Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Pelayanan kesehatan pada masa kini sudah merupakan industri jasa kesehatan
utama dimana setiap rumah sakit bertanggung gugat terhadap penerima jasa
pelayanan kesehatan. Keberadaan dan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan
ditentukan oleh nilai-nilai dan harapan dari penerima jasa pelayanan tersebut.
Disamping itu, penekanan pelayanan kepada kualitas yang tinggi tersebut harus
dapat dicapai dengan biaya yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Para penerima jasa pelayanan kesehatan saat ini telah menyadari hak-haknya
sehingga keluhan, harapan, laporan, dan tuntutan ke pengadilan sudah menjadi
suatu bagian dari upaya mempertahankan hak mereka sebagai penerima jasa
tersebut. Oleh karena itu industri jasa kesehatan menjadi semakin merasakan bahwa
kualitas pelayanan merupakan upaya kompetentif dalam rangka mempertahankan
eksistensi pelayanan tersebut.
Selayaknaya industri jasa pelayanan menaruh perhatian besar dan menyadari bahwa
kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan ditentukan pula oleh kualitas berbagai
komponen pelayanan termasuk keperawatan dan sumber daya manusianya.
Demikian pula Florence Nightingale pada tahun 1858, telah berupaya memperbaiki
kondisi pelayayanan keperawatan yang diberikan kepada serdadu pada perang
Krimen. Dengan terjadinya perubahan diberbagai aspek kehidupan keperawatan
pada saat ini telah berkembang menjadi suatu profesi yang memiliki keilmuan unik
yang menghasilkan peningkatan minat dan perhatian diantara anggotanya dalam
meningkatkan pelayanannya.
Pelayanan dan asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien merupakan bentuk
pelayanan profesional yang bertujuan untuk membantu klien dalam pemulihan dan
peningkatan kemampuan dirinya memalui tindakan pemenuhan kebutuhan klien
secara komprehensif dan berkesinambungan sampai klien mampu untuk melakukan
kegiatan rutinitasnya tanpa bantuan.
Bentuik pelayanan ini seyogyanya diberikan oleh perawat yang memiliki
kemampuan serta sikap dan kepribadian yang sesuai dengan tuntutan profesi
keperawatan; dan untuk itu tenaga keperawatan ini harus dipersiapkan dan
ditingkatkan secara teratur, terrencana, dan kontinyu.
Kelancaran pelayanan keperawatan di suatu ruang rawat baik rawat inap maupun
rawat jalan dipengaruhi oleh beberapa aspek anatara lain adanya;
Visi, misi dan tujuan rumah sakit yang dijabarkan secara lokal ruang rawat.
Struktur organisasi local, mekanisme kerja (standar-standar) yang
diberlakukan di ruang rawat.
Sumber daya manusia keperawatan yang memadai baik kuantitas mapun
kualitas.
Metoda penugasan/pemberi asuhan dan landasan model pendekatan kepada
klien yang ditetapkan.
Tersedianya berbagai sumber/fasilitas yang mendukung pencapaian kualitas
pelayanan yang diberikan.
Kesadaran dan motivasi dari seluruh tanaga keperawatan yang ada.
Komitmen dari pimpinan rumah sakit ( Nurachmah, 2000).
Seluruh aspek pelayanan keperawatan di atas sudah lama menjadi tuntutan suatu
sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit agar pelayanan yang diberikan dapat
memuaskan klien dan keluarga pengguna jasa pelayanan kesehatan.
Tuntutan ini terjadi karena beberapa situasi yang telah terjadi pada dekade terakhir
ini menunjukkan bahwa;
Asuhan keperawatan yang bermutu dan dapat dicapai jika pelaksanaan asuhan
keperawatan dipersepsikan sebagai suatu kehormatan yang dimiliki oleh para
perawat dalam memperlihatkan sebagai suatu kehormatan yang dimiliki oleh
perawat dalam memperlihatkan haknya untuk memberikan asuhan yang manusiawi,
aman, serta sesuai dengan standar dan etika profesi keperawatan yang
berkesinambungan dan terdiri dari kegiatan pengkajian, perencanaan, implementasi
rencana, dan evaluasi tindakan keperawatan yang telah diberikan.
Untuk dapat melaksanakan asuhan keperawatan dengan baik seorang perawat perlu
memiliki kemampuan untuk (1) berhubungan dengan klien dan keluarga, serta
berkomunikasi dengan anggota tim kesehatan lain; (2) mengkaji kondisi kesehatan
klien baik melalui wawancara, pemeriksaan fisik maupun menginterpretasikan hasil
pemeriksaan penunjang; (3) menetapkan diagnosis keperawatan dan memberikan
tindakan yang dibutuhkan klien; (4) mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah
diberikan serta menyesuaikan kembali perencanaan yang telah dibuat.
Asuhan keperawatan bermutu yang diberikan oleh perawat dapat dicapai apabila
perawat dapat memperlihatkan sikap “caring” kepada klien. Dalam memberikan
asuhan, perawat menggunakan keahlian, kata-kata yang lemah lembut, sentuhan,
memberikan harapan, selalu berada disamping klien, dan bersikap “caring” sebagai
media pemberi asuhan (Curruth, Steele, Moffet, Rehmeyer, Cooper, & Burroughs,
1999). Para perawat dapat diminta untuk merawat, namun meraka tidak dapat
diperintah untuk memberikan asuhan dengan menggunakan spirit “caring”.
Spirit “caring” seyogyanya harus tumbuh dari dalam diri perawat dan berasal dari
hati perawat yang terdalam. Spritit “caring” bukan hanya memperlihatkan apa yang
dikerjakan perawata yang bersifat tindakan fisik, tetapi juga mencerminkan siapa
dia. Oleh karenanya, setiap perawat dapat memperlihatkan cara yang berada ketika
memberikan asuhan kepada klien.
Sikap ini diberikan memalui kejujuran, kepercayaan, dan niat baik. Prilaku “caring”
menolong klien meningkatkan perubahan positif dalam aspek fisik, psikologis,
spiritual, dan sosial. Diyakini, bersikap “caring” untuk klien dan bekerja bersama
dengan klien dari berbagai lingkungan merupakan esensi keperawatan.
Watson menekankan dalam sikap”caring” ini harus tercermin sepuluh faktor kuratif
yaitu:
Kesepuluh faktor karatif ini perlu selalui dilakukan oleh perawat agar semua aspek
dalam diri klien dapat tertangani sehingga asuhan keperawatan profesional dan
bermutu dapat diwujudkan. Selain itu, melalui penerapan faktor karatif ini perawat
juga dapat belajar untuk lebih memahami diri sebelum mamahami orang lain.
Keperawatan merupakan suatu proses interpersonal yang terapeutik dan signifikan.
Inti dari asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien adlah hubungan perawat-
klien yang bersifat profesional dengan penekanan pada bentuknya tinteraksi aktif
antara perawat dan klien. Hubungan ini diharapkan dapat memfasilitasi partisipasi
klien dengan memotivasi keinginan klien untuk bertanggung jawab terhadap kondisi
kesehatannya.
b. Hubungan perawat-klien
Menurut Peplau, dalam membina hubungan profesional ini, kedua pihak seyogyanya
harus melewati beberapa tahapan (Marriner-Tomey, 1994) yaitu : (1) tahap orientasi
; (2) tahap identifikasi ; (3) tahap eksploitasi ; dan tahap resolusi.
Tahap eksploitasi terjadi ketika klien mampu menguraikan nilai dan penghargaan
yang dia peroleh dari hubungan profesional dari hubungan profesional antara
perawat dan dirinya. Beberapa tujuan baru yang perlu dicapai melalui upaya diri
klien dapat dikemukakan oleh perawat, dan kekuatan akan dialihkan oleh perawata
kepada klien apabila klien mengalami hambatan akibat ia tidak mampu mencapai
tujuan baru tersebut.
Tahap akhir dari hubungan profesional perawat - klien adalah tahap resolusi
ditandai dengan tercapainya tujuan yang telah ditetapkan dan tidak lagi menjadi
prioritas kegiatan klien. Pada tahap ini klien membebaskan diri dari keterkaitannya
dengan perawat dan menunjukkan kemampuannya untuk bertanggung jawab
terhadap kesehatan dirinya. Keempat tahapan dalam hubungaan profesional ini
dapat terjadi tumpang tindih antara satu tahapan dengan tahapan berikutnya.
d. Kolaborasi/kemitraan
Kaloborasi merupakan salah satu model interaksi yang terjadi diantara dan antar
praktisi klinik selama pemberian pelayanan kesehatan/keperawatan. Kolaborasi
meliputi kegiatan berkomunikasi parallel, berfungsi parallel, bertukar informasi,
berkoordinasi, berkonsultasi, mengelola kasus bersama (ko-manajemen), serta
merujuk.
Kolaborasi merupakan suatu pengakuan keahlian seseorang oleh orang lain di dalam
maupun di luar profesi orang tersebut (ANA, 1995, 12). Kaloborasi ini juga
merupakan proses interpersonal dimana dua orang atau lebih membuat suatu
komitmen untuk berinteraksi secara kontruktif untuk menyelesaikan masalah klien
dan mencapai tujuan, target atau hasil yang ditetapkan.
Terwujudnya suatu kolaborasi tergantung pada beberapa kreiteria yaitu (1) adanya
rasa saling percaya dan menghormati, (2) saling memahami dan menerima keilmuan
masing-masing, (3) memiliki citra diri positif, (4) memiliki kematangan profesional
yang setara (yang timbul dari pendidikan dan pengalaman), (5) mengakui sebagai
mitra kerja bukan bawahan, dan (6) keinginan untuk bernegosiasi (Hanson &
Spross, 1996).
Inti dari suatu hubungan kolaborasi adalah adanya perasaan saling tergantung
(interdependensi) untuk kerja sama dan bekerja sama. Bekerja bersama dalam suatu
kegiatan dapat memfasilitasi kolaborasi yang baik. Kerjasama mencerminkan proses
koordinasi pekerjaan agar tujuan auat target yang telah ditentukan dapat dicapai.
Selain itu, menggunakan catatan klien terintegrasi dapat merupakan suatu alat
untuk berkomunikasi anatar profesi secara formal tentang asuhan klien.
Kegiatan jaminan mutu dapat meliputi aspek struktur, proses, dan outcome.
Kegiatan penilaian dan pemantauan dalam pelayanan keperawatan juga selayaknya
diarahkan pada ketiga aspek tersebut. Oleh karena itu, standar pelayanan, kriteria
keberhasilan, alat pengukur perlu dikembangkan, dan tahapan dlam pelaksanaan
kegiatan menjamin mutu perlu ditetapkan.
Strategi untuk kegiatan jaminan mutu antara lain dengan benchmarking dan
manajemen kualitas total (total quality management) (Marquis & Huston, 1998).
Benchmarking atau meneliti praktik terbaik (“best practice research”) adalah
kegaiatan mengkaji kelemahan tertentu instiusi dan kemudian mengidentifikasi
instuisi lain yang memiliki keunggulan dalam aspek yang sama. Kegaiatan
dilanjutkan dengan berkomunikasi, menetapkan kesepakatan kerjasama untuk
mendukung dan meningkatkan kelemahan tersebut (Marquis & Huston, 1998).
Strategi lain dari kegiatan jaminan mutu ynag bersifat kontemporer adalah
penggunaan “critical patways”. Critical pathways adalah menetapkan kemajuanj
yang harus dicapai klien sejak saat klien diterima di rumah sakit. Keuntungan cara
ini adalah standar pencapaian yang ditetapkan untuk seorang klien dapat diterapkan
untuk klien lain yang berdiagnosis sama. Namun, kelemahannya adalah tidak dapat
mengakomodasi keunikan individual klien. Selain itu, pendokumentasian critical
pathways memerlukan banyak catatan dan pengkajian ulang (Marquis & Huston).
Kegiatan menilai mutu pada tingkat rumah sakit, akan diawali dengan penetapan
kriteria pengendalian, mengidentifikasi informasi yang relevan dengan kriteria,
menetapkan cara mengumpulakan informasi/data, mengumpulkan dan
menganailisis informasi/data, membandingkan informasi dengan kriteria yang telah
ditetapkan, menetapkan keputusan tentang kualitas, memperbaiki situasi sesuai
hasil yang diperoleh, dan menetapkan kembali cara mengumpulkan informasi
(Marquis & Huston, 2000).
Ada 10 indikator kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit yaitu : (1) angka
infeksi nosokomial, (2) angka kejadian klien jatuh/kecelakaan, (3) tingkat kepuasan
klien terhadap pelayanan kesehatan, (4) tingkat kepusan klien terhadap pengelolaan
nyeri dan kenyamanan, (5) tingkat kepuasan klien terhadap informasi/pendidikan
kesehatan, (6) tingkat kepuasan klien terhadap asuhan keprawtan, (7) upaya
mempertahankan integritas kulit, (8) tingkat kepasan perawat, (9) kombinasi kerja
anatara perawat profesional dan non profesional, (10) total jam asuhan keperawatan
per klien per hari (Marquis & Huston, 1998).
Pada tingkat ruangan, selain ada individu ruangan yang duduk sebagai wakil pada
tim gugus kendali mutu rumah sakit, maka seyogyanya dibentuk pula tim ruangan
yang disebut tim sirkulasi kualitas. Tim sirkulus kualitas yang terdiri dari tiga sampai
empat orang perawat ruangan ini berfungsi untuk mengidentifikasi masalah-
masalah pelayanan keperawatan tingkat ruangan, membahas masalah di dalam tim,
menyusun beberapa alternatif solusi, dan menyampaikan kepada kepala ruangan
untuk ditetapkan solusi yang akan diambil dan dilaksanakan oleh ruangan.
Sementara itu, tim ini akan bekerjasama kembali mengidentifikasikan masalah-
masalah lain yang terjadi. Siklus kegiatan akan berjalan seperti sebelumnya.
Ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan oleh para manajer keperawatan di
rumah sakit dalam meningkatkan dan mempertahankan asuhan keperawatan yang
bermutu yaitu persepsi dari klien, profesi keperawatan, dan dari pimpinan rumah
sakit. Berbagai persepsi ini perlu untuk dijadikan asupan dan dikaji lebih lanjut
untuk menetapkan kegiatan peningkatan kualitas asuhan keperawatan. Berikut ini
dijelaskan tentang persepsi dari ketiga pihak tersebut.
Klein menghargai perawat sebagai seseorang yang memiliki kualitas diri, sikap, cara
dan kepribadian yang spesifik, serta selalu berada dengan klien dan bersedia setiap
saat menolong klien (Kitson, 1998). Perawat diharapkan perannya untuk selalu
berada di saping tempat tidur klien, siap setiap saat ketika diperlukan, cepat tanggap
terhadap berbagai keluhan, dan turut melaksanakan apa yang klien sedang alami.
Klien menginginkan perawat yang melayaninya memiliki sikap baik, murah senyum,
sabar, mampu berbahasa yang mudah difahami, serta berkeinginan menolong yang
tulus dan mampu menghargai klien dan pendapatnya. Mereka mengharapkan
perawat memiliki pengetahuan yang memadai tantang kondisi penyakitnya sehingga
perawat mampu mengatasi setiap keluhan yang dialami oleh individual klien
(Meyers & Gray, 2001).
Selama perawatan di rumah sakit, klein yang sedang mengalami kondisi kritis
kadang-kadang menganggap dirinya berada di luar tubunh dan lingkungannya.
Kesatua erat antara diri dan tubuhnya menjadi terganggu. Ia mengganggap
tubuhnya merupakan benda asing yang sering tidak bisa bekerjasama lagi selama
sakitnya (Morse, Bottorff, & Hutchinson, 1995). Hal ini menyebabkan ia merasa
sangat tergantung pada perawat. Bagi klien dalam kondisi seperti apapun perawat
tidak memiliki hak untuk menolak keinginan dan harapan klien (Kitson,1998).
Kepuasan klien merupakan suatu situasi dimana klien dan keluarga mengganggap
bahwa biaya yang dikeluarkan sesuai dengan kualitas pelayanan yang diterima dan
tingkat kemajuan kondisi kesehatan yang dialaminya. Mereka merasa pelayanan
yang diberikan merupakan penghargaan terhadap diri dan kehormatan yang
dimilikinya. Selain itu mereka merasakan manfaat lain setelah dirawat yaitu
pengetahuan tentang penyakit dan dirinya menjadi bertambah. Namun sebaliknya,
klien jarang untuk mencoba mempertimbangkan apakah pelayanan keperawatan
yang diberikan itu merupakan upaya yang efektif dan efisien dilihat dari segi waktu,
tenaga, dan sumber daya yang digunakan (Wensley, 1992).
Asuhan keperawatan yang bermutu dapat dicapai apabila perawat yang memberikan
asuhan tersebut memiliki kompetensi dan kewenangan melalui pendidikan
keperawtan yang sesuai. Menurut Lydia Hall, yang mengembangkan teori care, core
dan cure serta Henderson yang mengembangkan model pemenuhan 14 kebutuhan
klien bahwa hanya perawat yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi
keperawatan yang mampu memberikan asuhan keperawatan profesional, karena
mereka telah dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan menyelesaikan masalah
klien secara memadai (Marriner-Tomey,1994).
Semua kendala di atas memerlukan pemikiran dan tindak lanjut yang tegas dan jelas
agar tujuan rumah sakit untuk mewujudkan pelayanan keperawatan yang bermutu
dapat dicapai. Untuk itu, diperlukan terobosan dan partisipasi aktif dari seluruh
komponen rumah sakit. Selain itu, komitmen dan keterbukaan diantara pimpinan
rumah sakit dan bidang keperawatan perlu ditingkatkan untuk mempermudaah
upaya pencapaian tujuan.
Penutup
Asuhan keperawatan bermutu dapat diberikan oleh tenaga keperawatan yang telah
dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan klinik yang memadai serta memiliki
kemapuan : mebina hubungan profesional dengan klien, berkolaborasi dengan
anggota tim kesehatan lain, melaksanakan kegiatan menjamin mutu, kemampuan
memenuhi kebutuhan klien, dan memperlihatkan sikap”caring”. Asuhan
keperawatan bermutu seyogyanya berorientasi pada klien sehingga klien dapat
mencapai tingkat kepuasan terhadap pelayanan yang diterima.