabetes
tipe 2 adalah dengan memulai terapi tunggal dengan metformin dan diiringi
dengan perubahan gaya hidup.
Metformin lebih disukai daripada agen lain karena penggunaannya yang
tidak menyebabkan peningkatan berat badan. Sebagai kontrol cek kadar HBA1c
dalam 3 bulan. Jika dalam 3 bulan, target glikemik belum tercapai, gunakan
metformin dengan kombinasi Sulfonylurea atau glitazone atau Gunakan insulin
basal (intermediate atau long acting: 10 unit/hari atau 0,2 unit/kg), titrasi 10-15%
atau 2-4 unit setiap satu atau dua minggu untuk mencapai target FPG. Namun
Jika dalam 3 bulan penggunaan kombinasi kadar HbA1c belum tercapai, gunakan
kombinasi 3 obat metformin dan insulin dengan intensive (tambahkan rapid acting
insulin injeksi ke dalam terapi insulin basal sebelum makan (0,1 U/kg), tingkatkan
dosis 1-2 unit setiap 1 atau 2 minggu) sesuai dengan algoritma di atas (Koda-
Kimble, 2009).

56
Algoritma Terapi DM Tipe 2 (Koda Kimble, 2009)

Pada penderita DMT2 rejimen seperti pada penderita DMT1 juga dapat
digunakan, namun karena pada penderita DMT2 tidak ditemukan kekurangan
insulin yang mutlak dan untuk meningkatkan kenyamanan penderita, pemberian
insulin dapat di modifikasi . Misalnya untuk penderita DMT2 masih bisa
menggunakan rejimen dua kali suntikan sehari dengan insulin
campuran/kombinasi yang diberikan sebelum makan pagi dan sebelum makan
malam. Atau hanya diberikan satu kali sehari dengan insulin basal yang di berikan
pada malam hari dengan kombinasi obat oral. Misalnya, metformin yang
diberikan sebagai tambahan terapi insulin dapat memperbaiki glukosa darah dan
lipid serum lebih baik dibandingkan hanya meningkatkan dosis insulin.
Demikian juga efek sampingnya seperti hipoglikemia dan penambahan berat
badan menjadi berkurang. Dalam praktik sehari-hari, sering ditemukan berbagai
keadaan atau variasi kadar glukosa darah puasa dan setelah makan . Sebagai
contoh ,ada pasien yang menunjukkan kadar glukosa darah puasa dan setelah
makan yang tinggi (“round-the clock” hyperglycemia), ada pasien yang kadar
glukosa darah puasanya tinggi tapi setelah makan baik, atau sebaliknya kadar
glukosa darah puasanya normal sedangkan setelah makan tinggi.

57
Terapi insulin sering dikombinasikan dengan obat antidiabetik oral pada
pasien DMT2 atau DMT1 yang memiliki resistensi insulin dengan kebutuhan
insulin > 40 U per harinya. Pada pasien dengan kegagalan sekunder sulfonilurea
dini, penambahan insulin sebelum tidur cukup untuk mencapai sasaran glikemik
yang diinginkan. Rejimen kombinasi antara insulin sebelum tidur dan obat
antidiabetik oral siang hari terbukti berhasil diterapkan pada banyak pasien
DMT2. Penggunaan metformin atau glitazon secara bersamaan dengan insulin
juga mem beri manfaat bagi pasien dengan resistensi insulin. Keuntungan
penggunaan metformin adalah dapat mengurangi peningkatan berat badan yang
sering ditemukan pada pasien yang mendapatkan terapi insulin. Kombinasi obat
metformin atau glitazon dengan insulin yang telah diberikan pada seorang pasien
diabetes melitus dapat menyederhanakan jadwal pemberian insulin. Penambahan
obat golongan inhibitor alfa-glukosidase juga dapat mengurangi jumlah suntikan
insulin per harinya.
Terapi DM tipe 2 dibedakan berdasarkan mekanisme kerja oabt itu sediri
terdiri dari golongan obat yang meningkatkan sekresi insulin (sulfonil urea,
meglitinid), goongan yang meningkatkan sensitifitas dari insulin (Thizolidindion,
biguanid), dan golongan lain (acarbose,alfa glukosidase).

5.3.1 Golongan Yang Meningkatkan Sekresi Insulin


a. Golongan Sulfonilurea
Sulfonilurea merupakan salah satu obat antidiabetik oral yang bekerja
menstimulasi sel β pankreas untuk mensekresi insulin atau disebut sebagai
insulin secretagogoes. Struktur umum sulfonilurea terdiri dari aril, sulfonil
dan urea (Tabel 1). Sulfonilurea dibagi menjadi dua generasi. Generasi
pertama terdiri dari tolbutamid, tolazamid, asetoheksamid, dan klopropamid.
Generasi kedua terdiri dari glibenklamid (gliburid), glimepirid, glipizid, dan
glikazid. Struktur masing-masing obat sulfonilurea dibedakan oleh
substitusi pada posisi para di cicin bezena dan satu residu nitrogen pada
gugus urea. Substitutsi pada sulfonilurea memberikan sifat lipofilik
sedangkan gugus -SO2NH-CO-NH- bersifat hidrofilik. Hal tersebut akan
membedakan potensi (ikatan obat reseptor), metabolism, durasi aksi, dan
rute eliminasi.

58
Struktur Sulfonilurea
Struktur umum

Generasi pertama R1 R2
Tolbutamid H3C- -C4H9
Klorpropamid Cl- C3H7-
Tolazamid H3C-
Asetoheksamid H3CCO-
Generasi kedua R1 R2
Glibenklamid (gliburid)

Glipizid

Glicazid
H3C-

 Mekanisme kerja

Sulfonilurea bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor SUR1 dan


memblok kanal kalium sensitif ATP. Hal ini menimbulkan depolarisasi membran
sehingga kanal kalsium terbuka. Dengan terbukanya kanal kalsium maka terjadi
influks kalsium yang meningkatkan ikatan Ca 2+ dengan calmodulin. Ikatan ini
menghasilkan aktivasi kinase yang berhubungan dengan granula sekretorik
endokrin sehingga merangsang eksositosis insulin dari granula sekretori (Katzung,
B.G., 2009).

59
 Farmakokinetik Sulfonilurea
Obat-obat golongan sulfonilurea hampir mempunyai aktivitas yang sama
walaupun masing-masing tetap mempunyai karakteristik farmakokinetik yang
khusus. Meskipun kecepatan absorbsi dari sulfonilurea bervariasi, namun
semuanya efektif di absorbsi di saluran gastrointestinal. Makanan dan
hiperglikemia dapat menurunkan absorbsi sulfonilurea. Oleh karena itu, umumnya
sulfonilurea lebih efektif ketika diberikan 30 menit sebelum makan. Sulfonilurea
terikat luas pada protein plasma (90-99%), khususnya albumin. Klorpropamid
merupakan obat yang paling sedikit terikat pada protein plasma sedangkan
gliburid adalah yang paling banyak terikat pada protein plasma. Farmakokinetik
generasi pertama sulfonilurea bervariasai tergantung waktu paruhnya dan lamanya
metabolisme. Asetoheksamid mempunyai waktu paruh yang pendek. Tolbutamid
dan tolazamid mempunyai waktu paruh 4-7 jam sehingga penting untuk meminum
obat ini dalam dosis terbagi. Klorpropamid mempunyai waktu paruh dan durasi
aktivitas hipoglikemik yang paling panjang, yaitu 24-48 jam.
Generasi kedua 100 kali lebih poten daripada generasi pertama. Meskipun
waktu paruhnya pendek (3-5 jam), efek hipoglikemiknya bertahan 12-24 jam dan
dapat diberikan satu kali sehari. Sebagian besar obat golongan sulfonilurea
dimetabolisme di hati dan dieksresi di urin. Metabolisme dari klorpropamid tidak
sempurna sehingga 20% obat dieksresi dalam bentuk yang tidak berubah. Oleh
karena itu penting untuk diperhatikan pada pasien dengan gangguan ginjal dan

60
hati. Perbedaan farmakokinetik dari masing-masing obat dapat dilihat pada tabel
2.
Glipizida merupakan generasi kedua yang mempunyai aktivitas
hipoglikemik sedang dengan waktu paruh 2-4 jam, tetapi mempunyai durasi aksi
12-24 jam. Pasien yang mendapat <20 mg/hari dapat diberikan dosis sekali dalam
sehari. Makanan akan menunda kecepatan absorbs tetapi tidak mengurangi
bioavailabilitasnya. Pasien dapat memakan dengan atau tanpa makanan. Glipizida
dimetabolisme oleh hati menjadi bentuk inaktif yang dieliminasi terutama oleh
ginjal. Tersedia juga sediaan tablet sustained release dari glipizida.
Gliburid atau glibenklamid generasi kedua yang mempunyai aktivitas
hipoglikemik lebih panjang dari glipizida. Waktu paruhnya 1,5-4 jam. Gliburida
dimetabolisme secara sempurna oleh hati menjadi metabolit aktif. Setengahnya
dieksresikan di ginjal dan sisanya dieksresi melalui saluran empedu.Glimepirid
merupakan generasi kedua yang mempunyai aktivitas hipoglikemia paling
panjang (long acting sulfonylurea). Waktu paruhnya 9 jam dan durasi aksinya 24
jam sehingga dapat diberikan sekali dalam sehari. Absorbsi glimepirid tidak
efektif dengan adanya makanan. Glimepiride dimetabolisme secara sempurna oleh
hati dan 30% dari metabolitnya mempunyai aktivitas seperti metabolit induknya.
Metabolitnya dikeluarkan melalui feses dan urin.
Obat T 1/2 Durasi aksi Bioavailabilitas, Keterangan
metabolism
e, dan
eksresi
Generasi pertama
Tolazamid Metabolitnya mempunyai Metabolit aktif dapat
aktivitas terakumulasi
sedang dan di ginjal
dieksresi
melalui
ginjal

61
Tolbutamid Dimetabolisme menjadi Tidak ada peringatan khusus
komponen
yang tidak
aktif
Generasi kedua
Glimepirid Dimetabolisme sempurna Relatif aman untuk pasien
oleh hati, dengan gagal
dieksresi ginjal.

oleh urin Dianjurkan

(60%) dan menggunakan

feses (40%). dosis


permulaan
yang paling
rendah untuk
untuk pasien
lanjut usia dan
pasien dengan
gangguan
ginjal. Insiden
timbulnya
hipoglikemia
lebih rendah
dibandingkan
dengan
sulfonilurea
long-acting
lainnya.
Glipizid Dimetabolisme menjadi Diminum 30 menit sebelum
komponen makan.
yang tidak
aktif

62
Gliburid Dimetabolisme menjadi Peringatan untuk pasien usia
( komponen lanjut dengan
g yang tidak gagal ginjal
l aktif, 50% dan
i dieksresi mempunyai
b melalui urin resiko
e dan 50% hipoglikemia.
n melalui Dosis> 10 mg harus
k feses. diberikan
l dalam dosis
a terbagi.
m
i
d
)

Farmakokinetik Obat Sulfonilurea

 Efek Samping

Efek samping yang paling sering muncul adalah hipoglikemik yang


umumnya terjadi pada penggunaan obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang.
Resiko terjadinya hipoglikemik ini meningkat pada pasien yang lanjut usia,
penderita dengan insufisiensi ginjal dan penyakit hati, orang yang melewatkan
makan, olahraga berlebih, atau kehilangan berat badan terlalu drastis. Peningkatan
berat badan juga umum terjadi pada penderita diabetes yang mengonsumsi
sulfonylurea, efek samping lainnya yaitu ruam kulit, anemia hemolitik, gangguan
gastrointestinal, dan kolestasis. Gangguan saluran cerna berupa mual, diare, sakit
perut, hipersekresi asam lambung dan sakit kepala. Hiponatremia paling sering
terjadi pada penggunaan klorpropamid dan pada penggunaan tolbutamid (Dipiro,
2015).
 Kontraindikasi dan peringatan

63
Penggunaan sulfonilurea dikontraindikasikan untuk keadaan-keadaan dibawah ini:
1. Diabetes tipe 1

2. Kehamilan atau menyusui, karena obat golongan sulfonylurea kecuali


gliburid dapat melewati plasenta dan dapat dieksresi melalui ASI.

3. Mempunyai riwayat hipersensitivitas sulfonylurea

4. Gangguan fungsi hepar dan ginjal yang berat

 Contoh Obat golongan Sulfonilurea

Beberapa obat golongan sulfonylurea yang beredar di Indonesia berikut dosis


dan cara penggunaannya (Pusat Informasi Obat Nasional. 2015):

64
Tabel waktu Penggunaan Obat Golongan Sulfonylurea
Obat Dosis dan Pemakaian
Klorpropamid dosis awal 250 mg sehari pada saat makan pagi (dosis lanjut
usia 100 - 125 mg, dosis maksimum 500 mg
sehari
0,5 - 1,5 mg (maksimal 2 g) sehari dalam dosis terbagi dengan
atau segera setelah makan pagi.
dosis awal 1 mg sehari; disesuaikan dengan respon pada tahap
pemberian interval 1 mg pada minggu 1-2,
diminum secepatnya sebelum atau suapan
pertama makan.
dosis awal 2,5 - 5 mg sehari; diminum secepatnya sebelum
makan pagi atau makan siang, dosis maksimum
20 mg/ hari
Glibenklamid dosis awal 5 mg 1 kali sehari; segera setelah makan pagi (dosis
lanjut usia 2.5 mg, dosis maksimum 15 mg
sehari)
dosis awal 15 mg sehari; sebelum makan pagi, disesuaikan
hingga 45-60 mg sehari dalam 2 atau 3 kali
dosis terbagi. Dosis maksimum pemberian
tunggal 60 mg, dosis maksimum 180 mg sehari.
dosis awal 40-80 mg 1 kali sehari; ditentukan berdasarkan
respon hingga 160 mg, diberikan bersama
sarapan, dosis lebih tinggi diberikan terbagi,
maksimal 240 mg/hari dalam 1-2 kali.

b. Golongan Nonsulfonilurea (Meglitinid)


Meglitinid merupakan obat oral insulin secretagogues, yaitu substansi
yang dapat meningkatkan sekresi insulin dari pankreas. Meglitinid bekerja
serupa dengan sulfonylurea, yaitu menurunkan kadar glukosa dengan
menstimulasi sekresi insulin. Sekresi insulin yang distimulasi oleh golongan
meglitinid ini membutuhkan kehadiran glukosa, ketika konsentrasi glukosa
darah sudah tergolong berkurang menuju normal, sekresi insulin distimulasi
umtuk berkurang. Hal ini bisa mengurangi potensi efek hipoglikemia yang

65
parah, sehingga bisa dikatakan golongan ini menghasilkan pelepasan insulin
fisiologis yang lebih baik dibandingkan dengan sulfonilurea durasi panjang.
Meglitinide memiliki 3 derivat, yaitu Repaglinide, Nateglinide, dan derivat
terbaru Mitiglinide. Obat golongan ini biasa digunakan untuk terapi
Diabetes Mellitus (DM) tipe 2 bagi pasien yang alergi terhadap golongan
Sulfonylurea (alergi sulfa).
 Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja dari obat golongan meglitinide ini mirip dengan obat
golongan sulfonilurea, yaitu sama-sama berinteraksi dengan situs ikatan
pada kanal K yang ada pada ATP-independent di sel β pankreas. Adanya
pengikatan tersebut, menyebabkan blokade pada kanal K dan terjadi
penumpukan K di membrane sel yang memicu terjadinya depolarisasi pada
membran sel yang mengarah pada pembukaan kanal Ca. Hal ini
menyebabkan meningkatnya jumlah Ca di dalam sel. Ca tersebut akan
mengikat kalmodulin yang menyebabkan kontraksi pada mikrofilamen dan
terjadinya eksitosis pada granul insulin yang kemudian menstimulasi
terjadinya sekresi insulin pada sel β pankreas.

 Farmakokinetik
Meglitinide awal kerjanya lebih cepat, yaitu setengah sampai satu jam
setelah penggunaan obat. Akan tetapi masa kerjanya (t1/2) juga lebih pendek,
yaitu antara satu sampai satu setengah jam. Hal ini sering diistilahkan
“faster on/faster off”. Karena masa kerjanya pendek, maka dapat

66
menurunkan resiko hipoglikemia yang sering muncul pada golongan
sulfonilurea. Tetapi frekuensi pemberian obat lebih sering dibandingkan
golongan sulfonilurea karena masa kerjanya pendek.

Farmakokinetik Repaglinid Nateglinid


Absorpsi Kurang lebih 1 jam 20 menit setelah
setelah diminum
diminum
T1/2 1 jam 1,5 jam
Durasi kerja 5-8 jam Kurang dari 4 jam
Metabolisme Dimetabolisme di hati Dimetabolisme di hati
oleh oleh
CYP3A4 CYP2C9
dan dan
CYP2C8 CYP3A4

Ekskresi Empedu Ginjal

Nateglinid dimetabolisme oleh CYP2C9 dan CYP3A4 menjadi


metabolit yang kurang aktif. Obat ini akan berkonjugasi dengan glukuronida
yang memungkinkan akan dieliminasi di ginjal dengan cepat. Sedangkan
repaglinid dimetabolisme terutama oleh CYP3A4 menjadi metabolit inaktif
yang selanjutnya dieksresikan dalam empedu.

 Pengguaan Dosis
Penggunaan dosis golongan meglitinid tertera pada tabel dibawah ini :

67
 Efek Samping

Hipoglikemia adalah efek samping utama dari penggunaan obat


golongan meglitinid. Namun efek hipoglikemia yang ditimbulkan jauh lebih
sedikit dibandingkan dengan sulfonilurea. Laju hipoglikemia nateglinid
lebih rendah dibandingkan repaglinid karena durasi kerja nateglinid lebih
singkat sehingga efek hipoglikemia yang dihasilkan juga lebih rendah
dibandingkan repaglinid. Sedangkan efek samping peningkatan berat badan
pada nateglinid lebih rendah karena durasi kerja nateglinid yang lebih
singkat sehingga efek hipoglikemia yang dihasilkan lebih rendah yang
menyebabkan efek rasa lapar juga lebih rendah dibandingkan dengan
repaglinid. Hal ini menyebabkan kenaikan berat badan pada nateglinid pun
lebih rendah dibandingkan dengan repaglinid. Selain kenaikan berat badan,
golongan ini juga dapat menyebabkan reaksi alergi. Reaksi alergi ini dipicu
oleh sensitivitas masing-masing orang yang berbeda terhadap suatu zat. Jika
immunoglobulin E atau IgE menganggap zat aktif obat tersebut sebagai
“protein musuh” maka akan menimbulkan reaksi alergi.
 Kontraindikasi
Obat golongan meglitinid dikontra indikasikan pada pasien yang
memiliki hipersentivitas pada golongan meglitinid dan diabetes
ketoasisdosis karena golongan meglitinid memiliki gugus kimia keton yang
akan memperparah kasus ketoasidosis pada pasien diabetes ketoasidosis.

68
Obat golongan meglitinid juga memiliki dikontra indikasikan pada pasien
diabetes melitus tipe 1 karena penggunaan obat insulin secretagogues tidak
akan menghasilkan efektif. Hal ini disebabkan karena sel β pankreas sudah
rusak sehingga hanya mampu memproduksi insulin dalam jumlah sedikit
atau bahkan tidak dapat memproduksi insulin sama sekali. Selain itu, obat
golongan meglitinid juga mempunyai kontraindikasi pada pasien gangguan
ginjal dan hati. Kontraindikasi pada pasien gangguan hati disebabkan karena
obat golongan meglitinid dimetabolisme di hati sehingga jika pasien
memiliki gangguan pada hati akan menyebabkan metabolisme obat
terganggu. Penggunaan obat meglitinid pada pasien gangguan ginjal akan
memperburuk kondisi penyakit karena pasien gangguan ginjal memiliki
resiko kegagalan dalam mengekskresikan obat atau metabolitnya sehingga
dapat menimbulkan toksisitas.

5.3.2 Insulin sensitizers


a. Tiazolidindion
Tiazolidindion disebut juga sebagai insulin sentitizers atau berfungsi
untuk meningkatkan sensitivitas insulin. Tiazolidindion merupakan Agonist
peroxisome proliferator activator receptor-γ (PPAR-γ ). (PPAR-γ )
merupakan reseptor yang terdapat pada beberapa jaringan yang sensitif
terhadap insulin, seperti : adiposa,otot rangka, dan hati. Stimulasi reseptor
ini dapat meningkatkan transkripsi GLUT-4, suatu transporter glukosa yang
merangsang glukosa uptake serta dapat meregulasi transkripsi gen yang
mempengaruhi metabolism glukosa dan lipid (Pastromas & Koulouris,
2006).
 Mekanisme Kerja
PPARγ pada kondisi normal dirangsang oleh insulin di inti sel dan
aktif bila membentuk kompleks PPARγ-RXR (retinoic x receptor) yang
terikat pada responsive DNA elements sehingga merangsang transkripsi
insulin-responsive genes dan membentuk GLUT baru ke membran sel di
organ perifer. Pada penderita diabetes melitus, insulin tidak tidak
merangsang aktivasi PPARγ sehingga tidak terjadi kompleks PPARγ yang
menyebabkan tidak terbentuknya GLUT baru. Obat golongan tiazolidindion

69
akan merangsang aktivasi PPARγ. Ikatan thiazolidindion dengan PPARγ
menyebabkan terjadinya perubahan konformasi dari PPARγ dan teraktifasi
dengan adanya suatu activator. Aktivasi PPARγ menyebabkan pembetukan
heterodimer dengan 9-cis-retinoic acid receptor (RXR) membentuk
kompleks PPARγ-RXR. Kompleks ini jika berikatan dengan sekuens DNA
spesifik sehingga dapat meregulasi transkripsi gen yang mempengaruhi
metabolism glukosa dan lipid dan serta menyebabkan terbentuknya GLUT
baru (Alldredge, Corelli, & Ernst, 2009).
Padas sel hati dan jaringan otot rangka, aktivasi PPARγ dapat
menyebabkan pembentukan GLUT baru secara langsung sehingga dapat
meningkatkan sensitifitas insulin. Pada jaringan adiposa, aktivasi PPARγ
dapat menghambat terjadinta lipolysis sehingga menurunkan kadar asam
lemak bebas dalam darah. Selain itu, aktivasi PPARγ pada jaringan adiposa
dapat menghambat sekresi hormon leptin dan adiponektin. Leptin adalah
hormon yang dapat meningkatkan metabolism lemak. Selain itu, aktivasi
PPARγ dapat menekan mediator antiinflamasi seperti TNF-α. Melalui
mekanisme inilah obat golongan thiazolidindion dapat menekan kadar
glukasa dalam darah (Pastromas & Koulouris, 2006).
 Contoh Obat Golongan Thiazolidindion
Terdapat 2 macam obat golongan thiazolidindion yang biasa
digunakan, yakni pioglitazone dan rosiglitazone. Pioglitazon dijual dengan
nama dagang actos dengan kekuatan 15 mg, sedangkan rosiglitazone dijual
dengan nama dagang Avandia dengan kekuatan 4 mg. Namun Rosiglitazon
telah ditarik dari peredaran karna efeknya hepatotoksik. Dilaporkan bahwa
penggunaan obat golongan thiazolidin dapat meningkatkan kadar ALT
(alanine amino transferase). Sehingga perlu pengontrolan terhadap kadar
ALT selama penggunaan obat ini (Dipiro, Robert, Gary, Gary, Barbara, &
Michael, 2008).

70
Gambar. Contoh sediaan obat golongan thiazolidindion

 Farmakokinetik
Pemberian oral pioglitazon dapat diabsorpsi baik dengan/tanpa
makanan, >99,9% berikatan dengan albumin. Obat ini memiliki waktu
paruh 3-7 jam dan dimetabolisme di hati oleh sitokrom P-450 dengan enzim
CYP2C8 dan CYP3A4. Eliminasi melalui feses dan cairan empedu (Dipiro,
Robert, Gary, Gary, Barbara, & Michael, 2008).
Rosiglitazon yang diberikan secara oral dapat diabsorpsi baik dengan
atau tanpa makana, >99.9% obat ini dapat berikatan dengan albumin. Obat
ini memiliki waktu paruh 3-4 jam dan dimetabolisme dihati oleh sitokrom
P-450 dengan enzim CYP2C8 dan CYP3A4. Eksresi melalui urin sebanyak
2/3 bagian, dan sisanya dieksresikan melalui feses (Dipiro, Robert, Gary,
Gary, Barbara, & Michael, 2008).
 Efek Samping
Tiazolidinedion dapat meningkatan berat badan, edema, menambah
volume plasma dan memperburuk gagal jantung kongestif. Peningkatan
berat bagan disebabkan karena meningkatnya penyimpanan glukosa dan
lipid pada otot rangka. Edema sering terjadi bersamaan dengan penggunaan
insulin (Dipiro, Robert, Gary, Gary, Barbara, & Michael, 2008).
 Dosis dan pemberian
Menurut Pharmaceutical care untuk penyakit diabetes, pioglitazone
digunakan sebagai obat tunggal. Pioglitazone dimulai dengan diberikan 15
mg atau 30 mg dan dapat ditingkatkan sampai 45 mg sekali sehari.
Maksimum dosis adalah 45 mg per hari. Sedangkan rosiglitazone, dimulai
dengan memberikan dosis awal 2-4 mg sehari dan dosis maksimum 8 mg
sehari. Pemberian rosiglitazone dengan dosis 4 mg 2 kali sehari dapat

71
mengurangi nilai HbA1c hingga 0,2-0,3% (Dipiro, Robert, Gary, Gary,
Barbara, & Michael, 2008).
b. Biguanida
Terdapat 3 obat yang termasuk golongan biguanida, yaitu: metformin,
phenformin, dan buformin. Phenformin dan buformin memiliki risiko
asidosis laktat yang lebih besar dibanding metformin. Metformin merupakan
obat yang paling aman. Metformin merupakan pengobatan lini pertama pada
pasien diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2), berdasarkan hasil studi
metformin konsisten dalam mengurangi tingkat HbA1c sebesar 1,5% hingga
2%.
 Farmakokinetik
Penyerapan oleh usus baik sekali dan obat ini dapat digunakan
bersamaan dengan insulin atau sulfonilurea. Metformin mencapai kadar
puncak dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi melalui urin dalam
keadaan utuh dengan waktu paruh 6 jam dan waktu paruh eliminasinya
adalah 17,6 jam. Metformin mempunyai bioavailabilitas oral sekitar 50-
60%, kelarutan rendah pada lemak & memiliki volume distribusi pada
cairan tubuh. Metformin tidak dimetabolisme dan tidak berikatan dengan
protein plasma. Metformin dieliminasi melalui sekresi tubular ginjal dan
filtrasi glomerular, secara farmakodinamik efek antihiperglikemia
metformin > 24 jam.
 Mekanisme Aksi Metformin
Golongan Biguanida ini mempunyai efek menurunkan kadar gula
darah yang meningkat pada penderita diabetes, tetapi tidak meningkatkan
sekresi insulin. Penurunan kadar gula darah ini disebabkan oleh peningkatan
asupan glukosa ke dalam otot, penurunan glukoneogenesis yang meningkat
dan penghambatan absorpsi glukosa intestinal.

72
Gambar. Mekanisme Aksi Metformin (Dipiro, Robert, Gary, Gary, Barbara, &
Michael, 2008).

Metformin bekerja pada sel hepatosit dan menghambat mitochondrial


respiratory chain. Metformin ditransportasi ke dalam hepatosit via OCT1
(Organic Cation Transporter), setelah masuk ke dalam hepatosit metformin
akan bekerja pada mitokondria dengan cara menginhibisi complex I yang
menyebabkan konversi NADH menjadi ATP terhambat sehingga konsentrasi
ATP dalam hepatosit menurun dan konsentrasi AMP meningkat. Konsentrasi
AMP yang meningkat kemudian akan menyebabkan terhambatnya enzim
fruktosa-1,6-bifosfatase yang berperan dalam mengkonversi fruktosa-1,6-
bifosfat menjadi fruktosa-6-fosfat pada jalur glukoneogenesis, selain itu
konsentrasi AMP yang meningkat juga akan menyebabkan supresi adenilat
siklase yang merupakan enzim yang berperan dalam mengkonversi ATP
menjadi cAMP, hal ini kemudian akan mengganggu proses cAMP-PKA
signaling yang pada akhirnya juga akan menghambat proses
gluconeogenesis. Inhibisi proses gluconeogenesis melalui dua mekanisme
tersebut menyebabkan produksi glukosa hepatik terhambat sehingga
membantu menurunkan kadar gula dalam darah. Selain menghambat jalur
gluconeogenesis metformin diduga juga memberikan efek pada jalur
glukogenolisis yaitu dengan mekanisme inhibisi aktivitas glukosa-6-
fosfatase yang bekerja pada jalur glukoneogenesis maupun glikogenolisis.

73
 Efek Samping
Metformin mempunyai efek gastrointestinal seperti mual, kembung,
diare pada sekitar 30% pasien, anoreksia dan perasaan kenyang
menyebabkan terjadinya penurunan berat badan. Efek samping ini dapat
diatasi dengan pemberian obat secara titrasi lambat. Efek samping ini
biasanya terjadi selama beberapa minggu. Jika terjadi efek samping pastikan
pasien minum metformin dengan makanan atau setelah makan dan kurangi
dosis hingga efek samping gastrointestinal ini tidak terjadi. Peningkatan
dosis dapat dilakukan dalam beberapa minggu. Terapi metformin jarang
terjadi asidosis laktat (3 kasus per 100.000 pasien tiap tahun). Metformin
digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, jika diketahui kadar
serum kreatinin yaitu 1,4 mg/dl pada wanita dan 1.5 mg/dl pada pria maka
metformin dikontraindikasikan. Metformin tidak boleh diberikan pada
pasien lanjut usia yang telah mengalami penurunan masa otot, dimana
jumlah rata-rata filtrasi glomerular kreatinin urin selama 24 jam kurang dari
70-80 ml/menit.
 Dosis
Dosis awal metformin adalah 2 x 500 mg, umumnya dosis
pemeliharaan (maintenance dose) adalah 3x500 mg dan dosis maksimalnya
adalah 2,5 gram.
c. Dipeptidyl Peptidase IV Inhibitor (DPP-IV Inhibitor)
Pada usus, terdapat enzim dipeptidyl 4 peptidase yang dapat
menginaktifkan hormone incretin (GLP-1 dan GIP) dengan cara
memutuskan 2 terminal N dari asam amino penyusun hormone tersebut.
Inaktivasi ini membuat masa aktif dari hormone incretin melambat ( <10
menit). Mekanisme dari dipeptidyl peptidase 14 inhibitor adalah
menghambat kerja enzim dipeptidyl peptidase 4 yang dapat meng inaktifasi
dari GLP1(glucagon-like peptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulin-
releasing peptide).

74
 Efek Samping
Sakit kepala, pusing, gangguan pencernaan (sembelit, muntah), edema
perifer, infeksi saluran prnafasan atas, nasopharyngitis, gagal ginjal akut,
hipoglikemia, arthralgia, mialgia, nyeri punggung.

5.3.3 Golongan Lain


Inhibitor Alpha-Glukosidase
Obat-obat golongan alfa glukosidase inhibitor dapat digunakan
sebagai pengobatan lini pertama bagi pasien yang baru didiagnosa diabetes
tipe 2 yang tidak berhasil diterapi hanya dengan merubah pola makan dan
beraktivitas. Alfa glukosidase inhibitor dapat dikombinasi dengan obat
antidiabetes oral lain dan insulin apabila penggunaan tunggal tidak berhasil
mencapai target HbA1c dan kadar glukosa darah setelah makan (Mogensen,
2007). Akarbose, miglitol dan voglibose merupakan pseudokarbohidrat
yang memiliki mekanisme aksi dengan menghambat enzim alfa glukosidase
pada mikrovili usus halus. Akarbose merupakan obat golongan alfa
glukosidase inhibitor yang paling sering digunakan (Derosa & Maffioli,
2012).
 Mekanisme
Enzim alfa glukosidase terdapat pada seluruh mikrovili di usus. Enzim
ini berperan dalam pemecahan karbohidrat kompleks menjadi glukosa yang
dapat diabsorbsi. Penggunaan obat golongan alfa glukosidase inhibitor akan
menghambat kerja glukosa dalam memecah karbohidrat kompleks menjadi
glukosa sehingga absorbsi glukosa pada usus halus menjadi terhambat.
Sehingga dapat menurunkan konsentrasi glukosa darah sehabis makan
(Wells, DiPiro, Schwinghammer, & DiPiro, 2015; Chisholm-Burns, et al,

75
2008). Obat golongan α-glukosidase inhibitor tidak menyebabkan terjadinya
hipoglikemia karena tidak menstimulasi pelepasan insulin.
 Farmakokinetik
Akarbose dimetabolisme oleh enzim pencernaan dan mikroba pada
saluran cerna. Sekitar 35% diabsorbsi dalam bentuk metabolit. Akarbose
diekskeriskan melalui urin dan feses. Miglitol diabsorbsi seluruhnya pada
dosis 25 mg tetapi hanya 50-70% yang diabsorbsi pada dosis 100 mg.
Miglitol tidak mengalami metabolisme dan diekskresikan melalui urin
dalam bentuk tidak berubah (Parfitt & Martindale, 1999).
 Efikasi
Penggunaan α-glukosidase inhibitor dapat menurunkan kadar A¬1C
penderita diabetes rata-rata sebesar 0,3% – 1% (Wells, DiPiro,
Schwinghammer, & DiPiro, 2015). Untuk pasien dengan kondisi
hiperglikemia ringan sampai berat penggunaan α-glukosidase inhibitor dapat
menurunkan kadar glukosa 30% sampai 50% lebih baik jika dibandingkan
dengan obat antdiabetes oral lainnya (Goodman, Gilman, Brunton, Lazo, &
Parker, 2006). Sementara penurunan kadar glukosa darah sehabis makan
berkisar antara 40 – 50 mg/dL atau 2,2 – 2,8 mmol/L. Pasien dengan kadar
glukosa puasa normal tetapi kadar glukosa sehabis makan tinggi merupakan
target yang tepat untuk mendapatkan terapi menggunakan obat golongan ini
(Wells, DiPiro, Schwinghammer, & DiPiro, 2015)
 Efek Samping
Pencegahan pemecahan karbohidrat kompleks menjadi molekul
glukosa oleh obat golongan ini menyebabkan terdapat karbohidrat yang
masih tertinggal di dalam usus halus dan akan diantarkan ke usus besar.
Bakteri yang terdapat di dalam usus besar kemudian akan mencerna
karbohidrat kompleks dan menghasilkan gas karbon dioksida dan metana
sehingga dapat menimbulkan efek samping seperti flatulen dan diare
(Derosa & Maffioli, 2012; Chisholm-Burns, et al, 2008). Efek samping lain
yang sering terjadi yaitu kembung dan nyeri (Wells, DiPiro,
Schwinghammer, & DiPiro, 2015). Hepatotoksik dapat terjadi, perlu
dilakukan penurunan dosis atau penghentian penggunaan.
 Dosis

76
Penggunaan obat golongan α-glukosidase inhibitor dimulai dengan
dosis yang sangat rendah yaitu 25 mg satu kali sehari. Selanjutnya
meningkat secara perlahan selama beberapa bulan dengan dosis maksimum
50 mg tiga kali sehari untuk pasien dengan berat badan 60 kg. Untuk pasien
dengan berat badan lebih dari 60 kg dapat diberikan dosis 100 mg tiga kali
sehari. Obat ini diminum bersamaan dengan suapan pertama saat makan
sehingga dapat menghambat aktivitas enzim (Wells, DiPiro,
Schwinghammer, & DiPiro, 2015).
 Kontraindikasi
Obat golongan ini kontraindikasi pada pasien yang sensitif terhadap
golongan α-glukosidase inhibitor, pasien dengan inflamasi pada usus, ulser
pada kolon, obstruksi usus dan gangguan fungsi hati.

5.4 Interaksi Obat


5.4.1 Insulin

Interaksi insulin dengan obat antidiabetes lainnya dapat meningkatkan


resiko hipoglikemia karena memiliki efek yang sinergis, sehingga perlu
pemantauan gejala hipoglikemia dan kadar gula darah pasien, serta
penyesuaian dosis jika diperlukan. Interaksi dengan β-blocker (nadolol,
propranolol, timolol) memiliki efek antagonis yaitu menghambat sekresi
insulin, serta efek hipoglikemia pada insulin dapat meningkatkan tekanan
darah pasien, sehingga perlu pemantauan kadar gula darah dan kadar
tekanan darah. Interaksi dengan ACE-inhibitor (captopril, enalapril,
lisinopril), menyebabkan efek sinergis meningkatakan efek insulin, sehingga
pelru pemantauan gejala hipoglikemia dan kadar gula darah (DiPiro, et al.,
2008; Medscape; Drugs.com).

5.4.2 Sulfonilurea

Sulfonilurea generasi pertama (Chlorpropamide, Tolbutamide) lebih


mudah mengalami interaksi dengan obat lain karena memiliki ikatan ionic
dengan protein plasma dibandingkan sulfonilurea generasi kedua
(glimepiride, glipizide, glyburide) yang berikatan secara nonionik dengan
protein plasma. Interaksi dengan warfarin, salisilat, fenilbutazon dapat

77
merubah ikatan protein plasma, sehingga meningkatkan resiko
hipoglikemia. Interaksi dengan kloramfenikol dan cimetidine dapat
menurunkan metabolisme sulfonilurea di hepar, sehingga juga akan
meningkatkan resiko hipoglikemia. Interaksi dengan rifampin dapat
meningkatkan metabolisme sulfonilurea di hepar. Interaksi dengan
allopurinol dan probenecid dapat menghambat ekskresi sulfonilurea di
ginjal, sehingga meningkatkan resiko hipoglikemia. Pemberian bersamaan
sulfonilurea dengan propranolol memiliki efek antagonis secara
farmakodinamika, sehingga dapat menurunkan efek sulfonilurea dan
menyebabkan masking hypoglycemia (DiPiro, et al., 2008; Medscape;
Drugs.com).

5.4.3 Non Sulfonilurea

Interaksi repaglinide dengan gemfibrozil, trimethoprim, dan


fluconazole dapat menurunkan metabolisme repaglinide sebagai substrat
CYP2C8 sehingga dapat meningkatkan resiko hipoglikemia. Interaksi
repaglinide dan nateglinide dengan carbamazepine dan rifampin dapat
meningkatkan metabolisme repaglinide dan nateglinide sehingga
menurunkan efeknya (DiPiro, et al., 2008; Medscape; Drugs.com).

5.4.4 Thiazolidindion
Interaksi pioglitazone dan rosiglitazone dengan insulin menyebabkan
efek sinergis secra farmakodinamik sehingga dapat meningkatkan resiko
hipoglikemia, serta efek agonis pada PPAR (Peroxisome Proliferator-
Activated Receptor) yang dapat meningkatkan toksisitas pioglitazone dan
rosiglitazone berupa retensi cairan. Interaksi dengan gemfibrozil akan
menurunkan metabolisme pioglitazone dan rosiglitazone, sedangkan
interaksi dengan rifampin akan meningkatkan metabolismenya (DiPiro, et
al., 2008; Medscape; Drugs.com).

5.4.5 Biguanid

78
Interaksi metformin degan cimetidine menyebabkan kompetisi klirens
pada tubulus renal sehingga dapat meningkatkan resiko hipoglikemia dan
asidosis laktat. Interaksi dengan nifedipine dapat meningkatkan absorpsi
metformin pada saluran pencernaan sehingga juga dapat meningkatkan
resiko hipoglikemia dan asidosis laktat (DiPiro, et al., 2008; Medscape;
Drugs.com).

5.4.6 DPP IV Inhibitor


Interaksi sitagliptin dengan obat golongan sulfonilurea memiliki efek
sinergis secara farmakodinamika sehingga dapat meningkatkan resiko
hipoglikemia. Interaksi sitagliptin dengan siklosporin akan meningkatkan
efek siklosporin, sedangkan interaksinya dengan digoksin akan
meningkatkan efek digoksin (DiPiro, et al., 2008; Medscape; Drugs.com).

5.4.7 α-Glukosidase Inhibitor


Interaksi acarbose dan miglitol dengan digoksin akan menurunkan
absorpsi digoksin sehingga menurunkan efeknya. Pemberian bersamaan
miglitol dengan ranitidine, propranolol, dan glyburide akan menurunkan
efek ranitidine, propranolol, dan glyburide (DiPiro, et al., 2008; Medscape;
Drugs.com).

79
BAB 6
PEMBERIAN INFORMASI

6.1 Pemberian Informasi Penyakit Diabetes Mellitus


Pasien diabetes mellitus (DM) umumnya menerima berbagai anjuran
perubahan dalam hidup yang memerlukan penyesuaian sejak diberi diagnosis
penyakit. Penderita diabetes tipe 1 umumnya menjalani pengobatan terapi insulin
yang berkesinambungan, selain itu perlu mennjalankan olahraga secukupnya serta
melakukan pengontrolan menu makanan (diet).
Pada penderita diabetes mellitus tipe 2, penatalaksanaan pengobatan dan
penanganan difokuskan pada gaya hidup dan aktivitas fisik. Pengontrolan nilai
kadar gula dalam darah adalah menjadi kunci terapi yang dijalani pasien, yaitu
dengan mengurangi berat badan, diet, dan berolahraga. Jika hal ini tidak mencapai
hasil yang diharapkan, pemberian obat secara oral diperlukan. Bahkan pemberian
suntikan insulin turut disertakan bila pengobatan secara oral tidak mengatasi
pengontrolan kadar gula darah. Oleh karena itu, pemberian informasi yang tepat
kepada pasien sangat diperlukan. Tujuan pemberian informasi kepada pasien,
yaitu:
a. Agar pasien memiliki harapan hidup lebih lama dengan kualitas hidup yang
optimal

b. Untuk membantu pasien agar dapat merawat dirinya sendiri

c. Agar pasien dapat berfungsi dan berperan optimal dalam masyarakat

d. Agar pasien dapat lebih produktif dan bermanfaat

e. Untuk menekan biaya perawatan, baik yang dikeluarkan secara pribadi,


keluarga ataupun negara.

a. Tahap Pemberian Informasi


Pemberian informasi kepada pasien DM diberikan dalam tiga tahap, yaitu:

80
a. Tahap 1: Dilakukan segera setelah pasien menerima diagnosis. Pada tahap
ini, apoteker berusaha membantu pasien memahami dan menerima
diagnosis
b. Tahap 2: Apoteker memberi informasi yang lebih mendalam mengenai
penyakit DM, kegunaan obat, dan cara menggunakan obat yang benar
c. Tahap 3: Apoteker memberikan pendidikan berkelanjutan untuk
menekankan konsep terapi, meningkatkan dan menjaga motivasi, dan
berupaya agar pasien dapat mengurus dirinya dan pedul terhadap
kesehatannya

b. Informasi yang Disampaikan kepada Pasien


Beberapa informasi yang dapat disampaikan kepada pasien diabetes
mellitus, yaitu:
a. Pasien harus diberi pengertian bahwa diabetes merupakan penyakit seumur
hidup, progresif, dan memerlukan pengaturan gaya hidup
b. Menekankan terkait pentingnya kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang
dijalankan karena akan mempengaruhi kualitas hidup pasien apabila tidak
dijalankan dengan baik.
c. Memberikan informasi mengenai perubahan gaya hidup yang perlu
dijalankan guna mendukung terapi obat yg meliputi perubahan diet,
olahraga, dan pembatasan tertentu (konsumsi alkohol atau rokok)
d. Konseling mengenai pengobatan yang dilakukan: terkait penggunaaan obat
baik oral maupun insulin (waktu dan interval penggunaan obat harus terus
dijaga supaya tetap teratur).
e. Konseling mengenai komplikasi akut: Meskipun langka dan tidak langsung
terkait dengan kualitas hidup, komplikasi akut diabetes dapat berbahaya.
Apoteker berfokus pada pencegahan dan upaya mengatasi komplikasi
tersebut.
f. Konseling pada pasien khusus seperti pediatric, geriatric, ibu hamil, pasien
dengan multiple disorder, pasien yang sering bepergian.
g. Konseling mengenai Pemantauan diri dari glukosa: Dengan ketersediaan
perangkat pemantauan glukosa darah untuk pemantauan glukosa darah,

81
pasien dapat memantau kadar glukosa lebih sering dan memiliki kontrol atas
glukosa darah. Apoteker dapat memainkan peran penting dalam mendidik
pasien tentang penggunaan monitor glukosa darah.
h. Beberapa konseling tambahan mengenai perawatan yang berguna bagi
pasien : perawatan kaki, perawatan mata, dan oral hygiene.

Beberapa strategi untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam terapi DM,


yaitu:
a. Melibatkan keluarga pasien terutama untuk pemberian dukungan dan
monitoring.

b. Dapat diberikan amplop obat atau kalender obat untuk membantu


mendisiplinkan pasien dalam menjalani pengobatan.

c. Memberikan instruksi tertulis mengenai pengobatan pasien.

d. Lakukan monitoring berkala dengan telepon (sesuai persetujuan pasien)


untuk memantau pengobatan pasien.

e. Tingkatkan hubungan yang baik antara tenaga kesehatan dan pasien


sehingga pasien nyaman untuk berkonsultasi.

f. Berbicara secara kolaboratif dengan pasien tentang alasan-alasan


pengobatan dan tujuan terapi.
g. Melakukan homecare untuk memastikan pasien melaksanakan terapi
dengan baik.

Informasi Penanganan Gangguan Psikologis (Depresi, Stress, Kecemasan)


Informasi mengenai komplikasi penyakit, akibat kegagalan dalam
mengontrol kadar gula darah maupun pengobatan yang berkepanjangan dapat
menyebabkan stress terhadap pasien. Stress tersebut membuat tubuh
mengeluarkan hormon adrenalin, sehingga terjadi konversi glikogen dan lemak
tubuh yang menyebabkan kadar gula darah meningkat. Stress juga meningkatkan
nafsu makan pada sebagian orang, sehingga menyebabkan kadar glukosa darah

82
menjadi lebih tidak terkontrol. Stress berkepanjangan mengakibatkan kelelahan,
depresi, sulit tidur, menurunnya nafsu makan. Penurunan nafsu makan pasien
mampu meningkatkan potensi hipoglikemia (kadar glukosa darah semakin sulit
untuk dikontrol).
Penanganan depresi dapat melalui terapi farmakologi (mengunakan obat
antidepresan) atau melalui psikolog (psikoterapi). Pasien DM perlu diberikan
informasi agar waspada terhadap tanda-tanda depresi, antara lain:
a. Tidak lagi menikmati atau tertarik dalam banyak kegiatan.

b. Merasa lelah atau kurang energi.

c. Menjadi gelisah atau lesu.

d. Merasa lebih sering sedih

e. Kenaikan berat badan atau penurunan berat badan.

f. Tidur terlalu sedikit atau terlalu banyak.

g. Kesulitan memperhatikan atau membuat keputusan.

h. Berpikir tentang kematian atau bunuh diri.

Saran bagi pasien diabetes yang mengalami stress, yaitu:


a. Hindari pengobatan diri dengan nikotin, terlalu banyak kopi, alkohol atau
obat penenang.

b. Hindari stress - perbanyak aktivitas fisik

c. Mulai untuk bersikap santai

d. Cukup tidur dan istirahat

e. Tidak berpura-pura merasa baik

f. Belajar untuk menerima hal-hal yang tidak dapat diubah

83
g. Mengelola waktu lebih baik dan belajar untuk mendelegasikan.

h. Bercerita dengan orang lain

i. Tahu kapan merasa lelah dalam melaksanakan sesuatu

6.2 Monitor Kadar Gula dan Target Terapi


a. Monitoring Kadar Gula
Pemantauan terapi pada pasien DM sangat diperlukan untuk menilai
efektivitas rencana pengelolaan pada kontrol glikemik: terdapat dua teknik utama
yang tersedia untuk penyedia layanan kesehatan dan pasien, yaitu:
a. Monitoring Kadar Glukosa Darah
b. Pengujian A1C
b. Monitoring Kadar Glukosa Darah
Bagi pasien yang menggunakan insulin secara intensif (insulin dosis ganda
atau menggunakan insulin pump) waktu yang dianjurkan untuk melakukan
pengukuran kadar glukosa darah adalah sebelum makan, 2 jam setelah makan,
menjelang tidur, sebelum aktivitas fisik, ketika diduga glukosa darah rendah,
setelah mengobati glukosa darah rendah hingga glukosa darah normal, dan
sebelum melakukan aktivitas kritis penting seperti mengemudi. Pada beberapa
pasien monitoring dilakukan 6-10 kali (atau lebih) per hari. Bagi pasien yang
menggunakan basal insulin atau obat diabetes oral waktu yang dianjurkan untuk
melakukan pengukuran kadar glukosa darah adalah pada saat puasa, sebelum atau
setelah makan.
Monitoring kadar glukosa dalam darah memungkinkan pasien untuk
mengevaluasi respon individu terhadap terapi dan menilai apakah target glukosa
sedang dicapai. Akurasi pada pengukuran kadar glukosa dalam darah tergantung
pada pengguna dan instrumen yang digunakan, sehingga sangat penting untuk
mengevaluasi teknik monitoring setiap pasien, baik awalnya dan secara berkala
sesudahnya.

Pengujian A1C
A1C mencerminkan glukosa rata-rata selama beberapa bulan dan dapat
digunakan untuk prediksi komplikasi diabetes. Oleh karena itu pengujian A1C

84
harus dilakukan secara rutin pada semua pasien diabetes pada penilaian awal dan
sebagai bagian dari perawatan berkelanjutan. Bagi pasien yang mencapai target
terapi atau pasien yang memiliki kadar glukosa yang stabil, pengujian dilakukan
minimal 2 kali dalam satu tahun. Sedangkan bagi pasien yang mengalami
perubahan terapi atau pasien yang tidak mencapai target terapi pengujian
dilakukan dilakukan setiap 3 bulan.

c. Target Terapi
Banyak aspek yang harus dipertimbangkan ketika menetapkan target
glukosa. ADA mengusulkan target optimal, tetapi setiap target harus disesuaikan
dengan kebutuhan masing-masing pasien dan faktor penyakit.

Rekomendasi target gluksoa

Rekomendasi tersebut meliputi kadar glukosa darah yang muncul


berkorelasi dengan pencapaian A1C <7% (53mmol / mol). Pada pasien diabetes,
perubahan patologi vaskuler, seperti disfungsi endotel, merupakan dampak negatif
dari hiperglikemia postprandial. Hal ini jelas bahwa hiperglikemia postprandial,
seperti halnya hiperglikemia preprandial, memberikan kontribusi untuk tingkat
A1C yang tinggi, dengan kontribusi relatif menjadi lebih besar pada tingkat A1C
yang lebih dekat ke 7% (53 mmol / mol). Oleh karena itu, wajar untuk
merekomendasikan pengujian postprandial bagi individu yang memiliki nilai-nilai
glukosa sebelum makan mencapai target, namun nilai A1C di atas target.
Pengurangan glukosa plasma postprandial dapat membantu untuk menurunkan
tingkat A1C.

85
6.3 Informasi Penggunaan Obat
Seorang apoteker wajib memberikan pelayanan informasi obat terhadap
pasien. Informasi yang diberikan kepada pasien diabetes meliputi kegunaan obat,
cara pemberian obat (dikonsumsi pada saat pagi atau siang hari, dikonsumsi
setelah atau sebelum makan, ditelan atau cara pemberian insulin subkutan), efek
samping yang umum terjadi agar pasien waspada, tidak bingung saat
mengalaminya, serta kondisi-kondisi khusus pasien yang tidak boleh atau boleh
meminum obat tersebut. Serta perhatian yang harus diberikan untuk mengingatkan
jika lupa meminum obat, maka obat harus diminum segera setelah ingat. Namun,
jika hampir mendekati dosis berikutnya, sebaiknya kembali ke jadwal semula.
Dosis jangan di gandakan atau double (diminum dua dosis bersamaan) serta
jangan memberikan obat antihiperglikemik pada orang lain walaupun penyakitnya
sama.
Obat- obat diabetik oral yang akan dijelaskan meliputi golongan
Sulfonilurea, Meglitinida, Biguanida, Tiazolidinedion, Penghambat ɑ-glukosidase,
DPP-4 inhibitors, SGLT2 inhibitors, GLP-1 receptor agonists serta Insulin.
a. Sulfonilurea
Waktu Pemberian : Chlorpropamide, Glipizide, Gliclazide diberikan
30menit sebelum makan. Glimepiride diberikan bersama makanan, lebih
baik makanan pertama dalam sehari yaitu saat sarapan.
Kondisi Khusus : Risiko hipoglikemik tinggi bagi pasien yang memiliki
gangguan ginjal, sirosis hati & geriatri (Gibenclamide risiko tertinggi,
Glimepiride & Gliclazide risiko ter rendah) sehingga diperlukan
penyesuaian dosis dan cek fungsi ginjal dan hati
b. Meglitinida
Waktu Pemberian : Mitiglinide, Repaglinide, Nateglinide diminum 30 menit
sebelum makan. Frekuensi dosis pemberian lebih sering karena obat
golongan ini lebih cepat diabsorbsi dibandingkan obat lain.
c. Biguanida

Waktu Pemberian : Metformin diminum bersama makanan atau sesaat


setelah makan terkait untuk meminimalisasi efek samping yang umum pada
disturbansi saluran pencernaan.

86
Kondisi Khusus : Asidosis Laktat jarang (rarely) terjadi pada pasien gagal
jantung kongestif dan gangguan ginjal (Kreatinin serum ≥1.4 mg/dL untuk
wanita dan ≥1.5 mg/dL untuk pria).
d. Tiazolidinedion
Waktu Pemberian : Pioglitazone diminum bisa bersama atau tidak bersama
makanan, karena makanan tidak mempengaruhi absorbsi obat.
Kondisi Khusus : Tidak direkomendasi untuk pasien dangan gangguan
jantung kongestif.
e. Penghambat ɑ-glukosidase
Waktu Pemberian : Acarbose, Miglitol diminum bersama makanan.

f. DPP-4 inhibitors
Waktu Pemberian : Sitagliptin, Saxagliptin, Linagliptin diminum bisa
bersama atau tidak bersama makanan, karena makanan tidak mempengaruhi
absorbsi obat.
Kondisi Khusus : Saat digunakan bersama insulin, dosis insulin harus
diturunkan untuk mengurangi risiko hipoglikemia.
g. Insulin
Apoteker menjelaskan cara penggunaan insulin, waktu penggunaan, cara
penyimpanan insulin (15-30oc), teknik penggunaan insulin secara mandiri,
lokasi menyuntikkan insulin, efek samping (hipoglikemia sering terjadi
apabila konsumsi makanan asupan glukosa kurang sebelum penyuntikan).

a. Informasi Komplikasi DM
a. Informasi Ulkus Diabetikum
Prinsip pencegahan Ulkus Diabetikum menurut Coloplast Quick Guide (2012)
dan Frykberg et al. (2006):
1) Menjaga kebersihan dan melakukan perawatan kaki
- Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih

- Membersihkan dan mencuci kaki dengan memakai sabun lembut


kemudian dikeringkan dan diikuti dengan pemberian pelembab topical
untuk menjaga kulit tetap sehat.

87
- Menggunting kuku kaki hanya boleh digunakan untuk memotong kuku
kaki secara lurus dan mengikir agar licin (lebih baik sesudah mandi)

- Jangan memotong kuku kaki terlalu pendek

- Kuku kaki yang menusuk daging dan kalus hendaknya jangan diobati
sendiri. Jangan menggunakan pisau cukur atau pisau biasa

- Angkat kaki anda saat duduk lalu gerakan jari-jari kaki dan
pergelangan kaki keatas dan kebawah selama 5 menit sebanyak 2-3
kali sehari. Ini adalah tips agar aliran darah ke kaki tetap baik

- Tidak boleh merendam kaki terlalu lama karena dapat menimbulkan


maserasi kaki. Maserasi kaki adalah kondisi kulit berwarna kuning
atau putih seperti bernanah serta lunak karena dibiarkan dalam kondisi
lembap yang berlebihan dan terus-menerus.

2) Melakukan perawatan kulit


Prinsipnya adalah untuk menjaga kelembapan kulit kaki sehingga kulit
kaki tidak menjadi kering. Kulit yang kering menyebabkan kulit pecah-
pecah dan memungkinkan kuman/bakteri masuk ke dalam kulit.
Pemakaian krim kaki sebagai pelembap seperti krem sorbolene
direkomendasikan pada pasien ulkus diabetikum. Pasien disarankan tidak
memakai bedak karena dapat membuat kulit kaki menjadi lebih kering.
3) Pemeriksaan kulit rutin
- Saat mencuci kaki perhatikan pada daerah kaki apakah ada bercak
merah, luka, bernanah, kapalan,warna kulit (hitam/biru), kalus, luka
dan lecet

- Pasien harus rutin konsultasi pada dokter tentang kondisi kaki pasien
dan dokter diharapkan dapat membantu pemulihan kondisi kaki pasien

- Dokter harus sering memeriksa luka kecil yang tidak kunjung sembuh

- Memeriksa kaki setiap kontrol walaupun ulkus diabetik sudah sembuh

4) Penggunaan alas kaki


- Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir

88
- Memakai sepatu yang sesuai dan nyaman dipakai untuk mengurangi
frekuensi gesekan pada daerah kaki.

- Sebelum memakai sepatu, memeriksa sepatu terlebih dahulu apakah


ada batu, kerikil dll

- Memakai kaos kaki yang bersih dan mengganti setiap hari

- Kaos kaki terbuat dari bahan wol atau katun karena dapat menyerap
keringat. Jangan memakai bahan sintetis

b. Cara Perawatan Ulkus Diabetikum di Rumah:

1. Saat penderita diabetes mengalami luka, sebaiknya segera dilakukan


perawatan. Cara pertama adalah mencuci tangan dengan sabun. Hal ini
berguna untuk membersihkan tangan dari kuman yang dapat mebahayakan
luka tersebut.
2. Pada luka penderita diabetes, dicuci menggunakan air hangat yang telah
ditambahkan antiseptik. Saat mencuci luka, menggunakan cairan infus
NACl. Selain itu, bisa juga dicuci dengan air rebusan daun jambu biji. Air
ini bermanfaat untuk melancarkan peredaran darah dan menghilangkan
bau pada luka. Caranya : 5 lembar daun jambu biji direbus dalam air 1
Liter. Gunakan untuk mengompres atau membersihkan luka. Hindari
mencuci luka dengan ciran toksik seperti H2O2
3. Setelah itu keringkan luka menggunakan kassa yang kering dan steril
secara pelan-pelan ke luka.
4. Pada luka ulkus yang parah dan sudah dalam, dapat diberikan antibiotik
lokal atau sitemik. Pilihan untuk antibiotik lokal/topikal adalah Salep
kloramfenikol 2%. Pilihan untuk antibiotik sistemik adalah antibiotik
spektrum luas, seperti amoksisilin 4x500 mg selama 15-30 hari, atau
siklosporin 1-2 g/hari selama 3-10 hari
5. Tutup luka menggunakan kassa yang bersih dan steril
6. Setelah luka ditutup menggunakan kassa, tutuplah menggunakan plester.
Plester/filsasi dengan menggunakan plester yg aman/hypoalergi, plester

89
tertutup semua bagian kassa (bukan hanya pinggir kassa), utk menjamin
balutan dapat bertahan lama dan mencegah balutan kotor.

7. Gunakan kaos kaki yang dapat menyerap keringat serta nyaman. Pilihlah
kaos kaki yang bahannya lembut, tujuan menggunakan kaos kaki agar
terhindar dari kotoran yang mungkin akan menempel pada plester.
8. Jika terdapat luka berwarna hitam atau kuning, maka itu adalah jaringan
mati. Sebaiknya periksakan ke dokter karenan harus dilakukan
penggangkatan sel kulit yang mati (nekrosis). Luka yang baik adalah jika
warna dasar luka berwarna merah.
9. Cuci tangan

90
BAB 7
TERAPI NON FARMAKOLOGI

7.1 Manajemen Nutrsi


Menurut (American Diabetes Association, 2008) manajemen gizi berperan
dalam memberikan rekomendasi dan intervensi makanan yang sebaiknya
dikonsumsi atau tidak boleh bagi pasien untuk menjaga berat badan dan kadar
glukosa darah. Beberapa penelitian klinis mengenai manajemen gizi menunjukkan
terdapat penurunan HbA1c sebanyak 1% pada penderita diabetes mellitus tipe 1
dan 1-2% pada penderita diabetes mellitus tipe 2. Target yang akan dicapai dalam
manajemen gizi diantaranya:
a. Kadar glukosa darah normal atau mendekati normal

b. Profil lipid dan lipoprotein yang dapat mengurangi resiko penyakit vaskuler

c. Tekanan darah yang normal

d. Mencegah atau memperlambat perkembangan komplikasi kronis dari


diabetes dengan modifikasi asupan dan gaya hidup

e. Mendata kebutuhan nutrisi bagi tiap penderita diabetes mellitus

f. Mengatur pola makan dengan membatasi pilihan sesuai dengan bukti klinis

Berikut ini beberapa tahaan terapi diet, diantaranya:


a. Pengkajian
Pengkajian dimaksudkan untuk menilai kondisi pasien dan menilai
kesediaan pasien untuk melaksanakan terapi. Pengkajian yang dilakukan
sebelum terapi meliputi pengkajian data-data klinis pasien seperti kadar
glukosa darah, kadar lemak darah (kolesterol total, LDL, HDL dan
trigliserida) dan hemoglobin glikat.
b. Menentukan tujuan yang ingin dicapai
Hasil dari pengkajian akan memeberikan gambaran untuk menentukan
tujuan yang ingin dicapai pada terapi. Pada tahapan ini dilakukan
identifikasi apa saja yang perlu dilakukan dalam penatalaksanaan diabetes
secara keseluruhan. Tujuan yang dibuat hendaklah membantu pasien untuk

89
melakkukan perubahan positif yang akan menghasulkan perbaikan kadar
glukosa darah dan kadar lemak darah serta memperbaiki asupan gizi.
c. Intervensi gizi
Informasi yang didapatkan dari pengkajian gizi dan tujuan yang akan
dicapai menentukan dasar intervensi gizi. Intervensi gizi meliputi intervensi
gizi dasar dan lanjutan. Pada intervensi gizi dasar diberikan gambaran
tentang kebutuhan gizi dan penatalaksanaannya bagi pasien diabetes.
Sedangkan pada intervensi gizi lanjutan diberikan penekanan yang lebih
mendalam seperti perhitungan kalori, perhitungan lemak dan lain
sebagainya.
d. Evaluasi
Pada tahap ini dilakukan pemantauan terhadap parameter-parameter
klinis yang penting sebagai evaluasi untuk kemudian bersama-sama dengan
pasien menetapkan tujuan baru untuk intervensi gizi lebih lanjut.
Pemantauan keadaan glukosa darah dan hemoglobin glikat (HBA1C), lipid,
tekanan darah dan fungsi ginjal penting untuk mengevaluasi hasil yang
berhubunngan dengan gizi. Tindak lanjut untuk anak-anak dianjurkan
dilakukan setiap 3-6 bulan, sedangkan pada orang dewasa setiap 6 sampai
12 bulan.

7.1.1 Kebutuhan Nutrisi Penderita Diabetes Mellitus


a. Karbohidrat
Kebutuhan karbohidrat penderita diabetes yaitu 60%-70%. Menurut
(American Diabetes Associaton, 2004), faktor yang mempengaruhi indeks
glikemik diantaranya adalah total karbohidrat yang dikonsumsi, jenis gula
(fruktosa, glukosa, sukrosa, laktosa), bentuk pati dan cara memasak.
Sukrosa tidak mempengaruhi kadar glukosa darah secara signifikan
sedangkan fruktosa mempengaruhi.
b. Protein
Kebutuhan protein penderita diabetes yaitu 10%-15% dari kebutuhan
energi total. Mengkonsumsi protein > 20% dalam waktu yang lama dapat
mengakibatkan komplikasi nefropati sehingga tidak dianjurkan.

90
c. Lemak
Kebutuhan lemak penderita diabetes yaitu 20%-25% dari kebutuhan
energi total (<10% dari lemak jenuh, 10% dari lemak tidak jenuh tunggal).
Kolesterol makanan dibatasi tidak boleh lebih dari 300 mg/hari.
d. Serat
Kebutuhan serat sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan
paling tidak 25 g/hari. Disamping akan menolong menghambat penyerapan
lemak, makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat
membantu mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan oleh penderita
diabetes mellitus tanpa resiko mengkonsumsi kalori yang berlebih. Selain
itu, makanan berserat seperti sayur dan buah-buahan segar kaya akan
vitamin dan mineral.

7.1.2 Jenis Diet


a. Jenis diet menurut kandungan energi, karbohidrat, protein dan lemak
Klasifikasi status gizi berdasarkan Indeks Massa Tubuh

Tabel 6.1 Kategori Indeks Massa Tubuh

Tabel 6.2 Jumlah Kalori yang dibutuhkan


Jenis Diet Energi (kal) Karbohidrat (g)
Protein (g) Lemak (g)
I 1100 172 43 30
II 1300 192 45 35
III 1500 235 51,5 36,5
IV 1700 275 55,5 36,5
V 1900 299 60 48
VI 2100 319 62 53
VII 2300 369 73 59
VIII 2500 396 80 62

91
Ket:
I s/d III: untuk penderita diabetes yang terlalu gemuk
IV s/d V : Untuk penderita diabetes tanpa komplikasi
VI s/d VII : untuk penderita kurus, penderita dengan komplikasi

Tabel 2.3 Contoh menu sehari dengan 1900 kalori

b. Jenis diet berdasarka tipe diabetes

1) Diabetes tipe I:

Konsumsi karbohidrat dan lemak tak jenuh hanya sebesar 60-70%


dari total kalori yang diperlukan. Perlu diperhatikan untuk mencocokan
dosis insulin dengan jumlah karbohidrat yang dikonsumsi (untuk pasien
yang menggunakan insulin dengan rejimen basal-bolus termasuk injeksi
insulin berulang dan pengguna infus insulin subkutan berkelanjutan).
Sedangkan untuk pasien yang menggunakan insulin dengan dosis tetap
atau rapid-/short acting insulin, harus menjaga jumlah konsumsi
karbohidrat yang konstant antar waktu makan
2) Diabetes tipe II:

Konsumsi karbohidrat dan lemak tak jenuh hanya sebesar 60-70%


dari total kalori yang diperlukan. Namun harus diperhatikan bahwa

92
peningkatan konsumsi lemak tak jenuh dapat meningkatkan resiko
naiknya berat badan pada pasien obesitas yang mengidap DM tipe 2
sehingga akan mengurangi sensitivitas insulin.

7.2 Aktivitas Fisik


Secara umum, aktivitas fisik pada pasien diabetes melitus bermanfaat utuk
meningkatkan kontrol glukosa darah dengan meningkatkan sensitivitas sel
terhadap insulin. Dengan mekanisme tersebut, aktivitas fisik dapat mengurangi
atau mempertahankan berat badan, mengurangi risiko komplikasi kardiovaskular,
meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi risiko diabetes pada pasien
prediabetes dan ibu hamil.
Aktivitas fisik yang disarankan harus disesuaikan frekuensi dan jenisnya
dengan mempertimbangkan umur, kondisi fisik, kebiasaan olahraga, dan kondisi
kesehatan. Aktivitas fisik sebaiknya dimulai dengan periode yang pendek dan
intensitas ringan dan kemudian meningkatkannya secara perlahan, baik frekuensi
maupun intensitasnya. Aktivitas fisik yang disarankan oleh American Diabetes
Association (ADA) dalam standar penatalaksanaan diabetes dikelompokkan
menjadi aktivitas fisik untuk pasien dewasa, anak-anak, dan disabilitas.
1. Pasien dewasa
Pasien dewasa disarankan untuk melakukan aktivitas fisik berupa
aerobik dan latihan resistensi. Aerobik dilakukan 150 menit per minggu
dengan intensitas sedang (minimal 3 hari per minggu dan tidak lebih dari
2 hari berturut-turut tanpa olahraga, atau 75 menit per minggu dengan
intensitas berat, atau kombinasi keduanya. Sementara itu, latihan
resistensi dilakukan 2 kali per minggu atau lebih dengan satu sesi
setidaknya terdiri dari 5 atau lebih sesi latihan.
2. Pasien anak-anak
Pasien anak-anak disarankan untuk melakukan aktivitas fisik
berupa aerobik intensitas sedang hingga berat dengan frekuensi 60 menit
per hari.
3. Pasien Geriatri dan Disabilitas
Untuk pasien geriatri dan disabilitas, aktivitas fisik dilakukan
semampunya dan disesuaikan dengan kondisi pasien tersebut. Untuk
seluruh pasien sebaiknya menyelingi waktu menetap, yaitu waktu yang

93
digunakan untuk duduk, menggunakan komputer, atau menonton televisi
dengan bediri atau jalan-jalan tiap 90 menit atau kurang.
Aerobik merupakan gerakan yang meiliki ritme, berulang, dan
kontinyu pada sekelompok otot sekurangnya 10 menit. Aerobik intensitas
sedang berarti meningkatkan denyut jantung hingga 50%-70% denyut
jantung maksimum, seperti bersepeda, jalan cepat, berenang, menari, dan
aerobik air. Sementara itu, aerobik intensitas berat berarti meningkatkan
denyut jantung hingga lebih dari 70% denyut jantung maksimum, seperti
jogging, senam aerobik, bermain basket, berenang cepat, dan menari
cepat.
Latihan resistensi merupakan kegiatan dengan durasi singkat yang
menggunakan barbel atau alat berat untuk meningkatkan kekuatan otot
dan daya tahan. Latihan ini direkomendasikan dilakukan dua kali atau
lebih dalam seminggu dimulai dengan 1 set menggunakan barbel dengan
pengulangan 15-20 kali dan dilanjutkan dengan set kedua dengan
penambahan beban dan kurangi pengulangan menjadi 10-15 kali. Latihan
ini dianjutkan dengan set ketiga hingga kedelapan dengan menambah
beban. Latihan ini membutuhkan alat bantu seperti mesin bebam dan
barbel.
Pasien dengan kondisi khusus seperti pasien dengan neuropati
autonom dan periferal, retinopati proliferatif, aterosklerosis, dan pasien
dengan risiko komplikasi kardiovaskular harus melakukan evaluasi
sebelum dan sesudah melakukan aktivitas fisik. Evaluasi meliputi
pemeriksaan sejarah mengenai aktivitas fisik sebelumnya yang pernah
dilakukan; pemeriksaan fisik meliputi funduskopi, lesi kaki, dan skrining
neuropati; dan pemeriksaan elektrokardiografi.
Aktivitas fisik yang disertai dengan penggunaan insulin atau obat
yang merangsang sekresi insulin (misalnya sulfonilurea) dapat
meningkatkan risiko terjadinya hipoglikemia. Solusi untuk mengatasi hal
ini adalah dengan menambahkan konsumsi karbohidrat jika kadar
glukosa darah kurang dari 100 mg/dL (5,6 mmol/L) atau menurunkan
dosis insulin jika memungkinkan. Pasien disarankan untuk membawa kue

94
atau permen di kantungnya untuk segera mengatasi hipoglikemia yang
terjadi saat melakukan aktivitas fisik. Selain itu, pasien juga harus
didampingi oleh orang yang tahu cara mengatasi serangan hipoglikemia.

7.3 Penanganan Ulkus


Ulkus kaki diabetes disebabkan tiga faktor yang sering disebut
trias, yaitu: iskemi, neuropati, dan infeks. Kadar glukosa darah tidak
terkendali akan menyebabkan komplikasi kronik neuropati perifer berupa
neuropati sensorik, motorik, dan autonom.
Neuropati sensorik biasanya cukup berat hingga menghilangkan
sensasi proteksi yang berakibat rentan terhadap trauma fisik dan termal,
sehingga meningkatkan risiko ulkus kaki. Sensasi propriosepsi yaitu
sensasi posisi kaki juga hilang.
Neuropati motorik mempengaruhi semua otot, mengakibatkan
penonjolan abnormal tulang, arsitektur normal kaki berubah, deformitas
khas seperti hammer toe dan hallux rigidus. Deformitas kaki
menimbulkan terbatasnya mobilitas, sehingga dapat meningkatkan
tekanan plantar kaki dan mudah terjadi ulkus.
Neuropati autonom ditandai dengan kulit kering, tidak
berkeringat, dan peningkatan pengisian kapiler sekunder akibat pintasan
arteriovenosus kulit. Hal ini mencetuskan timbulnya fisura, kerak kulit,
sehingga kaki rentan terhadap trauma minimal. Hal tersebut juga dapat
karena penimbunan sorbitol dan fruktosa yang mengakibatkan akson
menghilang, kecepatan induksi menurun, parestesia, serta menurunnya
refleks otot dan atrofi otot.
Penderita diabetes juga menderita kelainan vaskular berupa iskemi.
Hal ini disebabkan proses makroangiopati dan menurunnya sirkulasi
jaringan yang ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi arteri
dorsalis pedis, arteri tibialis, dan arteri poplitea; menyebabkan kaki
menjadi atrofi, dingin, dan kuku menebal. Selanjutnya terjadi nekrosis
jaringan, sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki
atau tungkai.

95
Kelainan neurovaskular pada penderita diabetes diperberat dengan
aterosklerosis. Aterosklerosis merupakan kondisi arteri menebal dan
menyempit karena penumpukan lemak di dalam pembuluh darah.
Menebalnya arteri di kaki dapat mempengaruhi otototot kaki karena
berkurangnya suplai darah, kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam
jangka lama dapat mengakibatkan kematian jaringan yang akan
berkembang menjadi ulkus kaki diabetes. Proses angiopati pada penderita
DM berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer
tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagiandistal tungkai
berkurang.
DM yang tidak terkendali akan menyebabkan penebalan tunika
intima (hiperplasia membran basalis arteri) pembuluh darah besar dan
kapiler, sehingga aliran darah jaringan tepi ke kaki terganggu dan nekrosis
yang mengakibatkan ulkus diabetikum.6 Peningkatan HbA1C
menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen oleh eritrosit
terganggu, sehingga terjadi penyumbatan sirkulasi dan kekurangan
oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang selanjutnya menjadi ulkus.
Peningkatan kadar fibrinogen dan bertambahnya reaktivitas trombosit
meningkatkan agregasi eritrosit, sehingga sirkulasi darah melambat dan
memudahkan terbentuknya trombus (gumpalan darah) pada dinding
pembuluh darah yang akan mengganggu aliran darah ke ujung kaki.
Klasifikasi Kaki Diabetes Klasifikasi Wagner-Meggit
dikembangkan pada tahun 1970-an, digunakan secara luas untuk
mengklasifikasi lesi pada kaki diabetes.

Klasifikasi kaki diabetes berdasarkan WagnerMeggit

96
Pengelolaan kaki diabetes dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu
pencegahan kaki diabetes dan ulkus (pencegahan primer sebelum terjadi
perlukaan kulit) dan pencegahan kecacatan yang lebih parah (pencegahan
sekunder dan pengelolaan ulkus/gangren diabetik).

7.3.1 Pencegahan Primer


Penyuluhan cara terjadinya kaki diabetes sangat penting, harus selalu
dilakukan setiap saat. Berbagai usaha pencegahan sesuai dengan tingkat risiko
dengan melakukan pemeriksaan dini setiap ada luka pada kaki secara mandiri
ataupun ke dokter terdekat. Deformitas (stadium 2 dan 5) perlu sepatu/ alas kaki
khusus agar meratakan penyebaran tekanan pada kaki.

7.3.2 Pencegahan Sekunder


Pengelolaan Holistik Ulkus/Gangren Diabetik Kerjasama multidisipliner
sangat diperlukan. Berbagai hal harus ditangani dengan baik dan dikelola
bersama, meliputi: Wound control, Microbiological control-infection control,
Mechanical control-pressure control and Educational control.

7.3.3 Terapi Farmakologis


Jika mengacu pada berbagai penelitian aterosklerosis (jantung, otak), obat
seperti aspirin yang dikatakan bermanfaat, akan bermanfaat pula untuk kaki DM.
Namun, sampai saat ini belum ada bukti kuat untuk menganjurkan pemakaian

97
obat secara rutin guna memperbaiki patensi pembuluh darah kaki penyandang
DM.
Revaskularisasi Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau kondisi
klaudikasio intermitten hebat, maka tindakan revaskularisasi dapat dianjurkan.
Sebelum tindakan, diperlukan pemeriksaan arteriografi. Untuk oklusi panjang
dianjurkan operasi bedah pintas terbuka. Untuk oklusi pendek dapat dipikirkan
prosedur endovaskular. Pada keadaan sumbatan akut dapat dilakukan
tromboarterektomi. Dengan berbagai teknik bedah tersebut, vaskularisasi daerah
distal dapat diperbaiki, sehingga pengelolaan ulkus diharapkan lebih baik. Terapi
hiperbarik dilaporkan juga bermanfaat memperbaiki vaskularisasi dan
oksigenisasi jaringan luka pada kaki diabetes sebagai terapi adjuvan. Masih
banyak kendala untuk menerapkan terapi hiperbarik secara rutin pada pengelolaan
umum kaki diabetes.
Wound Control atau perawatan luka sejak awal harus dikerjakan dengan
baik dan teliti. Evaluasi luka harus secermat mungkin. Klasifikasi ulkus pedis
dilakukan setelah debridement adekuat. Jaringan nekrotik dapat menghalangi
proses penyembuhan luka dengan menyediakan tempat untuk bakteri, sehingga
dibutuhkan tindakan debridement. Debridement yang baik dan adekuat akan
sangat membantu mengurangi jaringan nekrotik, dengan demikian akan sangat
mengurangi produksi pus/cairan dari ulkus/gangren. Debridement dapat dilakukan
dengan beberapa metode seperti mekanikal, surgikal, enzimatik, autolisis, dan
biokemis.
Cara paling efektif adalah dengan metode autolysis debridement. Autolysis
debridement adalah cara peluruhan jaringan nekrotik oleh tubuh sendiri dengan
syarat utama lingkungan luka harus lembap. Pada keadaan lembap, enzim
proteolitik secara selektif akan melepas jaringan nekrosis, sehingga mudah lepas
dengan sendirinya atau dibantu secara surgikal atau mekanikal. Pilihan lain
dengan menggunakan maggot. Saat ini terdapat banyak macam dressing
(pembalut) yang dapat dimanfaatkan sesuai keadaan luka dan letak luka. Dressing
mengandung komponen zat penyerap, seperti carbonated dressing, alginate
dressing akan bermanfaat pada luka yang masih produktif. Hydrophilic fiber

98
dressing atau silver impregnated dressing bermanfaat untuk luka produktif dan
terinfeksi.
Berbagai terapi topikal dapat dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba
pada luka, cairan normal saline sebagai pembersih luka, senyawa silver sebagai
bagian dari dressing. Berbagai cara debridement non-surgikal seperti preparat
enzim dapat dimanfaatkan untuk mempercepat pembersihan jaringan nekrotik.
Jika luka sudah lebih baik dan tidak terinfeksi lagi, dressing seperti hydrocolloid
dressing dapat dipertahankan beberapa hari.
Untuk kesembuhan luka kronik seperti luka kaki diabetes, suasana
kondusif sekitar luka harus dipertahankan. Selama proses inflamasi masih ada,
proses penyembuhan luka tidak akan beranjak ke proses selanjutnya. Untuk
menjaga suasana kondusif dapat dipakai kasa yang dibasahi dengan normal saline.
Berbagai sarana dan penemuan baru dapat dimanfaatkan untuk wound control,
seperti: dermagrafi, apligraft, growth factor, protease inhibitor, dan sebagainya,
untuk mempercepat kesembuhan luka.
Terapi hiperbarik oksigen efikasinya masih minimal. Microbiological
Control Data pola kuman perlu diperbaiki secara berkala, umumnya didapatkan
infeksi bakteri multipel, anaerob, dan aerob. Antibiotik harus selalu sesuai dengan
hasil biakan kuman dan resistensinya. Lini pertama antibiotik spektrum luas,
mencakup kuman gram negatif dan positif (misalnya sefalosporin), dikombinasi
dengan obat terhadap kuman anaerob (misalnya metronidazole).
Pressure Control, jika tetap dipakai untuk berjalan (menahan berat
badan/weight bearing), luka selalu mendapat tekanan, sehingga tidak akan sempat
menyembuh, apalagi bila terletak di plantar seperti pada kaki Charcot. Berbagai
cara surgikal dapat dipakai untuk mengurangi tekanan pada luka seperti:13,14 a.
Dekompresi ulkus/gangren dengan insisi abses b. Prosedur koreksi bedah seperti
operasi untuk hammer toe, metatarsal head resection, Achilles tendon
lengthening, partial calcanectomy.

7.3.4 Cara Perawatan Ulkus Diabetikum di Rumah:

99
1. Saat penderita diabetes mengalami luka, sebaiknya segera dilakukan perawatan.
Cara pertama adalah mencuci tangan dengan sabun. Hal ini berguna untuk
membersihkan tangan dari kuman yang dapat mebahayakan luka tersebut.

2. Pada luka penderita diabetes, dicuci menggunakan air hangat yang telah
ditambahkan antiseptik. Saat mencuci luka, menggunakan cairan infus NACl.
Selain itu, bisa juga dicuci dengan air rebusan daun jambu biji. Air ini bermanfaat
untuk melancarkan peredaran darah dan menghilangkan bau pada luka. Caranya :
5 lembar daun jambu biji direbus dalam air 1 Liter. Gunakan untuk mengompres
atau membersihkan luka. Hindari mencuci luka dengan ciran toksik seperti H2O2

3. Setelah itu keringkan luka menggunakan kassa yang kering dan steril secara
pelan-pelan ke luka.

4. Pada luka ulkus yang parah dan sudah dalam, dapat diberikan antibiotik lokal
atau sitemik. Pilihan untuk antibiotik lokal/topikal adalah Salep kloramfenikol
2%. Pilihan untuk antibiotik sistemik adalah antibiotik spektrum luas, seperti
amoksisilin 4x500 mg selama 15-30 hari, atau siklosporin 1-2 g/hari selama 3-10
hari

5. Tutup luka menggunakan kassa yang bersih dan steril

6. Setelah luka ditutup menggunakan kassa, tutuplah menggunakan plester.


Plester/filsasi dengan menggunakan plester yg aman/hypoalergi, plester tertutup
semua bagian kassa (bukan hanya pinggir kassa), utk menjamin balutan dapat
bertahan lama dan mencegah balutan kotor.

7. Gunakan kaos kaki yang dapat menyerap keringat serta nyaman. Pilihlah kaos
kaki yang bahannya lembut, tujuan menggunakan kaos kaki agar terhindar dari
kotoran yang mungkin akan menempel pada plester.
8. Jika terdapat luka berwarna hitam atau kuning, maka itu adalah jaringan mati.
Sebaiknya periksakan ke dokter karenan harus dilakukan penggangkatan sel kulit
yang mati (nekrosis). Luka yang baik adalah jika warna dasar luka berwarna
merah.
Hal penting yang perlu diperhatikan bagi pasien DM yang berpuasa:

100
1. Tatalaksana bersifat individual
2. Pemantauan teratur kadar glukosa darah
3. Nutrisi tidak boleh berbeda dari kebutuhan nutrisi harian
4. Olahraga tidak boleh berlebihan
5. Membatalkan puasa pada kondisi tertentu

7.4 Terapi Diabetes Disaat Bulan Puasa


• Kelompok I : Pasien DM yang kadar gula darahnya terkontrol dengan
perencanaan makanan dan olah raga saja. Dapat berpuasa tanpa masalah
dengan tetap memperhatikan pengaturan makan dan aktivitas fisik

• Kelompok II: memerlukan obat oral

• Kelompok III: tergantung insulin atau kombinasi dengan obat oral.

7.4.1 Informasi Terapi Obat DM selama puasa

101
102
DAFTAR PUSTAKA
A Coloplast Quick Guide. (2012). Diabetic Foot Ulcers : Prevention and
Treatment. Coloplast
Alldredge, B.K., Corelli, R.L., dan Ernst, M.E., 2009. Koda-Kimble and Young’s
Applied Therapeutics: The Clinical Use of Drugs. Lippincott
Williams & Wilkins.
American College of Clinical Pharmacy. 2013. Pharmacotherapy Review Program
for Advanced Clinical Pharmacy Practice. Indonesia: ACCP
American Diabetes Association. (2010). Diagnosis and Classification of Diabetes
Mellitus. Diabetes Care, 33(Suppl 1), S62–S69.
http://doi.org/10.2337/dc10-S062
Bharati, Deepak et al. (2015). Diabetes with Hypertension: Etiology, Pathogenesis
and Management, International Journal of integrative Sciences, Innovation
and Technology (IJIIT), 4(4).
Chung, Stephen S.M., Eric C.M., Karen S.L. LAM., Sookja K.Chung. 2003.
Contribution of Poliol Pathway to Diabetes-Induced Oxidative Stress.
Journal of American Society of Nephrology. 14:233-236
Corwin, Elizabeth J. (2008). Handbook of Pathophysiology 3 rd Ed. Ohio.
Lippincott Williams and Wilkins.
Depkes RI. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus.
Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Direktorat
Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Depkes RI.
Derosa, G., & Maffioli. P. (2012). α-Glucosidase inhibitors and their use in
clinical practice. Arch Med Sci, 8 (5); 899-906.

103
Dipiro J.T., Robert L.T., Gary C.Y., Gary R.M., Barbara G.W., Michael P. 2008.
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. UK: The McGraw-Hill
Companies, Inc.
Dipiro, J.T., Wells, B.G, Dipiro, C.V., & Schwinghammer, T.L. 2015.
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edition. Mc Graw Hill Education
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005. Pharmaceutical Care untuk
Penyakit Diabetes Mellitus. Departmen Kesehatan Republik Indonesia.
Fernandes et al., 2014. Diabetic Kidney Diseease: From Physiology to
Therapeutics. J. Physiol. 18: 3997-4010.
Firmansyah, M. A. (2013). Tata Laksana Diabetes Melitus saat Puasa Ramadhan,
40(5), 342–347.
Frykberg, R. G., Zgonis, T., Armstrong, D. G., Driver, V. R., Giurini, J. M.,
Kravitz, S. R., Vanore, J. V. (2006). Diabetic Foot Disorders: a Clinical
Practice Guideline. The Journal of Foot & Ankle Surgery, 45(5), S1–S60.
Gotera, W. (2010). Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik (KAD). J. Peny
Dalam; 11(2).
Jeffrey J. Siracuse and Elliot L. Chaikof., 2012, The Pathogenesis of Diabetic
Atherosclerosis, Diabetes and Peripheral Vascular Disease: Diagnosis
and Management, Contemporary Diabetes, DOI 10.1007/978-1-62703-
158-5_2,
Juan et al., 2011. Inflammatory Molecules and Pathways in The Pathogenesis of
Diabetic Nephropathy. Nature Reviews Nephrology. 7: 327-340
Karamat, M. A., Syed, A., & Hanif, W. (2010). Review of diabetes management
and guidelines during Ramadan. Journal of the Royal Society of Medicine,
103(4), 139–147.
Koda Kimble, M.A., Young Yee, L., Alldredge, B.K., et al. 2009. Applied
Therapeutics: The Clinical Use of Drugs, Ninth Edition. Lippincott
Williams & Wilkins.
McPhee, Stephen J. dan W. F. Ganong. 2006. Pathophysiology of Disease: An
Introduction to Clinical Medicine, 5th Edition. California: McGraw-Hill.
Okon, U. A., Owo, D. U., Udokang, N. E., Udobang, J. A., & Ekpenyong, C. E.
(2012). Oral administration of aqueous leaf extract of Ocimum

104
gratissimum ameliorates polyphagia, polydipsia and weight loss in
streptozotocin-induced diabetic rats. American Journal of Medicine and
Medical Sciences, 2(3), 45-49.
Pastromas,S., Koulouris,S. 2006. Thiazolidinediones: Antidiabetic Drug With
Cardiovaskular Effect. Helenic J Cardiolol 47:352-360
Pengelolaan Gangren Kaki Diabetik Ronald W. Kartika Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta, Indonesia CDK-248/ vol. 44 no.
1 th. 2017
Sampanis, C., & Zamboulis, C. (2008). Arterial Hypertension in Diabetes
Mellitus: from Theory to Clinical Practice. Hippokratia, 12(2), 74-80.
Schteingart, D.S., 2006. Metabolisme Glukosa Dan Diabetes Melitus. Dalam :
Price, S. A., ed. Patofisiologi, Konsep Klinis, Dan Proses Penyakit. Edisi
ke-5. Jakarta: EGC, 1259-1267.
Shier, D., Butler, J., & Lewis, R. (2009). Hole’s Essentials of Human Anatomy &
Physiology 10th Edition. New York: McGraw-Hill.
Siracuse, Jeffrey; Chaikof, Elliot. (2012). The Pathogenesis of Diabetic
Atherosclerosis. New York. Springer Science and Business.
Sirbenagl, Stefan. 2000. Color Atlas of Pathophisiology. New York: Thieme.
Soegondo, S. 2006. Farmakoterapi Pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus
Tipe 2. Dalam : Sudoyo, A.W., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III. Edisi ke 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1860-
1863.
Stoner, G.D. (2005). Hyperosmolar Hyperglycemic State. American Family
Physician, 71(9):1723-1730.
Watkins, P.J. (2003). ABC of Diabetes Fifth Edition. London: BMJ Publishing
Group.
Westerberg, D.P. (2013). Diabetic Ketoacidosis: Evaluation and Treatment.
American Family Physician, 87(5):337-346.
Wells, B.G., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., & Dipiro, C.V. (2015).
Pharmacotherapy Handbook 9th Edition. New York: McGrawHill
Medical

105
WHO. (2006). Definition, diagnosis and classification of diabetes mellitus and its
complications. (diakses pada tanggal 13 Mei 2017
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/66040/1/WHO_NCD_NCS_99.2.
pdf)
Wilcox, Gisela. (2005). Insulin and Insulin Resistance. Clin Biochem Rev, 26(2):
19–39.

106

Vous aimerez peut-être aussi