Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Foto kranium
Peranan foto rontgen kranium banyak diperdebatkan manfaatnya,
meskipun beberapa rumah sakit melakukannya secara rutin. Selain indikasi
medik, foto rontgen kranium dapat dilakukan atas dasar indikasi legal/hukum.
Foto kranium bermanfaat sebagai screening sebelum pasien di lakukan CT scan.
Foto rontgen kranium biasa (AP dan lateral) umumnya dilakukan pada keadaan:
- Defisit neurologis fokal
- Liquorrhoe
- Dugaan trauma tembus/fraktur impresi
- Hematoma luas di daerah kepala
b. CT scan kepala
CT scan adalah gold standard investigasi radiologi trauma kapitis.
Perdarahan akut bisa divisualisasi dengan mudah. Begitu juga parenkim otak dan
struktur tulang. Pasien suspek patologis intrakranial harus dilakukan CT scan
secepat mungkin setelah stabil. Untuk kasus akut, penilaian dengan CT scan
lebih berguna ketimbang MRI. Tetapi MRI bisa digunakan pada fase subakut
atau kronik karena lebih sensitif untuk mendeteksi cedera difus.
Perdarahan intracranial dapat dideteksi melalui pemeriksaan CT scan
kepala, di mana prosedurnya sederhana, tidak invasif, dan hasilnya lebih akurat.
CT scan harus dilakukan bila didapati fraktur, udara intracranial, atau pergeseran
glandula pineal dari midline. CT scan kepala dapat dilakukan pada keadaan:
- Dugaan perdarahan intracranial
- Perburukan kesadaran
- Dugaan fraktur basis cranii
- Kejang
C. DIAGNOSIS
a. Anamnesis7
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan. Adanya
riwayat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu
ditemukan. Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya
jatuh dari tangga, jatuh di kamar mandi atau sehabis bangun tidur, harus
dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena
keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya. Jatuh
kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.
Anamnesis yang lebih terperinci meliputi:
- Sifat kecelakaan
- Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit
- Ada tidaknya benturan kepala langsung
- Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat
diperiksa
Bila pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak
sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk
mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan
oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan
(hilang/turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung/disorientasi
(kesadaran berubah).
b. Indikasi Perawatan7
Pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit bila tedapat gejala atau tanda
sebagai berikut:
- Perubahan kesadaran saat diperiksa
- Fraktur tulang tengkorak
- Terdapat defisit neurologik
- Kesulitan menilai kesadaran pasien, misalnya pada anak, riwayat minum
alkohol, pasien tidak kooperatif
Pasien yang diperbolehkan pulang harus dipesan agar kembali ke rumah
sakit bila timbul gejala sebagai berikut:
- Mengantuk, sulit dibangunkan
- Disorientasi, kacau
- Nyeri kepala yang hebat, muntah, demam
- Rasa lemah, kelumpuhan, penglihatan kabur
- Kejang, pingsan
- Keluar darah/cairan dari hidung, telinga
G. TERAPI MEDIKAMENTOSA
a. Cairan Intravena
Prinsip manajemen trauma kapitis adalah mempertahankan perfusi
serebral yang adekuat dengan menjaga tekanan atau bahkan menaikkan tekanan
darah. Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita
tetap dalam keadaan normovolemia, jangan beri cairan hipotonik. Penggunaan
cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hipoglikemia yang
berakibat buruk pada otak yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi
adalah larutan garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium serum juga
harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya edema otak.3 Strategi terbaik
adalah mempertahankan volume intravaskular normal dan hindari
hipoosmolalitas, dengan cairan isotonik. Saline hipertonik bisa digunakan untuk
mengatasi hiponatremia yang bisa menyebabkan edema otak.8
b. Hiperventilasi
Hiperventilasi segera adalah tindakan life saving yang bisa mencegah atau
menunda herniasi pada pasien yang mengalami trauma kapitis parah. Gol
tindakan ini adalah menurunkan PCO2 ke rentang 30-35 mmHg. Hiperventilasi
akan menurunkan ICP dengan menyebabkan vasokonstriksi serebri; dengan
onset efek dalam 30 detik. Hiperventilasi menurunkan ICP sekitar 25% pada
rata-rata pasien; jika pasien tidak berespon terhadap intervensi ini, prognosisnya
secara umum adalah buruk. Hiperventilasi berkepanjangan tidak dianjurkan
karena bisa menyebabkan vasokonstriksi dan iskemi. Hiperventilasi profilaksis
juga tidak dianjurkan. Hiperventilasi hanya dilakukan pada pasien trauma kapitis
parah yang mengalami penurunan neurologis atau menunjukkan tanda herniasi.8
Selain itu, hiperventilasi dapat membantu menekan metabolisme anaerob,
sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya asidosis.7
c. Manitol7,11,12
Jika pasien tidak berespon terhadap intubasi dan hiperventilasi dan ada
kecurigaan hematom ekstra-aksial maupun herniasi, penggunaan diuretika
osmotik, seperti manitol atau HTS, harus dipertimbangkan. Indikasi penggunaan
agen osmotik adalah deteriorasi neurologis yang akut seperti terjadi koma,
dilatasi pupil, pupil anisokor, hemiparesis, atau kehilangan kesadaran saat pasien
dalam observasi.3. Manitol dipilih sebagai drug of choice dengan HTS sebagai
alternatif. Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat.3 Sediaan
yang tersedia biasanya berupa cairan dengan konsentrasi 20%, dengan dosis
0,25-1 g/kgBB. Manitol mengurangi edem serebri dengan menciptakan gradient
osmotis yang akan menarik cairan dari jaringan ke intravascular untuk kemudian
dikeluarkan melalui diuresis.1 Efek osmosis terjadi dalam hitungan menit dan
mencapai puncak sekitar 60 menit setelah bolus dimasukkan. Efek penurunan
ICP bolus tunggal manitol bertahan sekitar 6-8 jam. 3 Dosis tinggi manitol tidak
boleh diberikan pada penderita yang hipotensi karena manitol adalah diuretik
osmotik yang poten dan akan memperberat hipovolemia.3 HTS pada konsentrasi
3,1%-23% digunakan untuk merawat pasien yang menderita trauma kapitis dan
kenaikan ICP. HTS menyebabkan penyebaran volume plasma, mengurangi
vasospasme, dan mengurangi respon inflamasi pascatrauma. HTS bermanfaat
pada trauma kapitis yang terjadi pada anak dan edem serebri.
d. Furosemid (Lasix)
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK.3 Dosis yang
biasa diberikan adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara bolus intravena.3 Furosemid
tidak boleh diberikan pada penderita dengan hipotensi karena akan memperberat
hipovolemia.3
e. Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk untuk menurunkan TIK yang refrakter
terhadap obat-obatan lain. Barbiturat bekerja dengan cara “membius" pasien
sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya
kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak
relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun
suplai oksigen berkurang.1 Hipotensi sering terjadi pada penggunaan barbiturat.
Oleh karena itu, obat ini tidak diindikasikan pada fase akut resusitasi.11
f. Antikonvulsan
Kejang pasca trauma terjadi pada sekitar 12% pasien trauma kepala
tumpul dan 50% trauma kepala penetrasi. Kejang pasca trauma bukan prediksi
epilepsi tetapi kejang dini bisa memperburuk secondary brain injury dengan
menyebabkan hipoksia, hiperkarbia, pelepasan neurotransmitter, dan
peningkatan ICP.9 Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengan insiden epilepsi
pasca trauma, yaitu kejang awal yang terjadi pada minggu pertama, perdarahan
intrakranial, atau fraktur depresif. Penelitan menunjukkan, pemberian
antikonvulsan bermanfaat mengurangi kejang dalam minggu pertama setelah
cedera namun tidak setelah itu. Namun penelitian lain menyebutkan,
penggunaan antikonvulsan tidak mengurangi risiko serangan kejang secara
bermakna. Penggunaan obat antiepilepsi profilaksis pada trauma kapitis akut
dilaporkan menurunkan risiko kejang sekitar 66%, walau profilaksis kejang dini
tidak mencegah kejang pasca trauma. Tujuan terapi antiepilepsi adalah untuk
mencegah akibat tambahan yang disebabkan trauma.12 Kejang harus dihentikan
dengan segera karena kejang yang berlangsung lama (30-60 menit) dapat
menyebabkan cedera otak sekunder.3 Benzodiazepine dipilih sebagai first-line
antikonvulsan. Lorazepam (0.05-0.15 mg/kg IV, tiap 5 menit hingga total 4 mg)
sangat efektif menggagalkan serangan epilepsy. Pillihan lain adalah diazepam.
Untuk antikonvulsan jangka panjang, fenitoin atau fosfenitoin bisa diberikan.11
H. TERAPI KONSERVATIF
Keadaan di bawah ini memerlukan pengelolaan medik konservatif,
karena pembedahan tidak akan membawa hasil lebih baik. Kriteria trauma
kapitis yang hanya memerlukan penatalaksanaan konservatif adalah sebagai
berikut:13
- Fraktura basis kranii - ditandai adanya memar biru hitam pada kelopak mata
- Racoon eyes atau memar diatas prosesus mastoid (battle’s sign) dan atau
kebocoran cairan serebrospinalis yang menetes dari telinga atau hidung.
- Comotio cerebri - ditandai dengan gangguan kesadaran temporer
- Fraktura depresi tulang tengkorak - dimana mungkin ada pecahan tulang
yang
- Menembus dura dan jaringan otak
- Hematoma intraserebral - dapat disebabkan oleh kerusakan akut atau
progresif akibat contusio.
Pada hematoma intraserebral yang luas dapat ditatalaksana dengan
hiperventilasi, manitol dan steroid dengan monitorong tekanan intrakranial
sebagai usaha untuk menghindari pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk
hematom masif yang luas dan pasien dengan kekacauan neurologis atau adanya
elevasi tekanan intrakranial karena terapi medis.
I. TERAPI OPERATIF
Operasi di lakukan bila terdapat:
- Volume hematoma > 25 ml
- Keadaan pasien memburuk
- Pendorongan garis tengah > 5 mm
Penanganan darurat dengan dekompresi dengan trepanasi sederhana
(burr hole). Dilakukan kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma. Indikasi
operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional
saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi
emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini disebabkan oleh lesi desak ruang.
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
- > 25 cc desak ruang supra tentorial
- > 10 cc desak ruang infratentorial
- > 5 cc desak ruang thalamus
Indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan
- Penurunan klinis
- Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif
- Tebal hematoma epidural > 1 cm dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif.
J. KOMPLIKASI
a. Koagulopati
Besarnya angka kejadian koagulopati pada pasien trauma kepala
sudah diketahui dengan jelas. Investigasi pada anak-anak yang mengalami
trauma kepala, menunjukkan hasil bahwa 71% nya memiliki clotting test
yang abnormal dan 32% nya mengalami sindrom disseminated
intravascular coagulation and fibrinolysis (DICF).
b. Tromboemboli
Pasien dengan trauma kepala memiliki resiko tinggi deep venous
thrombosis (DVT) dan pulmonary embolism (PE). Berdasarka penelitian,
didapatkan 4.3% pasien dengan trauma kepala didiagnosa DVT.
K. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada:
- Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
- Besarnya
- Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik,
karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian
berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk
pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi.
Pada hematoma intraserebral, dapat terjadi mortalitas 20%-30% , bisa
sembuh tanpa defisit neurologis, atau sembuh dengan defisit neurologis.
Menentukan keluaran dan prognosis dari cedera kepala sangat sulit. Terlambatnya
penanganan awal/resusitasi, pengangkutan/transport yang tidak adekuat, dikirim
ke rumah sakit yang tidak adekuat, terlambatnya dilakukan tindakan bedah dan
adanya cedera multiple yang lain merupakan faktor-faktor yang memperburuk
prognosis penderita cedera kepala.