1. Tingkat Pengetahuan Coder dalam Mengkoding Diagnosis
Tingkat pengetahuan coder sangat ditentukan oleh karakteristik dari coder tersebut. Karakteristik dari coder yaitu umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, masa kerja, dan frekuensi pelatihan koding. Berikut adalah penjelasan tentang karakteristik dari coder: a. Umur Coder adalah pekerjaan yang membutuhkan ketelitian yang tinggi sebab dalam mengkoding coder harus memahami tentang koding ICD-10 dengan baik dan mengikut perkembangannya agar sesuai dengan program INA-CBG’s , serta juga harus bisa membaca dan menentukan diagnosa utama, apabila dokter menentukan diagnosa tidak sesuai dengan definisi WHO maka coder harus dapat menentukan mana yang akan dijadikan diagnosa utama sesuai dengan ketentuan dalam rule MB pada volume 2 ICD- 10. Tingkatan umur sangat berpengaruh pada keuletan dan sikap fleksibilitasnya menghadapi perkembangan dalam menentukan kode diagnosa. b. Jenis kelamin Karakteristik dari jenis kelamin juga mempengaruhi ketepatan kode diagnosa sebab sebagian besar coder yang berjenis kelamin wanita dapat mengkoding diagnose lebih akurat yang dikarenakan wanita lebih teliti dan ulet dalam mengerjakan sesuatu terutama mengkoding diagnose yang sangat membutuhkan ketelitian. c. Tingkat pendidikan Dalam melakukan kegiatan mengkoding diagnosa coder harus berlatar pendidikan rekam medis sebab penggunaaan ICD-10 serta pengembangannya dan tata cara pengkodingannya yang rumit serta diagnosa pasien yang komplikasi dengan penulisan dokter yang tidak sesuai dengan ketentuan dari WHO maka coder harus dapat menentukan diagnosa utama sendiri sesuai dengan pedoman pada ICD-10 volume 2. d. Masa kerja Masa kerja dapat berpengaruh pada tingkat pengetahuan coder sebab semakin lama masa kerja coder maka coder akan semakin sigap dalam melakukan koding karena terbiasa hingga terkadang apabila diagnose sering muncul maka coder bisa mengkode tanpa melihat ICD-10 naum bila masa kerja sebentar maka coder akan kebingungan dengan membaca tulisan dokter dan tata cara penentuan kode. e. Frekuensi pelatihan koding Pelatihan koding sangat menunjang dalam keakuratan koding. Melakukan kodefikasi penyakit harus mengikuti perkembangan terutama yang ditetapkan oleh pihak BPJS sebab bila tidak update maka kode diagnosa akan salah dan klaim asuransi rendah sehingga mengakibatkan kerugian rumah sakit. Apabila semua karakteristik coder telah sesuai dengan kualifikasi maka hasil dari pengkodeannya akan akurat namun bila tidak maka hasil kodenya tidak akurat.
2. Penyebab Ketidakakuratan Koding
Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat keakuratan koding diagnosa di Indonesia mencapai 30-70%. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : a. Coder Coder adalah sumber daya terpenting dalam koding diagnosa sebab kompetensi coder dalm melakukan kode sangat mempengaruhi biaya klaim asuransi. Coder haruslah orang yang berkompeten dalam rekam medis khususnya dalam mengaplikasikan ICD-10. b. Dokter Dokter adalah tenaga medis yang menentukan diagnosa utama pasien. Koding diagnosis juga sangat terpengaruhi oleh diagnose yang dokter tulis. Apabila penulisan diagnose tidak jelas dan penentuan diagnosa utama salah maka dapat menyebabkan ketidakakuratan koding diagnose. c. Dokumen Rekam Medis (DRM) Coder akan mengkoding diagnosa pada DRM pasien yang telah ditulis oleh dokter. Apabila DRM tersebut tidak lengkap terutama bagian diagnosa utama, riwayat penyakit, dan pemeriksaan penunjang maka hal tersebut dapat menjadikan koding tidak akurat. 3. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Coder terhadap Tingkat Keakuratan Koding Diagnosis Tingkat pengetahuan coder sangat mempengaruhi keakuratan koding sebab coder merupakan sumber daya yang paling penting dalam melakukan kodeing diagnosa, yang mengerti tata cara dan ketentuan dalam mengkoding diagnose menggunakan ICD-10. Apabila coder tidak berkompeten dalam ICD-10 maka koding yang dihasilkan juga akan salah walupun diagnose utama yang ditulis oleh dokter telah benar sesuai aturan dari WHO dan BPJS.