Vous êtes sur la page 1sur 38

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keperawatan merupakan suatu bentuk layanan kesehatan profesional

yang merupakan bagian integral dari layanan kesehatan yang didasarkan

pada ilmu dan kiat keperawatan. Layanan ini berbentuk layanan bio-psiko-

sosial-spiritual komprehensif yang ditujukan bagi individu, keluarga,

kelompok, dan masyarakat, baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh

proses kehidupan manusia (Asmadi, 2008).

Demam thypoid (enteric fever) merupakan penyakit infeksi akut yang

biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari

satu minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran (Lestari,

2016).

Menurut penelitian Sodikin (2012) bahwa penggunaan air hangat

dalam kompres dapat mencegah pasien untuk menggigil sehingga pasien

tidak mengalami peningkatan suhu tubuh akibat menggigilnya otot. Hangat

dari air kompres tersebut merangsang vasodilatasi sehingga mempercepat

proses evaporasi dan konduksi yang pada akhirnya dapat menurunkan suhu

tubuh. Sedangkan untuk kompres air biasa, bahwa air dingin dalam kompres

dapat menimbulkan efek menggigil pada pasien. Dingin dari air kompres

tersebut menghambat rangsangan vasodilatasi sehingga memperlambat proses

evaporasi dan konduksi yang pada akhirnya memperlambat menurunkan suhu

tubuh (Indah, Hartini, & Bayu, 2012)


Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yamg dilakukan

fatmawati mohammad (2012) tentang efektifitas kompres hangat dalam

menurunkan demam pada pasien thypoid abdominalis penelitian tersebut

mendapatkan hasil yang menunjukan tindakan kompres hangat efektif dalam

menurunkan demam pada pasien thypoid abdominalis dengan penurunan

mencapai 1 ̊ C (Indah et al., 2012)

Besar angka pasti kasus demam thypoid di dunia, sangat sulit di

tentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum

klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2014

memperkirakan sekitar 21 juta kasus dan 222.000 kematian terkait thypoid

terjadi setiap tahun diseluruh dunia. WHO memperkirakan 70% bahwa

insidensi dengan biakan darah positif mencapai 180-194 per 100.000 anak, di

asia selatan sebesar 400-500 per 100.000 penduduk dan di Asia Timur Laut

kurang dari 100-200 per 100.000 penduduk, sedang kejadian demam thypoid

di Negara berkembang masih sangat tinggi yaitu 500 per 100.000 penduduk

(WHO, 2014)

Di Indonesia, di perkirakan angka kejadian penyakit ini adalah 300-

810 kasus per 100.000 penduduk setahun. Prevalensi 91% kasus demam

thypoid terjadi pada umur 3-19 tahun. Berdasarkan Dirjen pelayanan Medis

Depkes RI (2008) Demam thypoid menempati urutan kedua dari 10 penyakit

tropis, terbanyak dengan jumlah kasus 81.116 (Saputri,2014).

Penyakit Typhus (demam thypoid) di Provinsi Sulawesi Selatan pada

tahun 2014 suspek penyakit typhus tercatat sebanyak 23.271 yaitu laki-laki

11.723 dan perempuan sebanyak 11.548 sedangkan penderita demam typoid


sebanyak 16.743 penderita yaitu laki-laki sebanyak 7.925 dan perempuan

sebanyak 8.818 penderita dengan insiden rate (2,07) dan (CFR=0,00%),

dengan kasus yang tertinggi yaitu di Kabupaten Bulukumba (3.270 kasus),

Kota Makassar (2.325kasus) Kabupaten Enrekang (1.153 kasus) dan terendah

di Kabupaten Toraja Utara (0 kasus), Kabupaten Luwu (1 kasus) dan

KabupatenTana Toraja (19 kasus) (Syahrir, Agusyanti, Nurmiyati, Parura, &

Gasang, 2014).

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran keperawatan pada klien Demam thypoid Dengan

gangguan kebutuhan termoregulasi di ruang anak

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Melakasanakan asuhan keperawatan pada klien demam thypoid

Dengan masalah hipertermi di ruang anak

1.3.2 Tujuan khusus

1) Melakukan pengkajian keperawaan pada klien pada klien demam

thypoid dengan masalah hipertermi di ruang anak

2) Menegakkan diagnosis keperawatan pada klien pada klien demam

thypoid dengan masalah hipertermi di ruang anak

3) Menyususun perencanaan asuhan keperawatan pada klien pada

klien demam thypoid dengan masalah hipertermi di ruang anak

4) Mampu melakukan implementasi asuhan keperawatan pada klien

pada klien demam thypoid dengan masalah hipertermi di ruang

anak
5) Mampu mengevaluasi asuhan keperawatan pada klien pada klien

demam thypoid dengan masalah hipertermi di ruang anak

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Teoritis

Menambah keluasan ilmu dan teknologi terapan bidang

keperawatan dalam mangaplikasikan hasil riset keperawatan pada

kasus demam typoid dengan masalah hipertermi.

1.4.2 Praktis

1) Penulis

Memproleh pengalaman dalam mengaplikasikan ilmu yang

diperoleh selama pendidikan dalam penerapan asuhan Keperawatan

pada pasien demam thypoid dengan masalah hipertermi.

2) Rumah sakit

Sebagai acuan kerangka dalam meningkatkan kualitas asuhan

Keperawatan dan dapat menjadi masukan bagi pihak rumah sakit

untuk lebih meningkatkan mutu pelayanan dan penerapan asuhan

keperawatan pada pasien demam thypoid dengan masalah

hipertermi

3) Institusi pendidikan

Dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi rekan-rekan

mahasiswa Akedemi Keperawatan Bataritoja Watampone demi

peningkatan IPTEK Keperawatan atau kualitas proses Keperawatan

pada demam thypoid dengan masalah hipertermi.


4) Pasien dan keluarga

Dapat meningkatkan pengetahuan keluarga tentang bagaimana

memproleh perawatan dengan penuh perhatian dan dilaksanakan

secara bertahap dan terus menerus .


BAB II

TINJAUAN KASUS

2.1 Asuhan keperawatan dengan masalah hipertermi

2.1.1 Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan.

Disini, semua data di kumpulkankan secara sistematis guna

menentukan status kesehatan klien saat ini. Pengkajian harus

dilakukan secara komprehensif terkait dengan aspek biologis,

psikologis, sosial, maupun spiritual klien (Asmadi, 2008)

Menurut buku Asuhan keperawatan anak (Sari, 2013) Sebagai

berikut :

1) Identitas

Menegakkan diagnosis demam typoid pada anak

merupakan hal yang tidak mudah mengingat tanda dan

gejala klinis yang tidak khas terutama pada penderita di

bawah usia 5 tahun .

2) Riwayat keperawatan

a) Keluhan utama

b) Riwayat penyakit sekarang

c) Riwayat penyakit dahulu

d) Riwayat kesehatan keluarga


3) Riwayat kesehatan lingkungan

Demam typoid saat ini terutama ditemukan dinegara yang

berkembang dengan kepadatan penduduk tinggi serta

kesehatan lingkungan yang idak memenuhi syarat

kesehatan.

4) Imunisasi

Pada typoid congenital dapat lahir hidup sampai beberapa

hari dengan gejala tidak khas serta menyerupai sepsis

neonatorium.

5) Riwayat pertumbuhan dan perkembangan

6) Nutrisi

7) Pemeriksaan fisik

a) System kardiovaskuler

Takardi, hipotensi dan shock jika pendarahan, infeksi

sekunder atau septokimia.

b) System pernafasan

Batuk nonproduktif, sesak nafas.

c) System pencernaan

Umumnya konstipasi daripada diare, perut tegang,

pembesaran limpa dan hati, nyeri perut pada perabaan,

bising usus melemah, atau hilang, muntah, idah thypoid

dengan ujung dan tepi kemerahan dan tremor, mulut

bau, bibir kering, dan pecah-pecah.


d) System saraf

Demam, nyeri kepala, kesadaran menurun : diirium

hingga stupor, gangguan kepribadian

e) System endokrin

f) System integument

g) System pendengaran

8) Pemeriksaan diagnostic (Sari, 2013)

2.1.2 Diagnosa keperawatan

Diagnosis keperawatan adalah pernyataan yang dibuat oleh

perawat professional yang memberi gambaran tentang masalah atau

status kesehatan klien,baik aktual maupun potensial, yang ditetapkan

analisis dan interprestasi data hasil pengkajian. Pernyataan tentang

diagnosis keperawatan harus jelas, singkat, dan lugas terkait dengan

masalah kesehatan klien berikut penyebabnya yang dapat diatasi

melalui tindakan keperawatan (Asmadi, 2008)

1) Hipertermia

a) Definisi

Peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal(Bulecheck,

Butcher, Joanne, & Cheryl, 2016)

b) Batasan Karakteristik

(1) Apnea

(2) Bayi tidak dapat mempertahankan menyusu

(3) Gelisah

(4) Hipotensi
(5) Kejang

(6) Koma

(7) Kulit kemerahan

(8) Kulit terasa hangat

(9) Letargi

(10) Postur abnormal

(11) Stupor

(12) Takikardia

(13) Takipnea

(14) Vasodilatasi

c) Faktor yang berhubungan

(1) Ages farmaseutikal

(2) Aktivitas yang berlebihan

(3) Dehidrasi

(4) Iskemia

(5) Pakaian yang tidak sesuai

(6) Peningkatan laju metabolisme

(7) Penurunan perspirasi

(8) Penyakit

(9) Sepsis

(10) Suhu lingkungan tinggi

(11) Trauma (Herdman & Shigemi, 2016)


2) Hipotermia

a) Definisi

Suhu tubuh berada dibawah kisaran normal(Bulecheck et al.,

2016)

b) Batasan katakteristik

(1) Akrosianosis

(2) Bradikardia

(3) Dasar kuku sianotik

(4) Hipertensi

(5) Hipoglikemia

(6) Hipoksia

(7) Kulit dingin

(8) Menggigil

(9) Pengisisan kapiler lambat

(10) Peningkatan konsumsi oksigen

(11) Peningkatan iji metabolic

(12) Penurunan kadar glukosa darah

(13) Penurunan ventilasi

(14) Piloereksi

(15) Takikardia

(16) Vasokontriksi perifer

c) Faktor yang berhubungan

(1) Agens farmauseutikal

(2) Berat badan ekstrem


(3) Konsumsi alcohol

(4) Kurang pengetahuan pemberi asuhan tentang pencegahan

hipotermia

(5) Kurang suplai lemak subkutan

(6) Lingkungan suhu rendah

(7) Malnutrisi

(8) Pemakaian pakaian yang tidak adekuat

(9) Trauma ( Herdman & Kamitsuru, 2015)

3) Ketidak efektifan termoregulasi

1) Definisi

Fluktuasi shu di antar hipotermia dan hipertermia

2) Batasan karakteristik

a) Dasar kuku sianotik

b) Fluktuasi suhu tubuh diatas dan dibawah kisaran normal

c) Hipertensi

d) Kejang

e) Kulit dingin

f) Kulit hangat

g) Kulit kemerahan

h) Menggigil ringan

i) Pengisisan ulang kapiler lambat

j) Peningkatan frekuensi pernafasan

k) Peningkatan suhu di atas kisaran normal

l) Pucat sedang
3) Faktor yang berhubungan

a) Fluktuasi suhu lingkungan

b) Penyakit

c) Trauma

d) Usia yang ekterm (Herdman & Kamitsuru, 2015)

4) Risiko Hipotermia

a) Definisi

Rentan terhadap penurunan tiba-tiba suhu inti tubuh di

bawah 36ºC yang terjadi satu jam sebelum sampai 24 jam

setalah pembenahan, yang dapat mengganggu kesehatan.

b) Faktor Risiko

1) Berat badan rendah

2) Diabetik neuropati

3) Kombinasi anastesi regional dan umum

4) Komplikasi kardiovaskular

5) Suhu lingkungan rendah

6) Suhu pra-operasi rendah (<36ºC) (Heather, 2017)

2.3.1 Perencanaan

Tahap perencanaan dapat di sebut sebagai inti atau pokok

dari proses keperawatan sebab perencanan merupakan keputusan

awal yang memberi arah bagi tujuan yang ingin di capai, hal yang

akan di lakukan, termasuk bagaimana, kapan, dan siapa yang

melakukan tindakan keperawatan (Asmadi, 2008)


1) NOC (Nursing Outcome Clasification)NOC (Nursing Outcome

Clasification) adalah pelengkap NANDA International dan

Nursing intervensions classification (NIC). NOC menyediakan

bahasa untuk identifikasi outcome dan langkah-langkah

evaluasi proses keperawatan (Bulecheck et al., 2016)

2) NIC (Nursing Interventions Clasification) adalah suatu standar

klasifikasi yang komprehensif yang dilakukan oleh perawat

(Bulecheck et al., 2016)

a) Hipertermi

(1) Hasil outcome, Hipertermi :

(a) Termoregulasi

(b) Status neurologi

(c) Tanda-tanda vital

(d) Tingkat kenyamanan

(e) Hidrasi

(f) Keparahan infeksi

(g) Kontrol resiko hipotermi (Bulecheck et al., 2016)

(2) Intervensi Hyperthermia

(a) Monitor suhu paling tidak setiap 2 jam, sesuai

kebutuhan

(b) Pasang alat monitor suhu secara kontinu, sesuai

kebutuhan

(c) Monitor tekanan darah, nadi dan respirasi sesuai

kebutuhan
(d) Monitor suhu dan warna kulit

(e) Monitor dan laporkan adanya tanda dan gejal

hipertermia

(f) Tingkatkan intake cairan dan nutrisi yang adekuat

(Bulecheck et al., 2016)

(3) Hipotermia

Hasil Outcomes, Hipotermia :

(a) Termoregulasi

(b) Keparahan intervensi

(c) Perfusi jaringan perifer

(d) Tanda-tanda vital

(e) Kontrol resiko hipotermi (Bulecheck et al., 2016)

Intervensi :

(a) Monitor suhu paling tidak setiap 2 jam, sesuai

kebutuhan

(b) Pasang alat monitor suhu secara kontinu sesuai

kebutuhan

(c) Monitor tekanan darah, nadi dan respirasi sesuai

kebutuhan

(d) Monitor suhu dan warna kulit

(e) Monitor dan laporkan adanya tanda dan gejala

hipotermia

(f) Tingkatkan intake cairan dan nutrisi yang adekuat

(Bulecheck et al., 2016)


(4) Risiko Hipotermi

(a) Kontrol risiko hipotermi

(b) Mencari informasi terkait hipotermia

(c) Mengidentifikasi faktir resiko

(d) Mengenali faktor resiko individu terkait hipotermia

(e) Mengidentifikasi tanda dan gejala hipotermia

(f) Mengidentifikasi kondisi kesehatan yang

menurunkan produksi panas.

(g) Mengidentifikasi kondisi yang menurunkan

kemampuan tubuh menyimpan panas (Wilkinson,

2016)

2.1.3 Implementasi

Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan

rencana asuhan keperawatan kedalam bentuk intervensi keperawatan

guna membantu klien mencapai tujuan yang telah di tetapkan

kemampuan yang harus dimiliki perawat pada tahap implementasi

adalah kemampuan komunikasi yang efektif, kemampuan untuk

menciptakan hubungan saling percaya dan saling bantu, kemampuan

melakukan teknik psikomotor, kemampuan melakukan observasi

sistematis, kemampuan memberikan pendidikan kesehatan,

kemampuan advokasi, dan kemampuan evaluasi (Asmadi, 2008)

Dijelaskan oleh sidikin (2012) bahwa penggunaan air hangat

dalam kompres dapat mencegah pasien untuk menggigil sehingga

pasien tidak mengalami peningkatan suhu tubuh akibat menggigilnya


otot . hangat dari air kompres tersebut merangsang vasodilatasuii

sehingga mempercepat pross evaprorasi dan konduksi yang pada

akhirnya dapat menurunkan suhu tubuh. Sedangkan untuk kompres

air biasa, bahwa air dingin dalam kompres tersebut menghambat

rangsangan vasodilatasi sehingga memperlambat proses evaporasi

dan konduksi yang pada akhirnya memperlambat menurunkan suhu

tubuh.(Indah et al., 2012)

2.1.4 Evaluasi

Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang

merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil

akhir yang terakhir dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada

tahaap perencanaan. Evaluasi di lakukan secara bersinambungan

dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya (Asmadi,

2008)

2.2 Tinjauan teori

2.2.1 Konsep dasar medik

1) Pengertian

Demam typoid adalah penyakit infeksi akut yang

biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam

yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan, dan

gangguan kesadaran(Lestari, 2016)

Demam typoid adalah penyakit infeksi akut pada usus

halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai


gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa

gangguan kesadaran (Sari, 2013)

Demam typoid adalah penyakit infeksi sistemik akut

yang disebabkan infeksi salmonella typi. Organisme ini masuk

melalui makanan dan minimuman yang sudah terkontaminasi

oleh feses dan urine dari orang terinfeksi kuman salmonella

(Padila, 2013)

2) Etiologi

Penyebab utama demam thypoid ini adalah bakteri

salmonella typi. Bakteri salmonella typi adalah berupa hasil

gram negative, bergerak dengan rambut getar, tidak berspora,

dan mempunyai tiga macam antigen yaitu antigen O (somatic

yang terdiri ats zat kompleks lipopolisakarida), antigen H

(flagella), dan antigen VI. Dalam serum penderita, terdapat

zat (agglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.

Kuman tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob

pada suhu 15-41 C (optimum 37 C ) dan pH pertumbuhan 6-

8. Factor pencetus lainya adalah lingkungan, system imun

yng rendah, feses, urin, makanan/minuman yang

terkontaminasi, fomitus, dan lain sebagainya (Lestari, 2016).

3) Manifestasi klinis

Demam thypid pada anak biasanya lebih ringan dari

pada orang dewasa. Masa tunas 10-20 hari, yang tersingkat 4

hari jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan jika


melalui minuman yang terlama 30 hari. Selama masa

inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, perasaan

tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak

bersemangat, kemudian menyusul gejala klinis yang biasanya

di temukan, yaitu:

a) Demam

Pada kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu

bersifat febris remitten dan suhu tidak tinggi sekali.

b) Gangguan pada saluran pencernaan

pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir

kering dan pecah pecah.

c) Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran pasien menurun, yaitu apatis

sampai samnolen. Relaps

d) Relaps (kambuh) ialah berulangnya gejala penyakit

demam thypoid, akan tetap berlangsung ringan dan lebih

singkat.

4) Patofisiologi

a) Kuman masuk kedalam mulut melalui makanan atau

minuman yang tercemar oleh salmonella (biasanya

10.000 hasil kuman ).

b) Jaringan limfoid plak peyeri dan kelenjar getah bening

mensentrika mengalami hyperplasia. Basil tersebut

masuk kealiran darah (bakterimia) melalui ductus


thoracius dan menyebar keseluruh organ retikuo

endotatial tubuh, terutama hati, sumsum tulang, dan

limfa melalui sirkulasi portar dari usus.

c) Hati membesar (hepatomegali) dengan infiltrasi limfosit,

zat plasma, dan sel mononuclear. Terdapat juga nekrosis

fokal dan pembesaran limfa (splenomegali).

d) Pendarahan saluran cerna menjadi erosi pembuluh darah

disekitar plak peyeri yang sedang mengalami nekrosis

dan hyperplasia.

e) Sedangkan penularan salmonella typi dapat ditularkan

melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5f yaitu food

(makanan), finger (jari tangan/kuku), fomitus (muntah),

fly (lalat), dan melalui feses (Lestari, 2016)-

5) Komplikasi

a) Komplikasi intestinal : perdarahan usus, perporasi usus

dan ilius paralitik.

b) Komplikasi extra intestinal

(1) Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi.

(2) Komplikasi darahanemia hemolitik, trobositopenia,

dan syndrome uremia hemolitik.

(3) Komplikasi paru : pneumonia.

(4) Komplikasi pada tulang: ostemyolitis, osteoporosis.


6) Pemeriksaan penunjang

a) Pemeriksaan leukosit

b) Pemeriksaan SGOT danSGPT

c) Biakan darah

7) Penatalaksanaan

a) Perawatan

(1) Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam tulang atau

14 hari untuk mencegah komplikasi perdarahan usus.

(2) Mobilisasi bertah bila tidak ada panas, sesuai dengan

pulihnya transfusi bila ada komplikasi perdarahan.

b) Diet

(1) Diet yang sesuai, cukup kalori dan tinggi protein.

(2) pada penderita yang akut dapat di beri bubur saring.

(3) Setelah bebas demam di beri bubur kasar selama 2

hari alu nasi tim.

c) Obat-obatan

antibiotika umum di gunakan untuk mengatasi penyakit

thypoid. Waktu penyembuhan bias makanan waktu 2

minggu hingga satu bulan.Antibiotika, seperti ampicillin,

kloramfenikol, trimethoprim untuk merawat demam

thypoid.
2.2.2 Masalah hipertermi

1) Konsep hipertermi

Demam diartikan sebagai respon fisiologis tubuh

terhadap penyakit yang di perantarai oleh sitokin dan ditandai

dengan peningkatan suhu pusat tubuh dan aktivitas kompleks

imun. Demam merupakan gejala yang menyertai beberapa

penyakit infeksi maupun penyakit radang non infeksi. Pada

penyakit infeksi, demam dapat diakibatkan oleh infeksi virus

yang bersifat self limited maupun infeksi bakteri, parasit, dan

jamur. Demam dapat juga disebabkan oleh paparan panas

yang berlebihan (overhating), dehidrasi atau kekurangan

cairan, alergi maupun karena gangguan sistem imun.

Gejala demam dapat dipastikan dari pemeriksaan suhu

tubuh yang lebih tinggi dari rentang normal. Dikatakan

demam, apabila pada pengukuran suhu rektal >38oC

(100,4oF) atau suhu oral >37,8oC atau suhu aksila >37,2oC

(99oF). Sedangkan pada bayi berumur kurang dari 3 bulan,

dikatakan demam apabila suhu rektal > 38oC dan pada bayi

usia lebih dari 3 bulan apabila suhu aksila dan oral lebih dari

38,3oC.

Penatalaksanaan demam sangat bermanfaat untuk

mengurangi rasa tidak nyaman yang dirasakan pasien. Selain

terapi simptomatis dan kausatif dengan menggunakan obat-

obatan, demam dapat diturunkan dengan kompres kulit. Telah


dikenal dua macam cara kompres kulit, yaitu kompres dingin

dan kompres hangat. Kompres dingin telah dikenal secara luas

penggunaannya di masyarakat dibandingkan kompres hangat.

Tulisan ini akan mencoba mengulas efektifitas pemakaian

kompres dingin dan hangat. Penjelasan yang mengacu pada

proses fisiologis yang terjadi pada pemakaian kompres

diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai efektifitas

pemakaian kompres dingin dan hangat pada penatalaksanaan

demam (Nurlaili Susanti, 2012).

2) Patofisologi hipertermi

Peningkatan suhu tubuh terjadi akibat peningkatan set

poin, infeksi bakteri menyebabkan demam karena endotoksin

bakteri merangsang sel OMN ([Polymorphonuclear

neutrophilic leukocyte) untuk menhasilkan pirogen endogen

yaitu interleukin 1, interleukin 6 ataun TNF (Tumor necrosis

faktor). Pirogen adalah substansi yang menyebabkan demam.

Pirogen yang berasal dari luar tubuh terutama mikroba dan

produknya seperti toksin. Contoh klasik dari pirogen eksogen

adalah endotoksin lipopolisakarida yang di produksi oleh

semua bakterigram negatif. Endotokson adalah substansi

poten yang tidak hanya sebagai pirogen tapi juga sebagai

induser dari perubahn patologis yang bervariasi yang di

observasi pada infeksi gram negatif. Grup lain dari substansi

bakteri yang menjadi pirogen yang poten di produksi oleh


bakteri gram positif. Toksin dari TSS (Toxic Shock Syndrome

/ TSST-1) di hubungkan dengan strain stafilokokus aureus

yang diisolasi dari pasien dengan Toxic Shock Syndrome

(TSS). TSST-1 dan enterotoksin lain dari Streptokokus grup

A bekerja sebagai toksin langsung tetapi juga berperan

sebagai superantingen. Superantingen berperan dalam

pathogenesis infeksi gram positif yang parah akibat infeksi

gram positif yang parah akibat interaksi dengan MHC (Major

Histocompatibility Complex) II dan sejumlah sel T untuk

melepaskan sitokin pirogenik. Seperti endotoksin dan bakteri

Gram negatif, toksin yang di produksi oleh Stafilokokus dan

Streptokokus menyebabkan demam pada percobaan hewan

yang di injeksi secara intravena dalam rentan

submikogram/kg.

Sitokin Pirogenik adalah pirogen endogen yang

spesifik yang di lepaskan sebagai respon terhadap pirogen

eksogen. Sitokin adalah protein kecil (BM 10-20.000 D) yang

meregulasi peoses imun, inflamasi dan hematopoietik.

Sebagai contoh, stimulasi dari proliferasi limfosit selama

respon imun vaksinasi adalah hasil dari sitokin yang

bervariasi mencangkup IL-2, IL-4, dan IL-6, sitokin yang di

sebut Granulacite Colony Stimulating Factor (F-CSF)

menstimulasi granulositopolesis di sumsum tulang. Beberapa

sitokin menyebabkan demam dan disebut sitokin pirogenik.


Ada beberapa sitokin pirogenik yaitu IL-1, IL-6, TNF

dan CNTF (neurotrophic factor) Interferon-alpha dapat jug di

pertimbangkan sebagai sitokin pirogenik sejak memproduksi

panas. Pada faktanya IL-1, IL-6, dan TNF masimg-masing di

injeksikan pada manusia dan menghasilkan demam IL-1 dan

TNF adalah pirogen yang utama menghasilkan panas pada

dosis rendah 10 ng/kg (IV atau SC). IL-6 juga merupakan

pirogen tetapi membutuhkan dosis mikrogram/kg lebih dari

naanogram/kg dosis IL-6 di butuhkan untuk memproduksi

demam pada manusia. Meskipun demikian, sejumlah besar

dari IL-6 bersirkulasi pada semua penyakit demam dan IL-6

yang di induksi oleh IL-1 atu kombinasi IL-1 dan TNF di

laporkan secara klinis lebih sering terukur. Tikus tanpa gen

yang mengkode IL-6 tidak menimbulkan demam selama

infeksi bakteri. Jadi, pada kebanyakaan penyakit infeksi dan

inflamasi, konsentrasi rendah dari IL-1 dan TNF menginduksi

sejumlah besar dari IL-6 dan inilah sebagai pencetus pada

pusat di hipotalamus untuk mengontrol suhu tubuh.

Pirogen eksogen menginduksi sintesis dan pelepasan

dari sitokin pirogenik endogen. Kebanyakan substansi

pirogenik eksogen berasal dari bakeri dan jamur, sedangkan

virus menginduksi sitokin pirogenik dengan menginfeksi sel.

Demam juga dapat di akibatkan oleh berbagai jenis penyakit

inflamasi, trauma atau kompleks antigen antibody yang dapat


menginduksi produksi IL-1, TNF dan IL-6 yang merangsang

hipotalamus untuk meningkatkan sel point ke level demam.

Pirogen endogen bekerja di hipotalamus dengan bantuan

enzim siklooksigenase 2 (COX-2) membentuk membentuk

prostaglandin E2. Hal ini menyebabkan peningkatan level

prostaglandin E2 dari jaringan hipotalamus anterior dan

ventrikel III dimana konsentrasi tertinggi berada di sekitar

organ vasculosum lamina terminalis yang jaringan kapilernya

meluas ke sekeliling pusat termoregulasi hipotalamus.

Interaksi pirogen dengan endothelium pembuluh darah

circumventricular hipotalamus adalah langkah awal yang

meningkatkan set point ke level demam. Sitokin pirogenik

seperti IL-1, IL-6 dan TNF di lepaskan dari sel yang

memasuki sirkulasi sistemik dan menginduksi sintesis PGE2

untuk mencetuskan demam. Sitokin pirogenik juga

menginduksi pembentukan PGE2 di jaringan perifer. PGE2

di perifer dapat berkomunikasi dengan otak secara tidak

langsung untuk meningkatkan set point hipotalamus memulai

beberapa cara, diantaranya xdengan menstimulasi serabut

saraf otonom dan melalui rute vagal yang merupakan cara

terbaik. Peningkatan PGE2 di perifer juga menyebabkan

miyalgia non spesifik dan antralgia yang sering menyebabkan

demam.
Demam memiliki tiga fase klinis yaitu mengigil

(chill), febris (fever) dan kemerahan (flush). Pada fase

mengigil, temperatur inti tubuh naik menjangkau set point

suhu baru dengan vasokonstriksi perifer untuk mengurangi

pengeluaran panas dan meningkatkan aktifitas otot (shivering)

untuk menigkatkan produksi panas. Pada fase febris terjadi

keseimbangan antara produksi dan kehilangan panas pada set

point yang meningkat. Kulit teraba hangat, kemerahan, dan

kering. Ketika set point kembali normal, tubuh

mempersepsikan dirinya menjadi terlalu panas, sehimgga

mekanisme mengurangi panas di mulai melalui vasodilatasi

perifer dan berkeringat (Nurlaili Susanti, 2012)

3) System pengaturan suhu

Temperatur tubuh bervariasi setiap saat pada suatu

rentan normal yang di kontrol oleh pusat termogulasi yang

berlokasi di hipotalamus. Tubuh secara normal mampu

mempertahankan temperatur karena pusat termogulasi

hipotalamus menyeimbangkan produksi panas berlebih yang

di hasilkan oleh aktifitas metabolisme di otot dan hepar

dengan kehilangan panas dari kulit dan paru.

Individu normal, rata-rata temperatur oral untuk usia

18-40 tahun dalah 36,8 ± 0,4°C (98,2 ± 0,7°F) dengan level

terendah pada pukul 6 pagi dan level tertinggi pada level

pukul 4 (37,7°C / 99,9°F) -6 (37,2°C / 98,9°F) sore. Oleh


karena itu, suhu pagi hari > 37,2°C (98,9°F) atau suhu sore

hari > 37,7°C (99,9°F) harus di pertimbangkan sebagai

demam. Temperatur rektal secara umum lebih tinggi dari pada

oal yaitu sekitar 0,6°C (1,0°F). Hal ini di sebabkan karena

adanya pernafasan dari mulut. Temperatur membran timpani

lebih mendekati termperatur inti tubuh, tetapi pemeriksaannya

lebih sulit. Tubuh senantiasa berupaya untuk mempertahankan

set point suhu pada kisaran 37°C, dengan variasi sirkadian <

1°C (36,3-37,2°C) pada pengukuran suhu aksila. (Nurlaili

Susanti, 2012)

4) Penatalaksanaan hipertermi

Demam dihubungkan dengan konsekuensi metabolik

potensial meliputi dehidrasi, peningkatan konsumsi oksigen,

dan laju metabolisme. Untuk setiap peningkatan satu derajat

diatas 37oC terjadi peningkatan konsumsi oksigen sebanyak

13%. Hal ini dapat memperburuk insufisiensi paru dan

jantung yang telah ada sebelumnya. Demam yang

berkepanjangan dihubungkan dengan peningkatan kebutuhan

nutrisi yang mungkin bermasalah jika pasien mengalami

penurunan nutrisi. Demam berkepanjangan juga menyebabkan

kelemahan.

Demam pada umumnya dihubungkan dengan infeksi

virus yang bersifat self limited. Penggunaan obat penurun

demam (antipiretik) dalam hal ini dapat mengurangi gejala


sakit kepala, mialgia, dan arthralgia. Meskipun demam

kemungkinan bermanfaat dalam meningkatkan pertahanan

tubuh, tetapi perlu dipertimbangkan aspek kenyamanan

pasien. Penurunan demam membantu mengurangi rasa tidak

nyaman dan gejala penyerta seperti kelemahan, myalgia,

diaphoresis dan menggigil. Terapi simptomatis demam tidak

berbahaya dan tidak memperlambat penyembuhan infeksi

bakteri maupun virus. Akan tetapi, ada situasi klinis dimana

observasi terhadap demam memberi keuntungan diagnostik.

Lama demam dan karakteristik naik turunnya dapat

mengarahkan kecurigaan infeksi beberapa penyakit, seperti

demam berdarah, demam thypoid, dll.

Secara umum demam terjadi akibat peningkatan

produksi panas yang tidak diimbangi oleh pengeluaran panas

tubuh. Oleh karena itu penatalaksanaan demam ditujukan

untuk mengurangi produksi panas dan meningkatkan

pengeluaran panas tubuh. Peningkatan pengeluaran panas

tubuh dapat dilakukan dengan meningkatkan radiasi,

konduksi, konveksi, dan evaporasi, diantaranya membuka

pakaian atau selimut yang tebal dan ganti dengan pakaian tipis

agar terjadi radiasi dan evaporasi. Meningkatkan aliran udara

dengan meningkatkan ventilasi ke dalam rumah akan

menyebabkan terjadinya mekanisme konveksi. Selain itu,

dapat dilakukan upaya melebarkan pembuluh darah perifer


dengan cara menyeka kulit dengan air hangat (tepid-sponging)

atau kompres hangat. Mendinginkan dengan air es atau

alkohol kurang bermanfaat karena mengakibatkan

vasokonstriksi pembuluh darah sehingga panas sulit

disalurkan baik lewat mekanisme evaporasi maupun radiasi.

Selain itu, pengompresan dengan alkohol dapat terserap oleh

kulit dan terhirup pernafasan yang dapat menyebabkan

keracunan alkohol dengan gejala hipoglikemia, koma sampai

kematian. Agar kadar elektrolit tidak meningkat saat terjadi

evaporasi, maka seseorang yang mengalami demam harus

mengkonsumsi cairan yang cukup (Nurlaili Susanti, 2012)


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain penelitian

Penyusunan Karya Tulis Ilmiah menggunakan bentuk laporan

studi kasus. Studi kasus ialah laporan yang dilaksanakan dengan cara

meneliti suatu permasalahan melalui suatu yang terdiri dari unit tunggal

(Notoatmodjo, 2010)

3.2 Batasan istilah

Untuk menghindari kesalahan dalam memahami penelitian ini,

maka perlu dijelaskan terlebih dahulu variable dalam studi kasus yang

berjudul “Asuhan keperawatan klien demam tifoid dengan dengan

msalah hipertermi di ruang perawatan anak”. Adapun penjelasan istilah

untuk masing-masing variabel tersebut adalah sebagai berikut:

3.2.1 Pengertian hipertermi

Hipertermi adalah Hipertermi (demam) adalah suatu

keadaan tubuh dalam keadaan suhu tubuh diatas batas normal

sebagai pengaruh dari peningkatan pusat pengaturan suhu di

hipotalamus. Pada kondisi normal, terjadi keseimbangan antara

produksi dan pelepasan panas tubuh. Pada kondisi tidak normal,

terjadi ketidakseimbangan antara produksi dan pembatasan panas

sehingga terjadi peningkatan suhu tubuh yang tidak teratur, itulah

yang disebut hipertermia (Prasetyo, 2017)


3.2.2 Pengertian Demam Typoid

Demam thypoid (enteric fever) merupakan penyakit infeksi akut

yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala

demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan

dan gangguan kesadaran (Lestari, 2016).

3.3 Unit Analisis

Subyek yang digunakan pada studi kasus ini adalah 2 pasien thypoid

dengan masalah hipertermi dengan kriteria:

3.3.1 Inklusi:

1) Pasien yang didiagnosa dokter mengalami tifoid khususnya

mengalami hipertermi .

2) Demam > 3 hari.

3) Terjadi penurunan berat badan 10-20% dari berat badan

ideal.

4) Pasien berumur antara 5-16 tahun.

5) Bersedia dijadikan subjek studi kasus.

6) Uji Widal (+)

3.3.2 Eksklusi:

1) Pasien tidak kooperatif.

2) Umur > 16 tahun.

3) Suhu tubuh dalam rentang normal (36,5oC-37,2oC)

4) Pasien dengan status nutrisi baik.

5) Uji Widal (-)

6) Pasien dengan tidak ada tanda-tanda demam.


7) Pasien tidak mengikuti penelitian sampai akhir.

8) Pasien/keluarga pasien yang tidak bersedia menjadi

responden.

3.4 Lokasi dan Waktu

Lokasi studi kasus merupakan tempat dimana pengambilan kasus

dilaksanakan (Soekidjo, 2010). Studi kasus ini akan dilakukan di Ruang

Perawatan Anak. Waktu studi kasus adalah rentang waktu yang

digunakan penulis untuk mencari kasus (Soekidjo, 2010). Studi kasus ini

akan dilakukan pada bulan Juli 2017 minimal selama 3 hari.

3.5 Pengumpulan Data

Pada sub bab ini dijelaskan terkait metode pengumpulan data yang

digunakan;

3.5.1 Wawancara (hasil anamnesis berisi ttg identitas pasien, keluhan

utama, riwayat penyakit sekarang – dahulu – keluarga dll). Sumber

data dari pasien, keluarga, perawat lainnya).

3.5.2 Observasi dan Pemeriksaan fisik (dengan pendekatan IPPA:

inspeksi, palpasi, perkusi, Asukultasi) pada sistem tubuh pasien.

3.5.3 Studi dokumentasi dan angket (hasil dari pemeriksaan diagnostik

dan data lain yg relevan).

3.6 Uji Keabsahan Data

Uji keabsahan data dimaksudkan untuk menguji kualitas data/informasi

yang diperoleh dalam penelitian sehingga menghasilkan data dengan

validitas tinggi. Disamping integritas peneliti (karena peneliti menjadi

instrumen utama), uji keabsahan data dilakukan dengan:


3.6.1 memperpanjang waktu pengamatan / tindakan.

3.6.2 Sumber informasi tambahan menggunakan triangulasi dari tiga

sumber data utama yaitu pasien, perawat dan keluarga klien

yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

3.7 Analisa Data

Analisis data dilakukan sejak peneliti di lapangan, sewaktu pengumpulan

data sampai dengan semua data terkumpul. Analisa data dilakukan

dengan cara mengemukakan fakta, selanjutnya membandingkan dengan

teori yang ada dan selanjutnya dituangkan dalam opini pembahasan.

Teknik analisis yang digunakan dengan cara Menarasikan jawaban-

jawaban dari penelitian yang diperoleh dari hasil interpretasi wawancara

mendalam yang dilakukan untuk menjawab rumusan masalah penelitian.

Teknik analisis digunakan dengan cara observasi oleh peneliti dan studi

dokumentasi yang menghasilkan data untuk selanjutnya diinterpretasikan

oleh peneliti dibandingkan teori yang ada sebagai bahan untuk

memberikan rekomendasi dalam intervensi tersebut. Urutan dalam

analisis adalah:

3.7.1 Pengumpulan data.

Data dikumpulkan dari hasil WOD (wawancara, observasi,

dokumen). Hasil ditulis dalam bentuk catatan lapangan, kemudian

disalin dalam bentuk transkrip.

3.7.2 Mereduksi data dengan membuat koding dan kategori.

Data hasil wawancara yang terkumpul dalam bentuk catatan

lapangan dijadikan satu dalam bentuk transkrip. Data yang


terkumpul kemudian dibuat koding yang dibuat oleh peneliti dan

mempunyai arti tertentu sesuai dengan topik penelitian yang

diterapkan. Data obyektif dianalisis berdasarkan hasil pemeriksaan

daiagnostik kemudian dibandingkan nilai normal

3.7.3 Penyajian data.

Penyajian data dapat dilakukan dengan tabel, gambar, bagan

maupun teks naratif. Kerahasiaan dari responden dijamin dengan

jalan mengaburkan identitas dari responden.

3.7.4 Kesimpulan.

Dari data yang disajikan, kemudian data dibahas dan dibandingkan

dengan hasil-hasil penelitian terdahulu dan secara teoritis dengan

perilaku kesehatan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan

metode induksi. Data yang dikumpulkan terkait dgn data

pengkajian, diagnosis, prencanaan, tindakan, dan evaluasi

3.3 Etika studi kasus

Penelitian dalam pelaksanaannya tidak berdiri sendiri, tetapi saling

berkaitan dan saling mendukung. Terlebih bila mengingat bahwa

manusia menjadi obyek Keperawatan, maka penelitian yang melibatkan

manusia sebagai obyek penelitian harus memperhatikan hak asasi

manusia. Bentuk umum perlindungan terhadap manusia sebagai obyek

penelitian adalah informed consent yang berisi penjelasan tentang hak

dan kewajiban sebagai obyek penelitian serta perlindungan yang

diberikan oleh peneliti. Etika penelitian dalam keperawatan adalah :

3.8.1 Lembar persetujuan


Peneliti meminta subyek penelitian untuk menandatangani lembar

persetujuan peneliti setelah subyek menyatakan ketersediaannya

untuk berpartisipasi dalam studi kasus.

3.8.2 Tanpa nama (inisial)

Untuk menjaga kerahasiaan subyek maka dalam lembar

pengumpulan data tidak dicantumkan nama tapi inisial.

3.8.3 Kerahasiaan

Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dari subyek dijaga

oleh peneliti. Data hanya disajikan pada kelompok yang

berhubungan dengan penelitian ini.

3.8.4 Non malefificien (Tidak membahayakan)

Penelitian ini dilakukan oleh perawat hendaknya tidak

mengandung unsur bahaya atau merugikan klien, apalagi sampai

mengancam jiwa klien, namun sampai mengorbankan klien

sebaliknya penelitian dihentikan.

3.8.5 Varacity (kejujuran)

Proyek penelitian yang dilakukan oleh perawat hendaknya

dijelaskan secara jujur tentang manfaatnya, efeknya, dan apa yang

didapati, jika klien dilibatkan dalam proyek tersebut. Penjelasan

seperti ini harus disampaikan kepada klien karena mereka

mempunyai hak untuk mengetahui segala informasi kesehatanya

secara periodic dari perawat

3.8.6 Justice (Keadilan)


Dalam prinsip ini, penelitian berlaku jujur (faimas) dan adil pada

responden. Maka prinsip ini dilaksanakan dalam bersikap maupun

mendistribusikan semua kebutuhan dalam penelitian.


DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. (2008). konsep dasar keperawatan (cetakan 1). jakarta: EGC.

Bulecheck, G. M., Butcher, H. K., Joanne, D. M., & Cheryl, W. M. (2016).

Nursing Interventions Classification (NIC) (edisi keen). CV.Mocomedia.

Heather, H. T. (2017). diagnosis keperawatan defenisi & klasifikasi 2015-2017.

Indah, P. karina, Hartini, S., & Bayu, muslim argo. (2012). Perbedaan efektivitas

kompres air hangat dan kompres air biasa terhadap penurunan suhu tubuh

pada anak dengan demam di rsud tugurejo semarang, 34.

Lestari, T. (2016). asuhan keperawatan anak (edisi 1). yogyakarta: Nuha Medika.

Notoatmodjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nurlaili Susanti. (2012). Efektifitas Kompres Dingin Dan Hangat Pada

Penataleksanaan Demam, 1, 55–64.

Padila. (2013). asuhan keperawatan penyakit dalam (edisi 1). yogyakarta: Nuha

Medika.

Prasetyo, H. (2017). Upaya penanganan hipertermi pada anak dengan typoid

abdominalis.

Sari, W. K. (2013). Asuhan keperawatan Anak (edisi 1). jakarta timur: CV.Trans

Info Media.

Soekidjo, N. (2010). Metologi penelitian kesehatan (cetakan pe). jakarta: PT

Rineka cipta.
Syahrir, Agusyanti, Nurmiyati, Parura, E., & Gasang. (2014). Profil Kesehatan

Provinsi Sulawesi Selatan.

WHO. (2014). WHO recommendations on the management of diarrhoea and

pneumonia in HIV-infected infants and children, (Imci).

Wilkinson, J. M. (2016). Diagnosis Keperwatan; Diagnosa Nanda-I, Intervensi

NIC, Hasil NOC. (W. Praptiani, Ed.) (10th ed.). Jakarta: EGC.

Vous aimerez peut-être aussi