Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Dalam arsip VOC selanjutnya, yaitu dalam Dag Register tertanggal 4 Maret 1980
menjelaskan bahwa penguasa Tangerang pada waktu itu adalah Keaij Dipattij Soera
Dielaga. Kyai Soeradilaga dan putranya Subraja minta perlindungan kompeni
dengan diikuti 143 pengiring dan tentaranya (keterangan ini terdapat dalam Dag
Register tanggal 2 Juli 1982). Ia dan pengiringnya ketika itu diberi tempat di sebelah
timur sungai, berbatasan dengan pagar kompeni.
Ketika bertempur dengan Banten, ia beserta ahli perangnya berhasil memukul
mundur pasikan Banten. Atas jasa keunggulannya itu kemudian ia diberi gelar
kehormatan Raden Aria Suryamanggala, sedangkan Pangerang Subraja diberi gelar
Kyai Dipati Soetadilaga. Selanjutnya Raden Aria Soetadilaga diangkat menjadi
Bupati Tangerang I dengan wilayah meliputi antara sungai Angke dan Cisadane.
Gelar yang digunakannya adalah Aria Soetidilaga I. Kemudian dengan perjanjian
yang ditandatangani pada tanggal 17 April 1684, Tangerang menjadi kekuasaan
kompeni, Banten tidak mempunyai hak untuk campur tangan dalam mengatur tata
pemerintahan di Tangerang. Salah satu pasal dari perjanjian tersebut berbunyi: “Dan
harus diketahui dengan pasti sejauh mana batas-batas daerah kekuasaan yang sejak
masa lalu telah dimaklumi maka akan tetap ditentukan yaitu daerah yang dibatasi
oleh sungai Untung Jawa atau Tangerang dari pantai Laut Jawa hingga pegunungan-
pegunungan sejauh aliran sungai tersebut dengan kelokan-kelokannya dan
kemudian menurut garis lurus dari daerah Selatan hingga utara sampai Laut Selatan.
Bahwa semua tanah disepanjang Untung Jawa atau Tangerang akan menjadi milik
atau ditempati kompeni”
Dengan adanya perjanjian tersebut daerah kekuasaan bupati bertambah luas sampai
sebelah barat sungai Tangerang. Untuk mengawasi Tangerang maka dipandang
perlu menambah pos-pos penjagaan di sepanjang perbatasan sungai Tangerang,
karena orang-orang Banten selalu menekan penyerangan secara tiba-tiba. Menurut
peta yang dibuat tahun 1962, pos yang paling tua terletak di muara sungai
Mookervaart, tepatnya disebelah utara Kampung Baru. Namun kemudian ketika
didirikan pos yang baru, bergeserlah letaknya ke sebelah Selatan atau tepatnya di
muara sungai Tangerang.
Menurut arsip Gewone Resolutie Van hat Casteel Batavia tanggal 3 April 1705 ada
rencana merobohkan bangunan-bangunan dalam pos karena hanya berdinding
bambu. Kemudian bangunannya diusulkan diganti dengan tembok. Gubernur
Jenderal Zwaardeczon sangat menyetujui usulan tersbut, bahkan diinstruksikan
untuk membuat pagar tembok mengelilingi bangunan-bangunan dalam pos
penjagaan. Hal ini dimaksudkan agar orang Banten tidak dapat melakukan
penyerangan. Benteng baru yang akan dibangun untuk ditempati itu direncanakan
punya ketebalan dinding 20 kaki atau lebih. Disana akan ditempatkan 30 orang
Eropa dibawah pimpinan seorang Vandrig(Peltu) dan 28 orang Makasar yang akan
tinggal diluar benteng. Bahan dasar benteng adalah batu bata yang diperoleh dari
Bupati Tangerang Aria Soetadilaga I.
Setelah benteng selesai dibangun personilnya menjadi 60 orang Eropa dan 30 orang
hitam. Yang dikatakan orang hitam adalah orang-orang Makasar yang direkrut
sebagai serdadu kompeni. Benteng ini kemudian menjadi basis kompeni dalam
menghadapi pemberontakan dari Banten. Kemudian pada tahun 1801, diputuskan
untuk memperbaiki dan memperkuat pos atau garnisun itu, dengan letak bangunan
baru 60 roeden agak ke tenggara, tepatnya terletak disebelah timur Jalan Besar pal
17. Orang-orang pribumi pada waktu itu lebih mengenal bangunan ini dengan
sebutan “Benteng”. Sejak itu, Tangerang terkenal dengan sebutan Benteng. Benteng
ini sejak tahun 1812 sudah tidak terawat lagi, bahkan menurut “Superintendant of
Publik Building and Work” tanggal 6 Maret 1816 menyatakan: “…Benteng dan barak
di Tangerang sekarang tidak terurus, tak seorangpun mau melihatnya lagi. Pintu dan
jendela banyak yang rusak bahkan diambil orang untuk kepentingannya”
1.BENDUNGAN PASAR BARU