Vous êtes sur la page 1sur 17

BAB I

PENDAHULUAN

Toksoplasmosis serebral adalah penyakit infeksi opportunistik biasanya menyerang


pasien-pasien dengan HIV-AIDS dan merupakan penyebab paling sering terhadap abses
serebral pada pasien-pasien ini. Toxoplasma gondii juga dapatmenimbulkanradang pada
kulit, kelenjar getahbening, jantung, paru,mata, dan selaput otak. Infeksi paling umum dapat
didapat dari kontak dengan kucing-kucing dan feces mereka atau daging mentah atau yang
kurang masak.
Penyakit ini bisa diobati dan bisa sembuh secara total, namun jika tidak dirawat, akan
berakhir dengan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang
merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia. Parasit ini
merupakan golongan protozoa yang bersifat parasit obligat intraseseluler yang menginfeksi
sebagian besar populasi dunia dan merupakan penyebab tersering penyakit-penyakit infeksi
otak pada pasien dengan HIV-AIDS. Infeksi toksoplasma gondii biasanya bersifat laten dan
dormant asimptomatik pada individu baik dengan imunokompeten atau dengan HIV-AIDS.
Namun pasien dengan HIV lebih cenderung terkena toksoplasmosis akut karena proses
reaktivasi organisme ini apabila jumlah CD4 T sel mereka kurang di bawah 100sel/µL atau
apabila jumlah CD4 T sel di bawah 200 sel/µL tetapi ada infeksi-infeksi oportunistik lainnya
atau malignansi. Reaktivasi toksoplasma gondii yang laten pada pasien HIV-AIDS umumnya
akan menyebabkan toksoplasmosis serebral dan bisa membahayakan jiwa jika diagnosis dan
terapi tidak tepat. Penyakit ini cukup sulit didiagnosis dan diterapi, terutama di negara-negara
berkembang di mana jumlah pasien HIV sangat tinggi.(1) Faktor resiko untuk terkena infeksi
toksoplasma gondii pada pasien HIV termasuklah umur, ras dan faktor demografik lainnya.
Berdasarkan gejala klinis dan terlibatnya organ sefal, menyebabkan kasus ini menjadi lebih
serius dari toksoplasmosis ekstraserebral.[2]
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi

Cerebral Toxoplasmosis adalah infeksi otak oleh parasit toxoplasma gondii; terjadi

pada pasien AIDS sebagai akibat reaktifitasi infeksi otak laten yang disebabkan oleh parasit

intraseluler yang bersifat oportunistik. Temuan klinis dan pemeriksaan radiologisnyatidak

spesifik ; dugaan diagnosis dapat didasarkan pada respon terhadap empiris dengan

pirimetamin dan sulfadiazin. Biasanya diperlukan pengobatan seumur hidup.1

Toksoplasma gondii dengan pewarnaan H.A.

II. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi zat anti T. gondii berbeda di berbagai daerah geografik, seperti pada
ketinggian yang berbeda di daerah rendah prevalensi zat anti lebih tinggi dibandingkan
dengan daerah yang tinggi. Prevalensi zat anti ini juga lebih tinggi di daerah tropik.Pada
umumnya prevalensi zat anti T. gondii yang positif meningkat sesuai dengan umur, tidak ada
perbedaan antara pria dan wanita. Anjing sebagai sumber infeksi mendapatkan infeksi dari
makan tinja kucing atau bergulingan pada tanah yang mengandung tinja kucing, yang
merupakan instrumen penyebaran secara mekanis dari infeksi T. gondii. Lalat dan kecoa
secara praktis juga penting dalam penyebarannya.[9]

Di Indonesia, prevalensi zat anti T. gondii pada hewan adalah sebagai berikut:
 kucing 35-73 %,
 babi 11-36 %,
 kambing 11-61 %
 anjing 75 %
 ternak lain kurang dari 10 % .[9]

III. ETIOLOGI
Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa olehkucing, burung dan
hewan lainyang dapat ditemukan pada tanahyang tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada
daging mentahataukurang matang. Apabila parasit masuk ke dalam sistemkekebalan, ia
menetap di dalamtubuhtetapi sistem kekebalan pada orangyang sehat dapat melawan parasit
tersebut hingga tuntasdandapatmencegah penyakit. Transmisi pada manusia terutama terjadi
bilamemakan daging babi atau domba yang mentahyang mengandungoocyst (bentuk infektif
dari T.gondii). Bisa juga dari sayur yangterkontaminasi ataukontak langsung dengan feses
kucing. Selain itudapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusidarah, dantransplantasi
organ. Infeksi akut pada individu yangimmunokompeten biasanya asimptomatik. Pada
manusia denganimunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dariinfeksilaten. Yang
akan mengakibatkan timbulnya infeksiopportunistik dengan predileksi di otak.[6]
Gambar 1 : Siklus Hidup Toxoplasmosis
Siklus Hidup dan Morfologi Toxoplasmosis
Toxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuktrofozoit, kista, danOokista:

 Tachyzoit berbentuk oval dengan ukuran 3-7 um, dapatmenginvasi semua sel
mamalia yang memiliki inti sel.Dapat ditemukan dalam jaringan selama masa akut
dariinfeksi. Bila infeksi menjadi kronis tachyzoit dalamjaringan akan membelah
secara lambat dan disebutbradizoit.[6]

Gambar 2: Tachyzoit

 Bentuk kedua adalah kista yang terdapat dalam jaringandengan jumlah ribuan
berukuran 10-100 um. Kistapenting untuk transmisi dan paling banyak terdapatdalam
otot rangka, otot jantung dan susunan syarafpusat.[6]
Gambar 3 : Kista

 Bentuk yang ke tiga adalah bentuk Ookista yangberukuran 10-12 um. Ookista
terbentuk di sel mukosausus kucing dan dikeluarkan bersamaan dengan feceskucing.
Dalam epitel usus kucing berlangsung siklusaseksual atau schizogoni dan siklus atau
gametogenidan sporogoni. Yang menghasilkan ookista dan dikeluarkan bersama feces
kucing. Kucing yangmengandung toxoplasma gondii dalam sekali ekskresiakan
mengeluarkan jutaan ookista. Bila ookista initertelan oleh pejamu perantara seperti
manusia, sapi,kambing atau kucing maka pada berbagai jaringanpejamu perantara
akan dibentuk kelompok-kelompoktrofozoit yang membelah secara aktif. Pada
pejamuperantara tidak dibentuk stadium seksual tetapidibentuk stadium istirahat yaitu
kista. Bila kucing makantikus yang mengandung kista maka terbentuk
kembalistadium seksual di dalam usus halus kucing tersebut.[6]

Gambar4:Ookista

IV. PATOMEKANISME
Penularanpadamanusia dimulaidengan tertelannya tissue cyst atau oocyst diikuti oleh
terinfeksinyasel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites secaraberturut-turut.
Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites,organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat
peredaran darahatau limfatik. Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitumencapai
jaringan perifer. Bentuk ini dapat bertahan sepanjanghidup pejamu,danberpredileksi untuk
menetap pada otak,myocardium, paru, otot skeletal dan retina.
Pada manusiadengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dariinfeksi
laten yang akan mengakibatkan timbulnya infeksioportunistik denganpredileksi di otak.
Tissue cyst menjadi rupturdan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini
akanmenghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis.[5][8]
Ookista (Daging mentah)

Tachyzoit (usus)

Darah & Limfe

Imune Respon

Bradyzoit (otak, skeletal,


myocard, retina)

Immunocompromized

→reaktivasi

Gambar5 :Patogenesis Toxoplasmosis

Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapatmenjadi prediktor
kemungkinan adanya infeksi oportunistik. HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas
fungsionaldankualitas kekebalan tubuh. HIV mempunyai target sel utamayaitu sel limfosit
T4, yang mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yangjuga mempunyai reseptor CD4
adalah : sel monosit, selmakrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan
sellangerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatanvirus kepermukaan
sel reseptor CD4, yang menyebabkan kematianseldengan meningkatkan tingkat
apoptosispada sel yangterinfeksi. Selain menyerang sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV
jugaberdampak pada sistem saraf dandapat mengakibatkan kelainanpada saraf. Infeksi
oportunistik dapat terjadi akibat penurunankekebalantubuh pada penderita HIV/AIDS. Infeksi
tersebudapatmenyerang sistem saraf yang membahayakanfungsi dan kesehatanselsaraf.
Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistikseperti toxoplasmosissangat
kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4; kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN-
gamma; kegagalanaktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi
HIVmenunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma secara invitro danpenurunan
ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadapT gondii.[10][16]
Tachyzoit

Aktivasi CD4 sel T

ekspresi CD154

sel dendritik dan


makrofag

IL-12

Sel T→INF-y

Respon antitoxoplasmik

Gambar5 :ResponImun

V. GAMBARAN KLINIS

Gejala toxoplasmosis cerebral tidak bersifat spesifik dan agak sulit untuk dibedakan
dengan penyakit lain seperti lymphoma, tuberculosis dan infeksi HIV akut. Toksoplasmosis
dapatan tidak diketahui karena jarang menimbulkan gejala. Gejala yang ditemui pada dewasa
maupun anak-anak umumnya ringan.

Apabila menimbulkan gejala, maka gejalanya tidak khas seperti demam, nyeri otot,
sakit tenggorokan, nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe servikalis posterior,
supraklavikula dan suoksiput. Pada infeksi berat, meskipun jarang, dapat terjadi sefalgia,
muntah, depresi, nyeri otot, pneumonia, hepatitis, miokarditis, ensefalitis, delirium dan dapat
terjadi kejang.[4]
Gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis pada umumnya sesuai dengan kelainan
patologi yang terjadi dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu gejala-gejala klinis pada
toksoplasmosis congenital dan toksoplasmosis didapat.

Gejala cerebral toksoplasma atau dikenali sebagai toksoplasma otak termasuk


ensefalitis, demam, sakit kepala hebat yang tidak ada respon terhadap pengobatan, lemah
pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan meningkat, masalah penglihatan, vertigo,
afasia, masalah berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien
menunjukan tanda infeksi. Pada ensefalitis fokal ditemukan nyeri kepala dan rasa bingung
kerna adanya pembentukan abses akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Pasien dengan
sistem immunonya menurun, gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita
mungkin akan mengalami kejang dan penurunan kesadaran.[4]

Toksoplasmosis serebral sering muncul dengan onset subakut dengan gejala fokal
nerologik. Walaubagaimanapun, terdapat juga onset yang tiba-tiba disertai kejang atau
pendarahan serebral. Hemiparesis dan gangguan percakapan sering ditemui sebagai gejala
klinis awal.

Keterlibatan batang otak bisa menghasilkan lesi saraf cranial dan pasien akan
mempamerkan disfungsi serebral seperti disorientasi, kesadaran menurun, lelah atau koma.
Pengibatan medulla spinalis akan menghasilkan gangguan motorik dan sensorik bagi
beberapa anggota badan serta kantung kemih atau kesakitan fokal.[4]

VI. DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serologi, biopsi jaringan, isolasi T


gondii dari cairan tubuh atau darah dan pemeriksaan DNA parasit.Pada pasien dengan suspek
toxoplasmosis, pemeriksaan serologi dan pencitraan baik Computed Tomography (CT) atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI) biasanya digunakan untuk membuat diagnosis. Terapi
empirik untuk toxoplasmosis cerebral harus dipertimbangkan untuk pasien yang terinfeksi
HIV. Biopsi dicadangkan untuk diagnosis pasti atau untuk pasien yang gagal dengan terapi
empirik.[1][13]

Pada pemeriksaan serologi didapatkan seropositif dari anti-T gondii IgG dan IgM.
Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer IgG dan IgM T gondii
yang biasa dilakukan adalah dengan Sabin-Feldman dye test, tapi pemeriksaan ini tidak
tersedia di Indonesia. Deteksi antibodi juga dapat dilakukan dengan indirect fluorescent
antibody (IFA), agglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG
mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti
bodi IgM hilang dalam beberapa minggu setelah infeksi.[13][15]

Pemeriksaan cairan serebrospinal jarang berguna dalam diagnosis toxoplasmosis


cerebral dan tidak dilakukan secara rutin karena resiko dapat meningkatkan tekanan
intrakranial dengan melakukan pungsi lumbal. Temuan dari pemeriksaan cairan
serebrospinalmenunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuclear predominan dan
elevasi protein.[1]

Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA T


gondii dapat berguna untuk diagnosis toxoplasmosis. PCR untuk T gondii dapat juga positif
pada cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aqueous humor dari penderita
toxopasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti
terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapt bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut.
PCR pada darah mempunyai sensitifitas yang rendah untukdiagnosis pada penderita
AIDS.[1][11]

Toxoplasmosis juga dapat didiagnosis dengan isolasi T gondii dari kultur cairan tubuh
atau spesimen biopsi jaringan tapi diperlukan waktu lebih dari 6 minggu untuk mendapatkan
hasil kultur. Diagnosis pasti dari toxoplasmosis adalah dengan biopsi otak, tapi karena
keterbatasan fasilitas, waktu dan dana sering biosi otak ini tidak dilakukan. Upaya isolasi
parasit dapat dilakukan dengan inokulasi mouse atau inokulasi dalam jaringan kultur sel dari
hampir semua jaringan manusia atau cairan tubuh. Pasien dengan toxoplasmosis cerebral
ditemukan histopatologitachyzoitpadajaringanotak.[1][15]

Pada kebanyakan pasien imunodefisiensi dengan toxoplasmosis cerebral, CT scan


menunjukkan gambaran beberapa lesi otak bilateral. Studi pencitraan biasanya menunjukkan
beberapa lesi terletak di wilayah korteks serebral , corticomedullary junction , atau ganglia
basal. Meskipun begitu, lesi tunggal juga kadang-kadang muncul pada penderita
toxoplasmosis cerebral. Karakteristik toxoplasmosis cerebral adalah asimetris, yang memberi
gambarn abses cincin dengan kedua CT dan MRI. CT scan tanpa kontras dapat
memperlihatkan lesi hipodens dalam otak yang mungkin keliru pada lesi otak fokal tipe lain,
namun , CT Scan ulang dengan kontras akan memperlihatkan lesi otak dengan gambaran
khas ring enhancement dan disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya.[14] Pada T1 –
weighted MRI , toxoplasma memprelihatkn lesi dengan intensitas sinyal rendah berhubung
dengan sisa dari jaringan otak . Pada T2 – weighted MRI , lesi biasanya dengan intensitas
sinyal tinggi. MRI adalah modalitas pilihan untuk mendiagnosis dan memantau respon
terhadap pengobatan toxoplasmosis karena lebih sensitif dari CT untuk mendeteksi beberapa
lesi.[1][15]

AAN Quality Standards subcommittee (1998) merekomendasikan penggunaan terapi


empirik pada pasien yang diduga toxoplasmosis cerebral selama 2 minggu, kemudian
dimonitor lagi setelah 2 minggu, bila ada perbaikan secara klinis maupun radiologik,
diagnosis adanya toxoplasmosis cerebral dapat ditegakkan dan terapi ini dapat di
teruskan.Lebih dari 90% pasien menunjukkan perbaikan klinis dan radiologik setelah
diberikan terapi inisial selama 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan lesi setelah 2 minggu,
diindikasikan untuk dilakukan biopsi otak.[1]

VII. PENATALAKSANAAN

Terapi utama pada toxoplasmosis serebral akut ialah pirimetamin(obat anti malaria)
dan sulfadiazine. Kombinasi antara pirimetamin dengan sulfadiazin (antibiotik) ini
menunjukkan aktivitas sinergis dalam mengeradikasi toxoplasma gondii karena dapat
menyebabkan inhibisi secara terus menerus terhadap jalur sintesis asam folat. Leucovorin
haruslah ditambah untukmencegah komplikasi pendarahan karena efek samping untuk
regimen kombinasi ini adalah penurunan jumlah trombosit atau trombositopenia. Pengobatan
untuk ibu hamil yang terinfeksi toksoplasma gondii sama dengan individu-individu lain,
tetapi para ibu haruslah diberi informasi bahwa sulfadiazine bisa menyebabkan bayinya
hiperbilirubinemia dan kernikterus.[1] Terdapat regimen alternatif untuk pasien yang
intoleransi terhadap sulfadiazin atau pirimetamin. Kombinasi yang sering dipakai dalam
menangani kasus toksoplasma serebral selain pirimetamin dan sulfadiazin ialah trimetoprim
dengan sulfamethoxazole, klindamisin dengan pirimetamin, dan claritromisin dengan
pirimetamin. Klindamisin dengan pirimetamin diberikan pada pasien yang tidak bisa toleransi
terhadap sulfonamid.[1][2]

Atovaquone adalah bagian dari naftoquinon yang unik dengan aktivitas antiprotozoa
yang spektrumnya luas . Atovaquone telah dibuktikan efektif terhadap takizoit toksoplasma
in vitro dan akan membunuh bradizoit dalam kista jika dalam konsentrasi yang tinggi.
Atovaqoune sering digunakan dalam kombinasi obat-obat lain. Menurut penelitian
atovaqoune menjadi lebih efektif apabila dikombinasikan dengan obat lain seperti
pirimetamin, sulfodiazin, klindamisisn atau claritromisin.[2]

Regimen terapi untuk toksoplasmosis serebral akut

Terapi pilihan dan lama pengobatan Regimen Alternatif


Pirimethamin (200-mg oral dosis inisial,  Pirimethamine (200-mg oral dosis inisial,
dilanjutkan dengan 50–75 mg/hari secara dilanjutkan dengan 50–75 mg/day secara
oral), sulfadiazine (1000–1500 mg oral) and klindamisin(600 mg intravena
4 kali/hari), and leucovorin (10–20 mg/hari) [IV] atau oral 4 kali sehari).
 TMP (5 mg/kg) and SMX (25 mg/kg) IV
Lama pengobatan :6 minggu atau oral 2 kali sehari.
 Atovaquone* (1500 mg oral2 kali sehari)
+ pirimethamin (50–75 mg/hari) dan
leucovorin (10– 20 mg/hari).
 Atovaquone* (1500 mg oral dua kali
sehari) + sulfadiazin (1000–1500 mg 4
kali sehari).
 Atovaquone* (1500 mg oral 2 kali sehari)
 Pirimethamin (50–75 mg/hari) dan
leucovorin (10–20 mg/hari) +
azithromisin (900–1200 mg/hari oral)
Untuk pasien yang sakit berat dan tidak bisa
toleransi terhadap medikasi oral, TMP (10
mg/kg/hari) and SMX (50 mg/kg/hari) IV.
TMP = trimethoprim; SMX = sulfamethoxazole.
*Atovaquone harus diambil bersama makanan.

Regimen profilaksis
Indikasi Terapi pilihan Regimen alternatif
Profilaksis primer 1 kekuatan-ganda dua TMP-  1 kekuatan tunggal
SMX (160 mg TMP/ 800 mg TMP/SMX tablet setiap
SMX) tablet setiap hari hari.
 Dapsone 50 mg tiap hari
+ pirimethamin 50 mg
tiap minggu dan
leucovorin 25 mg tiap
minggu.
 Atovaquone 1500 mg tiap
hari.

Profilaksis sekunder Sulfadiazine (500–1000 mg  Klindamisin (300–450


oral 4x/tiap hari) + mg oral tiap 6–8 jam) +
pirimethamin (25–50 mg/hari pirimethamin (25–50
oral) dan leucovorin (10–25 mg/hari oral) dan
mg/hari oral). leucovorin (10–25
mg/hari oral)
 Atovaquone (750 mg tiap
6–12 jam) dengan atau
tanpa pirimethamin (25
mg/hari oral)+leucovorin
(10 mg/hari oral)
TMP = trimethoprim; SMX = sulfamethoxazole.

Efek samping pirimetamin ialah timbulnya bercak-bercak merah yang menyebabkan


pasien tidak mau meneruskan pengobatannya. Keadaan ini bisa ditangani dengan pemberian
antihistamin secara bersamaan. Sulfadiazin juga bisa menyebabkan nefropati karena kristal.
Pada pasien yang kritis, yang tidak bisa mengambil obat secara oral, trimethoprim(TPM)
intravena 10mg/kg setiap hari bersama sulfamethoxazole (SMX) 50mg/kg setiap hari dapat
diberikan.[1]

Terapi akut harus lebih dari tiga minggu dan bisa 6 minggu jika bisa ditoleransi.
Lebih panjang terapi akut diperlukan pada pasien dengan gejala klinis yang berat dan ada
bukti terinfeksi pada foto radiologi. Hampir 65% hingga 90% pasien memberi respon
terhadap terapi dengan pirimetamin, leucovorin dan sulfadiazine. Perbaikan klinis secara
cepat dapat dilihat setelah memulai terapi yang tepat pada toksoplasmosis serebral akut.
Setelah beberapa hari, 3.5% pasien menunjukkan perbaikan neurologis dan 9.1%
menunjukkan perbaikan neurologis setelah hari ke empat belas. Perbaikan pada foto radiologi
bisa dilihat pada minggu ketiga terapi. Pada pasien yang tidak ada respon terhadap terapi
dalam jangka waktu 10 hingga 14 hari, biopsi harus dilakukan untuk menyingkirkan penyakit
limfoma. Terapi kortikosteroid bisa diberikan pada pasien dengan kondisi klinis yang
memburuk dalam waktu 48jam atau pasien yang pada foto radiologinya terdapat perubahan
garis tengah (midline shift) dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Dexametasone
(4mg setiap 6jam) paling sering diberikan dan diturunkan dosisnya setelah beberapa hari.
Penggunaan steroid pada pasien HIV-AIDS harus hati-hati karena obat ini bisa melindungi
infeksi-infeksi oportunistik yang lain. Antikonvulsan dapat diberikan pada pasien yang
kejang tapi tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin.[1]

Terapi pemeliharaan dilanjutkan untuk mencegah penyakit kambuh kembali. Pasien-


pasien yang tidak mendapatkan terapi pemeliharaan setelah mendapat terapi akut sering
terjadi kekambuhan. Pasien harus mendapat terapi profilaksis sekunder yaitu dengan terapi
pemeliharaan selama 6 minggu setelah terapi fase akut. Regimen terapi fase pemeliharaan
sama dengan terapi fase akut, tetapi dosisnya minimal danmemberikan hasil yang efektif.(1)

VIII. DIAGNOSA BANDING


Diagnosa banding untuk lesi bentuk cincin (ring-enhancing lesions) di otak pada
pasien dengan HIV ialah seperti berikut: [1]

o Toksoplasmosis serebral akut


o Limfoma sistem saraf pusat primer
o Tumor otak primer
o Metastasis otak
o Penyakit demielinasi (misal: sklerosis multipel)
o Infeksi (misal : tuberkuloma)
o Infark multifokal
o Malformasi vena-arteri

Penyebab abnormalitas sistem saraf pusat pada pasien HIV yang sudah berat (CD4 T
sel <50 sel/µL) termasuklah toksoplasmosis serebral (19% dari semua pasien dengan gejala
lesi di otak), limfoma sistem saraf pusat primer (4%-7%), leukoensefalopati multifokal
progresif, HIV ensefalopati dan ensefalitis sitomegalovirus. Infeksi-infeksi dari etiologi lain
ialah tuberkulosis, stafilokokkus, streptokokkus, salmonella, kriptokokkus, histoplasmosis
dan meningovaskuler syphilis.[1]

IX. PENCEGAHAN

Non farmakologi

Pemeriksaan antitoksoplasma IgG antibodi harus dilakukan sebaik mungkin pada


pasien yang didiagnosis dengan HIV-AIDS untuk melihat faktor-faktor resiko terjadinya
toksoplasmosis akut. Pasien dengan hasil laboratorium seronegatif harus diperiksa ulang
apabila jumlah CD4 T sel menurun di bawah 100 sel/µL untuk melihat apakah telah terjadi
serokonversi. Semua pasien dengan infeksi HIV harus diberikan edukasi mengenai cara
menjaga makanan karena penularan toxoplasma gondii bisa melalui makanan.Jadi makanan
yang dikonsumsi terutamadaging harus benar-benar masak (pada suhu 116 derajat celcius).
Tangan harus dicuci sebelum dan setelah menyentuh makanan. Buah-buahan dan sayur-
sayuran harus dicuci bersih.[1]
Hindari menyentuh barang yang kemungkinan terkontaminasi dengan kotoran
kucing.Jika ada kotoran kucing, maka harusdibersihkan untuk menghindari maturasi sel-sel
telur toxoplasma gondii. Sewaktuberkebun, harus memakai sarung tangan untuk menghindari
transmisi toxoplasma gondii yang ada di tanah ke tangan manusia.[1]

Farmakologi

Pada pasien dengan seropositif, profilaksis primer direkomendasikan pada pasien


dengan T gondii seropositif yang memiliki jumlah CD4 T-sel <100/µL dan pada pasien
dengan CD4 T-sel <200/µL yang mempunyai infeksi oportunistik atau malignansi.
Profilaksis dengan menggunakan regimen trimetoprim-sulfamethoxazole pada pasien dengan
jumlah CD4 T sel <100/µL menunjukkan pengurangan risiko terinfeksi toksoplasmosis
sebanyak 73%.Pasien-pasien yang tidak mendapat terapi pemeliharaan selepas menjalani
terapi fase akut mempunyai kadar kekambuhan antara 50%-80%. Mereka harus mendapat
terapi pemeliharaan selepas 6 minggu menjalani terapi fase akut. Insiden infeksi oportunistik
termasuk toksoplasma serebral sudah berkurang,terutama di daerah di mana penggunaan
antiretroviral terapi bisa didapatkan. Terapi HAART (Highly Active Anti Retro viral) berhasil
mengurangi kekambuhan dan berhasil memperbaiki kualitas hidup pada pasien-pasien HIV.
Hal ini dikarenakan terapi itu berhasil menekan replikasi virus dan meningkatkan jumlah
CD4+ limfosit yang mana akan turut memperbaiki sistem imunitas pasien.[1]

X. PROGNOSIS

Jika tidak didiagnosis dan diterapi dengan tepat, toksoplasmosis serebral bisa
menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Terapi profilaksis adalah kunci mencegah
terjadinya onset penyakit. Dengan adanya terapi HAART (Highly Active Anti Retroviral
Terapi), maka insiden kekambuhan infeksi toksoplasmosis serebral dapat dikurangi.[1]
DAFTAR PUSTAKA

1. Jayawardena S, Singh S, Burzyantseva O, Clarke H. Cerebral Toxoplasmosis in Adult


Patients with HIV Infection. Hospital Physician. 2008:17-24.
2. Nissapatorn V. Toxoplasmosis in HIV/AIDS: A Living Legacy. Southeast Asian J
Trop Med Public Health. 2009;40(6):1158-70.
3. Madi D, Achappa B, Rao S, Ramapuram JT, Mahalingam S. Successful Treatment of
Cerebral Toxoplasmosis with Clindamycin: A Case Report. Oman Med J.
2012;27(5):411-2.
4. Ganiem AR, Dian S, Indriati A, Chaidir L, Wisaksana R, Sturm P, et al. Cerebral
Toxoplasmosis Mimicking Subacute Meningitis in HIV-Infected Patients; a Cohort
Study from Indonesia. PLOS Neglected Tropical Disease J. 2013:1-6.
5. Communicable Disease Manageent Protocol : Toxoplasmosis. Mantoba Health Public
Health. November 2001.
6. Advisory Commitee on the Microbiological Safety of Food: Risk profile in Relation
to Toxoplasma in the Food Chain.
7. The Center for Food Security & Public Health: Toxoplasmosis. May 2005.
8. Chapter 2.9.10 TOXOLASMOSIS. OIE Terrrestrial Manual 2008
9. Ir.INDRA CHAHAYA S,Msi. EPIDEMIOLOGI “TOXOPLASMA GONDII”.
BagianKesehatanLingkunganFakultasKesehatanMasyarakat. Universitasn Sumatera
Utara.
10. Yasuhiro Suzuki. Immunopathogenesis of Cerebral Toxoplasmosis. Department of
Biomedical Science and Pathology, Virginia. 2002.
11. Pereira-ChioccolaRoberta S. Nogueira, Roberto Focaccia and Vera LuciaOliveira,
Adrián V. Hernandez, Francisco Bonasser-Filho,Fabio A. Colombo, José E. Vidal,
Augusto C. Penalva de Oliveira. Diagnosis of Cerebral Toxoplasmosis in AIDS
Patients in Brazil: Importance of Molecular and Immunological Methods Using
Peripheral Blood Samples. Journal of Clinical Microbiology. 2005.
12. Sara Mathew George, MD, FRCPath, Ashok Kumar Malik, MD, FRCPath, Fayek Al
Hilli, PhD. Cerebral Toxoplasmosis in an HIV Positive Patient: A Case Report and
Review ofPathogenesis and Laboratory Diagnosis. Bahrain Medical Bulletin. June
2009.
13. Jose G. Montoya.The Journal of Infectious Diseases.Laboratory Diagnosis of
Toxoplasma gondii Infection and Toxoplasmosis, Stanford University School of
Medicine, Stanford California. 2002.
14. Dalton Silaban, KikingRitarwan, danRusliDhanu. MajalahKedokteran Nusantara
Volume 41. DepartemenNeurologi, FakultasKedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan. Juni 2008.
15. Murat Hökelek, MD, PhD; Chief Editor: Burke A Cunha, MD.
Toxoplasmosis Workup,Medscape.Diunduh
dari:http://emedicine.medscape.com/article/229969-workup
16. Sushrut Kamerkarand Paul H. Davis. Toxoplasma on the Brain:Understanding Host-
PathogenInteractions in Chronic CNS Infection. August 2011.

Vous aimerez peut-être aussi