Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
“MYASTENIA GRAVIS”
PEMBIMBING:
dr. Wiwin Sundawiyani, Sp.S
DISUSUN OLEH:
Ray Praditya Putra Sugraha (2013730090)
• Nama : Ny.R.M
• Umur : 39 tahun
• Alamat : Kemayoran
• Agama : Islam
2. KELUHAN UTAMA
• Sulit menelan
6. RIWAYAT PENGOBATAN
• OS belum pernah berobat kemanapun sebelumnya
7. RIWAYAT PSIKOSOSIAL
• OS adalah seorang ibu rumah tangga, aktifitas fisik ringan-sedang
• Merokok disangkal
• Mengkonsumsi alkohol disangkal
8. RIWAYAT ALERGI
• OS tidak memiliki alergi terhadap makanan,obat-obatan, maupun udara
9. PEMERIKSAAN FISIK
• Keadaan Umum : Sakit sedang
• Kesadaran : Compos mentis cooperative
• Tekanan Darah : 120/80 mmHg
• Nadi : Teraba kuat, frekuensi 78 kali/menit, regular.
• Nafas : Abdomino thorakal, frekuensi 22 kali/menit.
• Suhu : 36,8 oC
• Tinggi Badan : 158 cm
• Berat Badan : 54 kg
Kaku Kuduk : -
Brudzinski I : -
Brudzinski II : -
Kanan Kiri
N. I (Olfaktorius)
Normosmia :+/+
N. II (Optikus)
Acies visus : Baik / baik
Visus campus : Baik / baik
Lihat warna : Baik / baik
Funduskopi : Tidak dilakukan
N. III, IV, VI (Occulomotorius, Trochlearis, Abducens)
Kedudukkan bola mata : Ortoposisi + / +
Pergerakkan bola mata : Baik ke segala arah
Oculi Dextra Oculi Sinistra
Lagofthalmus :-/-
Ptosis :+/+
Nystagmus :-/-
Pupil
Bentuk : Pupil Bulat, isokor, diameter 4mm/4mm
Reflek cahaya langsung :+/+
Reflek cahaya tidak langsung :+/+
N. V (Trigeminus)
Cabang Motorik
Gerakan rahang : Baik
Menggigit : Baik
Cabang sensorik
Ophtalmicus : Baik / baik
Maksilaris : Baik / baik
Mandibularis : Baik / baik
Refleks
Kornea :+/+
Jaw reflex :-/-
N. VII (Fascialis)
Motorik
Sikap wajah : Kesan mencong tidak ada
Angkat alis : Baik / baik
Mengerutkan dahi : Baik / baik
Menutup mata : Baik / baik
Menyeringai : Baik / baik
Plika nasolabialis : Tidak ada bagian yang lebih mendatar
Sensorik
Pengecapan lidah 2/3 depan : Baik
N. VIII (Vestibulocochlearis)
Vestibular
Vertigo :-
Nistagmus :-
Koklearis : Baik / baik
N. IX, X (Glossopharyngeus, Vagus)
Motorik
Kedudukan uvula : Berada di tengah
Kedudukan arcus faring : Tidak ada deviasi
Menelan : Terganggu
Sensorik : Baik
N. XI (Accesorius)
Mengangkat bahu : Baik / baik
Menoleh : Baik / baik
N.XII (Hypoglossus)
Pergerakkan lidah : Baik
Menjulurkan lidah : Lurus ke depan
Atrofi :-
Fasikulasi :-
Tremor :-
Sistem Motorik
Trofi : eutrofi
Tonus : normotonus
Kekuatan otot :
Ekstremitas superior : 5555/5555
Ekstremitas inferior : 5555/5555
Gerakkan involunter :
Tremor :-/-
Chorea :-/-
Atetose :-/-
Miokloni :-/-
Tics :-/-
Sistem Sensorik
Propioseptif
Getar : Tidak dilakukan
Sikap : Baik / baik
Eksteroseptif
Nyeri : Baik / baik
Suhu : Tidak dilakukan
Raba : Baik / baik
Refleks Fisiologis
Kornea :+
Biseps : ++/++
Triseps : ++/++
KPR : ++/++
APR : ++/++
Dinding perut : ++/++
Refleks Patologis
Hoffman Tromer : - / -
Babinsky :-/-
Chaddok :-/-
Gordon :-/-
Schaefer :-/-
Klonus patella :-/-
Klonus achilles :-/-
Fungsi Serebelar
Ataxia :-
Tes Romberg :-
Disdiadokokinesia :-
Jari-jari : Baik
Jari-hidung : Baik
Tumit-lutut : Baik
Rebound phenomenon : Baik
Hipotoni :-/-
Fungsi Otonom
Miksi : Baik
Defekasi : Baik
Sekresi keringat : Baik
14. RESUME
• Pasien Ny. R.M wanita 39 tahun datang ke IGD RSIJ CP dengan keluhan sulit menelan sejak
1 minggu SMRS. Pasien sulit menelan makanan lunak seperti bubur, namun masih dapat
menelan makanan cair. Keluhan dirasakan fluktuatif. Keluhan muncul jika pasien merasa
kelelahan dan banyak beraktifitas. Keluhan dirasakan membaik di pagi hari, setelah
bangun tidur dan setelah beristirahat. Keluhan disertai dengan suara yang semakin lama
semakin mengecil, terutama jika pasien banyak berbicara. Kelopak mata dirasakan
semakin bertambah berat dan tampak jatuh di sore hari. Akibat keluhan ini pasien lebih
banyak beristirahat. Pasien juga mengeluhkan sesak nafas ketika setelah beraktifitas.
• Pada pemeriksaan fisik ditemukan ptosis di kedua kelopak mata kanan dan kiri pasien.
• Pada hasil lab ditemukan leukositosis.
15. DIAGNOSIS
• Diagnosis Klinis : Disfagia, Ptosis dextra dan sinistra
• Diagnosis Topik : Neuromuscular junction (motor end plate)
• Diagnosis Etiologi : Suspek Myastenia Gravis
• Diagnosis Patologi : Autoimun
16. PENATALAKSANAAN
• Terapi umum:
- IVFD Ringer Laktat 500 CC 20 tpm
• Terapi khusus:
- Mestinon (Pyridostigmine) 4x60 mg (p.o)
- Metil prednisolone 4x125 mg (i.v)
- Ranitidin 2x50 mg (i.v)
- Ceftriaxone 1 gr / 12 jam
- Pasang NGT
17. PROGNOSIS
• Quo Ad Vitam : Dubia ad bonam
• Quo Ad Functionam : ad bonam
• Quo Ad Sanationam : Dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran yang
akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5 protein
subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan gamma.
Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah melewati
saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik.
Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat
otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir). Apabila
pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada
membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot.2
1.3 Miastenia Gravis
1.3.1 Definisi Miastenia Gravis
Miastenia gravis (MG) adalah penyakit yang disebabkan oleh defek pada transmisi
neuromuscular yang dimediasi oleh antibodi (autoimun) pada reseptor nikotinik asetilkolin
(Ach) di neuromuscular junction. Penyakit ini ditandai dengan kelemahan yang fluktuatif.
Penyakit ini ditandai dengan kelemahan atau kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan
aktivitas, dan akan pulih kekuatannya setelah beberapa saat yaitu dari beberapa menit
sampai beberapa jam.4
Kata miastenia gravis, menurut Bahasa latin dan Yunani berarti “grave muscle
weakness”. Tetapi jika diberikan terapi secara tepat, penderita miastenia gravis tidak
berakhir dengan kematian sesuai dengan implikasi namanya yaitu “kuburan”.5 Jolly (1895)
adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah miastenia gravis dan ia juga yang
mengusulkan pemakaian fisostigmin sebagai obatnya namun tidak berlanjut. Kemudian
Remen (1932) dan Walker (1934) menyatakan bahwa fisostigmin merupakan obat yang
baik untuk miastenia gravis.4
1.3.2 Klasifikasi Miastenia Gravis
Miastenia Gravis Foundation of America Clinical mengklasifikasikan miastenia
gravis menjadi 5 yaitu:6
Tabel 1 Klasifikasi miastenia gravis menurut Miastenia Gravis Foundation of America
Clinical.6
Derajat Gejala
Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan lokal yang
ringan sampai pada kelemahan tubuh secara menyeluruh yang fatal. 33% kasus hanya
terdapat gejala kelainan otot ocular disertai dengan kelemahan otot lainnya. Kelemahan
ekstremitas tanpa disertai dengan kelemahan otot ocular jarang terjadi, hanya sekitar
15%.selebihnya (sekitar 20% kasus) didapatkan mengalami kesulitan menelan dan
mengunyah.4
Gejala kelemahan miastenia gravis sangat khas dimana kelemahan tersebut bersifat
fluktuatif. Kelemahan akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa
ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita
beristirahat.13
Anamnesis yang klasik pada penderita miastenia gravis tipe ocular adalah adanya
gejala diplopia yang timbul pada sore hari atau pada waktu magrib dan menghilang pada
waktu pagi harinya. Dapat pula timbul ptosis pada otot kelopak mata. Bila otot-otot bulbar
terkena, suaranya menjadi suara basal yang cenderung berfluktuasi dan suara akan
memburuk bila percakapan berlangsung terus. Pada kasus yang berat akan terjadi afoni
temporer. Adanya kelemahan rahang yang progresif pada waktu mengunyah dan penderita
sering kali menunjang rahangnya dengan tangan saat mengunyah. Keluhan lain adalah
adanya disfagia dan regurgitasi makanan sewaktu makan.4
Gambar 1 pasien miastenia gravis yang mengalami ptosis13
1.3.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang seksama dan pemeriksaan fisik
sederhana untuk menilai berkurangnya kekuatan otot setelah aktivitas ringan tertentu,
kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan farmakologik yaitu tes endrofonium atau tes
neostigmin. dapat juga dilakukan pemeriksaan penunjang lain seperti electromyography
(EMG) dan rontgen thoraks.4
1. Anamnesis
Perlu ditanyakan adanya gejala yang khas pada penderita miastenia gravis yaitu
berupa kelemahan otot yang bersifat fluktuatif. Kelemahan akan terasa pada saat
beraktivitas dan membaik setelah istirahat.11 Pada pasien dengan miastenia gravis ocular
penting ditanyakan mengenai gejala klasik pada pasien miastenia gravis tipe ocular yaitu
gejala diplopia saat sore hari dan menghilang pada pagi hari. Serta ptosis dan suara yang
semakin lama semakin mengecil jika pasien berbicara dalam waktu yang cukup lama.4
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan berdasarkan pada kelelahan otot-otot yang terkena.
Caranya antara lain:4
a. Meminta pasien untuk melihat objek di atas level bola mata akan timbul ptosis pada
miastenia ocular.
b. Mengangkat lengan akan mengakibatkan jatuhnya lengan bila otot-otot bahu terkena.
c. Pada kasus-kasus bulbar, pasien diminta untuk menghitung dari angka 1 sampai 100,
maka volume suara akan menghilang atau timbul disartria.
d. Sulit menelan barium bila terdapat gejala disfagia.
3. Pemeriksaan farmakologi
Pemeriksaan farmakologi yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
miastenia gravis yaitu:
R 0.79 24
I 2.17 55
IIA 49.8 80
Keterangan: R =
IIB 57.9 100
IV 205.3 89
Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita
miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat
digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.6
b. Anti striated muscle (anti-SM) antibodi
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes
ini menunjukkanhasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma
dalam usia kurang dari 40 tahun.Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari
40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkanhasil positif..6
c. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-
AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif
untuk anti-MuSK Ab.6
d. Anti striational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan
adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada notot rangka dan
otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein
titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma
dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibodi
merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasienmuda
dengan miastenia gravis.6
5. Imaging
a. Chest x-ray
Foto rontgen thorak dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan
lateral. Pada rontgen thorak, timoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada
bagian anterior mediastinum.10 Hasil rontgen yang negatif belum tentu dapat
menyingkirkan adanya timoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan
CT-scan thoraks untuk mengidentifikasi timoma pada semua kasus miastenia
gravis, terutama pada penderita dengan usia tua. 6,10
b. MRI
Pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin.
MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada
saraf otak. 10
1.3.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari penyakit miastenia gravis antara lain:2
1. Tirotoksikosis.
2. Lupus eritematosus.
3. Sindrom Fischer.
4. Sindroma Eaton-Lambert, ditemukan gejala-gejala miastenia gravis. Disamping itu
akan tampak pula adanya suatu small cell bronchus carcinoma.14
5. Bila tampak ada ptosis atau strabismus maka hendaknyalah kita ingat akan
kemungkinan adanya lesi N.III yang dpat ditimbulkan oleh :
a. Meningitis basalis (tuberkulosa atau leutika).
b. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring.
c. Aneurisma di sirkulus arteriosus willisii.
d. Paralisis pasca difteri.
e. Pseudoptosis pada trakhoma.
1.3.9 Penatalaksanaan
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi
miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.
Antikolinesterase inhibitor dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama
pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang
ringan. Sedangkan pada psien dengan miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi
imunomudulasi yang rutin.
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan pemberian
antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan
menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan
menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terapi yang memiliki
onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah
terjadinya kekambuhan.5
Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut
1. Plasma Exchange (PE)
Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon
dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling efektif digunakan pada situasi
dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini digunakan
pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat
memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan
menjalani periode postoperative. Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak
pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6
kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan
kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement.
Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10
minggu. Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama
pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dpat
menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor
pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan
suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian
fresh-frozen plasma tidak diperlukan
2. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan
mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibodi tidak dapat dibuktikan secara
klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek
dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG
diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini
memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1
gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa
penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak
dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah
nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus
menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit
kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.
Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang
1. Kortikosteroid
Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu
setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan,
dengan rata-rata selama 3 bulan. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap
sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui.
Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase
proliferasi dari sel B.
Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran
yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada
miastenia gravis. Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami
penurunan dari titer antibodinya.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat
mengganggu, yang tidak dapat dikontrol dengan antikolinesterase. Dosis maksimal
penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering off pada
pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, akan timbul
efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.
2. Azathioprine
Azathioprine digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif terkontrol
tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat dikonversi
menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek terhadap
penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine diberikan secara
oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-
50 mg/hari hingga dosis optimal tercapai.
Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh
tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan
obat imunosupresif lainnya. Respon Azathioprine sangant lambat, dengan respon
maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar
50% kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi
yang lain.
3. Cyclosporine
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-
helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi.
Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga
dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine. Cyclosporine
dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
Terapi pembedahan yang dapat dilakukan pada pasien miastenia gravis adalah
operasi timektomi. Tindakan ini diindikasikan pada penderita-penderita wanita muda
dengan riwayat yang kurang dari 5 tahun menderita miastenia gravis. Prognosis pada
kelompok ini biasanya jelek. Pada wanita muda tanpa timoma kira-kira 80%-90%
penderita akan membaik atau akan terjadi remisi yang sempurna dalam beberapa tahun.
Persiapan yang harus dilakukan sebelum tindakan timektomi antara lain:
1. Terapi antikolinesterase dengan neostigmin atau piridostigmin yang optimal
dilanjutkan sampai saat operasi.
2. Harus dilakukan tes fungsi paru, bila kapasitas vital sangat menurun maka harus
dilakuka trakeotomi pada saat dilakukan timektomi supaya bantuan respirasi dapat
diberikan pada saat pascabedah.
3. Pada pascabedah, terapi antikolinesterase dimulai dengan memberikan dosis rendah dn
disesuaikan dnegan kebutuhan penderita.
Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu
tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen
(tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli percaya besarnya angka remisi
setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari jenis thymektomi yang
dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung dari semakin banyaknya
prosedur ekstensif adalah antara 40-60% lima hingga sepuluh tahu setelah pembedahan.
1.3.10 Komplikasi dan Prognosis
Tanpa pengobatan angka kematian miastenia gravis adalah 25-31%. Miastenia
gravis yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%. Kasus yang hanya mengalami
gejala okuler sebesar 40%. miastenia gravis okuler >50% berkembang menjadi miastenia
gravis umum dalam waktu satu tahun, remisi spontan <10%. Sekitar 15-17% pasien akan
tetap mengalami gejala okular selama masa tindak lanjut rata-rata hingga 17 tahun. Pasien-
pasien ini disebut sebagai miastenia gravis okular. Sisanya mengembangkan kelemahan
umum dan disebut sebagai miastenia gravis generalisata. Sebuah studi dari 37 pasien
miastenia gravis dengan timoma memiliki gejala yang lebih buruk.6