Vous êtes sur la page 1sur 20

Aspal Campur Limbah Plastik

Tingkatkan Ketahanan Jalan

Pasuruan – Jawa Timur menjadi lokasi ke-5 uji gelar teknologi aspal campur plastik
setelah Bali, Bekasi, Makassar dan Solo. Lokasi uji gelar aspal campur plastik tepatnya
berada di ruas jalan nasional Gempol Batas Kota Bangil Km. 35 + 800 hingga 36 + 800.
Pejabat Pembuat Komitmen Gempol – Bangil – Pasuruan – Probolinggo, Purnyoto,
ditemui di lokasi gelar aspal, Selasa (31/10) mengatakan sebuah kehormatan ruas
Gempol – Bts Bangil dijadikan pilot project gelar aspal campur limbah plastik.
Ini hal yang positif karena limbah plastik yang selama ini kurang termanfaatkan dengan
baik dapat dijadikan bahan campuran aspal. “Proses pencampuran aspalnya sama
dengan aspal hotmix biasa namun kita tambahkan campuran limbah plastik yang sudah
di cacah-cacah, memang ada peningkatan biaya sekitar 10 % namun dari segi
ketahanan meningkat 40 %”, ujar Purnyoto.

Ia menambahkan dalam 1 ton aspal membutuhkan 3,9 kg limbah plastik yang sudah di
cacah. Limbah plastik sebagai bahan tambah pada campuran aspal dry process 6
persen terhadap berat aspal. Saat ini limbah plastik yang digunakan masih berasal dari
Pulau Jawa dan Bali, dimana proses pengolahan limbah dilakukan di Bandung.
Bahan limbah plastik yang digunakan dalam campuran beraspal panas dibatasi hanya
untuk jenis kantong kresek (LDPE/Low Density PolyEthylene) yang telah melalui proses
pencucian dan pencacahan. Cacahan limbah plastik yang akan digunakan harus kering,
bersih dan terbebas dari bahan organik dengan ukuran maksimal 9,5 mm.

Proses penambahan limbah plastik di Asphalt Mixing Plant (AMP) dilakukan melalui
lubang kontrol pugmill. Untuk mempermudah pemasukkan limbah plastik caranya
dikemas ulang perkantong dengan takaran berat per-batch campuran aspal.
Proses pencampuran limbah plastik menjadi aspal, mulai dari mencampurkan limbah
plastik dengan agregat panas (±1700C). Kemudian diaduk selama 10 detik hingga
bahan limbah plastik dapat menyelimuti permukaan agregat. Setelah pengadukan
agregat dan limbah plastik, selanjutnya dilakukan pengadukan basah dengan
menambahkan sejumlah aspal panas (1600C) selama 35 detik. Campuran beraspal
panas dengan bahan limbah plastik telah siap dimobilisasi ke lapangan untuk dilakukan
penghamparan dan pemadatan seperti campuran beraspal panas pada umumnya.
Ditempat terpisah Kepala Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi, Rezeki
Peranginangin saat menjadi narasumber Diseminasi Hasil Litbang PUPR dengan
Tema Penerapan Terbatas Teknologi Aspal Plastik (31/10) menyampaikan pada
umumnya limbah plastik berasal dari domestik dan industri yang jumlahnya setiap tahun
meningkat, seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi
suatu negara. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gerakan Indonesia Diet Kantong
Plastik (2016) menyebutkan, sampah di Indonesia didominasi oleh kantong plastik
(kresek) dan plastik tidak laku (residu) mencapai 62 persen.

“Pemanfaatan limbah plastik sebagai bahan tambahan pada campuran beraspal panas
adalah sebagai salah satu solusi bagi permasalahan limbah plastik yang merupakan
wujud dari kepedulian terhadap lingkungan” Kata Rezeki.

Ia menambahkan potensi pemanfaatan limbah plastik dalam campuran aspal sangat


besar karena saat ini Indonesia memiliki 49.640 Km jalan Nasional, 38.039 Km jalan
Provinsi dan 346.229 Km Jalan Kab/Kota sedangkan komposisi aspal campur plastik ini
membutuhkan 3 (tiga) ton kantong kresek untuk setiap 1 (satu) kilometer jalan lebar 7
(tujuh) meter dengan spesifikasi standar.

Hal ini tentu dapat diterapkan seiring dengan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasiona (RPJMN) 2015-2019 dimana tercatat Indonesia akan membangun
2.600 km jalan nasional, 1000 km jalan tol dan pekerjaan pemeliharaan di semua
wilayah dengan kebutuhan aspal sekitar 1,5 juta ton/tahun.

Diperkirakan penggunaan limbah plastik sekitar 6 persen dari kadar aspal. Sebanyak 50
persen probabilitas konstruksi memanfaatkan teknologi jalan limbah plastik. Dari
keduanya, potensi penggunaan limbah plastik untuk konstruksi jalan adalah 0,45 juta
ton/tahun

Salah satu bahan tambah yang umum digunakan untuk memodifikasi campuran
beraspal panas adalah polimer. Sementara itu, kantong plastik yang sering kita
gunakan sehari hari merupakan polimer dari jenis plastomer dan berpotensi untuk
digunakan sebagai bahan tambah perkerasan jalan. Selain meningkatkan kinerja
campuran beraspal, pemanfaatan limbah plastik ini sangat besar manfaatnya untuk
lingkungan dengan berkurangnya sampah plastik.

Penelitian mengenai pemanfaatan limbah plastik untuk bahan campuran aspal sudah
dimulai sejak 2008 dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Dan atas inisiasi dari Kementerian
Koordinator Bidang Kemaritiman, penelitian ini dilanjutkan kembali pada awal tahun
2017. Referensi penelitian serupa sudah dilakukan di India. Berdasarkan hasil kajian di
laboratorium tahun 2017, campuran beraspal panas dengan bahan tambah limbah
plastik menunjukkan peningkatan nilai stabilitas Marshall 40 persen dan lebih tahan
terhadap deformasi dan retak lelah pada kadar limbah plastik tertentu dibandingkan
dengan campuran beraspal panas standar.
Limbah Plastik Digunakan untuk Aspal
Jalan, Ternyata Berisiko. Kenapa?
oleh Luh De Suriyani, Denpasar di 2 August 2017

Uji coba limbah plastik untuk aspal jalan di Bali akan dipamerkan pada Forum
Pertemuan Tahunan World Bank dan IMF tahun 2018 mendatang terkait dengan
solusi masalah limbah plastik. Sejumlah aktivis lingkungan mengingatkan ada
sejumlah hal yang perlu diwaspadai dari aspal campur plastik ini.

Siaran pers dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)
menyebut pemilihan Universitas Udayana sebagai lokasi ujicoba pertama, karena
lokasi tersebut akan dijadikan showcase pada pertemuan lembaga keuangan dan
kreditor internasional tersebut.

(baca :Indonesia Bebas Sampah 2020, Kemandirian Pengelolaan Sampah Harus


Dilakukan)

Disebutkan, setelah berhasil diujicoba di kampus Universitas Udayana, selanjutnya


pemanfaatan limbah plastik untuk aspal juga akan dilaksanakan pada jalan nasional
di Jakarta, Bekasi dan Surabaya pada pertengahan Agustus tahun 2017. Balai
Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) VI (DKI Jakarta dan Jabar) dan BBPJN
VII (Jawa Timur) saat ini tengah melakukan persiapannya sehingga dapat segera
dimulai.

Pemanfaatan limbah plastik sebagai aspal merupakan kerjasama antara


Kementerian PUPR dan Kementerian Koordinator Kemaritiman. Dalam kaitan ini,
Deputi Bidang Koordinasi SDM, Iptek dan Budaya Maritim Kemenko Kemaritiman
Safri Burhanuddin mengatakan bahwa untuk menyuplai kebutuhan limbah plastik
sebagai aspal pihaknya telah berkoordinasi dengan Asosiasi Daur Ulang Plastik
Indonesia (Adupi) di 16 kota besar yang akan mengumpulkan dan memilah sampah.

“Dalam upaya pengurangan sampah ini tahapan awalnya adalah melakukan


edukasi kepada masyarakat, setelah terkumpul kami minta dukungan tim
Kementerian PUPR. Pemanfaatan limbah plastik untuk aspal ini diharapkan dapat
menjadi solusi yang tepat terhadap permasalahan sampah di Indonesia,” tutur Safri
dalam siaran persnya.
Pada hari Sabtu (29/7/2017) telah dilaksanakan ujicoba menggelar aspal plastik
sepanjang 700 meter yang bertempat di Universitas Udayana, Jimbaran, Badung.
Kepala Balitbang Kementerian PUPR Danis Hidayat Sumadilaga mengatakan
pemanfaatan limbah plastik sebagai aspal tersebut merupakan salah satu solusi
bagi permasalahan sampah plastik.

Kementrian PUPR melalui Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) saat ini
tengah mengembangkan pemanfaatan limbah plastik sebagai campuran aspal.
Sedangkan Presiden Joko Widodo pada saat pertemuan G-20 telah menyampaikan
komitmen Indonesia untuk mengurangi sampah plastik laut sebesar 70 persen
hingga tahun 2025.
Limbah plastik diujicobakan sebagai campuran aspal untuk jalan di kampus Universitas Udayana,
Jimbaran, Badung, Bali pada Sabtu (29/07/2017). Foto: Biro Komunikasi Publik Kementerian
PUPR/Mongabay Indonesia

Para peneliti di Balitbang Kementerian PUPR telah cukup lama melakukan


penelitian pemanfaatan limbah plastik sebagai campuran aspal. “Setiap 1 kilometer
jalan dengan lebar 7 meter, membutuhkan campuran limbah plastik sebanyak 2,5
hingga 5 ton. Jadi bisa dibayangkan apabila hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan
di Indonesia yang memiliki jalan ribuan kilometer,” tutur Danis.

Jumlah sampah plastik di Indonesia tahun 2019 diperkirakan mencapai 9,52 juta ton
atau 14 persen dari total sampah yang ada. Dengan estimasi plastik yang
digunakan 2,5-5 ton/km jalan, maka limbah plastik dapat menyumbang kebutuhan
jalan sepanjang 190.000 km.

(baca :Akibat Sampah, Laut Indonesia Bakal Hadapi Tiga Ancaman Serius)

Selain itu, aspal yang dihasilkan juga lebih lengket jika dibandingkan dengan aspal
yang tidak menggunakan plastik sebagai campuran. Artinya, kata Danis, stabilitas
aspal dan ketahanannya lebih baik. “Stabilitasnya meningkat 40 persen, ini
menjadikan kinerja lebih baik lagi,” tambah Danis.

Wakil Dekan Fakultas Teknik Universitas Udayana Ngakan Putu Sueca mengatakan
bahwa pemilihan kampus Universitas Udayana sebagai laboratorium penelitian
mahasiswanya merupakan hal yang positif. Diharapkan para mahasiswa dapat
mengambil kesempatan untuk belajar dan mengembangkan teknologinya. “Ini
merupakan sebuah wujud kerjasama yang baik antara peneliti, akademisi dan
praktisi dalam mencari solusi masalah limbah plastik,” tutur Sueca.

Turut hadir pada kesempatan tersebut Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan
Jalan dan Jembatan Deded Permadi, Sekretaris Balitbang Herry Vaza, Kepala
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Penerapan Teknologi Rezeki
Peranginangin, Kepala BBPJN VI Atyanto Busono dan Kepala BBPJN VIII I Ketut
Dhamawahana.
Sebuah ruas jalan di kampus Universitas Udayana, Jimbaran, Badung, Bali diujicobakan aspal
campur limbah plastik oleh pemerintah pusat pada Sabtu (29/07/2017). Foto: Biro Komunikasi
Publik Kementerian PUPR/Mongabay Indonesia

Dampak Buruk

Limbah plastik untuk bahan baku aspal jalan bukan hal baru. Dikutip dari The
Guardian, jalanan dari limbah plastik yang dikembangkan 15 tahun lalu di India ini
memiliki kelebihan dan kelemahan.

Jalan aspal dari plastik campur aspal (bitumen) di India menjadi salah satu diskusi
aktivis lingkungan. David Sutasurya, Direktur Yayasan Pengembangan Biosains dan
Bioteknologi (YPBB) ini misalnya mendiskusikan dengan Dharmesh Shah dari
Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA).

(baca :Memprihatinkan, Satwa Laut di Bali dan NTB Makin Beresiko Keracunan
karena Ini…)

David membagi hasil diskusi, sekaligus mengonfirmasi izin pengutipannya untuk


Mongabay Indonesia. Berikut penjelasan Dharmesh Shah diterjemahkan dari
bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.

Jalan plastik pertama kali diusulkan sebagai solusi untuk membuang sampah plastik
berharga rendah dan plastik laminasi. Namun, ia gagal lepas landas sebagai solusi
untuk sampah residu karena standar kualitas jalan di India mengharuskan
kontraktormenggunakan LDPE dan HDPE, di mana keduanya lebih berharga untuk
didaur ulang. Akibatnya infrastruktur yang telah diadakan untuk jalan plastik seperti
pencacah dll, di Chennai sekarang mangkrak.

Penggunaan limbah kemasan plastik untuk peletakan jalan diperkenalkan di India


oleh Prof.V.Vasudevan dari Thiyagaraja Engineering College, Tamil Nadu. Menurut
penemu, proses pencampuran bitumen mengurangi biaya dan secara signifikan
memperpanjang umur jalan. Prosesnya menggunakan cacahan plastik berharga
bermutu rendah yang juga bisa mencakup plastik berlapis.

Namun, prosesnya hanya bisa menggunakan kemasan berlaminasi di bawah 60


mikron tebal (pedoman Kementerian Pembangunan Pedesaan India) dan hanya
toleran terhadap pastik berlapis dalam jumlah terbatas (pedoman Kongres Jalan
India).

Namun, panduan dari Kongres Jalan India hanya merekomendasikan penggunaan


plastik yang sesuai dengan Low Density Polyethylene (LDPE), Polyethylene
Kepadatan Tinggi (HDPE), PET dan Poliuretana untuk konstruksi perkerasan.
Dengan kata lain, kemasan laminasi dapat digunakan sebagai pengisi tapi bukan
bahan yang diutamakan dalam proses pembuatan jalan.

Terkait potensi paparan terhadap racun. Bitumen diproses pada suhu maksimum
160 derajat celcius, yang cukup tinggi untuk melelehkan plastik tapi terlalu rendah
untuk memastikan degradasi berbagai jenis racun.
Pejabat dari Kementerian PUPR melihat spesifikasi jalan dengan campuran aspal dan limbah
plastik, usai diujicobakan di ruas jalan di kampus Universitas Udayana, Jimbaran, Badung, Bali.
Foto: Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR/Mongabay Indonesia

Masalah yang lebih besar dari teknologi ini adalah polusi mikro-plastik. Plastik yang
digunakan dalam proses pengolahan aspal hanya berubah secara fisik dan
membentuk lapisan tipis pada batuan. Plastik tersebut tidak benar-benar terurai.
Pelapukan jalan sepanjang waktu berpotensi memecah plastik menjadi partikel
mikro plastik yang masuk ke ekosistem.

(baca :Paus Sperma Itu Pun Mati karena Sampah Plastik)

“Sayangnya, tidak ada studi mendalam lainnya yang melihat emisi dari jalan plastik
dan tidak ada yang melihat Dioxin,” ujar Dharmesh Shah dalam korespondensinya
dengan David dan jaringan GAIA. Dalam website GAIA, no-burn.org disebutkan ada
sedikitnya 800 lembaga, komunitas, dan individu di lebih dari 90 negara yang terlibat
dalam jaringan edukasi sampah dan kampanye bahaya pembakaran sampah ini.

David dari YPBB yang juga menjadi anggota Aliansi Zerowaste Indonesia (AZWI)
menambahkan tidak adanya bukti tentang racun bukan berarti jalan dari plastik
aman, tetapi hanya karena belum ada penelitian yang dilakukan tentang hal
tersebut. “Terkait prinsip kehati-hatian, suatu teknologi yang belum cukup diteliti
bahayanya seharusnya tidak boleh diaplikasikan secara luas, kecuali untuk skala
laboratorium,” katanya.
Salah satu pegiat edukasi pengelolaan sampah di Bali, Catur Yudha Hariani dari
Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali mengatakan ide jalan dari aspal
campur plastik perlu kehati-hatian jika memilihnya menjadi proyek besar.

Menurutnya plastik jika dibakar akan mengeluarkan zat dioksin yang sangat
berbahaya bagi kesehatan. Jenis penyakit dampak dioksin mengerikan karena bisa
membunuh badan manusia secara perlahan. Plastik pada kondisi panas akan
memuai dan mengeluarkan racun. Nah jalan pasti terpapar matahari. Hal lain,
apakah jumlah limbah plastik yang digunakan signifikan dan teknologinya efisien.

“Tetapi intinya kalau mau mengurangi plastik ya harus dengan perubahan pola pikir
dan pola laku,” katanya mengingatkan pentingnya terus membangun kesadaran
soal sampah. Untuk kebijakan yang bisa dikontrol, Catur menyontohkan harga
plastik harus mahal dan perusahaan yang menggunakan plastik harus mau
menerima kembali limbahnya.
Meski Ditentang, Uji Coba Jalan Aspal
Campur Plastik Tetap Jalan
oleh Luh De Suriyani, Denpasar di 6 October 2017

Pemerintah menyebut penyampuran plastik dengan aspal untuk jalan adalah inovasi
mengurangi plastik. Setelah Bali, dua daerah lain yang akan menggunakan
proyek plastic tar road ini adalah Cilincing, Jakarta Utara sepanjang 1 km dan
Bekasi sekitar 2,6 km.

Hal ini disampaikan Nani Hendiarti, Asisten Deputi Pendayagunaan Iptek


Kementrian Koordinator Bidang Maritim dalam sebuah wawancara singkat dengan
Mongabay di Bali. Ia mengatakan ketiga lokasi uji coba memiliki karakteristik
berbeda. Uji coba pertama di sekitar 700 meter ruas jalan dalam kompleks kantor
rektorat Universitas Udayana di Jimbaran, Badung, Bali, Juli lalu. Ini bukan jalan
umum, hanya dilalui kendaran internal pegawai Unud. Beban jalan tidak berat.

Kedua, di jalan lintas kecamatan di Cilincing, Jakarta Utara sekitar 1 km. Ini juga
bukan jalan nasional, namun beban jalan mulai meningkat. Ketiga jalan nasional
sekitar 2,6 km yang memiliki 4 jalur. Beban jalan jauh lebih berat dengan aneka
kendaraan yang melintas.

“Formula plastic tar road disesuaikan dengan kebutuhan jalan, kerentanan tanah.
Fokus kekuatan atau stabilitas jalan,” kata Nani, doktor perempuan ini. Jumlah
plastik yang dicampur ke tiap formula dan jalan berbeda. Campuran plastik di
kurang dari 3 km untuk jalan Sultan Agung, Kota Bekasi lebih sedikit dibanding di
jalan rektorat Unud. Dari sejumlah info media, di Bekasi sudah dimulai 16
September lalu.

(baca : Limbah Plastik Digunakan untuk Aspal Jalan, Ternyata Berisiko. Kenapa?)

Menanggapi sejumlah kritik soal jalan aspal dari campuran plasik ini, Nani
menjelaskan dengan ringkas. Pertama, yang dipakai adalah kresek putih atau
bening karena yang berwarna atau hitam kualitasnya jelek. Di sisi lain ia mengakui
plastik kresek juga dicari pemulung untuk dipadatkan jadi pelet.

Kedua, dari uji laboratorium dan tes ia meyakini jalan aspal campur plastik ini tidak
mengganggu lingkungan. Misalnya saat produksi, kerikil-kerikil dicampur bijih
plastik. Lelehan plastik ini menurutnya menutupi lubang sela kemudian dicampur
bitumen atau aspal. Plastik ini menurutnya akan mengikat material sehingga tak
akan lepas jadi mikroplastik.
“Mikroplastik tidak mungkin terikat dengan aspal,” katanya. Insinerator yang
memproduksi panasnya sekitar 150-160 derajat celcius, dan menurutnya di bawah
ambang batas polusi udara.
Sebuah ruas jalan di kampus Universitas Udayana, Jimbaran, Badung, Bali diujicobakan aspal
campur limbah plastik oleh pemerintah pusat pada Sabtu (29/07/2017). Foto: Biro Komunikasi
Publik Kementerian PUPR/Mongabay Indonesia

Ketiga, soal infrastruktur yang akan malah menambah biaya tinggi. Yang perlu
ditambah menurut Nani hanya pencacah plastik. Sementara sarana prasarana
pemanas aspal dan penyampuran sudah dimiliki Kementrian Pekerjaan Umum.

Dalam websitenya, disebutkan Kemenko Kemaritiman melalui Inpres No.12/2016


tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental, telah ditunjuk oleh Presiden untuk
menjadi Koordinator Gerakan Indonesia Bersih. Menko Maritim Luhut Pandjaitan
dalam berbagai kesempatan selalu mengingatkan tentang bahaya sampah plastik.

Indonesia memiliki masalah pengelolaan sampah plastik. Sampah plastik yang tidak
bisa didaur ulang disebut harus dimusnahkan dengan cara dibakar. Dalam
prosesnya pemusnahan sampah plastik dengan cara ini menimbulkan residu
karsinogenik yang berbahaya bagi kesehatan.

Pada tanggal 7-10 Maret 2017 delegasi Kemenko Maritim dipimpin Asdep Iptek
Nani Hendiarti mengunjungi inventor Plastic Tar Road, Professor R.Vasudevan di
Thiagarajar College of Engineering India. Tahun 2006, the Thiagarajar College of
Engineering menerima paten atas teknologi ini. Teknologi ini disebut plastic tar
road atau jalan raya plastik karena formulasi tar yang digunakan menggunakan
plastik dengan komposisi 10-18% plastic tiap 1 liter tar. Estimasi plastik yang
digunakan adalah 50 ton tiap 1 km jalan. Hal ini ditengarai bisa menjadi opsi
pemanfaatan plastik yang tidak bisa didaur ulang.

Proses ini dinilai lebih ekonomis, karena bisa menghemat 6,5% dari jalan yang
biasa dibuat dengan aspal murni. Juga diyakini memiliki sisi ketahanan yang lebih
lama karena maintenance-nya sederhana dan karakter plastik yang tidak korosif.
Tahan terhadap banjir dan genangan.

Ditentang

Dalam sebuah diskusi dengan wartawan yang dilaksanakan di kantor Yayasan Bali
Fokus 6 September lalu, Yuyun Ismawati memaparkan konsep dasar munculnya
kritik atas proyek ini yang sudah disebarkan melalui Aliansi Zero Waste
Indonesia (AZWI).
(baca : Aliansi Zero Waste Menilai Jalan Aspal Plastik Belum Bisa Jadi Solusi
Berkelanjutan. Kenapa?)

Ia mengingatkan Peraturan UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah.


Mengatur pembuangan akhir ke pengolahan sampah. Dari dulu pihaknya
menolak thermal atau insenerator karena sampah mayoritas basah, tidak ekonomis
kalau dibakar.

Regulasi awalnya memandang sampah sebagai sumberdaya tak berguna. Lalu


“paradigma baru” pengelolaan sampah yang komprehensif sejak sebelum sampah
dihasilkan. “Kalau thermal perlu sampah sebanyaknya, ini bertentangan dengan
mengurangi sampah,” kata perempuan penerima penghargaan lingkungan Goldman
Prize ini mengingatkan.
Inilah contoh paving dan aspal jalan yang menggunakan campuran limbah plastik buatan tim
peneliti Institut Teknologi Surabaya. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

(baca : Sampah Plastik, Harus Ada Inovasi Pemanfaatannya)

Dalam UU ditegaskan pengelolaan sampah dilakukan dengan metode dan teknik


ramah lingkungan. Pasal 29 ayat 1 huruf g melarang pembakaran sampah yang
tidak sesuai persyaratan teknis. “Kalau dibakar harus dengan suhu tinggi dan alat
pengukur emisi ketat. Secara teknik sampah Indonesia tak layak dibakar,” katanya.
Jika Indonesia fokus pada insenerator, ini menurutnya kesuksesan lobi penjual
incinerator yang bergandengan tangan dengan supplier batu bara. “Enak sekali
bisnisnya,” kata Yuyun.

Produksi plastik memang meningkat pesat 60 tahun terakhir, pada 2015 paling
tinggi sekitar 448 juta ton kebanyakan untuk kemasan, wadah sampo, air, dll.
Karena tidak ada yang bisa mengangkut sampah sepenuhnya, sisanya lari ke laut.

(baca : Begini Aliansi Pemerintah dengan Swasta untuk Solusi Sampah Plastik di
Laut)

Ancaman sampah di laut sudah terbukti berdampak pada flora dan fauna di
dalamnya. Kemudian pada manusia. Perputaran arus laut dunia menyebarkan
sampah ke lima samudera. Zat kimia dalam seafood makin banyak terbukti dari
sejumlah penelitian, masuk ke rantai makanan.

Mikroplastik sangat karsinogenik (bahan penyebab kanker) mengandung bahan


kimia juga polutif di udara karena bisa menguap. Yuyun mengingatkan pernah ada
riset kualitas udara di Jalan Thamrin, Jakarta, hasilnya polutan 100% lebih tinggi
dibanding jalan lainnya karena banyak perkantoran, penggunaan computer dengan
kandungan zat kimia kemudian mikrodebris-nya tercampur udara. Ukuran polutan ini
sangat kecil.

AZWI mendorong ekonomi melingkar (circular economy) karena sumberdaya makin


terbatas. Semua produk yang dibuang, bisa daur ulang lagi. Yuyun lebih setuju jika
plastik didaur ulang jadi plat seperti bemper mobil.

“Kalau di jalan (plastik) berakhir dan tak bisa ekonomi melingkar lagi,” tambah
Yuyun yang sedang merampungkan studi Medical Research-International Health di
Inggris sehingga diskusi dilakukan via video conference. Jika ekonomi melingkar
bisa mendorong usaha daur ulang, terutama skala kecil.

Ia berharap proyek plastic tar road ini lebih dikaji dulu sebelum diimplementasikan
lebih luas. Semua kementerian terkait isu sampah berkoordinasi, tak hanya
Kemenko Maritim. Apakah solusinya berkelanjutan? Apa dampaknya? Melelehkan
plastik juga bisa terdampak ke pekerja, lalu saat jadi pelapis bisa jadi ada bocoran
dari kimia plastik ke air tanah.

Pengurangan plastik dengan model jadi bahan baku jalan juga dinilai tidak
mendorong pengusaha berubah. Tidak ada solusi berkelanjutan dari konsumsi dan
produsen.

Vous aimerez peut-être aussi