Vous êtes sur la page 1sur 18

BAB I: Laporan kasus

Identitas

Nama : Ny. Destianti Susanti


Usia : 26 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 11 Desember 1988
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Jl. Suralaya dalam VII RT 03/04 cilangkap cipayung
No. RM : 761420

Ruang perawatan : Cempaka I


Tanggal masuk RS : 22 July 2015
Tanggal operasi : 23 July 2015

Anamnesis

Keluahan utama:
Gerakan bayi tidak seperti biasanya, kurang lebih 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit.

Keluhan tambahan:
Tidak merasa mulas, kurang lebih 2 minggu sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat penyakit sekarang:


Pada tanggal 22 juli 2015 dilakukan CTG namun gerakan bayi kurang baik, pasien di
anjurkan utuk dirawat di bangasal dan di lakukan CTG ulang dengan memberikan oksigen
nasal, dan asil gerakan bayi membaik. 6 jam kemudian dilakukan CTG ulang tanpa
menggunakan oksigen dan hasilnya gerakan bayi kembali seperti peratama kali pasien
malakukan pemeriksaan CTG. Pasien diberikan oksigen selama 1 setengah jam kemudian
dilakukan CTG kembali dan hasilnya gerakan bayi normal. Oasien diberikan oksigen sampai
saat sebelum dilakukan operasi.

Riwayat penyakit terdahulu


 Riwayat mengalami keluhan seperti ini sebelumnya (-)
 Riwayat oprasi (-)
 Riwayat asma (-)
 Riwayat DM (-)
 Riwayat alergi (-)

riwayat penyakit keluarga:


 DM (-)
 Hipertensi (-)
 Penyakit asma (-)
Pemeriksaan fisik umum
Tanda-tanda vital
 Keadaan umum : Sedang
 Kesadaran : Composmentis
 Tekanan darah : 120/90 mmHg
 Nadi : 82 x/menit
 Suhu : 36,5 0C

Status generalis
 Kepala : normocephal
 Mata : konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-)
 Mulut : mallampati 1
 Leher : tidak ada pembesaran KGB
 Paru
o I : pergerakan dada simetris kanan-kiri
o P : fremitus taktil simetris kanan-kiri
o P : sonor diseluruh lapang paru
o A : vesikuler (+/+) ronkhi (-/-) wheezing (-/-)
 Jantung
o I : iktus kordis tidak tampak
o P : iktus kordis teraba
o P : batas jantung tidak melebar
o A : BJ 1 dan 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
o I : massa (-) lesi (-)
o A : BU (+) normal
o P : timpani
o P : nyeri tekan (+) perut bagian bawah dan ulu hati, defans muskular
(+)

 Ekskremitas : akral hangat, CRT< 2 detik


 Indeks Massa Tubuh
o Berat badan : 56 kg
o Tinggi badan : 160 cm

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Haemaglobin 11,1 12 – 14 g/dl
Leukosit 11.900 5.000 – 10.000 u/l
Hematocrit 35% 37 – 43 %
Trombosit 481.000 /ul 150.000 – 400.000 /ul
Ureum 16 10-50 mg/dl
Creatinine 0,6 0,5-1,5 mg/dl
SGOT 23,9 <37 U/L
SGPT 15,9 <40 U/L
Masa Perdarahan 1’ 1-6 menit
Masa Pembekuan 10’ 10-15 menit
GDS 79 <200
Natrium 137 135-145 mmol/l
Kalium 3,6 3,8-5,0 mmol/l
Chlorida 106 98-106 mmol/l

Persiapan pre oprasi


Puasa dari pukul 24.00 WIB
Infus RL
Persiapan obat dan alkes:
 Tramadol supp 1
 Piralen 1 ampul
 Regivell 1 ampul
 Oxytosin 2 ampul
 Ceftriaxon 1 ampul
 Ergotamin 1 ampul
 Pronalges 1 ampul
 Misotab 1 ampul

Laporan oprasi
Dokter ahli bedah : dr. Fredico, Sp. OG
Asistenbedah : Zr. Kholis
Ahli anestesi : dr. Riza, Sp. An
Jenis anestesi : Regional Anastesi
Diagnosis Pre OP : G2P1A0 H 40 minggu dengan oblik
Tanggal operasi : 23 Juli 2015
Jam mulai : 7.30 WIB
Jam selesai : 8.15 WIB
Lama operasi : 45 menit
Laporan operasi :

1. Pasien terlentang diatas meja oprasi dalam anastesi spinal


2. Asepsis dan antisepsis daerah oprasi dan sekitarnya
3. Insisi prannestiel kurang lebih 10 cm
4. Setelah perineum dibuka, tampak uterus gravidarum, segment bawah uterus (SBU)
5. Plika vesika uterina di sayat semilunar, vesika uterina disisihkan kebawah
6. SBU disayat tajam dilebarkan tumpul
7. Dengan bantuan forcep, lahir bayi perempuan, berat badan lahir 3000, panjang badan
lahir 48 cm, APGAR scor 9/10
8. Air ketuban cukup, warna bening
9. Plasenta implantasi fundus, dilahirkan lengkap
10. Kedua ujung SBU dijahit hemostasis dengan safil 1
11. Eksprolasi tuba dan ovarium dalam batas normal
12. Diyakini tidak ada perlekatan
13. Diyakini tidak ada perdarahan
14. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis
15. Oprasi selesai

Laporan anestesi
Ahli anestesi : dr. Riza, Sp. An
Ahli bedah : dr. Fredico, Sp. OG
Perawat Anestesi : Zr. Jayus
Jenis anestesi : Regional anestesi
Tehnik : Spinal
Diagnosis Pre OP : G2P1A0 H 40 minggu dengan oblik
Cairan : RL 500 cc
Tanggal operasi : 23 Juli 2015
Jam mulai : 7.30 WIB
Jam selesai : 8.15 WIB
Lama operasi : 45 menit

Obat yang digunakan intra operasi


 Regivell 20 mg
 Tramadol supp 1
 Piralen 10mg
 Oxytocin 20 ug
 Ergotamin 0,2 mg
 Efedrin 2 cc
 Pronalges 100 mg
 Misotab 0,6 mg
 Cefrtiaxone 1 gr

Tehnik anestesi
1. Setelah alat siap, pasien duduk membungkuk
2. Dilakukan asepsis pada bagian yang akan dimasukkan obat (punggung sekitar
vertebrae lumbalis)
3. Disuntikkan regivell sebanyak 20 mg kedalam ruang subarachnoid melalui celah
vertebrae lumbalis 4-5
4. Pasien diposisikan supine
5. Dilakukan tes untuk memastikan apakah obat sudah bereaksi ke ekstremitas
bawah pasien dengan cara menyuruh pasien mengangkat kedua kakinya
6. Setalah obat bereaksi, operasi dimulai
7. Kurang lebih 5 menit kemudian, diberikan metoclopramide (Piralen) secara bolus
sebanyak 10 mg
8. Pada saat bayi lahir, diberikan oxytosin pada RL sebanyak 20 ug dan diberikan
ergotamin 0,2 mg secara bolus
9. Tambahan analgesik diberikan tramadol supp dan cytotec 2 tablet pada vagina
10. Operasi selesai
11. Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke RR untuk diobservasi selama 2 jam

Diagnosis
G2P1A0 H 40 minggu dengan oblik
BAB II: OLIGOHIDRAMNION

Definisi
Cairan ketuban atau cairan amnion adalah cairan yang memenuhi rahim. Cairan ini
ditampung di dalam kantung amnion yang disebut kantung ketuban atau kantung janin.
Cairan ketuban diproduksi oleh buah kehamilan, yaitu sel-sel trofoblas, kemudian akan
bertambah dengan produksi cairan janin, yaitu air seni janin. Sejak usia kehamilan 12
minggu, janin mulai minum air ketuban dan mengeluarkannya kembali dalam bentuk air seni.
Jadi ada pola berbentuk lingkaran atau siklus yang berulang.
Cairan amnion biasanya diproduksi oleh janin maupun ibu, dan keduanya memiliki
peran tersendiri pada setiap usia kehamilan. Pada kehamilan awal, cairan amnion sebagian
besar diproduksi oleh sekresi epitel selaput amnion. Dengan bertambahnya usia kehamilan,
produksi cairan amnion didominasi oleh kulit janin dengan cara difusi membran. Pada
kehamilan 20 minggu, saat kulit janin mulai kehilangan permeabilitas, ginjal janin mengambil
alih peran tersebut dalam memproduksi cairan amnion. Pada kehamilan aterm, sekitar 500 ml
per hari cairan amnion di sekresikan dari urin janin dan 200 ml berasal dari cairan trakea.
Pada penelitian dengan menggunakan radioisotop, terjadi pertukaran sekitar 500 ml per jam
antara plasma ibu dan cairan amnion pada kondisi terdapat gangguan pada ginjal janin, seperti
agenesis ginjal, akan menyebabkan oligohidramnion.
Normal volume cairan amnion bertambah dari50 ml pada saat usia kehamilan 12
minggu sampai 400 ml pada pertengahangestasi dan 1000 – 1500 ml pada saat aterm. Pada
kehamilan postterm jumlahcairan amnion hanya 100 sampai 200 ml atau kurang.
Menurut Lehn, jumlah air ketuban yang normal pada primigravida adalah 1 liter, pada
multigravida sebanyak 1,5 liter, dan sebanyak – banyaknya yang masih dalam batas normal
adalah 2 liter.
Oligohidramnion adalah suatu keadaan dimana air ketuban kurang dari normal, yaitu
kurang dari 500 cc (manuaba, 2007), atau juga didefinisikan dengan indeks cairan amnion 5
cm atau kurang dari 12% dari 511 kehamilan dengan usia kehamilan 41 minggu atau lebih.
(Dexa Media no.3 tahun 2007)

Etiologi
Etiologi yang pasti belum jelas, tetapi disangka ada kaitannya dengan renal agenosis
janin. Etiologi primer lainnya mungkin oleh karena amnion kurang baik pertumbuhannya dan
etiologi sekunder lainnya, misalnya pada ketuban pecah dini (premature rupture of the
membrane = PROM ).
Penyebab sekunder biasanya dikaitkan dengan :
- Pecahnya membran ketuban
- Penurunan fungsi ginjal atau terjadinya kelinan ginjal bawaan pada janin
sehingga produksi urin janin berkurang, padahal urin janin termasuk salah satu
sumber terbentuknya air ketuban
- Kehamilan post-term sehingga terjadinya penurunan fungsi plasenta.
- Gangguan pertumbuhan janin
- Penyakit yang diderita ibu seperti Hipertensi, Dibetes mellitus, gangguan
pembekuan darah, serta adanya penyakit autoimmune seperti Lupus.
Penyebab oligohidramnion tidak dapat dipahami sepenuhnya. Mayoritas wanita hamil
yang mengalami tidak tau pasti apa penyebabnya. Penyebab oligohidramnion yang telah terdeteksi
adalah cacat bawaan janin dan bocornya kantung / membran cairan ketuban yang
mengelilingi janin dalam rahim. Sekitar 7% bayi dari wanita yang mengalami
oligohidramnion mengalami cacat bawaan, seperti gangguan ginjal dan saluran kemih karena
jumlah urin yang diproduksi janin berkurang.

Masalah kesehatan lain yang juga telah dihubungkan dengan oligohidramnion adalah
tekanan darah tinggi, diabetes, SLE, dan masalah padaplasenta. Serangkaian pengobatan yang
dilakukan untuk menangani tekanan darah tinggi, yang dikenal dengan nama angiotensin-
converting enxyme inhibitor (miscaptopril), dapat merusak ginjal janin dan menyebabkan
oligohidramnion parah dan kematian janin. Wanita yang memiliki penyakit tekanan darah
tinggi yang kronis seharusnya berkonsultasi terlebih dahulu dengan ahli kesehatan sebelum
merencanakan kehamilan untuk memastikan bahwa tekanan darah mereka tetap terawasi baik
dan pengobatan yang mereka lalui adalah aman selama kehamilan mereka.

Jika dilihat dari segi Fetal, penyebabnya bisa karena :


- Kelainan Kromosom
- Cacat Kongenital
- Hambatan pertumbuhan janin dalam rahim
- Kehamilan postterm
- Premature ROM (Rupture of amniotic membranes)
Jika dilihat dari sisi Maternal, penyebabnya :
- Dehidrasi
- Insufisiensi uteroplasental
- Hipertensi / Preeklamsia
- Diabetes Mellitus
- Hypoxia kronis
Induksi Obat :
- Seperti obat antihipertensi
Pada kehamilan lewat bulan, kekurangan air ketuban juga sering terjadi karena ukuran
tubuh janin semakin besar. Oligohydramnion dapat terjadi di masa kehamilan trimester
pertama atau pertengahan usia kehamilan cenderung berakibat serius dibandingkan jika
terjadi di masa kehamilan trimester terakhir.

Epidemiologi
Sekitar 8% wanita hamil memiliki cairan ketuban terlalu sedikit.Olygohydramnion
dapat terjadi kapan saja selama masa kehamilan, walau padaumumnya sering terjadi di masa
kehamilan trimester terakhir. Sekitar 12% wanitayang masa kehamilannya melampaui batas
waktu perkiraan lahir (usia kehamilan42 minggu) juga mengalami olygohydrasmnion, karena
jumlah cairan ketubanyang berkurang hamper setengah dari jumlah normal pada masa
kehamilan 42 minggu.

Klasifikasi oligohidramnion
1. Oligohidramnion awitan dini
Sejumlah keadaan dilaporkan berkaitan dengan berkurangnya cairan amnion.
Oligohidramnion hampir selalu nyata apabila terjadi obstruksi saluran kemih janin atau
agnesis ginjal. Oleh karenanya, anuria hampir pasti merupakan etiologi pada kasus-ksus
seperti itu. Kebocoran kronik suatu defek di selaput ketuban dapat mengurangi volume cairan
dalam jumlah bermakna, tetapi seringkali kemudian segera terjadi persalinan. Pajanan ke
inhibitor enzim pengubah – angiostetin (ACEI) dilaporkan berkaitan dengan oligohidramnion.
Sebanyak 15 sampai 25 persen kasus berkaitan kasus berkaitan dengan anomali janin mampu
memvisualisasikan struktur-struktur janin pada hanya separuh dari wanita yang dirujuk untuk
evaluasi ultrasonografi terhadap oligohidramnion midtrimester. Mereka melakukan
amnionfusi dan kemudian mampu melihat 77 persen dari struktur-struktur yang dicitrakan
secara rutin. Indentifikasi anomali terkait meningkat dari 12 menjadi 13 persen.
2. Oligohidramnion pada tahap lanjut
Volume cairan ketuban secara normal berkurang setelah usia gestasi 35 minggu.
Dengan menggunakan indeks cairan amnion kurang dari 5 cm, Casey dkk, mendapatkan
insidensi oligohidramnion pada 2,3 persen dari 6400 kehamilan lebih yang menjalani
sonografi setelah minggu ke-34 di Parkland hospital. Mereka memastikan pengamatan-
pengamatan sebelumnya bahwa hal ini berkaitan dengan peningkatan resiko hasil perinatal
yang merugikan. Pada kehamilan yang terpilih karena “resiko tinggi”, Magann, dkk, tidak
mendapatkan bahwa oligohidramnion ( indeks cairan kurang dari 5 cm ) meningkatkan resiko
penyulit intrapartum seperti mekonium kental, deselerasi variabel frekuensi denyut jantung,
seksio sesarea atas indikasi gawat janin, atau asidemia neonatus.

Gejala klinis
 Uterus tampak lebih kecil dari usia kehamilan dan tidak ada ballotemen.
 Ibu merasa nyeri di perut pada setiap pergerakan anak.
 Sering berakhir dengan partus prematurus.
 Bunyi jantung anak sudah terdengar mulai bulan kelima dan terdengar lebih jelas.
 Persalinan lebih lama dari biasanya.
 Molding : uterus mengelilingi janin
 Janin dapat diraba dengan mudah
 Tidak ada efek pantul pada janin
 Sewaktu his akan sakit sekali.
 Bila ketuban pecah, air ketuban sedikit sekali bahkan hamper tidak ada yang keluar.

Gejala dan tanda tersebut di dasarkan pada bahwa cairan amnion yang ditemukan berada
di bawah jumlah yang normal untuk usia kehamilan tertentu. Pada kehamilan normal, cairan
amnion wanita bervariasi dan dapat mengalami fluktuasi. Umumnya cairan amnion
meningkat hingga mencapai 1000 ml pada trimester 3 kehamilan. Menginjak usia kehamilan
34 minggu jumlah tersebut mulai berkurang secara bertahap dan menyisakan sekitar 800ml
pada usia cukup bulan. Pengukuran volume cairan amnion dilakukan dengan cara
ultrasonografi dan ini merupakan komponen standar pada pemeriksaan ultrasonografi lengkap
dengan profil biofisik.

Patofisiologi
Terlalu sedikitnya cairan ketuban dimasa awal kehamilan dapat menekanorgan-organ
janin dan menyebabkan kecacatan, seperti kerusakan paru-paru,tungkai dan
lengan.Olygohydramnion yang terjadi dipertengahan masa kehamilan juga meningkatkan
resiko keguguran, kelahiran prematur dan kematian bayi dalam kandungan. Jika
ologohydramnion terjadi di masa kehamilan trimester terakhir, hal ini mungkin berhubungan
dengan pertumbuhan janin yang kurang baik. Disaat-saat akhir kehamialn, oligohydramnion
dapat meningkatkan resiko komplikasi persalinan dan kelahiran, termasuk kerusakan pada
ari-ari memutuskan saluran oksigen kepada janin dan menyebabkan kematian janin.
Sindroma Potter dan Fenotip Potter adalah suatu keadaan kompleks yang berhubungan
dengan gagal ginjal bawaan dan berhubungan dengan oligohidramnion (cairan ketuban yang
sedikit).
Fenotip Potter digambarkan sebagai suatu keadaan khas pada bayi baru lahir, dimana
cairan ketubannya sangat sedikit atau tidak ada. Oligohidramnion menyebabkan bayi tidak
memiliki bantalan terhadap dinding rahim. Tekanan dari dinding rahim menyebabkan
gambaran wajah yang khas (wajah Potter). Selain itu, karena ruang di dalam rahim sempit,
maka anggota gerak tubuh menjadi abnormal atau mengalami kontraktur dan terpaku pada
posisi abnormal.
Oligohidramnion juga menyebabkan terhentinya perkembangan paru-paru (paru-paru
hipoplastik), sehingga pada saat lahir, paru-paru tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Pada sindroma Potter, kelainan yang utama adalah gagal ginjal bawaan, baik karena
kegagalan pembentukan ginjal (agenesis ginjal bilateral) maupun karena penyakit lain pada
ginjal yang menyebabkan ginjal gagal berfungsi.
Dalam keadaan normal, ginjal membentuk cairan ketuban (sebagai air kemih) dan tidak
adanya cairan ketuban menyebabkan gambaran yang khas dari sindroma Potter.
Gejala Sindroma Potter berupa :
 Wajah Potter (kedua mata terpisah jauh, terdapat lipatan epikantus, pangkal
hidung yang lebar, telinga yang rendah dan dagu yang tertarik ke belakang).
 Tidak terbentuk air kemih
 Gawat pernafasan,
Pada kehamilan sangat muda, air ketuban merupakan ultrafiltrasi dari plasma maternal
dan dibentuk oleh sel amnionnya. Pada trimester II kehamilan, air ketuban dibetuk oleh difusi
ekstraselular melalui kulit janin sehingga komposisinya mirip dengan plasma janin.
Selanjutnya setelah trimester II, terjadi pembentukan zat tanduk kulit janin dan menghalangi
disfusi plasma janin sehingga sebagian besar air ketubannya dibentuk oleh sel amnionnya dan
air kencingnya.

Ginjal janin mengeluarkan urin sejak usia 12 minggu dan setelah mencapai usia 18
minggu sudah dapat mengeluarkan urin sebanyak 7-14 cc/hari. Janin aterm mengeluarkan
urin 27 cc/jam atau 250 cc dalam sehari.

Sirkulasi air ketuban sangat penting, sehingga jumlahnya dapat dipertahankan dengan tetap.
Pengaturannya dilakukan oleh tiga komponen penting berikut:
 Produksi yang dihasilkan oleh sel amnion.
 Jumlah produksi air kencing.
 Jumlah air ketuban yang ditelan janin.

Setelah trimester II sirkulasinya makin meningkat sesuai dengan tuanya kehamilan sehingga
mendekati aterm mencapai 500 cc/hari.

Produksinya akan berkurang jika terjadi insufisiensi plasenta, kehamilan post term, gangguan
organ perkemihan, janin terlalu banyak minum, sehingga dapat menimbulkan makin
berkurangnya jumlah air ketuban intrauteri “ologohidramnion” dengan kriteria:
 Jumlah kurang dari 200 cc.
 Kental.
 Bercampur mekonium.

Diagnosa
Diagnosa dibuat dengan pemeriksaan USG yaitu dengan mengukur indeks caira ketuban
(Amniotic Fluid Index= AFI). Tetapi secara klinis (dengan pemeriksaan fisik) bisa diduga
dengan : pengukuran tinggi rahim dari luar serta bagian bayi yang mudah diraba dari luar
(didinding perut ibu). Namun hal ini hanya berupa asumsi/dugaan saja, tetap haris
dikonfirmasi dengan USG.
USG juga bisa melihat anantomi janin untuk melihat kelainan seperti ginjal yang tidak
tumbuh (dengan tidak terlihatnya pipis di kandung kemih janin). Serta untuk mengetahui
adanya gangguan pertumbuhan janin. Pemeriksaan dengan spekulum dapat dilakukan guna
mendeteksi adanya kebocoran air ketuban akibat pecahnya air ketuban.

Penilaian jumlah amnion melalui pemeriksaan USG dapat dilakukan secara subjektif atau
semi kuantitatif
1. Penilaian Subjektif
Pada keadaan oligohidramnion, cairan amnion disebut berkurang jika kantong
amnion hanya terlihat pada daerah tungkai bawah dan disebut habis apabila tidak
terlihat lagi kantong amnion
2. Penilaian semikuantitatif
Dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu pengukuran diameter terbesar pada salah
satu kantong amnion dan pengukuran indeks cairan amnion (ICA) / amnion fluid
index (AFI)
Oligohidramnion dicurigai jika terdapat kantong amnion kurang dari 2x2 cm, atau
index cairan pada kuadran 4 kurang dari 5 cm.

Penilaian secara klinis dapat dilakukan dengan mengukur tinggi rahim dari luar serta bagian
janin yang mudah diraba dari luar. Namun hal ini hanya merupakan asumsi tetapi harus
dikonfirmasi dengan USG

Penatalaksanaan

Tindakan konservatif
1. Tirah baring
2. Hidrasi
3. Perbaikan nutrisi
4. Pemantauan kesejahteraan janin
5. Pemeriksaan USG yang umum dari volume cairan amnion
6. Amnion infusion
7. Induksi dan kelahiran
Penatalaksanaan tergantung pada usia kehamilan, pada kehamilan preterm ;
mengevaluasi dan memonitor maternal agar tetap dalam kondisi optimal.

Komplikasi
 Congenital malformation
 Pulmonary hypoplasia
 Fetal compression syndrome
 Amniotic band syndrome
 Abnormal fetal growth or IUGR
 Decreased fetal blood volume, renal blood flow, and, subsequently, fetal urine output
 Fetal morbidity

Prognosis
 Semakin awal oligohidramnion terjadi pada kehamilan, semakin buruk
 Jika terjadi pada trimester II, 80-90% mortalitas

BAB III:ANESTESI SPINAL

Definisi
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang baik untuk tindakan bedah,
obstetrik, operasi-operasi bagian bawah abdomen dan ekstremitas bawah. Teknik ini
dilakukan dengan memasukkan larutan anestesi lokal kedalam ruang subarakhnoid 
paralisis temporer syaraf

Lokasi : L2 – S1
Keuntungan teknik anestesi spinal :
• biaya relatif murah
• perdarahan lebih berkurang
• mengurangi respon terhadap stress (perubahan fisiologis tubuh terhadap kerusakan
jaringan)
• kontrol nyeri yang lebih  sempurna
• menurunkan mortalitas pasca operasi
Indikasi
a. bedah abdomen bagian bawah, misal: op hernia, apendiksitis
b. bedah urologi
c. bedah anggota gerak bagian bawah
d. bedah obstetri ginekologi
e. bedah anorectal & perianal, misal: op hemoroid
Kontra indikasi
 Absolut
1. kelainan pembekuan darah (koagulopati)
2. infeksi daerah insersi
3. hipovolemia berat
4. penyakit neurologis aktif
5. pasien menolak
 Relative
2. R. pembedahan utama tulang belakang
3. nyeri punggung
4. aspirin sebelum operasi
5. Heparin preoperasi
6. Pasien tidak kooperatif atau emosi tidak stabil

Komplikasi
 Akut
1. hipotensi  dikarenakan dilatasi pembuluh darah max
2. bradikardi  dikarenakan blok terlalu tinggi, berikan SA
3. Hipoventilasi  berikan O2
4. Mual muntah  dikarenakan hipotensi terlalu tajam, berikan epedril
5. total spinal  obat anestesi naik ke atas, berikan GA
 Pasca tindakan
1. nyeri tempat suntikan
2. nyeri punggung
3. nyeri kepala
4. retensi urin  dikarenakan sakral terblok  pasang kateter

PROSEDUR

a. Persiapan
1. sama dengan persiapan general anestesi
2. Persiapan pasien
- Informed consent
- Pasang monitor  ukur tanda vital
- Pre load RL/NS 10-20 ml/kgBB
3. Alat dan obat
- Spinal nedle G 25-29
- Spuit 3 cc/5cc/10cc
- Lidokain 5% hiperbarik , Bupivacaine
- Efedrin, SA
- Petidin, katapres, adrenalin
- Obat emergency

b. Posisi pasien

 Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan posisi termudah.
Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa di pindah lagi,karena perubahan posisi
berlebihan dalam waktu 30 menit pertama akan menyebabkan penyebaran obat.
Jika posisinya duduk, pasien disuruh memeluk bantal, agar posisi tulang belakang
stabil, dan pasien membungkuk agar prosesus spinosus mudah teraba. Jika posisinya
dekubitus lateral, maka beri bantal kepala, agar pasien merasa enak dan
menstabilkan tulang belakang.
 Tentukan tempat tususkan. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua
krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Untuk operasi hernia ini,
dilakukan tusukan pada L3-4. Tusukan pada L1-2 atau dia atasnya berisiko trauma
terhadap medulla spinalis.

 Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol

 Beri anestetik lokal pada tempat tusukan. Pada kasus ini diberikan obat anestesi lokal
bupivakain.

 Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang medial dengan
sudut 10-30 derajad terhadap bidang horizontal ke arah cranial. Jarum lumbal akan
menembus kulit-subkutis-lig.supraspinosum-lig.interspinosum-lig.flavum-ruang
epidural-duramater-ruang sub arakhnoid. Kira-kira jarak kulit-lig.flavum dewasa
±6cm.

 Cabut stilet maka cairan serebrospinal akan menetes keluar.

 Pasang spuit yang berisi obat, masukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, untuk memastikan posisi jarum tetap baik.
Posisi duduk
Keuntungan : lebih nyata, processus spinosum lebih mudah diraba, garis tengah lebih
teridentifikasi (gemuk) & posisi yang nyaman pada pasien PPOK

MEDIKASI

Bupivakain

Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai berikut : 1-
butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride. Bupivakain adalah derivat
butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat
long acting dan disintesa oleh BO af Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun 1963.
Secara komersial bupivakain tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan kecenderungan yang
lebih menghambat sensoris daripada motoris menyebabkan obat ini sering digunakan untuk
analgesia selama persalinan dan pasca bedah.

Pada tahun-tahun terakhir, larutan bupivakain baik isobarik maupun hiperbarik telah
banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk operasi abdominal bawah. Pemberian
bupivakain isobarik, biasanya menggunakan konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml dan dosis total
15-20 mg, sedangkan bupivakain hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-
4ml dan total dosis 15-22,5 mg. Bupivakain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya
dalam jumlah kecil. Bila diberikan dalam dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan
bila dibandingkan dengan lidokain. Salah satu sifat yang paling disukai dari bupivakain selain
dari kerjanya yang panjang adalah sifat blockade motorisnya yang lemah. Toksisitasnya lebih
kurang sama dengan tetrakain. Bupivakain juga mempunyai lama kerja yang lebih panjang
dari lignokain karena mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mengikat protein.
Untuk menghilangkan nyeri pada persalinan, dosis sebesar 30 mg akan memberikan rasa
bebas nyeri selama 2 jam disertai blokade motoris yang ringan. Analgesik paska bedah dapat
berlangsung selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian dengan tehnik anestesi kaudal
akan memberikan efek analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada dosis 0,25 – 0,375 %
merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik paska bedah. Konsentrasi yang lebih
tinggi (0,5 – 0,75 %) digunakan untuk pembedahan. Konsentrasi infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok
saraf tepi 0,25 – 0,5 %, epidural 0,5 – 0,75 %, spinal 0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian
tunggal adalah 175 mg. Dosis rata-ratanya 3 – 4 mg / kgBB.

Farmakologi bupivakain

Bupivakain bekerja menstabilkan membran neuron dengan cara menginhibisi


perubahan ionik secara terus menerus yang diperlukan dalam memulai dan menghantarkan
impuls. Kemajuan anestesi yang berhubungan dengan diameter, mielinisasi, dan kecepatan
hantaran dari serat saraf yang terkena menunjukkan urutan kehilangan fungsi sebagai berikut :
otonomik, nyeri, suhu, raba, propriosepsi, tonus otot skelet. Eliminasi bupivakain terjadi di
hati dan melalui pernafasan (paru-paru). Bila pasien mengalami syok hipovolemik,
septikemia, infeksi pada beberapa organ, atau koagulopati, suntikan epidural, kaudal atau
subarachnoid harus dihindari. Kadar bupivakain plasma toksik (contohnya toksik, akibat
suntikan intravaskuler) dapat menyebabkan colaps kardiopulmonal dan kejang. Pencegahan
terjadinya komplikasi dengan cara mencegah overdosis (memberikan obat sesuai dosis yang
dianjurkan), hati-hati dalam memberikan penyuntikan intravena dengan menggunakan tehnik
yang benar, mengaspirasi terlebih dahulu sebelum bupivacaine dimasukkan, test dose 10%
dari dosis total, mengenali gejala awal dari toksisitas, mempertahankan kontak verbal dengan
pasien, memonitor frekuensi dan pola pernafasan, tekanan darah, dan frekwensi nadi. Tanda
dan gejala prapemantauan dimanifestasikan sebagai rasa tebal dari lidah dan rasa logam,
gelisah, tinitus, dan tremor. Dukungan sirkulasi (cairan intravena, vasopresor, natrium
bikarbonat IV 1 – 2 mEq / kg untuk mengobati toksisitas jantung (blokade saluran natrium),
bretilium IV 5 mg/kg, kardioversi/defibrilasi DC untuk aritmia ventrikuler dan mengamankan
saluran pernapasan pasien (ventilasi dengan oksigen 100 %) merupakan hal yang penting.
Tiopental (0,5 – 2 mg/kg IV), midazolam (0,02 – 0,04 mg/kg IV), atau diazepam (0,1 mg/kg
IV) dapat digunakan untuk profilaksis dan atau pengobatan kejang. Tingkat blokade simpatik
(bradikardia dengan blok diatas T5) menentukan tingkat hipotensi (sering ditandai dengan
mual dan muntah) setelah bupivakain spinal / subarakhnoid. Hidrasi cairan (10-20 ml/kg
larutan NS atau RL), obat vasopresor (contohnya efedrin) dan pergeseran uterus ke kiri pada
pasien hamil, dapat digunakan sebagai profilaksis dan pengobatan. Memberikan sulfas atropin
untuk mengobati bradikardi.

Farmakokinetik bupivakain dalam ruang subarakhnoid.


Obat bupivakain segera setelah penyuntikan subarakhnoid akan mengalami
penurunan konsentrasi dengan secara bertahap karena terjadinya: dilusi dan pencampuran di
liquor serebro spinalis, difusi dan distribusi oleh jaringan saraf, uptake dan fiksasi oleh
jaringan saraf, absorbsi dan eliminasi oleh pembuluh darah. Didalam ruang subarakhnoid obat
akan kontak dengan struktur jaringan saraf dan obat ini akan memblokade transmisi impuls
serabut-serabut saraf. Aktivitas anestesi lokal dalam ruang subarakhnoid yang penting di
akar-akar saraf di medula spinalis (primer), ganglia dorsalis dan sinap-sinap di kornu anterior
dan posterior (sekunder) dan traktus asenden dan desenden parenkim di medula spinalis.
Lama analgesik anestetik subarakhnoid tergantung pada beberapa faktor, yang pertama adalah
konsentrasi anestetik lokal dalam liquor cerebro spinalis dan yang kedua adalah absorpsi obat
anestetik oleh sistim vaskuler. Semakin besar konsentrasinya akan semakin lama efek
analgesiknya. Konsentrasi analgesik akan menurun sesuai paruh waktu terhadap jarak dari
tempat dengan konsentrasi yang terbesar, dan secara klinis akan terjadi suatu regresi
analgesik dari atas ke bawah menuju daerah dengan konsentrasi terbesar.

Penilaian terhadap lama kerja anestetik 1okal pada blok subarakhnoid dapat
dilakukan dengan berbagai cara : waktu hilangnya analgesi pada daerah operasi, waktu yang
diperlukan pemberian analgesik yang pertama kali paska bedah, waktu yang diperlukan untuk
terjadinya regresi motorik dan waktu yang diperlukan untuk terjadinya regresi analgesik pada
2 atau 4
segmen.

Mula Kerja Bupivakain Hiperbarik dan Isobarik


Mula kerja anestesi spinal sangat ditentukan oleh nilai pKa, semakin rendah nilai pKa
semakin cepat mula kerjanya. Bupivakain mempunyai tingkat daya ikat protein tinggi
(95,6%) namun nilai pKa juga tinggi. Pada saat ini, bupivakain 0,5% isobarik maupun
hiperbarik banyak digunakan untuk operasi abdominal bawah dengan anestesi spinal. Telah
dilaporkan bahwa bupivakain 0,5% 9,75 mg isobarik mempunyai mula kerja 5 menit lebih
cepat dibandingkan hiperbarik. Namun hal ini berbeda dengan penelitian lain menemukan
fakta bahwa pada 20 sampel yang mendapatkan anestesi spinal dengan bupivakain 10 mg
hiperbarik mempunyai mula kerja blokade sensorik dan motorik 2 kali lebih cepat (rata-rata 9
menit) dibandingkan 10 mg bupivakain isobarik (rata-rata 18 menit).

Bupivakain 0,5% hiperbarik mempunyai kualitas analgesik dan relaksasi motorik intraoperatif
yang kurang memuaskan, mula kerja blokade sensorik dan motorik lebih cepat dan lama kerja
blokade sensorik dan motorik lebih panjang bila dibandingkan dengan ropivakain hiperbarik.

Lama Kerja Bupivakain Hiperbarik dan Isobarik


Mengenai lama kerja anestetik ditentukan oleh kecepatan absorbsi sistemiknya, jenis
anestesi lokal, besarnya dosis, vasokonstriktor dan penyebaran anestesi lokal. Semakin tinggi
daya ikat protein terhadap reseptor semakin panjang lama kerjanya. Dikatakan bahwa lama
kerja blokade sensorik dan motorik bupivakain hiperbarik lebih panjang dibandingkan dengan
bupivakain isobarik. Sedangkan penelitian menemukan fakta yang berlainan yaitu pada 20
sampel yang mendapatkan anestesi spinal dengan bupivakain 0,5% 10 mg hiperbarik
mempunyai lama kerja blokade sensorik dan motorik 2 kali lebih cepat ( rata-rata 92 menit)
dibandingkan isobarik (rata-rata 177 menit)

Pada spinal anestesi dengan bupivakain 0,5% isobarik mempunyai lama kerja blokade
sensorik dan motorik 2 kali lebih panjang dibandingkan bupivakain 0,5% hiperbarik.
Pemberian bupivakain 0,5% isobarik 15 mg telah dilaporkan dapat menghasilkan efek spinal
blok anestesi yang lebih cepat jika dibandingkan dengan pemberian bupivakain 0,5% 15 mg
hiperbarik. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi hasil ini antara lain: umur, tinggi badan,
anatomi batang spinal, tehnik injeksi, volume Cerebro Spinal Fluid (CSF), density CSF dan
baricity obat anesthesi, posisi pasien, dosis serta volume obat anestesi. Bupivakain 0,5%
isobarik diberikan secara injeksi akan bercampur dengan CSF (paling sedikit 1:1), ada
beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat blockade neural meliputi tingkat injeksi, tinggi
badan dan anatomi kolumna vertebralis, Sedangkan bupivakain 0,5% hiperbarik dapat
diberikan tergantung dari area spinal (secara normal T4-T8 dalam posisi telentang).

Efek samping anestesi spinal yang sering terjadi adalah hipotensi dan bardikardi. Biasanya
terjadi 5 menit setelah anestesi spinal. Dilaporkan juga setelah 45 menit pemberian
bupivakain 0,5% isobarik akan terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan denyut
jantung. Disamping itu mual-muntah, blokade spinal tinggi, keracunan, menggigil, retensi
urin, post dural puncture headache dan henti jantung dapat juga terjadi. Pasien dengan henti
jantung harus segera dilakukan resusitasi jantung paru dan jika perlu dilakukan pijat jantung.
Bretylium merupakan obat pilihan bila terjadi disritmia.

Metoclopramide
Metoklopramid merupakan suatu derivat dari prokainamid. Metokloptamid
merangsang traktus gastrointestinal bagian atas dan meningkatkan tonus sfingter esofagus
sebesar 10-20cm H2O. Sekresi asam lambung tidak berubah. Efek neto adalah percepatan
pengosongan lambung dan transit usus. Obat ini mensensitisasi otot polos gastrointestinal
terhadap efek asetilkolin dan dapat menyebabkan pelepasan asetilkolin dari ujung saraf
kolinergik. Efek antiemetik dari antagonisme reseptor dopamin sentral dan perifer dan
inhibisi dari muntah yang diperantai zona-pemicu-kemoreseptor. Metoklopramid
menghasilkan sedasi minimal dan jarang menghasilkan reaksi piramidal.
Indikasi:
 merangsang pengosongan lambungan

 antiemetik

 pregobatan refluks gastroesofagus

Dosis umum:
IV/IM, 10 mg (berikan suntikan IV dalam 1-2 menit)
Eliminasi:
Ginjal
Pedoman/Peringatan:
 gunakan dengan hati-hati pada pasien hipertensi atau mereka yang mendapatkan
inhibitor MAO

 metoklopramid tidak disarankan bagi anak-anak karena peningkatan reaksi


ekstrapiramidal

 kontraindikasi pada pasien dengan feokromositoma, epilepsi, atau perdarahan


gastrointestinal, obstruksi, atau perforasii, atau mereka yang mendapatkan obat-obat
lain yang dapat menimbulkan reaksi ekstrapiramidal.

Efek samping utama:


 Kardiovaskular: hipertensi, hipotensi, aritmia

 SSP: Mengantuk, reaksi ekstrapiramidal, akatisia, insomnia, ansietas

 GI: mual, diare

 Lain: Galaktore, ginekomastia, hipoglikemia

Tramadol
Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat. Tramadol mengikat
secara stereospesifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga mengeblok sensasi nyeri
dan respon terhadap nyeri. Di samping itu tramadol menghambat pelepasan neurotransmitter
dari saraf aferen yang sensitif terhadap rangsang, akibatnya impuls nyeri terhambat.

Indikasi:
Efektif untuk pengobatan nyeri akut dan kronik yang berat, nyeri pasca pembedahan.

Dosis umum:
Dosis tunggal 50 mg. Dosis tersebut biasanya cukup untuk meredakan nyeri, apabila
masih terasa nyeri dapat ditambahkan 50 mg setelah selang waktu 30-60 menit.

Dosis maksimum:
400 mg sehari. Dosis sangat tergantung pada intensitas rasa nyeri yang diderita.

Penderita gangguan hati dan ginjal dengan "creatinine clearances" <30 ml/menit:
50-100 mg setiap 12 jam, maksimum 200 mg sehari.
Peringatan dan perhatian:
 Pada penggunaan jangka panjang dapat terjadi ketergantungan, sehingga dokter harus
menentukan lama pengobatan.

 Tramadol tidak boleh diberikan pada pasien ketergantungan obat.

 Hati-hati penggunaan pada pasien trauma kepala, meningkatnya tekanan intrakranial,


gangguan fungsi ginjal dan hati yang berat atau hipersekresi bronkus, karena dapat
mengakibatkan meningkatnya resiko kejang atau syok.

 Penggunaan bersama dengan obat-obat penekanan SSP lain atau penggunaan dengan
dosis berlebihan dapat menyebabkan menurunnya fungsi paru.

 Penggunaan selama kehamilan harus mempertimbangkan manfaat dan resikonya baik


terhadap janin maupun ibu.

 Hati-hati penggunaan pada ibu menyusui, karena tramadol diekskresikan melalui


ASI.

 Tramadol dapat mengurangi kecepatan reaksi pasien, seperti kemampuan


mengemudikan kendaraan ataupun mengoperasikan mesin.

 Depresi pernapasan akibat dosis yang berlebihan dapat dinetralisir dengan nalokson,
sedangkan kejang dapat diatasi dengan pemberian benzodiazepin.

 Meskipun termasuk antagonis opiat, tramadol tidak dapat menekan


gejala "withdrawal" akibat pemberian morfin.

Efek samping:
Efek samping yang umum terjadi seperti pusing, sedasi, lelah, sakit kepala, pruritus,
berkeringat, kulit kemerahan, mulut kering, mual, muntah. Dispepsia dan obstipasi.

Kontraindikasi:
Pasien hipersensitif terhadap Tramadol atau Opiat dan penderita yang mendapatkan
pengobatan dengan penghambat MAO, intoksikasi akut dengan alkohol, hipnotika, analgetik
atau obat-obat yang mempengaruhi SSP lainnya.

Interaksi obat:
Efek analgesik dan sedasi tramadol ditingkatkan pada penggunaan bersama dengan
obat-obat yang bekerja pada SSP seperti tranquiliser, hipnotik.

INSTRUKSI POST OPERASI SC SPINAL

1. Bed rest total 24 jam post op dengan bantal tinggi. Boleh miring kanan kiri, tak boleh
duduk
2. Ukur TD dan N tiap 15 menit selama 1 jam pertama. Bila TD < 90 beri efedrin 10 mg,
bila N<60 beri SA 0,5 mg
3. bila tidak ada mual muntah boleh minum sedikit-sedikit dengan sendok
4. bila nyeri kepala hebat, konsul anestesi
DAFTAR PUSTAKA
1. Prawirohardjo, S. 2009. Ilmu Kandungan . Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo

2. Manuwaba, Ida Bagus Gde. 2010 . Ilmu kebidanan Penyakit Kandungan dan
Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC

3. Mochtar, Rustam. 2002. Sinopsis Obstetri. Jakarta EGC

4. Tuominen, M. Bupivacaine Spinal Anesthesia. Acta Anesthesiology Scand. Vol 35:1-


10.

5. Veering, B. Local Anesthesics. In Regional Anaesthesia and Analgesia. Philadelphia.


WBSaunders company. 1996. Pages 188-197.

6. Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology. Terjemahan Sjabana D, Isbandiati E,


Basori A. Edisi 8. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. 2002. Hal 170-171.

7. Setiawati, A. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. FKUI. Jakarta. 2005.

Vous aimerez peut-être aussi