Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Kelenjar Bartholini merupakan salah satu organ genitalia eksterna, kelenjar bartolini atau
glandula vestibularis major, berjumlah dua buah berbentuk bundar, dan berada di sebelah dorsal
dari bulbus vestibulli. Saluran keluar dari kelenjar ini bermuara pada celah yang terdapat diantara
labium minus pudendi dan tepi hymen. Kelenjar ini tertekan pada waktu koitus dan
mengeluarkan sekresinya untuk membasahi atau melicinkan permukaan vagina di bagian kaudal.
Kelenjar Bartholini bisa tersumbat karena berbagai alasan, seperti infeksi, peradangan atau
iritasi jangka panjang. Apabila saluran kelenjar ini mengalami infeksi maka saluran kelenjar ini
akan melekat satu sama lain dan menyebabkan timbulnya sumbatan. Cairan yang dihasilkan oleh
kelenjar ini kemudian terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak dan membentuk suatu
kista. Suatu abses terjadi bila kista menjadi terinfeksi.
Kista bartholini adalah salah satu bentuk tumor kistik (berisi cairan) pada vulva. Kista
barhtolini merupakan kista yang terbentuk akibat adanya sumbatan pada duktus kelenjar
bartolini, yang menyebabkan retensi dan dilatasi kistik. Dimana isi di dalam kista ini dapat
berupa nanah yang dapat keluar melalui duktus atau bila tersumbat dapat dapat mengumpul di
dalam menjadi abses. Kista bartolini ini merupakan masalah pada wanita usia subur, kebanyakan
kasus terjadi pada usia 20 sampai 30 tahun dengan sekitar 1 dalam 50 wanita akan mengalami
kista bartolini atau abses dalam hidup mereka, sehingga hal ini merupakan masalah yang perlu
untuk dicermati. Kista bartholini bisa tumbuh dari ukuran seperti kacang polong menjadi besar
dengan ukuran seperti telur.
BAB II
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. TH
Usia : 48 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Suku : Indonesia
Alamat : Cempaka Putih
MRS : 24/09/2017
No. RM : 009644xx
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Ruang Shafa Annisa RSIJ Cempaka Putih pada
tanggal 25 September 2017
Keluhan utama :
Benjolan di bibir vagina sebelah kanan dan dirasakan sangat nyeri sejak 3 minggu sebelum
masuk rumah sakit
Riwayat Haid :
Haid pertama pada umur 12 tahun. Pasien mengaku haid teratur dengan siklus 28 hari, lama haid
6-7 hari. Nyeri saat haid (-).
Riwayat pernikahan :
Ini merupakan pernikahan pertama dan pasien sudah menikah selama 28 tahun.
Riwayat KB :
Pasien tidak pernah menggunakan KB jenis apapun.
Riwayat obstetri :
Pasien telah memiliki 5 orang anak yang semuanya lahir dengan cara spontan dengan keadaan
baik.
V. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah
Hb = 11,2 gr/dl
Leukosit = 6,66 x 103/µL
MCV = 80 fl
MCH = 28 pg
HCT = 32 %
MCHC = 35 gr/dL
Eritrosit = 3.98 x 103/µL
Trombosit = 228.000/µL
GDS = 92 mg/dL
Masa Pendarahan = 3.00 menit
Masa Pembekuan = 5.00 menit
HbsAg = (-)
VI. RESUME
Pasien, wanita 48 tahun datang ke RSIJ Cempaka Putih dengan keluhan benjolan di labia
mayor dextra yang dirasakan sangat nyeri.
Dari anamnesis didapatkan, keluhan terdapat benjolan di bibir vagina sebelah kanan
(labia mayor dextra) kira-kira seukuran buah duku dan dirasakan sangat nyeri sejak 3
minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengatakan tidak mengetahui sejak kapan
benjolan tersebut muncul, namun sejak merasakan nyeri di bagian vagina pada 3 minggu
terakhir ini, pasien baru menyadari ada benjolan tersebut. Pasien mengaku benjolan
tersebut terasa semakin nyeri ketika pasien melakukan hubungan seksual dengan suami.
Pasien menyangkal adanya perdarahan, nyeri perut dan demam. Keputihan (+). BAB dan
BAK normal.
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan kesadaran kompos mentis. Tekanan darah 110/70
mmHg, nadi 80 kali/menit, regular, isi dan tegangan cukup. Frekuensi nafas 20
kali/menit, suhu 36,4°C.
Pada pemeriksaan genetalia eksterna didapatkan : Inspeksi : massa (+) di labia mayor
dextra, diameter ± 3 cm, batas tegas, hiperemis (+), fluor albus (+) warna putih
kekuningan, darah (-). Palpasi: nyeri tekan (+), konsistensi kenyal kesan berisi cairan.
Pemeriksaan genitalia interna : tidak dilakukan pemeriksaan.
VII. DIAGNOSIS
Kista Bartolini
VIII. PENATALAKSANAAN
a. Non Medikamentosa
Menjaga kebersihan area kewanitaan.
Tirah baring
b. Medikamentosa
Infus RL 20 tpm.
ketorolac 3x30 mg IV
Ceftriaxon 3x1 gr IV
c. Program Operasi
Ekstirpasi Kista Bartolini
IX. EDUKASI
a. Pasien diberitahu mengenai penyakitnya dan penyebab dari penyakitnya tersebut.
b. Pasien diedukasi tentang pentingnya menjaga kebersihan di daerah kewanitaannya.
TINJAUAN PUSTAKA
I. KELENJAR BARTHOLINI
A. Anatomi Kelenjar Bartholini
Kelenjar Bartolini merupakan salah satu organ genitalia eksterna, kelenjar bartolini atau
glandula vestibularis major, berjumlah dua buah berbentuk bundar, dan berada di sebelah
dorsal dari bulbus vestibulli. Saluran keluar dari kelenjar ini bermuara pada celah yang
terdapat diantara labium minus pudendi dan tepi hymen. Glandula ini homolog dengan
glandula bulbourethralis pada pria. Kelenjar ini tertekan pada waktu coitus dan
mengeluarkan sekresinya untuk membasahi atau melicinkan permukaan vagina di bagian
caudal. kelenjar bartolini diperdarahi oleh arteri bulbi vestibuli, dan dipersarafi oleh nervus
pudendus dan nervushemoroidal inferior.
Kelenjar Bartolini sebagian tersusun dari jaringan erektil dari bulbus, jaringan erektil
dari bulbus menjadi sensitif selama rangsangan seksual dan kelenjar ini akan mensekresi
sekret yang mukoid yang bertindak sebagai lubrikan. Drainase pada kelenjar ini oleh
saluran dengan panjang kira- kira 2 cm yang terbuka ke arah orificium vagina sebelah
lateral hymen, normalnya kelenjar bartolini tidak teraba pada pemeriksaan palpasi. seperti
pada gambar dibawah ini :
B. Histologi
Kelenjar bartolini dibentuk oleh kelenjar racemose dibatasi oleh epitel kolumnair atau
kuboid. Duktus dari kelenjar bartolini merupakan epitel transsisional yang secara
embriologi merupakan daerah transisi antara traktus urinarius dengan traktus genital.
C. Fisiologi
D. Fisiologi
Kelenjar Bartholini berfungsi mensekresikan cairan ke permukaan vagina.
Mukosa kelenjar dilapisi oleh sel-sel epitel kubus. Cairan ini mengalir ke dalam
duktus sepanjang 2,5 cm dan dilapisi oleh sel-sel epitel transisional. Duktus ini
bermuara diantara labia minor dan hymen dan dilapisi pada bagian ini terdiri atas
epitel skuamosa. Oleh karena itu, kelenjar ini dapat berkembang menjadi karsinoma
sel skuamosa atau adenokarsinoma. Kelenjar ini mengeluarkan lendir untuk
memberikan pelumasan vagina. Kelenjar Bartolini mengeluarkan jumlah lendir yang
relatif sedikit sekitar satu atau dua tetes cairan tepat sebelum seorang wanita orgasme.
Tetesan cairan pernah dipercaya menjadi begitu penting untuk pelumas vagina, tetapi
penelitian dari Masters dan Johnson menunjukkan bahwa pelumas vagina berasal dari
bagian vagina lebih dalam. Cairan mungkin sedikit membasahi permukaan labia
vagina, sehingga kontak dengan daerah sensitif menjadi lebih nyaman bagi wanita.
II. KISTA BARTHOLINI
A. Definisi
Kista adalah kantung yang berisi cairan atau bahan semisolid yang terbentuk di bawah
kulit atau di suatu tempat di dalam tubuh. Kista kelenjar Bartholin terjadi ketika kelenjar
ini menjadi tersumbat. Kelenjar Bartholini bisa tersumbat karena berbagai alasan, seperti
infeksi, peradangan atau iritasi jangka panjang. Apabila saluran kelenjar ini mengalami
infeksi maka saluran kelenjar ini akan melekat satu sama lain dan menyebabkan timbulnya
sumbatan. Cairan yang dihasilkan oleh kelenjar ini kemudian terakumulasi, menyebabkan
kelenjar membengkak dan membentuk suatu kista. Suatu abses terjadi bila kista menjadi
terinfeksi.
B. Etiologi
Infeksi kelenjar bartholini terjadi oleh infeksi gonokokus, pada bartholinitis kelenjar ini
akan membesar, merah, dam nyeri kemudian isinya akan menjadi nanah dam keluar pada
duktusnya, karena adanya cairan tersebut maka dapat terjadi sumbatan pada salah satu
duktus yang dihasilkan oleh kelenjar dan terakumulasi, menyebabkan kelenjar
membengkak dan menbentuk suatu kista.
C. Patofisiologi
Kista Bartholin terbentuk ketika ostium dari duktus tersumbat, sehingga menyebabkan
distensi dari kelenjar dan tuba yang berisi cairan. Sumbatan ini biasanya merupakan akibat
sekunder dari peradangan nonspesifik atau trauma. Kista bartholin dengan diameter 1-3
cms seringkali asimptomatik. Sedangkan kista yang berukuran lebih besar, kadang
menyebabkan nyeri dan dispareunia. Abses Bartholin merupakan akibat dari infeksi primer
dari kelenjar, atau kista yang terinfeksi.
D. Gejala klinis
Kista bartholini tidak selalu menyebabkan keluhan akan tetapi kadang dirasakan sebagai
benda yang berat dan menimbulkan kesulitan pada waktu koitus. Bila kista bartholini
berukuran besar dapat menyebabkan rasa kurang nyaman saat berjalan atau duduk.
Tanda kista bartholini yang tidak terinfeksi berupa penonjolan yang tidak nyeri pada
salah satu sisi vulva disertai kemerahan atau pambengkakan pada daerah vulva disertai
kemerahan atau pembengkakan pada daerah vulva. Jika kista terinfeksi, gajala klinik
berupa
Nyeri saat berjalan, duduk, beraktifitas fisik atau berhubungan seksual.
Umumnya tidak disertai demam kecuali jika terifeksi dengan organisme yang ditularkan
melalui hubungan seksual.
Dispareunia.
Biasanya ada secret di vagina.
Dapat terjadi ruptur spontan.
E. Diagnosis
Anamnesis yang baik dan pemeriksaan fisik sangat mendukung suatu diagnosis. Pada
anamnesis dinyatakan tentang gejala seperti panas, gatal, Sudah berapa lama gejala
berlangsung, kapan mulai muncul, Apakah pernah berganti pasangan seks, keluhan saat
berhubungan, riwayat penyakit menulat seksual sebelumnya, riwayat penyakit kelamin
pada keluarga.
Kista bartholini di diagnosis melalui pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan dengan posisi
litotomi, terdapat pembengkakan pada kista pada posisi jam 5 atau jam 7 pada labium
minus posterior. Jika kista terinfeksi, maka pemeriksaan kultur jaringan dibutuhkan untuk
mengidantifikasi jenis bakteri penyebab abses dan untuk mengetahui ada tahu tidaknya
infeksi menular.
F. Pemeriksaan Penunjang
Apabila pasien dalam kondisi sehat, afebri, tes laboratorium darah tidak diperlukan
untuk mengevaluasi abses tanpa komplikasi atau kista. Kultur bakteri dapat bermanfaat
dalam menentukan kuman dan pengobatan yang tepat bagi abses Bartholini.
G. Penatalaksanaan
1. Tindakan Operatif, beberapa prosedur yang dapat digunakan
a. Marsupialisasi
Prosedur ini tidak boleh dilakukan ketika terdapat tanda- tanda abses akut.
Setelah dilakukan persiapan yang steril dan pemberian anestesi lokal, dinding kista
dijepit dengan dua hemostat kecil. Lalu dibuat insisi vertikal pada vestibular
melewati bagian tengah kista dan bagian luar dari hymenal ring. Insisi dapat dibuat
sepanjang 1.5 hingga 3 cm, bergantung pada besarnya kista.
Setelah kista diinsisi, isi rongga akan keluar. Rongga ini dapat diirigasi dengan
larutan saline, dan lokulasi dapat dirusak dengan hemostat. Dinding kista ini lalu
dieversikan dan ditempelkan pada dindung vestibular mukosa dengan jahitan
interrupted menggunakan benang absorbable 2 -0.18. Kekambuhan kista
Bartholin setelah prosedur marsupialisasi adalah sekitar 5-10 %.
b. Eksisi/Ekstirpasi (Bartholinectomy)
Eksisi dari kelenjar Bartholin dapat dipertimbangkan pada pasien yang
tidak berespon terhadap drainase, namun prosedur ini harus dilakukan saat tidak ada
infeksi aktif. Eksisi kista bartholin karena memiliki risiko perdarahan, maka
sebaiknya dilakukan di ruang operasi dengan menggunakan anestesi umum.
Pasien ditempatkan dalam posisi dorsal lithotomy. Lalu dibuat insisi kulit berbentuk
linear yang memanjang sesuai ukuran kista pada vestibulum dekat ujung medial labia
minora dan sekitar 1 cm lateral dan parallel dari hymenal ring. Hati – hati saat
melakukan insisi kulit agar tidak mengenai dinding kista. Struktur vaskuler terbesar
yang memberi supply pada kista terletak pada bagian posterosuperior kista. Karena
alasan ini, diseksi harus dimulai dari bagian bawah kista dan mengarah ke superior.
Bagian inferomedial kista dipisahkan secara tumpul dan tajam dari jaringan sekitar.
Alur diseksi harus dibuat dekat dengandinding kista untuk menghindari perdarahan
plexus vena dan vestibular bulb danuntuk menghindari trauma pada rectum.
Diseksi Kista
Setelah diseksi pada bagian superior selesai dilakukan, vaskulariasi utama dari kista
dicari dan diklem dengan menggunakan hemostat. Lalu dipotong dan diligasi dengan
benang chromic atau benang delayed absorbable 3-0.
Ligasi Pembuluh Darah
c. Doxycycline
Menghambat sintesis protein dan replikasi bakteri dengan cara berikatan dengan 30S
dan 50S subunit ribosom dari bakteri. Diindikasikan untuk Ctra chomatis. Dosis
yang dianjurkan: 100 mg PO 2 kali sehari selama 7 hari.
BAB IV
KESIMPULAN
Kista adalah kantung yang berisi cairan atau bahan semisolid yang terbentuk di bawah kulit
atau di suatu tempat di dalam tubuh. Kista kelenjar Bartholin terjadi ketika kelenjar ini menjadi
tersumbat. Kelenjar Bartolini bisa tersumbat karena berbagai alasan, seperti infeksi, peradangan
atau iritasi jangka panjang. Apabila saluran kelenjar ini mengalami infeksi maka saluran kelenjar
ini akan melekat satu sama lain dan menyebabkan timbulnya sumbatan. Cairan yang dihasilkan
oleh kelenjar ini kemudian terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak dan membentuk
suatu kista. Suatu abses terjadi bila kista menjadi terinfeksi.
Tanda kista bartholini yang tidak terinfeksi berupa penonjolan yang tidak nyeri pada salah
satu sisi vulva disertai kemerahan atau pambengkakan pada daerah vulva disertai kemerahan atau
pembengkakan pada daerah vulva. Jika kista terinfeksi, gajala klinik berupa
Nyeri saat berjalan, duduk, beraktifitas fisik atau berhubungan seksual.
Umunnya tidak diserati demam kecuali jika terifeksi dengan organisem yang ditularkan
melalui hubungan seksual.
Biasanya ada secret di vagina.
Dapat terjadi ruptur spontan (nyeri yang mendadak mereda, diikuti dengan timbulnya
discharge).
DAFTAR PUSTAKA
1. Snell, RS. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2006.
2. Sarwono Prawiro hardjo. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. 2006.
3. Guyton, AC & Hall, CE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Philadelphia : Elsevier
Saunders. 2006.
4. Manuaba, Chandranita, dkk. Gawat Darurat Obstetri-Giekologi dan Obstetri-Ginekologi
Sosial Untuk Profesi Bidan. Jakarta: ECG. 2008.
5. Badziat, Ali. Endokrinologi Ginekologi. Jakarta : Media Aesculapius. 2003.
6. Ashari, M.A. (2010). Materi Kuliah Tumor Jinak Ginekologi. Yogyakarta : SMF Ilmu
Kebidanan dan Kandungan RSD Panembahan Senopati Bantul.
7. Cunningham, F.G., MacDonald, P.C. (2005). Obstetri Williams. Jakarta: EGC.
8. Norwitz, E., Schorge, J. (2008). At A Glance : Obstetri & Ginekologi. Edisi 2. Jakarta :
Erlangga.
9. Winkjosastro, H., Saifuddin, A.B., Rachimdani, T. (2002). Ilmu Kandungan. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
10. Blumstein, A Howard. 2005. Bartholin Gland Diseases.
http://www.emedicine.com/emerg/topic54.
11. Omole,FolashadeM.D. 2003. Management of Bartholin's Duct Cyst and Gland Abscess.
http://www. Aafp.org/afp/20030701/135.html.
12. Aghajanian A, Bernstein L, Grimes DA. Bartholin's duct abscess and cyst: a case-control
study.South Med J. 1994;87:26–9.