Vous êtes sur la page 1sur 53

KULIAH BEDAH ANAK

Disusun oleh:

Denny Firdaus

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RSUD Dr MOEWARDI
SURAKARTA
2018
ILEUS OBSTRUKSI PADA ANAK

Definisi

Ileus obstruksi merupakan gangguan mekanik baik parsial maupun total


dari pasase isi usus. Ileus obstuktif merupakan penyumbatan intestinal mekanik
yang terjadi karena adanya daya mekanik yang mempengaruhi dinding usus
sehingga menyebabkan penyempitan atau penyumbatan lumen usus. Hal ini
menyebabkan pasase lumen usus tergangggu

Klasifikasi

a. Secara umum

- Ileus obstruksi sederhana : obstruksi yang tidak disertai terjepitnya


pembuluh darah
- Ileus obstruksi strangulata : ada pembuluh darah yang terjepit sehingga
terjadi iskemia yang akan menyebabkan nekrosis atau gangren.

b. Berdasarkan letak obstruksi

 Letak tinggi : duodenum – jejenum


 Letak tengah : ileum terminal
 Letak rendah : colon sigmoid – rektum

c. Berdasarkan stadium

 Parsial : menyumbat sebagian lumen usus. Sebagian sisa makanan dan


udara masih dapat melewati tempat obstruksi.
 Komplit : menyumbat total lumen usus.
 Strangulasi : sumbatan kecil tapi dengan jepitan pembuluh darah.

Etiologi

Penyebab ileus obstruksi secara umum dapat dibagi menjadi tiga


mekanisme, yaitu blokade intralumen, intramural atau lesi instrinsik dari dinding
usus, kompresi lumen atau konstriksi akibat lesi ekstrinsik dari usus. Lesi
intraluminal seperti fekalit, batu empedu, lesi intramural misalnya malignansi atau
inflamasi, lesi ekstralumisal misalnya adhesi, hernia, volulus atau intususepsi.

Table 1. Penyebab ileus obstruktif

Penyebab ileus obstruktif

Lokasi Penyebab

Colon Tumor (umumnya di colon kiri) divertikulitis (umumnya di kolon


sigmoid), volvulus di sigmoid atau caecum, fecalit, penyakit
Hirschsprung, Crohn disease

Duodenum

 Adults Kanker duodenum atau caput pancreas, ulkus

 Neonates Atresia, volvulus, adhesi

Jejunum and ileum

 Adults Hernia, adhesi (paling sering), tumor, benda asing, diverticulum


Meckel, penyakit Crohn (jarang), Ascariasis, volvulus,
intussusceptions karena tumor (jarang)

 Neonates ileus Meconium, volvulus, atresia, intussusepsi

Ileus obstruksi pada usus halus dapat disebabkan oleh :

1. Adhesi

Adhesi umumnya berasal dari rangsangan peritoneum akibat peritonitis


lokal atau umum, atau pascaoperasi. Adhesi dapat berupa perlengketan dalam
bentuk tunggal maupun multipel, dan dapat setempat maupun luas. Sering juga
ditemukan adhesi yang bentuknya pita. Pada operasi, perlengketan dilepaskan,
dan pita dipotong agar pasase usus pulih kembali. Ileus akibat adhesi umumnya
tiak disertai strangulasi

2. Hernia inkarserata

Hernia inkarserasi merupakan hernia dimana isi dari kantung hernia


tidak bisa dikembalikan ke rongga perut/asalnya. Hernia inkarserasi dapat
berupa hernia inguinal, femoral atau umbilikal. Mayoritas hernia inguinal
adalah hernia indirek. Pada hernia inguinal, inkarserasi terjadi pada 6-18%
pasien dan dapat meningkat sampai 30% pada bayi berusia kurang dari 2 bulan.
Sedangkan hernia femoral jarang terjadi. Adapun hernia umbilikal lebih jarang
inkarserasi dan dapat menutup spontan setelah usia 5 tahun.

Gejala dari hernia inkarserasi yang dihubungkan dengan obstruksi


intestinal antara lain: muntah yang mengandung empedu, distensi abdomen,
konstipasi, massa yang teraba edema dan pucat di daerah inguinal (dapat
menjadi eritematosa apabila terjadi strangulasi), dan demam apabila terjadi
nekrosis dan perforasi. Hernia merupakan penyebab kedua terbanyak setelah
adhesi dan merupakan penyebab tersering pada pasien yang tidak mempunyai
riwayat operasi abdomen.

3. Askariasis

Obstruksi usus oleh cacing askaris paling sering ditemukan pada anak
karena higiene kurang sehingga infestasi cacing terjadi berulang. Obstruksi
umunya disebabkan oleh gumpalan padat yang terdiri atas sisa makanan dan
puluhan ekor cacing yang mati atau hampir mati akibat pemberian obat cacing.

Diagnosis obstruksi cacing didukung oleh riwayat pemberian obat


cacing atau pencahar, demam, serangan kolik, muntah, dan cacing keluar dari
mulut atau anus

4. Invaginasi
Intususepsi adalah penyebab paling umum dari obstruksi usus pada bayi dan
anak-anak usia 3 bulan hingga 6 tahun, dimana puncaknya adalah usia 5-10
bulan. Hal ini terjadi ketika masuknya segmen proksimal dari usus ( disebut
intususeptum ) kedalam bagian yang lebih distal dari usus ( disebut
intussuscipiens ) . Kebanyakan intussusceptions yang idiopatik. Invaginasi
umumnya berupa intususepsi ileosekal yang masuk dan naik ke kolon asenden
serta mungkin keluar dari rektum. Invaginasi dapat mengakibatkan obstruksi
ataupun nekrosis iskemik pada bagian usus yang masuk dengan komplikasi
perforasi dan peritonitis.

5. Volvulus

Volvulus merupakan proses memutarnya usus sehingga menyebabkan


obstruksi usus dan gangguan vaskularisasi. Volvulus jarang terjadi di usus
halus. Kebanyakan volvulus didapat di bagian ileum.

6. Kelainan congenital

Atresia lambung dan intestinal menimbulkan obstruksi komplit saluran


intestinal terjadi kira-kira pada 1:5000 kelahiran hidup.

Ileus obstruksi pada kolon disebabkan 60% oleh malignansi, 20% oleh divertikulosis
dan 5% oleh volvulus sigmoid.

1. Volvulus

Volvulus terajadi akibar memutarnya usus (biasanya pada sekum atau


sigmoid) pada mesokolonnya sehingga menyebabkan obstruksi lumen dan
gangguan sirkulasi vena maupun arteri.

Volvulus sigmoid ditemukan jauh lebih banyak daripada volvulus


sekum, yaitu sekitar 90%.Kelainan ini terutama ditemukan pada orang yang
lebih tua, orang dengan riwayat kronik konstipasi. Volvulus sigmoid sering
mengalami strangulasi bila tidak dilakukan dekompresi

2. Divertikel
Divertikel kolon paling sering ditemui di sigmoid. Divertikel kolon
adalah divertikel palsu karena terdiri atas mukosa yang menonjol melalui
lapisan otot seperti hernia kecil. Komplikasi dapat berupa perforaasi, abses
terbuka, fistel, obstruksi parsial, dan perdarahan.

3. Intususepsi/invaginasi

Merupakan suatu keadaan masuknya suatu segmen proksimal usus ke


segmen bagian distal yang akhirnya terjadi obstruksi usus strangulasi.
Invaginasi diduga oleh karena perubahan dinding usus khususnya ileum yang
disebabkan oleh hiperplasia jaringan lymphoid submukosa ileum terminal
akibat peradangan, dengan abdominal kolik.

Intususepsi sering terjadi pada anak anak. Namun, sekitar 5-15% dari
kasus intususepsi di belahan bumi bagian Barat terjadi di orang dewasa, yang
mana dua per tiga kasusnya disebabkan oleh tumor atau polip di usus halus

4. Penyakit Hirschsprung

Penyakit Hirschprung atau yang disebut juga megacolon dapat


digambarkan sebagai suatu usus besar yang dilatasi, membesar dan hipertrofi
yang berjalan kronik. Penyakit ini dapat kongenital ataupun didapat dan
biasanya berhubungan dengan ileus obstruksi.

Penyebab kongenital dari penyakit ini diakibatkan dari kegagalan


migrasi dari neural crest ke kolon bagian distal. Sedangkan megakolon yang
didapat merupakan hasil dari adanya infeksi ataupun konstipasi kronis. Infeksi
Trypanosoma cruzi menyerang sel ganglion dan menyebabkan megakolon.

3.5 Patofisiologi

Patofisiologi yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama, tanpa


memandang apakah obstruksi itu disebabkan oleh penyebab mekanik atau
fungsional. Perbedaan utama terletak pada obstruksi paralitik dimana peristaltik
dihambat sejak awal, sedangkan pada obstruksi mekanik, awalnya peristaltik
diperkuat, kemudian intermitten, dan akhirnya menghilang

Pada ileus obstruksi usus halus terjadi dilatasi pada usus proksimal
secara progresif akibat akumulasi dari sekresi pencernaan dan udara yang
tertelan (70% dari udara yang tertelan) dalam lumen. Dilatasi dari usus halus
menstimulasi aktivitas sel sekretori, yang berakibat bertambahnya akumulasi
cairan. Hal ini mengakibatkan peristaltik meningkat pada bagian atas dan
bawah dari obstruksi, dengan buang air besar yang jarang dan flatus pada awal
perjalanan. Muntah juga merupakan tanda penting obstruksi pada anak-anak.

Distensi berat pada dinding usus akan mengurangi pengaliran air dan
natrium dari lumen usus ke darah. Sekitar 8 liter cairan disekresi ke dalam
saluran cerna setiap hari, sehingga tidak adanya absorpsi dapat mengakibatkan
penimbunan intralumen dengan cepat. Hal ini akan mengompresi saluran limfe
mukosa dan menyebabkan limfedema pada dinding usus. Dengan
meningkatnya tekanan hidrostatik intraluminal, meningkatnya tekanan
hidrostatik pada capiler akan menyebabkan cairan yang banyak, elektrolit dan
protein ke dalam lumen usus. Kehilangan cairan dan dehidrasi yang disebabkan
oleh hal akan sangat parah dan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

Muntah dan pengosongan isi usus merupakan penyebab utama kehilangan


cairan dan elektrolit. Akibat muntah tadi akan terjadi dehidrasi, hipovolemik.
Pada obstruksi proksimal, kehilangan cairan disertai oleh kehilangan ion
hidrogen (H+), kalium dan korida, sehingga terjadi alkalosis metabolik.
Peregangan usus yang terjadi secara terus menerus mengakibatkan timbulnya
lingkaran setan penurunan absorpsi carian dan peningkatan sekresi cairan ke
dalam usus. Efek lokal peregangan usus adalah iskemia akibar peregangan dan
peningkatan permeabilitas yang disebabkan oleh nekrosis, disertai dengan
absorpsi toksin bakteri ke dalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik

Pada obstruksi intestinal simpel, obstruksti terjadi tanpa gangguan


vaskularisasi. Makananan dan cairan yang masuk, sekresi getah pencernaan,
dan gas terkumpul di proksimal obstruksi. Bagian proksimal usus distensi,
sedangkan bagian distalnya colaps. Fungsi absorpsi dan sekresi dari mukosa
usus berkurang, dan dinding usus menjadi edema dan terbendung. Distensi usus
yang parah akan semakin progresif, menambah peristaltik, dan meningkatkan
risiko dehidrasi dan progresi ke arah strangulasi.

Obstruksi intestinal strangulasi merupakan obstruksi dengan gangguan


aliran pembuluh darah, terjadi pada 25% dari pasien dengan ileus obstruksi.
Biasanya berhubungan dengan hernia, volvulus, dan intususepsi. Obstruksi
strangulasi bisa menjadi infark dan gangren dalam waktu 6 jam. Awalnya akan
terjadi obstruksi vena, kemudia oklusi arteri dan akhirnya iskemi cepat dari
dinding usus. Usus yang iskemi akan menjadi edema dan infark, yang berujung
gangren dan perforasi. Bila tidak ditangani akan menjadi perforasi, peritonitis,
dan kematian. Pada ileus obstruksi kolon, strangulasi jarang terjadi (kecuali
pasien dengan volvulus).

Pada ileus obstruksi kolon, terjadi dilatasi pada usus yang letaknya diatas
obstruksi, yang akan menyebabkan edema mukosa, gangguan aliran vena dan
arteri ke usus. Edema dan iskemi yang terjadi meningkatkan permeabilitas
mukosa, yang mengakibatkan translokasi bakteri (termasuk bakteri anaerob
Bacteoides) , toksik sistemi, dehidrasi, dan gangguan elektrolit. Iskemi pada
kolon dapat mengakibatkan perforasi.

Manifestasi Klinik

a. Obstruksi usus halus

Gejala yang timbul biasanya : kolik pada daerah umbilikus atau di


epigastrium, mual, muntah pada obstruksi letak tinggi, dan konstipasi
(pada pasien dengan obstruksi total). Pasien dengan obstruksi
simpel/parsial biasanya menderita diare pada awal obstruksi. Konstipasi
dengan tidak dapat flatus dirasakan oleh pasien pada fase lanjut.
Gerakan peristaltik yang high pitched dan meningkat yang bersamaan
dengan adanya kolik merupakan tanda yang khas.

Nyeri abdomen biasanya agak tetap pada mulanya dan kemudian


menjadi bersifat kolik. Frekuensi episode tergantung atas tingkat
obstruksi, yang muncul setiap 4 sampai 5 menit dalam ileus obstruksi
usus halus, setiap 15 sampai 20 menit pada ileus obstruksi usus besar.
Nyeri dari ileus obstruksi usus halus demikian biasanya terlokalisasi
supraumbilikus di dalam abdomen.
Muntah refleks ditemukan segera setelah mulainya ileus obstruksi yang
memuntahkan apapun makanan dan cairan yang terkandung, yang juga
diikuti oleh cairan duodenum, yang kebanyakan cairan empedu. Pada
ileus obstruksi usus halus, maka muntah terlihat dini dalam perjalanan
dan terdiri dari cairan jernih, hijau atau kuning. Muntah fekulen dapat
terjadi pada obstruksi usus halus yang lama yang terjadi karena bakteri
yang tumbuh banyak dan merupakan tanda patognomonik dari ileus
obstruksi usus halus bagian distal komplit.(3)

Pada obstruksi strangulasi, gejalanya biasanya takikardi, demam,


asidosis, leukosistosi, dinding perut yang lemas. Apabila telah terjadi
infark, dinding perut akan lemas dan pada auskultasi didapatkan
peristaltik yang minimal.

b. Obstruksi kolon

Gejalanya biasanya lebih ringan dan terjadi lebih perlahan dibandingkan


obstruksi pada usus halus. Gejala awalnya adalah peubahan kebiasaan
buang air besar, terutama berupa obstipasi dan kembung, yang kadang
disertai kolik pada perut bagian bawah (suprapubik).
Akhirnya,penderita mengeluh konstipasi menyebabkan adanya distensi
abdomen. Muntah mungkin terjadi namun tidak sering. muntah timbul
lambat dan setelah muncul distensi. Muntahannya kental dan berbau
busuk sebagai hasil pertumbuuhan bakteri berlebihan karena adanya
renggang waktu yang lama.

Diagnosis
Diagnosis ileus obstruksi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis
mengenai gejala klinis yang timbul, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan juga pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis

Pada anamnesis ileus obstruksi tinggi, sering dapat ditemukan


penyebab, misalnya berupa adhesi dalam perut karena dioperasi atau
terdapat hernia. Gejala yang timbul umumya berupa syok, oligouri, dan
gangguan elektrolit. Kemudian ditemukan adanya serangan kolik perut,
di sekitar umbilikus pada ileus obstruksi usus halus dan disuprapubik
pada ileus obstruksi usus besar. Pada anamnesis, didapatkan adaya mual
dan muntah, tidak bisa BAB (buang air besar), tidak dapat flatus, perut
kembung.

Pada strangulasi, terdapat jepitan yang menyebabkan gangguan


peredaran darah sehinggga terjadi iskemia, nekrosi atau gangren.
Gangren menyebabkan tanda toksis seperti, demam, takikardi, syok
septik, dengan leukosistosis.

2. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi

Pada inspeksi secara umum, terlihat adanya tanda tanda


dehidrasi, dilihat dari turgor kulit, mulut kering. Penderita
tampak gelisah dan menggeliat sewaktu serangan kolik. Pada
inspeksi abdomen, terlihat distensi, darm countour (gambaran
kontur usus), darm steifung (gambaran gerakan usus), terutama
pada penderita yang kurus.

Adanya adhesi dapat dilihat dengan adanya bekas luka


operasi pada abdomen. Adanya bejolan di perut, inguinal, dan
femoral yang menandakan adanya hernia.
 Palpasi

Pada palpasi, diraba adanya defans muskular, ataupun


adanya tanda peritonitis seperti nyeri tekan, nyeri lepas, teraba
massa seperti pada tumor, invaginasi, dan hernia.

 Perkusi

Pada perkusi didapatkan bunyi hipertimpani.

 Auskultasi

Pada auskultasi, terdengar hiperperistaltik yang


kemudian suara usus meninggi (metallic sound) terutama pada
permulaan terjadinya obstruksi dan borborygmi sound terdengar
sangat jelas pada saat serangan kolik. Kalau obstruksi
berlangsung lama dan telah terjadi strangulasi serta peritonitis,
maka bising usus akan menghilang

e. Rectal Toucher

Untuk mengetahui apakah adanya massa dalam rectum.


Apakah ada darah samar, adanya feses harus diperhatikan. Tidak
adanya feses menunjukan obstruksi pada usus halus. Apabila
terdapat darah berarti penyebab ileus obstruksi adalah lesi
intrinsik di dalam usus seperti malignansi.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium umumnya tidak dapat dijadikan


pedoman untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan laboratorium yang
diperlukan ialah darah lengkap, elektrolit, BUN (blood urea nitrogen),
ureum amilase, dan kreatinin.
Pada ileus obstruksi sederhana, hasi pemeriksaan
laboratoriumnya dalam batas normal. Selanjutnya ditemukan adanya
hemokonsentrasi, leukositosis, dan nliai elektrolit yang abnormal.
Peningkatan serum amilase sering didapatkan pada semua jenis ileus
obstruksi, terutama strangulasi. Penurunan dalam kadar serum natrium,
klorida dan kalium merupaan manifestasi lebih lanjut, dapat juga terjadi
alkalosis akibat muntah. Bila BUN didapatkan meningkat, menunjukkan
hipovolemia dengan azotemia prerenal.

b. Pemeriksaan Radiologi

Diagnosis ileus obstruksi biasanya dapat dikonfirmasi dengan


pemeriksaan radiologi.

 Foto polos abdomen

Diperlukan foto abdomen 3 posisi yaitu foto posisi supine, foto


posisi setengah duduk, dan foto left lateral decubitus. Pada posisi supine
dapat ditemukan gambaran distensi usus dan herring bone appearance,
posisi lateral dekubitus ataupun setengah duduk dapat ditemukan
gambaran step ladder pattern,

Hal yang paling spesifik dari obstruksi usus halus ialah distensi
usus halus (diamater > 3 cm), adanya air fliud level pada foto posisi
setengah duduk, dan kekurangan udara pada kolon. Negatif palsu dapat
ditemukan pada pemeriksaan radiologi ketika letak obstruksi berada di
proksimal usus halus dan ketika lumen usus dipenuhi oleh cairan saja
dengan tidak adanya udara. Hal ini dapat mengakibatkan tidak adanya
gambaran air fluid level ataupun distensi usus

Pada ileus obstruksi kolon, pemeriksaan foto abdomen


menunjukan adanya distensi pada bagian proksimal dari obstruksi.
Selain itu, tampak gambaran air fluid level yang berbentuk seperti
tangga yang disebut juga step ladder pattern karena cairan transudasi.

 Foto Thorax
Foto thorax dapat menggambarkan adanya free air sickle yang
terletak dibawah difaragma kanan yang menunjukkan adanya
perforasi usus.(14)

 CT scan

CT scan berguna untuk menentukan diagnosa dini dari obstruksi


strangulasi dan untuk menyingkirkan penyebab akut abdominal lain,
terlebih jika klinis dan temuan radiologis lain tidak jelas. CT scan juga
dapat membedakan penyebab dari ileus obstrusi usus halus,yaitu
penyebab ekstrinsik (seperti adhesi dan hernia) dengan penyebab
instrinsik (seperti malignansi dan penyakit Chron). Obtruksi pada CT
scan ditandai dengan diameter usus halus sekitar 2,5 cm pada bagian
proksimal menjadi bagian yang kolaps dengan diameter kurang dari 1
cm.

Temuan lain pada obstruksi usus yaitu zona transisi dengan dilatasi
usus proksimal, dekompresi usus bagian distal, kontras intralumen yang
tidak dapat melewati bagian obstruksi, dan pada bagian kolon terdapat
gas ataupun cairan. Strangulasi ditandai dengan menebalnya dinding
usus, pneumatosis intestinalis (udara pada dinding usus), udara pada
vena porta, dan berkurangnya kontras intravena ke dalam usus yang
terkena.

Penelitian menunjukkan bahwa sensitivitas CT 80-90%, spesifisitas


70-90% dalam mendeteksi obstruksi.

 Enteroclysis

Enteroclysis berguna untuk mendeketsi adanya obstruksi dan


berguna membedakan antara obstruksi parsial atau total. Metode ini
berguna jika foto polos abdomen mempelihatkan gambaran normal
namun gambaran klinis menunjukan adanya obstruksi atau jika foto
polos abdomen tidak spesifik. Pemeriksaan ini juga dapat membedakan
adhesi karena metastase, tumor yang rekuren, dan kerusakan akibat
radiologi. Enteroclysis dapat dilakukan dengan dua jenis kontras.
Barium merupakan kontras yang sering digunakan dalam pemeriksaan
ini. Barium aman digunakan dan berguna mendiagnosa obstruksi bila
tidak terdapat iskemia usus ataupun perforasi. Namun, penggunaan
barium sering dihubungkan dengan terjadinya peritonitis, dan harus
dihindari bila diduga adanya perforasi.

Enteroclysis jarang digunakan pada keadaan akut. Pada


pemeriksaan ini, digunakan 200-250 mL barium dan diikuti 1-2 L
larutan methylcellulose dalam air yang dimasukan melalui proksimal
jejenum melalu kateter nasoenteric.

 USG abdomen

USG merupakan pemeriksaan yang tidak invasif dan murah


dibandingnkan CT scan, dan spefisitas dari USG dilaporkan mencapai
100%. Pemeriksaan ini dapat menunjukan gambaran dan penyebab dari
obstruksi dengan melihat pergerakan dari usus.

Diagnosa Banding

Diagnosa banding dari ileus obstruksi adalah :

a. Ileus paralitik

Pada ileus paralitik terdapat distensi yang hebat namun nyeri yang
dirasakan lebih ringan dan cenderung konstan, mual, muntah, bising usus
yang menghilang, pada pemeriksaan fisik tidak adanya defans muskular
dan pada gambaran foto polos didapatkan gambaran udara pada usus.

b. Appendisitis akut

Pada appendisitis akut, didapatkan gejala nyeri tumpul pada epigastrium


yang kemudian berpindah pada kuadran kanan bawah, demam, mual, dan
muntah.
c. Pankreatitis akut

Nyeri pada pankreatitis akut biasanya dirasakan sampai ke punggung.


Gejala ini dapat juga berhubungan dengan ileus paralitik. Pada pankreatitis
akut, amilase kadarnya akan sangat tinggi bbila dibandingkan ileus
obstruksi.

d. Gastroenteritis akut

Pada gastoenteritis akut juga terdapat nyeri perut dan muntah. Diare pada
penyakit ini juga menyebabkan adanya hiperperistaltik pada auskultasi.
Namun dapat dipikirkan adanya ileus bila abdomen distensi dan hilangnya
suara atau sedikitnya aktifitas usus.

3.9 Penatalaksanaan

Ileus obstruksi di usus harus dihilangkan segera setelah keadaan umum


diperbaiki. Tindakan umum sebelum dan sewaktu pembedahan meliputi
tatalaksana dehidrasi, perbaikan keseimbangan elektrolit, dan dekompresi pipa
lambung. Pada strangulasi, tidak ada waktu untuk memperbaiki keadaan umum,
sehingga strangulasi harus segera diatasi.

1. Terapi konservatif

 Pasien dengan ileus obstruksi bisanya mengalami dehidrasi dan


kekurangan elektrolit (Natrium, kalium, dan klorida) akibat
berkuranganya intake makanan, muntah, sehingga membutuhkan
penggantian cairan intravena dengan cairan salin isotonic seperti
Ringer Laktat. Koreksi melalu cairan ini dapat dimonitor melalui
urin dengan menggunakan kateter, tanda tanda vital, pemeriksaan
laboratorium, tekanan vena sentral.

 Pemberian antibiotik broadspectrum dapat diberikan sebagai


profilaksis atas dasar temuan adanya translokasi bakteri pada ileus
obstruksi. Antiemetik dapat juga diberikan untuk mengatasi
muntah.
 Dekompresi traktus gastrointestinal dengan menggunakan
nasogastric tube (NGT) dan pasien dipuasakan. Hal ini berguna
untuk mengeluarkan udara dan cairan dan untuk mengurangi
mual, distensi, dan resiko aspirasi pulmonal karena muntah.

 Pada ileus obstruksi parsial, biasanya dilakukan tindakan


konservatif dan pemantauan selama 3 hari. Penelitian
menunjukkan adanya perbaikan dalam pasien dengan keadaan
tersebut dalam waktu 72 jam. Namun jika keadaan pasien tidak
juga membaik dalam 48 jam setelah diberi terapi cairan dan
sebagainya, makan terapi operatif segera dilakukan.

2. Operatif

Secara umum, pasien dengan ileus obstruksi total memerlukan tindakan


operatif segera, meskipun operasi dapat ditunda untuk memperbaiki
keadaan umum pasien bila sangat buruk. Operasi dapat dilakukan bila
rehidrasi dan dekompresi nasogastrik telah dilakukan.

Tindakan operatif dilakukan apabila terjadi :

- Strangulasi

- Obstruksi total

- Hernia inkarserata

- Tidak ada perbaikan pada pengobatan konservatif (pemasangat


NGT, infus, dan kateter)

Tindakan operatif pada ileus obstruksi ini tergantung dari


penyebabnya. Misalnya pada adhesi dilakukan pelepasan adhesi
tersebut, tumor dilakukan reseksi, dan pada hernia dapat dilakukan
herniorapi dan herniotomi. Usus yang terkena obstruksi juga harus
dinilai apakah masih bagus atau tidak, jika sudah tidak viabel maka
dilakukan reseksi. Kriteria dari usus yang masih viabel dapat dilihat dari
warna yang normal, dan adanya peristaltik, dan pulsasi arteri.(5)
Kanker kolon yang meyebabkan obstruksi kadang dilakukan reseksi dan
anastomosis, dengan atau tanpa colostomi atau ileostomy sementara.
Jika tidak dapat dilakukan, maka tumor diangkat dan kolostomi atau
ileostomi dibuat. Diverkulitis yang menyebabkan obstruksi, biasanya
sering terjadi perforasi. Reseksi bagian yang terkena devertikel
mungkin agak sulit tapi merupakan indikasi jika terjadi perforasi
ataupun peritonitis umum. Biasanya dilakukan reseksi dan kolostomi,
namun anastomosis ditunda sampai rongga abdomen bebas radang (cara
Hartman).Vovulus sekal biasanya dilakukan tindakan operatif yaitu
melepaskan volvulus yang terpelintir dengan melakukan dekompresi
dengan sekostomi temporer, yang juga berefek fiksasi terhadap sekum
dengan cara adhesi. Pada volvuus sigmoid, dapat dilakukan reposisi
dengan sigmoidoskopi, dan reseksi dan anastomosis dapat dilakukan
beberapa hari kemudian. Tanpa dilakukan reseksi, kemungkinan
rekuren dapat terjadi.

Komplikasi

Komplikasi dari ileus obstruksi dapat berupa nekrosis usus, perforasi


usus yang dapat menyebabkan peritonitis, syok septik, dan kematian. Usus yang
strangulasi mungkin mengalami perforasi yang mengakibatkan materi dalam
usus keluar ke peritoneum dan mengakibatkan peritonitis. Meskipun tidak
mengalami perforasi, bakteri dapat melintasi usus yang permeabel dan masuk
ke sirkulasi darah yang mengakibatkan syok septik

Prognosis

Mortalitas dan morbiditas pada obstruksi usus tergantung pada jenis lesi
yang menyebabkan penyumbatan usus, apakah itu adalah loop tertutup atau
obstruksi strangulasi. Kematian rendah dengan diagnosis dini dan penanganan
yang cepat. Jika tidak diobati, hambatan strangulasi selalu mematikan. Tingkat
mortalitas dapat mencapai 65 % jika lebih dari 75 % dari usus kecil nekrotik
pada saat laparotomi. Terlalu banyak kerusakan usus dapat menyebabkan
kekurangan gizi karena sindrom usus pendek .
Kelangsungan hidup jangka panjang pada pasien dengan atresia
duodenum atau stenosis adalah sekitar 86 %. Sebagian besar morbiditas dan
mortalitas berhubungan dengan anomali jantung. Ini termasuk pasien dengan
pankreas annular.

Angka kematian pada ileus obstruksi usus non-strangulasi adalah < 5 %,


dengan banyaknya kematian terjadi pada pasien usia lanjut dengan komorbid.
Angka kematian pada operasi ileus obstruksi usus strangulasi berkisar 8-25%.
Pada ileus obstruksi kolon, biasanya angka kematian berkisar antara 15 – 30 %. Perforasi
sekum merupakan penyebab utama kematian. Prognosisnya baik bila diagnosis dan tindakan
diakukan dengan cepat.

ATRESIA DUODENUM

DEFINISI
Atresia duodenum adalah kondisi dimana bentuk dari duodenum yang tidak
sempurna, yaitu duodenum tidak memiliki saluran terbuka (adanya penyumbatan
lengkap) sehingga tidak memungkinkan perjalanan makanan dari lambung ke usus

ETIOLOGI
Tidak dapat dipungkiri bahwa penyebab atresia duodenum belum diketahui
secara pasti. Akan tetapi patofisiologi dari atresia duodenum dapat dijelaskan
dengan baik. Penelitian yang ada, sering kali menunjukan keterkaitan antara atresia
duodenum atau stenosis duodenum dengan malformasi neonatal lainnya, sehingga
dapat disimpulkan bahwa anomali ini disebabkan oleh gangguan perkembangan
pada masa awal kehamilan. Atresia duodenum berbeda dari atresia usus lainnya
(atresia pada usus kecil dan usus besar), yang kesalahannya disebabkan oleh
gangguan vaskular mesenterika pada perkembangan selanjutnya. Hingga saat ini,
tidak ada faktor risiko maternal sebagai predisposisi untuk terjadinya atresia
duodenum. Meskipun diketahui bahwa sepertiga pasien dengan atresia duodenum
memiliki sindrom down (trisomi 21), bukan berarti hal tersebut merupakan faktor
risiko independen untuk menyebabkan terjadinya atresia duodenum

PATOFISIOLOGI
Pada tingkat seluler, traktus digestivus berkembang dari embryonic gut, yang
tersusun atas epitel yang merupakan perkembangan dari endoderm yang dikelilingi
oleh sel yang berasal dari mesoderm. Hipotesis yang ada menyatakan bahwa
pensinyalan sel antara ke dua lapisan embrionik ini tampaknya berperan penting
dalam mengkoordinasikan pembentukan pola dan organogenesis dari duodenum
Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi endodermal yang
tidak adekuat dimana elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya. Hasil
penelitian lainnya juga menunjukan bahwa kegagalan perkembangan duodenum
juga bisa diakibatkan oleh kegagalan rekanalisasi epitel (kegagalan proses
vakuolisasi)
Banyak peneliti telah menunjukkan bahwa epitel duodenum berproliferasi
dalam usia kehamilan 30-60 hari lalu akan terhubung ke lumen duodenal secara
sempurna. Proses selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat duodenum
mengalami rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi melalui proses apoptosis
atau kematian sel terprogram, yang timbul selama perkembangan normal di antara
lumen duodenum. Kadang-kadang, atresia duodenum berkaitan dengan pankreas
anular (jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling duodenum). Hal ini
sepertinya lebih akibat gangguan perkembangan duodenal daripada suatu
perkembangan berlebih dari pancreatic buds.
Pada dasarnya, obstruksi duodenum dapat berupa sumbatan total, parsial, atau
tanpa mukosa diafragma. Diameter saluran yang terbuka dapat kecil sekali atau
besar (mendekati diameter lumen normal).
Obstruksi duodenum dapat disebabkan oleh faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik berupa tekanan dari luar duodenum. Beberapa penyebab paling umum
terjadinya obstruksi duodenum dibagi menjadi 2, yaitu faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik berupa tekanan dari luar duodenum, diperlihatkan pada tabel di bawah
ini :

Tabel 4. Klasifikasi faktor penyebab obstruksi duodenum

Jenis Lesi Kelainannya


 Atresia duodenum
Lesi Intrinsik  Stenosis duodenum
 Duodenum web
 Pankreas anular
 Malrotasi
Lesi Ekstrinsik
 Peritoneal bands
 Anterior portal vein

Atresia duodenum dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :


1. Tipe I (Mucosal web Tipe I atresia)
Insidensinya sebanyak 92 %. Duodenal web atau duodenal diafragma atau
Intraluminal Duodenal Diverticulum (IDD) sering ditemukan pada bayi. Pada
kondisi ini mukosal web masih utuh atau intak. Bentuk web tersebut
tipis, yang terdiri dari mukosa dan submukosa tanpa disertai lapisan muskular.
Lapisan ini dapat sangat tipis mulai dari satu hingga beberapa millimeter. Dari
luar tampak perbedaan diameter proksimal dan distal. Bagian proksimal atresia,
yaitu lambung dan duodenum proksimal mengalami dilatasi. Arteri mesenterika
superior intak.

2. Tipe II (Fibrous cord Tipe II atresia)


Insidensinya sebanyak 1 %. Dua ujung buntu duodenum dihubungkan oleh pita
jaringan ikat. Arteri mesenterika intak.

3. Tipe III (Complete separation Tipe III atresia)


Insidensinya sebanyak 7 %. Dua ujung buntu duodenum terpisah tanpa
hubungan pita jaringan ikat.

MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala yang ada adalah akibat dari obstruksi intestinal letak tinggi.
Pada kondisi akut yaitu saat lahir, gejala yang ditunjukan berupa muntah dan
feeding problem. Seringkali bayi muntah bewarna hijau. Pada kasus atresia
duodenum, sebanyak 85 % bayi muntah dengan tanda biliosa, namun dapat pula
non-biliosa karena 15% kelainan ini terjadi di proksimal dari ampula vateri
Jarang sekali, bayi dengan stenosis duodenum melewati deteksi abnormalitas
saluran cerna dan tumbuh hingga anak-anak, atau lebih jarang lagi hingga dewasa
tanpa diketahui mengalami obstruksi parsial. Sebaiknya pada anak yang muntah
dengan tampilan biliosa harus dianggap mengalami obstruksi saluran cerna
proksimal hingga terbukti sebaliknya, dan harus segera dilakukan pemeriksaan
menyeluruh
Distensi abdominal tidak sering terjadi dan terbatas pada abdomen bagian atas.
Banyak bayi dengan atresia duodenal mempunyai abdomen scaphoid, sehingga
obstruksi intestinal tidak segera dicurigai. Kadang dapat dijumpai epigastrik yang
penuh akibat dari dilatasi lambung dan duodenum proksimal. Pengeluaran
mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan biasanya tidak terganggu. Dehidrasi,
penurunan berat badan, dan ketidakseimbangan elektrolit segera terjadi kecuali
kehilangan cairan dan elektrolit yang terjadi segera diganti. Jika hidrasi intravena
belum dimulai, maka timbulah alkalosis metabolik hipokalemi atau hipokloremi
dengan asiduria paradoksikal, sama seperti pada obstruksi gastrointestinal letak
tinggi lainnya. Tuba orogastrik pada bayi dengan suspek obstruksi duodenal khas
mengalirkan cairan berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah yang bermakna.
Jaundice terlihat pada 40 % pasien, dan diperkirakan karena peningkatan
resirkulasi enterohepatik dari bilirubin.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Foto polos abdomen pada atresia duodenum
Pada pemeriksaan foto polos abdomen bayi dalam keadaan posisi tegak akan
terlihat gambaran 2 bayangan gelembung udara (double bubble), adanya
gelembung udara di lambung dan duodenum proksimal dari tempat adanya
atresia. Bila 1 gelembung (single bubble) mungkin duodenum terisi penuh
cairan, terdapat atresia pylorus, atau membran prapilorik. Atresia pilorik sangat
jarang terdapat dan harus ditunjang muntah tidak hijau. Bila 2 gelembung
disertai gelembung udara kecil kecil di distal, mungkin stenosis duodenum,
diafgrama membran mukosa, atau malrotasi dengan atau tanpa volvulus.

 USG Abdomen pada atresia duodenum


Penggunaan USG telah memungkinkan banyak bayi dengan obstruksi duodenum
teridentifikasi sebelum kelahiran. Pada penelitian cohort untuk 18 macam malformasi
kongenital di 11 negara Eropa, menunjukan hasil bahwa 52% bayi dengan obstruksi
duodenum diidentifikasi sejak in utero. Obstruksi duodenum ditandai khas oleh
gambaran double-bubble pada USG prenatal. Gelembung pertama mengacu pada
lambung dan gelembung kedua mengacu pada loop duodenal postpilorik dan
prestenotik yang terdilatasi. Pada USG tampak gambaran anechoic, dilatasi, dan
akumulasi cairan di lambung dan duodenum proksimal.

DIAGNOSIS BANDING
Atresia duodenum dapat didiagnosis banding dengan beberapa kelainan, seperti
:
 Duodenal Web
Pada pemeriksaan foto polos abdomen bayi dalam keadaan posisi tegak akan
terlihat gambaran 2 bayangan gelembung udara (double bubble), gelembung
lambung dan proksimal duodenum. Gelembung tersebut bisa disertai
gelembung udara kecil-kecil di distal. Pemeriksaan gastric and duodenal
radiography dengan kontras terlihat lambung, duodenum proksimal, dan
duodenum distal pada bagian yang obstruksi mengalami dilatasi. Kontras
terlihat terhenti pada bagian distal dan kontras terlihat di bagian distal obstruksi
(Windsock appearance)

 Anular Pankreas
Deformitas anular (seperti cincin) pada bagian tengah duodenum descendens
kadang terlihat pada kasus annular pankreas, seperti putaran yang tidak
sempurna pada bagian ventral yang meninggalkan berkas untaian sel pankreas
atau hanya jejak cincin fibrotik. Defek kongenital ini sering ditemukan tidak
sengaja pada saat pembedahan. Pada foto polos abdomen anular pankreas,
tampak gambaran double bubble sign yang merupakan dilatasi lambung dan
duodenum proksimal dengan tanpa udara pada bagian distal. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan pencitraan seperti Multislice Computed Tomography
(MSCT), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Magnetic Resonance
Cholangiopancreatography (MRCP), atau Endoscopic Retrograde
Cholangiopancreatography (ERCP)

 Midgut Volvulus
Midgut Volvulus adalah perputaran abnormal dari usus kecil ke arah arteri
mesenterica superior. Pada foto polos abdomen, tampak gambaran
double-bubble sign yang merupakan dilatasi lambung dan duodenum proksimal
dengan udara pada bagian distal. Pada USG tampak gambaran usus membelit
arteri dan vena mesenterika superior. Pada pemeriksaan
CT-abdomen ditemukan whirl sign. Pemeriksaan EGDR pada volvulus
ditemukan corkscrew sign.

TERAPI
Terapi yang dapat dilakukan pada atresia duodenum adalah pembedahan untuk
mengembalikan fungsi dari duodenum. Namun, sebelum dilakukan tindakan
pembedahan ada persiapan pra bedah yang harus dilakukan.
 Persiapan pra bedah
Tindakan dekompresi dengan pemasangan sonde lambung (NGT) dan lakukan
pengisapan cairan dan udara. Tindakan ini untuk mencegah muntah dan
aspirasi. Resusitasi cairan dan elektrolit, koreksi asam basa, hiponatremia dan
hipokalemia perlu mendapat perhatian khusus. Pembedahan elektif pada pagi
hari berikutnya.

 Pembedahan
Secara umum semua bentuk obstruksi duodenal indikasi untuk dilakukan
tindakan pembedahan. Atresia duodenal bersifat relatif emergensi dan harus
dikoreksi dengan tindakan pembedahan selama hari pertama setelah bayi lahir.
Prosedur operatif standar saat ini berupa duodenoduodenostomi melalui insisi
pada kuadran kanan atas, meskipun dengan perkembangan yang ada telah
dimungkinkan untuk melakukan koreksi atresia duodenum dengan cara yang
minimal invasi. Atau dapat dilakukan tindakan pembedahan anastomosis
duodenoyeyunostomi. Tidak dilakukan reseksi bagian atresia, karena dapat
terjadi pemotongan ampula vateri dan saluran wirsungi. Prosedur pembedahan
dimulai dengan insisi tranversal pada supra umbilikal abdominal, 2 cm di atas
umbilikus dengan cakupan mulai dari garis tengah sampai kuadran kanan atas.
Setelah membuka kavum abdominal, dilakukan inspeksi di dalamnya untuk
mencari kemungkinan adanya kelainan anomali lainnya. Untuk mendapatkan
gambaran lapang pandang yang baik pada pars superior duodenum, dengan
sangat hati-hati dilakukan penggeseran hati (liver) selanjutnya kolon asenden
dan fleksura coli dekstra disingkirkan dengan perlahan-lahan.

KOMPLIKASI
Dapat ditemukan kelainan kongenital lainnya. Mudah terjadi dehidrasi,
terutama bila tidak terpasang line intravena. Setelah pembedahan, dapat terjadi
komplikasi lanjut seperti pembengkakan duodenum (megaduodenum), gangguan
motilitas usus, atau refluks gastroesofageal. Di samping itu, perdarahan, gangguan
pernapasan, infeksi, hipotermia, output urine rendah, obstruksi usus, dan
komplikasi yang terkait dengan operasi besar sangat mungkin terjadi.

PROGNOSIS
Morbiditas dan mortalitas telah membaik secara bermakna selama
50 tahun terakhir. Dengan adanya kemajuan di bidang anestesi pediatrik,
neonatologi, dan teknik pembedahan, angka kesembuhannya telah meningkat
hingga 90%. Mortalitas umumnya berkaitan dengan kelainan anomali lain yang
dialami khususnya bayi dengan Trisomi 21 dan kelainan komplek jantung
(complex cardiac anomaly). Faktor lain yang turut mempengaruhi tingkat
mortalitas adalah prematuritas, BBLR (berat bayi lahir rendah), dan keterlambatan
diagnosis.
Kelainan Skrotum Pada Anak
I. Hidrokel
Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di antara lapisan
parietalis dan viseralis tunika vaginalis. Dalam keadaan normal, cairan yang berada di
dalam rongga itu memang ada dan berada dalam keseimbangan antara produksi dan
reabsorbsi oleh sistem limfatik di sekitarnya.

Etiologi

Hidrokel yang terjadi pada bayi baru lahir dapat disebabkan karena :

1. belum sempurnanya penutupan prosesus vaginalis sehingga terjadi aliran cairan


peritoneum ke prosesus vaginalis (hidrokel komunikans)

2. belum sempurnanya sistem limfatik di daerah skrotum dalam melakukan


reabsorbsi cairan hidrokel

Klasifikasi

1. Hidrokel Kongenital :
terjadi karena adanya hubungan terbuka antara rongga abdomen sehingga cairan
dari rongga abdomen keluar dan terkumpul di antara lapisan parietal dan lapisan
viseral tunika vaginalis. Hal ini hampir selalu disertai dengan hernia inguinalis
indirek.
2. Hidrokel non komunikans :
terjadi karena adanya sejumlah cairan yang terjebak di dalam tunika vaginalis
sesaat sebelum menutupnya prosesus vaginalis

Gambaran Klinis

1. Adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak nyeri.

2. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya benjolan di kantong skrotum dengan


konsistensi kistik dan pada pemeriksaan transiluminasi menunjukkan adanya
transiluminasi. Pada hidrokel yang terinfeksi atau kulit skrotum yang sangat tebal
kadang-kadang sulit melakukan pemeriksaan ini, sehingga harus dibantu dengan
pemeriksaan ultrasonografi.

3. Menurut letak kantong hidrokel terhadap testis, secara klinis dibedakan beberapa
macam hidrokel yang berhubungan dengan metode operasi yang akan dilakukan
pada saat melakukan koreksi hidrokel, yaitu :

a. Hidrokel testis
Kantong hidrokel seolah-olah mengelilingi testis sehingga testis tidak dapat
diraba. Pada anamnesis, besarnya kantong hidrokel tidak berubah sepanjang
hari.

b. Hidrokel funikulus

Kantong hidrokel berada di funikulus yaitu terletak di sebelah kranial dari


testis, sehingga pada palpasi, testis dapat diraba dan berada di luar kantong
hidrokel. Pada anamnesis kantong hidrokel besarnya tetap sepanjang hari.

c. Hidrokel komunikans

Terdapat hubungan antara prosesus vaginalis dengan rongga peritoneum


sehingga prosesus vaginalis dapat terisi cairan peritoneum. Pada anamnesis,
kantong hidrokel besarnya dapat berubah-ubah yaitu bertambah besar pada
saat anak menangis. Pada palpasi, kantong hidrokel terpisah dari testis dan
dapat dimasukkan ke dalam rongga abdomen.

Terapi

Hidrokel pada bayi biasanya ditunggu hingga anak mencapai usia 1 tahun
dengan harapan setelah prosesus vaginalis menutup, hidrokel akan sembuh sendiri,
tetapi jika hidrokel masih tetap ada atau bertambah besar perlu dipikirkan untuk
dilakukan koreksi. Tindakan untuk mengatasi cairan hidrokel adalah dengan aspirasi
dan operasi. Aspirasi cairan hidrokel tidak dianjurkan karena selain angka
kekambuhannya tinggi, kadang kala dapat menimbulkan penyulit berupa infeksi.

Beberapa indikasi untuk melakukan operasi pada hidrokel adalah:

1. hidrokel yang besar sehingga dapat menekan pembuluh darah

2. indikasi kosmetik

3. hidrokel permagna yang dirasakan terlalu berat dan mengganggu pasien dalam
melakukan aktivitasnya sehari-hari

Pada hidrokel kongenital dilakukan pendekatan inguinal karena seringkali


hidrokel ini disertai dengan hernia inguinalis sehingga pada saat operasi hidrokel,
sekaligus dilakukan herniorafi. Pada hidrokel testis dewasa, dilakukan pendekatan
skrotal dengan melakukan eksisi dan marsupialisasi kantong hidrokel sesuai cara
Winkelman atau plikasi kantong hidrokel sesuai cara Lord. Pada hidrokel funikulus
dilakukan ekstirpasi hidrokel secara in toto.

Penyulit

Jika dibiarkan, hidrokel yang cukup besar mudah mengalami trauma dan
hidrokel permagna bisa menekan pembuluh darah yang menuju ke testis sehingga
menimbulkan atrofi testis.
II. Torsio Testis
Torsio testis adalah suatu keadaan dimana funikulus spermatikus terpuntir
sedemikian rupa sehingga terjadi gangguan vaskulariasi dari testis dan struktur
jaringan di dalam skrotum. Keadaan ini diderita oleh 1 di antara 4000 pria yang
berumur kurang dari 25 tahun, dan paling banyak diderita oleh anak pada masa
pubertas (12-20 tahun). Di samping itu, tidak jarang janin yang masih berada di dalam
uterus atau bayi baru lahir menderita torsio testis yang tidak terdiagnosis sehingga
mengakibatkan kehilangan testis baik unilateral ataupun bilateral.

Faktor predisposisi
1. Kriptorchkismus
2. Hidrokel
3. Gubernakulum tidak terbentuk
4. Spasme kremaster
5. Posisi transversal pada skrotum
6. Mesorchium panjang dan sempit
7. Kecenderungan mesorchium melekat pada satu pole testis
8. Kurang menyatunya dinding skrotum dengan testis
9. Bell clapper deformity

Patofisiologi
Torsio testis terjadi akibat perkembangan abnormal dari funikulus
spermatikus atau selaput yang membungkus testis. Insersi abnormal yang
tinggi dari tunika vaginalis pada struktur funikulus akan mengakibatkan testis
dapat bergerak, sehingga testis kurang melekat pada tunika vaginalis viseralis.
Testis yang demikian mudah memuntir dan memutar funikulus spermatikus.
Secara fisiologis otot kremaster berfungsi menggerakkan testis mendekati dan
menjauhi rongga abdomen guna mempertahankan suhu ideal untuk testis. Adanya
kelainan sistem penyanggah testis menyebabkan testis dapat mengalami torsio jika
bergerak secara berlebihan. Beberapa keadaan yang menyebabkan pergerakan yang
berlebihan itu, antara lain adalah perubahan suhu yang mendadak (seperti pada saat
berenang), ketakutan, latihan yang berlebihan, batuk, celana yang terlalu ketat,
defekasi, atau trauma yang mengenai skrotum.
Jenis-jenis torsio testis :
1. Torsio testis ekstravaginalis (testis, epididimis, dan tunika vaginalis terpuntir pada
funikulus spermatikus) biasanya terjadi pada janin atau neonatus
2. Torsio testis intravaginalis, biasanya terjadi pada lelaki dewasa muda :
a. Testis dan epididimis terpuntir pada funikulus spermatikus (Bell Clapper)
b. Testis terpuntir pada mesorchium terhadap epididimis
Torsio testis intravaginalis lebih sering dari pada ekstravaginalis, dengan arah
putaran anteromedial (m. cremaster melekat pada bagian lateral testis). Pada awalnya
terjadi bendungan vena kemudian 3 – 4 jam terjadi penekanan/bendungan arteri
hingga terjadi nekrosis testis.
Pada masa janin dan neonatus lapisan parietal yang menempel pada muskulus
dartos masih belum banyak jaringan penyanggahnya sehingga testis, epididimis, dan
tunika vaginalis mudah sekali bergerak dan memungkinkan untuk terpuntir pada
sumbu funikulus spermatikus. Terpuntirnya testis pada keadaan ini disebut torsio
testis ekstravaginal.
Terjadinya torsio testis pada masa remaja banyak dikaitkan dengan kelainan
sistem penyanggah testis. Tunika vaginalis yang seharusnya mengelilingi sebagian
dari testis pada permukaan anterior dan lateral testis, pada kelainan ini tunika
mengelilingi seluruh permukaan testis sehingga mencegah insersi epididimis ke
dinding skrotum. Keadaan ini menyebabkan testis dan epididimis dengan mudahnya
bergerak di kantung tunika vaginalis dan menggantung pada funikulus spermatikus.
Kelainan ini dikenal sebagai anomali bellclapper. Keadaan ini akan memudahkan
testis mengalami torsio intravaginal.
Arah dari torsi testis (dilihat dari kaudal) yaitu :

 Testis kanan : arah puntiran mengikuti atau searah dengan jarum jam

 Testis kiri : arah puntiran berlawanan dengan arah jarum jam

Diagnosis
Anamnesis :
1. Nyeri hebat tiba-tiba pada skrotum, nyeri dapat menjalar ke daerah inguinal atau
perut sebelah bawah. Pada bayi gejalanya tidak khas yakni gelisah, rewel, atau
tidak mau menyusui.
2. Testis yang bersangkutan dirasakan membesar.
3. Terjadi retraksi dari testis ke arah kranial, karena funikulus spermatikus terpuntir
jadi memendek
4. Mual dan muntah, kadang demam
Pemeriksaan Fisik :
1. Testis/skrotum bengkak/hiperemis
2. Deming’s sign (testis letak tinggi) dibandingkan sisi kontralateral
3. Angell’s sign (testis posisi melintang) dibandingkan sisi kontralateral
4. Testis umumnya sangat nyeri tekan dan elevasi tidak menghilangkan nyeri
seperti sering terjadi pada epididimis akut (Prehn’s sign, yaitu nyeri
tetap/meningkat saat mengangkat testis)
5. Kadang-kadang dapat diraba adanya lilitan/simpul atau penebalan funikulus
spermatikus.
6. Bila telah lama berlangsung maka testis menyatu dengan epididimis dan sukar
dipisahkan, keduanya membengkak, timbul effusion, hiperemia, edema kulit dan
subkutan

Pemeriksaan penunjang :
1. Pemeriksaan sedimen urin tidak menunjukkan adanya leukosit dalam urine
2. Pemeriksaan darah tidak menunjukkan tanda inflamasi, kecuali pada torsio testis
yang sudah lama dan telah mengalami peradangan steril.
3. Doppler dan sintigrafi testis (akurasi 90 – 100 %) untuk menilai adanya aliran
darah ke testis :
 Torsio : avaskuler
 Tumor : hipervaskuler
 Trauma : vaskularisasi berkurang

Diagnosis banding

1. Epididimitis akut

Disebabkan oleh sejumlah organisme. Pada pria diatas usia 35 tahun, E. coli
merupakan penyebab terbanyak epididimitis. Pada pria di bawah usia 35 tahun,
Chlamydia trachomatis merupakan organisme terlazim pada penyebab penyakit
ini. Gambaran klinisnya yaitu pada stadium akut mungkin ada nyeri,
pembengkakan dan demam ringan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan skrotum
membesar, dapat ditemukan nyeri tekan pada funikulus spermatikus dan pada
palpasi menunjukan epididimis yang nyeri dan menebal. Elevasi ringan scrotum
cenderung membuat epididimistis kurang nyeri, tetapi perasat ini
mengeksaserbasi nyeri akibat torsi testis.

2. Orchitis

3. Hidrokel terinfeksi/trauma

4. Trauma testis

5. Hernia inguinalis inkarserasi/strangulasi


Gejala berupa benjolan di daerah inguinal yang dapat mencapai scrotum.
Benjolan dapat timbul pada saat berdiri atau mengejan. Terasa nyeri bila menjadi
inkarserata.

6. Tumor testis

7. Oedem skrotum

Dapat disebabkan oleh hipoproteinemia, filariasis, adanya penyumbatan


saluran limfe inguinal, kelainan jantung, atau kelainan-kelainan yang tidak
diketahui sebabnya.

8. Varikokel

Adalah pelebaran abnormal (varises) dari pleksus pampiniformis yang


mengalirkan darah dari testis. Lebih sering mengenai testis kiri. Biasanya tidak
ada gejala yang menyertai varikokel, namun beberapa pria terdapat perasaan berat
pada sisi yang terkena. Pada pemeriksaan fisik terdapat massa yang teraba sebagai
sekantung cacing, massa ini timbul pada posisi tegak tetapi dapat mengosongkan
isinya, dan tidak teraba pada sisi berbaring. Perbaikan verikokel yaitu dengan cara
pembedahan.

Penatalaksanaan

Tindakan untuk mengatasi torsio testis terdiri dari 2 cara yaitu : detorsi atau
reposisi manual dan eksplorasi atau dengan cara pembedahan.

1. Detorsi manual dapat dilakukan pada kasus-kasus yang dini (1 – 2 jam) atau
merupakan tindakan awal bagi pasien sebelum dibawa ke rumah sakit. Tindakan
ini dilakukan dengan mengingat arah torsi pada umumnya. Reduksi yang berhasil
akan memberikan pemulihan segera untuk aliran darah ke testis. Tindakan ini
tidak boleh dianggap sebagai pengobatan atau terapi definitif dan eksplorasi
gawat darurat harus tetap dilakukan pada kesempatan awal.

2. Reduksi manipulatif tidak dapat menjamin penyembuhan sempurna dan masih


ada torsi dengan tingkat tertentu, meskipun pemasokan darah telah dipulihkan.
Selain itu abnormalitas semula yang menyebabkan torsi masih tetap ada dan
mungkin melibatkan testis pada sisi yang lain. Oleh karena itu fiksasi operatif
kedua testis diharuskan.
3. Eksplorasi mutlak dilakukan pada setiap kasus yang diduga torsi. Testis harus
dipaparkan tanpa ditunda-tunda lagi dengan membuat irisan ke dalam skrotum.
Bila ternyata benar suatu torsi segera lakukan detorsi lalu elevasi beberapa saat,
kemudian diamati apakah ada perubahan warna bila tidak ada tanda-tanda
viabilitas lakukan orchidektomi, namun apabila testis masih baik lakukan
orchidopeksi pada testis yang bersangkutan dan testis kontralateral.
Komplikasi

Terpuntirnya funikulus spermatikus menyebabkan obstruksi aliran darah


testis sehingga testis mengalami hipoksia, edema testis, dan iskemia. Pada akhirnya
testis akan mengalami nekrosis.

Prognosis

1. Umumnya viabel dalam 4 – 6 jam setelah torsio

2. Maksimum survival 70 – 90 % 5 – 12 jam


3. Mungkin masih baik 12 – 24 jam
4. Hasil meragukan bila lebih dari 24 jam
5. Dianjurkan orkidektomi bila lebih dari 4 jam
6. Tergantung jumlah putaran dan lamanya torsio

III. Orchitis
Definisi
Orchitis adalah suatu peradangan pada salah satu atau kedua testis (buah zakar).

Etiologi
Orchitis bisa disebabkan oleh sejumlah bakteri dan virus. Virus yang paling
sering menyebabkan orchitis adalah virus gondongan (mumps). Hampir 15-25% pria
yang menderita gondongan setelah masa pubertasnya akan menderita orchitis.
Orchitis juga ditemukan pada 2-20% pria yang menderita bruselosis. Orchitis sering
dihubungkan dengan infeksi prostat atau epididimis, serta merupakan manifestasi dari
penyakit menular seksual (misalnya gonore atau klamidia).

Faktor risiko

a. Immunisasi gondongan yang tidak adekuat


b. Infeksi saluran kemih berulang
c. Kelainan saluran kemih

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Terjadi


pembengkakan kelenjar getah bening di selangkangan dan pembengkakan testis yang
terkena.
Gejala :

a. Pembengkakan skrotum
b. Testis yang terkena terasa berat, membengkak dan teraba lunak
c. Pembengkakan selangkangan pada sisi testis yang terkena
d. Demam
e. Dari penis keluar nanah
f. Nyeri ketika berkemih (disuria)
g. Nyeri selangkangan
h. Nyeri testis, bisa terjadi ketika buang air besar atau mengedan

Pemeriksaan lainnya yang biasa dilakukan adalah :

a. Analisa air kemih


b. Pembiakan air kemih
c. Pemeriksaan darah lengkap
d. Pemeriksaan kimia darah.

Penatalaksanaan

 Jika penyebabnya adalah bakteri, diberikan antibiotik sedikitnya selama 7-14 hari.
Selain itu juga diberikan obat pereda nyeri dan anti peradangan.

 Jika penyebabnya adalah virus, hanya diberikan obat pereda nyeri. Penderita
sebaiknya menjalani tirah baring, skrotumnya diangkat dan dikompres dengan air
es.

Pencegahan

Immunisasi gondongan bisa mencegah terjadinya orchitis akibat gondongan.


IV. Tumor Testis
Definisi
Tumor testis adalah pertumbuhan sel-sel ganas di dalam testis (buah zakar), yang bisa
menyebabkan testis membesar atau menyebabkan adanya benjolan di dalam skrotum
(kantung zakar). Tumor testis merupakan keganasan yang paling sering ditemukan
pada pria berusia 15-40 thun.

Penyebab
Penyebabnya yang pasti tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang
menunjang terjadinya tumor testis :
a. Testis undesensus (testis yang tidak turun ke dalam skrotum)
b. Perkembangan testis yang abnormal
c. Sindroma Klinefelter (suatu kelainan kromosom seksual yang ditandai dengan
rendahnya kadar hormon pria, kemandulan, pembesaran payudara/ginekomastia
dan testis yang kecil).
d. Faktor lainnya yang kemungkinan menjadi penyebab dari tumor testis tetapi
masih dalam taraf penelitian adalah pemaparan bahan kimia tertentu dan infeksi
oleh HIV. Jika di dalam keluarga ada riwayat tumor testis, maka risikonya akan
meningkat.

Klasifikasi
Tumor testis dikelompokkan menjadi:
1. Seminoma : 30-40% dari semua jenis tumor testis. Biasanya ditemukan pada pria
berusia 30-40 tahun dan terbatas pada testis
2. Non-seminoma : merupakan 60% dari semua jenis tumor testis.Dibagi lagi
menjadi beberapa subkategori:
a. Karsinoma embrional : sekitar 20% dari kanker testis, terjadi pada usia 20-30
tahun dan sangat ganas. Pertumbuhannya sangat cepat dan menyebar ke
paru-paru dan hati.
b. Tumor yolk sac : sekitar 60% dari semua jenis kanker testis pada anak
laki-laki.
c. Teratoma : sekitar 7% dari kanker testis pada pria dewasa dan 40% pada anak
laki-laki.
d. Koriokarsinoma.
e. Tumor sel stroma : tumor yang terdiri dari sel-sel Leydig, sel Sertoli dan sel
granulosa. Tumor ini merupakan 3-4% dari seluruh jenis tumor testis. Tumor
bisa menghasilkan hormon estradiol, yang bisa menyebabkan salah satu
gejala kanker testis, yaitu ginekomastia.

Gejala
1. Testis membesar atau teraba aneh (tidak seperti biasanya)
2. Benjolan atau pembengkakan pada salah satu atau kedua testis
3. Nyeri tumpul di punggung atau perut bagian bawah
4. Ginekomastia
5. Rasa tidak nyaman/rasa nyeri di testis atau skrotum terasa berat.
6. Tetapi mungkin juga tidak ditemukan gejala sama sekali.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan lainnya yang biasa dilakukan:
1. USG skrotum
2. Pemeriksaan darah untuk petanda tumor AFP (alfa fetoprotein), HCG (human
chorionic gonadotrophin) dan LDH (lactic dehydrogenase).Hampir 85% kanker
non-seminoma menunjukkan peningkatan kadar AFP atau beta HCG.
3. Rontgen dada (untuk mengetahui penyebaran kanker ke paru-paru)
4. CT scan perut (untuk mengetahui penyebaran kanker ke organ perut)
5. Biopsi jaringan.

Penatalaksanaan
Pengobatan tergantung kepada jenis, stadium dan beratnya penyakit. Setelah
tumor ditemukan, langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan jenis sel
tumornya. Selanjutnya ditentukan stadiumnya:
1. Stadium I : tumor belum menyebar ke luar testis
2. Stadium II : tumor telah menyebar ke kelenjar getah bening di perut
3. Stadium III : tumor telah menyebar ke luar kelenjar getah bening, bisa sampai ke
hati atau paru-paru.
Ada 4 macam pengobatan yang bisa digunakan:
1. Pembedahan : pengangkatan testis (orkiektomi dan pengangkatan kelenjar getah
bening (limfadenektomi)
2. Terapi penyinaran : menggunakan sinar X dosis tinggi atau sinar energi tinggi
lainnya, seringkali dilakukan setelah limfadenektomi pada tumor
non-seminoma.Juga digunakan sebagai pengobatan utama pada seminoma,
terutama pada stadium awal.
3. Kemoterapi : digunakan obat-obatan (misalnya cisplastin, bleomycin dan
etoposid) untuk membunuh sel-sel kanker. Kemoterapi telah meningkatkan angka
harapan hidup penderita tumor non-seminoma.
4. Pencangkokan sumsum tulang : dilakukan jika kemoterapi telah menyebabkan
kerusakan pada sumsum tulang penderita.
Tumor Seminoma :
1. Stadium I diobati dengan orkiektomi dan penyinaran kelenjar getah bening perut
2. Stadium II diobati dengan orkiektomi, penyinaran kelenjar getah bening dan
kemoterapi dengan sisplastin
3. Stadium III diobati dengan orkiektomi dan kemoterapi multi-obat.
Tumor Non-Seminoma:
1. Stadium I : diobati dengan orkiektomi dan kemungkinan dilakukan
limfadenektomi perut
2. Stadium II : diobati dengan orkiektomi dan limfadenektomi perut, kemungkinan
diikuti dengan kemoterapi
3. Stadium III : diobati dengan kemoterapi dan orkiektomi.
Jika kankernya merupakan kekambuhan dari kanker testis sebelumnya, diberikan
kemoterapi beberapa obat (ifosfamide, cisplastin dan etoposid atau vinblastin).

V. Undesensus Testis
Definisi

Undescendcus testis (UDT) atau kriptorkismus adalah gangguan perkembangan yang


ditandai dengan gagalnya penurunan salah satu atau kedua testis secara komplit ke
dalam skrotum.

Etiologi

A Androgen deficiency/blockade

Pituitary/placental gonadotropin deficiency

Gonadal dysgenesis

Androgen sythesis defect (rare)

Androgen receptor defect (rare)

B Mechanical anomalies

Prune belly syndrome (bladder blocks inguinal canal)

Posterior urethral valves(bladder blocks inguinal canal)


Abdominal wall defects (low abdominal pressure/gubernacular rupture)

Chromosomal/malformation syndrome (? Connective tissue defect block


migration)

C Neurological anomalies

Myelomeningocele (GNF dysplasia)

GFN/CGRP anomalies

D Aquired anomalies

Cerebral palsy (cremaster spasticity)

Ascending/retractile testes (? Fibrous remnant of processus vaginalis)

Tabel 1. Berbagai kemungkinan penyebab UDT

Klasifikasi

Terdapat 3 tipe UDT :

1. UDT sesungguhnya (true undescended): testis mengalami penurunan parsial


melalui jalur yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi teraba (palpable)
dan tidak teraba (impalpable).

2. Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang normal.

3. Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke dasar skrotum tetapi akibat refleks
kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke kanalis inguinalis, bukan
termasuk UDT yang sebenarnya.

Pembagian lain membedakan true UDT menurut lokasi terhentinya testis,


menjadi: abdominal, inguinal, dan suprascrotal.

Gliding testis atau sliding testis adalah istilah yang dipakai pada keadaan UDT dimana
testis dapat dimanipulasi hingga bagian atas skrotum, tetapi segera kembali begitu
tarikan dilepaskan. Gliding testis harus dibedakan dengan testis yang retraktil, gliding
testis terjadi akibat tidak adanya gubernaculum attachment, dan mempunyai
processus vaginalis yang lebar sehingga testis sangat mobile dan meningkatkan risiko
terjadinya torsi. Dengan melakukan overstrecht selama + 1 menit pada saat
pemeriksaan fisik (untuk melumpuhkan refleks cremaster), testis yang retraktil akan
menetap di dalam skrotum, sedangkan gliding testis akan tetap kembali ke kanalis
inguinalis.
Diagnosis

Anamnesis

Pada anamnesis harus digali tentang prematuritas penderita, penggunaan


obat-obatan saat ibu hamil (estrogen), riwayat operasi inguinal dan harus dipastikan
apakah sebelumnya testis pernah teraba di skrotum pada saat lahir atau tahun pertama
kehidupan (testis retractile akibat refleks cremaster yang berlebihan sering terjadi
pada umur 4-6 tahun).

Perlu juga digali riwayat perkembangan mental anak, dan pada anak yang
lebih besar bisa ditanyakan ada tidaknya gangguan penciuman (biasanya penderita
tidak menyadari). Riwayat keluarga tentang UDT, infertilitas, kelainan bawaan
genitalia, dan kematian neonatal.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan testis sebaiknya dilakukan pada posisi terlentang dengan ”frog leg
position” dan jongkok. Dengan 2 tangan yang hangat, menggunakan jelly atau sabun,
dimulai dari SIAS menyusuri kanalis inguinalis ke arah medial dan skrotum. Bila
teraba testis harus dicoba untuk diarahkan ke skrotum, dengan kombinasi ”menyapu”
dan ”menarik” terkadang testis dapat didorong ke dalam skrotum. Dengan
mempertahankan posisi testis di dalam skrotum selama 1 menit, otot-otot cremaster
diharapkan akan mengalami ”fatigue”; bila testis dapat bertahan di dalam skrotum,
menunjukkan testis yang retractile sedangkan pada UDT akan segera kembali begitu
testis dilepas. Tentukan lokasi, ukuran dan tekstur testis.

Testis yang atrofi atau vanishing testis dapat dijumpai pada jalur penurunan
yang normal. Kemungkinan etiologinya adalah iskemia masa neonatal akibat torsi.
Testis kontra lateralnya biasanya mengalami hipertrofi.

Lokasi UDT tersering terdapat pada kanalis inguinalis (72%), diikuti


supraskrotal (20%), dan intra-abdomen (8%). Sehingga pemeriksaan fisik yang baik
akan dapat menentukan lokasi UDT tersebut.

Berikut adalah berapa petanda klinis pada UDT bilateral tidak teraba testis yang dapat
dipakai pegangan untuk menentukan kemungkinan penyebab pada pemeriksaaan
fisik.

Tanda Klinis Penyerta Kemungkinan Penyebab

Tanpa kelainan lain Simple UDT, anorchia, female


pseudo-hermaphroditsm

Mikro penis dengan atau tanpa Gangguan sintesis androgen partial atau
hipospadia Androgen insensitivity syndrome

Anosmia dan mikro penis Sindrom Kallmann


Gangguan intelektual atau dismorfik Sindrom tertentu

Mikro penis dan defek midline Defisiensi gonadotropin

Mikro penis dan hipoglikemi neonatal Multiple pituitary hormone deficiency

Perawakan tinggi (testis mungkin teraba Sindrom Klinefelter


di inguinal, kecil dan padat)

Tabel 2. Interpretasi beberapa petanda klinis yang menyertai UDT bilateral tidak
teraba testis

Pemeriksaan Laboratorium

Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan


3
laboratorium lebih lanjut. Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis dengan
disertai hipospadia dan virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis kromosom dan
hormonal (yang terpenting adalah 17-hydroxyprogesterone) untuk menyingkirkan
kemungkinan intersex. Setelah menyingkirkan kemungkinan intersex, pada penderita
UDT bilateral dengan usia < 3 bulan dan tidak teraba testis, pemeriksaan LH, FSH,
dan testosteron akan dapat membantu menentukan apakah terdapat testis atau tidak.
Bila umur telah mencapai di atas 3 bulan pemeriksaan hormonal tersebut harus
dilakukan dengan melakukan stimulasi test menggunakan hCG (human chorionic
gonadotropin hormone). Ketiadaan peningkatan kadar testosteron disertai
peningkatan LH/FSH setelah dilakukan stimulasi mengindikasikan anorchia.

Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test adalah mengukur kadar
hormon testosteron pada keadaan basal dan 24-48 jam setelah stimulasi. Pada bayi,
respon normal setelah hCG test bervariasi antara 2-10x bahkan 20x. Pada masa
kanak-kanak, peningkatannya sekitar 5-10x. Sedangkan pada masa pubertas, dengan
meningkatnya kadar testosteron basal, maka peningkatan setelah stimulasi hCG hanya
sekitar 2-3x.

Pemeriksaan Pencitraan

USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama di daerah inguinal, di
mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan dengan tangan. CT scan dan MRI
mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan USG terutama diperuntukkan
testis intraabdomen (tak teraba testis dan tidak dapat dideteksi dengan USG). MRI
mempunyai sensitifitas yang lebih baik untuk digunakan pada anak-anak yang lebih
besar (belasan tahun). MRI juga dapat mendeteksi kecurigaan keganasan testis. Baik
USG, CT scan maupun MRI tidak dapat dipakai untuk mendeteksi vanishing testis
ataupun anorchia.

Terapi

Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah memperkecil
risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan reposisi testis ke dalam
skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara
pembedahan (orchiopexy).

1. Terapi Hormonal

Hormon yang biasa digunakan adalah hCG, gonadotropin-releasing


hormone (GnRH) atau LH-releasing hormone (LHRH). Hormon hCG
mempunyai kerja mirip LH yang dihasilkan pituitary, yang akan merangsang sel
Leydig menghasilkan androgen. Cara kerja peningkatan androgen pada penurunan
testis belum diketahui pasti, tapi diduga mempunyai efek pada cord testis atau otot
cremaster. hCG diberikan dengan dosis 250 IU untuk bayi < 12 bulan, 500 IU
untuk umur 1-6 tahun, dan 1.000 IU untuk umur > 6 tahun, masing masing
kelompok umur diberikan 2x seminggu selama 5 minggu.

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi adalah makin distal lokasi


testis makin tinggi keberhasilannya, makin tua usia anak makin respon terhadap
terapi hormonal, UDT bilateral lebih responsif terhadap terapi hormonal daripada
unilateral.

2. Terapi Pembedahan

Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus UDT
adalah orchiopexy. Mengingat 75 % kasus UDT akan mengalami penurunan testis
spontan sampai umur 1 tahun, maka pembedahan biasanya dilakukan setelah
umur 1 tahun. Pertimbangan lain adalah setelah 1 tahun akan terjadi perubahan
morfologis degeneratif testis yang dapat meningkatkan risiko infertilitas.
Keberhasilan orchyopexy berkisar 67-100 % bergantung pada umur penderita,
ukuran testis, contralateral testis, dan keterampilan ahli bedah.

Komplikasi

1. Risiko Keganasan

Makin tinggi lokasi UDT makin tinggi risiko keganasannya, testis


abdominal mempunyai risiko menjadi ganas 4x lebih besar dibanding testis
inguinal. Orchiopexi sendiri tidak akan mengurangi risiko terjadinya keganasan,
tetapi akan lebih mudah melakukan deteksi dini keganasan pada penderita yang
telah dilakukan orchiopexy.

2. Infertilitas

Komplikasi infertilitas ini berkaitan dengan terjadinya degenerasi pada


UDT. Biopsi pada anak-anak dan binatang coba UDT menunjukkan adanya
penurunan volume testis, jumlah germ cells dan spermatogonia dibandingkan
dengan testis yang normal. Biopsi testis pada anak dengan UDT unilateral yang
dilakukan sebelum umur 1 tahun menunjukkan gambaran yang tidak berbeda
bermakna dengan testis yang normal. Perubahan gambaran histologis yang
bermakna mulai tampak setelah umur 1 tahun, semakin memburuk dengan
bertambahnya umur. Tidak seperti risiko keganasan, penurunan testis lebih dini
akan mencegah proses degenerasi lebih lanjut.
EMERGENCY PADA KASUS BEDAH ANAK

A. INVAGINASI (INTUSUSEPSI)
1. Pendahuluan
Invaginasi atau intususepsi adalah suatu keadaan gawat darurat akut di
dalam ilmu bedah,dimana suatu segmen usus masuk kedalam lumen usus
bagian distalnya sehingga menimbulkan gejala obstruksi kemudian
strangulasi usus.
Perjalanan penyakit ini bersifat progesif sampai dilakukan tindakan
pengobatan atau terjadinya kematian. faktor waktu dari mulai kejadian
penyakit sampai penanganannya memegang peran penting terhadap prognosa
penyakit ini.
Dapat menegakkan diagnose dini sangat diperlukan walaupun
kadang-kadang tidak selalu mudah, karena pada jam pertama perjalanan
penyakit tidak semua gejala dapat di temukan. Untuk Negara yang sedang
berkembang dengan masih tingginya angka kejadian penyakit gastroenteritis
dengan gejala utama muntah dan diare yang sering di sertai berak lendir
berdarah maka invaginasi tidak jarang di diagnosakan sebagai penyakit
dysentri kemudian di obati sebagai penyakit itu, sehingga kehilangan waktu
satu hari atau dua hari yang sangat berharga. setelah penyakit bertambah parah
dengan komplikasi dengan komplikasi dehidrasi, obstruksi usus yang lanjut,
toksis, kehilangan darah , panas, perut kembung, aspirasi cairan muntah, serta
keadaan umum yang buruk baru teringat dengan penyakit invaginasi.
Masih tingginya angka kematian maupun angka reseksi usus pada
penyakit invaginasi di berbagai senter bedah di Indonesia membuktikan
bahwa perlu di tingkatkan pengenalan dini terhadap penyakit ini. Salah satu
tujuan karangan ini adalah untuk hal demikian.

2. Kejadian
Invaginasi atau intususepsi dapat terjadi pada setiap umur, insidens
puncak pada umur 4-9 bulan, laporan beberapa penulis menyebutkan hampir
70% terjadi pada umur di bawah 1 tahun, anak laki-laki lebih sering dari
wanita.

3. Penyebab
Menurut kepustakaan 90-95 % invaginasi pada anak di bawah umur 1
tahun tidak di jumpai kelainan bedah yang jelas sehingga di golongkan
sebagai “infantile idiopathic intussusceptions
Pada waktu operasi hanya di temukan penebalan dinding ileum terminal
berupa hyperplasia jaringan folikel submucosa yang di duga sebagai akibat
infeksi virus. Penebalan ini merupakan titik permulaan invaginasi.
Pada penderita yang lebih besar (lebih dari 2 tahun) dapat dijumpai
kelainan usus sebagai penyebab invaginasi seperti divertikel meckel, polip
usus, leiomioma, leoisarcoma, hemangioma, blue rubber blep nevi. invaginasi
dapat pula terjadi sesudah laparatomi, biasanya timbul dalam 2 minggu pasca
bedah, terjadi akibat gangguan peristaltic usus karena manipulasi usus yang
kasar dan lama, diseksi retroperitoneal yang luas, hipoksia lokal.

4. Faktor-Faktor Yang Di Hubungkan Dengan Terjadinya Invaginasi


Penyakit ini sering terjadi pada umur 4-9 bulan, dimana pada saat itu
terjadi perubahan diet makanan dari cair kepadat, perubahan pemberian
makanan ini di curigai sebagai penyebab terjadinya invaginasi.
Invaginasi kadang-kadang terjadi setelah/selama enteritis akut, sehingga
di curigai akibat peningkatan peristaltic usus.
Beberapa laporan statistic menunjukan insiden meninggi pada bulan
maret – juni dan bulan September – oktober, hal ini di hubungkan dengan
musim kemarau dan musim penghujan di masa-masa itu insidens, karena
sering serangan invaginasi di dahului oleh infeksi saluran nafas dan
gastroenteritis meninggi, saluran nafas bagian atas dan erat hubungannya
dengan infeksi adenovirus.
Laporan mengatakan bahwa invaginasi banyak terdapat pada bayi
yang sebelumnya dengan kondisi badan yang cukup sehat.

5. Gambaran Klinik
Secara klasik perjalanan penyakit invaginasi memperlihatkan
gambaran sebagai berikut : anak atau bayi yang semula sehat dan biasanya
dengan keadaan gizi yang baik, tiba-tiba menangis karena kesakitan, terlihat
kedua belah kakinya terangkat keatas penderita tampak seperti kejang dan
pucat menahan sakit, serangan nyeri perut seperti ini berlangsung dalam
beberapa menit, diluar serangan anak/bayi kelihatan seperti normal kembal.
Pada waktu itu sudah terjadi proses invaginasi di dalam perutnya, setelah
serangan nyeri perut tersebut datang berulang-ulang dengan jarak di antara
dua serangan biasanya berkisar 15- 20 menit. pada umumnya selama serangan
nyeri perut itu di ikuti dengan muntah berisi cairan dan makanan yang ada di
lambung, sesudah berapa kali serangan dan setiapnya memerlukan tenaga,
maka di luar serangan penderita terlihat lemah dan lesu dan tertidur sampai
datang serangan kembali. proses invaginasi pada permulaannya belum
menyumbat pasase isi usus secara total, anak masih dapat defekasi berupa
feses biasa, kemudian feses bercampur lendir tanpa feses. Karena sumbatan
belum total perut belum gembung dan tidak tegang, dengan demikian, mudah
teraba gumpalan usus yang terlibat invaginasi sebagai suatu massa tumor
berbentuk lonjong di bagian perut kanan bawah hati, kadang- kadang teraba
pada epiggastrium atau perut sebelah kiri, tumor lebih mudah teraba pada
waktu terdapat peristaltis, sedangkan pada perut bagian bawah teraba seperti
kosong yang di sebut “dance sign”, gejala ini akibat caecum dan kolon
ascenden naik ke atas, ikut dengan proses invaginasi. pembuluh darah
mensenterium dari bagian usus yang masuk (invaginatum) terjepit akan
mengganggu venous return sehingga terjadi kongestif, oedema, hiperfungsi
sel goblet, serta laserasi mukosa usus, maka akan terlihat berak berlendir
darah, gejala ini baru di temukan setelah 6-8 jam sejak ada serangan sakit
yang pertama, kadang- kadang sesudah 12 jam. Jumlah berak berlendir darah,
ini bervariasi dari kasus perkasus, malah kadang-kadang hanya di temukan
pada waktu pemeriksaan colok dubur saja. Pada waktu 12-24 jam sejak
serangan sakit, usus yang tadinya tersumbat partial berubah jadi sumbatan
total, oedema yang semakin bertambah sehingga pasien dengan tanda- tanda
obstruksi, seperti perut membuncit dengan gambaran peristaltik usus,
muntah hijau, dehidrasi, saat ini adanya tumor sulit/tidak dapat di raba lagi
karena perut sudah membuncit, defekasi hanya terdiri dari lendir, darah
tanpa massa feses.
Apabila keadaan ini di biarkan berlanjut muntah akan berupa cairan
fekal, panas badan, timbul asidosis, tosis dan pembuluh darah yang terjepit
tadinya hanya vena sekarang arteri juga akan terganggu alirannya sehinga
timbul nekrose usus, gangrene, perforasi, peritonitis umum, shock dan
meninggal.
Pemeriksaan colok dubur (rectal toucher ) :
 Tonus sphincter melemah, mungkin invaginat dapat diraba berupa massa
seperti portio
 Bila jari di tarik,keluar darah bercampur lendir.
Perlu di perhatikan bahwa untuk penderita malnutrition gejal-gejala
invaginasi tidak khas, tanda- tanda obstruksi usus berhari-hari baru timbul
pada penderita
Ini tidak jelas terdapat tanda adanya sakit berat, defekasi tidak ada
darah. Invaginat dapt prolaps melewati anus. Hal ini mungkin di sebabkan
pada pasien malnutrition tonus otot yang melemah, sehingga obstruksi tidak
cepat timbul.

6. Diagnosa Dini
Gejala klinik yang menonjol dari invaginasi adalah suatu trias gejala
yang terdiri dari :
 Nyeri perut yang bersifat serangan
 Muntah
 Berak lendir berdarah
Adapula yang menyebutkan bahwa trias gejala tersebut adalah :
 Nyeri perut yang bersifat serangan
 Teraba massa tumor di perut
 Berak lendir berdarah
Bila penderita terlambat memeriksakan diri, maka sukar untuk meraba
adanya tumor, oleh sebab itu untuk kepentingan diagnosa dini harus berpegang
kepada trias : nyeri perut yang bersifat serangan teraba massa tumor di perut
dan berak lendir berdarah. Mengingat invaginasi sering terjadi pada anak yang
berumur di bawah 1 tahun, sedangkan penyakit disentri umumnya terjadi pada
anak yang sudah mulai berjalan dan bermain sendiri maka apabila ada pasien
datang berumur di bawah 1 tahun sakit perut yang bersifat kolik sehingga orang
tuanya menceritakan anaknya rewel sepanjang hari/malam, ada muntah,
beraknya lendir bercampur darah, maka pikirkanlah dahulu invaginasi, jangan
di pikirkan diare karena disentri. carilah gejala- gejala lain yang menyokong
kearah invaginasi.

7. Pemeriksaan Radiologik
Foto polos abdomen :
Didaptkan distribusi udara dalam usus tidak merata. Usus terdesak ke
kiri atas. Bila telah lanjut terlihat tanda-tanda obstruksi usus dengan gambaran
“air – fluid levels”.
Barium enema :
Ba enema dikerjakan untuk diagnosis terapi. Untuk diagnosis
dikerjakan, bila tanda-tanda klinik invaginasi meragukan. Pada ba enema akan
tampak cuping, cuil spring appereance.
Ba enema untuk terapi :
Reposisi dengan tekanan hidrostatik. Enema barium dilakukan bila tanda-tanda
obstruksi usus belum jelas secara klini maupun pada foto abdomen, jari perut
bayi belum gembung, belum ada febris, belu ada tanda-tanda dehidrasi, ada
yang berpegang bahwa kejadian invaginasi belum melewati 24 jam pertama,
apabila terdapat tanda obstruksi usus kemungkinan berhasil reposisi ba enema
kecil dan bahaya perforasi pada bagian usus yang telah nekrosis. Reposisi
disebutkan berhasil apabila setelah “rektaltube” ditarik dari anus maka barium
keluar dengan disertasi massa veses dan udara, pada pluroscop terlihat barium
mengisi seluruh kolom dan sebagian usus halus, jadi ada reflux kedalam ileum,
hilangnya massa di abdomen, perbaikan secara klinis pada anak, serta norit test
potif.

8. Pengobatan
a. Memperbaiki Keadaan Umum
Tindakan ini sangat menentukan prognosa, janganlah melakukan
tindakan operasi sebelum lebih dahulu keadaan pasien di perbaiki. Pasien
baru boleh di operasi apabila sudah yakin bahwa perpusi jaringan telah
baik. Operasi baru boleh dilakukan apabila produksi urine sekitar 0,5 – 1
cc/Kg bb/jam, nadi kurang dari 120 x/mnt, pernapasan tidak melebihi 40
x/mnt, acral yang tadinya dingin dan lembab telah berubah jadi hangat dan
kering, turgor kulit mulai membaik, kesadaran sudah membaik,
temperature badan tidak melebihi 38oC. Biasanya perpusi jaringan akan
baik apabila setengah hari perhitungan dehydrasi telah masuk. Sisanya
dapat diberikan sambil operasi berjalan dan pasca operasi. Yang dilakukan
dalam usaha memperbaiki keadaan umum adalah : pemberian cairan dan
elektrolit dehydrasi, mengatasi asidosis, tindakan dekompresi abdomen
dengan pemasangan sounde lambung dan penghisapan cairannya,
pemberian anti biotika, pemberian sedativa/muscle relaxan. Suatu
kesalahan besar apabila buru-buru melakukan operasi karena takut usus
nekrosis padahal perpusi jaringan masih buruk. Harus di ingat bahwa obat
anestesi dan strees operasi akan memperberat keadaan umum pasien serta
perpusi jaringan yang belum baik akan menyebabkan bertumpuknya di
jaringan metabolit yang harus di buang lewat ginjal dan pernapasan, begitu
pula perpusi jaringan yang belum baik mengakibatkan oksigenasi akan
buruk pula. Bila dipaksakan kelainan-kelainan itu akan menjadi
irreversible.

b. Tindakan Reposisi Usus


1) Tindakan ini dapat dengan jalan barium enema seperti disebutkan pada
bab pemeriksaan radiologik.
2) Dapat pula dilakukan dengan jalan operasi laparatomi. Tindakan
selama operasi tergantung kepada penemuan keadaan usus. Reposisi
manuel dengan cara “milking” harus dilakukan dengan halus dan
sabar, keterampilan dan pengalaman operator. Sehingga ada yang
mengatakan operator haruslah berpegang terhadap prinsip :
“gentleness comes from he heart rather than from the head”.
Tidak ada batasan yang tegas kapan kita harus berhenti mencoba
reposisi manuel itu.
Reseksi usus dilakukan apabila : pada kasus yangtidak berhasil di
reduksi dengna cara manual, bila vitalitas usus diragukan atau
ditemukan kelainan pathologis sebagai penyebab invaginasi. Setelah
usus direseksi dilakukan “ end to end primary anastomosis” apabila hal
ini memungkinkan, bila tidak mungkin dilakukan “exteriorisasi”.
Dahulu setelah reposisi manual berhasil dan usus masih vital dilakukan
fiksasi usus dengan tujuan untuk mencegah invaginasi berulang
kembali, akan tetapi sekarang sudah banyak yang ditinggalkan
ternyata rekurensi dangat jarang terjadi, dan kalau toh terjadi dapat saja
di tempat lain.
B. DIARE BERDARAH INTUSUSEPSI ATAU DISENTRI
Intususepsi sering disebut invaginasi. Ciri khas penyakit ini salah satunya
adalah keluar darah dan lendir dari anus, biasanya darah dan lendir itu keluar
setelah sekitar 8 – 10 jam kejadian intususepsi. Karena penyakit ini di sertai oleh
obstruksi usus, maka akan didapatkan tanda-tanda obstruksi usus yang jelas berupa
kolik usus, yaitu rasa sakit perut secara periodik yang hilang timbul setiap 10-15
menit sekali, dengan peristaltik usus, diantara kedua waktu itu anak tertidur karena
kelelahan, kemudian datang serangan lagi dan anak tanpa kesakitan, pucat, kedua
kaki di atas menahan sakit. Ibu pasien menceritakan sepanjang malam hari bahwa
anaknya rewel. Padapermulaan perutnya belum gembung dan buang air besar
belum ada darah, jika diraba disekitar pusar ada massa yang memanjang seperti
sosis, permulaan disebelah kanan kemudian pada epigastrium dan terakhir sebelah
kiri.
Sekitar 8-10 jam kemudian baru darah dan lendir dari anus, perut mulai
gembung dan anak mulai muntah, permulaan muntahan berupa minuman dan
makanan kemudian berwarna hijau dan lama kelamaan bersifat fekal. Saat seperti
ini sudah susah meraba massa seperti sosis sekitar pusar disebabkan perut sudah
gembung.
Kalau dibuat foto polos abdomen AP/tegak terlihat tanda-tanda obstruksi
usus, dengan dilatasi usus halus, air fluid levels dan daerah kolon tidak ada udara.
Kadang-kadang dibuat juga USG abdomen yang menunjukan ada
tanda-tanda intususepsi, akan tetapi harus hati-hati karena gambaran usus normal
bisa mirip itu sehingga diagnosa jadi salah, bahkan terlanjur di operasi dan tidak
didapatkan intususepsi, jadi hasil USG harus dicocokan dengan tanda-tanda klinis
yang telah disebabkan diatas.
Untuk pegangan klinisi, intususepsi terjadi pada anak di bawah umur 1
tahun sekitar 80%, yang digolongkan sebagai “infantile idiopathic
intussusception”, jadi kalau ada anak umur dibawah 1 tahun berak darah dan lendir
yang pertama dipikirkan adalah intususepsi.
Intususepsi perjalanan penyakitnya bersifat progresif artinya kalau tidak
dilakukan pengobatan yang benar tambah lama tambah berat dan akan berakhir
dengan kematian karena gangrene usus, perforasi, perifonitis. Faktor waktu dan
dapat menegakan diagnosa dini memegang peran terhadap prognosa penyakit ini.
Kalau diperhatikan gejala-gejala klinis seperti diatas dengan seksama,
kemudian digabungkan dengna umur anak dibawah 1 tahun, sebetulnya
intususepsi merupakan penyakit yang dapat didiagnosa melalui telepon, sebelum
pemeriksaan yang lebih teliti dilakukan.
Di negara berkembang seperti Indonesia dimana sanitasi belum baik,
“water borne disease” (penyakit lewat air) dan lalat masih menjadi persoalan maka
salah satu penyakit yaitu disentri banyak dijumpai, penyakit ini juga menyebabkan
diare berdarah dan tidak jarang intususepsi dikira diare, diberi pengobatan disentri
satu atau dua hari sehingga kehilangan waktu yang dapat menyebabkan timbul
komplikasi intususepsi dan prognosa menjadi buruk.
Kalau dipikirkan lebih teliti, disentri adalah penyakit yang masuk tubuh
anak lewat mulut dan makanan yang berkontaminasi dengan lalat atau lewat
tangan anak, yang dapat terjadi kalau anak itu sudah bisa bermain-main sendiri,
tentu umurnya sudah lebih dari 2 tahun. Anak dibawah 1 tahun, kecil kemungkinan
menderita disentri.
Kemudian disentri ada gejala panas dulu beberapa hari, dan gejala-gejala
lain yang sangat berbeda dengan intususepsi.
Perlu dikemukakan penyakit lain yang menimbulkan berak darah dan
lendir seperti NEC, DHF, Polyp Recti, Erosi Mucosa Usus karena divertikel
Meckel, hemangioma mucosa usus, fissura ani dan lain-lain.

C. KELAINAN KONGENITAL PADA NEONATUS DAN ANAK


Yang akan dibicarakan pada kesempatan ini adalah tanda-tanda yang kita
curiga adanya suatu kelainan kongenital pada neonatus maupun anak sehingga
menyebabkan kita menyelidiki lebih lanjut kecurigaan itu baik berupa mencari
gejala-gejala lain serta pemeriksaan penunjang dasar sehingga diagnosis dapat
ditegakan dan tindakan pendahuluan sudah dapat dimulai. Penanganan selanjtnya
kita serahkan kepada pusat-pusat kesehatan yang lebih lengkap. Kelainan tersebut
antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Atresia ESOFAGUS
kecurigaan akan penyakit ini dimulai dari ibu yang melahirkan bayinya
mempunyai poly-hydranion. Bayi tersebut terlihat hipersalivasi yaitu keluarnya air
ludah dan gelembung-gelembung udara dari mulut serta hidung, setelah
dibersihkan sebagaimana dikerjakan secara rutin layaknya seolang bayi yang baru
lahir, 5 menit kemudian kembali terlihat air ludah dan gelembung-gelembung
udara pada mulut dan hidung.
Untuk bayi yang demikian harus segera dipasang pipa dari hidung ke lambung
yang mempunyai garis biru dan bersifat radio opaque. Pipa lambung tersebut akan
tertahan setelah masuk sekitar 10-12 cm, dan bila didorong akan keluar lagi
ujungnya pada mulut bayi. sampai disini kecurigaan adanya atresia esofagus sudah
bertambah besar. langkah selanjutnya membuat foto polos torako abdominal posisi
anterior posterior. Dari hasil foto yang sederhana ini akan jelas terlihat pipa dari
hidung ke lambung tersebut akan melengkung keatas setinggi Th 2.
Sampai disini dagnosis sudah dapat ditegakkan adanya atresia esofagus, tidak
perlu dimasukan kontras kedalam pipa sebab mengandung risiko tumpahnya
kontras itu kedalam paru-paru, walaupun ada beberapa ahli yang suka
memasukkan kontras sebanyak 2-3 cc saja setelah diketahui adanya atresia
esofagus segera diisap kembali. Untuk mengetahui apakah yang dihadapi atresia
esofagus dengan fistula esofago-trakeal dan segmen esofagus yang distal dapat
dengan mudah dilihat apabila lambung dan usus neonatus berisi udara (didapati
sekitar 85% kasus). Apabila lambung dan usus tidak mengandung udara artinya
tidak ada fistula dari esofagus distal kedalam trachea (sekitar 5% kasus).
Tindakan :
Untuk neonatus yang demikian, terutama yang mempunyai fistula
esofago-traheal harus segera dibuat gastrotomi cukup dengan anestesi guna
mencegah terjadi refluk cairan lambung yang bersifat asam kedalam trahea dan
paru-paru yang dapat membawa komplikasi berat berupa bronko-pnemoni yang
sangat mempengaruhi prognosis ke arah buruk sampai kematian. Apabila tidak ada
fistula esofago-traheal dari esofagus distal gastrostomi tidak perlu dilakukan
secara emergensi.
Untuk semua jenis atresia esofagus perlu dipasang pipa dari hidung sampai
ujung buntu esofagus proksimal (sekitar 10-12 cm dari hidung) dan diisap-isap
setiap 10 menit untuk mencegah masuknya air ludah kedalam trahea walaupun
keadaan ini tidak sebesar bahaya masuknya cairan lambung ke trahea.
Apabila kasus diatas terdapat di rumah sakit yang dapat menangani torakotomi
pada neonatus dan tersedia alat pernapasan buatan (respirator) serta dokter bedah
dan dokter anestesi sudah berpengalaman melakukan operasi torakotomi pada
neonatus pasien dapat dipersiapkan untuk torakotomi dengan tujuan memotong
fistula efsofago-traheal diteruskan dengan anastomose kedua segmen esofagus,
dianjurkan dengan pendekatan ekstra plural.
Bila kasus tersebut berada di rumah sakit yang tidak tersedia fasilitas tersebut
diatas harus segera dikirim ke pusat elayanan yang lebih tinggi dengan posisi
setengah duduk dan pemberian oksigen selama dalam perjalanan ditambah
pemasangan infus dan pemberian antibiotika profilaksis.
Sebetulnya kasus atresia esofagus dapat diketahui beberapa menit setelah lahir
apabila terhadap semua bayiyang lahir secara rutin dipasang pipa dari hidung
kelambung terutama bayi-bayi yang lahir dari ibu dengan polihidramion.
Seharusnya dipastikan bayi tersebut terbebas dari atresia esofagus. Kewajiban
seluruh jajaran kesehatan terutama mereka yang menolong persalinan untuk secara
rutin memasang pipa hidung kedalam lambung terhadap semua bayi yang baru
lahir sebagaimana mereka memasukan ujung termometer kedalam dubur untuk
mengetahui ada tidaknya malformasi anorektal. Apalagi kalau menghadapi
perslainan dari ibu dengan polihidramion. Keteledoran tidak memasang pipa
hidung ke lambung merupakan kesalahan besar.

2. Atresia duodenum
Kecurigaan adanya kelainan ini apabila seorang nonatus muntah berwarna
hijau dengan perut gembung didaerah epigastrium, lahir dari seorang ibu dengan
polihidramion (tidak semua begitu). Terhadap bayi yang demikian perlu segera
dibuat foto-foto polos abdomen sekalian dengan torak. Akan terlihat 2 gelembung
udara (double bubble sign). Sampai disini diagnosis atresia duodenum sudah dapat
ditegakan.
Tindakan :
Dipasang pipa hidung kelambung paling kurang tube nomor 8F untuk
dekompresi lambung guna mencegah muntah dan aspirasi cairan muntah kedalam
paru-paru serta mengurangi kegembungan perut yang berpengaruh terhadap
pernafasan. Dipasang infus, pemberian antibiotika, kalau perlu pemberian O2.
Operasi tidak perlu, emergensi dapat dipersiapkan secara efektif satu hari
kemudian. Teknik operasi untuk mengatasi duodenum yang buntu, boleh dengan
tknik duodeno-duodenostomi, atau jejenumm-duodenostomi.

3. Atresia Ileum
Kecurigaan terhadap kelainan ini apabila neonatus mengeluarkan mekonium
yang tidak normal artinya mekonium itu tidak berwarna hijau tua, tidak lengket,
jumlahnya sedikit, kemudian disartai perut neonatus menjadi gembung kedepan,
kemudian diikuti oleh muntah yang berwarna hijau, lebih lanjut muntah (NGT)
berwarna seperti fesess. Bila dibuat foto polos abdomen posisi tegak akan jelas
terlihat gambaran cairan berbatas udara (air flujid levels) beberapa buah. Dengan
keadaan ini diagnosis atresia ileum dapat ditegakan.
Tindakan :
Harus segera dipasang pipa hidung kelambung (NGT) ukuran paling kurang
nomor 8F, dipasang infus untuk rehidrasi, pemberian antibiotika, pemberian
oksisgen. Tindkaan ini untuk memperbaiki keadaan umum guna mencapai keadaan
optimal supaya dapat dilakukan operasi. Dianjurkan waktu perbaikan jangan
melebihi waktu 6 jam, sebab kita berhadapan dengan bahaya nekrose usus karena
bertambah gembung dan ancaman sepsis disebabkan obstruksi usus yang
melibatkan ileum jejenum sampai kelambung. Operasi bersifat emergensi. Durante
operasionum biasanya akan ditemukan ujung usus bagian proksimal yang sangat
berdilatasi sedangkan sebagiandistal yang kecil. Reseksilah ujung proksimal yang
sangat berlatasi itu karena bagian itu tidak sempurna perdarahan maupun
persarafannya. Bagian distal yang kecil disuntik dengan cairan garam fisiologis
untuk mengecek patensi dari lumenya sampai ke anus. Sesudah itu dilakukan
anastomose end to end dengan berbagai teknik yang sudah diketahui. Apabila
dokter bedah belum banyak pengalaman melakukan anastomose ini cukup dibuat
ileostomi (enterostomi) saja dari kedua ujung yang buntu, kemudian segmen yang
distal disepul untuk mengaktifkannya sehingga menjadi lebih besar. Setelah 6
bulan atau 1 tahun dimana anak sudah lebih besar baru dilakukan operasi ulang
untuk menyambung usus yang buntu tersebut.
Pemberian makanan per-oral sebaiknya ditunda sampai 1 minggu dan dimulai
dengan clear liquid, menunggu usus distal yang kecil itu berkembang dahulu bila
dilakukan anastomose primer.

4. Atresia Jejenum
Kecurigaan terhadap kelainan ini apabila perut anak gembung kedepan,
permulaan pada daerah diatas pusat terapi dengan cepat terlihat gembung seluruh
perut. Bayi muntah berwarna hijau kemudian berubah warnanya seperti feses.
Perlu dibuat foto polos abdomen yang akan memperlihatkan beberapa gelembung
udara biasanya paling kurang 3 buah.
Tindakan :
Segera dipasang pipa hidung kelambung (NGT) paling kurang no 8F untuk
dekompresi lambung. Diperbaiki ketidak seimbangan cairan dan elektrolit,
pemberian antibiotika. Bila keadaan umum sudah optimal segera dilakukan operasi
karena bayi terancam sepsis dan nekrose usus.
Durante operasionum akan didapatkan bagian usus yang proksimal ujungnya
akan berdilatasi sedangkan sebagian distal kecil. Buanglah ujung yang berdilatasi
itu, suntikan cairan fisiologis kebagian distal yang mengecil untuk mengetahuidan
memastikan tidak terdapat atresia dibagian distal sampai ke anus. Setelah itu
usahakan melakukan anastomose primer antara kedua ujung yang buntu tersebut,
tidak dianjurkan untuk melakukan enterostomi dalam keadaan begini sebab ada
bahaya high output (pengeluaran cairan yang berlebih) disebabkan usus yang
berfungsi terlalu pendek. Pemberian makanan melalui mulut ditunda sampai 1
minggu atau lebih menunggu usus bagian distal yang kecil itu berkembang dahulu
dan mulailah dengan pemberian clear iquid.

5. Malrotasi Usus dan Volvunus


Kecurigaan terhadap keadaan ini apabila neonatus yang lahir hari-hari
pertama terlihar normal, buang air besar lancar mekonium normal, diberi minum
tidak ada gangguan. Setelah lebih kurang berumur 1 minggu terlihat tanda-tanda
obstruksi usus bagian atas, muntah menjadi hijau dan buang air besar tidak keluar
lagi. Bila dibuat foto polos abdomen terlihat bayangan udara sangat sedikit
didalam usus, udara yang sedikit itu tersebar diseluruh usus (scutter), lambung
terlihat berdilatasi. Kalau dimasukan cairan kontras yang bersifat water soluble
dari anus terlihat kontras tersebut akan berhenti didaerah epigastrium. Sampai
disini diagnosis malrotasi usus dan volvunus sudah dapat ditegakan. Segera
diperbaiki keadaan umum dengan memasang pipa hidung kelambung, pemberian
infus untuk perbaikan cairan dan elektrolit, antibiotika. Secepatnya dilakukan
operasi sebab dengan bertambahnya waktu akan mengancam terjadi nekrose
seluruh usus kecil karena volvolus tersebut. Durante operasionum akan didapatkan
usus kecil yang mengelompok pada lapangan operasi, bila tumpukan usus kecil
tersebut dipisahkan dan diperiksa pada radik meometrium akan terlihat volvulus
yang dililit oleh kolon serta sekum bersama apendik terletak di daerah epigastrium.
Lakukanlah pengembalian usus yang berputar itu kemudian jangan lupa
membebaskan daerah ligamentum Treitz dari tumpukan jaringan Finosis (Lad
Bands) serta duodenum dibuat lurus kebawah. Tidak perlu memaksakan sekum
terletak disebelah kanan.

6. Hipertrofi Pilorus Stenosis


Kecurigaan terhadap penyakit ini apabila neonatus yang tadinya normal saja
dan pemberian cairan melalui mulut tidak ada gangguan, pada umur 1 minggu
sampai 3 minggu terlihat tanda-tanda muntah yang makin lama makin menghebat,
setiap diberi minum warna muntah tidak pernah menjadi hijau. Lama-lama muntah
tersebut menjadi proyektil, memancar sampai menyemprot muka ibunya. Bayi
yang demikian perlu dibuat foto polos abdomen yang memberi gambaran lambung
sangat berdilatasi sedangkan usus halus mungkin masih terlihat berisi udara. Bila
diraba daerah epigastrium, paling baik sesudah anak muntah biasanya kita dapat
meraba suatu massa sebesar telur puyuh atau sedikit lebih kecil dari duku.
Pemeriksaan perlu diteruskan dengan USG yang akan dapat memberi keterangan
yang lebih pasti bahwa terdapat pembesaran pilorus, walaupun tanpa pemerisaan
USG cukup dengan terabanya massa seperti diatas diagnosis sudah dapat
ditegakan.
Tindakan :
Dipasang pipa hidung kelambung (NGT) paling kurang nomor 8F, pemberian
cairan dan elektrolit, antibiotika kemudian dipersiapkan operasi secara elektif.
Durante operasionum akan jelas terlihat dan teraba pilorus menjadi besar dan
konsintensinya padat. Lakukanlah sayatansecara longitudinal sepanjang pilorus
yang menebal itu mulai seosa terus kepada muskularis dan berhenti sebelum
mukosa (Fredet-Rumseit’s pyloromyotomy procedure). Operasi ini memberikan
hasil yang sangat mengesankan karena dalam waktu yang singkat, bayi yang
tadinya terlihat parah sakitnya dalam waktu 12 jam langsung membaik.
Harus hati-hati melakukan pyloromyotomy jangan sampai menembus mukosa
duodenum dibagian distal dari pilorus yang menebal itu karena perubahan dari
dinding yang tebal tiba-tiba langsung menipis pada permulaan duodenum.

7. Malformasi Anorektal
Dahulu sering disebut atresia ani tetapi sebetulnya istilah itu kurang tepat
terutama untuk letak tinggi. Malformasi anorektal dapat dibagi atas letak tinggi
(rektal atresia) dan letak rendah (anal atresia). Setiap menghadapi kelainan ini
perlu dicari kelainan lain yang suka menyertai malformasi anorektal, apalagi
dengan letak tinggi. Kelainan yang suka menyertai dapat disingkat dengan kata :
VACTERL (kelainan vertebra berupa hemivatebra, atresia saluran cerna, kelainan
cor atau jantung, kelainan trakea, kelainan esofagus, kelainan renatau ginjal dan
kelainan limph atau alat gerak), jadi setiap mendapatkan malformasi anorektal
harus mencari kelainan yang menyertai tersebut diatas ada atau tidak ada kelainan
tersebut.
Mengenai malformasi anorektal sendiri perlu dibedakan apakah letak tinggi
atau letak rendah dengan melihat tanda-tanda pada anal dimple, adanya pulsasi
pada tempat itu, dilanjutkan dengan pemeriksaan Rontgen posisi invertogram atau
posisi knee-chest maupun dengan pemeriksaan USG yang sekarang banyak
dikembangkan. Perlu diingatkan bahwa pemeriksaan Rontgen umumnya memakai
kontras udara yang sudah sampai pada ujung kolon (biasanya setelah 18 jam anak
lahir). Selain pemeriksaaan diatas dapat juga dipakai letak muara fistula kalau ada.
Demikian juga anak laki-laki kebanyakan letak tinggi sedangkan anak perempuan
letak rendah.
Tindakan :
Letak rendah dilakukan tindakan langsung anoplasti.
Letak tinggi dilakukan kolostomi pendahuluan dapat pada kolom sigmoid
yang umum dipakai tetapi banyak juga yang melakukan kolostomi pada kolon
transversum berdasarkan rencana operasi definitif untuk anoplasti 6 bulan atau 1
tahun kemudian.
Perlu diingatkan malformasi anorektal tanpa fisula tindakan operasi jangan
dikerjakan melebihi 36 jam umur neonatus sebab setelah lewat waktu itu dapat
terjadi bermacam-macam komplikasi seperti gangguan elektrolit, nekrose usus
karena sangat berdilatasi, sepsis atau muntah yang dapat menyebabkan ganggunan
paru-paru. Lakukanlah tindakan sesuai dengan letak ujung kolon yang buntu,
jangan sekali-kali melakukan tindakan operasi karena dikira letak rendah
padahalyang dihadapi adalah letak tinggi sebab keadaan itu akan merusak otot-otot
yang perlu mengatur defikasi, kalau ragu-ragu sebaiknya dibuat kolostomi saja.
Dengan dasar ini para pakar tidak setuju memakai istilah letak intermediate.

8. Morbus Hirschsprung
Kecurigaan terhadap penyakit ini apabila seorang neonatus atau bayt yang
anusnya normal tetapi pasien mengeluh kelainan buang air besar mungkin terjadi
hari-hari pertama setelah lahir dengan ditandai terlambatnya mekonium keluar
melebihi 24 jam setelah lahir. Dapat juga garrgguan tersebut diketahui setelah bayi
berumur 1 minggu atau lebih, perut pasien terlihat gembung terutama kesamping
seperti perut kodok kemudian disertai oleh muntah. Pasien seperti itu sebaiknya
langsung diperiksa dengan sinar Rontgen berupa foto abdomen anterio posterior,
akan terlihat pembesaran atau dilatasi kolon terutama yang kiri. Sebaiknya
dilanjutkan dengan barium enema. Dari kedua foto Rontgen ini sudah dapat
menduga penyakit Hirschsprun!. Setelah itu dilakukan pemeriksaan colok dubur,
akan terasa jan kelingking kita dicepit oleh dinding rektum dan kita tidak meraba
dilatasi dari ampula rekti, bagi yang telah berpengalaman pemeriksaan ini dapat
memberi keyakinan kepadanya akan adanya penyakit Hirschsprung , setelah jari
ditarik dari rektum atan terjadi penyemprotan feses disertai udara (apabila Morbus
Hirschsprung itu bukan jenis long segmen). Apabila fasilitas biopsi hisap tidak
ada, sampai disini sudah dapat ditegakkan diagnosis Morbus Hirschsprung dan
dapat dilakukan tindakan kolostomi setelah keadaan umum penderita diperbaiki
lebih dahulu dengan cara memasang pipa hidung ke lambung (NGT), dekompresi
kolon dengan colok dubur atau wash out memakai cairan garam fisiologis hangat,
tidak boleh memakai air biasa yang hangat (bahaya water intoksikasi). Kalau
kolostomi telah dikerlakan baik pada kolon sigmoid maupun pada kolon
transversum, bayi sudah dapat hidup dengan aman. Terapi definitif selanjutnya
dapat dilakukan 6 bulan atau setahun kemudian, ini sangat tergantung kepada
keadaan peralatan dan perawatan yang tersedia, bahkan ada pusatpusat bedah anak
yang melakukan operasi definitif pada umur 3 bulan bahkan ada yang melakukan
operasi definitif dengan laparoskopi. Pada dasarnya yang penting setelah operasi
definitif pasien dapat hidup seperti orang normal dan mengatur buang air besarnya
secara normal.

9. Omphalocele
Menegakkan diagnosis penyakit ini sangat mudah, akan terlihat suatu kantong
didaerah pusat yang ditutupi oleh selaput yang terdiri dari lapisan peritoneum dan
lapisan amnion, didalamnya terlihat usus. Diameter dasar dari kantong tersebut
bervariasi, apabila diameternya lebih besar 3-5 cm disebut omphalocele besar bila
kecil dari itu disebut omphalocele kecil. Kalau yang didapatkan omphalocele besar
sebaiknya dijaga keutuhan dinding kantong agar tidak pecah, kalaupun pecah
sedikit dijahit saja kemudian pasien dirawat secara konservatif dengan mengolesi
seluruh dinding kantong menr*l''ai poividon iodine setelah itu ditaburi bubuk
antibiotika (seperti bubuk nebacitin, sulfanilamidc dlli kemudian ditutup kasa steril
dan dirawat secara kering. Dengan cara lni usus yang berada didalam kantong
dalam beberapa hari umumnya akan masuk kedalam rongga peritoneum karena
rongga peritoneum akan berkembang dan akan dapat menampung alat dalaman
perut Yang berada didalam kantong.
Tindakan konservatif tersebut diatas harus dihentikanapabila terdapat
tanda-tanda obstruksi usus, terdapat tanda-tanda infeksi berat pada dinding
kantong atau kantong pecah dan tidak dapat drlahit kembali. Kalau melakukan
tindakan operasi harus dihindari Jangan sampai tekanan intra abdomen menjadi
tinggi yang ditandai dengan gangguan Pernafasan Pada baYi.

10. Gastroskizis
Menegakkan diagnosis penyakit ini sangat mudah yaitu akan terlihat usus
berada diluar rongga perut tidak ditutupi oleh dinding kantong, usus keluar dari
sebuah Jobang disebelah kalan umbilikus. Biasanya usus yang diluar itu tebal
pendek ditutupi oleh fibrin. umumnya terdapat Ladd bands yang mengakibatkan
obstruksi usus bagian atas. Dalam melakukan pengobatan Ladd bands ini harus
dilepaskan. umumnya usus yang diluar itu karena tebal tidak muat dimasukkan
kedalam fongga perut, untuk mengatasinya dapat ditempuh cara melakukan
dekompresi baik dari lambung dengan memakai pipa lambung dan melalui anus
dilakukan wash out dengan garam fisiologi hangat. usus yang berada diluar dicuci
dengan povidon iodine encer dimasukkan kedalam rongga perut kemudian
ditutupkan hanya kulit saja agar tidak terjadi peninggian tekanan rongga perut.
Dalam prosedur operasi kelainan ini harus dijaga sekali neonatus tersebut jangan
sampai kedinginan biasanya terjadi daerah operasi dan badan bayi menjadi basah
oleh cairan yang dipakai untuk membersihkan usus yang berada diluar. Pakailah
alat pemanas bayi dari bawah atau dari atas. Bila bayi sudah kedinginan selama
operasi prognosis menjadi buruk.

D. Necrolizing Enterocolitis ( N E C )
Penyakit ini biasanya mengenai neonatus yang dalam riwayatnya pernah
mengalami hipoksia.
Tersering menimpa neonatus yang premature di sebabkan ganguan pernafasan
atau fungsi paru-paru yang belum sempurna, juga bisa terdapat pada neonatus
dengan persalinan sulit, seperti lilitan tali pusat, fetal distress, bisa juga bayi
sungsang yang lama baru bisa lahir.
Bayi-bayi yang menderita NEC ini permulaan diare saja, kemudian
berubah diare berdarah, perut jadi gembung.
Kalau diketahui bayi yang menderita NEC dalam tingkat awal , oral feeding
perlu di hentikan guna mengistirahatkan saluran cerna yang menderita sakit (
ada inflamasi), cairan dan elektrolit diberikan melalui infuse, juga parenteral
feeding untuk memenuhi asupan protein dan vitamin.
Kasus N E C itu pada dasarnya adalah kasus medis, pembedahan dilakukan
kalau ada komplikasi seperti perforasi usus, atau proses N E C telah mengenai
seluruh lapisan usus yang di tandai adanya loop usus menetap. Pembedahan
dilakukan sebaiknya sebelum timbul perforasi, segmen usus yang telah mengalami
necrose diexteriorisasi dengan membuat stoma usus, dapat di buat beberapa
stoma untuk mencegah terlalu banyak usus yang di buang, dihindari anastomose
usus.karena akan sering bocor lagi.
Selain pemberian cairan dan elektrolit dan parenteral feeding yang lain perlu
di berikan antibiotika untuk gram positip, gram negative dan bakteri anaerob.
Semua perlakuan ini minimal untuk 2 minggu.
Kalo sudah timbul ferporasi usu prognasol jadi sangat buruk dan umumnya
akan berakhir dengan kematian
Perlu diketahui pemberian makanan padat yang terlalu dini dapat
menimbulkan N E C.

Vous aimerez peut-être aussi