Vous êtes sur la page 1sur 46

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN KONFERENSI KASUS


PENATALAKSANAAN FISOTERAPI UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN TRANSFER PADA KASUS KELUMPUHAN KEDUA
TUNGKAI (AIS B) ET CAUSA MYELITIS TB T4
DI RSUP FATMAWATI

Diajukan sebagai salah satu pemenuhan syarat praktek klinik

Oleh :
Kelompok 1

MAHARANI KARTIKA SARI


MAULIDA ZAHRO 1506715091
FITRI ISNAINI 1506715122
ALFA NUR KHASANAH 1506715135
RESTI DWI SUSANTI 1506715141

PROGRAM VOKASI
UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM STUDI FISIOTERAPI
JAKARTA, Februari 2018

1
UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM VOKASI
BIDANG STUDI KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

LEMBAR PENGESAHAN

Makalah konferensi kasus telah dikoreksi, disetujui, dan diterima


Pembimbing Praktek Klinik Program Studi Fisioterapi di RSUP Fatmawati untuk
melengkapi tugas Praktek Klinik II Tahun 2018.

Pada hari : Kamis

Tanggal : 01 Maret 2018

Pembimbing,

Didhik Jatmiko, SST.FT

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
konferensi kasus Fisioterapi dengan tepat waktu. Pembuatan makalah ini bertujuan
untuk melengkapi tugas dalam Praktek Klinik II Semester VI.
Kami sebagai tim penulis mengucapkan terima kasih kepada instruktur
praktek klinik atau fisioterapis di RSUP Fatmawati, terutama infrastruktur
fisioterapi yang telah memberikan waktu untu membimbing dan mendukung kami
selama pembuatan makalah ini. Tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada
orangtua, pasien, dan teman-teman mahasiswa Fisioterapi Universitas Indonesia
yang telah memberi bantuan baik material maupun spiritual kaeran tanpa bantuan
mereka makalah ini tidak dapat selesai dengan baik.
Kami menyadari tanpa bimbingan dan pengarahan dari semua pihak, maka
laporan ini tidak akan tersusun dengan baik. Pada kesempatan kali ini kami
mengucapkan pula terima kasih kepada seluruh pembimbing pada umumnya dan
rekan-rekan fisioterapis pada khususnya.
Makalah ini belum atau tidak bisa dijadikan acuan sebelum disetujui dosen
pembimbing dan dikonferensikan atau dipresentasikan.

Jakarta, 12 Februari 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

4
DAFTAR TABEL

5
DAFTAR GAMBAR

6
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Spinal Cord Injury (SCI) merupakan salah satu kasus yang cukup

besar menimpa masyarakat kota pada masa sekarang ini. Apabila kasus ini

ttidak ditangani secara cepat dan tepat dapat mengakibatkan penurunan

kualitas hidup seseorang atau bahkan kematian. Seseorang yang mengalami

Spinal Cord Injury seringkali mengalami ketidakmampuan dalam

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, bekerja, bersosialisasi, dan

kehilangan rasa percaya diri yang semuanya itu jika tidak diatasi dapat

membawa penderita tersebut mengalami masalah yang lebih besar lagi yang

dapat berakibat kepada keluarga, serta orang-orang disekitarnya.

Spinal Cord Injury (SCI) merupakan gangguan pada medulla

spinalis yang menyebabkan kerusakan medulla spinalis dan sarah sehingga

terjadi deficit neurologis parsial atau total dibawah level lesi berupa

gangguan persepsi sensori, paralisis atau keduanya. SCI dapat disebabkan

karena factor trauma dan non trauma (infeksi bakteri atau virus) yang dapat

menyebabkan terjadinya gangguan sensoris, motoris, vegetative (bladder

dan bowel) (Koizer, 2009).

Myelitis TB merupakan salah satu penyebab SCI. Myelitis adalah

serangan inflamasi pada medulla spinalis dapat merusak atau

menghancurkan mielin yang merupakan selubung serabut sel saraf.

Kerusakan ini menyebabkan jaringan parut pada sistem saraf yang

1 Universitas Indonesia
menganggu hubungan antara saraf pada medulla spinalis dan tubuh.

(NINDS 2012)

Myelitis dapat disebabkan berbagai etiologi seperti infeksi

bakteri dan virus salah satunya yaitu bakteri Tubercolosis, penyakit

autoimun sistemik, beberapa sclerosis, SLE, Sjogren sindrome, pasca

trauma, neoplasma, iskemik atau perdarahan saraf tulang belakang dan

jarang penyebab iatrogenic (penyakit yang diakibatkan oleh kesalahan

diagnosis atau kealpaan dokter).

Menurut data statistic World Health Organization (WHO) untuk

tahun 2011, dari perkiraan kejadian kasus Tuberculosis (TB) tahunan secara

global sebesar 8,7 juta, sistem saraf pusat (SSP) menyumbang sekitar 1%

dari semua kasus TB; setengah dari ini melibatkan tulang belakang. Pada

negara-negara yang sudah berkembang atau maju insidensi ini mengalami

penurunan secara dramatis dalam kurun waktu 30 tahun terakhir.

Insiden myelitis dari seluruh usia anak hingga dewasa dilaporkan

sebanyak 1-8 juta orang di Amerika Serikat, sekitar 1400 kasus baru per

tahun yang didiagnosis di Amerika Serikat. Sebanyak 34000 orang

dewasa dan anak-anak menderita gejala sisa myelitis berupa cacat

sekunder. Sekitar 20 % dari myelitis transversal akut terjadi pada anak-anak.

Sedangkan insiden myelitis transversa idiopatik sekitar 1,34 - 4,6 juta per

tahun.

Fisioterapi sebagai salah satu pemberi pelayanan kesehatan dapat

memberikan sumbangan ilmu dan kemampuannya dalam meningkatkan

kualitas hidup penderita Spinal Cord Injury. Hal ini dapat dilakukan karena

2 Universitas Indonesia
bidang kajian pelayanan fisioterapi dan masalah yang ditangani fisioterapi

dalam praktek sehari-hari adalah masalah atau gangguan fungsi dan gerak.

Pada kondisi penderita SCI fisioterapi jelas sangat diperlukan untuk

memberikan latihan-latihan serta edukasi, baik kepada pasien maupun

keluarganya untuk membatu pasien dalam mengatasi ganguan gerak dan

fungsi yang diakibatkan SCI tersebut. Penanganan fisioterapi yang dapat

diberikan pada penderita SCI yaitu penanganan yang bertujuan utama untuk

meningkatkan aktivitas fungsional sehari-hari terutama dalam perpindahan

dari satu tempat ketempat yang lain.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis ingin membahas

“Penatalaksanaan Fisoterapi Untuk Meningkatkan Kemampuan Transfer

Pada Kasus Kelumpuhan Kedua Tungkai (AIS B) et causa Myelitis TB T4

di RSUP Fatmawati”

B. Identifikasi Masalah

1. Masalah yang ditemu pada kasus ini meliputi :

a. Gangguan fungsi sensoris

b. Gangguan fungsi motoris

c. Gangguan fungsi vegetative dan otonom (bladder dan bowel)

d. Gangguan fungsi ADL

e. Gangguan mobilisasi

f. Gangguan seksual

g. Menurunnya rasa percaya diri

h. Penurunan vital sign

3 Universitas Indonesia
2. Pembatasan masalah

Agar tidak meluas dari pembahasan yang dimaksud, maka masalah ini

dibatasi dengan pada pembahasan dan penatalaksanaan fisioterapi pada

kasus Spinal Cord Injury et causa Myelitis TB T4 AIS B

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

a. Memenuhi tugas kuliah Fisioterapi Komprehensif II

b. Menerapkan pengetahuan klinis penulis mengenai penatalaksanaan

fisioterapi pada kasus Spinal Cord Injury.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui anatomi dan fisiologi spinal cord.

b. Mengetahui definisi spinal cord injury dan Myelitis TB.

c. Mengetahui patofisiologi dan etiologi spinal cord injury.

d. Mengetahui teknik asesmen yang efektif.

e. Mengetahui metode dan Teknik intervensi yang efektif dan efisien.

f. Menilai hasil intervensi dalam kajian akademik dan professional.

D. Metode Penulisan

Dalam penyusunan laporan kasus ini, metode yang penulis gunakan

adalah metode kepustakaan yaitu dengan membaca buku, jurnal, dannjuga

literature yang berkaitan dengan kasus yang telah diangkat serta melakukan

observasi langsung pada pasien.

4 Universitas Indonesia
E. Manfaat Penulisan

1. Bagi Pendidikan

Hasil laporan studi kasus ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai

acusan untuk pengembangan penelitian, khususnya yang berkaitan

dengan penatalaksanaan fisioterapi pada kasus spinal cord injury.

2. Bagi Mahasiswa Fisioterapi

Hasil laporan studi kasus ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan dasar tentang pelaksanaan fisioterapi pada kasus spinal

cord injury.

3. Bagi Pasien

Hasil laporan studi kasus ini dapat menjadi program-program yang

diberikan untuk pasien selama melakukan latihan.

5 Universitas Indonesia
BAB II
PROFIL RSUP FATMAWATI DAN INSTALASI REHABILITASI MEDIK
FISIOTERAPI

A. Profil Fatmawati

1. Sejarah Singkat RSUP Fatmawati

Bermula tahun 1953, dari Ibu Fatmawati yang saat itu sebagai Ibu
Negara RI bermaksud mendirikan sebuah Rumah Sakit Tuberculose
anak-anak, untuk perawatan penderita TBC anak serta tindakan
rehabilitasinya. Peletakan batu pertama pembangunan pada tanggal 2
Oktober 1954.

Dengan adanya dana yang dihimpun oleh Yayasan Ibu Soekarno dan
banuan dari Yayasan Bantuan Departemen Sosial RI dilaksanakan
Pembangunan Gedung Rumah Sakit Ibu Soekarno hingga selesai dan
dapat difungsikan sebagai rumah sakit. Fungsi rumah sakit tersebut
berubah menjadi rumah sakit umum seperti ketentuan dalam surat
KEMENKES RI Nomor 21286/Kep/121 tanggal 1 April 1961 yang
ditandatangani oleh Prof. Dr. Satrio yang berisi ketetapan sebagai
berikut:

1. Rumah Sakit Ibu Soekarno memliki status dan fungsi sebagai


Rumah Sakit Umum.
2. Rumah Sakit Umum tersebut diselenggarakan oleh Departemen
Kesehatan RI.
3. Pembiayaan Rumah Sakit Umum ini dibebankan pada anggaran
Departemen Kesehatan RI.
4. Keputusan ini berlaku mulai 15 April 1961.
Dengan diberlakukan keputusan tersebut maka pada tanggal 15
April 1961 ditetapkan sebagai hari jadi Rumah Sakit Umum
Fatmawati. Pada awal tahun 1967 oleh Menter Kesehatan RI,
Prof. Dr. G. A. Siwabesi RSU Ibu Soekarno diganti menjadi
RSU Fatmawati.

6 Universitas Indonesia
Dengan KEPMENKES RI Nomor 294/Menkes/SK/V/1984,
RSU Fatmawati ditetapkan sebagai pusat rujukan wilayah
Jakarta Selatan. Berdasarkan surat KEPMENKES RI Nomor
754/Menkes/SK/VI/1994 tanggal 2 September 1992 RSU
Fatmawati ditetapkan menjadi rumah sakit swadana. Pada tahun
1998 RSU Fatmawati ditetapkan menjadi Rumah Sakit PNBP.
Akhir Tahun 2002 sebagai RS Perusahaan Jawatan (Perjan),
sehingga tatanan organisasi dan kebijakan disempurnakan Akhir
Tahun 2005, Rumah Sakit PERJAN menjadi UPT Departemen
Kesehatan dengan pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum, maka tatanan organisasi dan kebijakan akan
disempurnakan. Yaitu pada tanggal 11 Agustus 2005
berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.
1243/Menkes/SK/VIII/2005 RSUP Fatmawati ditetapkan
sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Kesehatan RI
dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum (PPK BLU).

B. Visi dan Misi RSUP Fatmawati

1. Visi : “Rumah Sakit Rujukan Nasional Dengan Layanan Excellent


Terpadu 2019”

2. Misi
a. Memberikan pelayanan, Pendidikan, dan penelitian yang berkualitas
dan terintegrasi.
b. Meningkatkan kinerja, kompetensi dan kesejahteraan karyawan.
c. Menyelenggarakan Good Corporate Government.
d. Memberikan pelayanan berbasiskan Continuum of Care Throughout
Life Cycle.

C. Falsafah
a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b. Menjunjung tinggi kehidupan dan nilai-nilai luhur kemanusiaan
c. Menghargai pentingnya persatuan dan kerjasama

7 Universitas Indonesia
d. Menjunjung keseimbangan dan kelestarian lingkungan
e. Kebersamaan dalam kemajuan dan kesejahteraan

D. Tata Nilai
"Peduli, PROfesional, IntegritAs, Komitmen, Teamwork, Inovatif"

E. Tujuan
a. Terwujudnya pelayanan kesehatan prima dan paripurna yang
memenuhi kaidah keselamatan pasien (Patient Safety).
b. Terwujudnya pelayanan rumah sakit yang bermutu tinggi dengan
tarif yang terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.
c. Mewujudkan pengembangan berkesinambungan dan akuntabilitas
bagi pelayanan kesehatan, pendidikan dan penelitian.
d. Terwujudnya SDM yang profesional dan berorientasi kepada
pelayanan pelanggan.
e. Terwujudnya kesejahteraan yang adil dan merata bagi seluruh
sumber daya manusia rumah sakit

8 Universitas Indonesia
F. Instalasi Rehabilitasi Medik RSUP Fatmawati

1. Struktur Organisasi Instalasi Rehabilitasi Medik RSUP Fatmawati

9 Universitas Indonesia
2. Visi dan Misi Instalasi Rehabilitasi Medik RSUP Fatmawati

a. Visi :

“Menjadi Centre of Exelent Pelayanan Rehabilitasi Medik yang

terintegrasi, terdepan, paripurna, dan terpercaya di Indonesia

tahun 2019.”

b. Misi :

1. Menyelenggarakan pelayanan Rehabilitasi Medik yang

paripurna dan berkesinambungan dengan menerapkan kaidah

mutu dan keselamatan pasien.

2. Menerapkan sistim monitoring dan evaluasi terhadap

pengelolaan pelayanan rehabilitasi medik, sehingga dapat

dilakukan perbaikan terus menerus dan invasi pelayanan

rehabilitasi medik sebagai pelayanan unggulan.

3. Meningkatkan produktivitas pelayanan rehabilitasi medik

sehingga meningkatkan kontribusi pendapatan bagi rumah

sakit.

4. Meningkatkan kompetensi, komitmen, motivasi dan loyalitas

seluruh SDM dalam memberikan pelayanan yang paripurna

5. Melengkapi sarana, prasarana dan fasilitas medik/nin medik

sesuai BEST PRACTICE

3. Falsafah Instalasi Rehabilitasi Medik

“Meningkatkan kemampuan secara optimal fungsional pasien

berdasarkan kemampuan yang masih dimiliki”

10 Universitas Indonesia
Tujuan

” Pelayanan Rehabilitasi Medik ditujukan untuk mempertahankan atau

meningkatkan kualitas hidup pasien dengan cara mencegah, mengurangi

impairment / kelainan,disability / ketidakmampuan dan handicap /

ketunaan beserta dampaknya melalui peningkatan fungsi semaksimal

mungkin sehingga dapat melakukan fungsinya di masyarakat ”

4. Tugas pokok instalasi rehabilitasi medis RSUP Fatmawati


a. Menyiapkan fasilitas agar pelayanan rehabilitasi medis dapat

terlaksana dengan baik.

b. Melaksanakan pelayanan : Fisioterapi, Okupasi Terapi, Terapi

Wicara, Psikologi, Rehabilitasi Terpadu dan Pelayanan Sosial

Medik

c. Melakukan produksi : Prostetik Ortotik, Workshop dan alat bantu

jalan.

d. Menyiapkan fasilitas pendidikan, pelatihan dan penelitian.

e. Melakukan penyusunan kebutuhan tenaga, alat dan atau bahan

untuk fasilitas pelayanan.

f. Melakukan pemantauan, pengawasan dan penilaian Pelayanan

Rehabilitasi Medis

g. Melakukan pemantauan, pengawasan dan pengendalian mutu

Pelayanan Rehabilitasi Medis

h. Melakukan pengembangan dan pemasaran dibidang Pelayanan

Rehabilitasi Medis

11 Universitas Indonesia
1. Fisioterapi

Melaksanakan kegiatan pelayanan fisioterapi:

a. Elektroterapi

b. Terapi Latihan

c. Hidroterapi

d. Grouptherapy

2. Terapi Okupasi

Melaksanakan Kegiatan pelayanan okupasi Tterapi

a. Latihan koordinasi/keseimbangan

b. Latihan keterampilan tangan

c. Latihan aktivitas kehidupan sehari-hari

d. Latihan khusus (anak dengan berkebutuhan khusus)

e. Recretional therapy khusus spinal injury

3. Terapi Wicara

Melaksanakan kegiatan terapi wicara :

a. Afasia

b. Dysphagia

c. Dysatria

d. Delayed speech

e. Terapi Kelompok

4. Psikologi

Memberikan pelayanan :

a. Konseling

b. Evaluasi psikologi

12 Universitas Indonesia
c. Tumbuh kembang anak

d. Geriatric

5. Pelayanan Sosial Medis

Meliputi

a. Membatu dalam masa peralihan sebelum kembali ke

lingkungan atau masyarakat

b. Melakukan evaluasi psikososial pasien-pasien R3M

c. Membantu alih pekerjaan

d. Lintas sectoral, berhubungan dengan Depsos

e. Melakukan produksi : prostetik ortotik, workshop,

dan kursi roda

1. Prostetik Orthotik

Melayani pembuatan alat-alat ortotik (alat bantu)

dan prostetik (alat pengganti)

2. Workshop

Melayani pembuatan atau perbaikan kruk dan

kursi roda

f. Menyiapkan fasilitas Pendidikan,pelatihan dan

penelitian.

13 Universitas Indonesia
6. Kegiatan Instalasi Rerhabilitasi Medis

a. Menunjang Pelayanan SMF Rehab Medis dan SMF lain yang

terkait

Meliputi :

• Rehabilitasi Umum

• Rehabilitasi Sub Spesialistik:

• Rehab. Neuro Muskuler : Stroke, trauma kepala.

• Rehab. Muskuloskeletal : Spinal Cord Injury, Hand Rehab.,

Sport Injury Rehab.

• Rehab. Pediatrik : CP, Autisme, ADHD, Delayed

Development.

• Rehab, Geriatri / Osteoporosis/ DM.

• Rehab. Kardio – Pulmoner

• Visite bersama di GPS dan Konferensi Tim Rehabilitasi

Medis.

• Pembahasan kasus sulit dengan SMF terkait.

• Temu keluarga penderita.

• Temu Ilmiah Unit Kerja.

b. Pelayanan Penunjang Medis

1. Poli Rehabilitasi Medik

2. Fisioterapi Terapi Okupasi

3. Terapi Wicara

4. Ortotik – Prostetik

14 Universitas Indonesia
5. Workshop Kursi Roda

6. Konsultasi Psikologi

7. Pelayanan Sosial Medis

8. Rehabilitasi Terpadu (Klub Rehab. Jantung, Klub DM, Klub

Geriatri dan Klub Osteoporosis)

c. Fasilitas Pendidikan / Pelatihan dan Penelitian

1. UI D3 Fisio dan terapi okupasi

2. UI S2 Dokter Spesialis KFR

3. UI S1 Fisip

4. UI S2 Psikologi

5. UIN S2 KESOS

6. UEU S1 Fisioterapi

15 Universitas Indonesia
Struktur organisasi fisioterapi

16 Universitas Indonesia
BAB III
KAJIAN TEORI

A. Definisi

1. Spinal Cord Injury


Cedera medulla spinalis atau Spinal Cord Injury (SCI) didefinisikan
sebagai cedera atau kerusakan pada medulla spinalis yang menyebabkan
perubahan fungsional, baik secara sementara maupun permanen, pada
fungsi motorik, sensorik, atau otonom.6,9 Beberapa literatur
membedakan SCI sebagai traumatic spinal cord injury
(TSCI) dan nontraumatic, sedangkan pada literatur lainnya
menggunakan istilah SCI sebagai TSCI.

2. Myelitis TB
Mielitis transversa adalah kelainan neurologi yang disebabkan oleh
peradangan sepanjang medulla spinalis baik melibatkan satu tingkat
atau segmen dari medulla spinalis. Istilah mielitis menunjukkan
peradangan pada medulla spinalis, trasversa menunjukkan posisi dari
peradangan sepanjang medulla spinalis. Serangan inflamasi pada
medulla spinalis dapat merusak atau menghancurkan mielin yang
merupakan selubung serabut sel saraf. Kerusakan ini menyebabkan
jaringan parut pada sistem saraf yang menganggu hubungan antara saraf
pada medulla spinalis dan tubuh.
Mieliti transversa merupakan suatu gangguan neurologi yang
disebabkan oleh kehilangan selubung mielin pada medulla spinalis,
disebut juga sebagai demielinisasi. Demielinisai ini muncul secara
idiopatik menyertai infeksi atau vaksinisasi, atau disebabkan multipel
sclerosis. Salah satu teori mayor tentang penyebabnya adalah bahwa

17 Universitas Indonesia
inflamasi immune-mediated adalah sebagai suatu hasil paparan terhadap
antigen virus. Kelainannya berupa inflamasi melibatkan medulla
spinalis pada kedua sisinya. Pada mielitis transversa akut, onset terjadi
tiba – tiba dan progresif dalam beberapa jam dan atau beberapa hari.
Lesi dapat terjadi di setiap bagian dari medulla spinalis meskipun
biasanya terbatas pada bagian kecil saja.
Sumber: National Institut of neurological disorder and stroke, myelitis
trasversa dalam www.ninds.nih.gov/disorder/trasversemyeilitis.

B. Anatomi dan Fisiologi Vetebra

Medulla spinalis merupakan bagian dari sistem saraf pusat yang menjadi
jalur informasi antara otak dan bagian tubuh lainnya. Pengetahuan akan
struktur neuroanatomi medulla spinalis adalah kebutuhan mendasar yang
diperlukan untuk mengerti setiap manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan
oleh cedera medulla spinalis. Selain itu, pada bagian ini akan dibahas pula
mengenai anatomi tulang belakang dan sekitarnya dan perfusi dari medulla
spinalis karena cedera pada medulla spinalis umumnya terasosiasi dengan
struktur-struktur yang ada di sekitarnya.

1. Anatomi Kolumna Vertebralis


Kolumna vertebra merupakan struktur tulang penyokong utama
tubuh. Vertebra tidak hanya menyokong tulang tengkorak, tetapi juga
toraks, ekstremitas atas, pelvis, dan menyalurkan berat tubuh ke
ekstremitas bawah. Selain itu, struktur ini memberikan perlindungan
yang bermakna bagi struktur-struktur yang ada didalamnya, antara lain
medulla spinalis, nervus spinalis, dan meninges. Kolumna vertebralis
terdiri dari 33 vertebrae antara lain 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbar, 5
sakral (bergabung menjadi sakrum), dan 4 koksigeal, dengan
bantalan fibrocartilage diantara tiap segmen yang disebut diskus
intervertebralis. Walaupun terdapat perbedaan secara regional pada
segmen-segmen tersebut, namun secara umum terdapat pola anatomi

18 Universitas Indonesia
yang mirip. Vertebra umumnya terdiri dari korpus di bagian anterior dan
arkus vertebra di posterior, dan diantaranya terdapat lubang yang
disebut sebagai foramen vertebralis yang berisikan medulla spinalis dan
lapisan meninges. Arkus vertebra terdiri dari sepasang pedikel dan
laminae. Arkus vertebralis membentuk 7 prosesus, antara lain satu
prosesus spinosus, dua prosesus tranversus, dan 4 prosesus artikularis.
Prosesus spinosus merupakan sambungan dari kedua laminae,
sedangkan prosesus transversus terletak diantara laminae dan pedikel.
Kedua prosesus tersebut berfungsi sebagai tuas pengungkit dan menjadi
tempat perlekatan otot dan ligamen. Prosesus artikularis terbagi menjadi
dua prosesus superior dan dua prosesus inferior, kedua prosesus tersebut
membentuk sendi sinovial. Pedikel terdiri dari inferior
notch dan superior notch yang membentuk foramen intervertebralis
(dari dua vertebra). Sendi dari kolumna vertebralis terbagi menjadi 2,
antara lain sendi antara dua korpus vertebra yaitu fibrocartilaginous
joint dari diskus intervertebralis dan sendi antara dua arkus vertebralis
yaitu sendi sinovial antara prosesus artikularis.Terdapat 6 ligamen di
sekitar kolumna vertebralis (Gambar 3), antara lain ligamen anterior
longitudinal dan posterior longitudinal (ligamen di sekitar korpus) dan
ligamen supraspinatus, interspinatus, intertraversum, dan flavum
(ligamen diantara arkus vertebralis). Pada daerah servikal, ligamen
supraspinatus dan interspinatus bergabung membentuk ligamentum
nuchae.

19 Universitas Indonesia
20 Universitas Indonesia
2. Anatomi Medulla Spinalis

Medulla spinalis merupakan organ berbentuk silindris yang dimulai


dari foramen magnum di tulang tengkorak sampai dengan dua pertiga
seluruh panjang kanal vertebralis (dibentuk dari seluruh foramen
vertebralis), berkesinambungan dengan medulla oblongata di otak, dan
bagian terujung dari medulla spinalis terletak di batas bawah vertebra
lumbar pertama pada orang dewasa dan batas bawah vertebra lumbar
ketiga pada anak-anak. Medulla spinalis dikelilingi oleh 3 lapisan
meninges, antara lain dura mater, araknoid mater, dan pia mater. Selain
itu, likuor cerebrospinalis (LCS) yang berada dalam rongga subaraknoid
juga memberikan perlindungan tambahan bagi medulla spinalis.
Medulla spinalis terdiri dari 31 segmen, antara lain 8 segmen
servikal, 12 segmen torakal, 5 segmen lumbar, 5 segmen sakral, dan 1
segmen koksigeal. Nervus spinalis keluar dari setiap segmen medulla
spinalis tersebut (berjumlah 31 pasang nervus spinalis) dan terdiri
dari motor atau anterior roots (radiks) dan sensory atau posterior root.
Penamaan nervus spinalis dilakukan berdasarkan daerah munculnya
nervus tersebut melalui kanal vertebralis. Nervus spinalis C1 sampai C7
muncul dari atas kolumna vertebralis C1-C7, sedangkan C8 diantara
kolumna vertebralis C7-T1. Nervus spinalis lainnya muncul dari bawah
kolumna vertebralis yang bersangkutan.
Fungsi motor dari nervus-nervus spinalis antara lain, C1-C2
menginervasi otot-otot leher, C3-C5 membentuk nervus phrenikus yang
mempersarafi diafragma, C5-T1 mempersarafi otot-otot ekstremitas
atas, segmen torakal mempersarafi otot-otot torakoabdominal, dan L2-
S2 mempersarafi otot-otot ekstremitas bawah. Beberapa dermatom
penting yang memberikan gambaran untuk fungsi sensorik dari nervus
spinalis, antara lain C2-C3 untuk bagian posterior kepala-leher, T4-5
untuk daerah areola mamae, T10 untuk umbilikus, bagian ekstremitas
atas: C5 (bahu anterior), C6 (ibu jari), C7 (jari telunjuk dan tengah), C8
(jari kelingking), T1 (bagian medial antebrakii), T2 (bagian medial dari
brakialis), T2/T3 (aksila), bagian ekstremitas bawah: L1 (bagian

21 Universitas Indonesia
anterior dan medial dari femoralis), L2 (bagian anterior dari femoralis),
L3 (lutut), L4 (medial malleolus), L5 (dorsum pedis dan jari 1-3), S1
(jari 4-5 dan lateral malleolus), S3/Co1 (anus).
Medulla spinalis terdiri dari dua substansia, antara lain substansia
kelabu (gray matter) yang terletak internal dan substansia alba (white
matter) yang terletak secara eksternal. Secara umum, substansia alba
terdiri dari traktus ascending (sensorik) dan descending (motorik),
sedangkan substansia kelabu dapat dibagi menjadi 10 lamina atau 3
bagian (kornu anterior, posterior, dan lateral) yang tersusun dari
nukleus-nukleus yang berperan dalam potensi aksi neuron-neuron .

C. Biomekanika vetebra

Seperti yang telah dibicarakan sebelumnya, columna vertebralis terdiri


atas sejumlah vertebra terpisah yang tersusun rapid an dipisahkan oleh discus
intervertebralis. Vertebrae dipertahankan pada tempatnya oleh ligamen kuat
yang sangat membatasi derajat gerakan yang mungkin terjadi antara vertebra
berdekatan.Meskpun demikian, hasil akhir gabungan semua gerakan
memberikan derajat gerakan columna vertebralis yang cukup besar.6
Gerakan yang dapat dilakukan vertebra adalah fleksi, ekstensi, lateral
fleksi, rotasi, dan sirkumduksi. Fleksi adalah gerakan ke depan, sedangkan
ekstensi adalah gerakan ke belakang. Keduanya dapat leluasa dilakukan di
daerah cervical dan lumbal, namun terbatas di daerah thoracal. Lateral fleksi
adalah condongnya tubuh ke salah satu sisi. Gerak ini amat mudah dilakukan
di daerah cervical dan lumbal, namun terbatas di daerah thoracal.Rotasi
adalah gerak memutar columna vertebralis yang paling leluasa di daerah
lumbal.Sirkumduksi adalah gabungan gerakan-gerakan di atas. 6
Jenis dan keleluasaan gerak yang mungkin pada tiap daerah columna,
sebagian besar tergantung pada tebal discus invertebralis dan bertuk serta arah
processus articularis. Di daerah thoracal, iga, tulang rawan iga, dan sternum
sangat membatasi keleluasaan gerak. Articulation atlanto-occipitalis

22 Universitas Indonesia
memungkinkan fleksi dan ekstensi luas dari kepala. Articulation atlanto-
axialis memungkinkan rotasi luas pada atlas dan dengan demikian, juga rotasi
kepala di atas axis. 6
Columna vertebralis digerakkan oleh banyak otot, sebagian besar
melekat langsung pada vertebra, sementara yang lain, seperti m.
sternocleidomastoideus dan otot dinding perut, melekat pada cranium atau
pada iga atau fascia. 6
Di daerah cervical, fleksi dilakukan oleh m. longus colli, scalenus
anterior, dan sternocleidomastoideus. Ekstensi dikerjakan oleh otot-otot post
vertebralis. Laterofleksi dikerjakan oleh m. scalenus anterior dan medius dan
m. trapezius dan sternocleidomastoideus. Rotasi dikerjakan oleh m.
sternocleidomastoideus pada satu sisi dan m. splenius sisi lainnya. 6
Di daerah thoracal rotasi dilakukan oleh m. semi spinalis dan mm.
rotators, dibantu oleh m. obliquus dinding anterolateral abdomen.
Di daerah lumbal, fleksi dilakukan oleh m. rectus abdominis dan m.
psoas. Ekstensi dikerjakan oleh otot post vertebralis. Laterofleksi dilakukan
oleh otot post vertebralis, m. quadrates lumborum, m. obliquus dinding
anterolateral abdomen. M. psoas dapat pula berperan dalam gerakan ini.
Rotasi dilakukan oleh mm. rotators dan m, obliquus dinding anterolateral
abdomen. 6

Harvey, Lisa. 2008. Management of spinal cord injuries: A guide for


Physiotherapists. Philadelphia:Elsevier
D. Epidemiologi
1. Spinal Cord Injury
Global SCI memperkirakan 40 sampai 80 kasus baru setiap sejuta
populasi per tahunnya, berdasarkan penelitian tentang cidera spinal cord
yang dari berbagai penyebab. Ini berarti setiap tahun, antara 250.000
sampai 500.000 orang mengalami cidera spinal cord. Studi ini
menyimpulkan 2 penyebab yang menimbulkan cedera tersebut, SCI
traumatis dan non-traumatis. Secara historis, sampai 90% dari SCI
disebabkan traumatis, namun data dari studi terbaru menunjukkan
sedikit kecenderungan beberapa tahun terakhir menuju peningkatan

23 Universitas Indonesia
penderita jenis NTSCI. Populasi NTSCI umumnya lebih tua, dengan
penyakit progresif membutuhkan lebih banyak perawatan mahal, meski
untuk periode yang lebih singkat. Sebagian besar penelitian tentang
kejadian SCI mencakup keduanya TSCI atau NTSCI, mungkin karena
perbedaan dengan sumber data dan metode pengumpulan data.
2. Myelitis Transverse Acute
Insiden ATM dari seluruh usia anak hingga dewasa dilaporkan
sebanyak 1-8 juta orang di Amerika Serikat, sekitar 1400 kasus baru
ATM per tahun yang di diagnosis di Amerika Serikat. Sebanyak 34000
orang dewasa dan anak-anak menderita gejala sisa ATM berupa cacat
sekunder.
Sekitar 20 % dari ATM terjadi pada anak-anak. ATM dapat diderita
oleh orang dewasa dan anak – anak baik pada semua jenis kelamin
maupun ras. ATM memiliki puncak insidensi yang berbeda yaitu umur
: 10-19 dan 30-39 tahun. Ini menunjukkan tidak ada faktor predileksi
seperti : ras, familial atau jenis kelamin pada kasus ATM. Sehingga
antara laki-laki dan perempuan mempunyai probabilty yang sama untuk
menderita ATM.
Insiden meningkat menjadi 24,6 juta kasus per tahun jika didapatkan
penyebab demielinasi yang berhubungan dengan myelitis, terutama
multiple sclerosis. ATM mungkin timbul dari berbagai penyebab, tetapi
paling sering terjadi sebagai fenomena autoimun setelah infeksi atau
vaksinasi (jumlah 60% kasus pada anak-anak) atau karena infeksi
langsung, penyakit dasar seperti autoimun sistemik, atau diperoleh
penyakit demielinasi seperti multiple sclerosis atau spektrum dari
gangguan yang berhubungan dengan neuromyelitis optica (penyakit
Devic, penyakit demielinasi yang dikenal sebagai gabungan penyakit
myelitis transversa dan neuritis optik)

24 Universitas Indonesia
E. Etiologi

1) Spinal cord Injury


Penyebab terjadinya cidera medulla spinalis dapat
dikelompokan menjadi akibat trauma dan non trauma. Kejadian
trauma merupakan penyebab tersering terjadinya spinal cord injury.
Penyebab spinal cord injury trauma dapat berupa, kecelakaan lalu
lintas, kecelakaan kerja, cidera olahraga, kecelakaan dirumah,
bencana alam, luka tembak dan lain-lain. Sedangkan penyebab
spinal cord injury nontrauma dapat berupa tumor, kelainan vascular,
multiple sclerosis, dan transver myelitis.
Luka kecil juga dapat menyebabkan SCI jika medulla
spinalis dalam keadaan sakit, seperti rheumatoid arthritis atau
osteoporosis. Trauma langsung seperti memar, dapat menyebabkan
spinal cord injury jika sendi vertebra rusak. Hal ini bisa saja terjadi
pada kepala, leher, dada belakang, atau penyebab lain akibat
abnormal chiropractic manipulation.
2) Myelitis TB
Myelitis terjadi karena berbagai etiologi seperti infeksi
langsung oleh virus, bakteri, jamur, maupun parasit, human
immunodeficiency virus ( HIV ), varicella zoster, cytomegalovirus,
dan TBC. Namun juga dapat disebabkan oleh proses non - infeksi
atau melalui jalur inflamasi. Myelitis sering terjadi setelah infeksi
atau setelah vaksinasi. Myelitis dapat juga terjadi sebagai
komplikasi dari syphilis, campak, penyakit lyme, dan beberapa
vaksinasi seperti chikenpox dan rabies.
Faktor etiologi lain yang dikaitkan dengan kejadian Myelitis
adalah penyakit autoimmune sistemik (SLE, multiple sklerosis,
Sjogren’s syndrome), sindrom paraneoplastik, penyakit vaskuler,
iskemik sumsum tulang belakang meskipun tidak jarang tidak
ditemukannya faktor penyebab Myelitis sehingga disebut sebagai
"idiopatik".

25 Universitas Indonesia
F. Patofisiologi

A. SCI (Spinal Cord Injury)


Beberapa penelitian dibidang neurologi berusaha untuk menginvestigasi

proses perjalanan suatu penyakit, patofisiologi dari spinal cord injury.

Penelitian proses patologi spinal cord biasanya menggunakan subyek sperti

monyet maupun hewan yang telah dimanipulasi dengan berbagai tempat lesi

dilakukan pada penelitian yang lama. Dewasa ini paradigma penelitian telah

bergeser dengan menilik struktur sel syaraf atau segmen anatomi pada

medulla spinalis dengan subyek manusia. 11

Spinal cord injury disebabkan oleh kerusakan akibat faktor mekanik yang

mengakibatkan efek berkelanjutan kerusakan jaringan progresif, dan diikuti

oleh proses ischemic dan halangan untuk calcium influx ke dalam neuron

sehingga terjadi gangguan kelistrikan pada neuron dan akson. Cidera primer

disebabkan oleh trauma yang melingkar. Cidera primer dapat dimungkinkan

karena stress mekanis yang menyertai adanya kompresi, kontusi dari

segmen tulang, ligamen, dan pendarahan pada canalis spinalis. Mekanisme

yang bertanggung jawab atas terjadinya spinal cord injury adalah hilangnya

aligment tulang yang normal pada waktu tertentu. Dengan adanya dislokasi

perpindahan posisi tulang dapat menyebabkan distrupsi pada ligamen

sehingga dapat mengakibatkan kompresi pada medulla spinalis. 11

Cidera pada medulla spinalis baik berupa adanya pergeseran fragmen tulang

belakang, diskus maupun adanya kerobekan ligamen dapat mengakibatkan

kerusakan microvasculer bahkan pembuluh darah di sekitar haringan yang

26 Universitas Indonesia
terkena trauma. Kerusakan pada pembuluh darah diikuti dengan proses

peradangan yang disertai dengan pembengkakkan pada spinal cord. Adanya

edema pad spinal cord menyebabkan penurunan aliran darah dan oksigen.

Apabila suplai oksigen dan aliran darah dibiarkan terus menerus maka akan

menimbulkan ischemic. Ischemic yang terjadi adanya hambatan dan

kerusakan pada arteri utama sehingga mempengaruhi proses perfusi dan

juga disebabkan karena mikro sirkulasi yang tidak lancar. Penurunan

volume darah dapat mengakibatkan penderita mengalami penderira

mengalami systemic hypotension oleh karena hilangnya regulasi otonom

karena ischemia. Kongesti yang berlebihan pada vena dapat mengakibatkan

ruptur vena. Ruptur mengakibatka pendarahan yang hebat pada grey motor,

dan mengalami spinal shock. Spinal shock berlangsung beberapa hari

bahkan beberapa minggu dengan gejala awal seperti hilangnya fungsi sel-

sel saraf medulla spinalis di bawah lesi, hilangnya reflek, flaccid. Pada akhir

pemulihan spinal shock maka akan menjadi spastik. 11

B. Transversa Myelitis

Hingga saat ini, para peneliti tidak dapat menentukan secara pasti penyebab

ATM. Satu teori utama yang menyebabkan ATM adalah imun memediasi

inflamasi sebagai hasil akibat terpapar dengan antigen viral (3).

Pada kasus ATM post infeksi, mekanisme sistem immun baik pada viral

atau infeksi bakteri tampaknya berperan penting dalam menyebabkan

kerusakan saraf spinal. Walaupun peneliti belum mengetahui secara tepat

mekanisme kerusakan saraf spinal. Rangsangan sistem immun sebagai

27 Universitas Indonesia
respon terhadap infeksi menunjukkan bahwa suatu reaksi autoimun yang

bertanggung jawab. Molekuler mimikri dari viral dapat menstimulasi

generasi antibodi yang dapat memberikan reaksi silang dengan antigennya

sendiri, menghasilkan formasi imun kompleks dan aktivasi dari

complement-mediated atau cellmediated yang dapat menimbulkan injury

terhadap jaringannya sendiri. Infeksi juga dapat menyebabkan kerusakan

langsung jaringan saraf tulang belakang (3,11).

Pada penyakit autoimun, sistem imun yang secara normal melindungi tubuh

terhadap organisme, melakukan kesalahan dengan menyerang jaringan

tubuh sendiri yang menyebabkan inflamsi dan pada beberapa kasus merusak

mielin medulla spinalis.

ATM juga terdapat pada beberapa penyakit autoimun seperti systemic lupus

erythematosus, Sindrom Sjogren's, dan sarcoidosis (11). Beberapa kasus

ATM disebabkan oleh malformai arteri-vena spinalis (kelainan yang

merubah aliran darah) atau penyakit vaskuler seperti atherosklerosis yang

menyebabkan iskemik. Sehingga menurunkan kadar oksigen pada jaringan

medulla spinalis. Iskemik dapat disebabkan perdarahan (hemorragik) dalam

medulla spinalis, pembuluh darah yang menyumbat atau sempit, atau faktor

lainnya. Pembuluh darah membawa oksigen dan nutrisi ke jaringan medulla

spinalis dan membuang hasil metabolisme. Saat pembuluh darah tersumbat

atau menyempit dan tidak dapat membawa sejumlah oksigen ke jaringan

medulla spinalis. Saat area medulla spinalis menjadi kekurangan oksigen

atau iskemik. Sel dan serabut saraf mulai mengalami perburukan secara

28 Universitas Indonesia
cepat. Kerusakan ini menyebabkan inflamasi yang luas kadang - kadang

menyebabkan ATM (11).

Ketika TM timbul tanpa penyakit penyerta yang tampak, hal ini

diasumsikan untuk menjadi idiopatik. TM idiopatik diasumsikan untuk

sebagai hasil dari aktivasi abnormal sistem imun melawan medulla spinalis

(11).

Makroskopis pada medulla spinalis yang mengalami peradangan akan

tampak edema, hiperemi dan pada kasus berat terjadi perlunakan

(mielomalasia) (3). Mikroskopis akan tampak pada leptomening tampak

edema, pembuluh – pembuluh darah yang melebar dengan infiltrasi

perivaskuler dan pada medulla spinalis tampak pembuluh darah yang

melebar dengan infiltrasi perivaskuler (limfosit/leukosit) di substansia

grisea dan alba. Tampak pula kelainan degeneratif pada sel - sel ganglia,

pada akson – akson dan pada selubung mielin, disamping itu tampak adanya

hiperplasia dari mikroglia. Traktus – traktus panjang disebelah atas atau

bawah daripada segemen yang sakit dapat memperlihatkan kelainan –

kelainan degeneratif (3).

29 Universitas Indonesia
G. Manifestasi Klinis
Kompresi medula spinalis menimbulkan gejala: nyeri yang terlokalisir

atau menyebar, paresis atau paraplegia, gangguan fungsi defekasi dan

berkemih, kehilangan kontrol sfinkter dan disfungsi seksual. Manifestasi

klinik bervariasi tergantung tingkat cedera, derajat syok spinal, fase dan

derajat pemulihan.6

Sedangkan efek Spinal Cord Injury (SCI) tidak komplit akan

menunjukkan karakteristik berdasarkan area medula spinalis yang mengalami

gangguan baik sentral lateral, anterior atau perifer. 6

Tingkat Efek cedera

cedera

C1-C3 Quadriplegia, paralisis diafragma, kelemahan atau paralisis

otot aksesori, paralisis otot interkostal dan abdominal

C4-C5 Quadriplegia, menurunnya kapasitas paru, diafragma

mungkin mengalami paralisis/kelemahan, paralisis

interkostal dan abdominal, ketergantungan total dalam

aktivitas sehari-hari

C6-C7 Quadriplegia, fungsi difragma baik, beberapa gerakan

tangan memungkinkan untuk melakukan sebagian aktivitas

sehari-hari.

C7-C8 Quadriplegia dengan keterbatasan menggunakan jari

tangan, kemandirian meningkat

T1-T6 Kelemahan/paralisis interkostal, paralisis otot abdomen

30 Universitas Indonesia
T7-T12 Kelemahan/paralisis otot abdominal

L1-L2 dan Paraplegia dengan fungsi tangan masih baik, kehilangan

atau di fungsi sensorik dan motorik, kehilangan fungsi defekasi dan

bawahnya berkemih

Tabel 3. 1 Efek cedera berdasarkan tingkat Spinal Cord Injury (SCI)

Sumber : Ardiwqblog.blogspot.co.id

Lokasi lesi Manifestasi

Sentral (sindrom Defisit motorik pada ekstremitas atas

medula pusat) dibandingkan ekstremitas bawah, kehilangan

sensori bervariasi tetapi lebih berat pada

ekstremitas atas. Disfungsi defekasi dan

Gambar 3. 1 Spinal Cord

Sumber : Management of Spinal Cord Injury, 2008

31 Universitas Indonesia
berkemih bervariasi, atau fungsi defekasi dan

berkemih masih dipertahankan.

Anterior (sindrom Kehilangan sensasi nyeri dan fungsi motorik di

medula anterior) bawah lesi; sentuhan ringan, posisi dan sensasi

vibrasi tetap utuh.

Lateral (sindrom Paralisis ipsi lateral atau paresis, bersamaan

Brown-sequard) dengan kehilangan sensasi raba, tekanan dan

getaran ipsilateral dan kehilangan sensasi nyeri

dan suhu kontralateral.

Posterior (sindrom Kehilangan sensasi getaran dan propriosepsi,

medula posterior) dan hanya kehilangan sebagian dari sensasi

sentuhan ringan.

Tabel 3. 2 Manifestasi Klinik Spinal Cord Injury (SCI) Berdasarkan Lokasi Lesi

Sumber : Ardiwqblog.blogspot.co.id

32 Universitas Indonesia
H. Prognosa Spinal Cord Injury

Pasien dengan Spinal Cord Injury (SCI) komplet hanya mempunyai

harapan untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi

selama 72 jam, maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian

fungsi sensorik masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk dapat

berjalan kembali sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita Spinal Cord

Injury (SCI) dapat sembuh dan mandiri. 20

1. Sumsum tulang belakang memiliki kekuatan regenerasi yang sangat

terbatas.

2. Pasien dengan complete cord injurymemiliki kesempatan recovery yang

sangat rendah, terutama jika paralisis berlangsung selama lebih dari 72

jam.

3. Prognosis jauh lebih baik untukincomplete cord syndromes.

4. Prognosis untuk cervical spine fractures and dislocationssangat

bervariasi, tergantung pada tingkat kecacatan neurologis

5. Prognosis untuk defisit neurologis tergantung pada besarnya

kerusakansaraf tulang belakang pada saat onset.

6. Selain disfungsi neurologis, prognosis juga ditentukan oleh

pencegahandan keefektifan pengobatan infeksi - misalnya, pneumonia,

dan infeksi saluran kemih.

7. Secara umum, sebagian besar individu mendapatkan kembali beberapa

fungsi motorik, terutama dalam enam bulan pertama, meskipun

mungkinada perbaikan lebih lanjut yang perlu diamati diamati di tahun

akan datang.

33 Universitas Indonesia
I. Teknologi / intervensi fisioterapi pada Penatalaksanaan Fisioterapi
untuk Meningkatkan Kemampuan Transfer Pada Kasus Kelumpuhan
Kedua Tungkai et Causa Myelitis TB AIS B

1. Resistance Exercise
Suatu bentuk latihan kontraksi otot dinamik atau statik dengan
menggunakan tahanan yang berasal dari external force.
a. Resistance Exercise terdiri atas Manual resistance exercise
dan Mechanical resistance exercise
1) Tujuan dan Indikasi Resistance Exercise :
Umum : meningkatkan fungsi fisik
Spesifik :
a) Meningkatkan kekuatan (strength)
b) Meningkatkan daya tahan otot (muscular
endurance)
c) Meningkatkan tenaga (power)
2) Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan
resistance exercise :
a) Kondisi cardiovaskuler
b) Kelelahan
c) Pemulihan dari kelelahan
d) Kerja yang berlebihan
e) Gerakan-gerakan substitusi
f) Osteoporosis
g) Nyeri otot
3) Kontra indikasi resistance exercise
a) Inflamasi
b) Nyeri
4) Tipe-Tipe Resistance Exercise:
a) Isotonic Resistance Exercise
b) Isokinetic Resistance Exercise
c) Isometrik Resistance Exercise

34 Universitas Indonesia
2. Transfer dan Ambulasi

a. Definisi
Transfer adalah suatu pola gerakan dimana terjadi perubahan posisi
pasien.Contohnya : dari posisi tidur ke duduk di tepi tempat tidur, dari
posisi duduk ke berdiri. Terdapat beberapa media untuk membantu
pasien untuk melakukan transfer salah satunya yaitu Transfer Board.
Transfer Board yaitu merupakan solusi bagi pengguna kursi roda untuk
berpindah dari kursi roda ke suatu tempat lainnya. Alat ini berbentuk
seperti papan yang dilengkapi dengan fitur yang memudahkan pengguna
untuk berpindah dengan hanya menggeser pinggang mereka saja.
Sebagai contoh perpindahan bisa dilakukan dari kursi roda ke kursi
mobil, ke sofa, ke tempat tidur dan tempat lainnya.
Ambulasi adalah perpindahan pasien dari suatu tempat ke tempat
lainnya dengan adanya jarak yang ditempuh. Contohnya berjalan.
b. Tujuan dan Manfaat
1) Mencegah dampak immobilisasi pasca operasi meliputi: sistem
integumen; kerusakan integritas kulit seperti abrasi, sirkulasi darah
yang lambat yang menyebabkan terjadinya atrofi otot dan perubahan
turgor kulit, system kardiovaskuler; penurunan kardiak reserve,
mengurangi depresi.
2) Mengurangi perubahan tingkah laku.
3) Memperbaiki perubahan siklus tidur
4) Perubahan kemampuan pemecahan masalah.
c. Alat yang digunakan
Banyak alat yang tersedia untuk membantu ketidakmampuan pasien
melaksanakan ambulasi. Jenis dari alat dipilih dan lamanya waktu untuk
menggunakan alat tersebut tergantung pada ketidakmampuannya.
Terlebih dahulu terapis harus menentukannya apakah kekuatan otot
pasien cukup dan mengkoordinasikannya dengan program ambulasi.
Alat bantu yang digunakan untuk ambulasi adalah:
1) Wheel Chair atau Kursi Roda

35 Universitas Indonesia
Merupakan salah satu alat ambulasi pertama untuk seseorang
ketika mengalami permasalahan pada ekstremitas bawah. Indikasi
penggunaan wheel chair adalah Seseorang dengan terlalu lemah
endurance secara keseluruhan (terlalu lama tirah baring), upper
extremitas dan sitting balance baik tapi masalahnya pada
strengthening balance dan koordinasi, balance dan koordinasi baik
tetapi endurance lower extremitas lemah (paraplegi, para parese).
Jenis-jenis wheelchair :
a) Wheelchair manual
Kursi roda manual digerakkan dengan tangan si pemakai dan
biasa digunakan untuk semua kegiatan. Memiliki bobot
antara 21 – 24 kg dan bisa dilipat. Kursi roda manual ada dua
macam yaitu model standard dan model reclining.
b) Model standard adalah yang paling umum dipakai oleh
pasien di Rumah Sakit maupun di rumah. Bentuk dan
modelnya sangat sederhana serta pada bagian sandarannya
tidak dapat direbahkan.
c) Model reclining sering disebut juga dengan kursi roda rebah.
Fungsinya memudahkan pasien untuk menyandarkan
kepalanya agar dapat duduk lebih nyaman. Pada bagian
sandaran punggung bisa direbahkan dengan kemiringan ±
145°-180° sesuai dengan kebutuhan pasien, begitu juga
dengan bagian kaki yang dapat dinaik-turunkan. Model
reclining biasa digunakan oleh pasien penderita stroke atau
pasien yang mempunyai kelemahan / masalah pada bagian
punggung. Karena ada bagian-bagian tertentu yang bisa
diatur, maka untuk pasien yang menjalani therapy khusus
bisa memilih kursi roda reclining ini.
d) Wheelchair elektrik
Kursi roda elektrik adalah yang digerakkan dengan tenaga
battery atau listrik. Model ini biasa disebut juga motorized
wheel chair dan sering dilengkapi dengan remote control.

36 Universitas Indonesia
Baik yang manual maupun yang elektrik memiliki fungsi
yang sama, namun model elektrik memiliki lebih banyak
fitur.
d. Pelaksanaan Ambulasi

Ambulasi yang aman memerlukan keseimbangan dan kekuatan yang


cukup untuk menopang berat badan dan menjaga postur. Berikut ini
diuraikan beberapa tahapan ambulasi yang diterapkan pada pasien:

1) Perambulation

bertujuan untuk mempersiapkan otot untuk berdiri dan berjalan


yang dipersiapkan lebih awal ketika pasien bergerak dari tempat
tidur.

2) Sitting balance yaitu membantu pasien untuk duduk disisi tempat


tidur. Aktivitas ini seharusnya dilakukan 2 atau 3 kali sehari selama
10 sampai 15 menit, kemudian dilatih untuk turun dari tempat tidur
dengan bantuan

3) Standing balance yaitu melatih berdiri dan mulai berjalan.


Perhatikan waktu tanda-tanda vital, apakah pasien mengalami
pusing atau lemas akibat hipotensi ortostatik.

3. Delorme Exercise

a. Sejarah Delorme Exercise


Pada 26 Februari 1955. Dr. Thomas Lanier De-Lorme mengemban
tugas pada Gardiner General Army Hospital di Chicago. DeLormme
adalah seorang letnan baru Armys Medical Corps, yang bertugas pada
bagian orthopedi. Dia menyadari bahwa pentingnya menemukan
metode yamg lebih cepat dalam merehabilitasi pasien di tempat tidur
mereka saat masa perang. Biasanya pasien rehabilitasi pada masa itu
menghabiskan 6-9 bulan pada terapi post operasi.
DeLorme memberitahukan kepada Kawalek idenya mengenai
latihan beban yang bisa di lakukan untuk merehabilitasi pada pasien

37 Universitas Indonesia
cidera , menurut kawalek, delorme mengatakan dia tau kalau idenya itu
berlawanan dengan metode terapi konvensional, namun delorme
berfikir bahwa kurangnya kekuatan adalah faktor penting pada proses
penyembuhan cidera. Setelah itu kawalek sukarela untuk bereksperimen
dengan delorme.
Kekuatan otot adalah sebuah istilah untuk menggambarkan
kemampuan jaringan kontraktil untuk memproduksi tegangan dan
sebuah akumulasi gaya yang berdasarkan pada tempat otot itu berada.
Lebih spesifik, kekuatan otot merupakan gaya terukur yang dapat
digunakan otot atau grup otot untuk menahan beban selama satu kali
usaha maksimal. Untuk peningkatan kekuatan otot tipe otot yang
distimulasi adalah jenis tipe otot II (phasic) yaitu vastus lateralis, vastus
medialis, vastus intermedius.

Adapun ciri-ciri dari tipe otot phasic, yaitu :


1) Memerlukan ATP yang rendah
2) Memerluka creatin phosphate yang tinggi
3) Sistem energi nya menggunakan anaerobic
4) Indeks kelelahan nya rendah.
Jenis-jenis latihan, khususnya latihan yang menggunakan beban
dapat menimbulkan peningkatan yang besar dan cepat pada kekuatan
otot. Peningkatan kekuatan pada tahap awal ini dapat terjadi pada orang
terlatih setelah pemberian latihan selama 4 minggu. Latihan yang tidak
dilakukan secara rutin atau tidak dilanjutkan kembali akan
menyebabkan penurunan kekuatan otot pada otot yang terkait. Oleh
karena itu pada latihan strengthening diperlukan waktu yang cukup lama
dan dibutuhkan konsistensi dalam latihan untuk melihat perkembangan
peningkatan pada kekuatan otot.
Metode ini disebut juga heavy resistance exercise, namun
belakangan ini dikenal dengan progressive resistance Exercise (PRE)
dengan menggunakan pendekatan latihan strengthening .
b. Prosedur pelaksanaan:

38 Universitas Indonesia
1) Tentukan kontrol beban sebesar 10 RM
2) Klien melakukan :
a) 10 kali pengulangan dengan beban ½ dari 10 RM.
b) 10 kali pengulangan dengan beban ¾ dari 10 RM.
c) 10 kali pengulangan dengan beban 10 RM penuh.
Setiap sesi dari latihan tersebut diselingi oleh istirahat singkat.

c. Efek yang terjadi pada latihan De Lorme.


Latihan metode De Lorme sebagai suatu jenis latihan strengthening
akan menggunakan prinsip-prinsip untuk meningkatkan kekuatan otot.
Oleh karena prinsip yang digunakan adalah prinsip-prinsip latihan
strengthening, yaitu overload dan specificity, maka efek yang terjadi
pada metode ini akan sama seperti pada adaptasi akibat latihan
strengthening /resistance exercise.
Latihan ini menggunakan pen-dekatan seperti pada fase warm-up
karena beban yang digunakan ber-tingkat dari beban rendah ke tinggi,
yaitu dari ½ dari 10 RM, ¾ dari 10 RM, sampai full 10 RM.
Warm-up atau sering disebut dengan pre-elimenary exercise
merupakan aktifitas fisik yang membantu mempersiapkan perfor-mance
latihan baik secara psikologis maupun fisiologis dan juga berfungsi
untuk mengurangi resiko cidera pada sendi maupun otot.
Efek psikologis pada warm-up akan mempengaruhi mental
seseorang sebelum melakukan latihan karena dengan mental yang siap
maka lebih mudah meningkatkan skill dan koordinasi . Warm-up juga
akan mem-pengaruhi fisiologis dari performance latihan itu sendiri
karena akan meningkatkan aliran darah, otot dan temperatur. Selain itu
pada warm-up juga akan terjadi perubahan – peru-bahan seperti di
bawah ini :
1) Meningkatkan kecepatan kontraksi dan relaksasi otot.
2) Meningkatkan gerakan karena ketahanan kekentalan pada otot
menurun.

39 Universitas Indonesia
3) Menfasilitasi penggunaan oksigen oleh otot karena hemoglobin
mele-paskan oksigen lebih cepat pada temperatur tinggi
4) Memfasilitasi transmisi nerve/saraf dan memetabolisme otot pada
temperatur tinggi. Pada spesific warm-up akan memfasilitasi
recruitmen motor unit yang diperlukan dalam aktifitas beri-kutnya.
5) Meningkatkan aliran darah pada seluruh jaringan yang aktif seperti
pada lokal vaskularisasi akibat dilatasi pada metabolisme pada
level yang lebih tinggi dan temperatur otot.
Warm-up secara bertahap akan meningkatkan temperatur dan kemampuan
otot tanpa menye-babkan fatigue atau mengurangi cadangan energi

40 Universitas Indonesia

Vous aimerez peut-être aussi