Vous êtes sur la page 1sur 14

LAPORAN PENDAHULUAN

INTRA CEREBRAL HEMATOMA


A. Definisi
Hematoma intraserebral adalah perdarahan yang terjadi di dalam jaringan
otak. Hematoma intraserbral pasca traumatik merupakan koleksi darah fokal yang
biasanya diakibatkan cedera regangan atau robekan rasional terhadap pembuluh-
pembuluh darah intraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera penetrans.
Ukuran hematoma ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai beberapa
centimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera.
Pada CT scan kepala akan memperlihatkan gambaran daerah hiperdens yang
homogen dan berbatas tega. Di daerah lesi akan disertai edema perifokal. Apabila
massa hiperdedens pada CT scan kepala tersebut berdiamater kurang dari 2/3
diamater lesi, maka keadaan ini disebut kontusio.

Gambar 1. CT Scan hematoma intraserebral


B. Etiologi
Hematoma intraserebral dapat disebabkan oleh :
- Trauma kepala
- Hipertensi
- Malformasi arteriovenosa.
- Aneurisme
- Terapi antikoagulan
- Diskrasia darah
C. Klasifikasi
Klasifikasi hematoma intraserebral menurut letaknya:
- Hematom supratentorial
- Hematom serbeller
- Hematom pons-batang otak
D. Gejala klinis.
Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip
dengan hematoma ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada puncaknya tampak
setelah 2-4 hari pasca cedera. Namun, dengan adanya pemeriksaan CT scan
diagnosisnya dapat ditegakkan lebih cepat. Kriteria diagnosis hematoma supra
tentorial adalah nyeri kepala mendadak penurunan tingkat kesadaran dalam waktu
24-48 jam. Tanda fokal yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut:
- Hemiparesis / hemiplegi
- Hemisensorik
- Hemi anopsia homonim
- Parese nervus III
Kriteria diagnosis hematoma serebeller adalah sebagai berikut:
- Nyeri kepala akut
- Penurunan kesadaran
- Ataksia
- Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial
Kriteria diagnosis hematoma pons batang otak adalah sebagai berikut:
- Penurunan kesadaran koma
- Tetraparesa
- Respirasi irreguler
- Pupil pint point
- Pireksia
- Gerakan mata diskonjugat
A. Diagnosis Banding
a. Hematoma subdural
Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara
duramater dan arakhnoid. Secara klinis hematoma subdural akut sukar
dibedakan dengan hematoma epidural yang berkembang lambat. Bisa di
sebabkan oleh trauma hebat pada kepala yang menyebabkan bergesernya seluruh
parenkim otak mengenai tulang sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya di
sertai dengan perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan hematoma
subdural, tampak penumpukan cairan ekstraaksial yang hiperdens berbentuk
bulan sabit.

Gambar 2. Hematom subdural


b. Subarakhnoid hematoma
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh
darah di dalam subarachnoid.
Gambar 3. Subarakhnoid hematom
3. Hematoma epidural
Hematoma epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak
dengan duramater (dikenal dengan istilah hematom ekstradural). Hematoma
jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier
yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri-arteri meningens ( a.
meningea media ). Fraktur tengkorak yang menyertai dijumpai pada 8% – 95%
kasus, sedangkan sisanya (9%) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri
tanpa ada fraktur (terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang
terjadi hanya sementara). Hematoma epidural yang berasal dari perdarahan vena
lebih jarang terjadi.

B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Foto kranium
Peranan foto rontgen kranium banyak diperdebatkan manfaatnya,
meskipun beberapa rumah sakit melakukannya secara rutin. Selain indikasi
medik, foto rontgen kranium dapat dilakukan atas dasar indikasi legal/hukum.
Foto kranium bermanfaat sebagai screening sebelum pasien di lakukan CT scan.
Foto rontgen kranium biasa (AP dan lateral) umumnya dilakukan pada keadaan:
- Defisit neurologis fokal
- Liquorrhoe
- Dugaan trauma tembus/fraktur impresi
- Hematoma luas di daerah kepala

b. CT scan kepala
CT scan adalah gold standard investigasi radiologi trauma kapitis.
Perdarahan akut bisa divisualisasi dengan mudah. Begitu juga parenkim otak dan
struktur tulang. Pasien suspek patologis intrakranial harus dilakukan CT scan
secepat mungkin setelah stabil. Untuk kasus akut, penilaian dengan CT scan
lebih berguna ketimbang MRI. Tetapi MRI bisa digunakan pada fase subakut
atau kronik karena lebih sensitif untuk mendeteksi cedera difus.
Perdarahan intracranial dapat dideteksi melalui pemeriksaan CT scan
kepala, di mana prosedurnya sederhana, tidak invasif, dan hasilnya lebih akurat.
CT scan harus dilakukan bila didapati fraktur, udara intracranial, atau pergeseran
glandula pineal dari midline. CT scan kepala dapat dilakukan pada keadaan:
- Dugaan perdarahan intracranial
- Perburukan kesadaran
- Dugaan fraktur basis cranii
- Kejang

C. DIAGNOSIS
a. Anamnesis7
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan. Adanya
riwayat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu
ditemukan. Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya
jatuh dari tangga, jatuh di kamar mandi atau sehabis bangun tidur, harus
dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena
keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya. Jatuh
kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.
Anamnesis yang lebih terperinci meliputi:
- Sifat kecelakaan
- Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit
- Ada tidaknya benturan kepala langsung
- Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat
diperiksa
Bila pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak
sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk
mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan
oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan
(hilang/turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung/disorientasi
(kesadaran berubah).

b. Indikasi Perawatan7
Pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit bila tedapat gejala atau tanda
sebagai berikut:
- Perubahan kesadaran saat diperiksa
- Fraktur tulang tengkorak
- Terdapat defisit neurologik
- Kesulitan menilai kesadaran pasien, misalnya pada anak, riwayat minum
alkohol, pasien tidak kooperatif
Pasien yang diperbolehkan pulang harus dipesan agar kembali ke rumah
sakit bila timbul gejala sebagai berikut:
- Mengantuk, sulit dibangunkan
- Disorientasi, kacau
- Nyeri kepala yang hebat, muntah, demam
- Rasa lemah, kelumpuhan, penglihatan kabur
- Kejang, pingsan
- Keluar darah/cairan dari hidung, telinga

c. Klasifikasi Trauma Kapitis 9,10


Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis, dikenal
tiga jenis klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya, dan morfologi.

Tabel 1. Klasifikasi trauma kapitis


Klasifikasi Jenis Keterangan
Mekanisme - Tumpul (tertutup)  Kecepatan tinggi (tabrakan
(berdasarkan mobil)
adanya  Kecepatan rendah (dipukul,
penetrasi - Tembus (penetrans) jatuh)
duramater)
 Luka tembak
 Cedera tembus lain
Beratnya - Ringan (mild head injury)  GCS 14-15
(berdasarkan - Sedang (moderate head injury)  GCS 9-13
skor GCS) - Berat (severe head injury)  GCS 3-8
Morfologi - Fraktur tengkorak:
 Kalvaria  Garis (linier) vs bintang (stelata)
 Depresi/non depresi

 Dasar tengkorak (basilar)  Terbuka/tertutup


 Dengan/tanpa kebocoran LCS
 Dengan/tanpa paresis N.VII
- Lesi intrakranial:
 Fokal  Epidural
 Subdural
 Intraserebral

 Difus  Konkusi ringan


 Konkusi multipel
 Hipoksia/iskemik

D. PENATALAKSANAAN TRAUMA KAPITIS


Hal terpenting yang pertama kali dinilai pada cedera kepala adalah status
fungsi vital dan status kesadaran. Ini harus dilakukan sesegera mungkin bahkan
mendahului anamnesis. Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal
terpenting yang dinilai adalah: 7 ,9,10,11
- Jalan nafas (airway) dengan stabilisasi servikal
Jalan napas diinspeksi segera untuk memastikan patensi dan segera
identifikasi segala penyebab obstruksi (benda asing, serpihan fraktur,
gangguan trakea-laring, cedera tulang servikal). Jika penderita dapat
berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat.
Jika terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas yang umumnya sering
terjadi pada penderita yang tidak sadar yang dapat terjadi karena adanya
benda asing, lendir atau darah, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur
tulang wajah, maka jalan nafas harus segera dibersihkan. Usaha untuk
membebaskan jalan napas harus hati-hati, bila ada riwayat/dugaan trauma
sevikal harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu
tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari
leher. Kontrol servikal harus dipertahankan karena pasien dengan
multitrauma harus dianggap juga mendapat cedera leher hingga
pemeriksaan radiologi menyatakan sebaliknya. Chin lift dan jaw thrust
adalah metode awal menyokong patensi jalan napas yang secara otomatis
melindungi vertebra servikal.

- Pernapasan (breathing) dan ventilasi


Ketika patensi jalan napas telah terjaga, kemampuan pasien bernapas
segera dinilai. Fungsi normal paru, dinding dada, dan diafragma
dibutuhkan untuk ventilasi dan pertukaran gas. Auskultasi, inspeksi, dan
palpasi akan membantu menentukan adanya tension pneumothorax, open
pneumothorax, massive hemothorax, atau flail chest karena kontusio
pulmo. Kompresi dengan jarum, penempatan chest tube, atau intubasi
endotracheal mungkin diperlukan untuk memastikan ventilasi yang
adekuat. Dilakukan ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh hasil
analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap
FiO2. Tindakan hiperventilasi dilakukan pada penderita cedera kepala
berat yang menunjukkan perburukan neurologis akut (GCS menurun
secara progresif atau terjadi dilatasi pupil). PCO2 harus dipertahankan
antara 25-35 mmHg.
- Nadi dan tekanan darah (circulation) dan kontrol perdarahan
Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya shock,
terutama bila terdapat trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax,
trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah
yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala
awal peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut
disebabkan oleh hematoma epidural. Adanya hipotensi merupakan
petunjuk bahwa telah terjadi kehilangan darah yang cukup berat, walaupun
tidak selalu tampak jelas. Hipotensi memiliki efek berbahaya bagi pasien
cedera kepala karena membahayakan tekanan perfusi otak dan berperan
dalam timbulnya edema dan iskemia otak. Hipotensi sekunder karena
perdarahan bisa terjadi karena trauma tajam maupun tumpul. Perdarahan
luar bisa diidentifikasi dengan cepat dan diatasi dengan penekanan
langsung secara manual. Tourniquet harus dihindari karena bisa
menyebabkan iskemi distal. Hipotensi tanpa perdarahan luar harus
diasumsikan sebagai perdarahan interna karena cedera intraabdomen,
intratorakal, fraktur pelvis atau tulang panjang. Pasien hipotensi
hipovolemik biasanya menunjukkan penurunan kesadaran karena aliran
darah ke otak berkurang, nadi cepat, kulit pucat dan lembab.
- Dissabilitas dan penilaian status neurologi
Seperti halnya semua pasien trauma, prioritas pertama pada pasien
trauma kapitis adalah ABC. Dilanjutkan dengan survey primer dan
sekunder. Penilaian fungsi neurologi diindikasikan dengan Glasgow Coma
Scale (GCS) dan reaksi pupil dilakukan setelah kardiopulmoner stabil.
Cara penilaian status kesadaran dengan melakukan pemeriksaan GCS
dan fungsi pupil (lateralisasi dan refleks pupil). Pupil adalah barometer
penting pada pasien koma. Bila cahaya mengenai retina, terjadi impuls
yang berjalan ke nervus optikus, kemudian ke nucleus pretectalis, lalu ke
nucleus edinger-westphal dan kembali ke saraf parasimpatis yang akan
mengkonstriksikan pupil. Batas normal pupil adalah 3-5 mm. Pupil
midriasis yang tidak berespon terhadap rangsang cahaya mengindikasikan
herniasi transtentorial pada uncus ipsilateral di lobus temporal media yang
menekan dan menginaktivasi serat pupillokonstriktor pada perifer n.III. CT
scan dibutuhkan untuk mengidentifikasi lesi massa yang mungkin bisa
diatasi pada pasien. Tetapi, tetap harus diingat, pupil yang terfiksir dan
melebar juga bisa terjadi karena trauma langsung orbita dan isinya.
- Eksposure
Penting untuk memeriksa pasien secara menyeluruh sehingga bisa
seluruh bagian tubuh bisa dinilai dan diagnosa cedera bisa ditegakkan.

G. TERAPI MEDIKAMENTOSA
a. Cairan Intravena
Prinsip manajemen trauma kapitis adalah mempertahankan perfusi
serebral yang adekuat dengan menjaga tekanan atau bahkan menaikkan tekanan
darah. Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita
tetap dalam keadaan normovolemia, jangan beri cairan hipotonik. Penggunaan
cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hipoglikemia yang
berakibat buruk pada otak yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi
adalah larutan garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium serum juga
harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya edema otak.3 Strategi terbaik
adalah mempertahankan volume intravaskular normal dan hindari
hipoosmolalitas, dengan cairan isotonik. Saline hipertonik bisa digunakan untuk
mengatasi hiponatremia yang bisa menyebabkan edema otak.8

b. Hiperventilasi
Hiperventilasi segera adalah tindakan life saving yang bisa mencegah atau
menunda herniasi pada pasien yang mengalami trauma kapitis parah. Gol
tindakan ini adalah menurunkan PCO2 ke rentang 30-35 mmHg. Hiperventilasi
akan menurunkan ICP dengan menyebabkan vasokonstriksi serebri; dengan
onset efek dalam 30 detik. Hiperventilasi menurunkan ICP sekitar 25% pada
rata-rata pasien; jika pasien tidak berespon terhadap intervensi ini, prognosisnya
secara umum adalah buruk. Hiperventilasi berkepanjangan tidak dianjurkan
karena bisa menyebabkan vasokonstriksi dan iskemi. Hiperventilasi profilaksis
juga tidak dianjurkan. Hiperventilasi hanya dilakukan pada pasien trauma kapitis
parah yang mengalami penurunan neurologis atau menunjukkan tanda herniasi.8
Selain itu, hiperventilasi dapat membantu menekan metabolisme anaerob,
sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya asidosis.7

c. Manitol7,11,12
Jika pasien tidak berespon terhadap intubasi dan hiperventilasi dan ada
kecurigaan hematom ekstra-aksial maupun herniasi, penggunaan diuretika
osmotik, seperti manitol atau HTS, harus dipertimbangkan. Indikasi penggunaan
agen osmotik adalah deteriorasi neurologis yang akut seperti terjadi koma,
dilatasi pupil, pupil anisokor, hemiparesis, atau kehilangan kesadaran saat pasien
dalam observasi.3. Manitol dipilih sebagai drug of choice dengan HTS sebagai
alternatif. Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat.3 Sediaan
yang tersedia biasanya berupa cairan dengan konsentrasi 20%, dengan dosis
0,25-1 g/kgBB. Manitol mengurangi edem serebri dengan menciptakan gradient
osmotis yang akan menarik cairan dari jaringan ke intravascular untuk kemudian
dikeluarkan melalui diuresis.1 Efek osmosis terjadi dalam hitungan menit dan
mencapai puncak sekitar 60 menit setelah bolus dimasukkan. Efek penurunan
ICP bolus tunggal manitol bertahan sekitar 6-8 jam. 3 Dosis tinggi manitol tidak
boleh diberikan pada penderita yang hipotensi karena manitol adalah diuretik
osmotik yang poten dan akan memperberat hipovolemia.3 HTS pada konsentrasi
3,1%-23% digunakan untuk merawat pasien yang menderita trauma kapitis dan
kenaikan ICP. HTS menyebabkan penyebaran volume plasma, mengurangi
vasospasme, dan mengurangi respon inflamasi pascatrauma. HTS bermanfaat
pada trauma kapitis yang terjadi pada anak dan edem serebri.

d. Furosemid (Lasix)
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK.3 Dosis yang
biasa diberikan adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara bolus intravena.3 Furosemid
tidak boleh diberikan pada penderita dengan hipotensi karena akan memperberat
hipovolemia.3

e. Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk untuk menurunkan TIK yang refrakter
terhadap obat-obatan lain. Barbiturat bekerja dengan cara “membius" pasien
sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya
kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak
relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun
suplai oksigen berkurang.1 Hipotensi sering terjadi pada penggunaan barbiturat.
Oleh karena itu, obat ini tidak diindikasikan pada fase akut resusitasi.11
f. Antikonvulsan
Kejang pasca trauma terjadi pada sekitar 12% pasien trauma kepala
tumpul dan 50% trauma kepala penetrasi. Kejang pasca trauma bukan prediksi
epilepsi tetapi kejang dini bisa memperburuk secondary brain injury dengan
menyebabkan hipoksia, hiperkarbia, pelepasan neurotransmitter, dan
peningkatan ICP.9 Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengan insiden epilepsi
pasca trauma, yaitu kejang awal yang terjadi pada minggu pertama, perdarahan
intrakranial, atau fraktur depresif. Penelitan menunjukkan, pemberian
antikonvulsan bermanfaat mengurangi kejang dalam minggu pertama setelah
cedera namun tidak setelah itu. Namun penelitian lain menyebutkan,
penggunaan antikonvulsan tidak mengurangi risiko serangan kejang secara
bermakna. Penggunaan obat antiepilepsi profilaksis pada trauma kapitis akut
dilaporkan menurunkan risiko kejang sekitar 66%, walau profilaksis kejang dini
tidak mencegah kejang pasca trauma. Tujuan terapi antiepilepsi adalah untuk
mencegah akibat tambahan yang disebabkan trauma.12 Kejang harus dihentikan
dengan segera karena kejang yang berlangsung lama (30-60 menit) dapat
menyebabkan cedera otak sekunder.3 Benzodiazepine dipilih sebagai first-line
antikonvulsan. Lorazepam (0.05-0.15 mg/kg IV, tiap 5 menit hingga total 4 mg)
sangat efektif menggagalkan serangan epilepsy. Pillihan lain adalah diazepam.
Untuk antikonvulsan jangka panjang, fenitoin atau fosfenitoin bisa diberikan.11

H. TERAPI KONSERVATIF
Keadaan di bawah ini memerlukan pengelolaan medik konservatif,
karena pembedahan tidak akan membawa hasil lebih baik. Kriteria trauma
kapitis yang hanya memerlukan penatalaksanaan konservatif adalah sebagai
berikut:13
- Fraktura basis kranii - ditandai adanya memar biru hitam pada kelopak mata
- Racoon eyes atau memar diatas prosesus mastoid (battle’s sign) dan atau
kebocoran cairan serebrospinalis yang menetes dari telinga atau hidung.
- Comotio cerebri - ditandai dengan gangguan kesadaran temporer
- Fraktura depresi tulang tengkorak - dimana mungkin ada pecahan tulang
yang
- Menembus dura dan jaringan otak
- Hematoma intraserebral - dapat disebabkan oleh kerusakan akut atau
progresif akibat contusio.
Pada hematoma intraserebral yang luas dapat ditatalaksana dengan
hiperventilasi, manitol dan steroid dengan monitorong tekanan intrakranial
sebagai usaha untuk menghindari pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk
hematom masif yang luas dan pasien dengan kekacauan neurologis atau adanya
elevasi tekanan intrakranial karena terapi medis.

I. TERAPI OPERATIF
Operasi di lakukan bila terdapat:
- Volume hematoma > 25 ml
- Keadaan pasien memburuk
- Pendorongan garis tengah > 5 mm
Penanganan darurat dengan dekompresi dengan trepanasi sederhana
(burr hole). Dilakukan kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma. Indikasi
operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional
saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi
emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini disebabkan oleh lesi desak ruang.
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
- > 25 cc  desak ruang supra tentorial
- > 10 cc  desak ruang infratentorial
- > 5 cc  desak ruang thalamus
Indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan
- Penurunan klinis
- Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif
- Tebal hematoma epidural > 1 cm dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif.

J. KOMPLIKASI
a. Koagulopati
Besarnya angka kejadian koagulopati pada pasien trauma kepala
sudah diketahui dengan jelas. Investigasi pada anak-anak yang mengalami
trauma kepala, menunjukkan hasil bahwa 71% nya memiliki clotting test
yang abnormal dan 32% nya mengalami sindrom disseminated
intravascular coagulation and fibrinolysis (DICF).
b. Tromboemboli
Pasien dengan trauma kepala memiliki resiko tinggi deep venous
thrombosis (DVT) dan pulmonary embolism (PE). Berdasarka penelitian,
didapatkan 4.3% pasien dengan trauma kepala didiagnosa DVT.

K. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada:
- Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
- Besarnya
- Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik,
karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian
berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk
pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi.
Pada hematoma intraserebral, dapat terjadi mortalitas 20%-30% , bisa
sembuh tanpa defisit neurologis, atau sembuh dengan defisit neurologis.
Menentukan keluaran dan prognosis dari cedera kepala sangat sulit. Terlambatnya
penanganan awal/resusitasi, pengangkutan/transport yang tidak adekuat, dikirim
ke rumah sakit yang tidak adekuat, terlambatnya dilakukan tindakan bedah dan
adanya cedera multiple yang lain merupakan faktor-faktor yang memperburuk
prognosis penderita cedera kepala.

Vous aimerez peut-être aussi