Vous êtes sur la page 1sur 5

Aspek Hukum Praktek Mandiri Perawat

Hampir dua dekade profesi perawat Indonesia mengkampanyekan


perubahan paradigma. Pekerjaan perawat yang semula vokasional digeser
menjadi pekerjaan profesional. Perawat berfungsi sebagai perpanjangan
tangan dokter, kini berupaya menjadi mitra sejajar dokter sebagaimana
para perawat di negara maju.
Wacana tentang perubahan paradigma keperawatan bermula dari
Lokakarya Nasional Keperawatan I tahun 1983, dalam pertemuan itu
disepakati bahwa keperawatan adalah pelayanan profesional. Mengikuti
perkembangan keperawatan dunia, perawat menginginkan perubahan
mendasar dalam kegiatan profesinya. Dulu membantu pelaksanaan tugas
dokter, menjadi bagian dari upaya mencapai tujuan asuhan medis, kini
mereka menginginkan pelayanan keperawatan mandiri sebagai upaya
mencapai tujuan asuhan keperawatan.
Tuntutan perubahan paradigma ini tentu mengubah sebagian besar bentuk
hubungan perawat dengan manajemen organisasi tempat kerja. Jika praktik
keperawatan dilihat sebagai praktik profesi, maka harus ada otoritas atau
kewenangan, ada kejelasan batasan, siapa melakukan apa. Karena diberi
kewenangan maka perawat bisa digugat, perawat harus bertanggung jawab
terhadap tiap keputusan dan tindakan yang dilakukan.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001
merupakan kekuatan hukum bagi perawat yang membuka praktik mandiri
perawat. Menurut konsorsium ilmu-ilmu kesehatan (1992), praktek
mandiri perawat adalah tindakan mandiri perawat profesional atau ners
melalui kerjasama yang bersifat kolaboratif baik dengan klien maupun
tenaga kesehatan lain dalam upaya memberikan asuhan keperawatan yang
holistic sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai
tatanan, termasuk praktik keperawatan individu dan berkelompok. Didalam
Kepmenkes 1239/2001, telah diatur sedemikian rupa tentang praktik
keperawatan seperti perizinan dan praktek perawat.
Namun, dalam aplikasinya, masih terdapat perawat yang membuka praktik
mandiri dan tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam
Kepmenkes 1239/2001. Bahkan banyak perawat terutama di daerah yang
tidak memiliki SIP dan SIP. Misalnya dari catatan Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (PPNI) Babel, dari 300 perawat di Kota Pangkalpinang
belum satupun yang memiliki SIK dan SIPP, padahal banyak yang
memberikan pengobatan medis kepada masyarakat. Daerah-daerah yang
lain juga memiliki kasus-kasus yang hampir serupa. Hal ini dibuktikan
dengan terdapatnya perawat yang ditangkap oleh polisi dan sweeping-
sweeping yang dilakukan oleh dinas kesehatan di beberapa daerah.

Perizinan
Pada Kepmenkes 1239/2001 Pasal 8 menyebutkan bahwa perawat dapat
melaksanakan praktek keperawatan pada saranan pelayanan kesehatan,
praktek perorangan dan/atau kelompok. Perawat yang melaksanakan
praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan harus memiliki SIK.
Perawat yang melakukan praktek perorangan/kelompok harus memiliki
SIPP. Pada pasal 9 disebutkan, SIK diperoleh dengan mengajukan
permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
Selanjutnya, pada Pasal 12, SIPP diperoleh dengan mengajukan
permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
Keberadaan SIK dan SIPP merupakan hal yang wajib bagi seorang perawat
yang membuka praktik mandiri. SIK dan SIPP merupakan syarat untuk
mengantongi izin membuka praktik mandiri.
Pada Pasal 12 ayat (2) menyebutkan bahwa SIPP hanya diberikan kepada
perawat yang memiliki pendidikan ahli madya keperawatan atau
pendidikan perawat dengan kompetensi lebih tinggi. Hal ini berarti, yang
berhak membuka praktek mandiri perawat minimal perawat dengan
pendidikan DIII.
Namun, ternyata terdapat kesenjangan antara kondisi ideal dengan
kenyataan. Di berbagai daerah di Indonesia melaporkan adanya perawat
yang membuka praktik mandiri tanpa mengantongi SIK dan SIPP.
Misalkan, di salah satu daerah di Jawa Tengah, banyak perawat-perawat
yang membuka praktek mandiri, namun setelah ditelusuri lebih lanjut
mereka tidak memiliki SIPP. Ada sebagian yang menyatakan bahwa
prosedurnya terlalu rumit sehingga tidak sempat untuk mengurusnya.
Menurut Bangka Pos (2009), berdasarkan catatan Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (PPNI) Bangka Belitung dari 300 perawat di Kota
Pangkalpinang belum satupun yang memiliki SIK dan SIPP, padahal
banyak yang memberikan pengobatan medis kepada masyarakat. Lebih
lanjut, berdasarkan penelitian Rivai (2008), sebagian besar perawat belum
memiliki SIK.
Diberitakan dalam Batam Pos (2009), seorang perawat ditangkap oleh
polsek setempat karena membuka praktik perawat tanpa izin dari Dina
Kesehatan Kabupaten atau Kota. Hal yang sama juga terjadi di Gunung
Kidul Yogyakarta, banyak perawat yang membuka praktik mandiri
tertangkap oleh sweeeping yang dilakukan dinas kesehatan. Lebih lanjut,
menurut moderato FM (2009), seorang perawat membuka praktek mandiri
tanpa izin dari dinas kesehatan setempat dan harus berurusan dengan pihak
mapolres.
Tindakan perawat yang tidak mengantongi izin berupa SIK dan SIPP dapat
mengarah pada malpraktek. Malpraktek merupakan kelalaian seorang
tenaga kesehatan untuk mempergunakan tingkat ketrampilan dan lmu
pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang
yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Malpraktek dapat
terjadi karena tindakan yang disengaja, tindakan kelalaian, ataupun sesuatu
kekurangmahiran. Malpraktek dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang
hukum yang dilanggar, yakni criminal malpractice, civil malpractice, dan
administrative malpractice.
Tindakan perawat yang tidak mengantongi izin berupa SIK dan SIPP
termasuk administrative malpractice. Pelanggaran hukum administrasi
adalah sebagai jalan menuju malpraktik.

Hak dan Kewajiban


Kewajiban perawat
Salah satu kewajiban perawat berdasarkan Kepmenkes 1239/2001
menyebutkan bahwa perawat harus mencantumkan Surat Izin Praktek
Perawat (SIPP) di ruang praktiknya (Pasal 21). Penelitian yang dilakukan
oleh Ahmad rivai dkk (2008) menunjukkan bahwa sebagian perawat belum
memiliki SIPP. Hal ini berarti, terdapat perawat yang tidak memenuhi
kewajiban perawat sebagaimana tercantum dalam Kepmenkes 1239/2001
yaitu mencantumkan Surat Izin Praktek Perawat di ruang praktiknya.
Dalam Kepmenkes Pasal 21 ayat (2), menyebutkan bahwa perawat yang
menjalankan praktek perorangan tidak diperbolehkan memasang papan
praktek. Lain halnya dengan yang terjadi di salah satu kota di Jawa Timur.
Berdasarkan website alumni FIK-UI, terdapat perawat yang membuka
praktik mandiri perawat dengan memasang papan nama. Walaupun, sudah
memiliki SIPP, namun memasang papan nama tetap diperbolehkan.
Hak Perawat
Pernyataan hak dalam Kepmenkes 1239/2001 tidak tertulis secara jelas.
Dalam Kepmenkes menentukan kewenangan dalam melaksanakan praktik
keperawatan. Salah satu kewenangan perawat yang terdapat dalam Pasal
15 kepmenkes 1239/2001 yaitu pelayanan tindakan medik hanya dapat
dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari dokter. Perlu digarisbawahi,
pada dasarnya perawat tidak diperkenankan melaksanakan praktik medis.
Hal ini mendapat perkecualian yaitu apabila terdapat permintaan tertulis
dari dokter dan dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa seorang
pasien.
Namun, realita dilapangan menyatakan sebaliknya. Sebagian besar perawat
yang membuka praktik mandiri melakukan praktik medik secara bebas,
dalam artian tidak mendapat permintaan tertulis dari dokter. Seperti yang
dikutip oleh Radar Madura (2009) yang menyebutkan sedikitnya ada lima
lokasi perawat yang buka praktik ala dokter. Antara lain, di Kecamatan
Pakong, Kota Pamekasan, Tlanakan, dan Palengaan. Kelimanya
memberikan pelayanan ala rumah sakit. Lebih lanjut menurut Radar
Madura, masyarakat lebih memilih praktek perawat dalam pengobatannya
dikarenakan harganya murah. Hal yang sama juga terjadi di salah satu
kabupaten di jawa tengah, perawat lebih memilih membuka praktek
pengobatan dari pada praktek keperawatan. Hal ini dikarenakan, praktek
pengobatan lebih memasyarakat dari pada praktek keperawatan.

PENUTUP
Praktik keperawatan mandiri sudah banyak dilakukan oleh perawat.
Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1239/Menkes/SK/IX/2001 menjadi
payung hukum bagi perawat yang membuka praktik mandiri. Namun,
dalam pengaplikasiannya, terdapat beberapa hal yang tidak sesuai dengan
Kepmenkes 1239/2001. Berikut ini, beberapa fakta dilapangan terkait
praktik mandiri perawat :
1. Terdapat perawat yang membuka praktik mandiri tidak memiliki SIK
dan SIPP.
2. Terdapat perawat yang memasang papan nama.
3. Terdapat perawat yang melakukan praktik medis dari pada praktik
keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Bangka Pos. 2009. Buka Praktek Harus Punya SIK dan SIPP.
http://www.bangkapos.com

Batam Pos. 2009. Perawat Tidak Boleh Buka Praktik.


http://www.batampos.com

Chazawi, A. 2007. Malpraktik Kedokteran. Malang : Bayu Media


Publishing.

Praptianingsih, S. 2006. Kedudukan Hukum Perawat Dalam Upaya


Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit. Jakarta: PT. Raja Grafindo Prsada.

Rivai, dkk. 2008. Kebijakan Praktik Perawat.

Radar Madura. 2009. Perawat Kena Sweeping.


http://www.radarmadura.com

Vous aimerez peut-être aussi