Vous êtes sur la page 1sur 30

ANALISA KADAR UREUM DALAM SERUM PENDERITA TUBERCULOSIS PARU

(TB PARU) YANG MENGONSUMSI OBAT ANTI TUBERCULOSIS (OAT)


LEBIH DARI 4 BULAN DI UPT KESEHATAN PARU MASYARAKAT (KPM)
MEDAN TAHUN 2018

PROPOSAL

OLEH:
DIANA NURULLAH
NIM.150103115

PROGRAM STUDI D-III ANALIS KESEHATAN


FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan kasih dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Proposal ini dengan judul “Analisa Kadar
Ureum Dalam Serum Penderita Tuberculosis Paru (TB Paru) Yang Mengonsumsi Obat
Anti Tuberculosis (OAT) Lebih Dari 4 Bulan Di UPT Kesehatan Paru Masyarakat (KPM)
Medan Tahun 2018”.
Proposal ini merupakan salah satu syarat sebagai bentuk tugas akhir mahasiswa di

perkuliahan semester V pada program studi D-III Analis Kesehatan Sari Mutiara Indonesia

Medan, dan sebagai syarat untuk melanjutkan tugas Karya Tulis Ilmiah (KTI). Dalam

penyusunan Proposal ini penulis mendapat banyak kesulitan, namun berkat bimbingan dan saran

dari berbagai pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan Proposal ini tepat pada waktunya.

Medan, Januari 2018

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Manfaat Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Tuberkulosis Paru
2.2 Cara Penularan Bakteri Tuberkulosis
2.3 Gejala Klinis Tuberkulosis
2.5 Faktor-faktor Penyebab Tuberkulosis Paru
2.5.1 Pemeriksaan Radiologis : foto rontgen torak
2.5.2 Pemeriksaan Laboratorium
2.5.3 Tes Tuberkulin (Mantoux Test)
2.5.4 Pemeriksaan Penunjang
2.6 Pencegahan Penyakit TB Paru
2.7 Pengobatan Tuberkulosis Paru
2.8 Efek Dari Obat Anti Tuberkulosis
2.9 Ginjal
2.9.1 Fungi Ginjal
2.9.2 Penyakit Gagal Ginjal
2.10 Uji Laboratorium
2.11 Ureum
2.11.1 Metabolisme Ureum
2.11.2 Transport/Sirkulasi Ureum
2.12 Kerangka Konsep
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
3.2 Tempat dan Penelitan
3.2.1 Tempat Penelitian
3.2.2 Waktu Penelitian
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
3.3.2 Sampel
3.4 Metode Pengumpulan Data
3.4.1 Metode Pemeriksaan dan Prinsip
3.4.2 Alat, Bahan, dan Reagensia
3.5 Prosedur
3.5.1 Cara Pengambilan Darah Vena
3.5.2 Cara Pemisahan Serum dari Darah
3.5.3 Prosedur Kerja Spektrofotometer LAB300
3.5.4 Perhitungan
3.7. Analisa Data
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Tuberkulosis (TB) Paru yang berarti suatu penyakit infeksi yang disebabkan

bakteri berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis.

Penularan penyakit ini melalui perantaraan ludah, dahak atau droplet penderita yang

mengandung basil bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan. Pada

saat penderita TB Paru batuk, butir-butir air ludah beterbangan di udara dan terhirup oleh

orang lain. Apabila telah terhirup dan bersarang di dalam paru-paru seseorang, maka bakteri

tuberkulosis akan mulai membelah diri dan berkembang biak. Kemudian dapat menyebabkan

penyakit TB Paru. Resiko tinggi terjangkit penyakit TB Paru pada anak berusia di bawah 3

tahun, remaja, usia lanjut dan juga pada orang yang kurang gizi (Sholeh S. Naga, 2013).

Menurut World Health Organization (WHO), Tuberkulosis merupakan masalah

kesehatan masyarakat yang terpenting di Asia terutama di negara berkembang. Ada beberapa

hal yang menjadi penyebab semakin meningkatnya penyakit TB Paru di Asia antara lain

karena kemiskinan, meningkatnya jumlah penduduk, perlindungan kesehatan yang tidak

mencukupi, kurangnya biaya untuk berobat, dan kurangnya asupan makanan yang bergizi

(WHO, 2006).

TB Paru paling banyak terjadi di Negara berkembang, pada tahun 2009 Indonesia

menduduki peringkat ke lima di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria dengan

jumlah prevalensi 285/100.000 penduduk, sedangkan angka kematian telah turun menjadi

27/100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2010).


Di Indonesia di perkirakan prevalensi TB di Indonesia untuk semua tipe TB adalah

505,614 kasus per tahun, 244 per 10.000 penduduk dan 1.550 per hari. Insiden kasus baru

236.029 pertahun, 102 kasus per 10.000 penduduk. Dan kematian 91.369 per tahun, 30 kasus

per 10.000 penduduk, dan 250 perhari (Depkes, 2010).

Berdasarkan jumlah penderita TB paru di Indonesia tahun 2010, Sumatera Utara

menempati urutan ke-7. Jumlah penderita TB Paru klinis di Sumatera Utara pada tahun 2010

sebanyak 104,992 orang setalah dilakukan pemeriksaan dan diobati sebanyak 13.744 orang

serta yang sembuh sebanyak 9.390 orang atau sekitar 68,32%. Jumlah kasus TB Paru di

Sumatra Utara meningkat pada tahun 2012, secara klinis sebanyak 123,790 orang setelah

dilakukan pemeriksaan dan yang diobati sebanyak 16,392 orang. Dan di dapat prevalensi TB

di Kota Medan sekitar 1.941 orang (Dinkes Prov Sumut, 2012).

Penanggulangan tuberkulosis di Indonesia dilakukan secara nasional melalui strategi

Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) atau pengawasan langsung yang

diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar dengan mengkonsumsi obat dalam rentang

waktu kurang lebih 6 bulan dan terus menerus tanpa putus, adapun obat yang dikonsumsi

antara lain Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol, dan Streptomisin (Depkes RI,

2007).

Obat dapat menjadi zat toksik dalam tubuh, akibat lamanya mengkonsumsi obat akan

berpengaruh terhadap organ tubuh lainnya misalnya organ hati dan ginjal, bahkan bisa

berdampak pada penyakit gagal ginjal, dimana organ tersebut berfungsi sebagai alat

pembuangan atau eksresi. Obat-obatan dieliminasi dari dalam tubuh baik dalam bentuk yang

tidak diubah oleh proses eksresi maupun diubah menjadi metabolit. Ginjal merupakan organ

yang paling penting untuk mengeluarkan obat-obatan dan hasil metabolitnya. Efek samping

yang dapat timbul karena mengkonsumsi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dalam waktu lama

berdasarkan obat yang diberikan yaitu Isoniazid timbulnya rasa panas pada kaki, bercak-
bercak kemerahan pada seluruh kulit. Rifamfisin menimbulkan efek samping keringat dan

urine berwarna merah muda, mual, kadang-kadang timbul sakit perut bahkan diare, gatal-gatal

pada kulit, sakit kepala dan tulang, dapat pula terjadi anemia hemolitik akut dan gagal ginjal.

Etambutol menimbulkan efek samping gangguan penglihatan bahkan bisa menimbulkan

kebutaan, altralgi (nyeri sendi) dan gagal ginjal. Pirazinamide menimbulkan efek samping

kerusakan hati, sakit pada persendian, pembesaran hati, limpa terasa nyeri dapat diikuti

ikterus, kadar asam urat meningkat yang semakin lama dapat mengganggu fungsi ginjal

(Gilman, 2010).

Namun demikian TB Paru dapat disembuhkan dengan meminum Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) dengan teratur menurut petunjuk dokter atau petugas kesehatan lainnya.

Selama pengobatan TB Paru dapat menyebabkan efek samping, jika tidak sesuai dosis atau

tidak teratur dengan petunjuk dokter. Pengobatan OAT yang cukup lama di atas 6 bulan,

sehingga dengan lamanya komsumsi obat terus menerus dapat mempengaruhi ginjal dan

menyebabkan penyakit gagal ginjal atau kerusakan fungsi ginjal sehingga meningkatkan kadar

ureum dalam darah.

Berdasarkan hasil penelitian Harun Rasid Lubis tahun 2006 mengkonsumsi obat secara

tidak teratur dalam waktu yang lama, beresiko terkena gagal ginjal. Dari 200 penderita gagal

ginjal yang ditangani tercatat 5-6 orang diantaranya masyarakat yang semula sehat namun

akhirnya menderita gagal ginjal akibat mengkonsumsi obat dengan tidak teratur.

Penyakit Gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami

penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu berfungsi sama sekali dalam hal filtrasi zat sisa

dari dalam tubuh. Ginjal juga berfungsi menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh

seperti sodium dan kalium didalam darah atau produksi urine. Beberapa jenis pemeriksaaan

untuk melihat kerusakan fungsi ginjal yaitu ureum, kreatinin, asam urat, dan kreatinin

klearanse, dan ureum klearanse.


Ureum merupakan hasil akhir metabolisme protein, ureum dibentuk dalam hepar,

difiltrasi di glomerulus dan direabsorbsi di tubulus dalam jumlah yang bervariasi. Reabsorbsi

ureum ini menjadi lebih besar dengan meningginya kadar ureum dalam urine dan sebaliknya

reabsorbsi berkurang bila urine makin cair. Karena itu penentuan kadar ureum dalam serum

berperan sebagai indikator yang peka terhadap kelainan fungsi ginjal (Depkes RI, 2003).

Pemeriksaan ureum dilakukan pada penderita TB Paru dimana terjadi akumulasi dari

konsumsi OAT yang akan mempengaruhi ginjal. Maka dilakukan penelitian “Analisa Kadar

Ureum dalam Serum Penderita Tuberculosis Paru (TB Paru) yang Mengonsumsi Obat

Anti Tuberkulosis (OAT) Lebih Dari 4 Bulan”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti merumuskan masalah yang terjadi

yaitu: Apakah ada peningkatan kadar ureum dalam serum penderita TB Paru yang

mengkonsumsi OAT lebih dari 4 bulan di UPT Kesehatan Paru Masyarakat Medan Tahun

2018.

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui kadar ureum dalam serum penderita TB paru yang mengkonsumsi

OAT lebih dari 4 bulan di UPT Kesehatan Paru Masyarakat Medan Tahun 2018.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Untuk menambah pengetahuan ilmiah dan pengalaman penulis khususnya

dibidang Kimia Klinik, serta cara kerja yang baik dan benar bagi penulis

dalam pemeriksaan ureum.

2. Bagi Klinisi

Untuk mengetahui keadaan fungsi ginjal pada penderita TB Paru yang

mengkonsumsi OAT lebih dari 4 bualn.


3. Bagi Penderita

Untuk memberi saran dan masukkan pada penderita TB Paru untuk

mengkonsumsi OAT secara teratur.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tuberkulosis Paru

TB Paru adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang paru-paru secara khas ditandai

oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosi jaringan. Penyakit ini dapat menular

dari penderita kepada orang lain. TB Paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis

sejenis bakteri berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 mikron, dan tebal 0,3-0,6 mikron.

Bakteri ini terdiri dari asam lemak, sehingga bakteri lebih tahan asam dan tahan terhadap

gangguan kimia dan fisis (Santa Manurung, 2009).

Bakteri ini mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat bertahan terhadap pencucian warna

dengan asam alkohol, sehingga bakteri ini disebut Basil Tahan Asam (BTA), serta tahan

terhadap zat kimia dan fisik. Bakteri tuberkulosis juga tahan dalam keadaan kering dan dingin,

bersifat dorman dan aerob. Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100oC selama 5-10

menit atau pada pemanasan 60oC selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-90% selama 15-30

detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempat yang lembab dan gelap

(bisa berbulan-bulan), namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran udara

(Widoyono, 2008).

2.2 Cara Penularan Bakteri Tuberkulosis

Penyebaran bakteri tuberkulosis ini terjadi di udara melalui dahak yang berupa droplet.

Pada saat penderita batuk atau bersin, bakteri tuberkulosis dan BTA positif yang berbentuk

droplet sangat kecil ini akan berterbangan di udara. Droplet yang sangat kecil ini kemudian

mengering dengan cepat dan menjadi droplet yang mengandung bakteri tuberkulosis. Bakteri
ini dapat bertahan di udara selama beberapa jam lamanya, sehingga cepat atau lambat droplet

yang mengandung bakteri tuberkulosis akan terhirup oleh orang lain. Apabila droplet ini telah

terhirup dan bersarang di dalam paru-paru seseorang, maka bakteri ini akan membelah diri

atau berkembangbiak. Dari sinilah akan terjadi infeksi dari satu penderita ke calon penderita

lain (Sholeh Naga, 2013).

2.3 Gejala Klinis Tuberkulosis Paru

Untuk mengetahui penderita TB Paru dengan baik harus dikenali tanda dan gejalanya.

Seseorang ditetapkan sebagai penderita TB Paru apabila ditemukan gejala utama seperti batuk

berdahak lebih dari tiga minggu, batuk berdarah, sesak nafas, nyeri dada. Dan gejala lainnya

seperti berkeringat malam hari, demam, dan penurunan berat badan (Widoyono, 2008).

2.4 Faktor-Faktor Penyebab Tuberkulosis Paru

Resiko penyakit TB Paru pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor penting

yaitu:

1. Fakstor Sosial Ekonomi

Faktor sosial ekonomi sangat erat kaitannya dengan kondisi rumah, kepadatan

hunian, lingkungan perumahan, serta lingkungan dan sanitasi tempat bekerja yang

buruk dan dapat memudahkan penularan TB Paru. Pendapatan keluarga juga

sangat erat dengan penularan TB Paru, karena pendapatan yang kecil membuat

orang tidak dapat hidup layak, yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.

2. Status Gizi

Kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi, dan lain-lain atau malnutrisi akan

mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang, sehingga rentan terhadap berbagai

peyakit, termasuk TB Paru.

3. Umur

Penyakit TB Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau produktif, yaitu

15-50 tahun. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang
menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit

TB Paru.

4. Jenis Kelamin

Menurut WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta perempuan

yang meninggal akibat tuberkulosis paru, dapat disimpulkan bahwa kaum

perempuan lebih rentan terhadap kematian serangan TB Paru dibandingkan akibat

proses kehamilan dan persalinan. Pada laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena

rokok dan minuman alkohol dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh.

Sehingga jika perokok dan peminum alkohol lebih mudah terpapar penyakit

tuberculosis paru (Sholeh Naga, 2013).

2.5 Test Diagnostik

Untuk menegakkan diagnosa TB Paru, maka test diagnostik yang sering dilakukan

adalah:

2.5.1 Pemeriksaan Radiologis : foto rontgen torak

Tuberkulosis dapat memberikan gambaran yang bermacam-macam pada foto

rontgen toraks, akan tetapi terdapat beberapa gambaran yang karakteristik untuk

tuberkulosis paru yaitu :

a. Apabila lesi terdapat terutama di lapangan diatas paru.

b. Bayangan berwarna atau bercak.

c. Terdapat kavitas tunggal atau multipel.

d. Terdapat klasifikasi.

e. Apabila lesi bilateral terutama bila terdapat pada lapangan atas paru.

f. Bayangan abnormal yang menetap pada foto toraks setelah foto ulang

beberapa minggu kemudian.

2.5.2 Pemeriksaan Laboratorium

1. Sputum BTA
Bakteri Tahan Asam (BTA) merupakan bakteri yang memiliki ciri-ciri yaitu

berantai karbon yang memiliki dinding sel yang tebal yang terdiri dari lapisan lilin

dan asam lemak mikolat, lipid yang ada bisa mencapai 60% dari berat dinding sel.

Baketri yang termasuk BTA antara lain Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium

tuberculosis adalah bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit tuberkulosis

dan bersifat tahan asam sehingga digolongkan Bakteri Tahan Asam (BTA).

Mycobacterium tuberculosis termasuk dalam kelompok pewarnaan Ziehl Neelson

atau pewarnaan tahan asam. Kelompok bakteri ini disebut bakteri tahan asam karena

dapat mempertahankan zat warna pertama (carbol fuchsin) sewaktu dicuci dengan

larutan pemucat (asam alkohol) akan melakukan reaksi dengan carbol fuchsin dengan

cepat, sehingga sel bakteri tidak bewarna. Uji bakteri tahan asam menggunakan

prosedur Pewarnaan Ziehl Neelson yaitu dengan memberi larutan pewarna carbol

fuchsin, asam alkohol, dan methyelen blue. Tujuan pemberian carbol fuchsin adalah

untuk mewarnai seluruh sel bakteri. Tujuan pemberian asam alkohol adalah

melunturkan warna dari carbol fuchsin, tetapi pada golongan BTA tidak terpengaruh

pemberian asam alkohol karena memiliki lapisan lipid yang sangat tebal sehingga

alkohol sukar menembus dinding sel bakteri tersebut dan warna merah akibat

pemberian carbol fuchsin tidak hilang. Tujuan methylene blue adalah memberi warna

latar belakang. Pemeriksaan bakteriologik dilakukan untuk menemukan bakteri

tuberkulosis. Diagnosa pasti ditegakkan bila pada biakan ditemukan kuman

tuberkulosis.

a. Biakan/kultur BTA

Pemeriksan penting untuk diagnosa dan menilai kemajuan pasien. Dilakukan

tiga kali berturut-turut dan biakan/kultur BTA selama 4-8 minggu (Santa Manurung,

2009).
b. Pewarnaan BTA Pada Sampel Dahak

Metode pemeriksaan dahak sewaktu, pagi, sewaktu (SPS) dengan pemeriksaan

mikroskopis membutuhkan kurang lebih 5 ml dahak dan biasanya menggunakan :

1. Pewarnaan panas dengan metode Ziehl Neelsen (ZN)

2. Pewarnaan dingin Kinyoun-Gabbet menurut Tan Thiam Hok.

Bila dari dua kali pemeriksaan didapatkan BTA positif, maka pasien tersebut

dinyatakan positif mengindap TB Paru (Widoyono, 2008).

2.5.3 Test Tuberculin (Mantoux Test)

Pemeriksaan ini banyak digunakan untuk menegakkan diagnosa terutama pada

anak–anak. Biasanya diberikan suntikan Protein Perified Derivation (PPD) secara

intra cutan 0,1 ml. Lokasi penyuntikan umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah

sebelah kiri bagian depan. Penilaian test tuberkulosis dilakukan setelah 4-8 jam

penyuntikan dengan mengukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi

pada lokasi penyuntikan dengan mengukur diameter dari pembengkakan (indurasi)

yang terjadi pada lokasi suntikan. Indurasi berupa kemerahan dangan hasil sebagai

berikut:

a. Indurasi 0-5 mm: negatif

b. Indurasi 6-9 mm : meragukan

c. Indurasi > 10 mm : positif

Test tuberkulin negatif berarti bahwa secara klinis tidak ada infeksi

mikobakterium tuberkulosis, dan bila hasil meragukan dapat disebabkan karena

kesalahan teknik reaksi silang (Santa manurung, 2008).

2.5.4 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Haemoglobin (HB)

2. Pemeriksaan Laju Endap Darah (LED)


3. Pemeriksaan Fungsi Hati

4. Pemeriksaan Fungsi Ginjal

2.6 Pencegahan Penyakit TB Paru (Sholeh Naga, 2013)

Pencegahan-pencegahan berikut dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat, maupun

petugas kesehatan :

1. Bagi penderita, dengan menutup mulut saat batuk, dan membuang dahak tidak

sembarangan tempat.

2. Bagi masyarakat, dengan meningkatkan ketahanan terhadap bayi, yaitu dengan

memberikan vaksinasi BCG.

3. Bagi petugas kesehatan, dengan memberikan penyeluhan tentang penyakit TB

Paru, yang meliputi gejala, bahaya, dan akibat timbulkannya terhadap

kehidupan masyarakat pada umumnya.

4. Juga dapat dicegah dengan melakukan deksifensi, seperti mencuci tangan,

kebersihan rumah yang ketat, perhatian khusus terhadap muntahan atau ludah

anggota keluarga yang terjangkit penyakit ini (piring, tempat tidur, pakaian).

5. Melakukan imunisasi orang-orang yang melakukan kontak langsung dengan

penderita.

6. Dilakukan pengobatan yang khusus dengan meminum obat yang terartur selama

6-12 bulan.

2.7 Pengobatan Tuberkulosis Paru

Tujuan pengobatan penderita TB Paru adalah menyembuhkan penderita, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, dan menurunkan tingkat penularan. Saat ini pengobatan

dalam program pemberantasan TB Paru, menggunakan paduan OAT yang diberikan dalam

bentuk kombinasi dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama selama 6-8 bulan yang terdiri
dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid, Streptomycin (S), dan Etambutol (E).

Pengobatan tuberkulosis diberikan dalam dua tahap yaitu:

a. Tahap intensif

Tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi

langsung, untuk mencegah terjadinya resistensi semua OAT, terutama Rifamfisin.

Bila pengobatan tahap intensif diberikan secara tepat, biasanya penderita menular

menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu dan sebagian besar penderita

tuberkulosis BTA positif menjadi BTA negatif pada tahap pengobatan intensif.

b. Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam

jangka waktu yang lebih lama, ini sangat penting untuk membunuh kuman rersisten

(dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes RI, 2002).

2.8 Efek Dari Obat Anti Tuberkulosis (Sylvia Anderson P, 2005)

: Kemerahan, Kadar enzim hepatik, Hepatitis, Efek sistem


a. Isoniazid
saraf pusat ringan.
: Gangguan pencernaan, Interaksi obat, Hepatitis,
b. Rifampisin Masalah- masalah pendarahan, Kemerahan, Gagal ginjal,
Demam.
c. Rifabutin : Kemerahan, Hepatitis, Demam, Trombositopenia.

d. Pirazinamid : Hepatitis, Hiperurisemia, Gangguan pencernaan, Kemerahan.

e. Etambutol : Neuritis optikus, Kemerahan.

f. Streptomisin : Ototoksik, Keracunan pada ginjal.

g. Kapreomisin : Keracunan pada auditorius, Vestibular, Ginjal.

h. Etonamid : Gangguan pencernaan, Hepatotoksis, Hipersensitivitas

i. Sikloserin : Psikosis, Kejang, Sakit kepala, Interaksi obat.

j. Kanamisin : Keracunan pada auditorius, Vestibular, Ginjal.


Asam para
: Gangguan pencernaan, Hepatotoksis, Hipersensitivitas,
k. amnino
Natrium berlebihan.
salisilat
2.9 Ginjal

Ginjal adalah organ vital dalam tubuh yang berbentuk mirip dengan kacang dan

terletak didalam perut bagian belakang. Sebagian dari ginjal berfungsi mengeluarkan sisa-sisa

metabolisme tubuh (seperti kreatinin, ureum, asam urat) dan membuangnya bersamaan

dengan urine. Ginjal berfungsi pula sebagai pengatur cairan yang terlarut seperti natrium,

kalium, dan hidrogen. Ginjal terletak dirongga retoperitoneum pada dinding abdominal

posterior dari sisi columa vertebra, ginjal kanan terletak dibawah hati dan ginjal kiri 12 mm

lebih rendah. Ginjal dewasa berukuran panjang kurang lebih 11 sampai 12 cm, dengan lebar

kurang lebih 6 cm dan beratnya kurang lebih 140 gram. Ginjal terbentuk oleh unit yang

terkecil yaitu nephron yang berjumlah 1-1,2 juta buah pada setiap ginjalnya (Depkes RI,

2008).

2.9.1 Fungsi Ginjal

Secara umum ginjal merupakan organ yang bertanggung jawab terutama

untuk ekskresi sisa-sisa metabolisme dari tubuh. Beberapa fungsi ginjal:

1. Pengaturan keseimbangan air dan elektrolit.

2. Ekskresi sisa metabolisme.

3. Ekskresi zat-zat bioaktif yang mempengaruhi fungsi tubuh (Hormon dan zat

asing, seperti obat-obatan).

4. Pengaturan tekanan darah.

5. Pengaturan produksi sel darah merah.

6. Pengaturan produksi vitamin D.

7. Glukoneogenesis.

Dalam tubuh, ginjal berfungsi mengeluarkan sisa metabolisme tubuh dalam


darah yang berasal dari aktifitas otot dan berasal dari makanan yang dimakan. Setelah

tubuh menggunakan makanan untuk energi, sisa metabolisme dikirim melalui darah

dan apabila ginjal tidak membuang sisa metabolisme tersebut maka akan menumpuk

diginjal dan menggagu kesehatan tubuh. Ginjal juga berfungsi sebagai penjaga

keseimbangan cairan tubuh, memproduksi hormon yang mengontrol tekanan darah

dan sintesis sel darah merah (Eritropoetin) yang membantu pembuatan sel darah

merah. Ginjal juga memproduksi vitamin D3 yang berguna untuk memelihara

kesehatan tulang. Selain itu penyerapan kembali elektrolit tertentu juga dilakukan

oleh bagian ginjal yang bernama tubulus. Unit nephron di mulai dari pembuluh darah

kapiler yang bersifat sebagai saringan, disebut Glomerulus. Darah akan melewati

glomerulus tersebut dan disaring sehingga terbentuk filtrate (urine yang masih encer)

sekitar 180 liter/hari, kemudian dialirkan melalui saluran yang disebut tubulus. Cairan

filtrate kemudian diproses di dalam tubulus hingga akhirnya keluar dari kedua ginjal

menjadi urine sebanyak 1-2 liter/hari. Kemudian urine dialirkan melalui ureter

kedalam kandung kemih dan dikeluarkan melalui ureter (Depkes RI, 2008).

2.9.2 Penyakit Gagal Ginjal

Penyakit Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana organ ginjal tidak dapat

menjalani fungsinya secara normal atau mengalami penurunan hingga akhirnya tidak

lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh,

menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium

didalam darah atau produksi urine. Penyakit gagal ginjal ini dapat menyerang siapa

saja yang menderita penyakit serius atau terluka dimana hal itu berdampak langsung

pada ginjal itu sendiri. Penyakit gagal ginjal lebih sering dialamai mereka yang

berusia dewasa, terlebih pada kaum lanjut usia. Gagal ginjal sebagian besar dibagi

dua yaitu:
1. Gagal ginjal akut

Gagal ginjal akut adalah suatu keadaan penurunan fungsi ginjal secara

mendadak akibat kegagalan sirkulasi renal, serta gangguan fungsi tubulus dan

glomerulus dengan manifestasi penurunan produksi urine dan terjadi azotemia

(peningkatan kadar nitrogen dalam darah, peningkatan kreatinin serum, dan retensi

produk metabolit yang harus diekskresikan oleh ginjal) (Arrif Muttaqi, dkk, 2011).

Etiologi gagal ginjal akut dikelompokkan dengan tiga kategori :

1. Penyebab prerenal (terjadi hipoperfusi ginjal) akibat kondisi yang

menyebabkan berkurangnya aliran darah dan menurunnya filtrasi glomerulus.

Keadaan penipisan volume (hipovolemia seperti luka bakar dan pendarahan

atau kehilangan cairan melaui saluran pencernaan), dan terapi diuretik. Hal ini
biasanya ditandai dengan penurunan turgor kulit, mukosa membrane kering,

penurunan berat badan, hipotensi, oliguria, atau anuria.

2. Penyebab intrarenal kerusakan aktual jaringan ginjal akibat trauma jaringan

glomerulus atau tubulus ginjal. Keadaan yang berhubungan dengan iskemia

intrarenal, toksin proses imunologi, sistemik dan vascular. Pemakaian obat

anti inflamasi nonsteroid, terutama pada pasien lansia karena mengganggu

prostaglandin yang melindungi aliran darah renal. Cedera akibat terbakar dan

benturan menyebabkan pembebasan hemoglobin dan mioglobin (protein yang

dilepaskan dari otot ketika cedera sehingga terjadi toksik renal, iskemik, atau

kedua-duanya). Cedera akibat benturan dan infeksi serta agen nefrotoksik

menyebabkan nekrosisntubulus akut. Selain transfusi menyebabkan gagal

intrarenal dimana hemoglobin dilepaskan melalui mekanisme hemolisis

melewati membran glomerulus dan terkonsentrasi di tubulus ginjal. Hal ini

biasanya ditandai dengan demam, kemerahan, pada kulit.

3. Penyebab postrenal terjadi akibat sumbatan atau ganguan aliran urine melalui

saluran kemih (sumbatan bagian distal ginjal). Tekanan di tubulus

meningkatkan sehingga laju filtasi glomerulus meningkat. Hal ini biasanya

ditandai denagn adanhya kesulitan dalam mengosongkan kandung kemih dan

perubahan aliran kemih (Nursalam, dkk, 2009).

2. Gagal ginjal kronik

Gagal ginjal kronik adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan

metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal

yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di

dalam darah (Arrif Muttaqin, dkk, 2011).

Etiologi gagal ginjal kronik bisa disebabkan dari ginjal sendiri dan diluar ginjal:
1. Penyakit dari ginjal

a. Penyakit pada saringan (glomerulus): glomerulonephritis.

b. Infeksi kuman: pyelonefritis, urteritis.

c. Batu ginjal: nefrolitiasis.

d. Kista di ginjal: polcystis kidney.

e. Trauma langsung pada ginjal.

f. Keganasan pada ginjal.

g. Sumbatan: batu, tumor, penyempitan/striktur.

2. Penyakit umum diluar ginjal:

a. Penyakit sistemik: diabetes mellitus, hipertensi, kolesterol tinggi,

b. Dyslipidemia,

c. Infeksi dibadan: TB Paru, sifilis, malaria, hepatitis,

d. Preeklamasi

e. Obat-obatan,

f. Kehilangan banyak cairan yang mendadak (luka bakar)

2.10 Uji laboratorium

Beberapa pemeriksaan serum dilakukan untuk mengevaluasi fungsi ginjal. Dua

pemeriksaan yang paling lazim dilakukan adalah kadar ureum dan kadar kreatinin.

2.11 Ureum

Ureum berasal dari penguraian protein, terutama yang berasal dari makanan yang

banyak mengandung protein seperti tempe, kacang-kacangan, ikan dan sebagainya. Ureum

merupakan hasil akhir dari metabolisme protein. Ureum dibentuk dalam hepar, di filtrasi di

glomeruli dan di reabsorbsi di tubuli dalam jumlah yang bervariasi. Reabsorbsi ureum ini

menjadi lebih besar dengan meningginya kadar ureum dalam urine dan sebaliknya reabsorbsi
berkurang bila urine makin cair. Karena itu penentuan kadar ureum dalam serum berperan

sebagai indikator yang peka terhadap kelainan fungsi ginjal.

Kadar ureum darah yang normal adalah 20–40 mg setiap 100 ml darah, tetapi hal ini

tergantung dari jumlah normal protein yang di makan dan fungsi hati dalam pembentukan

ureum. Ureum berdifusi bebas masuk ke dalam cairan intra sel dan ekstrasel. Zat ini

dipekatkan dalam urine untuk diekskresikan. Pada keseimbangan nitrogen yang stabil, sekitar

25 gram ureum diekskresikan setiap hari.

Kenaikan kadar ureum dalam serum dapat dijumpai pada penderita- penderita

glomerulus nephritis akuta dan kronis, keracunan sublimat dan juga pada pembendungan

saluran kencing oleh batu (Depkes RI, 2003).

2.11.1 Metabolisme Ureum

Gugusan amino dicopot dari asam amino bila asam itu didaur ulang menjadi

sebagian dari protein lain atau dirombak dan akhirnya dikeluarkan dari tubuh.

Aminotransferase (transaminase) yang ada diberbagai jaringan meng-katalisis

pertukaran gugusan amino antara senyawa-senyawa yang ikut serta dalam reaksi-

reaksi sintesis. Pada pihak lain, deaminasi oksidatif memisahkan gugusan amino dari

molekul aslinya dan gugusan amino yang dilepaskan itu diubah menjadi ammonia.

Amonia diantar ke hati dan disana ia berubah menjadi ureum melalui reaksi-reaksi

bersambung. Ureum adalah satu molekul kecil yang mudah mendifusi kedalam cairan

ektrasel, tetapi pada akhirnya ia dipekatkan dalam urine dan diekskresi (Frances K,

1989).

2.11.2 Transport/ Sirkulasi Ureum

Sirkulasi ureum yang direabsorbsi dari koligentes ke dalam cairan interstial.

Ureum ini kemudian masuk ke dalam ansa henle, melalui Tubulus distalis, dan

akhirnya masuk kembali kedalam kolingetes. Sirkulasi ureum ini membantu


menangkap ureum di medula ginjal karena ureum adalah produk buangan yang sangat

banyak jumlahnya sehingga harus dibuang oleh gijal. Hal ini penting untuk menjaga

cairan tubuh bila suplai air hanya sedikit (Baradero Mary, 2008).

2.11.3 Peningkatan Ureum Dalam Darah (Uremia)

Ada tiga faktor peningkatan ureum dalam darah (uremia) terjadi karena:

1. Faktor prerenal

a. Shock

b. Penurunan darah ke ginjal

c. Perdarahan

d. Dehidrasi

e. Luka bakar, demam tinggi dan trauma

3. Faktor renal

a. Gagal ginjal akut

b. Glomerulo nefritis

c. Hiprtensi maligna

d. Nekrosis kortek ginjal

e. Obat – obat nefrotoksik

4. Faktor post renal :

a. Obstruksi ureter oleh batu

b. Penyempitan atau penyumbatan uretera oleh karena prostate hipertropi


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini dilakukan secara deskriptif crossectional untuk melihat kadar

ureum pada serum penderita TB Paru yang mengkonsumsi OAT lebih dari 4 bulan di UPT

Kesehatan Paru Masyarakat Medan Tahun 2015.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitiaan

Penelitian dilaksanakan di UPT Kesehatan Paru Masyarakat Medan.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan Pada bulan Mei s/d Juni 2015.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien penderita TB Paru yang

mengkonsumsi OAT di lebih dari 4 bulan sebanyak 200 orang di UPT Kesehatan

Paru Masyarakat Medan.

3.3.2 Sampel

Jumlah sampel yang diambil sebanyak 20 sampel dari seluruh penderita TB

Paru yang mengkonsumsi OAT lebih dari 4 bulan di UPT Kesehatan Paru Masyarakat

Medan.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan cara melakukan pemeriksaan ureum dengan


metode Kolorimetik pada penderita TB paru yang mengkonsumsi OAT dengan populasi
sebanyak 200 dan sampel sebanyak 20 orang di UPT Kesehatan Paru Masyarakat Medan.
Wanita : 15-43 mg/dl

Pria : 18-55 mg/dl

3.4.1 Metode Pemeriksaan dan Prinsip ( Kit IVD, 2012)

1. Metode Pemeriksaan

Spektrofotometer Kolorimetik

2. Prinsip

Urea di hidrolisis dengan adanya air dan urease untuk menghasilkan ammonia dan

karbon dioksida. Dalam reaksi berthelot di modifikasi ion ammonium bereaksi

dengan hipoklorit dan salisilat untuk membentuk warna hijau. Peningkatan

absorbansi pada 578 nm sebanding dengan konsentrasi urea dalam sampel.

3.4.2 Alat, Bahan dan Reagensia

1. Alat

a. Alat pengambilan darah vena :

1. Rak Tabung

2. Tabung Reaksi

3. Spuit 3 ml

5. Kapas Alkohol 70%

6. Plaster

b. Alat memperoleh serum :

1. Sentrifuge

2. Tabung reaksi

3. Mikropipet, yellow tip

c. Alat untuk pemeriksaan Ureum :

1. Tabung reaksi
2. Mikro pipet ,yellow tip dan blue tip

3. Spektrofotometer microLAB 300

4. Mikropipet

2. Bahan

Bahan yang digunakan untuk pemeriksaan adalah serum pasien penderita TB

Paru yang mengkonsusmsi OAT.

3. Reagensisa

1. Komposisi Reagensia ureum terdiri dari:

a. Reagent 1 : - Phosphate buffer 120 mmol/L

- Sodium Salicylate 60 mmol/L

- Sodium nitroprusside 40 mmol/L

- EDTA 1.3 mmol/L

b. Reagent 2 : - Phosphate buffer < 50 mmol/L

- Sodium h EDTA 1.3 mmol/L

c. Reagent 2 : - Phosphate buffer < 50 mmol/L

- Sodium hydroxide 150 mmol/L

- ydroxide 150 mmol/L

2. Persiapan Reagent

Reagent 1A : Reagent 1 + Reagent 3, campurkan 50 ml R1 + 0.5 ml R3

Reagent 2 : Siap untuk digunakan

3. Stabilitas Reagent Dan Penyimpanan Reagent 1A

Pada suhu 15-25 oC selama 2 hari

Pada suhu 2-8 oC selama 2 minggu


Dan berlaku sampai habis masa kadaluarsa.

4. Persiapan Blanko, Standar, dan Sampel

Blanko : pipet 1000 µL Reagent 1A , inkubasi selama 10 menit pada suhu 25oC.

Kemudian tambahkan 1000 µL Reagent 2, campur dan inkubasi

selama 10 menit pada suhu 25oC.

Standar : pipet 1000 µL Reagent 1A + 10 µL serum standar , campur dan

inkubasi selama 10 menit pada suhu 25oC. Kemudian tambahkan 1000

µL Reagent 2, campur dan inkubasi selama 10 menit pada suhu 25 oC.

Sampel : pipet 1000 µL Reagent 1A + 10 µL serum, campur dan ink ubasi

selama 10 menit pada suhu 25oC. Kemudian tambahkan 1000 µL

Reagent 2, campur dan inkubasi selama 10 menit pada suhu 25oC.

3.5 Prosedur Kerja

3.5.1 Cara Pengambilan Darah Vena (Ganda soebrata, 2010) :

1. Pasang tourniquet pada lengan, tiga jari diatas siku dan mintalah agar pasien

menggepalkan tangannya agar vena terlihat jelas.

2. Raba vena yang menonjol.

3. Bersihkan bagian kulit yang akan ditusuk dengan kapas alkohol 70% dengan

cara memutar dari arah dalam keluar dan tekan sedikit agar benar-benar bersih

dan biarkan sampai kering.

4. Tusuk vena dengan spuit dengan sudut kemiringan 45o hingga masuk kedalam

lumen vena.

5. Tarik penghisap spuit perlahan-lahan sampai darah masuk sebanyak 3 ml.

6. Lepaskan kepalan tangan pasien dan tourniquet


7. Letakkan kapas alkohol 70% diatas permukaan kulit yang ditusuk, lalu jarum

dilepaskan secara perlahan-lahan.

8. Mintalah agar pasien tersebut meneruskan menekan kapas alkohol tersebut

dan melipat siku tangan selama beberapa menit.

9. Beri plaster agar darah tidak keluar lagi.

10. Masukkan darah kedalam tabung reaksi secara perlahan-lahan melalui dinding

tabung untuk menghindari terjadinya hemolisis atau lisis, lalu tutup tabung.

11. Beri label.

3.5.2 Cara Pemisahan Serum Dari Darah

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serum, maka pemisahan

serum dari sel-sel darah dapat dilakukan dengan cara:

1. Darah yang sudah ada di dalam tabung tadi didiamkan hingga darah membeku

selama 30 menit.

2. Masukkan ke dalam sentrifuge.

3. Beri pembanding dengan volume yang sama agar darah seimbang, lalu tutup

sentrifuge.

4. Tekan ON Pada sentrifuge lalu putar dengan kecepatan 3000 rpm selama 15

menit.

5. Setelah sentrifuge berhenti berputar, angkat tabung yang berisi darah tadi

6. Setelah serum dan sel-sel terpisah, pipet serum dengan menggunakan mikro

pipet dan masukkan kedalam tabung reaksi yang baru.

3.5.3 Prosedur Kerja Spektrofotometer Micro LAB 300

1. Hubungkan alat dengan satu daya + UPS kemudian nyalakan alat.

2. Tunggu 10 menit (alat akan menghitung mundur) tunggu sampai layar main

menu.
3. Cuci alat dengan aquadest dengan cara:

a. Celup ujung selang mikro pada aquadest lalu tekan wash.

b. Ulangi 2-3 kali proses pencucian tersebut.

4. Pilih program nomor 1 (sampel test) lalu tekan ENTER untuk program

berikutnya.

5. Pilih parameter dengan memasukkan nomor program parameter Ureum lalu

ENTER.

6. Tunggu sampai dilayar muncul perintah (aspirate water).

7. Celupkan ujung selang mikro kedalam aquadest lalu tekan tombol START.

8. Tunggu perintah berikutnya. Pilih blanko kemudian masukkan selang micro

ke dalam tabung blanko lalu tekan START, tunggu 4 detik untuk mengisap

blanko.

9. Sebelum membaca sampel terlebih dahulu membaca serum kontrol.

10. Pilih standart untuk membaca standar lalu tekan START.

11. Sebelum membaca sampel terlebih dahulu membaca serum kontrol.

12. Pilih sampel kemudian masukkan selang mikro kedalam tabung sampel lalu

tekan START. Tunggu hasil tercetak di printer

3.5.4 Perhitungan:

Serum/plasma

3.5.5 Nilai Normal (Kit IVD, 2012):

Wanita : 15-43 mg/dl

Pria : 18-55 mg/dl


3.6 Definisi Operasional

1. Tuberkulosis Paru adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang paru-paru yang

secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosi jaringan.

Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular dari penderita kepada orang lain fisis (Santa

Manurung, 2009).

2. Mengkonsumsi OAT merupakan suatu terapi pengobatan lebih dari 6 bulan untuk

pasien penderita TB Paru (Sylvia Anderson P, 2005).

3. Kerusakan fungsi ginjal merupakan suatu keadaan dimanaorgan ginjal tidak dapat

menjalani fungsinya secara normal atau mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi

mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga

keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium di dalam darah atau

produksi urine (Nursalam, dkk, 2009).

4. Kadar ureum dalam serum berperan sebagai indikator yang peka terhadap kelainan

fungsi ginjal.

5. Pada keadaan normal ( Kit IVD, 2012) :

a. Pada keadaan meningkat

Kadar ureum meningkat melebihi nilai normal dapat menjadi indikasi

kerusakan fungsi ginjal.


DAFTAR PUSTAKA

DepKes, RI. 2003. Pasien Pendarahan Ureum Meningkat. Jakarta: DepKes RI

DepKes, RI. 2008. Petunjuk Teknis Pengendalian Penyakit Ginjal Kronik.


Jakarta: Ditjen PP & PL.

Dialab, 2012. Produktion Und Vertrieb Von Chemisch Austria.

Gandasoebrata.G. 2010. Penuntun Laboratorium Klinik.. Jakarta : Dian Rakyat.

Goodman & Gilman. 2010. Manual Farmakologi dan Terapi. Jakarta: EGC.

Manurung, Santa, dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Pernafasan


Akibat Infeksi. Jakarta: TIM.

Mary, Baradero, dkk. 2008. Klien Gangguan Ginjal. Jakarta: ECG.

Muttaqin, Arif & Kumala Sari. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.

Naga, Sholeh.S. 2013. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam.


Yogyakarta: Divapress

Nursalam, dkk. 2009. Asuhan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem


Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.

Price, Sylvia.A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses – proses Penyakit.


Jakarta: EGC.

Widmann, Frances K. 1989. Tinjaun Klinis Atas Hasil Pemeriksaan


Laboratorium. Jakarta : EGC.

Widoyono, 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan Dan


Pemberantasannya. Jakarta: Penerbit Erlangga

Vous aimerez peut-être aussi