Vous êtes sur la page 1sur 27

MAKALAH AGAMA ISLAM

TOKOH-TOKOH PADA MASA KEJAYAAN ISLAM

Guru Pembimbing: Endis Aziz Rais, S.Ag, M,Pd

Diajukan sebagai Tugas Mata Pelajaran Agama Islam

Disusun Oleh
Attariq Muhammad Kasfilla
XI MIIA III

SMA NEGERI 104 JAKARTA

Jl. Taiman Barat Kel. Gedong Pasar Rebo Jakarta Timur, Telp.
8408247
Kata Pengantar
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan
tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Agama Islam.

Agama sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji
melalui berbagai sudut pandang. Islam sebagai agama yang telah berkembang selama
empat belas abad lebih menyimpan banyak masalah yang perlu diteliti, baik itu
menyangkut ajaran dan pemikiran keagamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi
dan budaya.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi.
Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis
hadapi teratasi.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Tokoh tokoh pada Masa
Kejayaan Islam, yang saya sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber
informasi, referensi, dan berita. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai
rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun
dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan
pemikiran kepada pembaca khususnya Siswa dan siswa SMA N 104 Jakarta. Saya sadar
bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jau dari sempurna. Untuk itu, kepada
dosen pembimbing saya meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah
saya di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Jakarta, 5 Mei 2015

Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman

HALAMAN JUDUL……………………………………………… ........................... i


KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................


Latar Belakang ......................................................................................... 1
Rumusan Masalah ................................................................................... 1
Tujuan Penulisan...................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................. ......................


Tokoh-Tokoh Pada Masa Kejayaan Islam ................................................. 4

BAB III PENUTUP ...........................................................................................


Kesimpulan ................................................................................................. 27
Saran........................................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................27


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kedatangan Islam membawa perubahan besar dalam segala bidang


terutama sekali di Jazirah Arab. Selama masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin
pada umumnya mereka sibuk dengan dakwah, jihad dan penaklukan. Islam
datang dengan Qur’an dan Hadits, keduanya menyelundup ke dalam lubuk
hati mereka dan bersemi abadi dalam zihin mereka, sehingga dengan sangat
cepat merubah adat istiadat mereka, budi dan akhlak mereka, bahkan
merubah seluruh bidang kehidupan mereka dan berbekaslah perubahan itu
pada ilmu pengetahuan, tata cara hidup, tata cara berpikir atau dengan kata
lain berbekas pada kebudayaan mereka.
Revolusi Islam yang bernapaskan Al-qur’an dan Sunnah, telah
membangun suatu kebudayaan baru di atas puing-puing kebudayaan
Jahiliyyah yaitu kebudayaan Islam. Dari latar belakang ini penulis akan
membahas secara lebih luas lagi yang berkaitan dengan kebudayaan Islam,
seperti peninggalan-peninggalannya yang akan diuraikan pada bab
selanjutnya.
Saya dalam makalah iniakan membahas tokoh-tokoh islam yaitu : Ibn
Rusyd, Al-Ghazali, Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina. Mereka merupakan
ilmuwan-ilmuan dan cendekiawan muslim pada zaman kejayaan islam
terdahulu.

B. RUMUSAN MASALAH
 Siapa saja tokoh-tokoh pada masa kejayaan islam?

C. TUJUAN
 Untuk mendapatkan nilai agama islam
 Sebagai tugas individu mata pelajaran agama islam
 Untuk menambah wawasan sejarah kebudayaan islam
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tokoh Tokoh Pada Masa Kejayaan Islam

A. IBNU RUSYD (520‒595 H)

A. Biografi Ibnu Rasyd

Ibnu Rusyd adalah seorang ilmuwan muslim yang cerdas dan


menguasai banyak bidang ilmu, seperti al-Quran, fisika, kedokteran, biologi,
filsafat, dan astronomi. Ibnu Rusyd lahir pada tahun 1198 di Kordoba,
Spanyol. Di Barat, ia dikenal dengan nama Averroes. Ayah Ibnu Rusyd
adalah seorang ahli hukum yang cukup berpengaruh di Kordoba. Sementara
itu, banyak saudaranya menduduki posisi penting di pemerintahan. Latar
belakang keluarganya itulah yang sangat mempengaruhi proses
pembentukan tingkat intelektualitas Ibnu Rusyd di kemudian hari. Ibnu Rusyd
adalah seorang tokoh perintis ilmu jaringan tubuh (histology). Ia pun berjasa
dalam bidang penelitian pembuluh darah dan penyakit cacar.

Abad XII dan beberapa abad sebelumnya adalah zaman keemasan


bagi perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Saat itu, Dinasti
Abbasiyah sedang berkuasa, dengan pusat pemerintahan di Semenanjung
Andalusia (Spanyol). Para penguasa muslim pada masa itu sangat
mendukung perkembangan ilmu pengetahuan. Mereka sering meminta para
ilmuwan untuk menggali kembali warisan intelektual Yunani yang masih
tersisa. Dengan begitu, nama-nama ilmuwan beserta Yunani beserta
karyanya, seperti Aristoteles, Plato, Phytagoras, dan Euclides, masih tetap
terpelihara hingga sekarang.

Ibnu Rusyd dapat digolongkan sebagai seorang ilmuwan yang komplit.


Selain sebagai seorang ahli filsafat, ia juga dikenal pakar di bidang
kedokteran, sastra, logika, ilmu pasti, dan ilmu agama. Sehubungan dengan
itu, ia sangat menguasai ilmu tafsir al-Quran dan hadis, juga ilmu hukum dan
fikih. Disebabkan kecerdasannya itulah, ia kemudian diangkat menjadi Hakim
Agung Kordoba, sebuah jabatan yang pernah dipegang kakeknya pada masa
pemerintahan Dinasti al-Murabitun di Afrika Utara. Ibnu Rusyd menjadi hakim
agung selama masa pemerintahan Khalifah Abu Ya’kub Yusuf hingga
anaknya, Khalifah Abu Yusuf.

Biografi Ibnu Rusyd: Perintis Ilmu Jaringan Tubuh


Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang dokter dan hakim agung, Ibnu
Rusyd menyempatkan diri menulis. Ia menghasilkan lebih dari dua puluh buku
kedokteran. Salah satunya adalah al-Kulliyyat fi al-Thibb, yang kemudian
diterjemahkan dalam bahasa Latin. Buku yang merupakan ikhtisar kedokteran
yang terlengkap pada zamannya ini diterbitkan di Padua pada tahun 1255.
Sementara itu, salinannya dalam versi bahasa Inggris dikenal dengan judul
General Rules of Medicine. Salinan tersebut sempat dicetak ulang sebanyak
beberapa kali di Eropa. Para penulis sejarah mengungkapkan kedalaman
pemahaman Ibnu Rusyd dalam bidang kedokteran dengan berkata,
“Fatwanya dalam ilmu kedokteran dikagumi sebagaimana fatwanya dalam
fikih. Semua itu disebabkan kedalaman filsafat dan ilmu kalamnya.”

Ibnu Rusyd juga seorang ahli filsafat yang cerdas. Pada masa itu,
buku-buku Aristoteles yang diterbitkan masih sangat sedikit dan sulit
dipahami. Menyadari hal itu, Ibnu Rusyd tergerak untuk mengoreksi buku
terjemahan karya Aristoteles tersebut bahkan melengkapinya. Ibnu Rusyd
juga menerjemahkan dan melengkapi sejumlah karya pemikir Yunani lain,
seperti Plato yang mempunyai pengaruh selama berabad-abad.

Pada tahun 1169-1195, Ibnu Rusyd menulis sejumlah komentar


terhadap karya-karya Aristoteles, seperti De Organon, De Anima,
Phiysica, Metaphisica, De Partibus Animalia, Parna Naturalisi,
Metodologica, Rhetorica, dan Nichomachean Ethick. Dengan
kecerdasannya, komentar Ibnu Rusyd itu seolah menghadirkan
kembali pemikiran Aristoteles secara lengkap. Di sinilah terlihat
kemampuan Ibnu Rusyd yang luar biasa dalam melakukan sebuah
pengamatan. Di kemudian hari, komentar Ibnu Rusyd tersebut sangat
berpengaruh terhadap pembentukan tradisi intelektual kaum Yahudi
dan Nasrani. Hal itulah yang kemudian membuka jalan bag Ibnu Rusyd
mengunjungi Eropa untuk mempelajari warisan Aristoteles dan filsafat
Yunani.

Ibnu Rusyd juga dikenal sebagai pengkritik Ibnu Sina yang paling
bersemangat. Meskipun begitu, ia tetap menghormati karya para
pendahulunya. Ia juga tertarik pada gagasan al-Farabi tentang logika. Hal itu
selalu memberinya inspirasi untuk berkarya. Ibnu Rusyd adalah seorang
filosof yang telah berjasa mengintegrasikan Islam dengan tradisi pemikiran
Yunani.

Di bidang ilmu agama, Ibnu Rusyd menghasilkan sejumlah karya,


seperti Tahafut at-tahafut, sebuah kitab yang menjawab serangan Abu Hamid
al-Ghazali terhadap para filosof terdahulu. Sebagai seorang ahli ilmu agama
dan filsafat, Ibnu Rusyd dianggap cukup berhasil mempertemukan hikmah
(filsafat) dengan syariat (agama dan wahyu).

Semasa hidupnya, Ibnu Rusyd menghasilkan sekitar 78 karya, yang


semuanya ditulis dalam bahasa Arab. Kini, sejumlah karyanya tersimpan rapi
di perpustakaan Escurial, Madrid, Spanyol. Tidak banyak yang mengetahui
kalau Ibnu Rusyd pernah hidup dalam pembuangan. Ia pernah dibuang di
Lecena, Spanyol, karena dianggap murtad dan menghina kepala negara. Ia
juga pernah dibuang ke Maroko karena difitnah seseorang.

Ibnu Rusyd wafat pada tahun 1198 (595 H) di kota Marakis, Maroko.
Jenazahnya kemudian dibawa ke Andalusia dan dimakamkan di sana
B. Al-Gazali (450/1059 H- 505/1111 M)

A. Biografi Al-Ghazali
Nama lengkapnya Asy-Syaikh Al-Imam Al-Hammam Hujjatu Al-Islam
Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali ath-Thusi.ia lahir
pada tahun 450H/1059M, di Thus, suatu kota di Khusaran(Iran) dan meninggal
dunia pada tahun 505H/1111M di kota ini juga dalam usia 55 tahun.[1]

Ayah Al-Ghazali adalah orang yang fakir harta tetapi kaya spiritual.
Ayah Al-Ghazali bekerja keras memproduksi tenun dan selalu berkhidmat
kepada tokoh-tokoh agama dan ahli fiqh di berbagai majlis dan khalwat
mereka. Ia mempunyai sikap begitu mengagungkan yang mewarnai panca
inderanya untuk berbakti kepada tokoh – tokoh agama dan ilmu pengetahuan,
hingga ketika mendengar seorang penceramah atau seorang ahli hukum
Islam sedang memberikan nasehat beliau memohon kepada Allah agar
dianugerahi seorang ayah yang menjadi penceramah yang ahli memberi
nasehat atau seorang ilmuan yang ahli ibadah.

Nampaknya, perasaan dan kecintaan psikologis yang menggelora


ingin mencapai tingkat keluhuran ilmiah dan pensucian terhadap pakaian
agama ini telah diwarisi oleh Al-Ghazali dari ayahnya, tetapi dalam bentuk
lain. Karena sang anak mendapat kesempatan yang tidak ada pada sang
ayah. Pada diri Al-Ghazali selalu kehausan dan terpacu untuk mencari
tambahan dan serius mengkaji berbagai ilmu dan pengetahuan.[2]

Adapun beberapa tempat-tempat Al-Gazali memperoleh ilmu


pengetahuan antara lain:

1. Belajar di Thus, sampai pada usia 20 tahun. Dia mempelajari ilmu


fiqih secara mendalam dari Razakani Ahmad bin Muhammad, dan kemudian
dipelajarinya ilmu tasawuf dari Yusuf en Nassaj, seorang Sufi yang terkenal.

2. Kemudian ke Jurjan pada tahun 479 H. Al-Gazali berpindah ke


Jurjan melanjutkan pelajarannya. Guru yang terkenal ialah Nashar el Isma’ili.
Tidak puas dengan pelajaran yang diterimanya di Jurjan, maka dia pulang
kembali ke Thus selama 3 tahun lamanya.[3]

3. Setelah itu pindah lagi ke Naisabur untuk belajar pada seorang


ulama besar yang sangat masyhur, Imam Haramain Al-Juwaini. Disinilah Al-
Ghazali belajar bermacam-macam ilmu pengetahuan yang berkembang pada
masa itu, seperti Fiqh, Jadal, Mantiq, Filsafat, dan sebagainya. Setelah Imam
Haramain wafat pada 483 H, Al-Ghazali berkunjung ke Nizham Al-Mulk di
kota Mu’askar. Beliau memperoleh penghormatan dan penghargaan yang
luar biasa, sehingga majlisnya merupakan tempat berkumpul para Imam dan
Ulama. Pada tahun 484 H beliau diangkat menjadi guru pada madrasah
Nizhamiyah di Baghdad.[4]
B. Karya-karya Al-Gazali

Keistimewaan yang luar biasa dari Al-Gazali adalah dia seoarang


pengarang yang sangat produktif. Menurut catatan Sulayman Dunya,
banyaknya karangan Al-Gazali mencapai jumlah 300 buah. Diantara 300
buah karangan Al-Gazali, hanya beberapa buah saja yang dapat
diselamatkan dari cengkeraman keganasan para penguasa yang mengobrak-
abrik Negara Islam dimasa itu. Berikut beberapa karya dari Al-Gazali:

1. Yaqut ut ta’wiel fi tafsier et tanziel (penafsiran Al-Qur’an menurut


sebab-sebab-sebab turunya ayat-ayat Al-Qur’an)

2. Sirrul ‘alamain (rahasia dua dunia)

3. Al Madhnun bihi ‘ala ghairi ahlihi (ilmu yang harus disembunyikan


dari orang-orang yang bukan ahlinya).

Adapun karya-karya Al-Gazali yang paling terkenal dalam beberapa


bidang menurut Sulayman Dunya yang meliputi:

1. Bidang filsafah

a. Ilmu kalam (theology)


b. Ilmu falsafah umum (‘aqliyah)
c. Aliran kaum Syie’ah Bathiniyah (mazhab ahli ta’liem)
d. Ilmu tashawwuf (metafisika)

2. Bidang keagamaan

a. Ihya’ ‘ulum ed dien (menghidupkan ilmu-ilmu agama)


b. Al Munqiz minad dhalal (terlepas dari kesesatan)
c. Minhaj ul ‘Abidien (jalan mengabdi Tuhan)

3. Bidang akhlak dan tasawuf

a. Miezan ul ‘amal (neraca amal)


b. Keimiya us sa’adah (kimianya kebahagiaan)
c. Kitab ul Arba’ien (empat puluh prinsip agama)
d. At Tibrul masbuk fi nashiehat el muluk (mas yang sudah di tatah
untuk menasehati para penguasa)
e. Al Mustashfa fil ushul (keterangan yang sudah dipilih mengenai soal
pokok-pokok ilmu hukum).[5]

C. Pemikiran Al-Ghazali

1. Metafisika

Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli


filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan
seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-
mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak
mencukupi kebutuhan.

Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika


berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian
besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan
bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam
ilmu logika.

Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional,


yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan.
Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan
beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini
mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak
bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan
tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari
bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun
demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan
filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran


tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan
dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir.

2. Iradat Tuhan

Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa


dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi
dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu
menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-
undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih
abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-
undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.

Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi
dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada
akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-
Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan
iradatNya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala
kejadian.[6]

Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti


sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-
Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan
Tuhan tetap berkuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-
kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti
terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya
merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala
sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu
juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api.
Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan
sifat membakar dari api itu atau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi
suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.[7]

3. Etika

Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat


pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat
etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika
Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi
Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala
Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh
kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih,
pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan
sebagainya.

Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai


pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan
rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik
Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi,
tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan
menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.

Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan


tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang
disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.

Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah
dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab
Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu
kalam yang berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai
tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa
yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya

C. Al-Kindi (805‒873 M)

A. Biografi Al-Kindi

Kindi nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub ibnu Ishaq ibnu Al-
Syabbah ibnu Imron ibnu Muhammad ibnu Al-Asy’ats ibnu Qo’is Al-Kindi.[1]
Al-Kindi adalah nisbah pada suku yang menjadi asal cikal bakalnya, yaitu
Banu Kindah.Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah yang sejak dulu
menempati daerah selatan jazirah Arab. Daerah ini tergolong memiliki
apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan banyak dikagumi orang.[2]

Al-Kindi dilahirkan di Kufah tahun 185 H/801 M. Ayahnya Ishaq Al-


Sabbah, adalah gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahbudi dan
Harun Al-Rasyid dari bani Abbas. Ayahnya meninggal beberapa tahun
setelah Al-Kindi lahir. Dengan demikian Al-Kindi dibesarkan dalam keadaan
yatim. Pada masa kecilnya Al-Kindi memperoleh pendidikan di Basroh.
Tentang siapa-siapa gurunya tidak ada informasi yang valid. Sejarah tidak
memberikan informasi memadai mengenai hal ini. Tetapi dapat dipastikan
bahwa ia mempelajari ilmu-ilmu yang sesuai dengan kurikulum pada
masanya. Ia mempelajari Al-Qur’an, membaca, menulis, dan berhitung.
Setelah menyelesaikan pelajaran dasarnya di Basrah, ia melanjutkan studi ke
Bagdad hingga tamat.

Dalam perkembangannya ia mahir sekali dalam berbagai macam


cabang ilmu yang ada pada saat itu seperti ilmu ketabibab (kedokteran),
filsafat, ilmu hitung, mantik (logika), geometri, astronomi dan sebagainya.
Ilmu-ilmu yang berasal dari Yunani juga ia pelajari. Ada salah satu bahasa
ilmu pengetahuan ketika itu ia kuasai dengan baik, yaitu bahasa Suryani. Dari
buku-buku Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani inilah
Al-Kindi kemudian menerjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Nama Al-Kindi menanjak setelah ia hidup di istana pada masa


pemerintahan Al-Mu’tasim yang menggantikan Al-Ma’mun pada tahun 218
H/833 M. Hal ini disebabkan karena pada waktu itu Al-Kindi dipercaya pihak
istana menjadi guru pribadi putranya yaitu Ahmad Ibn Mu’tasim. Pada masa
inilah Al-Kindi berkesempatan menulis karya-karyanya. Setelah masa Al-
Ma’mun ia menerjemahkan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab.[3]

Perjalanan intelektual yang mengantarkan Al-Kindi menjadi ulama


besar dipengaruhi oleh faktor lingkungan dua kota besar pada saat itu yaitu
Kuffah dan Basrah. Kedua kota tersebut pada abad ke 2 H/8 M dan ke 3 H / 9
M, merupakan dua pusat kebudayaan Islam yang bersaing. Kuffah lebih
cenderung pada studi-studi aqliyah, dimana Al-Kindi melewatkan masa
kanak-kanaknya. Dia menghafal Al-Qur’an, mempelajari tata bahasa Arab,
kesusastraan, dan ilmu hitung yang semua itu merupakan kurikulum bagi
semua anak muslim. Ia kemudian mempelajari fiqih dan disiplin ilmu baru
yang disebut kalam. Akan tetapi, tampaknya ia lebih tertarik pada ilmu
pengetahuan dan filsafat, terutama setelah ia pindah ke Bagdad.

Pengetahuan lengkap tentang ilmu dan filsafat Yunani bisa diperoleh


dengan menguasai dua bahasa, yaitu bahasa Yunani dan Syiria. Sebab
banyak karya Yunani diterjemahkan dengan dua bahasa tersebut. Al-Kindi
mempelajari bahasa Yunani tetapi ia juga menguasai bahasa Syiria dalam
beberapa karya klasik. Ia juga memperbaiki beberapa terjemahan bahasa
Arab.

Kisah lain tentang Al-Kindi digambarkan dalam karikatur Al-Jahiz


dalam kitab Al-Bukhala. Al-Kindi hidup mewah di sebuah rumah, yang di
dalam kebun rumahnya ia memelihara banyak binatang langka, ia hidup
menjauh dari masyarakat, bahkan dari tetangga-tetangganya. Sebuah kisah
menarik oleh Al-Qifti menjelaskan bahwa Al-Kindi bertetangga dengan
seorang saudagar kaya dan ia tidak pernah tahu bahwa Al-Kindi adalah
dokter ahli. Ketika anak sang saudagar tiba-tiba lumpuh dan tidak seorang
tabibpun di Bagdad mampu menyembuhkannya, seseorang memberi tahu
sang saudagar bahwa ia bertetangga oleh seorang filosof tercemerlang yang
amat pandai mengobati penyakit seperti itu. Al-Kindi mengobati anak yang
lumpuh itu dengan musik.[4]

Sebagai filosof Islam pertama, al Kindi telah berjasa dalam usahanya


menjadikan filsafat sebagai salah satu khazanah pengetahuan Islam setelah
disesuaikan lebih dahulu dengan agama. Dalam risalah yang dihadiahkan
kepada Ahmad Ibn Al-Mu’tashim Billah tentang filsafat “pertama” (metaphisic),
Al-Kindi menyatakan pendapatnya bahwa baik agama maupun filsafat kedua-
duanya menghendaki kebenaran. Agama menempuh jalan syari’at,
sedangkan filsafat menempuh jalan metode pembuktian. Filsafat dipandang
sebagai hasil kesanggupan manusia (human skill) yang menempati
kedudukan tertinggi dan mempunyai martabat termulia. Al Kindi
mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang hakekat segala sesuatu
menurut batas kesanggupan manusia.[5]

A. Filsafat Al-Kindi.

Salah satu usaha Al-Kindi memperkenalkan filsafat ke dalam dunia


Islam dengan cara mengetuk hati umat supaya menerima kebenaran
walaupun darimana sumbernya. Menurutnya kita tidak pada tempatnya malu
mengakui kebenaran dari mana saja sumbernya. Bagi mereka yang
mengakui kebenaran tidak ada sesuatu yang lebih tinggi nilainya selain
kebenaran itu sendiri dan tidak pernah meremehkan dan merendahkan
martabat orang yang menerimanya.

Telah dipaparkan bahwa Al-Kindi adalah orang Islam yang pertama


kali meretas jalan mengupayakan pemaduan atau keselarasan antara filsafat
dan agama atau antara akal dan wahyu. Menurutnya antara keduanya
tidaklah bertentangan karena masing-masing keduanya adalah ilmu tentang
kebenaran. Sedangkan kebenaran itu adalah satu. Ilmu filsafat meliputi
ketuhanan, keEsaan-Nya, dan keutamaan, serta ilmu-ilmu selain yang
mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang bermanfaat dan
menjauhkan dari apa-apa yang mudarat. Hal seperti ini juga dibawa oleh para
Rasul Allah dan mereka juga menetapkan keEsaan Allah dan memastikan
keutamaan yang diridhoi-Nya. Atas dasar itulah menurut Al-Kindi kita wajib
berterima kasih pada para pendahulu kita yang telah memberi kita ukuran
kebenaran. Jika mereka tidak membekali kita dengan pikiran yang membuka
jalan bagi kebenaran pastilah kita tidak akan dapat, sekalipun kita telah
mengadakan penyelidikan yang lama dan tekun, menemukan prinsip utama
yang benar atas dasar penarikan kesimpulan kita yang kabur, dan yang dari
generasi ke generasi telah terbuka sejak dulu hingga sekarang. Tujuan
ungkapan Al-Kindi di atas adalah untuk menghalalkan filsafat bagi umat
Islam. Usaha yang ia lakukan cukup menarik dan bijaksana. Oleh karena itu
sekalipun filsafat datang dari Yunani, menurut Al-Kindi kita wajib
mempelajarinya bahkan lebih dari itu, kita wajib mencarinya.[6]

Al-Kindi merupakan pionir dalam melakukan usaha pemaduan antara


filsafat dan agama atau antara akal dan wahyu. Ia melempangkan jalan bagi
Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Ruz yang datang kemudian. Dalam hal ini
dapat di katakan bahwa Al-Kindi telah memainkan peranan yang besar dan
penting di “pentas” filsafat Islam.[7] Al-Kindi adalah filosof Islam pertama yang
mengorientasikan pemikirannya untuk menjaga dan membela Islam sambil
berusaha untuk mengompromikan agama dan akal.

1. Falsafah Ketuhanan

Sebagimana dengan filosof-filosof Yunani dan filosof-filosof Islam


lainnya, Al-Kindi juga ahli dalam ilmu pengetahuan. Menurutnya,
pengetahuan terbagi menjadi dua bagian:

a. Pengetahuan Ilahi ‫( اِل ِهي ِع ْلم‬Devine Sciense) sebagaimana yang


tercantum dalam Al-Qur’an yaitu pengetahuan langsung yang diperoleh Nabi
dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini adalah keyakinan.

b. Pengetahuan manusiawi ‫سانى ِع ْلم‬


َ ‫( اِ ْن‬Human Science) atau falsafat.
Dasarnya adalah pemikiran (ratio-reason).

Menurut Al-Kindi filsafat ialah pengetahuan tentang yang benar


(knowledge of truth). Disinilah terdapat persamaan falsafah dan agama.
Tujuan agama ialah menerangkan apa yang benar dan apa yang baik, dan
falsafah itulah pula tujuannya. Agama, di samping wahyu , mempergunakan
akal, dan falsafah juga mempergunakan akal. Yang benar pertama ‫)اْل َ َّول ا َ ْل َحق‬
ْ =
the first truth) bagi Al-Kindi adalah Tuhan.[8]

Argumen-argumen yang dibawa Qur’an lebih meyakinkan daripada


argumen-argumen yang ditimbulkan falsafat. Tetapi filsafat dan Qur’an tak
bertentangan, kebenaran yang diberitakan wahyu tidak bertentangan dengan
kebenaran yang dibawa falsafat. Mempelajari falsafat dan berfilsafat tidak
dilarang karena teology adalah bagian dari filsafat dan umat Islam diwajibkan
belajar teology.

Tuhan dalam falsafat Al-Kindi tidak mempunyai hakekat dalam arti


aniah atau mahiah. Tidak aniah karena Tuhan tidak termasuk dalam benda-
benda yang ada di alam bahkan Ia adalah pencipta alam. Ia tidak tersusun
dari materi dan bentuk, juga tidak mempunyai hakekat dalam bentuk mahiah
karena Tuhan tidak merupakan genus atau spesies. Tuhan hanya satu dan
tidak ada yang serupa dengan-Nya.

Sesuai dengan paham yang ada dalam Islam, Tuhan bagi Al-Kindi
adalah pencipta. Alam bagi Al-Kindi bukan kekal di zaman lampau tetapi
mempunyai permulaan. Karena itu Ia lebih dekat dalam hal ini pada filsafat
continus yang mengatakan bahwa Yang Maha Satu adalah sumber dari alam
ini dan sumber dari segala yang ada.[9]

2. Falsafah Jiwa

Jiwa dipandang intisari dari manusia dan filosof-filosof Islam banyak


memperbincangkan hal ini, apalagi karena ayat-ayat al-Qur’an atau hadits
Nabi tidak menjelaskan hakekat ruh itu. Bahkan menurut sugesti dalam al-
Qur’an, manusia tidak akan mengetahui hakekat ruh. Ruh adalah urusan
Tuhan dan bukan urusan manusia. Tetapi sungguhpun demikian filosof-filosof
Islam membahas tentang ini berdasar pada falsafah tentang ruh yang mereka
jumpai dalam falsafat Yunani.[10]

Menurut al-Kindi, jiwa adalah sesuatu yang sederhana, tidak tersusun


(basiithah, simple, sederhana), namun mempunyai arti penting, sempurna,
dan mulia.[11] Substansinya berasal dari substansi Tuhan. Hubungannya
dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari.[12]

Al-Kindi membagi jiwa menjadi 3 macam seperti yang kita temukan


pada plato; yaitu daya pikir, daya marah dan daya nafsu. Dia berpendapat
bahwa jika daya pikir mampu mengendalikan dua daya lainnya, yaitu nafsu
dan marah, maka manusia mampu menguasai nafsu dan meredam
amarahnya. Manusia yang dikendalikan oleh nafsu dan amarahnya maka
disamakan dengan binatang yang juga mempunyai sifat ini.[13] Daya berpikir
itu disebut akal.

Manusia memperoleh pengetahuan yang sebenarnya dengan


perantara ruh (jiwa). Ada dua macam pengetahuan, yaitu:

1. Pengetahuan panca indera, hanya mengenai yang lahir-lahir saja.


Dalam hal ini manusia dan binatang sama.

2. Pengetahuan akal. Merupakan hakekat-hakekat dan hanya dapat


diperoleh oleh manusia tetapi dengan syarat ia harus melepaskan dirinya dari
sifat binatang yang ada dalam tubuhnya, dengan cara meninggalkan dunia
dan berpikir serta berkontemplasi tentang wujud (bersifat zahid).

3. Falsafah Alam

Al-Kindi berpendapat bahwa alam adalah baru (makhluk). Ia diciptakan


dari segala sesuatu yang tidak ada dengan suatu kemampuan mencipta.
Artinya Allah SWT berkata kepadanya “Jadilah”, maka iapun menjadi ada,
sesuai dengan ilmu dan kehendak-Nya dan tidak terjadi dengan cara
emanasi, seperti yang dikatakan oleh Plotinus Alexandria yang diikuti oleh
sebagian filsuf muslim.[14] Ia memastikan bahwa alam itu mutahanin
(berakhir). Karena alam itu mutahanin, maka ia tidak azali. Ia berteori bahwa
benda pasti berakhir, demikian pula benda secara keseluruhan, yakni seluruh
alam wujud. Karena setiap benda mempunyai jenis dan macam, maka benda
tidak mungkin azali, sebab yang azali tidak berjenis. Dengan demikian benda
bukanlah sesuatu yang azali. Menurutnya, alam semesta itu terbatas pada
sudut jasad (jism), waktu (zaman), dan gerak (gerak).[15]

B. Karya-karya Al-Kindi

Al-Kindi adalah filosof muslim pertama. Ia aktif terlibat dalam kegiatan


penerjemahan buku-buku Yunani dan sekaligus melakukan koreksi serta
perbaikan atas terjemahan orang lain. Ia juga memperoleh penghargaan dari
khalifah Al-Ma’mun yang terkenal cintanya kepada filsafat dan sains. Menurut
informasi, Al-Ma’mun membayar siapa saja yang sanggup menerjemahkan
buku-buku ke dalam bahasa Arab dengan emas seberat buku yang
diterjemahkan. Selain itu, ia juga termasuk seorang yang kreatif dan produktif
dalam kegiatan tulis menulis. Tulisannya sangat banyak dalam berbagai
disiplin ilmu. Akan tetapi, sangat disayangkan kebanyakan karya tulisnya
telah hilang sehingga sulit menjelaskan berapa jumlah karya tulisnya. Sebuah
ikhtisar yang berisi 25 risalah al-Kindi ditemukan Ritter di Istambul, sementara
beberapa risalah pendeknya yang lain ditemukan di Aleppo. Menurut George
Atiyeh karya-karya Al-Kindi dalam berbagai ilmu pengetahuan mencapai 270
risalah. Risalah-risalah itu dikelompokkan dalam 17 kelompok, yaitu: 1.
Filsafat, 2. Logika, 3. Ilmu hitung, 4. Globular, 5. Musik, 6. Astronomi, 7.
Geometri, 8. Sperikal, 9. Medis, 10. Astrologi, 11. Dialektika, 12. Psikologi, 13.
Poltik, 14. meteorologi, 15. Dimensi, 16. Benda-benda pertama, 17. Spesies
tertentu logam dan kimia .[16]

Gambaran karya Al-Kindi menunjukkan betapa luas pengetahuan Al-


Kindi. Beberapa karya ilmiahnya telah diterjemahkan oleh Geran dari
Cremona ke dalam bahasa latin, dan karya-karya itu sangat mempengaruhi
pemikiran Eropa pada abad pertengahan.

Karya-karya Al-Kindi, baik yang ditulis sendiri maupun ditulis ulang


oleh penulis lainnya, diantaranya:

1. Kitab Kimiya’ Al-‘Itr (Book of the Chemistry of Perfume);


2. Kitab fi Isti’mal Al-‘Adad Al-Hidi (On the Use of the Indian Numerals);
3. Risalah fil-Illa Al-Failali l-Madd wal-Fazr (Treatise on the Efficient
Cause of the Flow and Ebb);
4. Kitab Ash-Shu’a’at (Book of the Rays);
5. The Medical Formulary of Aqrabadhn of Al-Kindi, by M. Levey
(1966);
6. Al Kindi’s Metaphysics: a Translation of Yaqub ibn Ishaq al Kindi’s
Treatise “On First Philosophy” (fi Al-Fasalah alUla), by Alfred L. Lvry
(1974).[17]

D.Al-Farabi (872‒950 M)

A. Biografi Al-Farabi

Al-Farabi memiliki nama lengkap Abu Nashr Muhammad ibn


Muhammad ibn Tarkhan bin Al-Uzalagh. Al-Farabi, lahir di Wasij di desa
Farab (Transoxania) tahun 870 M dan wafat di Damskus pada tahun 950
M.[1]

Menurut keterangan, ia berasal dari turki dan orang tuanya adalah


seorang jendral. Pendidikan dasar al-farabi dimulai dengan mempelajari
dasar-dasar ilmu agama dan bahasa, ia juga mempelajari matematika dan
filsafat serta melakukan pengembaraan untuk mendalami ilmu-ilmu yang lain.
Sejak muda hingga dewasa ia bergelut dengan dunia ilmu.
Dalam perjalanan hidupnya, Al-Farabi juga pernah menjadi hakim.
Dalam memperkaya Ilmu, Al-Farabi pindah dari Farab ke Baghdad, pusat ilmu
pengetahuan pada saat itu. disana ia belajar pada Abu Bisr Matta Ibn Yunus
(penerjemah) dan tinggal di Baghdad selama 20 tahun. Kemudian ia pindah
ke Aleppo dan tinggal di istana Syaif al-Daulah, memusatkan perhatian pada
ilmu pengetahuan dan filsafat. Istana Syaif al-Daulah adalah tempat
pertemuan ahli-ahli ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu. dalam umur
80 tahun al-Farabi wafat di Aleppo pada tahun 980 M.

Ia berkeyakinan bahwa filsafat tidak boleh di bocorkan dan sampai ke


tangan pada orang awam. Oleh karena itu, filosof-filosof harus menuliskan
pendapat-pendapat atau filsafat mereka dalam gaya bahasa yang samar,
agar tidak dapat diketahui oleh sembarang orang, dengan demikian iman
serta keyakinannya tidak menjadi kacau. Ia juga berkeyakinan bahwa agama
dan filsafat tidak bertentangan, malahan sama-sama membawa pada
kebenaran
Pemikiran Al-Farabi dalam berfilsafat

1. Falsafat Emanasi / Pancaran

Filsafat emanasi Al-Farabi menjelaskan bagaimana yang banyak bisa


timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari
materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian
hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari
yang Maha Satu. Emanasi seperti yang disinggung di atas merupakan
solusinya bagi Al-Farabi.[3]

Proses emanasi tersebut yakni, Tuhan sebagai akal, berpikir tentang


diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan
wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga
mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak
bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama, dan dari
pemikiran ini timbulah wujud ketiga, yang disebut Akal Kedua. Wujud II atau
Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit
pertama.

Ringkasnya:
Pada pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah timbulnya akal-
akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh munculah bumi serta roh-roh dan materi
pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api, udara, air dan tanah.[4]

Eksplorasi dari sikap ini nampak dari wacana tentang ketauhidan.


Tentang Tuhan misalnya al-Kindi sebelumnya sudah membicarakan tentang
Tuhan sebagai sebab pertama, akan tetapi ia tidak menerangkan bagaimana
alam ini dijadikan. Sedangkan Al-Farabi menjelaskan hal ini dengan teori
emanasi.[5]

Adapun keputusan pikiran (judgment-tasdiq), maka diantaranya ada


yang tidak bisa diketahui, sebelum diketahui hal-hal sebelumnya. Seperti
pengetahuan bahwa alam ini baru. Untuk itu diperlukan terlebih dahulu
adanya putusan bahwa alam ini tersusun. Ini adalah hukum-hukum pikiran
dasar dan yang jelas dalam akal. Juga hukum-hukum tersebut memberikan
keyakinan dan juga merupakan dasar aksioma.[6]

2. Falsafat Kenabian

Filosof-filosof dapat mencapai hakekat-hakekat karena melalui


komunikasi dengan Akal Kesepuluh. Begitupun Nabi dan Rosul, dapat
menerima wahyu karena memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan
Akal Kesepuluh. Namun Rosul dan Nabi memiliki kedudukan yang lebih tinggi
dari filosof, karena Rosul dan Nabi telah dipilih dan bukan atas usaha sendiri
dalam berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh, namun atas pemberian dari
Tuhan. Sedangkan filosof mengadakan komunikasi atas usahanya sendiri,
melalui latihan dan kontemplasi, kemudian komunikasi dapat dilakukan
melalui akal, yaitu akal mustafad. Rosul dan Nabi tidak perlu mencapai
hingga Akal Mustafad untuk berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh, mereka
dapat melakukannya yakni dengan daya pengetahuan yang disebut dengan
imaginasi, yang dapat melepaskan mereka dari pengaruh-pengaruh
pancaindera dan dari tuntutan-tuntutan badan, sehingga ia dapat
memusatkan perhatian dan mengadakan hubungan dengan Akal Kesepuluh.

Falsafat kenabian ini di jelaskan Al-Farabi untuk menentang aliran yang tak
percaya kepada Nabi atau Rasul seperti yang dibawa Al-Razi dan lainnya di zaman
itu.[7]

3. Teori Politik

Filsafat kenabian erat hubungannya dengan teori politik Al-Farabi.


Uraian mengenai hal ini terdapat dalam bukunya yang berjudul Ara’ Ahla al-
Madinah al-Fadilah (Model City). Kota digambarkan oleh al-Farabi seperti
badan manusia yang mempunyai bagian-bagian tertentu. Antara anggota
badan yang satu dengan yang lain memiliki hubungan yang erat dan
mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang harus dijalankan untuk kepentingan
keseluruhan badan.[8]

Al-Farabi mengklasifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan, yaitu


(1) masyarakat sempurna, (2) masyarakat yang tidak sempurna. Masyarakat
sempurna dibaginya ke dalam tiga tingkatan: (a) masyarakat besar, yaitu
seluruh dunia, (b) masyarakat pertengahan yaitu sebagian dunia atau suatu
teritorial, dan (c) masyarakat kecil yang hanya terdiri dari satu kota. Al-Farabi
menerangkan bahwa masyarakat sempurna ialah masyarakat yang
mengandung keseimbangan di anatara unsur-unsurnya.

Pokok filsafat kenegaraan Al-Farabi ialah autokrasi dengan seorang


yang berkuasa mutlak mengatur Negara. Menurut al-Farabi, Negara yang
utama (al-Madinatul fadilah) ialah kota (negara) yang warga-warganya
tersusun menurut susunan alam besar (makrokosmos) atau menurut susunan
kecil (mikrokosmos). Di dalam Negara yang terpenting adalah kepala Negara.
Dimisalkan dengan hati, yaitu yang terpenting dalam diri manusia. Karena hati
adalah unsur badan manusia yang paling sempurna, maka kepala Negara
juga haruslah dipilih orang yang paling sempurna dari semua warga Negara
(kota).[9]

Manusia bersifat sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa


hidup sendiri. Kebutuhan manusia dapat dicapai dengan berinteraksi,
berproses, dan berkembang bersama dengan manusia lainnya. Kita tidak
dapat membayangkan kehidupan individu tanpa masyarakat, dan juga tidak
dapat membayangkan kehidupan masyarakat tanpa individu.[10]
Dilihat dari tujuan hidup bermasyarakat untuk memperoleh kebahagiaan, maka Al-
Farabi membagi Negara kepada:

a. Negara Utama

Konsep Negara ini berasal dari Plato yang mempersamakan Negara


dengan tubuh manusia. Tidak semua warga berhak menjadi Kepala Negara
Utama. Ia harus telah mempunyai akal mustafad (Acquired Intellect) yang
mampu berhubungan dengan akal aktif (‘aql fa’al). Untuk menjadi Kepala
Negara Utama diharuskan memiliki dua belas sifat yang merupakan
wataknya, yaitu: (1)Sehat anggotanya, (2)Baik pemikiran, pemahaman serta
hafalannya, (3)Cerdik lagi cerdas, (4)Bagus ibarat (bahasa), (5)Mencintai ilmu
dan pengajaran, (6)Tidak rakus kepada makan, minum dan kawin,
(7)Mencintai kebenaran serta membenci kebohongan, (8)Besar jiwa,
mencintai kemuliaan, (9)Tidak berharga padanya dinar dan dirham,
(10)Mencintai keadilan, membenci kedzaliman, (11)Kuat cita-cita, tidak
penakut dan tidak lemah mental, (12)Adil, tidak sukar memimpin dan tidak
ambisius.

b. Negara Jahil

Dalam Negara ini, warga Negara tidak mengetahui sama sekali


tentang kebahagiaan sejati. Mereka hanya tahu kebahagiaan itu pada
kesehatan badan, kemudahan hidup dan kelezatan jasmani.

c. Negara Fasik

Dalam Negara ini, warga Negara mengetahui kebahagiaan dan jalan


untuk mencapainya seperti halnya warga Negara Utama, tetapi amal mereka
sama seperti warga Negara Jahil

d. Negara Sesat

Dalam Negara ini, warga negaranya mempunyai kepercayaan sesat


dan buruk sangka terhadap Allah dan Akal Aktif. Kepala Negaranya menipu
manusia dengan menyatakan dirinya menerima wahyu (wangsit).

e. Negara Berubah (Mutabaddilah)

Pada mulanya, warga negaranya memiliki kepercayaan dan perbuatan


yang serupa dengan warga Negara Utama, tapi kemudian berganti dengan
masuknya kepercayan yang sesat dan perbuatan yang keji.

B. Karya-karya Al-Farabi

Mengenai karya Al-Farabi, Tampaknya dia menulis seluruh karyanya


dengan menggunakan bahasa Arab. Sebagian besar karyanya itu difokuskan
pada kajian mengenai logika. Dalam bidang ini dia menulis komentar atas
seluruh bagian Organon-nya Aristoteles, disamping komentar atas Isagoge,
karya porphyry. Dia juga menulis risalah-risalah pendek tentang aspek-aspek
tertentu logika.

Karya-karyanya yang lain meliputi cabang filsafat yang lain, yakni fisika
atau filsafat alam (Natural Philosophy), termasuk psikologi. Dalam kajian
matematika al-Farabi menulis komentar atas karya Phythagoras dan
Ptolemeus.[12] Tentang mathematika, al-Farabi membaginya menjadi tujuh
ilmu, yaitu: Arithmatika, Geometri, Optika, Astronomi, Musik, Hisab Haqi (arte
ponderum) dan mekhanika.[13] Namun karyanya yang terpenting di bidang ini
justru mengenai musik. Yang terpenting diantarnya adalah Al-Musiqa Al-
Kabir. Karya al-Farabi yang satu ini oleh banyak kalangan dianggap sebagai
karya terbaik di bidang musik yang pernah ditulis orang di abad
pertengahan.[14] Bahkan ada beberapa sejarawan Arab yang berpendapat,
bahwa al-Farabi disebut sebagai guru kedua karena ia orang pertama yang
meletakkan sejumlah dasar pelajaran tentang suara.[15]

Kategori penting lainnya dari karya al-Farabi adalah beberapa


tulisannya tentang ilmu-ilmu metafisika. Disamping logika diantara ilmu-ilmu
teoretis, di bidang inilah al-Farabi diangggap menyumbang paling besar bagi
wacana filsafat abad pertengahan. Diantara karyanya dibidang ini, terdapat
suatu judul, Fushus Al-Hikam, yang dianggap controversial karena
kandungannya berbeda dengan kebanyakan karyanya. Jika karya-karyanya
yang lain bisa disebut sebagai bersifat eksoteris (zhahiriyah) dan Aristotelian,
sedangkan karyanya yang satu ini lebih bersifat Esoteris (bathiniyah) dan
sufistik. Karya-karya metafisika al-Farabi yang selebihnya mencakup Al-Jam’
bain Ra’yai Al-Hakimain Aflatun Al-Ilahi Wa Aristuthalis (kitab keselarasan
pikiran Plato dan Aristoteles).

Dibidang ilmu-ilmu teoretis ini, karya Al-Farabi masih dilengkapi oleh


beberapa buku tentang astrologi, persisnya tentang hukum-hukum astrologi
(Ahkam an-Nujum), alkemi, dan penafsiran mimpi serta aspek-aspek linguistik
dan ilmu-ilmu teologi. Diluar ilmu-ilmu teoretis seperti tersebut diatas,
ketenaran Al-Farabi terutama bersumber pada karya-karya dibidang ilmu-ilmu
praktis, yakni dalam ilmu-ilmu kemasyarakatan (Al-Ulum Al-Madani),
khusunya ilmu politik. Diantara karya yang lainnya adalah Ara Ahl Al-Madinah
Al-Fadhilah (pendapat-pendapat para warga kota utama), Al-Siyasah Al-
Madaniyyah (pemerintahan negara kota), Fushul Al-Madani (aforisme-
aforisme negarawan), dan Tahshil Al-Sa’adah (pencapaian kebahagiaan).
E.Ibnu Sina (980‒1037 M)

A. Biografi Ibnu Sina

Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Ali Al-Husain ibnu ‘Abdullah ibn
Hasan ibnu ‘Ali ibn Sina. Di barat populer dengan sebutan Avicenna akibat
dari terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Ibnu Sina dilahirkan di
Afsyana dekat Bukhara pada tahun 980 M dan meniggal dunia pada tahun
1037 M dalam usia 58 tahun. Jasadnya dikebumikan di Hamadzan.[1]

Ibnu Sina banyak mempelajari kitab karangannya Abi ‘Abdillah Al-


Natily yang Berjudul “Isagogi”, dan buku karangan Elides dan Al-Magisty.
Pada waktu ia menerangkan isi buku-buku tersebut kepada gurunya, ia
menunjukan kecerdasan pikirannya yang mengagumkan, karena ia dapat
mengungkapkan isinya secara jelas sesuai dengan rumus-rumus dan
problematika yang ditulis dalam buku-buku tersebut, dimana gurunya sendiri
tidak dapat memahaminya.

Dalam autobiografi Ibnu Sina memulainya dengan mengatakan:


“ayahku seorang penduduk Balakh. Ia pindah ke Bukhara pada zaman
pangeran Nuh bin Manshur.” Ia menulis autobiografinya dengan baik dan
kemudian disempurnakan oleh muridnya, Al-Jurjani. Singkat kata, pada usia
10 tahun ia telah menyelesaikan pelajaran al-Qur’an, sastra, dan bahasa
Arab. Kemudian ia belajar ilmu fiqh pada seorang Guru yang bernama Isma’il
yang terkenal sebagai orang yang hidup zuhud (menjauhi kesenangan
duniawi). Disamping itu, ia juga belajar matematika dan imu ukur pada Ali Abu
abdullah an-Natili. Setelah itu ia belajar sendiri dengan membaca berbagai
buku, termasuk buku-buku Syarh hingga menguasai ilmu semantik. Tidak
ketinggalan pula ia mempelajari buku Ocledus mengenai ilmu ukur (geometri)
dan buku-buku lain tentang ilmu kedokteran.

Pada waktu usia 16 tahun kemasyhurannya telaah menyebar luas


sampai kepada ahli kedokteran lainnya sehingga mereka tertarik mempelajari
pengalaman dan berbagai macam teknik penyembuhan dari padanya.

Ketika usia 18 tahun ia telah dapat menguasai berbagai ilmu


pengetahuan, dan ketika menginjak usia 22 tahun ayahnya meninggal dunia.
Pada waktu itu timbul kekacauan polotik dalam pemerintahan As-Samiyah ini,
terpaks pindah ke Buchara, kemudian pindah lagi ke Georgia, dan pindah lagi
ke Rai, akhirnya pindah lagi ke Hamdan di kota inilah ia diangkat menjadi
mentri dari Sultan Syamsudin Daulah Abu Tahir bin Fachrid daulah Ali bin
Ruknid Daulah Al-Hasan bin Buwaihid Dailami.

Dalam usia 18 tahun ia telah selesai mempelajari semua ilmu tersebut.


Sebuah cerita mengatakan bahwa pada masa itu ia hafal isi buku
Metaphysica di luar kepala tanpa memahami kandungan maknanya hingga
saat ia menemukan buku Al-Farabi yang menerangkan maksud tulisan
Aristoteles. Setelah itu barulah ia dapat memahami perumusan kalimatnya.
Kenyataan itu membuat Ibnu Sina mengakui kedudukan Al-Farabi sebagai
Guru kedua.
Ketika pindah ke Bukhara ia dipanggil oleh Sultan Nuh bin Manshur
untuk mengobati penyakitnya, dan ternyata ia berhasil menyembuhkannya.
Kejadian ini merupakan awal-mula hubungannya dengan Sultan tersebut,
yang kemudian memberi kesempatan kepadanya memeriksa ribuan buku
yang tersimpan di dalam perpustakaannya. Dengan kekuatan daya ingatnya
yang luar biasa ia dapat mengingat isi sebagian besar buku-buku tersebut.
Kemudian ia menulis bukunya yang pertama untuk pangeran Nuh, perihal
psikologi menurut metode Aristoteles. Buku tersebut diberi nama Hadiyyatur-
Ra’is ilal Amir (hadiah Ibnu Sina kepada Amir). Buku tersebut berisi
pembahasan tentang kekuatan-kekuatan psikologis. Buku yang lain tentang
psikologi ditulisnya dalam bentuk risalah kecil.[2]

Atas keberhasilan Ibnu Sina dalam mengembangkan pemikiran filsafat


sehingga dapat dinilai bahwa filsafat ditangannya telah mencapai puncaknya,
dan karena prestasinya itu, ia berhak memperoleh gelar kehormatan dengan
sebutan al Syikh al-Ra’is (Kiyahi Utama).

Sebagai pemikir inovatif dan kreatif pada umumnya, Ibnu Sina tidak
terlepas dari cobaan yang menimpa dirinya. Ketika pustaka istana, kutub
Khana terbakar, ia dituduh membakarnya supaya orang lain tidak dapat
menguasai ilmu yang ada disana. Cobaan lain, bahwa ia pernah dipenjarakan
oleh putra Al-Syams Al-Dawlah, hanya semata-mata kedengkian atau
ketidaksenangan. Setelah beberapa bulan, ia dapat meloloskan diri dari
penjara dan lari ke Isfahan dan disambut oleh Amirnya dengan segala
kehormatan. Di kota inilah ia mengabdikan dirinya sampai akhir hayatnya.

B. Filsafat Ibnu Sina

1. Pembuktian Adanya Tuhan

Dalam pembuktian adanya Tuhan Ibnu Sina menempuh jalur lain.


Pertama membedakan wujud dari esesnsi, dan menempatkan bahwa wujud
sesuatu bukan merupakan bagian dari esensinya, kita bisa
membayangkannya dengan tanpa bisa mengetahui apakah ia itu ada atau
tidak. Sebab, wujud merupakan salah satu aksidensinya bagi substansi bukan
sebagai unsur pengadanya. Prinsip demikian berlaku bagi selain Yang Maha
Esa SWT, yang wujudnya tidak terpisah dari substansi-Nya, karena ia adalah
Yang Pertama dan harus ada dengan sendiri-Nya.

2. Teori Ketuhanan

Konsepsi ini dimulai al-Kindi dan diperdalam oleh al-Farabi dan Ibnu
Sina hingga pada puncaknya, karena ia berpendapat bahwa Allah Esa tidak
berbilang, sma sekali tidak menyamai makhluk-Nya, kekal tidak akan fana. Ia
adalah Yang Esa yang sebenarnya karena ia Esa dengan sendiri-Nya karena
tidak mengambil keesaan-Nya dari selain diri-Nya. Ia adalah pencipta yang
Maha kuasa dan pencipta yang Maha Bijak.
Ibnu Sina tidak banyak keluar dari garis ini, karena baginya Allah
adalah sesuatu yang harus ada dengan sendirinya, tidak ada sesuatu apapun
juga yang menyekutui-Nya dalam sustansi-Nya, karena ia tidak memiliki
tandingan maupun lawan. Ia mengetahui segala sesuatu dari segi adanya
sesuatu itu di dalam rangkaian umum sisitem alam.[3]

Dalam paham Ibnu Sina,essensi terdapat dalam akal, sedang wujud


terdapat di luar akal. Wujud-lah yang membuat tiap essensi yang dalam akal
mempunyai kenyataan diluar akal. Kombinasi essensi dan wujud dapat dibagi
:

a. Essensi yang tak dapat mempunyai wujud (mumtani’al-wujud) yaitu


sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being). Contohnya rasa sakit.

b. Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak


mempunyai wujud (mumkin al-wujud) yaitu sesuatu yang mungkin berwujud
tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada
mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak
ada.

c. Essensi yang tak boleh dan tidak mesti mempunyai wujud (wijib al-
wujud). Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud
adalah sama dan satu kesatuan. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak
berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi
dalam kategori kedua, tetapi essensi ini mesti dan wajib mempunyai wujud
selama lamanya. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud.[4]

3. Hubungan Jiwa Raga

Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya hubungan


antara jiwa raga; tetapi semua kecenderungan pemikiran Aristoteles menolak
suatu pandangan dua substansi, yang oleh Ibnu Sina diyakininya sebagai
bentuk dari dualisme radikal. Sejauh mana dua aspek doktrinnya itu
bersesuaian merupakan suatu pertanyaan yang berbeda: Ibnu Sina tentu
tidak menggunakan dualismenya untuk mengembangkan suatu tinjauan yang
sejajar dan kebetulan tentang hubungan jiwa raga. Meskipun demikian,
keterangannya adalah menarik dan mendalam.

Dalam buku psikologinya kitabus syifa, beliau mengatakan bahwa


manusia diciptakan dalam keadaan dewasa, tetapi dalam kondisi semacam
itu ia dilahirkan dalam keadaan lemah dimana tubuhnya tak dapat menyentuh
apa-apa dan ia tidak dapat memahami apa-apa tentang dunia lahiriah ini. Kita
perhatikan pula bahwa ia tak dapat melihat tubuhnya sendiri, dan bahwa
anggota-anggota tubuhnya tercegah dari kesalingsentuhan, sehingga ia tak
memiliki persepsi rasa apapun. Orang semacam itu takkan mengetahui dunia
ini, bahkan keberadaan dirinya sebagai sebagai wujud spiritual yang murni.
Nah, apa yang diketahuinya tentu tidak sama dengan apa yang tidak
diketahuinya. Oleh karena itu, jiwa merupakan substansi yang bebas dari
tubuhnya.[5]
4. Nubuwat

Menurut Ibnu Sina, ada empat tingkatan untuk membenarkan nubuwat,


yakni tingkatan akal, imanjinasi, mu’jizat dan sosio-politik. Tidak disangsikan
lagi bahwa seorang Nabi diberkati suatu kemampuan intelektual yang tinggi
dan dapat berpikir tanpa “silogisme moral.”

Ibnu Sina juga berpendapat bahwa tidak semua orang memiliki


pemahaman moral yang mendalam; hanya para Nabi, karena kontak mereka
dengan akal aktif, dapat sampai kepada hasil-hasil tanpa silogisme moral.
Selain itu, seorang Nabi percaya kepada dirinya sendiri dan kepada
pengetahuan yang diterimanya, dan karena itu, ia dapat menghadapi dunia
dengan rasa yakin. Akal aktif adalah tidak lain dari pemahaman yang
mendalam yang ada pada diri seorang Nabi, dalam menciptakan
pengetahuan dan nilai-nilai.

Namun demikian, adalah keliru bila mengidentikkan nabi dengan akal


aktif. Nabi adalah manusia juga dan karena itu, ia adalah akal aktif “secara
kebetulaan.” Tidak disangsikan lagi, seorang Nabi mempunyai akal yang luar
biasa dan pemahaman yang mendalam mengenai realitas yang paling hakiki,
akan tetapi pemahaman yang mendalam saja belum cukup. Seorang Nabi
harus merombak masyarakatnya dengan kepribadiannya yang dinamis, dan
harus memenuhi hati masyarakat itu dengan hasrat-hasrat dan aspirasi-
aspirasi yang baru. Oleh sebab itu, ia harus diberkati dengan suatu
kemampuan imajinasi yang sangat kuat. Ia harus dapat mengubah logika
yang ingin menjadi realitas yang hidup. Ditangannya, konsep-konsep dan ide-
ide intelektual menjadi gambaran-gambaran dan simbol-simbol realitas yang
lebih dalam, dan dengan demikian memperoleh kekuatan untuk
menggerakkan orang-orang agar bertindak dengan cara tertentu.

Berkat pemahaman yang dikaitkan dengan imajinasi yang kuat, para


nabi telah mampu melancarkan program-program sosio-politik, mula-mula
dalam masyarakat mereka sendiri, kemudian di dunia sekelilingnya. Yang
dimaksudkan oleh Ibnu Sina adalah adalah revolusi sosio-politik dan moral
spiritual yang telah dilancarkan oleh Nabinya sendiri, Hazrat Muhammad,
yang dalam tempo singkat, yakni 15 tahun, telah mencapai hasil yang benar-
benar merupakan mu’jizat dan adi-manusiawi.

Dari analisis Ibnu Sina mengenai nubuwat tersebut, menjadi jelas


bahwa seorang Nabi sama sekali bukan manusia biasa, tetapi berada jauh
diatas rakyat biasa karena pemahaman intelektualnya, pemahaman
dalamnya yang kreatif, imajinasinya, dan kemampuannya menerjemahkan
program-programnya ke dalam praktek. Perbedaan mengenai Nubuwat
antara Farabi dengan Ibnu sina yaitu, menurut Farabi seorang diangkat
menjadi Nabi setelah ia melalui suatu proses pemahaman intelektual yang
lama, sementara menurut Ibnu Sina, kenabian merupakan hadiah yang
diberikan Allah kepada orang-orang pilihan, secara tiba-tiba, tanpa menunggu
selesainya proses intelektual.[6]
C. Karya-karya Ibnu Sina

Sebenarnya hidup Ibnu Sina tidak pernah mengalami ketenangan,


danusianya pun tidak panjang. Meskipun banyak kesibukan-kesibnukannya
dalam urusan pltik sehingga ia tidak banyak mempunyai kesempatan untuk
mengarang, namun ia telah berhasil meniggalkan berpuluh-puluh karangan.
Kesuburan hasil ini disebabkan karena beberapa faktor:

1. Ia pandai mengatur waktu, dimana siang disediakan untuk pekerjaan


pemerintahan, sedang malamnya untuk mengajar dan mengarang, bahkan
lapangan kesenian pun tidak pula ditinggalkannya. Kalau hendak bepergian,
maka kertas dan alat-alat tulislah yang pertama-tama diperhatikan dan kalau
ia sudah payah dalam perjalanan, maka duduklah ia untuk berpikir dan
menulis.

2. Kecerdasan otak dan kekuatan hafalan juga tidak sedikit artinya bagi
kepadatan karyanya. Sering-sering ia menulis tanpa memrlukan buku-buku
referensi dan pada saat kegiatan-kegiatannya tidak kurang dari 50 lembar
yang ditulis sehari-harinya.

3. Sebelum Ibnu Sina telah hidup Al Farabi yang juga mengarang dan
mengulas buku-buku filsafat. Ini berarti bahwa Al Faerabi telah meratakan
jalan baginya, sehingga tidak banyak lagi kesulitan-kesulitan yang harus
dihadapinya terutama dalam soal-soal yang kecil.[7]

Ibnu Sina adalah seorang penulis yang luar biasa produktif sehingga ia
tidak sedikit meninggalkan karya tulis yang sangat besar pengaruhnya
kepada generasi sesudahnya, baik di dunia barat maupun di dunia timur.[8]
Banyak sekali buku karyanya yang memadukan ilmu filsafat dengan ilmu
kedokteran.[9] Jumlah karya yang ia ditulis diperkirakan antara 100 sampai
250 buah judul.[10] Diantara karya tulisnya yang terpenting adalah:

1. Tentang filsafat ia menulis buku Kitabusy-Syifa’ (Buku


Penyembuhan). Buku asy-Sifa’ membagi ilmu menjadi empat golongan, yaitu
ilmu semantik, ilmu alam, ilmu pasti.
2. Mengenai kedokteran ia menulis buku Al-Qanun. Buku Qanun Ibnu
Sina terbagi dalam lima jilid. Masing-masing berisi soal-soal yang berkaitan
dengan ilmu kedokteran, seperti pengetahuan tentang fungsi bagian-bagian
tubuh, pembedahan dan pengobatan. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam
bahasa latin dan sampai abad ke-17 Masehi masih merupakan buku
pegangan bagi berbagai Universitas di Eropa.
3. Kitabusy Syifa’ yang kemudian diringkas dalam sebuah buku
berjudul An-Najat (keselamatan). Buku ini terkenal dan masih beredar hingga
dewasa ini.
4. Al-isyarat wa al-Tanbihat, isinya mengandung uraian tentang logika
dan hikmah.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Selama 500 tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu
pengetahuan, dan peradabannya yang tinggi. Periode tersebut terjadi pada
saat para filsuf, ilmuwan, dan insinyur muslim bisa memberikan banyak
konstribusi terhadap perkembangan teknologi dan kebudayaan. Mereka
melakukannya baik dengan menjaga tradisi yang telah ada maupun dengan
menciptakan penemuan-penemuannya sendiri.

Sekitar 750 M - sek. 1258 M adalah masa ketika para filsuf, ilmuwan,
dan insinyur di Dunia Islam menghasilkan banyak kontribusi terhadap
perkembangan teknologi dan kebudayaan, baik dengan menjaga tradisi yang
telah ada ataupun dengan menambahkan penemuan dan inovasi mereka
sendiri. Banyak dari perkembangan dan pembelajaran ini dapat dihubungan
dengan geografi. Bahkan sebelum kehadiran Islam, kota Mekahmerupakan
pusat perdagangan di Jazirah Arab dan Muhammad sendiri merupakan
seorang pedagang.

Banyak sekali tokoh Islam yang memiliki keahlian dalam berbagai


bidang ilmu yaitu: Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, AI-Kindi, AI-Farabi, Ibnu Sina, dan
Ibnu Sina.

B. Saran
Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam yang menjalani ajaran Allah
SWT dan meneladani sunnah Rasul-Nya hendaknya kita semua sebagai
umat Islam wajib untuk melaksanakan kewajiban dan menjauhi segala
larangan-Nya. Sebab, para pendahulu kita telah berjuang untuk kemajuan
agama Islam walaupun pada saat itu pula Islam mengalami kemunduran dan
pada akhirnya Islam mengalami kebangkitan.

Daftar Pustaka
 http://www.irjaz21.tk/2014/04/makalah-perkembangan-islam-
abad_29.html
 http://zhasriani.blogspot.com/2014/12/masa-kejayaan-islam-
yang-dinantikan.html#
 http://zhasriani.blogspot.com/2014/12/masa-kejayaan-islam-
yang-dinantikan.html#

Vous aimerez peut-être aussi