Vous êtes sur la page 1sur 17

SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS PADA MASA SAHABAT

Makalah Untuk Memenuhi Mata Kuliah Ulumul Hadits

Dosen Pengampu :

Tadjudin, M.Pd.I

Oleh :

Kelompok 5

Anggota Kelompok :

1. Nisaul Khusna NS (17208153004)


2. Bambang Budi Yuwono (17208153012)

TADRIS BIOLOGI
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
MARET 2016
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. Atas rahmat dan hidayahnya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dan tak lupa sholawat serta salam semoga
tetap tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Kepada keluarganya dan
para sahabatnya serta orang - orang yang mengikuti jejak langkah mereka
sampai hari kiamat.

Dengan selesainya pembuatan makalah ini, kami tidak lupa


mengucapkan terimakasih kepada:

1. Tadjudin, M.Pd.I selaku dosen pengampu mata kuliah Ulumul Hadits


2. Serta semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian makalah ini

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Dan apabila ada
salah kata dalam penulisan makalah ini, kami mohon maaf sebesar - besarnya,
dan mengharapkan kritik dan saran agar kekurangan dan kelemahan yang ada
tidak sampai terulang dalam pembuatan makalah selanjutnya.

Tulungagung, 03 Maret 2016

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Nabi Muhammad SAW adalah teladan yang senantiasa dicontoh para
sahabat. Setiap perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad SAW.
menjadi uswah bagi para sahabat dan umat islam yang dikenal sebagi
hadits. Pada masa Rasulullah masih hidup, hadits belum mendapat
perhatian sepenuhnya seperti Al-Qur’an. Para sahabat khususnya yang
mempunyai tugas istimewa menghafal Al-Qur’an, selalu mencurahkan
tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat Al-Qur’an diatas batu,
pelepah kurma, dan lain-lain. Tetapi tidak demikian dengan Al-Hadits,
walaupun para sahabat memerlukan petunjuk-petunjuk dan keterangan dari
Nabi SAW dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan
dalam Al-Qur’an, belum dibanyangkan bahaya yang dapat mengancam
generasi mendatang selama hadits belum diabadikan dalam tulisan.
Baru setelah beberapa dekade usai wafatnya Nabi SAW muncul
inisiatif-inisiatif untuk menulis hadits. Penulisan hadits ini pun dilaksanakan
secara bertahap, seiring dengan makin banyaknya sahabat yang wafat.
Penulisan hadits makin dilakukan guna menghindari adanya kerancuan
pendapat bagi generasi umat islam setelahnya dalam memecahkan
masalah.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian sahabat ?
2. Bagaimana perkembangan hadits pada masa sahabat ?
3. Bagaimana metode hadits pada masa sahabat ?
4. Siapa saja sahabat yang banyak dalam periwayatan hadits ?
5. Siapa saja sahabat yang meriwayatkan hadits ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian sahabat
2. Mengetahui perkembangan hadits pada masa sahabat
3. Mengetahui metode hadits pada masa sahabat
4. Mengetahui sahabat yang terbanyak dalam periwayatan hadits
5. Mengetahui nama-nama sahabat yang meriwayatkan hadits
BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Sahabat


Secara etimologis, kata sahabat adalah kata bentukan dari kata Ash-
Shuhbah artinya persahabatan (Muhdlor, 1996: 1167). Pengertian sahabat
menurut ulama ahli hadits ialah sebagai berikut.
a. Orang yang berjumpa dengan Nabi SAW, beriman kepadanya dan wafat
dalam keadaan memeluk agama Islam (Anis dkk, 1972, 507)
b. Orang Islam yang pernah menemani Nabi SAW atau melihatnya (Al-Khatib,
1971 : 387)
c. Orang yang lama menemani Nabi SAW, berulangkali berjumpa dengan
beliau dalam rangka mengikuti dan mengambil pelajarannya (Mustafa Amin,
1971 : 131)
Menurut ‘Ajaj Al-Khatib (1975:391-392), cara mengetahui sahabat dapat
diketahui dengan indikasi berikut.1
a. Khabar Mutawatir, seperti Abu Bakar, Usman, Ali dan sahabat-sahabat lain
yang mendapat jaminan surga secara tegas.
b. Khabar Masyhur atau Mustafid, yang berada di bawah status Mutawattir,
seperti Akasyah bin Muhsan dan Dhaman bin Tsa’labah.
c. Salah seorang sahabat memberikan khabar bahwa seseorang berstatus
sahabat, misalnya Hamamah ibn Abu Hamamah Al-Dausi yang meninggal di
Ashbahan karena sakit perut, lalu Abu Musa Al-Asy’ari memberikan
kesaksian bahwa ia mendengar Nabi SAW.
d. Seseorang mengabarkan diri sebagai sahabat setelah diakui keadilan dan
sejamannya dengan Nabi SAW.
e. Seorang Thabi’iy mengabarkan bahwa seseorang berstatus sebagai
sahabat. Ini didasarkan pada diterimanya Tazkiyah dari saru orang.

1.2 Perkembangan Hadits pada Masa Sahabat

1
M.Abduh Almanar, Pengantar Studi Hadis, (Jakarta:Referensi, 2012), 29.
Keadaan sunnah pada masa Rasulullah belum ditulis ataupun dibukukan
secara resmi, walaupun ada beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini
dikarenakan adanya larangan menulis hadits dari Rasulullah SAW lewat
sabdanya

‫ال تكقبو اعّني سيئا غيرالقران فمن كتب عّني سيئا غير القران فليمح‬

“Jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang
menulis dari saya selain Al-Qur’an hendaklah menhapusnya.” (HR. Muslim
dari Abu Sa’id Al-Khudry)2

Namun disamping itu, ada hadits yang membolehkan dalam penulisannya


yaitu

‫اكتب عّني فو الذى ّنفس بيد ه ما خرج من فمن االالح‬

“Tulislah dari saya, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaanNya, tidak
keluar dari mulutku kecuali yang hak.”3
Dua hadits diatas bertentangan, sehingga para ulama mengkompromikan
sebagai berikut.
1. Bahwa larangan menulis hadits terjadi pada awal-awal islam untuk
memelihara agar hadits tidak tercampur dengan Al-Qur’an. Tetapi setelah itu
jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-
Qur’an, maka hukum larangan menulisnya telah dinaskhkan dengan perintah
yang membolehkannya4
2. Bahwa larangan menulis hadits itu bersifat umum, sedang perizinan
menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis.

2
Abdul Majid Khan, Ulumul Hadits, (Jakarta : Amzah, 2008), 51
3
Abdul Majid Khan, Ulumul Hadits, (Jakarta : Amzah, 2008), 52
4
Sri Wahyuni Dini, Sejarah Perkembangan Hadits pada Masa Sahabat dan Tabi’in,
online, (http://dini.blogspot.co.id/2013/03031170021/Sejarah- Perkembangan-Hadits-pada-Masa-
Sahabat-dan-Tabi’in.html).Diakses 1 Maret 2016
Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan
dikhawatirkan salah seperti Abdullah bin Amr bin Ash
3. Bahwa larangan menulis hadits ditujukan pada orang yang kuat hafalannya
dari pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang
yang tidak kuat hafalannya

Perkembangan hadits pada masa sahabat


a. Masa pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat para sahabat belum memikirkan
penghimpunan dan pengkodifikasian hadits, karena banyak problem yang
dihadapi, diantaranya timbulnya kelompok orang yang murtad, timbulnya
peperangan sehingga banyak penghafal Al-Qur’an yang gugur konsentrasi
mereka bersama Abu Bakar dalam membukukan Al-Qur’an. Kasus lain yaitu
kondisi orang-orang asing/non Arab yang masuk islam belum memahami
bahasa arab dengan baik sehingga dikhawatirkan tidak bisa membedakan
antara Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadits, beliau pernah
berkeinginan membukukan Sunah tetapi digagalkan karena khawatir terjadi
fitnah di tangan orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Al-Hakim
menceritakan bahwa Aisyah r.a berkata : Ayahku menghimpun 500 hadits,
semalaman beliau bolak-balik memeriksanya... ketika pagi beliau minta
hadits-hadits yang ada ditanganku untuk dibakar dan berkata : Aku khawatir
jika aku mati sementara hadits-hadits itu ditangamu dari orang-orang yang
terpercaya tetapi tidak diriwayatkan sebagaimana mestinya. 5 Tindakan
tersebut dilatarbelakangi karena beliau khawatir berbuat salah dalam
meriwayatkan hadits. Sehingga tidak mengherankan jumlah hadits yang
diriwayatkan tidak banyak. Padahal jika dilihat intensitasnya bersama Nabi,
beliau sahabat yang paling lama bersama Nabi, mulai dari hijrah ke Madinah
hingga Nabi wafat.
Selain sebab-sebab diatas, menurut Suhudi Ismail, ada tiga faktor yang
menyebabkan Abu Bakar tidak banyak meriwayatkan hadits, yaitu dia selalu

5
Abdul Majid Khan, Ulumul Hadits, (Jakarta : Amzah, 2008), 47
dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai khalifah, kebutuhan akan
hadits tidak sebanyak pada sesudahnya, dan jarak waktu antara
kewafatannya Nabi sangat singkat.
b. Masa pemerintahan Umar bin Khattab
Tindakan hati-hati yang dilakukan oleh Abu Bakar As-Shiddiq juga diikuti
oleh Umar bin Khattab. Umar juga terkenal sebagai orang yang sangat
berhati-hati di dalam meriwayatakan sebuah hadits. Beliau tidak mau
menerima suatu riwayat apabila tidak disaksikan oleh sahabat lainnya.
Hal ini karena pada masa itu, terutama khalifah Abu Bakar dan khalifah
Umar bin Khattab naskah Al-Qur’an masih sangat terbatas jumlahnya, dan
belum menyebar ke daerah-daerah kekuasaan Islam. Sehingga
dikhawatirkan umat Islam yang baru memeluk Islam saat itu tidak bisa
membedakan antara Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Umar bin Khattab juga pernah ingin mencoba menghimpunya tetapi
setelah bermusyawarah dan beistikharah selama satu bulan beliau berkata :
Sesungguhnya aku punya hasrat menulis sunah, aku telah menyebutkan
suatu kaum sebelum kalian yang menulis beberapa buku kemudian mereka
sibuk denganya dan meninggalkan kitab Allah. Demi Allah sesungguhnya
aku tidak akan mencampuradukkan kitab Allah dengan sesuatu yang lain
selamanya.”6
Kekhawatiran Umar bin Khathab dalam pembukuan hadits adalah
tasyabbuh / menyerupai dengan ahli kitab yakni Yahudi dan Nasrani yang
meninggalkan kitab Allah dan menggantikannya dengan kalam mereka dan
menempatkan biografi para Nabi mereka di dalam kitab Tuhan mereka.
Umar khawatir umat Islam meninggalkan Al-Qur’an dan hanya membaca
hadits.
Penyampaian periwayatan hadits secara lisan dan hanya jika benar-
benar diperlukan saja yaitu ketika umat Islam memerlukan penjelasan
hukum. Khalifah Abu bakar dan Umar bin Khathab menerima hadits dari
orang per-orang dengan syarat disertai saksi yang menguatkan. Pada masa

6
Abdul Majid Khan, Ulumul Hadits, (Jakarta : Amzah, 2008), 47
Khulafa Ar-Rasyidin ini disebut sebagai masa pembatasan periwayatan (taqlil
ar-riwayah).7
c. Masa pemerintahan Usman bin Affan
Pada masa Usman bin Affan, periwayatan hadits dilakukan dengan cara
yang sama dengan dua khalifah sebelumnya. Namun, usaha yang dilakukan
oleh Usman bin Affan tidak setegas yang dialkukan oleh Umar bin Khattab.
Meskipun melalui khutbahnya Usman telah menyampaikan serauan agar
umat islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Namun pada zaman ini,
kegiatan umat islam dalam periwayatan hadits lebih banyak dibandingkan
dengan masa dua khalifah sebelumnya. Sebab, seruannya ternyata tidak
besar pengaruhnya terhadap para periwayat hadits. Hal ini lebih disebabkan
karena selain pribadi Usman yang tidak sekeras Umar juga karena wilayah
Islam telah bertambah makin luas, yang mengakibatkan bertambahnya
kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan hadits secara ketat.
d. Masa Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam meriwayatkan hadits tidak jauh
berbeda dengan khlaifah-khalifah sebelumnya. Artinya Ali dalam periwayatan
hadits tetap berhati-hati. Dan diperoleh pula atsar yang menyatakan bahwa
Ali r.a tidak menerima hadits sebelum yang meriwayatkannya itu
disumpah.8Hanya kepada orang-orang yang benar-benar dipercayainya, Ali
tidak meminta mereka untuk bersumpah.
Pada masa Ali terjadi perpecahan dikalangan umat Islam akibat konflik
politik antara pendukung Ali dan Mu’awiyah. Umat Islam terpecah menjadi
tiga golongan9
1. Khawarij, golongan pemberontak yang tidak setuju dengan perdamaian
dua kelompok yang bertikai. Kelompok ini semula menjadi pendukung Ali,
tetapi kemudian mereka keluar (khawarij jamak dari kharij artinya keluar)
dari dukungannya terhadap Ali karena Ali menyetujui perdamaian.

7
Kiswatul Lathifah, Perkembangan Hadits pada Masa Sahabat dan Tabi’in, online
(http://ifahlathifah.blogspot.co.id/2010/0303171010.Perkembangan-Hadits-pada-Masa-Sahabat-dan-
Tabi’in.html).Diakses 1 Maret 2016
8
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
(Semarang:Pustaka Rizki Putra, 1999), 47.
9
Abdul Majid Khan, Ulumul Hadits, (Jakarta : Amzah, 2008), 50
2. Syi’ah, pendukung setia terhadap Ali, diantara mereka fanatik dan terjadi
pengkultusan terhadap Ali.
3. Jumhur muslimin, diantara mereka ada yang mendukung pemerintahan
Ali, ada yang mendukung pemerintahan Mu’awiyah, dan ada pula yang
netral tidak mau melibatkan diri dalam konflik.
Akibat perpecahan ini mereka tidak segan-segan membuat hadits
palsu (mawdhu’) untuk mengklaim bahwa dirinya yang paling benar
diantara golongan atau partai-partai di atas dan untuk mencari dukungan
dari umat Islam. Pada masa inilah awal terjadinya hadits mawdhu’ dalam
sejarah yang merupakan dampak konflik politik secara internal yang
kemudian diikuti faktor-faktor lain. Sebab perpecahan ini pula masing-
masing kelompok menolak hadits yang diriwayatkan oleh kelompok
lawannya, karena masing-masing memiliki persyaratan shahih tertentu.
Misalnya yang dilakukan Jabir bib Abdullah yang pernah melakukan
rihlah ke Syam dalam waktu satu bulan dengan menjual seekor unta
untuk ongkos transportasi hanya ingin mendapatkan satu hadits yang
belum pernah ia dengar dari Abdullah bin Unais10, tentang hadits

‫ش ُر ّللاُ تَبَا َر َك َوت َ َعالَى ال ِعيَ َد‬


ُ ‫يَ ْح‬

“Allah SWT akan mengumpulkan hamba-hambaNya. (HR. Al-


Bukhari, Ahmad, Ath-Thabarani, dan Al-Baihaqi)

Abu Ayyub An- Anshari mengadakan rihlah dari Madinah ke Mesir


untuk menemui Uqbah Ibn Amir Al-Juhani untuk mendengar sebuah
hadits yang belum pernah ia dengar,11 yaitu sabda Nabi :

‫ّللاُ َي ْو َم ال ِق َيا َم ْة‬ َ ‫ست َ َر ُمؤْ ِمّنًا فِى ال ُّد ّْن َيا َعلَى ِخ ْز َي ِة‬
‫ست َ َرهُ ه‬ َ ‫َم ْن‬

10
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
(Semarang:Pustaka Rizki Putra, 1999), 49
11
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
(Semarang:Pustaka Rizki Putra, 1999), 50.
“Barang siapa yang menutupi cacat kehinaan seorang mukmin di
dunia, maka Allah akan menutupinya besok hari kiamat.” (HR.Al-Baihaqi)

Ulama di kalangan sahabat tidak tinggal diam dalam menghadapi


pemalsuan hadits di atas. Mereka berusaha menjaga kemurnian hadits
dengan serius dan sungguh-sungguh, di antaranya mengadakan
perlawanan ke berbagai daerah Islam (rihlah) untuk mengecek kebenaran
hadits yang telah sampai kepada mereka baik segi matan maupun sanad.
Demikian perhatian para sahabat terhadap sunah, mereka rela
meninggalkan kampung halamannya beberpa hari bahkan rela
mengorbankan harta benda untuk bekal mencari kebenaran sebuah
hadits.

1.3 Metode Hadits pada Masa Sahabat

a. Metode pencarian hadits


Pada masa Rasul tidak ada penulisan hadits secara khusus dan memang
dilarang, kecuali sedikit, diantaranya kisah yang sering ditampilkan oleh para
ulama hadits tentang Abi Syah. Kata Muhammad bin Ismail Al-Amir,
diriwayatkan secara lisan dan dipelihara dalam hati para sahabat. Mereka
sangat kuat menjaganya dan mereka tidak menuliskan hadits kecuali apa yang
benar-benar sampai kepada mereka dalam rangka menafsirkan dan
menjelaskan Al-Qur’an (Al-Amir, 1947:28).
Kebaikan, sikap, keteladanan, kedisiplinan, dan keteguhan para sahabat
tak dapat diragukan. Para sahabat ini telah menempuh jalan lurus. Dalam
menjaga hadits Nabi SAW. Hal ini terlihat dalam sikap hati-hati mereka ketika
mengatakan hadits, kecermatan mereka dalam menerima berbagai khabar dan
keberanian mereka dalam bertindak.
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan oleh
para sahabat, karena mereka khawatir akan terjadi kekeliruan, padahal mereka
menyadari bahwa hadits merupakan sumber hukum setelah Al-Qur’an yang
harus terpelihara dari kekeliruannya sebagaimana Al-Qur’an. Oleh karena itu,
para sahabat khususnya khulafa Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, Ali)
dan sahabat lainnya, seperti Zubair, Ibn Abbas dan Abu Ubaidah berusaha
memperketat periwayatan dan penerimaan hadits (Al-Khatib, 1971: 92-93).
Metode hadits pada masa sahabat, dalam meriwayatkan hadits, ada dua
jalan, yaitu : Metode periwayatan seara lafzi dan Periwayatan secara
maknawi.12
Periwayatan Hadits secara Lafzi, adalah periwayatan hadits yang
redaksinya atau matannya sama persis seperti apa yang dituturkan oleh Rasul
SAW.
Periwayatan Hadits secara maknawi, adalah periwayatan hadits yang
redaksinya tidak sama persis seperti yang dituturkan oleh Rasul SAW.
Para sahabat tidak akan meriwayatkan hadits kecuali dalam keadaan sangat
mendesak. Bila mereka telah meriwayatkan hadits, biasanya akan megatakan
(seperti ini), atau (atau seperti yang disabdakan oleh Rasul SAW) atau kata-
kata yang lain, yang semakna (Al-Khatib, 1975:84).
Konsekuensi periwayatan hadits dengan jalan maknawi, mengakibatkan
timbulnya hadits-hadits yang redaksinya berbeda-beda. Namun, tujuan dan
maksud hadits tersebut tetap sama.

b. Metode memelihara kemurnian hadits


1. Taqlil Ar-riwayah
Secara khusus, dalam pemerintahan Abu Bakar dan Umar, ditemukan
upaya meminimalisasi riwayat hadits dikarenakan hal yang bersifat
kondisional dan bersifat kehati-hatian, yaitu :
a. Masa abu bakar pusat perhatiaan tertuju pada pemecahan masalah
politik, khususnya konsolidasi dan pemulihan kesadaran terhadap
perlunya menjalankan roda khilafah islam, oleh sebab itu gerakan
periwayatan dengan sendirinya terbatas.13

12
M.Abduh Almanar, Pengantar Studi Hadis, (Jakarta:Referensi, 2012), 31
13
Abdul Majid Khan, Ulumul Hadits, (Jakarta : Amzah, 2008), 49
b. Sahabat masih dekat dengan era Nabi SAW dimana umumnya
mereka mengetahui sunnah. Sehingga persoalan-persoalan hukum
dan sosial telah mendapat jawaban dengan sendirinya pada diri
mereka. Memang adanya pergeseran-pergeseran kehidupan dan
munculnya masalah baru yang ditemui para sahabat, tetapi tidak
terlalu signifikan.
c. Para sahabat lebih menfokuskan diri pada kegiatan penulisan dan
kodifikasi Al-Qur’an.
d. Adanya kebijaksanaan yang dilakukan penguasa, khususnya umar,
agar sahabat menyedikitkan riwayat. Ini disebabkan kecenderungan
yang sangat selektif, berhati-hati, dan sikap ketegasan.
e. Sahabat khawatir terjadinya pemalsuan hadits yang dilakukan oleh
mereka yang baru masuk islam , sebab sunnah belum terlembaga
pengumpulannya sebagaimana Al-Qur’an.

2. Tatsabbut Fi Ar-riwayah
Adanya gerakan pembatasan riwayat di kalangan sahabat tidaklah berarti
bahwa mereka sama sekali tidak meriwayatkan sunnah pada masanya.
Maksudnya dari pembatasan tersebut hanyalah menyedikitkan
periwayatan dan penyeleksinya. Para sahabat melakukan penyeleksian
riwayat yang mereka terima dan memeriksa sunnah yang mereka
riwayatkan dengan cara mengkonfirmasikan dengan sahabat lainnya.

1.4 Sahabat yang banyak dalam meriwayatan Hadits


Sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits dari Rasul ada tujuh
orang14, yaitu.
a. Abu Hurairah, Abdurrahman bin Sakhr Al-Dausi Al-Yamani. Lahir tahun
19 SH dan wafat tahun 59 H. Jumlah hadits yang diriwayatkan 5374.
b. Abdullah ibn Umar ibn Al-Khattab. Lahir tahun 10 SH dan wafat tahun 73
H. Jumlah hadits yang diriwayatkan 2635.

14
M.Abduh Almanar, Pengantar Studi Hadis, (Jakarta:Referensi, 2012), 34
c. Anas ibn Malik. Lahir tahun 10 SH dan wafat tahun 93 H. Jumlah hadits
yang diriwayatkan 2286.
d. Aisyah ibn Abu bakar Ash-Shidiq Ummul Mu’minin. Lahir tahun 9 SH dan
wafat tahun 58 H. Jumlah hadits yang diriwayatkan 2210.
e. Abdullah ibn Abbas ibn Abu Muthalib. Lahir tahun 3 SH dan wafat tahun
68 H. Jumlah hadits yang diriwayatkan 1660.
f. Jabir ibn Abdullah Al-Anshari. Lahir tahun 6 SH dan wafat tahun 78 H.
Jumlah hadits yang diriwayatkan 1540.
g. Abu Sa’id Al-Khudri, Sa’d ibn Malik Ibn Sinan Al-Anshari. Lahir tahun 12
SH dan wafat tahun 74 H. Jumlah hadits yang diriwayatkan 1170.

Abu Hurairah telah banyak meriwayatkan hadits dan ia mengambil dari


para sahabat yang masih hidup sekalipun Nabi sudah wafat kurang lebih
yang ia ambil dari lebih 300 orang sahabat dan dihimpun ke dalam shahifah-
shahifahnya. Hadits-hadits Abu Hurairah tersebut diriwayatkan oleh muridnya
bernama Hammam bin Munabih dan dihimpun pula kedalam shahifah
Hammam maksudnya shahifahnya Abu Hurairah yang di himpun oleh
Hammam. 15 Shahifah ini mempunyai makna penting sebagai dokumentasi
hadits karena ia sampai kepada kita secara sempurna yang oleh penulis
kitab Kasyf Azh-Zhunnun di beri nama Ash-Shahifah Ash Shahihah. Hadits-
hadits tersebar ke dalam Musnad Ahmad, Shahih Al-Bukhari, dan lain-lain.

1.5 Nama-Nama Sahabat dalam Meriwayatkan Hadits


a. Madinah. Para sahabat yang mempunyai peranan penting dalam
masalah hadits ialah Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Abu Hurairah,
Aisyah, Ibn Umar, Abu Sa’id Al-Khudri, dan Zaid bin Tsabit.
b. Makkah. Di sini ada Muadz bin Jabal, yang meriwayatkan hadits dari
sahabat ini sejumlah sahabat besar antara lain Abdullah bin Abbas.
c. Kufah. Di Kufah datang seorang sahabat Rasul pada masa kekhalifahan
Umar, tatkala Irak terbuka bagi kaum muslimin. Di Kufah ini ada tiga
ratus sahabat yang pernah berbaiat di bawah pohon, tujuh puluh ahli

15
Abdul Majid Khan, Ulumul Hadits, (Jakarta : Amzah, 2008), 49
badar, dan yang paling terkenal ialah Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi
Waqas, Sa’id bin Zaid bin Amr bin Naufal, Abdullah bin Mas’ud, dan lain-
lain.
d. Bashrah. Para sahabat yang tinggal di kota ini aalah Anas bin Malik,
Imam dalam bidang hadits, Abu Musa Al-Asy’ari, Abullah bin Abbas,
Utbah bin Ghazwan, ‘Imran bin Husain Abu Bazrah Al-Aslamy, dan lain-
lain.
e. Syam (Syria). Diantara sahabat-sahabat yang tinggal di negeri-negeri
Syam adalah Abu ‘Ubaiah bin Al-Jarrah, Bilal bin Rabah, Syurahil bin
Hasanah, Khalid bin Walid, ‘Iyadh bin Ghanm, Al-Fadhl bin Al-Abbas bin
Abdul Muthalib, ‘Auf bin Malik Al-Asyja’iy, Al-Arbdh bin Sariyah, dan lain-
lain.
f. Mesir. Dikalangan sahabat yang tinggal di Mesir adalah ‘Uqbah bin Amir
Al-Juhaniy, Kharijah bin Huzaifah, Abdullah bin Sa’ bin Abi Sarah,
Mahmiyah bin Juz, dan lain-lain.
BAB III

PENUTUP

3.1 SIMPULAN

Dari berbagai penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa :


1. Sahabat adalah orang yang menemani atau berjumpa dengan Nabi SAW
dan mengabil pelajaran darinya, beriman kepadanya dan wafat dalam
keadaan memeluk agama Islam.
2. Pada masa sahabat periwayatan hadits dilakukan dengan terbatas dan
sangat hati-hati yaitu dengan melibatkan saksi-saksi untuk menghindari
teradinya kesalahan dalam periwayatan hadits.
3. Metode hadits pada masa sahabat, dalam meriwayatkan hadits, ada dua
jalan, yaitu : Metode periwayatan seara lafzi dan Periwayatan secara
maknawi.
4. Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits antara lain
AbuHurairah, Abdullah ibn Umar ibn Al-Khattab, Aisyah ibn Abu bakar
Ash-Shidiq Ummul Mu’minin, Anas ibn Malik,dll
5. Sahabat yang meriwayatkan hadits dari berbagai daerah Abu Bakar,
Umar, Usman, Muadz bin Jabal, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa Al-
Asy’ari, Al-Arbdh bin Sariyah, Kharijah bin Huzaifah,dll.

3.2 SARAN

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi

pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan

kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau

referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.

Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman memberikan

kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah

ini di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi

penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Almanar, M.Abduh.2012.Pengantar Studi Hadits.Jakarta:Referensi

Khan, Abdul Majid.2008.Ulumul Hadits.Jakarta:Amzah

Kiswatul Lathifah.2010. Perkembangan Hadits pada Masa Sahabat dan


Tabi’in.Online(http://ifahlathifah.blogspot.co.id/2010/0303171010.Perkemb
angan-Hadits-pada-Masa-Sahabat-dan-Tabi’in.html).Diakses 1 Maret
2016 pukul 13.57

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku.1999.Ilmu


Hadits.(Online)Semarang:Pustaka Rizki Putra

Sri Wahyuni Dini.2013.Sejarah Perkembangan Hadits pada Masa Sahabat dan


Tabi’in.Online(http://dini.blogspot.co.id/2013/03031170021/Sejarah-
Perkembangan-Hadits-pada-Masa-Sahabat-dan-Tabi’in.html).Diakses 1
Maret 2016 pukul 14.15

Vous aimerez peut-être aussi