Vous êtes sur la page 1sur 20

Asuhan Keperawatan Bermutu di Rumah Sakit

1:03 AM Kancil Jogja No comments

Pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan bentuk pelayanan yang diberikan


kepada klien oleh suatu tim multi disiplin termasuk tim keperawatan. Tim
keperawatan merupakan anggota tim kesehatan garda depan yang menghadapi
masalah kesehatan klien selama 24 jam secara terus menerus.

Tim pelayanan keperawatan memberikan pelayanan kepada klien sesuai dengan


keyakinan profesi dan standar yang ditetapkan. Hal ini ditujukan agar pelayanan
keperawatan yang diberikan senantiasa merupakan pelayanan yang aman serta
dapat memenuhi kebutuhan dan harapan klien.

Pelayanan kesehatan pada masa kini sudah merupakan industri jasa kesehatan
utama dimana setiap rumah sakit bertanggung gugat terhadap penerima jasa
pelayanan kesehatan. Keberadaan dan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan
ditentukan oleh nilai-nilai dan harapan dari penerima jasa pelayanan tersebut.
Disamping itu, penekanan pelayanan kepada kualitas yang tinggi tersebut harus
dapat dicapai dengan biaya yang dapat dipertanggung-jawabkan.

Dengan demikian, semua pemberi pelayanan ditekan untuk menurunkan biaya


pelayanan namun kualitas pelayanan dan kepuasan klien sebagai konsumen masih
tetap menjadi tolak ukur (“benchmark”) utama keberhasilan pelayanan kesehatn
yang diberikan (Miloney, 2001).

Para penerima jasa pelayanan kesehatan saat ini telah menyadari hak-haknya
sehingga keluhan, harapan, laporan, dan tuntutan ke pengadilan sudah menjadi
suatu bagian dari upaya mempertahankan hak mereka sebagai penerima jasa
tersebut. Oleh karena itu industri jasa kesehatan menjadi semakin merasakan bahwa
kualitas pelayanan merupakan upaya kompetentif dalam rangka mempertahankan
eksistensi pelayanan tersebut.

Selayaknaya industri jasa pelayanan menaruh perhatian besar dan menyadari bahwa
kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan ditentukan pula oleh kualitas berbagai
komponen pelayanan termasuk keperawatan dan sumber daya manusianya.

Kegiatan pelayanan keperawatan berkualiatas telah dimulai sejak seorang perawat


Muslim pertama yaitu Siti Rufaida pada jaman Nabi Muhammad S.A.W selalu
berusahan memberikan pelayanan terbaiknya bagi yang membutuhkan tanpa
membedakan apakah kliennya kaya atau miskin.

Demikian pula Florence Nightingale pada tahun 1858, telah berupaya memperbaiki
kondisi pelayayanan keperawatan yang diberikan kepada serdadu pada perang
Krimen. Dengan terjadinya perubahan diberbagai aspek kehidupan keperawatan
pada saat ini telah berkembang menjadi suatu profesi yang memiliki keilmuan unik
yang menghasilkan peningkatan minat dan perhatian diantara anggotanya dalam
meningkatkan pelayanannya.

Tujuan penulisan ini adalah menjelaskan tentang asuhan keperawatan bermutu di


rumah sakit, faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan, kendala serta upaya yang
perlu dilakukan agar asuhan keperawatan bermutu ini dapat dicapai dan
dipertahankan. Diharapkan, melalui tulisan yang sangat terbatas ini dapat diambil
inti dan manfaatnya sehingga dapat membantu meningkatkan asuhan keperawatan
yang ada dan kemudian akan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di rumah
sakit seperti yang diharapkan.

Pelayan dan Asuhan Keperawatan

Pelayanan dan asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien merupakan bentuk
pelayanan profesional yang bertujuan untuk membantu klien dalam pemulihan dan
peningkatan kemampuan dirinya memalui tindakan pemenuhan kebutuhan klien
secara komprehensif dan berkesinambungan sampai klien mampu untuk melakukan
kegiatan rutinitasnya tanpa bantuan.
Bentuik pelayanan ini seyogyanya diberikan oleh perawat yang memiliki
kemampuan serta sikap dan kepribadian yang sesuai dengan tuntutan profesi
keperawatan; dan untuk itu tenaga keperawatan ini harus dipersiapkan dan
ditingkatkan secara teratur, terrencana, dan kontinyu.

Pelayanan keperawatan yang dilakukan di rumah sakit merupakan sistem


pengelolaan asuahan keperawatan yang diberikan kepada klien agar menjadi
berdaya guna dan berhasil guna. Sistem pengelolaan ini akan berhasil apabila
seseorang perawat yang memiliki tanggung jawab mengelola tersebut mempunyai
pengatahuan tentang manajemen keperawatan dan kemampuan meminpin orang
lain di samping pengetahuan dan keterampilan klinis yang harus dikuasainya pula.

Keberhasilan pengelola pelayanan keperawatan akan menimbulkan keberhasilan


asuhan keperawatan yang diberikan oleh para perawat pelaksananya. Demikian pula
sebaliknya, keberhasilan kerja para perawat pelakasana akan sangat tergantung dari
upaya menejerial keperawatan.

Pelayanan keperawatan di ruang rawat terdiri dari serangkaian kegiatan yang


dikoordinatori dan menjadi tanggung jawab kepala ruang rawat yang berperan
sebagai manajer. Pelayanan keperawatan profesional berfokus pada berbagai
kegiatan pemenuhan kebutuhan klien melalui intervensi keperawatan yang
berlandaskan kiat dan ilmu keperawatan.

Para manajer keperawatan senantiasa harus menjamin bahwa pelayanan yang


diberikan oleh para pelaksana keperawatan adalah pelayanan yang aman dan
mementingkan kenyamanan klien. Selain itu, para manajer perawat seyogyanya
menggunakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan/keperawatan sebagai upaya untuk mewujudkan praktik keperawatan yang
berdasarkan pengetahuan dan fakta (knowledge/evidence based nursing practice)
(Nurchmah, 2000).

Kelancaran pelayanan keperawatan di suatu ruang rawat baik rawat inap maupun
rawat jalan dipengaruhi oleh beberapa aspek anatara lain adanya;

 Visi, misi dan tujuan rumah sakit yang dijabarkan secara lokal ruang rawat.
 Struktur organisasi local, mekanisme kerja (standar-standar) yang
diberlakukan di ruang rawat.
 Sumber daya manusia keperawatan yang memadai baik kuantitas mapun
kualitas.
 Metoda penugasan/pemberi asuhan dan landasan model pendekatan kepada
klien yang ditetapkan.
 Tersedianya berbagai sumber/fasilitas yang mendukung pencapaian kualitas
pelayanan yang diberikan.
 Kesadaran dan motivasi dari seluruh tanaga keperawatan yang ada.
 Komitmen dari pimpinan rumah sakit ( Nurachmah, 2000).

Seluruh aspek pelayanan keperawatan di atas sudah lama menjadi tuntutan suatu
sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit agar pelayanan yang diberikan dapat
memuaskan klien dan keluarga pengguna jasa pelayanan kesehatan.

Tuntutan ini terjadi karena beberapa situasi yang telah terjadi pada dekade terakhir
ini menunjukkan bahwa;

 Keadaan ekonomi negara telah mempengaruhi aspek ekonomi sistem


pelayanan kesehatan termasuk sistem pembayaran pelayanan kesehatan dan
asuransi kesehatan.
 Makin meningkatnya tuntutan terhadap hasil pelayanan kesehatan yang
berkualitas.
 Ketatnya tuntutan dari profesi keperawatan yang sesuai standar dan
pemberdayaan tenaga keperawatan.
 Dampak perkembangan IPTEK kesehatan telah meningkatkan tekanan
terhadap pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien namun aman bagi
konsumen (Swansburg & Swansburg, 1999).

Dengan demikian, terwujudnya suatu bentuk pelayanan yang profesional ditentukan


oleh berbagai aspek yang perlu diperhatikan oleh setiap pimpinan dan penanggung
jawab pelayanan kesehatan demi untuk memnuhi kepentingan masyarakat yang
dilayaninya.

Asuhan Keperawatan Bermutu

Asuhan keperawatan profesional diberikan kepada klien oleh tenaga keperawatan


yang memiliki kewenangan dan kompetensi yang telah ditetapkan oleh profesi.
Asuhan keperawatan ini seyogyanya berlandskan ilmu pengetahuan, prinsip dan
teori keperawatan serta keterampilan dan sikap sesuai dengan kompetensi dan
kewenangan yang diemban kepada perawat tersebut.

Asuhan keperawatan yang bermutu merupakan asuhan manusiawi yang diberikan


kepada klien, memenuhi standar dan kriteria profesi keperawatan, sesuai dengan
standar biaya dan kualitas yang diharapkan rumah sakit serta mampu mencapai
tingkat kepuasan dan memenuhi harapan klien. Kualitas asuhan keperawatan sangat
ditentukan oleh berbagai faktor antara lain: kondisi klien, pelayanan keperawatan
termasuk tenaga keperawatan di dalamnya, sistem manajerial dan kemampuan
rumah sakit dalam melengkapi sarana prasarana, serta harapan masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan/keperawatan yang diberikan di rumah sakit tersebut.

Asuhan keperawatan yang bermutu dan dapat dicapai jika pelaksanaan asuhan
keperawatan dipersepsikan sebagai suatu kehormatan yang dimiliki oleh para
perawat dalam memperlihatkan sebagai suatu kehormatan yang dimiliki oleh
perawat dalam memperlihatkan haknya untuk memberikan asuhan yang manusiawi,
aman, serta sesuai dengan standar dan etika profesi keperawatan yang
berkesinambungan dan terdiri dari kegiatan pengkajian, perencanaan, implementasi
rencana, dan evaluasi tindakan keperawatan yang telah diberikan.

Untuk dapat melaksanakan asuhan keperawatan dengan baik seorang perawat perlu
memiliki kemampuan untuk (1) berhubungan dengan klien dan keluarga, serta
berkomunikasi dengan anggota tim kesehatan lain; (2) mengkaji kondisi kesehatan
klien baik melalui wawancara, pemeriksaan fisik maupun menginterpretasikan hasil
pemeriksaan penunjang; (3) menetapkan diagnosis keperawatan dan memberikan
tindakan yang dibutuhkan klien; (4) mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah
diberikan serta menyesuaikan kembali perencanaan yang telah dibuat.

Disamping itu, asuhan keperawatan bermutu dapat dilaksanakan melalui


pendekatan metodologis keperawatan. Pendekatan ini dapat berupa pendekatan
keperawatan tim, modular, kasus, atau keperawatan primer (Grohar-Murray &
DiCroce, 1997). Penetapan pendekatan ini sangat dipengaruhi oleh visi, misi, dan
tujuan rumah sakit dan ruang rawat, ketersediaan tenaga keperawatan baik jumlah
mapun kualifikasi, fasilitas fisik ruangan, tingkat ketergantungan dan mobilitas
klien, tersedianya prosedur dan standar keperawatan, sifat ruangan dan jenis
pelayanan keperawatan yang diberikan.

Dalam mewujudkan asuhan keperawatan bermutu diperlukan beberapa komponen


yang harus dilaksanakan oleh tim keperwatan yaitu (1) terlihat sikap caring ketika
harus memberikan asuhan keperawatan kepada klien, (2) adanya hubungan perawat
- klien yang terapeutik, (3) kolaborasi dengan anggota tim kesehatan lain, dan (4)
kemampun dalam memenuhi kebutuhan klien, serta (5) kegiatan jaminan mutu
(quality assurance). Dengan demikian, upaya pimpinan rumah sakit dan manajerial
keperawatan seyogyanya difokuskan pada kelima komponen kegiatan tersebut yang
akan diuraikan berikut ini.

a. Sikap “caring” perawat

Asuhan keperawatan bermutu yang diberikan oleh perawat dapat dicapai apabila
perawat dapat memperlihatkan sikap “caring” kepada klien. Dalam memberikan
asuhan, perawat menggunakan keahlian, kata-kata yang lemah lembut, sentuhan,
memberikan harapan, selalu berada disamping klien, dan bersikap “caring” sebagai
media pemberi asuhan (Curruth, Steele, Moffet, Rehmeyer, Cooper, & Burroughs,
1999). Para perawat dapat diminta untuk merawat, namun meraka tidak dapat
diperintah untuk memberikan asuhan dengan menggunakan spirit “caring”.

Spirit “caring” seyogyanya harus tumbuh dari dalam diri perawat dan berasal dari
hati perawat yang terdalam. Spritit “caring” bukan hanya memperlihatkan apa yang
dikerjakan perawata yang bersifat tindakan fisik, tetapi juga mencerminkan siapa
dia. Oleh karenanya, setiap perawat dapat memperlihatkan cara yang berada ketika
memberikan asuhan kepada klien.

“Caring” merupakan pengetahuan kemanusiaan, inti dari praktik keperawatan yang


bersifat etik dan filosofikal. “Caring” bukan semata-mata perilaku. “Caring” adalah
cara yang memiliki makna dan memotivasi tindakan (Marriner-Tomey, 1994).
“Caring”juga didefinisikan sebagai tindakan yang bertujuan memberikan asuhan
fisik dan perhatikan emosi sambil meningkatkan rasa aman dan keselamatan klien
(Carruth et all, 1999).

Sikap ini diberikan memalui kejujuran, kepercayaan, dan niat baik. Prilaku “caring”
menolong klien meningkatkan perubahan positif dalam aspek fisik, psikologis,
spiritual, dan sosial. Diyakini, bersikap “caring” untuk klien dan bekerja bersama
dengan klien dari berbagai lingkungan merupakan esensi keperawatan.

Watson menekankan dalam sikap”caring” ini harus tercermin sepuluh faktor kuratif
yaitu:

 Pembentukan sistem nilai humanistic dan altruistik. Perawat menumbuhkan


rasa puas karena mampu memberikan sesuatu kepada klien. Selain itu,
perawat juga memperlihatkan kemapuan diri dengan memberikan pendidikan
kesehatan pada klien.
 Memberikan kepercayaan - harapan dengan cara memfasilitasi dan
meningkatkan asuhan keperawatan yang holistik. Di samping itu, perawat
meningkatkan prilaku klien dalam mencari pertolngan kesehatan.
 Menumbuhkan sensitifan terhadap diri dan orang lain. Perawat belajar
menghargai kesensitifan dan perasaan kepada klien, sehingga ia sendiri dapat
menjadi lebih sensitif, murni, dan bersikap wajar pada orang lain.
 Mengembangan hubungan saling percaya. Perawat memberikan informasi
dengan jujur, dan memperlihatkan sikap empati yaitu turut merasakan apa
yang dialami klien.
 Meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif klien.
Perawat memberikan waktunya dengan mendengarkan semua keluhan dan
perasaan klien.
 Penggunaan sistematis metoda penyalesaian masalah untuk pengambilan
keputusan. Perawat menggunakan metoda proses keperawatan sebagai pola
pikir dan pendekatan asuhan kepada klien.
 Peningkatan pembelajaran dan pengajaran interpersonal, memberikan
asuhan mandiri, menetapkan kebutuhan personal, dan memberikan
kesempatan untuk pertumbuhan personal klien.
 Menciptakan lingkungan fisik, mental, sosiokultural, dan spritual yang
mendukung. Perawat perlu mengenali pengaruhi lingkungan internal dan
eksternal klien terhadap kesehatan kondisi penyakit klien.
 Memberi bimbingan dalam memuaskan kebutuhan manisiawi. Perawat perlu
mengenali kebutuhan komperhensif diri dan klien. Pemenuhan kebutuhan
paling dasar perlu dicapai sebelum beralih ke tingkat selanjutnya.
 Mengijinkan terjadinya tekanan yang bersifat fenomologis agar pertumbuhan
diri dan kematangan jiwa klien dapat dicapai. Kadang-kadang seseorang klien
perlu dihadapkan pada pengalaman/pemikiran yang bersifat profokatif.
Tujuannya adalah agar dapat meningkatkan pemahaman lebih mendalam
tentang diri sendiri.

Kesepuluh faktor karatif ini perlu selalui dilakukan oleh perawat agar semua aspek
dalam diri klien dapat tertangani sehingga asuhan keperawatan profesional dan
bermutu dapat diwujudkan. Selain itu, melalui penerapan faktor karatif ini perawat
juga dapat belajar untuk lebih memahami diri sebelum mamahami orang lain.
Keperawatan merupakan suatu proses interpersonal yang terapeutik dan signifikan.
Inti dari asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien adlah hubungan perawat-
klien yang bersifat profesional dengan penekanan pada bentuknya tinteraksi aktif
antara perawat dan klien. Hubungan ini diharapkan dapat memfasilitasi partisipasi
klien dengan memotivasi keinginan klien untuk bertanggung jawab terhadap kondisi
kesehatannya.

b. Hubungan perawat-klien

Hubungan perawat dan klien adalah suatu bentuk hubungan terapeutik/profesional


dan timbal balik yang bertujuan untuk meningkatkan efektifitas hasil intervensi
keperawatan melalui suatu proses pembinaan pemahaman tentang dua pihak yang
sedang berhubungan. Hubungan profesional ini diprakasai oleh perawat melaui
sikap empati dan keinginan berrespon (“sense of responsiveness”) serta keinginan
menolong klien (“sense of caring”).

Menurut Peplau, dalam membina hubungan profesional ini, kedua pihak seyogyanya
harus melewati beberapa tahapan (Marriner-Tomey, 1994) yaitu : (1) tahap orientasi
; (2) tahap identifikasi ; (3) tahap eksploitasi ; dan tahap resolusi.

Pada tahap orientasi, setelah saling memperkenalkan diri, perawat berupaya


menolong klien mengidentifikasi maslah yang sedang dihadapi klien. Penjelasan,
penekanan perlu dikemukakan oleh perawat agar klien menyakini masalah atau
beberapa masalah yang perlu diatasi. Tahap identifikasi terjadi ketika klien mampu
mampu mengidentifikasi sesorang atau beberapa orang yang dapat menolongnya.
Pada tahap ini perawat memberi kesempatan klien untuk mengkaji lebih jauh
perasaan tentang diri, penyakit, dan kemampuan yang dimilikinya.

Tujuannnya adalah agara perawat dapat membimbing klien periode penyakitnya


sebagai pengalaman yang memungkinkan klien mengenali kembali perasaan dan
kekuatan internal yang pernah dimiliki sehingga dapat memberikan kepuasan yang
diperlukan klien.

Tahap eksploitasi terjadi ketika klien mampu menguraikan nilai dan penghargaan
yang dia peroleh dari hubungan profesional dari hubungan profesional antara
perawat dan dirinya. Beberapa tujuan baru yang perlu dicapai melalui upaya diri
klien dapat dikemukakan oleh perawat, dan kekuatan akan dialihkan oleh perawata
kepada klien apabila klien mengalami hambatan akibat ia tidak mampu mencapai
tujuan baru tersebut.

Tahap akhir dari hubungan profesional perawat - klien adalah tahap resolusi
ditandai dengan tercapainya tujuan yang telah ditetapkan dan tidak lagi menjadi
prioritas kegiatan klien. Pada tahap ini klien membebaskan diri dari keterkaitannya
dengan perawat dan menunjukkan kemampuannya untuk bertanggung jawab
terhadap kesehatan dirinya. Keempat tahapan dalam hubungaan profesional ini
dapat terjadi tumpang tindih antara satu tahapan dengan tahapan berikutnya.

Dalam membina hubungan profesional, asuhan keperawatan juga merupakan media


edukatif dimana suatu kekuatan internal yang kokoh dari seseorang perawat dapat
mempengaruhi klein untuk meningkatkan perilaku dan kepribadian klein selama
sakit ke arah kehidupan yang kreatif, konstruktif, dan produktif. Bberapa peran
perlu diemban opelh perawat ketika menjalankan dan membina hubungan
profesional yaitu : (1) peran sebagai orang asing (“starnger”), (2) narasumber
(“resource person”), (3) pendidik (‘teacingrole”), (4) pemimpin (“leadersip role”),
dan (5) peran pengganti (“surrogate role”) (Marriner-Tomey, 1994).

Keberhasilahn hubungan profesional/terapeutik anatara perawat dan klien sangat


menentukan keberhasilan hasil tindakan yang diharapkan. Disamping itu, hubungan
profesional yang baik anatara perawat-klien dapat menghindari, memprediksi, dan
mengantisipasi berbagai penyulit yang mungkin terjadi. Oleh karena itu, berbagai
peran diatas seyogyanya menjadi fokus perhatian perawat ketika menolong klien
melewati tahapan dlam hubungan profesionalnya dengan perawat (Nurachah,
2000).

c. Kemampuan perawat dalam memenuhi kebutuhan klien

Asuhan keperawatan bermutu marupakan rangkaian kegiatan keperawatan yang


diorientasi pada klein. Asuhan keperawatan bermutu yang diberikan kepada klien
dipengaruhi oleh kemampuan perawat dalam berrespon terhadap keluhan dan
masalah klien serta upaya memenuhi kebuutuhan klien. Hendreson menetapkan 14
kebutuhan klien yang seyogyanya dapat dipenihi oleh perawat (Marriner-Tomey,
1994). Namun, karena masalah klien sangat unik dan kebutuhannya sangat
individual maka perawat senatiasa harus meningkatkan diri agar selalu memiliki
kemapuan dan pengetahuan yang diperlukan dalam membantu klien menyelesaikan
masalahnya.

Kemampuan perawat memenuhi kebutuhan klien dapat dipengaruhi beberapa oleh


faktor antara lain: tingkat ketergantungan klien, sistem penugasan,
kelengkapan fasilitas, kewenangan dan kompetensi yang dimiliki oleh
tanaga keperawatan sebagai pelaksana dan kemampuan manajer
keperawatan adalam mengorganisasikan pekerjaan kepada bawahan.

Seorang perawat profesional yang telah dibekali dengan pengetahuan mengelola


pelayanan keperawatan dan keterampilan klinis yang mamadai akan mampu
mengorganisir dan menyesuaikan antara pekerjaan yang akan dilaksanakan, sarana
yang tersedia, dan kemampuan tenaga perawatnya. Selain itu dalam mengelola
ruangan khususnya tenaga keperawatan, maka perawat manajer juga harus mampu
menjamin bahwa para perawat pelaksana memiliki kemampuan untuk meberikan
asuhan keperawatan bermutu. Untuk itu ia harus merancang program peningkatan
kemapuan perawata baik melalui jalur pendidikan formal maupun informal.

Peningkatan kemampuan perawat melalui jalur formal dapat ditempuh melalui


berbagai tingkatan yaitu pendidikan ners generalis, ners spesialis, mapun ners
konsultan. Selain itu, dapat ditempuh melalui jalur informal yaitu program
pendidikan perawat berlanjut (“continuing nurse education”). Program ini dapat
diselenggarakan oleh rumah sakit bekerja sama dengan institusi pendidikan tinggi
keperawatan dan dengan organisasi profesi. Kedua program peningkatan
kemampuan perawat ini memerlukan suatu rancangan ketenagaan yang matang dan
sesuai dengan visi dan misi serta tujuan rumah sakit.

Disamping kedua jalur pendidikan tersebut di atas, kemapuan dan pengetahuan


perawat dapat juga dicapai melalui kegiatan komunitas profesi di rumah sakit.
Komunitas profesi ini memfasilitasi dan menyelenggaarakan berbagai kegiatan
ilmiah antara lain diskusi kasus, pembahasan jurnal keperawatan, artikel/riset
keperawatan, dan melakukan riset keperawatan klinik bersama atau individual.
Selain itu, sistem menorship atau perceptorship akan dapat membantu mewujudkan
situasi kerja yang kondusif untuk belajar bagi semua pearawat.

d. Kolaborasi/kemitraan

Kaloborasi merupakan salah satu model interaksi yang terjadi diantara dan antar
praktisi klinik selama pemberian pelayanan kesehatan/keperawatan. Kolaborasi
meliputi kegiatan berkomunikasi parallel, berfungsi parallel, bertukar informasi,
berkoordinasi, berkonsultasi, mengelola kasus bersama (ko-manajemen), serta
merujuk.

Kolaborasi merupakan suatu pengakuan keahlian seseorang oleh orang lain di dalam
maupun di luar profesi orang tersebut (ANA, 1995, 12). Kaloborasi ini juga
merupakan proses interpersonal dimana dua orang atau lebih membuat suatu
komitmen untuk berinteraksi secara kontruktif untuk menyelesaikan masalah klien
dan mencapai tujuan, target atau hasil yang ditetapkan.

Para individu ini mengenali dan mengartikulasikan nilai-nilai yang membuat


komitmen ini menjadi terwujud. Kemampuan mewujudkan komitmen untuk
berinteraksi secara kontruktif tergantung dari persamaan persepsi, tentang tujuan
bersama, kompetensi klinik, dan kemapuan interpersonal, humor, keprcayaan,
menghargai dan menghormati pengetahuan dan praktik keilmuan yang berbeda
(Hanson & Spross, 1996).

Terwujudnya suatu kolaborasi tergantung pada beberapa kreiteria yaitu (1) adanya
rasa saling percaya dan menghormati, (2) saling memahami dan menerima keilmuan
masing-masing, (3) memiliki citra diri positif, (4) memiliki kematangan profesional
yang setara (yang timbul dari pendidikan dan pengalaman), (5) mengakui sebagai
mitra kerja bukan bawahan, dan (6) keinginan untuk bernegosiasi (Hanson &
Spross, 1996).

Inti dari suatu hubungan kolaborasi adalah adanya perasaan saling tergantung
(interdependensi) untuk kerja sama dan bekerja sama. Bekerja bersama dalam suatu
kegiatan dapat memfasilitasi kolaborasi yang baik. Kerjasama mencerminkan proses
koordinasi pekerjaan agar tujuan auat target yang telah ditentukan dapat dicapai.
Selain itu, menggunakan catatan klien terintegrasi dapat merupakan suatu alat
untuk berkomunikasi anatar profesi secara formal tentang asuhan klien.

e. Kegiatan menjamin mutu

Asuhan keperawatan bermutu hanya dapat dicapai dan dipertahankan apabila


disertai dengan kegiatan dan rencana untuk mempertahankan mutu asuhan
tersebut. Kegiatan jaminan mutu (“quality assurance”) adalah membandingkan
antara standar yang telah ditetapkan dengan tingkat pencapaian hasil.

Kegiatan jaminan kualitas pelayanan/asuhan keperawatan merupakan kegiatan


menilai, memantau, atau mengatur pelayanan yang berorientasi pada konsumen
(klien). Dalam keperawatan, tujuan asuhan bermutu adalah untuk menjamin mutu
sambil pada saat yang sama mencapai tujuan institusi yang telah ditetapkan
sebelumnya.

Keberhasilan pelaksanaan kegiatan menjamin mutu dipengaruhi oleh beberapa


faktor anatara lain dukungan dari manager puncak (pimpinan rumah sakit),
terutama terkait dengan dukungan biaya dan sumebr daya manusia. Selain itu,
pencapaian kriteria keberhasilan perlu disepakati. Seandainya instuisi menginginkan
pelayanan keperawatan adalah pelayanan terbaik di suatu wilayah, maka standar
dan kriteria keberhasilannya perlu ditetapkan optimal dan bukan minimal.

Kegiatan jaminan mutu dapat meliputi aspek struktur, proses, dan outcome.
Kegiatan penilaian dan pemantauan dalam pelayanan keperawatan juga selayaknya
diarahkan pada ketiga aspek tersebut. Oleh karena itu, standar pelayanan, kriteria
keberhasilan, alat pengukur perlu dikembangkan, dan tahapan dlam pelaksanaan
kegiatan menjamin mutu perlu ditetapkan.

Strategi untuk kegiatan jaminan mutu antara lain dengan benchmarking dan
manajemen kualitas total (total quality management) (Marquis & Huston, 1998).
Benchmarking atau meneliti praktik terbaik (“best practice research”) adalah
kegaiatan mengkaji kelemahan tertentu instiusi dan kemudian mengidentifikasi
instuisi lain yang memiliki keunggulan dalam aspek yang sama. Kegaiatan
dilanjutkan dengan berkomunikasi, menetapkan kesepakatan kerjasama untuk
mendukung dan meningkatkan kelemahan tersebut (Marquis & Huston, 1998).

Manajer pelayanan keperawatan di rumah sakit dapat pula bekerjasama dengan


rumah sakit lain yang tidak saling berkompetensi untuk meningkatkan satu atau
beberapa aspek yang dianggap lemah. Kerjasama ini bersifat konfidensial dan hanya
meningkatkan aspek yang dianggap masih lemah.

Manajemen kualitas total dilakukan berdasarkan harapan bahwa individu


merupakan fokus produksi dan pelayanan. Penakanan manajeman kualitas total
adalah mengidentifikasi dan melakukan kegiatan dengan benar, cara yang benar,
waktu yang sesuai dan mencegah masalah. Strategi menjamin kualitas ini sangat
menyerap biaya karena proses ini terus menerus, dan setiap subyek maupun
kegiatan diarahkan pada peningkatan secara berkesinambungan.

Strategi lain dari kegiatan jaminan mutu ynag bersifat kontemporer adalah
penggunaan “critical patways”. Critical pathways adalah menetapkan kemajuanj
yang harus dicapai klien sejak saat klien diterima di rumah sakit. Keuntungan cara
ini adalah standar pencapaian yang ditetapkan untuk seorang klien dapat diterapkan
untuk klien lain yang berdiagnosis sama. Namun, kelemahannya adalah tidak dapat
mengakomodasi keunikan individual klien. Selain itu, pendokumentasian critical
pathways memerlukan banyak catatan dan pengkajian ulang (Marquis & Huston).

Pelaksanaan kegiatan jaminan mutu pelayanan keperawatan di rumah sakit dapat


pula dilakukan dalam bentuk kegiatan pengendalian mutu (“quality control”).
Kegaiatannya dapat dilaksanakan dalam dua tingkat yaitu tingkat rumah sakit dan
tingkat ruang rawat. Tingkat rumah sakit dapat dilaksanakan dengan cara
mengembangkan tim gugus kendali mutu yang memiliki program baik jangka
pendek maupun jangka panjang.

Kegiatan menilai mutu pada tingkat rumah sakit, akan diawali dengan penetapan
kriteria pengendalian, mengidentifikasi informasi yang relevan dengan kriteria,
menetapkan cara mengumpulakan informasi/data, mengumpulkan dan
menganailisis informasi/data, membandingkan informasi dengan kriteria yang telah
ditetapkan, menetapkan keputusan tentang kualitas, memperbaiki situasi sesuai
hasil yang diperoleh, dan menetapkan kembali cara mengumpulkan informasi
(Marquis & Huston, 2000).

Ada 10 indikator kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit yaitu : (1) angka
infeksi nosokomial, (2) angka kejadian klien jatuh/kecelakaan, (3) tingkat kepuasan
klien terhadap pelayanan kesehatan, (4) tingkat kepusan klien terhadap pengelolaan
nyeri dan kenyamanan, (5) tingkat kepuasan klien terhadap informasi/pendidikan
kesehatan, (6) tingkat kepuasan klien terhadap asuhan keprawtan, (7) upaya
mempertahankan integritas kulit, (8) tingkat kepasan perawat, (9) kombinasi kerja
anatara perawat profesional dan non profesional, (10) total jam asuhan keperawatan
per klien per hari (Marquis & Huston, 1998).

Pada tingkat ruangan, selain ada individu ruangan yang duduk sebagai wakil pada
tim gugus kendali mutu rumah sakit, maka seyogyanya dibentuk pula tim ruangan
yang disebut tim sirkulasi kualitas. Tim sirkulus kualitas yang terdiri dari tiga sampai
empat orang perawat ruangan ini berfungsi untuk mengidentifikasi masalah-
masalah pelayanan keperawatan tingkat ruangan, membahas masalah di dalam tim,
menyusun beberapa alternatif solusi, dan menyampaikan kepada kepala ruangan
untuk ditetapkan solusi yang akan diambil dan dilaksanakan oleh ruangan.
Sementara itu, tim ini akan bekerjasama kembali mengidentifikasikan masalah-
masalah lain yang terjadi. Siklus kegiatan akan berjalan seperti sebelumnya.

Faktor yang perlu dipertimbangkan

Ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan oleh para manajer keperawatan di
rumah sakit dalam meningkatkan dan mempertahankan asuhan keperawatan yang
bermutu yaitu persepsi dari klien, profesi keperawatan, dan dari pimpinan rumah
sakit. Berbagai persepsi ini perlu untuk dijadikan asupan dan dikaji lebih lanjut
untuk menetapkan kegiatan peningkatan kualitas asuhan keperawatan. Berikut ini
dijelaskan tentang persepsi dari ketiga pihak tersebut.

Persepsi klien tentang asuhan keperawatan bermutu dan tingkat


kepuasan
Asuhan keperawatan bermutu dipersepsikan klien dan keluarga sebagai pelayanan
yang dapat memenuhi harapan klien. Klien mengharapkan penghargaan atas uang
yang telah mereka berikan dan mengharapkan kualitas pelayanan sesuai dengan
yang dibutuhkan. Pada saat ini makin banyak klien yang menuntut untuk diberikan
informasi tentang kondisi kesehatannya dan keputusan yang terkait dengan tindakan
medik/keperawatan yang akan diterimanya. Perhatian mereka diarahkan seluruhnya
pada spektrum pelayanan kesehatan yang merka terima selama berada di rumah
sakit (Wesley, 1992).

Klein menghargai perawat sebagai seseorang yang memiliki kualitas diri, sikap, cara
dan kepribadian yang spesifik, serta selalu berada dengan klien dan bersedia setiap
saat menolong klien (Kitson, 1998). Perawat diharapkan perannya untuk selalu
berada di saping tempat tidur klien, siap setiap saat ketika diperlukan, cepat tanggap
terhadap berbagai keluhan, dan turut melaksanakan apa yang klien sedang alami.

Klien menginginkan perawat yang melayaninya memiliki sikap baik, murah senyum,
sabar, mampu berbahasa yang mudah difahami, serta berkeinginan menolong yang
tulus dan mampu menghargai klien dan pendapatnya. Mereka mengharapkan
perawat memiliki pengetahuan yang memadai tantang kondisi penyakitnya sehingga
perawat mampu mengatasi setiap keluhan yang dialami oleh individual klien
(Meyers & Gray, 2001).

Selama perawatan di rumah sakit, klein yang sedang mengalami kondisi kritis
kadang-kadang menganggap dirinya berada di luar tubunh dan lingkungannya.
Kesatua erat antara diri dan tubuhnya menjadi terganggu. Ia mengganggap
tubuhnya merupakan benda asing yang sering tidak bisa bekerjasama lagi selama
sakitnya (Morse, Bottorff, & Hutchinson, 1995). Hal ini menyebabkan ia merasa
sangat tergantung pada perawat. Bagi klien dalam kondisi seperti apapun perawat
tidak memiliki hak untuk menolak keinginan dan harapan klien (Kitson,1998).

Kepuasan klien merupakan suatu situasi dimana klien dan keluarga mengganggap
bahwa biaya yang dikeluarkan sesuai dengan kualitas pelayanan yang diterima dan
tingkat kemajuan kondisi kesehatan yang dialaminya. Mereka merasa pelayanan
yang diberikan merupakan penghargaan terhadap diri dan kehormatan yang
dimilikinya. Selain itu mereka merasakan manfaat lain setelah dirawat yaitu
pengetahuan tentang penyakit dan dirinya menjadi bertambah. Namun sebaliknya,
klien jarang untuk mencoba mempertimbangkan apakah pelayanan keperawatan
yang diberikan itu merupakan upaya yang efektif dan efisien dilihat dari segi waktu,
tenaga, dan sumber daya yang digunakan (Wensley, 1992).

Persepsi profesi keperawatan tentang asuhan keperawatan bermutu

Asuhan keperawatan bermutu menurut persepsi para pelaksanan keperawatan akan


dapat dipenuhi tergantung dari beberapa faktor yaitu : (1) apabila perawat diberikan
kewenangan utuh untuk mendesain, mengatur, melaksanakan, dan mengevaluasikan
pelayanan keperawatan yang diberikan ; (2) pelayanan keperawatan diberikan dalam
lingkungan kerja praktik keperawatan profesional ; (3) kualifikasi dan jumlah tenaga
keperawatan memadai ; (4) tersedianya sarana dan prasarana yang dapat
memperlancar kegiatan keperawatan seperti peralatan medik (obat-obatan, set infus,
katater, dll), peralatan keperawatan (alat tenun cukup, materi pencegahan infeksi,
nosokomial, dll), peralatan pendukung keperawatan (formulir rencana keperawatan,
dll); (5) diberlakukannya sistem penghargaan (promosi dan kompensasi) memadai
yang memungkinkan perawat tidak harus berpikir tentang kepentingan diri,
pendidikan, dan masa depan karirinya.

Asuhan keperawatan yang bermutu dapat dicapai apabila perawat yang memberikan
asuhan tersebut memiliki kompetensi dan kewenangan melalui pendidikan
keperawtan yang sesuai. Menurut Lydia Hall, yang mengembangkan teori care, core
dan cure serta Henderson yang mengembangkan model pemenuhan 14 kebutuhan
klien bahwa hanya perawat yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi
keperawatan yang mampu memberikan asuhan keperawatan profesional, karena
mereka telah dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan menyelesaikan masalah
klien secara memadai (Marriner-Tomey,1994).

Persepsi manajer RS terhadap asuhan keperawatan bermutu

Palayanan kesehatan yang bermutu termasuk pelayanan keperawatan adlah


pelayanan yang diberikan oleh tim kesehatan dimana pelayanan tersebut diberikan
secara efektif dan efisien. Bagi manajer rumah sakit, kualitas dinilai dari besaran
biaya yang terkendali. Selain itu, menurut manajer rumah sakit, asuhan keperawatan
bermutu dapat dicapai apabila perawat memperlihatkan kinerjanya dengan baik,
patuh pada pimpinan, melaksanakan keinginan klien, dan ramah terhadap klien
serta keluarganya. Disamping itu, perawat juga ditekankan untuk menggunakan
sumber-sumber secara efisien.

Asuhan keperawatan yang bermutu sering dipersepsikan memiliki indikator tunggal


yaitu tingkat kemampuan tenaga keperawatan dalam memberikan pelayanan kepada
klien. Asuhan keperawawatan yang tidak sesuai dengan harapan klien. Keperawatan
menjadi kambing hitam yang tidak berdaya. Hal ini karena tenaga keperawatan
merupakan tenaga kesehatan yang berada paling lama bersama klien.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa asuhan keperawatan tidak dapat


dilaksanakan dengan baik apabila situasi dan proses kegiatan pelaksanaan pekerjaan
tidak memadai. Oleh karena itu, sudah selayaknya pimpinan rumah sakit
memberikan cukup perhatian pada kondisi kerja yang dapat memprihatinkan yang
berpotensi menimbulkan ketidak-puasan kerja sehingga dapat menurunkan kualitas
pelayanan (Reuters Health, 2001).

Kendala dalam mewujudkan asuhan keperawatan bermutu

Asuhan kesehatan bermutu dapat diwujudkan apabila terdapat di rumah sakit


khususnya keperawatan. Upaya untuk mewujudkan asuhan keperawatan bermutu
tidak selalu dapat berjalan lancar. Ada beberapa kendala yang perlu diperhatikan
oleh setiap pimpinan rumah sakit dan para manajer keperawatan di rumah sakit,
yaitu;

 Perubahan status rumah sakit menjadi perusahaan jawatan swadana.


Perubahan ini menjadi rumah sakit memiliki nilai sosial yang minimal dan
mulai berorientasi pada profit. Pada situasi seperti ini rumah sakit akan
menakankan efisiensi dan efektifitas. Kualitas pelayanan yang sifatnya
kompetitif harus dapat dicapai dalam rentang biaya yang terkendali (“cost
containtment”).
 Kemampuan rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan
khususnya keperawatan. Dengan adanya anggaran biaya yang terkendali
pimpinan rumah sakit akan lebih berfokus pada penyediaan pelayanan dan
peralatan yang bernilai jual tinggi.
 Pemahaman pimpinan rumah sakit tentang pelayanan keperawatan
profesional dimana bentuk praktik keperawatan profesional. Banyak
pimpinan rumah sakit yang tidak memahami praktik keperawtan profesional
dimana bentuk praktik ini memungkinkan perawat memiliki otonomi penuh
terhadap pelayanan yang diberikan.
 Pemahaman para perawat pelaksana tentang visi, misi, dan tujuan rumah
sakit. Kurangnya sosialisasi tentang visi, misi, dan tujuan rumah sakit
menyebabkan perawat pelaksana tidak memahami arah dan tujuan yang akan
dicapai.
 Ketersediaan tenaga perawat profesional yang mampu melaksanakan asuhan
keperawtan profesional. Banyak rumah sakit yang lebih tenaga keperawatan
profesional dibandingkan dengan profesional. Perawat non profesional
dibandingkan yang dapat dipertanggung jawabkan dan hanya menjalankan
instruksi tim medik sehingga asuhan keparawatan menjadi terfragmentasi
dan tidak manusiawi.
 Kewenangan yang dimiliki oleh bidang keperawatan dalam mendesain,
mengatur, melaksanakan, dan menilai sistem pelayanan keperawatan di
rumah sakit. Bidang keperawatan tidak memiliki kewenangan penuh terhadap
bidang tanggung jawabnya menyebabkan pengambilan keputusan menjadi
terhambat dan pelaksanaan tindakan menjadi tidak lancar.
 Pemahaman manajer keperawatan tentang peran yang diemban. Masih
banyak kepala bidang keperawatan yang tidak menyadari perannya sebagai
pemantau kualitas kinerja dan pelayanan keperawatan , sebagai supervisor
ruangan yang aktif, fasilitator pendidikan keperawatan berlanjut, koordinator
pelaksana berbagai kebijakan rumah sakit, inisiator perubahan, negosietor,
fasilitator dan motivasor kinerja serta iklim kerja yang kondusif, collective
bargainer dan problem solver.
 Sistem penghargaan bagi tenaga keperawatan. Banyak rumah sakit yang
belum membakukan sistem penghargaan yang dapat memotivasi kinerja
keperawatan.
 Pengakuan keprofesian keperawatan. Keperawatan masih belum diakui secara
penuh sebagai profesi kesehtan sehingga menimbulkan keragu-raguan
dikalangan keprawatan untuk dapat berkontribusi seperti anggota profesi
kesehatan lain.
 Penghargaan masyarakat. Perawat dihargai secara tinggi karena perawatan
dan dukungan psikososial yang telah diterima masyarakat. Namun
masyarakat masih belum menghargai perawat seperti mereka menghargai
dokter.
 Metoda kombinasi tenaga profesional dan non profesional keperawatan.
Banyak rumah sakit yang mengkombinasikan tenaga keperawatan profesional
dan non profesional dalam proporsi yang memprihatinkan sehingga
menyulitkan terwujudnya asuhan keperawatan bermutu.

Semua kendala di atas memerlukan pemikiran dan tindak lanjut yang tegas dan jelas
agar tujuan rumah sakit untuk mewujudkan pelayanan keperawatan yang bermutu
dapat dicapai. Untuk itu, diperlukan terobosan dan partisipasi aktif dari seluruh
komponen rumah sakit. Selain itu, komitmen dan keterbukaan diantara pimpinan
rumah sakit dan bidang keperawatan perlu ditingkatkan untuk mempermudaah
upaya pencapaian tujuan.

Penutup

Pelayanan keperawatan di rumah sakit merupakan bagian utama dari pelayanan


kesehatan yang diberikan kepada klien. Oleh karena itu, kualitas pelayanan
kesehatan sangat ditentukan oleh kualitas pelayanan keperawatan. Kualitas
pelayanan keperawatan dipengaruhi oleh keefektifan perawat dalam memberikan
asuhan kepada klien. Berbagai persepsi tentang kualitas asuhan perlu menjadi
asupan positif bagi para manajer keperawatan. Hal ini agar tujuan rumah sakit untuk
memberikan pelayanan kesehatan berkualitas dapat dipenuhi.

Asuhan keperawatan bermutu dapat diberikan oleh tenaga keperawatan yang telah
dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan klinik yang memadai serta memiliki
kemapuan : mebina hubungan profesional dengan klien, berkolaborasi dengan
anggota tim kesehatan lain, melaksanakan kegiatan menjamin mutu, kemampuan
memenuhi kebutuhan klien, dan memperlihatkan sikap”caring”. Asuhan
keperawatan bermutu seyogyanya berorientasi pada klien sehingga klien dapat
mencapai tingkat kepuasan terhadap pelayanan yang diterima.

Beberapa kendala dapat terjadi dan menghambat terwujudnya asuhan keperawatan


bermutu. Namun demikian, upaya yang bersifat manajerial dan non manajerial
dapat dilakukan untuk meminimalisasi kendala tersebut.

Vous aimerez peut-être aussi