Vous êtes sur la page 1sur 42

PRESENTASI KASUS

KETOASIDOSIS DIABETIK
PNEUMONIA DEXTRA, AKI STAGE II

Disusun oleh :
Agnes Indah Nugraheni G4A015143

Pembimbing :
dr. Pugud Samodro, Sp.PD

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS:
KETOASIDOSIS DIABETIK
PNEUMONIA DEXTRA, AKI STAGE II

Pada tanggal, Februari 2017

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


program profesi dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh :
Agnes Indah Nugraheni
G4A015143

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Pugud Samodro, Sp. PD


NIP. 19670526 200312 1 001
BAB I

PENDAHULUAN

Ketoasidosis diabetikum (KAD) tidak memiliki suatu definisi yang


disetujui secara universal dan beberapa usaha telah dilakukan untuk mengatasi
permasalahan ini dengan menggunakan kriteria kadar beta-hidroksibutirat
plasma. American Diabetes Association (ADA) mendefinisikan KAD sebagai
suatu trias yang terdiri dari hiperglikemia, asidosis, dan ketonemia.
Selanjutnya, KAD sebagai keadaan diabetes tidak terkontrol berat disertai
dengan konsentrasi keton tubuh >5 mmol/L yang membutuhkan penanganan
darurat menggunakan insulin dan cairan intravena. Keterbatasan dalam
ketersediaan pemeriksaan kadar keton darah membuat American Diabetes
Association (ADA) menyarankan penggunaan pendekatan yang lebih
bermanfaat, KAD dicirikan dengan asidosis metabolik (pH <7,3), bikarbonat
plasma <15 mmol/L, glukosa plasma >250 mg/dL, dan hasil carik celup plasma
(≥ +) atau urin (++) (Kitabchi, 2009).
Insidens tahunan ketoasidosis diabetikum (KAD) pada pasien diabetes
mellitus tipe 1 antara 1-5%, berdasarkan beberapa studi yang dilakukan di
Eropa dan Amerika Serikat dan nampaknya konstan dalam beberapa dekade
terakhir di negara-negara barat. Namun demikian studi epidemiologi terbaru
memperkirakan insidens total tampaknya mengalami tren meningkat, terutama
disebabkan oleh karena peningkatan kasus diabetes mellitus tipe 2. Laju
insidens tahunan KAD diperkirakan antara 4.6 sampai 8 per 1000 pasien dengan
diabetes. Sedangkan insidens diabetes mellitus tipe 2 sendiri di Indonesia,
diperkirakan berkisar antara 6-8% dari total penduduk (Williams, 2003).
Hospitalisasi oleh karena ketoasidosis diabetikum (KAD) juga
nampaknya meningkat dari tahun ke tahun dan kini meliputi 4% sampai 9% dari
indikasi perawatan pasien diabetes mellitus. Jumlah hospitalisasi pasien
diabetes mellitus dengan KAD di Amerika Serikat meningkat dari 62.000 per
tahun pada 1980 menjadi 115.000 pada tahun 2003. Namun, bila diperhatikan
lebih jauh terlihat bahwa peningkatan jumlah tersebut tidak diikuti oleh
peningkatan laju insidens per 1000 pasien diabetes yang menunjukkan adanya

1
pengendalian yang lebih baik untuk komplikasi akut diabetes mellitus (CDC,
2005).
Ketoasidosis diabetikum (KAD) lebih banyak mengenai pasien diabetes
mellitus tipe 1 yang manifestasi klinisnya timbul pada usia remaja, namun tetap
lebih banyak terjadi pada saat pasien tersebut menginjak usia dewasa. Laju
mortalitas sama seperti insidens nampaknya juga mengalami penurunan dari
waktu ke waktu, berdasarkan studi terhadap populasi diabetes di Amerika
Serikat. Sedangkan secara absolut jumlahnya tidak berubah dari tahun ke tahun
yakni berkisar antara 1772 kematian pada tahun 1980 dan 1871 pada tahun
2001. Hal ini menandakan adanya perawatan yang semakin baik dan merata
pada pasien dengan KAD. Laju mortalitas KAD pada pusat-pusat perawatan
terkemuka nampaknya tidak mengalami perubahan yang bermakna yakni
kurang dari 5%, hasil ini diamati secara konsisten pada rumah sakit rujukan
maupun primer. Peningkatan laju mortalitas dapat diamati pada pasien- pasien
berusia lanjut dan atau dengan penyakit penyerta yang berat (Newton, 2004).

2
BAB II
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. Khadirin


Umur : 34 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Karangsari RT 02/06 Karangmoncol,
Purbalingga
Tanggal Masuk IGD : 02 Februari 2017
Tanggal Pemeriksaan : 07 Februari 2017

B. ANAMNESIS
1. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
a. Keluhan Utama : sesak nafas
b. Onset : sejak 3 hari SMRS
c. Keluhan tambahan : mual, muntah, demam naik turun, batuk
berdahak, badan lemes
Sesak nafas dirasakan sejak kurang lebih 3 hari SMRS. Keluhan sesak
nafas dirasa semakin memberat sehingga pasien langsung di bawa ke RS.
Sesak dirasakan terus-menerus dan tidak hilang dengan posisi duduk
maupun istirahat. Pasien juga mengeluhkan mual, muntah setiap makan,
demam dan batuk berdahak. Keluhan demam dirasa naik turun, suhu naik
terutama saat sore hari menjelang malam hari. Keluhan batuk berdahak
dirasa sudah lama yaitu kurang lebih sekitar 1 bulan, terkadang dahak
berwarna kemerahan. Namun keluhan batuk berdahak tidak terlalu
diperhatikan pasien karena batuk berdahak dirasa hilang timbul. Pasien
memiliki riwayat penyakit DM sudah sejak tahun 2015, namun keluarga
pasien berkata bahwa pasien jarang kontrol dan hanya minum obat-obatan
tablet dan tidak pernah memakai obat yang disuntik. Keluarga pasien juga
menyatakan bahwa pasien pernah menderita TB namun sudah sembuh.

3
Keluarga pasien juga menyatakan bahwa pasien pernah dirawat di RSMS
karena kurang gula atau hipoglikemi.

2. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat penyakit gula : diakui
e. Riwayat penyakit asma : disangkal
f. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
g. Riwayat penyakit paru : diakui (Post TB)

3. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat penyakit gula : disangkal
e. Riwayat penyakit asma : disangkal
f. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
h. Riwayat penyakit paru : disangkal

4. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI


a. Community
Pasien tinggal di lingkungan yang padat penduduk. Rumah satu
dan rumah lainnya berdekatan. Hubungan pasien dengan keluarga
dan tetangga baik.
b. Home
Rumah pasien berdinding tembok. Pasien tinggal bersama kedua
orang tuanya dan kakaknya.

4
c. Personal Habbit
Pasien jarang kontrol ke Puskesmas dan hanya minum obat oral
setelah diketahui menderita DM. Pola makan pasien tidak terkontrol.
Pasien tidak menjaga pola makan dengan baik.
d. Occupation
Pasien adalah seorang wiraswasta.
e. Drug and diet
Pasien hanya minum obat-obatan oral, diet pasien tidak
terkontrol.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan tanggal 7 Februari 2017
- Keadaan Umum : tampak sesak
- Kesadaran : compos mentis
- Vital Sign
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 104x/menit, reguler
RR : 30x/menit
Suhu : 36,7 0C
- Antopometri
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 50 kg
IMT : 18.37
- Status Generalis
Kepala : Mesocephal, simetris, tidak terdapat venektasi
temporal, rambut hitam, tidak mudah di cabut,
distribusi merata
Mata : Reflek cahaya (+/+), isokor Ø 4 mm, Conjungtiva
tidak anemis, sklera tidak ikterik, eksoftalmus (-)
Hidung : Tidak terdapat nafas cuping hidung dan discharge
Telinga : Tidak terdapat discharge, hiperemis, deformitas
Tidak terdapat nyeri tekan

5
Mulut : Bibir dan lidah tidak sianosis, bau nafas aseton (-),
nafas kussmaul (-)
Leher : Pembesaran (-), JVP 5+2 cm
- Status Lokalis
Pulmo
Inspeksi : Hemithorax dextra = sinistra
Palpasi : Vocal Fremitus dextra = sinistra
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru, batas paru hepar
di SIC V LMCD
Auskultasi : SD Vesiculer +/+, ronki basah kasar +/-, ronki
basah halus -/-, wheezing -/-
Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak, Pulsasi epigastrium (-),
pulsasi parasternal (-)
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Redup
Batas Jantung:
Kanan atas : SIC II LPSD
Kiri atas : SIC II LPSS
Kanan bawah : SIC IV LPSD
Kiri bawah : SIC V 2 jari lateral LMCS
Auskultasi : S1 > S2, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Perkusi : timpani (+)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar dan lien tidak terdapat
pembesaran
Ekstrimitas
Superior : edema (-), tremor (-), sianosis (-), akral hangat (+)
Inferior : edema (-), tremor (-), sianosis (-), akral hangat (+)

6
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Tanggal 02 Februari 2017
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Darah Lengkap
Hb 11.3 gr/dL 11.2 - 17.3
Leukosit H 20590 /ul 3800 - 10600
Hematokrit L 36 % 40 -52
Eritrosit 4.4 106/ul 4.4 - 5.9
Trombosit 391.000 /ul 150.000 - 440.000
MCV 80.7 fL 80 - 100
MCH L 25.7 Pg 26 - 34
MCHC L 31.8 % 32 - 36
RDW H 16.0 % 11.5 - 14.5
MPV 10.5 fL 9.4 - 12.4
Hitung Jenis
Basofil 0.6 % 0-1
Eosinofil L 0.0 % 2-4
Batang L 0.8 % 3-5
Segmen H 89.1 % 50 - 70
Limfosit L 5.1 % 25 - 40
Monosit 4.4 % 2-8
Kimia klinik
GDS H 747 mg/dL ≤ 200
Elektrolit
Natrium 135 mmol/L 134 - 146
Kalium H 5.5 mmol/L 3.4 - 4.5
Klorida L 88 mmol/L 96 – 108
Kreatinin H 2.78 mg/dL 0.70-1.30
Ureum H 101.5 mg/dL 14.98 – 38.52

7
Tanggal 03 Februari 2017
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Kimia Klinik
GDS (02.18) H 659 mg/dL ≤ 200
GDS (06.52) H 547 mg/dL ≤ 200
GDS (07.04) H 523 mg/dL ≤ 200
GDS (07.04) H 305 mg/dL ≤ 200

Tanggal 03 Februari 2017


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Kimia Klinik
Fungsi hati
Protein total 6.69 gr/dl 6.4 - 8.2
Albumin L 2.62 gr/dl 3.4 - 5.0
Globulin H 4.07 gr/dl 2.7 - 3.2
GDS H 202 mg/dL ≤ 200
(18.03)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
URIN
Urin Lengkap
Makroskopis Urin
Warna urin Kuning Kng muda-kng tua
Kejernihan Keruh Jernih
Bau Khas Khas
Kimia Urin
Berat jenis 1.020 1.010 - 1.030
pH 6.0 4.6 - 7.8
Lekosit Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein 30 mg/dL Negatif
Glukosa 250 mg/dL Normal
Keton 15 mg/dL Negatif
Urobilinogen Normal Normal
Bilirubin Negatif Negatif

8
Eritrosit 50 /uL Negatif
Mikroskopis Urin
Eritrosit 5-6 /LPB Negatif
Leukosit 0-2 /LPB Negatif
Sel epitel 2-3 /LPB Negatif
Silinder hyalin Negatif /LPB Negatif
Silinder lilin Negatif /LPK Negatif
Granuler halus Negatif /LPK Negatif
Granuler kasar Negatif /LPK Negatif
Kristal Negatif /LPK Negatif
Bakteri +1 /LPK Negatif
Trichomonas Negatif Negatif
Jamur Negatif Negatif

Tanggal 04 Februari 2017


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Kimia Klinik
GDS ≤ 200
H 377 mg/dL
(00.14)
GDS ≤ 200
H 433 mg/dL
(00.44)
GDS H 457 mg/dL ≤ 200
GDS H 279 mg/dL ≤ 200
GDS H 197 mg/dL ≤ 200

Tanggal 05 Februari 2017


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Kimia Klinik
GDS(00.14 ≤ 200
H 205 mg/dL
)
GDS ≤ 200
H 117 mg/dL
(00.15)
GDS ≤ 200
H 44 mg/dL
(00.16)
GDS ≤ 200
H 231 mg/dL
(00.20)

9
GDS ≤ 200
H 331 mg/dL
(07.29)

Tanggal 06 Januari 2017


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan

Kimia Klinik

GDS ≤ 200
H 211 mg/dL
(10.46)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan


Darah Lengkap
Hb LS
L 9.1 gr/dL 11.2 - 17.3
Leukosit 9470 /ul 3800 - 10600
Hematokrit L 26 % 40 -52
Eritrosit 3.6 106/ul 4.4 - 5.9
Trombosit 197.000 /ul 150.000 - 440.000
MCV L 73.0 fL 80 - 100
MCH L 25.6 Pg 26 - 34
MCHC 35.0 % 32 - 36
RDW H 16.0 % 11.5 - 14.5
MPV L 9.2 fL 9.4 - 12.4
Hitung Jenis
Basofil 0.2 % 0-1
Eosinofil L 1.2 % 2-4
Batang L 0.5 % 3-5
Segmen H 79.4 % 50 - 70
Limfosit L 11.2 % 25 - 40
Monosit 7.5 % 2-8
Kimia Klinik
SGOT 16 /uL 15-37
SGPT 20 /uL 16-63
Asam Urat H 88 Mg/dL 3.5-7.2

10
Tanggal 07 Februari 2017
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan

Kimia Klinik

GDS 307 mg/dL < 200


(07.09)

Tanggal 8 Februari 2017 - HCU


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan

Kimia Klinik

GDS H 675 mg/dL < 200


(19.33)
Elektrolit

Natrium L 129 mmol/L 134-146


Kalium L 2.6 mmol/L 3.4-4.5
Klorida L 94 Mmoll/L 96-108
Kalsium L 5.7 mg/dL 8.5-10.1

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan

Kimia Klinik

GDS 111 mg/dL < 200


(19.34)

Tanggal 9 Februari 2017


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Kimia Klinik
GDS < 200
H 560 mg/dL
(24.00)

11
2. EKG

Interpretasi :
Sinus tachycardia with occasional premature ventricular complexes.
3. Foto Thorax
Hasil pemeriksaan foto thorax tanggal 2 Februari 2017

12
Interpretasi :
- Apek pulmo bilateral tampak tenang
- Corakan vaskuler pulmo meningkat kasar
- Tampak opasitas inhomogen di lapang atas dan tengah pulmo dextra
- Tampak infiltrate paracardial
- Tak tampak nodul, fibrotic maupun kalsifikasi
- Sinus costofrenicus dextra sinistra lancip
- Diafragma dextra et sinistra licin tak mendatar
- Cor : CTR = 0.48
- Sistema tulang intact tak tampak lesi litik maupun sklerotik pada foto
saat ini
Kesan :
Bronchopneumonia
Besar cor dalam batas normal
Sistema tulang yang tervisualisasi baik
E. DIAGNOSA
1. Ketoasidosis Diabetik
2. Pneumonia Dextra
3. AKI Stage II

F. TATALAKSANA
1. Ketoasidosis Diabetik
a. Diagnosis:
1) Pemeriksaan Laboratorium
Cek kadar darah rutin, GDS, Urin lengkap
2) Pemeriksaan Radiologis
Foto thoraks
3) Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiogram (EKG)
b. Terapi
- Diet DM Lunak
- O2 4 lpm NK

13
- Inf NaCl 0.9% 30 tpm
- Inj novorapid 3x14 U SC
- Inj levemir 18-0-0
- Drip ondansentron 3x1 Amp
c. Monitoring: keluhan, keadaan umum, vital sign, GDS
d. Edukasi:
1) Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang penyakit, prognosa,
dan pengobatan.
2) Penjelasan mengenai diet pada pasien dengan Diabetes Mellitus
e. Prognosis: dubia ad malam
2. Pneumonia Dextra
a. Diagnosis:
1) Pemeriksaan laboratorium:
Cek darah lengkap, Kimia klinik
2) Pemeriksaan radiologis
Foto thoraks
b. Terapi
- O2 4 lpm NK
- IVFD NaCl 0.9% 30 tpm
- Inj ciprofloxacin 2x200 mg
- Inj ceftazidin 2x1 gr
- Inj ranitidine 2x500 mg
- Nebulizer Ventolin : flixotide /12 jam
c. Monitoring: vital sign, keluhan.
d. Edukasi: Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang penyakit,
prognosa dan pengobatan.
e. Prognosis: dubia ad bonam
3. AKI Stage II
a. Diagnosis:
3) Pemeriksaan laboratorium:
Cek darah lengkap, Kimia klinik (Serum Creatinin, Ureum)
4) Pemeriksaan radiologis

14
USG Ginjal
b. Terapi
- O2 4 lpm NK
- Loading NaCl 0.9% 1 kolf
c. Monitoring: vital sign, keluhan, kadar ureum dan creatinin
d. Edukasi: Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang penyakit,
prognosa dan pengobatan.
e. Prognosis: dubia ad bonam

15
HASIL FOLLOW UP PASIEN SELAMA DI RUMAH SAKIT

Ruangan/ Perkembangan Terapi yang Assesment


Tanggal diberikan
IGD S: Pasien datang ke IGD - Inf NaCl 0.9% -Observasi
02-02-2017 RSMS dengan keluhan loading 1000 cc dispneu susp
Pkl 20.10 sesak nafas sejak +/- 3 lanjut 20 tpm CAP
hari yang lalu dan - Inj ranitidine 2x50 -DM
semakin memberat. mg IV -CKD
Pasien juga mengeluh - Inj Ondansentron
mual , muntah, demam 3x4 mg IV
dan batuk berdahak. -Konsul ke dr.
O: KU/Kes : sesak/CM Andreas, Sp.PD
Vital sign : mendapatkan
TD = 100/70 mmHg instruksi :
N = 110x/menit, -Inj Ceftazidim 2x1
reguler gr
RR = 30x/menit - Loading NaCl
S = 36,5 0C 0.9% 1 Kolf
- Sliding scale per 6
jam
Mata: CA-/- SI-/-
-Terapi lanjut
Leher: tidak teraba
-Cek UL
massa, JVP
- Drip insulin 0.5 cc
5+2cmH2O
per jam via syr
Pulmo : SD Ves +/+,
pump
Rbk +/-, Rbh -/-, Wh -/-
- Kalau bisa rawat
Cor: teraba SIC V 2 jari
HCU
lat LMCS. S1>S2,
regular, M(-), G(-)
Abdomen: datar,
BU+Normal. Tidak
terdapat nyeri tekan
Ekstrimitas: edema
-/-/-/-, akral hangat
+/+/+/+

Mawar S: Pasien dipindahkan ke - Inf NaCl 0.9% KAD,


03-02-2017 Mawar. Pasien - Inj ranitidine 2x50 Pneumonia
Pkl 05.00 mengeluhkan masih mg IV Dextra,
sesak, mual, muntah - Inj Ondansentron AKI Stage II
(-), lemas, tidak makan 3x4 mg IV
dan minum sejak - Inj ceftazidin 2x1
kemarin. gr
O : KU/Kes : sedang/CM - drip insulin 0.5 cc
Vital sign : /jam via syr pump
TD = 100/60 mmHg
N = 84x/menit,

16
reguler
RR = 28x/menit
S = 36,7 0C

Mata: CA-/- SI-/-


Leher: tidak teraba
massa, JVP
5+2cmH2O
Pulmo : SD Ves +/+,
Rbk +/-, Rbh -/-, Wh -/-
Cor: teraba SIC V 2 jari
lat LMCS. S1>S2,
regular, M(-), G(-)
Abdomen: datar,
BU+Normal. Tidak
terdapat nyeri tekan
Ekstrimitas: edema
-/-/-/-, akral hangat
+/+/+/+
Mawar S : Pasien mengeluhkan - Diet DM Lunak KAD,
04-02-2017 lemas, mual – mual, - IVFD NaCl 0.9% Pneumonia
Pkl 05.00 muntah (-), batuk sejak - Inj ciprofloksasin Dextra,
kemarin, dan kepala 2x200 mg AKI Stage II
pusing. - Inj ranitidine
O : KU/Kes : sedang/CM 2x500 mg
Vital sign : - drip ondansentron
TD = 120/80 mmHg 3x4 mg
N = 80x/menit, - Inj ceftazidin 2x1
reguler gr
RR = 20x/menit - drip insulin 5
S = 37.1 0C IU/Jam via syr
pump
- Inj novorapid 3x10
Mata: CA-/- SI-/-
SC
Leher: tidak teraba
massa, JVP
5+2cmH2O
Pulmo : SD Ves +/+,
Rbk +/-, Rbh -/-, Wh -/-
Cor: teraba SIC V 2 jari
lat LMCS. S1>S2,
regular, M(-), G(-)
Abdomen: datar,
BU+Normal. Tidak
terdapat nyeri tekan
Ekstrimitas: edema
-/-/-/-, akral hangat
+/+/+/+

17
Mawar S: Pasien mengeluhkan - Diet DM Lunak KAD,
05-02-2017 sesak nafas, masih - IVFD NaCl 0.9% Pneumonia
Pkl 08.00 mual dan masih batuk. - Inj ciprofloksasin Dextra,
O : KU/Kes : sedang/CM 2x200 mg AKI Stage II
Vital sign : - Inj ranitidine
TD = 120/80 mmHg 2x500 mg
N = 94x/menit, - drip ondansentron
reguler 3x4 mg
RR = 26x/menit - Inj ceftazidin 2x1
S = 37.1 0C gr
- drip insulin 5
IU/Jam via syr
Mata: CA-/- SI-/-
pump
Leher: tidak teraba
- Inj novorapid 3x10
massa, JVP
SC
5+2cmH2O
- Rawat HCU
Pulmo : SD Ves +/+,
(Antrian no. 3)
Rbk +/-, Rbh -/-, Wh -/-
Cor: teraba SIC V 2 jari
lat LMCS. S1>S2,
regular, M(-), G(-)
Abdomen: datar,
BU+Normal. Tidak
terdapat nyeri tekan
Ekstrimitas: edema
-/-/-/-, akral hangat
+/+/+/+
Mawar : S : Pasien masih - Diet DM Lunak KAD,
06-02-2017 mengeluhkan lemas, -O2 4 lpm NK Pneumonia
Pkl 06.00 mual – mual, muntah - IVFD NaCl 0.9% Dextra,
(-), batuk (+), pusing. - Inj ciprofloksasin AKI Stage II
O : KU/Kes : sedang/CM 2x200 mg
Vital sign : - Inj ranitidine
TD = 120/80 mmHg 2x500 mg
N = 86x/menit, - drip ondansentron
reguler 3x4 mg
RR = 24x/menit - Inj ceftazidin 2x1
S = 36 0C gr
- drip insulin 5
IU/Jam via syr
Mata: CA-/- SI-/-
pump
Leher: tidak teraba
- Inj novorapid 3x14
massa, JVP
SC
5+2cmH2O
- Inj levemir 14-0-0
Pulmo : SD Ves +/+,
-Nebulizer Ventolin
Rbk +/-, Rbh -/-, Wh -/-
/12 jam
Cor: teraba SIC V 2 jari
-Konsul dr. Indah,
lat LMCS. S1>S2,
Sp.P
regular, M(-), G(-)
Jawaban :

18
Abdomen: datar, KAD, CAP DD TB
BU+Normal. Tidak Saran :
terdapat nyeri tekan -Cek Sputum 3x,
Ekstrimitas: edema SGOT, SGPT, Cek
-/-/-/-, akral hangat ulang DL
+/+/+/+
Mawar S : Pasien mengeluhkan - Diet DM Lunak KAD,
07-02-2017 sesak semakin -O2 4 lpm NK Pneumonia
Pkl 06.00 memberat. - IVFD NaCl 0.9% Dextra,
O : KU/Kes : sesak/CM - Inj ciprofloksasin AKI Stage II
Vital sign : 2x200 mg
TD = 130/80 mmHg - Inj ranitidine
N = 104x/menit, 2x500 mg
reguler - drip ondansentron
RR = 30x/menit 3x4 mg
S = 36.7 0C - Inj ceftazidin 2x1
gr
- Inj novorapid 3x14
Mata: CA-/- SI-/-
SC
Leher: tidak teraba
- Inj levemir 0-0-18
massa, JVP
-Nebulizer Ventolin
5+2cmH2O
/12 jam
Pulmo : SD Ves +/+,
- Loading NS I
Rbk +/-, Rbh -/-, Wh -/-
Flabot
Cor: teraba SIC V 2 jari
lat LMCS. S1>S2,
regular, M(-), G(-)
Abdomen: datar,
BU+Normal. Tidak
terdapat nyeri tekan
Ekstrimitas: edema
-/-/-/-, akral hangat
+/+/+/+
Mawar S : Pasien mengeluhkan - Diet DM Lunak KAD
08-02-2017 masih sesak nafas -O2 4 lpm NK Pneumonia
Pkl 06.00 namun sudah - IVFD NaCl 0.9% Dextra
berkurang, pusing, 30 tpm AKI Stage II
mual berkurang. - Inj ciprofloksasin
O : KU/Kes : sedang/CM 2x200 mg
Vital sign : - Inj ranitidine
TD = 160/100 mmHg 2x500 mg
N = 88x/menit, - drip ondansentron
reguler 3x4 mg
RR = 30x/menit - Inj ceftazidin 2x1
0
S = 37.8 C gr
- Inj novorapid 3x14
SC
Mata: CA-/- SI-/-
- Inj levemir 0-0-24
Leher: tidak teraba
-Nebulizer Ventolin

19
massa, JVP : flumusin /12 jam
5+2cmH2O - Loading NS I
Pulmo : SD Ves +/+, Flabot
Rbk +/-, Rbh -/-, Wh -/-
Cor: teraba SIC V 2 jari
lat LMCS. S1>S2,
regular, M(-), G(-)
Abdomen: datar,
BU+Normal. Tidak
terdapat nyeri tekan
Ekstrimitas: edema
-/-/-/-, akral hangat
+/+/+/+
Mawar S : Pasien mengalami Menghubungi dr. KAD,
8-02-2017 penurunan kesadaran Andreas, Sp.PD : Pneumonia
Pkl 15.00 dan terlihat sesak. - Motivasi keluarga Dextra,
O : KU/Kes : - Rawat HCU AKI Stage II
Sesak/Somnolen - Pasang DC
E2M4V2 - Loading NS 0.9%
Vital sign : 1 liter
TD = 60/40 mmHg
N = 82x/menit,
reguler
RR = 30x/menit
S = 39.8 0C
Nafas kussmaul (+)
Mata: CA-/- SI-/-
Leher: tidak teraba
massa, JVP
5+2cmH2O
Pulmo : SD Ves +/+,
Rbk +/-, Rbh -/-, Wh -/-
Cor: teraba SIC V 2 jari
lat LMCS. S1>S2,
regular, M(-), G(-)
Abdomen: datar,
BU+Normal. Tidak
terdapat nyeri tekan
Ekstrimitas: edema
-/-/-/-, akral dingin
+/+/+/+
HCU S: - -Diit cair NGT KAD,
9-02-2017 - Inf NaCl 0.9% 30 Pneumonia
Pkl 08.00 tpm Dextra,
KU/Kes : - Inj ciprofloxacin AKI Stage II
Coma/E1M1V1 2x200 mg
Vital sign : - Inj ceftazidine 2x1
TD = 100/60 mmHg gr

20
N = 130x/menit, - Inj ranitidine 2x1
reguler amp
RR = 24x/menit - Inj ondansentron
S = 38 0C 2x1
- Inj ceftriaxone 2x2
Nafas kussmaul (+) gr
Mata: CA-/- SI-/-, RC - Inj omeprazole
+/+ 1x1 A
- Inj novorapid 3x20
Leher: tidak teraba
IU
massa, JVP
- Inj levemir 0-0-18
5+2cmH2O
- Nebulizer
Pulmo : SD Ves +/+,
Rbk +/-, Rbh -/-, Wh -/- Ventolin : flumucyn
Cor: teraba SIC V 2 jari 2x1
-Motivasi keluarga
lat LMCS. S1>S2,
tentang keadaan
regular, M(-), G(-)
pasien
Abdomen: datar,
BU+Normal. Tidak
terdapat nyeri tekan
Ekstrimitas: edema
-/-/-/-, akral dingin
+/+/+/+
HCU S: Keadaan pasien -Diit cair NGT KAD,
09-02-2017 semakin menurun. - Inf NaCl 0.9% 30 Pneumonia
Pkl 15.00 tpm Dextra,
KU/Kes : - Inj ciprofloxacin AKI Stage II
Coma/E1M1V1 2x200 mg
Vital sign : - Inj ceftazidine 2x1
TD = 60/40 mmHg gr
N = 130x/menit, - Inj ranitidine 2x1
reguler amp
RR = 30x/menit - Inj ondansentron
0
S = 38 C 2x1
Nafas kussmaul (+) - Inj ceftriaxone 2x2
gr
Mata: CA-/- SI-/-
- Inj omeprazole
Leher: tidak teraba
1x1 A
massa, JVP
- Inj novorapid 3x20
5+2cmH2O
IU
Pulmo : SD Ves +/+,
- Inj levemir 0-0-18
Rbk +/-, Rbh -/-, Wh -/-
- Nebulizer
Cor: teraba SIC V 2 jari
Ventolin : flumucyn
lat LMCS. S1>S2,
2x1
regular, M(-), G(-)
-Dilakukan RJP
Abdomen: datar,
- Motivasi keluarga
BU+Normal. Tidak
terdapat nyeri tekan
Ekstrimitas: edema

21
-/-/-/-, akral dingin
+/+/+/+
HCU S: PASIEN PLUS
9-02-2017
Pkl 15.30

RIWAYAT RAWAT INAP PASIEN

Tanggal Diagnosis Rawat


23 Juli 2015 sd
Post TB, DM, Hemoptoe - Sp. PD
26 Juli 2015
4 Okt 2016 sd Penurunan Kesadaran ec - Sp.PD

22
6 Okt 2016 Hipoglikemi
23 Nov 2016 sd Penurunan kesadaran susp - Sp.PD
28 Nov 2016 hipoglikemi, DM, Hemoroid

23
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan
metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis,
terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif (Soewondo,
2009). Selain itu, KAD merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl),
disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas
plasma meningkat (300-320 mOs/ml) dan terjadi peningkatan anion gap
(PERKENI, 2015).

B. Epidemiologi
Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester menunjukkan bahwa
insidens KAD sebesar 8 per 100 pasien DM pertahun untuk semua kelompok
umur, sedangkan untuk kelompok usia dibawah 30 tahun sebesar 13.4 per
1000 pasien DM pertahun. Walaupun data komunitas di Indonesia belum ada,
angka insidensi KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara barat, mengingat
prevalensi DM tipe-1 yang rendah. Laporan insiden KAD di Indonesia
umumnya berasal dari data rumah sakit, dan terutamapada pasien DM tipe-2
(Soewondo, 2009).
Di negara maju dengan sarana yang lengkap, angka kematian KAD
berkisar antara 9-10%, sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan
pasien usia lanjut angka kematian dapat mencapai 25-50%. Angka kematian
KAD di RS Dr. Cipto Mangunkusumo dari tahun ke tahun belum ada
perbaikan. Selama periode 5 bulan (Januari-maret 2002) terdapat 39 episode
KAD dengan angka kematian 15%. Angka kematian menjadi lebih tinggi
pada beberapa keadaan yang menyertai KAD seperti sepsis, syok berat, infark
miokard, pasien usia lanjut, konsentrasi glukosa darah awal tinggi, uremia,
dan konsentrasi keasaman darah yang rendah. Kematian pasien KAD usia

24
muda, umumnya dapat dihindari dengan diagnosis cepat, pengobatan tepat
dan rasional, serta memadai sesuai dengan dasar patofisiologinya. Pada
pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian lebih sering dipicu oleh
faktor penyakit dasarnya. Dari data yang ada tampak bahwa jumlah pasien
KAD dari tahun ke tahun relatif tetap atau tidak berkurang dang angka
kematiannya juga belum menggembirakan. Mengingat 80% pasien KAD
telah diketahui menderita DM sebelumnya, upaya pencegahan sangat
berperan dalam mencegah KAD dan diagnosis dini KAD (Soewondo, 2009).

C. Etiologi
Semua kelainan pada ketoasidosis diabetik disebabkan oleh kekurangan
insulin baik absolut maupun relatif yang berkembang dalam beberapa jam atau
hari. Pada pasien DM yang telah diketahui sebelumnya disebabkan oleh
kekurangan pemberian kebutuhan insulin eksogen atau karena peningkatan
kebutuhan insulin akibat keadaan atau stres tertentu.
Stress tersebut dapat berupa (Soewondo, 2009) :
a. Infeksi
b. Kelainan vaskuler (infark miokard akut)
c. Kelainan endokrin (hipertyroidisme, sindroma chusing)
d. Trauma
e. Kehamilan
f. Stres emosional
g. Peningkatan hormone kontrainsulin (epinefrin, kortisol, glukagon)
Ketoasidosis diabetik sering disebabkan oleh penghentian asupan insulin
tetapi dapat sebagai akibat stress fisis (misalnya infeksi, pembedahan) atau
emosionil meskipun terapi insulin tetap terus diberikan (Isselbacher, et
al.,2000). Infeksi yang paling sering ditemukan adalah pneumonia dan infeksi
saluran kemih yang mencakup antara 30% sampai 50% kasus (Kitabchi, et
al.,2001).
D. Patofisiologi
Ketoasidosis diabetik merupakan suatu keadaan dimana terdapat
defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator

25
(glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormon); keadaan tersebut
menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan meningkatkan lipolisis
dan produksi benda keton (Belhetic, 2015).
Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya ketoasidosis
diabetikar substrat nonkarbohidrat (alanin, laktat, dan gliserol pada hepar, dan
glutamin pada ginjal) dan dari peningkatan aktivitas enzim glukoneogenik
(fosfoenol piruvat karboksilase/PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat, dan piruvat
karboksilase). Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkan patogenesis
utama yang bertanggung jawab terhadap keadaan hiperglikemia pada pasien
dengan ketoasidosis diabetik (Price, 2012).
Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan ketoasidosis diabetikar keton
yang tinggi menyebabkan diuresis osmotik yang akan mengakibatkan
hipovolemia dan penurunan glomerular filtration rate. Keadaan yang terakhir
akan memperburuk hiperglikemia. Mekanisme yang mendasari peningkatan
produksi benda keton telah dipelajari selama ini. Kombinasi defisiensi insulin
dan peningkatan konsentrasi hormon kontraregulator menyebabkan aktivasi
hormon lipase yang sensitive pada jaringan lemak. Peningkatan aktivitas ini
akan memecah trigliserid menjadi gliserol dan asam lemak bebas (free fatty
acid/FFA). Diketahui bahwa gliserol merupakan substrat penting untuk
glukoneogenesis pada hepar, sedangkan pengeluaran asam lemak bebas yang
berlebihan diasumsikan sebagai prekursor utama dari ketoasid (Price, 2012).
Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang
prosesnya distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi
glukagon menurunkan ketoasidosis diabetikar malonyl coenzyme A (CoA)
dengan cara menghambat konversi piruvat menjadi acetyl Co A melalui
inhibisi acetyl Co A carboxylase, enzim pertama yang dihambat pada sintesis
asam lemak bebas. Malonyl Co A menghambat camitine palmitoyl-transferase
I (CPT I), enzim untuk transesterifikasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty acyl
camitine, yang mengakibatkan oksidasi asam lemak menjadi benda keton.
CPT I diperlukan untuk perpindahan asam lemak bebas ke mitokondria tempat
dimana asam lemak teroksidasi. Peningkatan aktivitas fatty acyl CoA dan CPT

26
I pada ketoasidosis diabetik mengakibatkan peningkatan ketongenesis (Price,
2012).

Gambar 2.2. Patofisiologi Ketoasidosis Diabetik (Price, 2012).

E. Manifestasi Klinis
Sekitar 80% pasien ketoasidosis diabetik adalah pasien DM yang sudah
dikenal. Kenyataan ini tentunya sangat membantu untuk mengenali
ketoasidosis diabetik sebagai komplikasi akut DM dan segera mengatasinya.
Sesuai dengan patofisiologi ketoasidosis diabetik, maka pada pasien
ketoasidosis diabetik dijumpai pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul),
berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering),
ketoasidosis diabetic yang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari
hawa napas tidak terlalu mudah tercium (Soewondo, 2009).
Areateus menjelaskan gambaran klinis ketoasidosis diabetik sebagai
keluhan poliuri dan polidipsi sering kali mendahului ketoasidosis diabetik
serta didapatkan riwayat berhenti menyuntik insulin, demam, atau infeksi.
Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai pada ketoasidosis

27
diabetik anak. Dapat pula dijumpai nyeri perut dan berhubungan dengan
gastroparesis-dilatasi lambung (Soewondo, 2009).
Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai compos mentis,
delirium, depresi sampai koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu
dipikirkan penyebab penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma,
infeksi, minum alkohol). Infeksi merupakan factor pencetus yang paling
sering. Infeksi yang paling sering ditemukan ialah infeksi saluran kemih dan
pneumonia. Walaupun faktor pencetusnya adalah infeksi, kebanyakan pasien
tak mengalami demam. Bila dijumpai adanya nyeri abdomen, perlu dipikirkan
kemungkinan kolesistitis, iskemia usus, appendicitis, diverticulitis, ayau
perforasi usus. Bila pasien tidak menunjukkan respon yang baik terhadap
pengobatan ketoasidosis diabetik, maka perlu dicari kemungkinan infeksi
tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses perirectal) (Soewondo, 2009).

F. Diagnosis
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien ketoasidosis diabetik
terdiri dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti terutama
memperhatikan patensi jalan napas, status mental, status ginjal dan
kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat
menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan,
sehingga penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan
(PERKENI, 2015).
Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak dalam
beberapa hari, perubahan metabolik yang khas untuk ketoasidosis diabetik
biasanya tampak dalam jangka waktu pendek (< 24 jam). Umumnya
penampakan seluruh gejala dapat tampak atau berkembang lebih akut dan
pasien dapat tampak menjadi ketoasidosis diabetik tanpa gejala atau tanda
ketoasidosis diabetik sebelumnya (Soewondo, 2009).
Gambaran klinis klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan
polifagia, penurunan berat badan, muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah,
clouding of sensoria, dan akhirnya koma. Pemeriksaan klinis termasuk turgor
kulit yang menurun, respirasi Kussmaul, takikardia, hipotensi, perubahan

28
status mental, syok, dan koma. Lebih dari 25% pasien ketoasidosis diabetik
menjadi muntah-muntah yang tampak seperti kopi. Perhatian lebih harus
diberikan untuk pasien dengan hipotermia karena menunjukkan prognosis
yang lebih buruk. Demikian pula pasien dengan abdominal pain, karena gejala
ini dapat merupakan akibat atau sebuah indikasi dari pencetusnya, khususnya
pada pasien muda. Evaluasi lebih lanjut diperlukan jika gejala ini tidak
membaik dengan koreksi dehidrasi dan asidosis metabolic (PERKENI, 2015).

Tabel 2.1 Kriteria Ketoasidosis (Soewondo, 2009).

G. Diferensial Diagnosis
1) Hiperosmolar Hiperglikemik Nonketotik
Hiperosmolar non ketotik adalah salah satu dari dua keadaan akut
yang disebabkan oleh gangguan metabolisme serius yang terjadi pada
pasien dengan diabetes mellitus dan bisa menjadi darurat yang mengancam
nyawa. Kondisi ini ditandai dengan hiperglikemia, hyperosmolarity, dan
dehidrasi tanpa ketoasidosis signifikan. Hiperosmolar non ketotik biasanya
menyajikan pada pasien tua dengan diabetes mellitus tipe 2 dan membawa
tingkat kematian lebih tinggi daripada DKA, diperkirakan sekitar 15%
(Sergot & Nelson, 2010).

29
Kebanyakan pasien hadir dengan dehidrasi berat, global atau defisit
neurologik fokal. Pada satu dari tiga kasus, fitur klinis KAD dan HONK
saling tumpang tindih. Berdasarkan pernyataan konsensus diterbitkan oleh
American Diabetes Association, fitur diagnostik HHS adalah sebagai
berikut (Sergot & Nelson, 2010) :
- Glukosa plasma  600 mg / dL atau lebih
- osmolalitas efektif serum  320 mOsm / kg atau lebih
- Dehidrasi berat sampai rata-rata 9L
- Serum pH lebih dari 7,30
- Bikarbonat yang lebih besar dari 15 mEq L /
- Ketonuria kecil dan ketonemia dalam batas rendah atau absen
- Beberapa perubahan dalam kesadaran

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ketoasidosis diabetik bersifat multifaktorial sehingga
memerlukan pendekatan terstruktur oleh dokter dan paramedis yang bertugas.
Prinsip-prinsip pengelolaan ketoasidosis diabetik ialah (Chiasson, 2013) :
1. Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang
2. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati
dengan pemberian insulin
3. Mengatasi stres sebagai pencetus ketoasidosis diabetik
4. Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya
pemantauan serta penyesuaian pengobatan.

Terapi ketoasidosis diabetik yaitu (Chiasson, 2013) :


1. Terapi cairan
Prioritas utama pada penatalaksanaan ketoasidosis diabetik adalah
terapi cairan (Alberti, 2004). Terapi insulin hanya efektif jika cairan
diberikan pada tahap awal terapi dan hanya dengan terapi cairan saja akan
membuat ketoasidosis diabetikar gula darah menjadi lebih rendah. Studi
menunjukkan bahwa selama empat jam pertama, lebih dari 80%
penurunan ketoasidosis diabetik gula darah disebabkan oleh rehidrasi.

30
Oleh karena itu, hal penting pertama yang harus dipahami adalah
penentuan difisit cairan yang terjadi (Wall, 2011).
Ada dua keuntungan rehidrasi pada ketoasidosis diabetik:
memperbaiki perfisi jaringan dan menurunkan hormone kontraregulator
insulin. Bila konsentrasi glukosa kurang dari 200 mg% maka perlu
diberikan larutan mengandung glukosa (dekstrosa 5% atau 10%) (Wall,
2011).
2. Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis
ketoasidosis diabetik dan rehidrasi yang memadai (Soewondo, 2009).
Sumber lain menyebutkan pemberian insulin dimulai setelah diagnosis
ketoasidosis diabetik ditegakkan dan pemberian cairan telah dimulai.
Pemakaian insulin akan menurunkan ketoasidosis diabetikar hormon
glukagon, sehingga menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam
lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot
dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan (Soewondo, 2009).
Sampai tahun 1970-an penggunaan insulin umumnya secara bolus
intravena, intramuskular, ataupun subkutan. Sejak pertengahan tahun
1970-an protokol pengelolaan ketoasidosis diabetik dengan drip insulin
intravena dosis rendah mulai digunakan dan menjadi popular. Cara ini
dianjurkan karena lebih mudah mengontrol dosis insulin, menurunkan
ketoasidosis diabetikar glukosa darah lebih lambat, efek insulin cepat
menghilang, masuknya kalium ke intrasel lebih lambat, komplikasi
hipoglikemia dan hipokalemia lebih sedikit (Soewondo, 2009).
Pemberian insulin dengan infus intravena dosis rendah adalah
terapi pilihan pada ketoasidosis diabetik yang disebutkan oleh beberapa
literatur, sedangkan ADA menganjurkan insulin intravena tidak diberikan
pada KAD derajat ringan. Jika tidak terdapat hipokalemia (K < 3,3mEq/l),
dapat diberikan insulin regular 0,15 u/kg BB, diikuti dengan infus kontinu
0,1 u/kgBB/jam (5-7 u/jam). Jika kadar kalium < 3,3 mEq/l, maka harus
dikoreksi dahulu untuk mencegah perburukan hipokalemia yang akan
dapat mengakibatkan aritmia jantung (Wall, 2011).

31
Insulin dosis rendah biasanya menurunkan gula darah dengan
kecepatan 50-75 mg/dl/jam, sama seperti pemberian insulin dosis lebih
tinggi. Jika gula darah tidak menurun sebesar 50 mg/dl dari nilai awal
pada jam pertama, periksa status hidrasi pasien. Jika status hidrasi
mencukupi, infus insulin dapat dinaikkan 2 kali lipat setiap jam sampai
tercapai penurunan gula darah konstan antara 50-75 mg/dl/jam. Ketika
kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, turunkan infus insulin menjadi
0,05-0,1 u/kgBB/jam (3-6 u/jam), dan tambahkan infus dextrose 5-10%
(Soewondo, 2009)
Setelah itu kecepatan pemberian insulin atau konsentrasi dextrose
harus disesuaikan untuk memelihara nilai glukosa sampai keadaan asidosis
membaik. Pada kondisi klinik pemberian insulin intravena tidak dapat
diberikan, maka insulin diberikan dengan dosis 0,3 iu (0,4-0,6 iu)/kgBB
yang terbagi menjadi setengah dosis secara intravena dan setengahnya lagi
secara subkutan atau intramuskular, selanjutnya diberikan insulin secara
intramuskular atau subkutan 0,1 iu/kgBB/jam, selanjutnya protokol
penatalaksanaannya sama seperti pemberian drip intravena (Soewondo,
2009).
3. Natrium
Penderita dengan ketoasidosis diabetik kadang-kadang
mempunyai kadar natrium serum yang rendah, oleh karena level gula
darah yang tinggi. Untuk tiap peningkatan gula darah 100 mg/dl di atas
100 mg/dl maka kadar natrium diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/l
daripada kadar yang diukur. Hiponatremia memerlukan koreksi jika level
natrium masih rendah. Kadar natrium dapat meningkat setelah dilakukan
resusitasi cairan dengan normal saline oleh karena normal saline memiliki
kadar natrium lebih tinggi dari kadar natrium ekstraselular saat itu
disamping oleh karena air tanpa natrium akan berpindah ke intraselular
sehingga akan meningkatkan kadar natrium. Serum natrium yang lebih
tinggi daripada 150 mEq/l memerlukan koreksi dengan NaCl 0,45%
(Chiasson, 2013).

32
4. Kalium
Untuk mencegah hipokalemia, penggantian kalium dimulai setelah
kadar kalium serum kurang dari 5, sumber lain menyebutkan nilai 5,5
mEq/l. Umumnya, 20-30 mEq kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada tiap
liter cairan infus cukup untuk memelihara kadar kalium serum dalam
range normal 4-5mEq. Kadang-kadang pasien KAD mengalami
hipokalemia yang signfikan. Pada kasus tersebut, penggantian kalium
harus dimulai dengan terapi KCl 40 mEq/l, dan terapi insulin harus
ditunda hingga kadar kalium > 3,3 mEq/l untuk menghindari aritmia atau
gagal jantung dan kelemahan otot pernapasan (Chiasson, 2013).
5. Bikarbonat
Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Mengetahui
bahwa asidosis berat menyebabkan banyak efek vaskular yang tidak
diinginkan, tampaknya cukup bijaksana menentukan bahwa pada pasien
dewasa dengan pH < 6,9, 100 mmol natrium bikarbonat ditambahkan ke
dalam 400 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 200
ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9-7,0, 50mmol natrium bikarbonat
dicampur dalam 200 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan
200 ml/jam. Natrium bikarbonat tidak diperlukan jika pH > 7,0.
Sebagaimana natrium bikarbonat, insulin menurunkan kadar kalium
serum, oleh karena itu pemberian kalium harus terus diberikan secara
intravena dan dimonitor secara berkala. Setelah itu pH darah vena
diperiksa setiap 2 jam sampai pH menjadi 7,0, dan terapi harus diulangi
setiap 2 jam jika perlu (Chiasson, 2013).

33
Gambar 2.2. Bagan Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik (Chiasson,
2013).

I. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering dari KAD adalah hipoglikemia oleh
karena penanganan yang berlebihan dengan insulin, hipokalemia yang
disebabkan oleh pemberian insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan
hiperglikemia sekunder akibat pemberian insulin yang tidak kontinu setelah
perbaikan tanpa diberikan insulin subkutan. Umumnya pasien KAD yang telah
membaik mengalami hiperkloremia yang disebabkan oleh penggunaan cairan
saline yang berlebihan untuk penggantian cairan dan elektrolit dan non-anion
gap metabolic acidosis seperti klor dari cairan intravena mengganti
hilangnya ketoanion seperti garam natrium dan kalium selama diuresis
osmotik. Kelainan biokemikal ini terjadi sementara dan tidak ada efek klinik
signifikan kecuali pada kasus gagal ginjal akut atau oliguria ekstrem
(Kitabchi, 2013).
Edema serebri umumnya terjadi pada anak-anak, jarang pada dewasa.
Tidak didapatkan data yang pasti morbiditas pasien KAD oleh karena edema

34
serebri pada orang dewasa. Gejala yang tampak berupa penurunan kesadaran,
letargi, penurunan arousal, dan sakit kepala. Kelainan neurologis dapat terjadi
cepat, dengan kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradikardia, dan
kegagalan respirasi. Meskipun mekanisme edema serebri belum diketahui,
tampaknya hal ini merupakan akibat dari masuknya cairan ke susunan saraf
pusat lewat mekanisme osmosis, ketika osmolaritas plasma menurun secara
cepat saat terapi KAD. Oleh karena terbatasnya informasi tentang edema
serebri pada orang dewasa, beberapa rekomendasi diberikan pada
penanganannya, antara lain penilaian klinis yang tepat dibandingkan dengan
bukti klinis. Pencegahan yang tepat dapat menurunkan risiko edema serebri
pada pasien risiko tinggi, diantaranya penggantian cairan dan natrium secara
bertahap pada pasien yang hiperosmolar dan penambahan dextrose untuk
hidrasi ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl (Kitabchi, 2013).
Hipoksemia dan kelainan yang jarang seperti edema paru nonkardiak
dapat sebagai komplikasi KAD. Hipoksemia terjadi mengikuti penurunan
tekanan koloid osmotik yang merupakan akibat peningkatan kadar cairan pada
paru dan penurunan compliance paru. Pasien dengan KAD yang mempunyai
gradient oksigen alveolo-arteriolar yang lebar yang diukur pada awal
pemeriksaan analisa gas darah atau dengan ronki pada paru pada pemeriksaan
fisik tampaknya mempunyai risiko tinggi untuk menjadi edema paru
(Kitabchi, 2013).

Tabel 2.2. Komplikasi Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik (Kitabchi,


2013).

35
J. Pencegahan
Faktor pencetus utama KAD adalah pemberian dosis insulin yang
kurang memadai dan kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kejadian tersebut
dapat dicegah dengan akses pada sistem pelayanan kesehatan lebih baik
(termasuk edukasi DM) dan komunikasi efektif terutama pada saat
penyandang DM mengalami sakit akut (misalnya batuk, pilek, diare, demam,
dan luka). Upaya pencegahan merupakan hal yang penting pada
penatalaksanaan DM secara komprehensif. Upaya pencegahan sekunder untuk
mencegah terjadinya komplikasi DM kronik dan akut, melalui edukasi sangat
penting untuk mendapatkan ketaatan berobat pasien yang baik (Soewondo,
2009).
Khusus mengenai pencegahan KAD, program edukasi menekankan
pada cara-cara mengatasi saat sakit akut, meliputi informasi mengenai
pemberian insulin kerja cepat, target konsentrasi glukosa darah pada saat sakit,
mengatasi demam dan infeksi, memulai pemberian makanan cair mengandung
karbohidrat dan garam yang mudah dicerna, yang paling penting adalah agar
tidak menghentikan pemberian insulin atau obat hipoglikemia oral dan
sebaiknya segera mencari pertolongan atau nasihat tenaga kesehatan yang
profesional. Pasien DM harus didorong untuk perawatan mandiri terutama saat
mengalami masa-masa sakit, dengan melakukan pemantauan konsentrasi
glukosa darah dan keton urin sendiri. Disinilah pentingnya edukator diabetes
yang dapat membantu pasien dan keluarga, terutama pada keadaan sulit
(Soewondo, 2009).

K. Prognosis
Prognosis dari ketoasidosis diabetik (KAD) biasanya buruk, tetapi
sebenarnya kematian pada pasien ini bukan disebabkan oleh trias KAD
hiperglikemia, asidosis dan ketosis tetapi oleh penyakit yang mendasari atau
menyertainya. Angka kematian masih berkisar 30-50%. Di negara maju dapat
dikatakan penyebab utama kematian adalah infeksi, usia lanjut, dan osmolaritas
darah yang sangat tinggi. Di negara maju angka kematian dapat ditekan menjadi
sekitar 12%. Ketoasidosis diabetik sebesar 14% dari seluruh rumah sakit

36
penerimaan pasien disertai dengan diabetes mellitus dan 16% dari seluruh
kematian yang berkaitan dengan diabetes melitus. Angka kematian keseluruhan
adalah 2% atau kurang saat ini. Pada anak-anak muda dari 10 tahun,
ketoasidosis diabetikum menyebabkan 70% kematian terkait diabetes mellitus
(Westerberg, 2013).

37
BAB IV
KESIMPULAN

1. Diagnosis kasus ini adalah Ketoasidosis diabetik dengan Pneumonia Dextra dan
AKI Stage II. Didasarkan oleh anamnesis, yaitu pasien sesak nafas, mual, muntah,
demam naik turun, batuk berdahak dan badan lemas. Pemeriksaan fisik ditemukan
adanya pasien tampak sesak dengan laju pernafasan 30x/menit, dan pada
auskultasi lapang paru kanan terdapat ronkhi basah kasar.
2. Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan
metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama
disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relative. Selain itu, KAD
merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang ditandai dengan peningkatan
kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl), disertai tanda dan gejala
asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320
mOs/ml) dan terjadi peningkatan anion gap.
3. Faktor pencetus ketoasidosis diabetik adalah penghentian asupan insulin dan
stress fisis (misalnya infeksi, pembedahan) atau emosionil. Infeksi yang paling
sering ditemukan adalah pneumonia dan infeksi saluran kemih yang mencakup
antara 30% sampai 50% kasus.
4. Dalam penatalaksanaan KAD, tujuan yang ingin dicapai adalah mengganti
cairan dan elektrolit yang hilang, menekan lipolisis sel lemak dan menekan
glukoneogenesis sel hati dengan pemberian insulin, mengatasi stres sebagai
pencetus ketoasidosis diabetic, mengembalikan keadaan fisiologi normal dan
menyadari pentingnya pemantauan serta penyesuaian pengobatan.

38
DAFTAR PUSTAKA

Belhetic, Paul. 2015. Diabetic and Endocrinology. Mosby.

Centers for Disease Control (CDC). 2005. Diabetes Surveillance. Division of


Diabetes Translation. Available at: http://www.cdc.gov/diabetes/statistic/
Diakses pada 22 Februari 2017

Chiasson et al. 2013. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis and the
hyperglycemic hyperosmolar state. CMAJ, vol 7, hh 859-866.

Isselbacher, K.J. et al., 2000. Ketoasidosis Diabetik. In: A. H. Asdie, ed. Harrison
Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC, pp. 2207-2210.

Kitabchi AE, et al. 2001. Management of Hyperglycemic Crises in Patient with


Diabetes. Diabetic Care, Vol. 24. pp 131-153.

Kitabchi, AE., Guillermo, EU., and John, M. 2009. Hyperglicemic Crises in Adult
Patients Diabetes. American Diabetes Association-Diabetes Care, vol.
32(7): 1335-43.

Kitabchi,AE. 2013. Management of Diabetic Ketoacidosis, Diabetic Care Update,


American Family Physician, Vol. 60. Number 2.

Newton, Christopher, A., and Raskin, P. 2004. Diabetic ketoacidosis in type 1 and
type 2 diabetes mellitus: Clinical and biochemical differences. Archive of
Internal Medicine, Vol. 164: 1925-31

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). 2015. Konsensus,


Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.

Price, S dan Wilson, L. 2012. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit


edisi 6. Jakarta: EGC, 1268

Sergot PB, Nelson LS. 2010. Hyperosmolar hyperglycemic state. (accessed 2017
Feb 23). Available from http://emedicine.medscape.com/article/766804-
overview.

Soewondo, P. 2009. Ketoasidosis diabetik. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid
III edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 1874-1877

Wall 8M, et.al. 2011. Hyperglycemic Crises in Patient With Diabetes Mellitus,
Clinical Diabetes. Spring.

Westerberg, DP. 2013. Diabetic Ketoacidosis: Evaluation and Treatment. Journal


Americal Academy of Family Physicians, Vol. 87(5): 1-8

39
Williams, P. 2003. Hyperglycaemic crises and lactic acidosis in diabetes mellitus.
Liverpool: Postgraduation Medicine, vol. 80: 253-61

40

Vous aimerez peut-être aussi