Vous êtes sur la page 1sur 24

Bagian Ilmu Kesehatan mata

Fakultas Kedokteran
Universitas Alkhairaat REFERAT
KASUS
April 2018

PTERIGIUM

Disusun oleh:
Moh Faisal SY Intam, S.Ked
(11 16 777 14 110)

Pembimbing:
dr. Citra Azma Anggita, Sp.M, M.Kes

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2018

0
BAB I
PENDAHULUAN

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang


bersifat degeneratif dan invasif. Seperti daging, berbentuk segitiga yang tumbuh
dari arah temporal maupun nasal konjungtiva menuju kornea pada arah
intrapalpebra. Asal kata pterygium dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya
wing atau sayap. Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterygium yang berbentuk
sayap pada konjungtiva bulbi. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan
bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik.1
Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar
ultraviolet, daerah yang kering dan lingkungan yang banyak angin, karena sering
terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang
berangin, penuh sinar matahari, berdebu atau berpasir. Kasus Pterygium yang
tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung pada lokasi geografisnya,
tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi juga tinggi pada daerah
berdebu dan kering. Insiden pterygium di Indonesia yang terletak di daerah
ekuator, yaitu 13,1%. Insiden tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan
rentang umur 20 – 49 tahun. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi
pterygium. Rekuren lebih sering terjadi pada pasien yang usia muda dibandingkan
dengan pasien usia tua.2
Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus
diangkat secara bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah
perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti
mengurangi resiko kekambuhan.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Anatomi
2.1.1 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi
permukaan aspek posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata. Nama
konjungtiva (conjoin: bergabung) diberikan kepada membran mukosa ini karena
fakta bahwa ia menhubungkan bola mata dengan kelopak mata. Membentang dari
pinggir kelopak mata ke limbus, dan membungkus ruang kompleks yang disebut
sakus konjungtiva yang terbuka di depan fisura palpebral.3
Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian :
1) Konjungtiva Palpebralis. Bagian ini melapisi permukaan dalam
kelopak mata dan melekat kuat pada tarsus. Konjungtiva palpebralis
terbagi 3 yakni konjungtiva marginal, tarsal, orbital. Konjungtiva
marginal membentang dari tepi kelopak mata sekitar 2 mm pada bagian
belakang kelopak sampai ke alur dangkal, yakni sulkus subtarsalis.
Bagian ini sebenarnya zona transisi antara kulit dan konjungtiva lebuih
tepatnya. Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan banyak mengandung
vaskular. Bagian ini melekat kuat pada seluruh tarsal kelopak mata atas.
Pada kelopak mata bawah, hanya melekat pada setengah bagian tarsal.
Konjungtiva orbital terletak longgar antara tarsal dan forniks.2
2) Konjungtiva bulbaris. melekat longgar pada sclera dan melekat lebih
erat pada limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan
epitel kornea.2,11 bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan
episcleral dan kapsul Tenon. Terdapat sebuah dataran tinggi 3-mm dari
konjungtiva bulbaris sekitar kornea disebut konjungtiva limbal.2
3) Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra
yang melekat erat pada struktur sekitarnya, konjungtiva fornix ini

2
melekat secaralonggar dengan struktur dibawahnya yaitu fasia muskulus
levator palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya
bersifat longgar, maka konjungtiva fornix dapat bergerak bebas bersama
bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.2

Gambar 1. Anatomi mata 2


Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan
kelenjar lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar
uniseluler yang terletak di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di konjungtiva
tarsal) dan kelenjar Manz (ditemukan dalam konjungtiva limbal). Kelenjar-
kelenjar ini mensekresi mucus yang penting untuk membasahi kornea dan
konjungtiva. Kelenjar lakrimalis aksesoris terdiri dari: Kelenjar Krause (terdapat
pada jaringan ikat subconjunctival forniks, sekitar 42 buah di atas forniks dan 8

3
buah di bawah forniks) dan kelenjar Wolfring (terdapat di sepanjang batas atas
tarsus superior dan sepanjang batas bawah tarsus inferior). 2,12

2.1.2 Anatomi Kornea

Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan.
Kornea terdiri dari 6 lapisan, yaitu:3
1. Epitel
 Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5-6 lapis sel epitel tidak bertanduk saling
tumpang tindih; sel basal, sel poligonal, dan sel gepeng.
 Pada sel basal sering terlihat proses mitosis sehingga sel muda ini
terdorong ke depan menjadi sel gepeng. Sel basal berikatan erat dengan
sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom
dan makula okluden. Ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit,
dan glukosa yang merupakan barrier.
2. Membran Bowman
 Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma.
3. Stroma
 Terdiri atas susunan kolagen yang sejajar satu sama lain. Pada
permukaan terlihat sebagai anyaman yang teratur, sedangkan di bagian
perifer serat kolagen bercabang. Terbentuknya kembali serat kolagen
memakan waktu lama, kadang hingga 15 bulan. Keratosit merupakan sel
stroma kornea yang terletak di antara serat kolagen stroma, berperan
sebagai fibroblas. Diduga keratosit membentuk bahan dasar serta serat
kolagen pada masa perkembangan embrio dan sesudah terjadi trauma.2
4. Lapisan dua
5. Membran Descement
 Merupakan membran aselular dan batas belakang stroma kornea.
Dihasilkan oleh sel endotel dan merupakan membran basalnya.

4
 Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, serta
mempunyai tebal 40µm.2

6. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk heksagonal, dan
berukuran 20-40 µm. Endotel melekat pada membran descement melalui
hemidesmosom dan zonula okluden.2

Gambar 2. Lapisan Kornea.2

2.2 Definisi Pterigium


Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah
kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di
daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian
pterigium akan berwarna merah.1

2.3 Epidemiologi
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor
yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator, yakni daerah yang
terletak kurang 370 Lintang Utara dan Selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi

5
sampai 22% di daerah dekat ekuator dan kurang dari 2% pada daerah yang
terletak di atas 400 Lintang. Insiden pterygium cukup tinggi di Indonesia yang
terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%.4
Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus
pterygium cukup sering didapati. Apalagi karena faktor risikonya adalah paparan
sinar matahari (UVA & UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh paparan alergen,
iritasi berulang (misal karena debu atau kekeringan).4

2.4 Etiologi
Etiologi pterigium belum diketahui secara jelas. Diduga merupakan suatu
proses peradangan dan degenerasi yang disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu,
pasir, cahaya matahari, lingkungan berangin, dan udara yang panas. Selain itu
faktor genetik dicurigai menjadi salah satu faktor predisposisi.4,5
Faktor risiko yang mempengaruhi munculnya pterigium antara lain:
a. Radiasi ultraviolet
Faktor risiko utama yang berasal dari lingkungan sebagai penyebab
timbulnya pterigium adalah paparan sinar matahari. Sinar ultraviolet yang
diabsorbsi oleh kornea dan konjungtiva akan mengakibatkan kerusakan
dan proliferasi sel. Iklim dan waktu berada di luar ruangan merupakan
faktor penting yang mempegaruhi paparan radiasi ultraviolet.
b. Faktor Genetik
Pada beberapa kasus dilaporkan terdapat sekelompok anggota keluarga
dengan pterigium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan
bahwa pterigium kemungkinan diturunkan secara autosom dominan.
c. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan
terjadinya limbal sebagai teori baru patogenesis dari pterigium. Wong juga
menunjukkan adanya pterygium angiogenesis factor dan penggunaan
pharmacotherapy antiangiogenesis sebagai terapi. Debu, kelembaban

6
yang rendah, trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye, dan virus
papilloma juga dapat menjadi penyebab pterigium.9
2.5 Patofisiologi Pterigium
Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini lebih
sering pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu gambaran
yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering,
inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan
lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film
menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori.
Tingginya insiden pterygium pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori
ini.4
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal
stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam
jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel
bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan
terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi
degenerasi elastoik proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan kemudian
menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran
bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan
inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi
displasia.4
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada
permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva
ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan
pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan
karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterygium merupakan
manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat
sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.4

7
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan
phenotype, pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum
dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal.
Lapisan fibroblast pada bagian pterygiun menunjukkan proliferasi sel yang
berlebihan. Pada fibroblast pterygium menunjukkan matrix metalloproteinase,
dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyembuhan
luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterygium cenderung terus
tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.4
Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan
yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua
kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui
pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.

2.6 Gambaran Klinis


Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa
keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami
pasien antara lain:6
 mata sering berair dan tampak merah
 merasa seperti ada benda asing
 timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium
tersebut, biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme
irreguler sehingga mengganggu penglihatan
 pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan
aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.
Dari pemeriksaan didapatkan adanya penonjolan daging, berwarna kuning,
tampak jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang terbentang dari
konjungtiva interpalpebra sampai kornea, tepi jaringan berbatas tegas sebagai
suatu garis yang berwarna coklat kemerahan, dan umumya tumbuh di daerah
nasal, yaitu pada 90% kasus. Di bagian depan dari apeks pterigium terdapat
infiltrat-infiltrat kecil yang disebut “islet of Fuch”. Pterigium yang mengalami

8
iritasi dapat menjadi merah dan menebal, hal tersebut yang terkadang
dikeluhkan oleh penderita.

2.7 Klasifikasi Pterigium


Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body, apex (head) dan cap.
Bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya kearah kantus
disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apex dan ke belakang disebut
cap. A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas
pinggir pterygium.7

 Pterigium dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:


1. Pterigium simpleks; jika terjadi hanya di bagian nasal atau temporal saja.
2. Pterigium dupleks; jika terjadi di bagian nasal dan temporal.
 Pterigium berdasarkan perjalanan penyakitnya dibagi 2 tipe, yaitu:
1. Pterigium progresif; tebal dan terdapat vaskularisasi dengan infiltrat di
depan kepala pterigium pada kornea, yang disebut cap dari pterigium.

Gambar 3. Pterigium Progresif


2. Pterigium regresif ; tipis, atrofi, dan terdapat sedikit vaskularisasi. Tipe
ini akhirnya akan membentuk membran yang tidak hilang.

9
Gambar 4. Pterigium Regresif
 Pterigium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat sesuai dengan perluasannya ke
kornea dan pupil, yaitu:7,8
a. Derajat 1 : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.
b. Derajat 2 : jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak
lebih dari 2 mm.
c. Derajat 3 : jika pterigium sudah melebihi derajat 2 tetapi belum
mencapai pinggiran pupil dalam keadaan cahaya normal, dimana pupil
berdiameter sekitar 3–4 mm.
d. Derajat 4 : jika pterigium sudah mencapai pupil

Gambar 5. Pterigium Derajat 1

Gambar 6. Pterigium Derajat 2

10
Gambar 7. Pterigium derajat 3

Gambar 8. Pterigium derajat 4


 Tipe Pterigium
a. Nasal Pterygium
b. Temporal Pterygium
c. Double Pterygium

Temporal Nasal Duplex

2.8 Diagnosis banding


Secara klinis pterygium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sama
yaitu pinguekula dan pseudopterygium. Bentuknya kecil, meninggi, masa
kekuningan berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura
interpalpebra dan kadang-kadang mengalami inflamasi. Tindakan eksisi tidak
diindikasikan. Prevalensi dan insiden meningkat dengan meningkatnya umur.
Pinguekula sering pada iklim sedang dan iklim tropis dan angka kejadian sama
pada laki-laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko

11
penyebab pinguekula.Pertumbuhan yang mirip dengan pterygium,
pertumbuhannya membentuk sudut miring seperti pseudopterygium atau Terrien's
marginal degeneration. Pseudopterygium mirip dengan pterygium, dimana
adanya jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi menuju
kornea. Berbeda dengan pterygium, pseudopterygium adalah akibat inflamasi
permukaan okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis
sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea. Untuk mengidentifikasi
pseudopterygium, cirinya tidak melekat pada limbus kornea. Probing dengan
muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah pseudopterygium pada
limbus, dimana hal ini tidak dapat dilakukan pada pterygium. Pada
pseudopterygium tidak dapat dibedakan antara head, cap dan body dan
pseudopterygium cenderung keluar dari ruang fissura interpalpebra yang berbeda
dengan true pterygium.9

Gambar 9. Pinguekula Gambar 10. Pseudopterygium

2.9 Penatalaksanaan
Pengobatan pterigium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan
pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya astigmatisme
ireguler atau pterigium yang telah menutupi media penglihatan. Lindungi mata
dengan pterigium dari sinar matahari, debu, dan udara kering dengan kacamata
pelindung.1
Keluhan fotofobia dan mata merah dari pterygium ringan sering ditangani
dengan menghindari asap dan debu. Beberapa obat topikal seperti lubrikans,

12
vasokonstriktor dan kortikosteroid digunakan untuk menghilangkan gejala
terutama pada derajat 1 dan derajat 2. Untuk mencegah progresifitas, beberapa
peneliti menganjurkan penggunaan kacamata pelindung ultraviolet.4
Indikasi eksisi pterygium sangat bervariasi. Eksisi dilakukan pada
kondisi adanya ketidaknyamanan yang menetap, gangguan penglihatan bila
ukuran 3-4 mm dan pertumbuhan yang progresif ke tengah kornea atau aksis
visual, adanya gangguan pergerakan bola mata.4
Eksisi pterygium bertujuan untuk mencapai gambaran permukaan mata
yang licin. Suatu tehnik yang sering digunakan untuk mengangkat pterygium
dengan menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterygium kearah
limbus. Memisahkan pterygium kearah bawah pada limbus lebih disukai, kadang-
kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma jaringan sekitar otot. Setelah
eksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan. Beberapa tehnik
operasi yang dapat menjadi pilihan yaitu :4
1. Bare sclera : tidak ada jahitan atau jahitan, benang absorbable digunakan
untuk melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon rektus.
Meninggalkan suatu daerah sklera yang terbuka.

Gambar 11. Bare Sclare


2. Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika
hanya defek konjungtiva sangat kecil).

13
Gambar 12. Simple closure
3. Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap
konjungtiva digeser untuk menutupi defek.

Gambar 13. Sliding flaps


4. Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah
konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya.

Gambar 14. Rotational flap


5. Conjunctival graft : suatu free graft biasanya dari konjungtiva superior,
dieksisi sesuai dengan besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit.

14
Gambar 15. Conjunctival graft
Amnion membrane transplantation : mengurangi frekuensi rekuren
pterygium, mengurangi fibrosis atau skar pada permukaan bola mata dan
penelitian baru mengungkapkan menekan TGF-β pada konjungtiva dan fibroblast
pterygium. Pemberian mytomicin C dan beta irradiation dapat diberikan untuk
mengurangi rekuren tetapi jarang digunakan.4
2.10 Komplikasi
Komplikasi pada mata yang dapat ditimbulkan akibat adanya pterigium antara
lain:10
 Gangguan penglihatan.
 Mata kemerahan.
 Iritasi mata.
 Gangguan pergerakan bola mata.
 Timbul jaringan parut kronis pada konjungtiva dan kornea.
 Sindrom Dry eye.3
Komplikasi yang dapat tejadi setelah dilakukan operasi eksisi pterigium
antara lain:
 Infeksi.
 Ulkus kornea.
 Graft konjungtiva yang terbuka.
 Diplopia.
 Adanya jaringan parut di kornea.

15
2.11 Pencegahan
Pada orang dengan risiko tinggi seperti yang bertempat tinggal di daerah
tropis, beraktivitas di luar ruangan dalam waktu yang lama misalnya nelayan dan
petani, serta banyak berkontak dengan debu dan sinar matahari dianjurkan untuk
memakai topi dan kacamata pelindung untuk melindungi mata dari paparan sinar
matahari dan debu. Tindakan-tindakan pencegahan tersebut juga perlu dilakukan
oleh pasien yang telah menjalani prosedur pengangkatan pterigium dengan tujuan
mencegah kekambuhan.10
2.12 Prognosis
Ketajaman penglihatan dan dari segi kosmetik pasien setelah pterigium
dieksisi menjadi baik. Rasa tidak nyaman pada hari pertama setelah operasi dapat
ditoleransi. Kebanyakan pasien setelah 48 jam pasca operasi sudah dapat
beraktivitas kembali.10
Rekurensi pterigium setelah operasi masih merupakan suatu masalah
sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan
dengan antimetabolit, antineoplasia, dan transplantasi konjungtiva. Pasien dengan
pterigium yang berulang dapat dilakukan kembali prosedur pengangkatan dengan
cara eksisi kemudian dilakukan konjungtiva autograft atau transplantasi membran
amnion. Umumnya rekurensi pterigium terjadi pada 3–6 bulan pertama setelah
operasi.6
Pada orang yang berisiko tinggi timbulnya pterigium seperti memiliki
riwayat keluarga dengan pterigium, berkerja di luar ruangan dalam waktu lama,
dan tinggal di daerah yang berangin dianjurkan memakai topi dan kacamata
pelindung untuk mengurangi paparan sinar matahari pada mata.10

16
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.H
Umur : 56 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
Alamat : Jl. Delima
II. ANAMNESIS

Keluhan Utama: Kedua mata terasa mengganjal

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien perempuan datang ke Poli Rumah Sakit Umum Anutapura Palu


dengan keluhan kedua mata terasa mengganjal yang dialami sejak ± 4 tahun
yang lalu secara perlahan-lahan, awalnya tampak selaput kecil yang lama-
kelamaan membesar. Penglihatan menurun (+), nyeri (-), mata berair (+),silau(-),
kotoran mata berlebih (-), rasa berpasir (-), riwayat mata merah sebelumnya (-).

Riwayat Penyakit Mata Sebelumnya: Tidak ada

Riwayat Penyakit Lain:

17
- Hipertensi (+)
- Diabetes Melitus (+)

Riwayat Trauma: Tidak ada

Riwayat Penyakit Mata dalam Keluarga: Tidak ada

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis:

Keadaan Umum : Baik


Kesadaran : Kompos Mentis
Tanda Vital
- Tekanan Darah : 110/80 mmHg
- Nadi : 80x/menit
Status Oftalmologis
A. INSPEKSI OD OS
Visus 1/60 1/60
1. P P Palpebra Edema(-) Edema(-)
Apparatus Lakirmalis Lakrimasi (-) Lakrimasi (-)
3. Silia Silia Sekret (-) Sekret (-)
K Konjungtiva Terdapat selaput Terdapat selaput
berbentuk segitiga di berbentuk segitiga di
nasal dengan apeks nasal dengan apeks
sudah melewati limbus sudah melewati limbus
dan menutupi pupil dan menutupi pupil
Kornea Jernih Jernih
Bilik Mata Depan Normal Normal
7. Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)
8. Pupil Tampak selaput putih Tampak selaput putih

18
yang menutupi sebagian yang menutupi sebagian
pupil pupil
9. Lensa Jernih Jernih
10.Mekanisme muskular

B.PALPASI
- Tensi Okular Normal Normal
- Nyeri Tekan Tidak ada Tidak ada
- Massa Tumor Tidak ada Tidak ada
- Glandula Pre aurikuler Normal Normal
C. Tonometri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
D. Tes Buta Warna Normal Normal
E. Oftalmoskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
F. Slit Lamp Terdapat selaput berbentuk Terdapat selaput
segitiga dari arah nasal berbentuk segitiga dari
melewati limbus sampai ke arah nasal melewati
pupil. BMD normal, iris limbus sampai ke pupil.
coklat, kripte (+), pupil BMD normal, iris
bulat tampak selaput coklat, kripte (+), pupil
yang menutupi pupil, bulat tampak selaput
sentral, lensa jernih. yang menutupi pupil,
sentral, lensa jernih.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


GDS,CT,BT,HBsAg

V. RESUME

19
Pasien perempuan datang ke Poli Rumah Sakit Umum Anutapura Palu
dengan keluhan kedua mata terasa mengganjal yang dialami sejak ± 4 tahun
yang lalu secara perlahan-lahan, awalnya tampak selaput kecil yang lama-
kelamaan membesar. Penglihatan menurun (+), Hasil pemeriksaan
Inspeksi : OD dan OS Terdapat selaput berbentuk segitiga di nasal dengan
apeks sudah melewati limbus dan mencapai pupil.

VI. DIAGNOSIS/ DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis : Pterigium bilateral grade IV

Diagnosis Banding – Pinguekula

- Pseudopterygium

VII. PENATALAKSANAAN

1. Tindakan Operatif : OD Eksisi Pterigium + autograf konjungtiva


2. Edukasi : menghindari paparan sinar UV dan debu dengan menggunakan
kacamata anti UV
VIII. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : bonam
- Quo ad funtionam : bonam
- Quo ad sanationam : dubia

IX. DISKUSI
Pasien ini didiagnosa dengan Pterigium bilateral Stadium IV, berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis di
dapatkan rasa mengganjal pada kedua mata kanan dan kiri dialami kurang lebih 4
tahun yang lalu.
Pada pemeriksaan inspeksi OD di dapatkan adanya selaput berbentuk
segitiga pada konjungtiva dengan tepi melewati limbus, dan sudah
mencapai pupil, yang menunjukkan tanda pterygium stadium IV dan pada OS di

20
dapatkan adanya selaput berbentuk segitiga pada konjungtiva dengan tepi
melewati limbus, dan sudah mencapai pupil, yang menunjukkan tanda
pterygium stadium IV.
Tidak ada pengobatan medikamentosa yang spesifik untuk pterigium.
Tujuan pengobatan medikamentosa adalah untuk mengurangi peradangan. Bila
terjadi peradangan dapat diberikan steroid topikal. Tindakan pembedahan pada
pterigium adalah suatu tindakan bedah untuk mengangkat jaringan pterigium
dengan berbagai teknik operasi.
Teknik operasi yang direncanakan pada pasien ini adalah teknik graft
konjungtiva dengan alasan karena teknik ini dianggap paling bagus dalam
menurunkan rekurensi pterygium.
Diharapkan agar penderita sedapat mungkin menghindari faktor pencetus
timbulnya pterigium seperti sinar matahari, angin dan debu serta rajin merwat dan
menjaga kebersihan kedua mata. Oleh karena itu dianjurkan untuk selalu memakai
kacamata pelindung atau topi pelindung bila keluar rumah. Menurut teori,
umumnya pterigium bertumbuh secara perlahan dan jarang sekali
menyebabkan kerusakan yang bermakna sehingga prognosisnya adalah baik.

DAFTAR PUSTAKA

21
1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2010.

hal:2-6, 116 – 117. 2010.

2. Louise.,N.,M. Basic Science For Ophtalmology, Oxford Specialty

Training.2013.

3. Dzunic B, Jovanovic P, et al. Analysis of pathohistological characteristics of

pterigium . BOSNIAN JOURNAL OF BASIC MEDICAL SCIENCE.

2010;10(4):308-13

4. Michael.,M.,G. Pterygium Surgery. Journal of Ophtalmology.

5. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 July 24]

http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview

6. Suhardjo SU, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Edisi 1. Jogjakarta : Bagian Ilmu

Penyakit Mata FK UGM. 2011.

7. Swastika AM, Inakawati S. Perbedaan Kekambuhan Paska Ekstirpasi

Pterigium Metode Bare Sclera Dengan Transpalantasi Limbal Stem Sel.

Medical Faculty of Diponegoro University. 2008; 1-18.

8. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6.

Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.

9. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III

penerbitAirlangga Surabaya. 2006. hal: 102 – 104

10. Gazzard G, Saw MS, et al. Pterigium in Indonesia: prevalence, severity,

and risk factors. Br J Ophthalmol .2010;86:1341–46.

11. Fisher JP, Trattler WB. Pterygium. Diunduh dari


:http://emedicine.medscape.com/ article/ 1192527-overview. 2011.

22
12. Velmi,V.,I,Amanda.,G.,Molucca Medica, Jurnal kedokteran dan Kesehatan.
ISSN 1979-6358.Vol.4,No.2..Hubungan Paparan Sinar Matahari dengan
angka Kejadian Pterigium di Desa Waai Kabupaten maluku Tengah tahun
2013. Published Maret 2014.
13. Fisher JP, Trattler WB. Pterygium. Diunduh dari
:http://emedicine.medscape.com/ article/ 1192527-overview. 2011

23

Vous aimerez peut-être aussi