Vous êtes sur la page 1sur 16

JOURNAL READING

CHRONIC TARSAL CONJUNCTIVITIS

Pembimbing :
dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M

Oleh:
Elnisa Asritamara 1620221201

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


RSUD AMBARAWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

KOORDINATOR KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


RSUD AMBARAWA

Journal Reading Dengan Judul:


Chronic Tarsal Conjunctivitis

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian


Kepaniteraan Klinik di Dapartemen Kesehatan Mata
RSUD Ambarawa

Disusun Oleh :
Elnisa Asritamara 1620221201

Telah Disetujui Oleh Pembimbing:

dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat,
nikmat, karunia dan hidayah-Nya, journal reading yang berjudul “CHRONIC
TARSAL CONJUNCTIVITIS” dapat diselesaikan.
Penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada
dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M selaku pembimbing yang dengan penuh kesabaran
dan keikhlasan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing penulis
sehingga hambatan dalam penulisan journal reading ini dapat teratasi.
Penulis menyadari bahwa tulisan dalam journal reading ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis mohon maaf apabila terdapat kekurangan
pada journal reading ini. Penulis juga mengharapkan kritik serta saran yang
membangun dari semua pihak agar menjadi lebih baik. Semoga journal reading
ini bermanfaat bagi para pembaca dan kemajuan ilmu pengetahuan khususnya
kedokteran dikemudian hari.

Ambarawa, Maret 2018

Penulis

ii
Konjungtivitis Tarsal Kronis

Abstrak: Toksisitas jarang dipertimbangkan dalam diagnosis banding


konjungtivitis, namun disini kami menyajikan suatu bentuk baru konjungtivitis
toksik dengan gambaran klinis yang tidak biasa. Antara tahun 2010 dan 2013, suatu
tampilan klinis baru konjungtivitis kronis yang tidak responsif terhadap
penatalaksanaan normal tercatat di Layanan Oftalmologi Layanan Primer.
Metode: Tinjauan retrospektif terhadap catatan kasus dan hasil histopatologi.
Hasil: Sejumlah 55 pasien dewasa, yang semuanya adalah perempuan, datang
dengan epifora dan rasa lengket pada mata. Mereka tidak mengeluhkan adanya rasa
gatal dan telah mengalami gejala gejala ini selama rata-rata 9 bulan. Pemeriksaan
klinis memperlihatkan reaksi papiler konjungtiva tarsal bawah dan atas, tanpa
perubahan pada kornea atau kelopak mata dan hiperemis konjungtiva pada satu
pertiga kasus. Biopsi dilakukan pada 15 kasus untuk menyingkirkan infeksi yang
atipikal atau limfoma. Secara histologi, terdapat infiltrat limfositik stroma
supervisial yang beragam, yang melibatkan epitel pada kasus-kasus yang lebih
berat. Sebagian besar sel adalah limfosit T CD3 positif dan tidak tercatat adanya
pembentukan folikel. Riwayat klinis pada semua kasus mencakup penggunaan
make up mata dan produk-produk kosmetik wajah dalam waktu yang lama. Gejala
klinis epifora diatasi dengan tetes steroid topikal, namun tanda-tanda klinis
inflamasi tarsal masih tetap ada hingga penghentian kapas wajah yang diduga
mengandung agen yang memicu kondisi ini, meskipun sifat pastinya masih belum
jelas.
Kesimpulan: Presentasi, tampilan, gambaran histologi sesuai dengan
konjungtivitis kronis yang dipicu oleh alergen. Penatalaksanaan dengan steroid
dapat membantu mengurangi gejala dan pasien dianjurkan untuk menghindari
alergen yang berpotensi menimbulkan reaksi kontak. Penatalaksanaannya masih
tetap sulit untuk dilakukan. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai alergi
kontak terhadap membrana mukosa dan identifikasi alergennya.
Latar belakang
Banyak bentuk konjungtivitis kronis yang telah dikenali. Jenis yang paling
sering ditemukan kemungkinan adalah konjungtivitis alergi kronis yang
bermanifestasi sebagai mata merah yang terasa gatal dengan penebalan tepi kelopak
mata dan dermatitis periorbital yang terkait, yang biasanya berkaitan dengan atopi
[1, 2]. Gatal selalu merupakan gambaran utama konjungtivitis alergi kronis. Bentuk
konjungtivitis kronis lainnya mencakup penyakit kelenjer Meibom yaitu
blefarokonjungtivitis, konjungtivitis papil raksasa terkait lensa kontak, floppy eye
sindrome, konjungtivitis pasca kemoterapi, konjungtivitis dengan sikatrik,
dermatitis periokular, sindroma fornix raksasa, dan konjungtivitis klamidia [3].
Toksisitas jarang dipertimbangkan, dan terdapat relatif sedikit publikasi dalam
bidang ini, namun konjungtivitis toksik kronis telah digambarkan memperlihatkan
gambaran klinis berupa sekret yang cair, reaksi papiler konjungtiva pada awalnya,
reaksi folikuler selanjutnya, dan seringkali dermatitis pada kelopak mata dan erosi
punktata inferior [4,6].
Kami baru-baru ini telah mencatat adanya peningkatan angka rujukan ke
layanan Oftalmologi Layanan primer (PCO) kami terhadap pasien-pasien dengan
tampilan yang atipikal dengan epifora sebagai gejala utamanya. Penyebab epifora
lainnya terdiri atas obstruksi duktus nasolakrimalis yang sebenarnya dan obstruksi
duktus nasolakrimalis fungsional, namun kami tidak mencatat adanya peningkatan
jumlah pasien yang dating dengan kedua kondisi tersebut. Antara tahun 2010 dan
2013, salah satu dari kami (NC) menyatakan tampilan klinis baru dari konjungtivitis
kronis ini, dan pada tahun 2013, keadaan ini menjadi lebih epidemi dengan 12 kasus
rujukan baru pada tahun 2013 dan 29 pada 8 bulan pertama tahun 2014. Artikel ini
menyajikan tinjauan retrospektif terhadap gambaran klinis dari serangkaian 55
kasus bentuk konjungtivitis yang baru ini, hingga September 2014.

Metode
Tinjauan retrospektif terhadap pemeriksaan klinis dan laboratorium standar
dilakukan pada serangkaian 55 pasien dengan bentuk konjungtivitis yang baru
dikenali. Tinjauan kami mengikuti prinsip-prinsip Deklarasi Helsinki. Karena
penelitian ini bersifat retrospektif, persetujuan dari Komite Etik Kewenangan
Penelitian Kesehatan Inggris tidak dibutuhkan. Persetujuan untuk publikasi tidak
dibutuhkan selama pasien tidak dapat diidentifikasi. Para pasien yang menjalani
biopsi diberikan informasi secara lengkap mengenai risiko dan manfaat yang
terlibat dan memberikan persetujuan tertulis untuk tindakan, termasuk penggunaan
foto mata, jaringan, dan data yang terkait untuk penelitian dan pendidikan.

Pengelolaan klinis
Pemeriksaan slit lamp standar dengan foto digital konjungtiva tarsal (Topcon
3D OCT 2000) dilakukan untuk mencatat adanya perubahan konjungtiva. Pada
kasus-kasus yang ditemukan di awal tahap penelitian, sebagian pasien menjalani
pembersihan kantong mata untuk menentukan potensi duktus nasolakrimalis,
namun pemeriksaan ini dengan segera dianggap tidak relevan karena tempat
masalah yang utama adalah pada konjungtiva dan bukan pada punctum atau duktus
nasolakrimalis. Satu-satunya penatalaksanaan yang efektif adalah tetes steroid
topikal. Sebagai akibatnya dibutuhkan pemantauan yang seksama terutama untuk
memantau tekanan intraokular. Kondisi ini dianggap membaik ketika pasien tidak
mendapatkan steroid topikal lagi selama 2 bulan, dengan tidak adanya gejala
epifora dan tampilan konjungtiva tarsal yang normal.

Mikrobiologi
Pada empat pasien, apusan dikirimkan untuk pemeriksaan klamidia (BD
Viper, Becton Dickinson, Oxford, England), yang semuanya menunjukkan hasil
negatif. Tidak ada apusan yang dikirimkan untuk analisis bakteriologi.

Biopsi dan histopatologi


Karena perjalanan kelainan yang berlangsung lama dan etiologinya tidak
pasti, enam pasien yang baru datang secara berturut-turut memberikan persetujuan
untuk biopsi konjungtiva Biopsi punch (1 mm) diambil dari konjungtiva tarsal pada
15 kasus. Sediaan ini difiksasi pada formalin buffer netral (4% formaldehida),
diolah dan dimasukkan ke dalam lilin parafin. Potongan irisan pada 4 µm diwarnai
dengna hematoksilin dan eosin, dan diperiksa dengan mikroskopi langsung.
Imunohistokimia untuk CD4 (penanda limfosit-T) dan CD20 (penanda limfosit B)
dilakukan untuk menentukan fenotipe limfosit didalam infiltrat.

Pemeriksaan sensitivitas alergen


Pemeriksaan tempel kulit dengan IQ Ultra (Chemotechnique Diagnostics,
Sweden) dilakukan pada 43.6% (24/55) kasus oleh seorang ahli dermatologi,
menurut instruksi dari perusahaan. Semua pasien diperiksa dengan alur dari British
standar (British Society for Cutaneous Allergy) termasuk EDTA dan benzalkonium
klorida. Hasilnya dibaca pada hari 2 dan hari 4 setelah pengolesan awal. Eritema
dengan infiltrasi, papul atau vesikel pada kulit dianggap hasil yang positif.
Relevansi klinisnya diinterpretasikan sesuai dengan riwayat keluhan yang ada,
perbaikan gejala-gejala dengan penghentian alergen kontak yang dicurigai atau
reaksi sebelumnya pada paparan terhadap alergen kontak. Kuesioner dan dokumen
rumah sakit elektronik digunakan untuk memperoleh informasi mengenai riwayat
atopi pribadi (setidaknya salah satu dari kondisi berikut harus ada pada satu pasien:
asma, eksema atau hayfever), paparan kerja terhadap alergen kontak, pengolesan
produk-produk kosmetik fasial dan paparan terhadap alergen kontak yang
menyebar melalui udara.

Hasil
Gambaran klinis
Sejumlah 55 pasien diikutsertakan dalam serial kasus retrospektif ini. Semua
perempuan dewasa dengan median usia 44 tahun (rentang 17 – 72) datang selama
periode 2010-2014 sebagai rujukan dari dokter layanan primer yang telah menjalani
penatalaksanaan standar untuk epifora dan konjungtivitis dan belum berhasil.
Temuan klinisnya dirangkum dalam dokumen tambahan 1: Tabel S1. Epifora
merupakan gejala yang paling sering ditemukan. Gejala-gejala yang terkait
termasuk kekakuan dan rasa gatal hanya tergambarkan pada 1 pasien. Tidak ada
satupun yang menggunakan lensa kontak dan semuanya telah mengalami kondisi
ini selama setidaknya satu bulan (rerata 9 bulan, rentang 1 – 36 bulan). Semua
pasien sebelumnya telah menggunakan kosmetik setiap hari.
Tanda-tanda kardinalnya adalah reaksi papiler konjungtiva tarsal atas dan
bawah bilateral sedang (Gambar 1). Pada satu pertiga kasus terdapat hiperemis
konjungtiva bulbar ringan. Tanda-tanda negatif yang penting adalah tidak adanya
perubahan pada kornea, dermatisis pada kelopak mata atau penebalan tepi kelopak.
Diagnosis banding disingkirkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik atau
kurangnya respon terhadap penatalaksanaan (termasuk penatalaksanaan
sebelumnya sebelum rujukan).

Mikrobiologi
Pada 7.1% (4/55) pasien, pemeriksaan mikrobiologi standar menyingkirkan
infeksi klamidia. Meskipun tidak secara klinis merupakan konjungtivitis folikularis,
semua pasien diobati secara empiris dengan uji coba 1 gram azitromisin setelah
konseling, dengan tidak adanya respon terhadap gejala ataupun tanda-tandanya.

Histopatologi
Sediaan H&E menunjukkan jaringan konjungtiva dengan inflamasi kronis
stroma ringan (n = 3), sedang (n = 5), atau berat (n = 4), yang melibatkan epitel
pada semua kasus berat maupun sedang. Inflamasi tidak dapat dinilai pada 3 kasus
karena bahan yang tidak memadai untuk dinilai

Gambar 1. Tampilan klinis mata pada dua kasus perwakilan, yang menunjukkan
tampilan konjungtiva tarsal inferior dan superior pada dua pasien. A. Kelopak
bawah, B. Kelopak atas pada satu pasien, dan C. Kelopak bawah dan D. Kelopak
atas pada pasien lainnya. Keduanya menunjukkan tampilan papiler yang khas
dengan sebagian hiperemis.
Inflamasi sebagian besar merupakan limfosit dengan sangat kurangnya
pembentukan folikel limfoid (Gambar 2). Jumlah sel goblet berbeda-beda dengan
baik itu adanya jumlah yang meningkat maupun menurun. Pada imunohistokimia,
sebagian besar sel jelas merupakan limfosit T CD3 positif, dengan jumlah limfosit
B CD20 positif yang lebih rendah (Gambar 2). Tidak terdapat bukti akan adanya
limfoma, pemfigoid sikatrikal, konjungtivitis vernal, dan penyebab infeksius
lainnya. Hanya terdapat sedikit neutrofil, eosinofil atau makrofag dan tidak ada
granuloma yang teramati. Tidak tercatat adanya apoptosis epitel basal, yang
menyingkirkan suatu reaksi likenoid. Tampilannya diduga sesuai dengan alergi
kontak.

Pemeriksaan sensitivitas alergen


Secara keseluruhan, sebanyak 72% (40/55) pasien diundang untuk
pemeriksaaan uji tempel, 40% (16/40) tidak menghadiri janji petemuan mereka.
Diatnara semua pasien yang diuji tempel, 45.8% (11/24) tersensitisasi terhadap
Nikel, 4.1% (1/24) terhadap metilosothaizolinone (MI) (kekuatan 0.2%), 4.1%
(1/24) terhadap fragrance mix 1 dan balsam Peu, 4.1% (1/24) terhadap PPD (p-
Paraphenylendiamine) dan 4.1% (1/24) terhadap Potassium dikromat.
Hanya 9% (1/11) dari pasien yang positif untuk Nikel yang mengkonfirmasi
riwayat reaksi kulit di masa lampau terhadap perhiasan pesanan yang mengandung
Nikel, tidak ada lagi yang lain yang tersensitisasi pada uji tempel terhadap satu atau
lebih kontak alergen yang memiliki riwayat medis di masa lampau untuk dermatisis
kontak. Sebanyak 16.6% (4/24) memiliki riwayat atopi pada diri mereka sendiri.
Tidak ada yang terpapar terhadap kemungkinan alegen kontak pada saat kerja atau
waktu senggang.

Respon terhadap penatalaksanaan


Sebanyak 15 pasien pertama dalam penelitian ini diberikan antihistamin
olopatadine (Opatanol) dan nedocromil (Rapitil) selama beberapa bulan, yang tidak
menunjukkan respon. Gejala klinis epifora bisanya teratasi dalam waktu satu atau
dua minggu setelah memulai tetes steroid topikal, apakah itu dengan
dexamethasone 0.1% (Maxidex) atau prednisolone 0.5% (Predsol), namun tanda-
tanda klinis inflamasi tarsal kronis biasanya masih tetap ada selama beberapa bulan
meskipun telah menggunakan steroid topikal secara berkelanjutan. Karena
frekuensi tetes steroid topikal dikurangi selama beberapa bulan dan kekuatannya
dikurangi menjadi fluorometholone, gejala epifora dan tanda-tanda inflamasi tarsal
kronis cenderung berulang. Pola respon terhadap steroid topikal ini dan rekurensi
pada penghentian steroid tetap ada hingga musim panas 2014 ketika dicurigai
terdapat respon sensitivitas kontak. Pada waktu ini semua pasien dianjurkan untuk
menahan diri (atau setidaknya hanya memberikan sedikit) mengenai pengolesan
produk-produk fasial dan untuk menahan diri dari menggunakan kapas fasial.
Karena pendekatan ini dilakukan pada 83.6% (46/55) kasus, diketahui bahwa
kondisi ini benar-benar membaik sepenuhnya, dengan semua pasien pada penelitian
ini dipulangkan pada April 2015. Salah satu dari kelompok pasien ini mengalami
peningkatan tekanan intraokular yang membutuhkan penghentian penatalaksanaan
steroid.

Gambar 2. Tampilan histologi infiltrat inflamasi pada konjungtiva. A. Pewarnaan


H & E menunjukkan keterlibatan stroma konjungtiva dan epitel oleh inflamasi
limfositik. B. Irisan yang diwarnai dengan CD3 menunjukkan bahwa infiltrat
terutama terdiri atas limfosit T. C. Irisan yang selanjutnya diwarnai dengan CD20
menunjukkan bahwa juga terdapat sejumlah besar limfosit B.
Alasan terlepasnya dari follow up, yaitu sebesar 16.3% (9/55) tidak
diketahui. Akses terhadap layanan PCO dengan rujukan sendiri itu relatif mudah
untuk dilakukan, jadi satu alasan akan ketidakhadiran ini mungkin merupakan
resolusi gejala sepenuhnya.
Pada tahap awal, 8 pasien dirujuk ke Layanan Rumah sakit mata lokal.
Sebagian dari pasien ini selanjutnya dikembalikan ke layanan Primer layanan
Oftalmologi untuk keberlanjutan perawatan. Dokumen tambahan 2: Tabel 2
menjelaskan outcome bagi pasien-pasien ini.

Pembahasan
Disini kami menggambarkan peningkatan insidensi bentuk konjungtivitis
kronis yang baru (Gambar 3), yang kami yakini merupakan bentuk konjungtivitis
kontak yang berkaitan dengan perubahan pada penyusun kosmetik periokular atau
kapas wajah yang digunakan untuk menghapusnya. Kosmetik sebelumnya telah
diketahui menyebabkan masalah pada mata [7] dan beberapa pemeriksaan
toksisitas pada mata dilakukan pada sebagian besar produk di pasar, dengan
menggunakan Draize eye test dan alternatif bebas hewan [8,9]. Hal ini biasanya
tidak dimaksudkan untuk menyingkirkan toksisitas kornea, namun dalam contoh
ini tampak bahwa pengaruh konjungtiva telah menghasilkan suatu gejala yang telah
ditetapkan dengan baik.
Meskipun kondisi ini cenderung ditemukan pada populasi pasien yang datang
ke departemen oftalmologi rumah sakit, kelainan ini seringkali terlewatkan pada
sebagian besar kasus lainnya. Pelayanan dari Pelayanan Primer Oftalmologi, yang
memiliki pegawai dari satu dokter ahli oftalmologis umum, memeriksa hampir
semua pasien baru dengan epifora untuk populasi Rugby (n = 100.000) serta pasien
dari area lainnya yang berdekatan. Dengan mengasumsikan populasi Inggris
sebesar 63 juta dan bahwa tampilan penyakit yang baru ini disajikan dalam angka
yang sama diseluruh Inggris, ekstrapolasi mengesankan bahwa hingga 13.000
pasien bisa datang dengan kondisi ini di Inggris pada tahun 2014.
Bentuk konjungtivitis ini merupakan masalah khusus karena kondisi ini
membutuhkan pemantauan dan penatalaksanaan dengan steroid topikal selama
beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun kecuali jika dilakukan penatalaksanaan
yang tepat. Penatalaksanaan satu-satunya yang tepat yang telah kami temukan
hingga saat ini adalah steroid topikal dan penghindaran sediaan periokular dan
kapas wajah. Pembentukan katarak adalah suatu hal yang berisiko ketika steroid
digunakan untuk periode yang lama, dan pada sebagian besar kasus, steroid
dikurangi dari dengan kekuatan standar (yaitu deksamethason 0.1%) menjadi
kekuatan yang paling lemah (yaitu fluorometholone, FML) dalam waktu 3 bulan.
Menjalani pengurangan dosis FML selama 6-12 bulan kemungkinan tidak memiliki
risiko perburukan katarak yang tinggi. Namun, adalah suatu hal yang
mengkhawatirkan karena banyak pasien-pasien ini yang berisiko tetap
membutuhkan steroid topikal dalam periode yang lama untuk mengendalikan
gejala-gejala mereka kecuali mereka dipersiapkan untuk menghentikan semua
penggunaan produk-produk wajah dan menggunakan kapas wajah dan
menyingkirkan penyebabnya.
Pada Desember 2013, terdapat temuan media Inggris yang besar-besaran
mengenai epidemi masalah dermatologi yang disebabkan oleh bahan kimia
methylisothaizolinone (MI) dan methylchlorisothiazolinone (MCI), yang keduanya
secara bersamaan juga dikenal sebagai Kathon, yang digunakan untuk
meningkatkan waktu simpan kosmetik, losio, sabun, shampo, produk-produk untuk
tubuh lainnya dan pembersih kulit [10, 11]. Bahan ini awalnya diperkenalkan
sebagai bahan pengawet kosmetik pada tahun 2006 dan kemudian semenjak saat
itu menjadi digunakan secara luas. Semenjak pengenalannya, sejumlah kejadian
alergi kontak dan dermatitis kontak yang belum pernah terjadi sebelumnya telah
dilaporkan. Di AS Database Kosmetik dari Kelompok kerja Lingkungan
menganggap MI merupakan ancaman kesehatan yang sedang karena iritan
kimianya yang dapat menyerang kulit, mata, atau paru.
Gambar 3. Meningkatnya jumlah dan derivasi populasi konjungtivitis tarsal kronis
selama lima tahun.

MI telah dilarang penggunaannya di Kanada, namun masih sering digunakan


di Amerika. MI telah dianggap sebagai “alergen kontak selama 2013” oleh
Perkumpulan dermatitis kontak Amerika. European Commission Scientific
Committee mengenai keamanan konsumen
(http://ec.europa.eu/health/scientific_committees/consumer_safety/docs/sccs_o_1
45.pdf) menganggap MI sebagai sensitisator yang kuat dengan kategori potensi
yang “ekstrim” dan bahwa peningkatan angka alergi kontak terhadap MI yang
sangat tinggi, sebagaimana yang dideteksi dengan uji tempel diagnostik, belum
pernah terjadi sebelumnya di Eropa. Karena peningkatan jumlah kasus pada tahun
2014 dan kewaspadaan akan potensi masalah dengan Kathon, pasien-pasien
dianjurkan untuk mencoba dan menghindari produk-produk yang mengandung
Kathon, meskipun masalahnya tidak bisa semata-mata dikaitkan dengan agen ini.
Uji tempel kulit dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebab, namun
hasilnya tidak mendukung kecurigaan kami. Hal ini kemungkinan karena kegagalan
dalam mengidentifikasi alergen kontak yang bertanggung jawab, yang diketahui
sulit untuk dilakukan. Uji tempel acak tidak direkomendasikan karena menciptakan
tingginya angka positif palsu [12] dan penyakit atopik berkaitan dengan risiko
alergi kontak yang lebih besar [13]. Pada pasien-pasien yang datang untuk uji
tempel, penghentian alergen kontak yang dicurigai tidak memperlihatkan
kecenderungan yang jelas untuk perbaikan gejala, demikian juga paparan secara
berkelanjutan tidak ditemukan secara bersamaan dengan persistensi gejala.
Sensitisasi pasien terhadap alergen kontak pada uji tempel tampak tidak
berkaitan dengan dermatitis kontak yang sebenarnya yang lagi-lagi sesuai dengan
data mengenai positif palsu dalam kepustakaan [14]. Tingginya persentase
sensitisasi nikel pada pasien kami dapat dijelaskan oleh keadaan bahwa pasien kami
secara eksklusif adalah perempuan [13]. Mekanisme hipersensitivitas nikel telah
diteliti secara rinci, dan hasil haptenisasi protein setelah paparan kulit menyebabkan
aktivasi limfosit T spesifik hapten [15]. Fakta bahwa wanita dengan hasil yang
positif tidak memiliki riwayat dermatisis kontak, dan begitu pula, gejala
konjungtivitis tarsal saat ini tidak tampak berkaitan dengan sensitisasi yang
ditunjukkan pada saat pemeriksaan, mencerminkan rendahnya spesifisitas dan
spesifisitas uji tempel yaitu sebesar 70% [14].
Produk-produk kosmetik seperti eye shadow dikenal mengandung partikel-
partikel nikel dalam konsentrasi yang berbeda-beda. Warna coklat dan hijau
mengandung kadar nikel yang paling tinggi dan berpotensi menyebabkan dermatitis
pada kelopak mata dan konjungtivitis kontak alergi. Hanya satu dari empat pasien
kami yang memiliki riwayat dermatitis kontak terhadap perhiasan buatan, suatu uji
yang positif terhadap nikel namun tidak ada gejala saat menggunakan eye shadow
coklat dan hijau secara berkelanjutan. Secara keseluruhan, hasil emeriksaan kulit
harus diinterpretasikan secara hati-hati karena data tidak lengkap. Setengah dari
kelompok pasien gagal menghadiri waktu pertemuan untuk uji tempel dan tidak
setiap orang yang hadir menyelesaikan kuesioner.
Kesesuaian uji tempel kulit untuk mendiagnosis dermatitis kontak pada
membrana mukosa masih diperdebatkan. Menurut pengetahuan kami, tidak ada
data yang tersedia mengenai ambang batas sensitisasi konjungtiva dibandingkan
dengan kulit namun terdapat kepustakaan yang meningkatkan kewaspadaan
mengenai ambang batas sensitisasi kulit yang berbeda pada bagian tubuh yang
berbeda seperti punggung dibandingkan dengan kelopak mata karena ketebalan
kulit yang berbeda-beda dan dampak terhadap penetrasi alergen kontak. Hal ini
membutuhkan konsentrasi alergen kontak dalam jumlah yang berbeda untuk
mencapai reaksi yang serupa [16]. Bulu mata dan film air mata bertindak sebagai
sawar mekanis terhadap paparan pada mata, namun ketika sawar ini telah
dihilangkan atau disingkirkan, konjungtiva yang sangat kaya akan pembuluh darah
mempermudah akses untuk alergen kontak. Satu penelitian oleh Villarreal
melaporkan sensitivitas uji tempel untuk konjungtivitis alergi tipe 4 sebesar 74%
[17], yang serupa dengan dermatitis kontak alergi [14]. Nilai prediksi negatifnya
rendah yaitu pada angka 41%. Pada 24% pasien, uji coba konjungtiva tambahan
harus dilakukan untuk mendiagnosis alergi kontak yang mendasari [17].
Sayangnya, dalam penelitian kami, departemen dermatologi yang melakukan uji
tempel untuk penelitian ini tidak mampu melakukan uji coba konjungtiva.
Terakhir, konjungtivitis tarsal dapat merupakan konjungtivitis iritan
dibandingkan konjungtivitis yang dimediasi alergi tipe 4 dan oleh karena itu uji
tempel gagal menemukan apa yang sebenarnya menjadi penyebab keadaan ini.
Ambang batas iritan terbukti berbeda-beda pada kulit dan membrana mukosa dan
pemulihannya akan lebih sulit karena penghentian pemicu tidak menyebabkan
perbaikan yang cepat sebagaimana pada reaksi alergi kontak. Sebagai contohnya,
ambang batas untuk kathon pada membrana mukosa lebih rendah dibandingkan
pada kulit dalam menyebabkan korosi [18].
Penatalaksanaan dari kami (tabel 1) didasarkan pada penatalaksanaan steroid
okular topikal dengan menyingkirkan produk-produk wajah, termasuk semua kapas
wajah/kapas penghapus make up, kosmetik dan produk-produk pelembab. Sifat
utama pasien yang telah dipulangkan adalah keinginan untuk mengurangi secara
signifikan produk yang mereka oleskan disekitar kelopak mata. Beberapa pasien
menghentikan semuanya, sementara yang lainnya tetap mengoleskan produk-
produk wajah hingga 2 – 3 malam dalam sebulan. Jelas bahwa penting untuk
menetapkan etiologi pasti jenis konjungtivitis ini.
Pada sebagian pasien, onset gejala tampak ditemukan secara bersamaan
dengan penggunaan merk kapas wajah yang ada di supermarket. Merk kapas wajah
yang terkait tidak mengandung MI atau MCI. Pada saat menanyakan lebih lanjut
terhadap pasien perempuan saat mereka datang kembali untuk ulasan dari kami,
setidaknya 17 pasien (30% dari kasus yang datang dibawah tinjauan aktif)
ditemukan telah menggunakan atau sedang menggunakan kapas wajah yang
bermerk ini. Mereka yang menggunakan kapas wajah mengamati resolusi gejala
saat berhenti menggunakan kapas fasial, yang bersamaan dengan beberapa bulan
penggunaan tetes steroid topikal. Vendor tidak mengubah formulasi kapas mereka
dari September 2015, dan tidak ada kasus baru yang ditemukan sejak Desember
2015. Perubahan utama dalam sediaan adalah penyuplai yang mengubah bahan
pengawet (menjadi resep yang bebas dari faraben dan fenoxyethanol). Meskipun
tampaknya tidak ada penelitian yang telah dipublikasikan yang mengaitkan
fenoxythanel dengan konjungtivitis, paraben pada tetes mata telah tercatat
menyebabkan dermatitis kontak, dan adalah hal yang memungkinkan bahan ini
merupakan agen kausatif yang bertanggung jawab atas kondisi yang kami amati.

Kesimpulan
Konjungtivitis tarsal kronis merupakan bentuk konjungtivitis yang tidak biasa
yang tampak berkaitan dengan penggunaan satu merk kapas wajah, dan mungkin
bersifat toksik atau alergen-kontak yang dipicu oleh paraben yang digunakan
sebagai bahan pengawet. Penting agar ahli oftalmologi mengenali kondisi yang
serupa ini, sejalan dengan pasien, mempertimbangkan strategi penelitian yang
dirincikan dalam artikel ini.

Vous aimerez peut-être aussi