Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Disusun oleh:
Denny Firdaus
Definisi
Klasifikasi
a. Secara umum
c. Berdasarkan stadium
Etiologi
Lokasi Penyebab
Duodenum
1. Adhesi
2. Hernia inkarserata
3. Askariasis
Obstruksi usus oleh cacing askaris paling sering ditemukan pada anak
karena higiene kurang sehingga infestasi cacing terjadi berulang. Obstruksi
umunya disebabkan oleh gumpalan padat yang terdiri atas sisa makanan dan
puluhan ekor cacing yang mati atau hampir mati akibat pemberian obat cacing.
4. Invaginasi
Intususepsi adalah penyebab paling umum dari obstruksi usus pada bayi dan
anak-anak usia 3 bulan hingga 6 tahun, dimana puncaknya adalah usia 5-10
bulan. Hal ini terjadi ketika masuknya segmen proksimal dari usus ( disebut
intususeptum ) kedalam bagian yang lebih distal dari usus ( disebut
intussuscipiens ) . Kebanyakan intussusceptions yang idiopatik. Invaginasi
umumnya berupa intususepsi ileosekal yang masuk dan naik ke kolon asenden
serta mungkin keluar dari rektum. Invaginasi dapat mengakibatkan obstruksi
ataupun nekrosis iskemik pada bagian usus yang masuk dengan komplikasi
perforasi dan peritonitis.
5. Volvulus
6. Kelainan congenital
Ileus obstruksi pada kolon disebabkan 60% oleh malignansi, 20% oleh divertikulosis
dan 5% oleh volvulus sigmoid.
1. Volvulus
2. Divertikel
Divertikel kolon paling sering ditemui di sigmoid. Divertikel kolon
adalah divertikel palsu karena terdiri atas mukosa yang menonjol melalui
lapisan otot seperti hernia kecil. Komplikasi dapat berupa perforaasi, abses
terbuka, fistel, obstruksi parsial, dan perdarahan.
3. Intususepsi/invaginasi
Intususepsi sering terjadi pada anak anak. Namun, sekitar 5-15% dari
kasus intususepsi di belahan bumi bagian Barat terjadi di orang dewasa, yang
mana dua per tiga kasusnya disebabkan oleh tumor atau polip di usus halus
4. Penyakit Hirschsprung
3.5 Patofisiologi
Pada ileus obstruksi usus halus terjadi dilatasi pada usus proksimal
secara progresif akibat akumulasi dari sekresi pencernaan dan udara yang
tertelan (70% dari udara yang tertelan) dalam lumen. Dilatasi dari usus halus
menstimulasi aktivitas sel sekretori, yang berakibat bertambahnya akumulasi
cairan. Hal ini mengakibatkan peristaltik meningkat pada bagian atas dan
bawah dari obstruksi, dengan buang air besar yang jarang dan flatus pada awal
perjalanan. Muntah juga merupakan tanda penting obstruksi pada anak-anak.
Distensi berat pada dinding usus akan mengurangi pengaliran air dan
natrium dari lumen usus ke darah. Sekitar 8 liter cairan disekresi ke dalam
saluran cerna setiap hari, sehingga tidak adanya absorpsi dapat mengakibatkan
penimbunan intralumen dengan cepat. Hal ini akan mengompresi saluran limfe
mukosa dan menyebabkan limfedema pada dinding usus. Dengan
meningkatnya tekanan hidrostatik intraluminal, meningkatnya tekanan
hidrostatik pada capiler akan menyebabkan cairan yang banyak, elektrolit dan
protein ke dalam lumen usus. Kehilangan cairan dan dehidrasi yang disebabkan
oleh hal akan sangat parah dan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
Pada ileus obstruksi kolon, terjadi dilatasi pada usus yang letaknya diatas
obstruksi, yang akan menyebabkan edema mukosa, gangguan aliran vena dan
arteri ke usus. Edema dan iskemi yang terjadi meningkatkan permeabilitas
mukosa, yang mengakibatkan translokasi bakteri (termasuk bakteri anaerob
Bacteoides) , toksik sistemi, dehidrasi, dan gangguan elektrolit. Iskemi pada
kolon dapat mengakibatkan perforasi.
Manifestasi Klinik
b. Obstruksi kolon
Diagnosis
Diagnosis ileus obstruksi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis
mengenai gejala klinis yang timbul, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan juga pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Perkusi
Auskultasi
e. Rectal Toucher
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
b. Pemeriksaan Radiologi
Hal yang paling spesifik dari obstruksi usus halus ialah distensi
usus halus (diamater > 3 cm), adanya air fliud level pada foto posisi
setengah duduk, dan kekurangan udara pada kolon. Negatif palsu dapat
ditemukan pada pemeriksaan radiologi ketika letak obstruksi berada di
proksimal usus halus dan ketika lumen usus dipenuhi oleh cairan saja
dengan tidak adanya udara. Hal ini dapat mengakibatkan tidak adanya
gambaran air fluid level ataupun distensi usus
Foto Thorax
Foto thorax dapat menggambarkan adanya free air sickle yang
terletak dibawah difaragma kanan yang menunjukkan adanya
perforasi usus.(14)
CT scan
Temuan lain pada obstruksi usus yaitu zona transisi dengan dilatasi
usus proksimal, dekompresi usus bagian distal, kontras intralumen yang
tidak dapat melewati bagian obstruksi, dan pada bagian kolon terdapat
gas ataupun cairan. Strangulasi ditandai dengan menebalnya dinding
usus, pneumatosis intestinalis (udara pada dinding usus), udara pada
vena porta, dan berkurangnya kontras intravena ke dalam usus yang
terkena.
Enteroclysis
USG abdomen
Diagnosa Banding
a. Ileus paralitik
Pada ileus paralitik terdapat distensi yang hebat namun nyeri yang
dirasakan lebih ringan dan cenderung konstan, mual, muntah, bising usus
yang menghilang, pada pemeriksaan fisik tidak adanya defans muskular
dan pada gambaran foto polos didapatkan gambaran udara pada usus.
b. Appendisitis akut
d. Gastroenteritis akut
Pada gastoenteritis akut juga terdapat nyeri perut dan muntah. Diare pada
penyakit ini juga menyebabkan adanya hiperperistaltik pada auskultasi.
Namun dapat dipikirkan adanya ileus bila abdomen distensi dan hilangnya
suara atau sedikitnya aktifitas usus.
3.9 Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
2. Operatif
- Strangulasi
- Obstruksi total
- Hernia inkarserata
Komplikasi
Prognosis
Mortalitas dan morbiditas pada obstruksi usus tergantung pada jenis lesi
yang menyebabkan penyumbatan usus, apakah itu adalah loop tertutup atau
obstruksi strangulasi. Kematian rendah dengan diagnosis dini dan penanganan
yang cepat. Jika tidak diobati, hambatan strangulasi selalu mematikan. Tingkat
mortalitas dapat mencapai 65 % jika lebih dari 75 % dari usus kecil nekrotik
pada saat laparotomi. Terlalu banyak kerusakan usus dapat menyebabkan
kekurangan gizi karena sindrom usus pendek .
Kelangsungan hidup jangka panjang pada pasien dengan atresia
duodenum atau stenosis adalah sekitar 86 %. Sebagian besar morbiditas dan
mortalitas berhubungan dengan anomali jantung. Ini termasuk pasien dengan
pankreas annular.
ATRESIA DUODENUM
DEFINISI
Atresia duodenum adalah kondisi dimana bentuk dari duodenum yang tidak
sempurna, yaitu duodenum tidak memiliki saluran terbuka (adanya penyumbatan
lengkap) sehingga tidak memungkinkan perjalanan makanan dari lambung ke usus
ETIOLOGI
Tidak dapat dipungkiri bahwa penyebab atresia duodenum belum diketahui
secara pasti. Akan tetapi patofisiologi dari atresia duodenum dapat dijelaskan
dengan baik. Penelitian yang ada, sering kali menunjukan keterkaitan antara atresia
duodenum atau stenosis duodenum dengan malformasi neonatal lainnya, sehingga
dapat disimpulkan bahwa anomali ini disebabkan oleh gangguan perkembangan
pada masa awal kehamilan. Atresia duodenum berbeda dari atresia usus lainnya
(atresia pada usus kecil dan usus besar), yang kesalahannya disebabkan oleh
gangguan vaskular mesenterika pada perkembangan selanjutnya. Hingga saat ini,
tidak ada faktor risiko maternal sebagai predisposisi untuk terjadinya atresia
duodenum. Meskipun diketahui bahwa sepertiga pasien dengan atresia duodenum
memiliki sindrom down (trisomi 21), bukan berarti hal tersebut merupakan faktor
risiko independen untuk menyebabkan terjadinya atresia duodenum
PATOFISIOLOGI
Pada tingkat seluler, traktus digestivus berkembang dari embryonic gut, yang
tersusun atas epitel yang merupakan perkembangan dari endoderm yang dikelilingi
oleh sel yang berasal dari mesoderm. Hipotesis yang ada menyatakan bahwa
pensinyalan sel antara ke dua lapisan embrionik ini tampaknya berperan penting
dalam mengkoordinasikan pembentukan pola dan organogenesis dari duodenum
Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi endodermal yang
tidak adekuat dimana elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya. Hasil
penelitian lainnya juga menunjukan bahwa kegagalan perkembangan duodenum
juga bisa diakibatkan oleh kegagalan rekanalisasi epitel (kegagalan proses
vakuolisasi)
Banyak peneliti telah menunjukkan bahwa epitel duodenum berproliferasi
dalam usia kehamilan 30-60 hari lalu akan terhubung ke lumen duodenal secara
sempurna. Proses selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat duodenum
mengalami rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi melalui proses apoptosis
atau kematian sel terprogram, yang timbul selama perkembangan normal di antara
lumen duodenum. Kadang-kadang, atresia duodenum berkaitan dengan pankreas
anular (jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling duodenum). Hal ini
sepertinya lebih akibat gangguan perkembangan duodenal daripada suatu
perkembangan berlebih dari pancreatic buds.
Pada dasarnya, obstruksi duodenum dapat berupa sumbatan total, parsial, atau
tanpa mukosa diafragma. Diameter saluran yang terbuka dapat kecil sekali atau
besar (mendekati diameter lumen normal).
Obstruksi duodenum dapat disebabkan oleh faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik berupa tekanan dari luar duodenum. Beberapa penyebab paling umum
terjadinya obstruksi duodenum dibagi menjadi 2, yaitu faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik berupa tekanan dari luar duodenum, diperlihatkan pada tabel di bawah
ini :
MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala yang ada adalah akibat dari obstruksi intestinal letak tinggi.
Pada kondisi akut yaitu saat lahir, gejala yang ditunjukan berupa muntah dan
feeding problem. Seringkali bayi muntah bewarna hijau. Pada kasus atresia
duodenum, sebanyak 85 % bayi muntah dengan tanda biliosa, namun dapat pula
non-biliosa karena 15% kelainan ini terjadi di proksimal dari ampula vateri
Jarang sekali, bayi dengan stenosis duodenum melewati deteksi abnormalitas
saluran cerna dan tumbuh hingga anak-anak, atau lebih jarang lagi hingga dewasa
tanpa diketahui mengalami obstruksi parsial. Sebaiknya pada anak yang muntah
dengan tampilan biliosa harus dianggap mengalami obstruksi saluran cerna
proksimal hingga terbukti sebaliknya, dan harus segera dilakukan pemeriksaan
menyeluruh
Distensi abdominal tidak sering terjadi dan terbatas pada abdomen bagian atas.
Banyak bayi dengan atresia duodenal mempunyai abdomen scaphoid, sehingga
obstruksi intestinal tidak segera dicurigai. Kadang dapat dijumpai epigastrik yang
penuh akibat dari dilatasi lambung dan duodenum proksimal. Pengeluaran
mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan biasanya tidak terganggu. Dehidrasi,
penurunan berat badan, dan ketidakseimbangan elektrolit segera terjadi kecuali
kehilangan cairan dan elektrolit yang terjadi segera diganti. Jika hidrasi intravena
belum dimulai, maka timbulah alkalosis metabolik hipokalemi atau hipokloremi
dengan asiduria paradoksikal, sama seperti pada obstruksi gastrointestinal letak
tinggi lainnya. Tuba orogastrik pada bayi dengan suspek obstruksi duodenal khas
mengalirkan cairan berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah yang bermakna.
Jaundice terlihat pada 40 % pasien, dan diperkirakan karena peningkatan
resirkulasi enterohepatik dari bilirubin.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto polos abdomen pada atresia duodenum
Pada pemeriksaan foto polos abdomen bayi dalam keadaan posisi tegak akan
terlihat gambaran 2 bayangan gelembung udara (double bubble), adanya
gelembung udara di lambung dan duodenum proksimal dari tempat adanya
atresia. Bila 1 gelembung (single bubble) mungkin duodenum terisi penuh
cairan, terdapat atresia pylorus, atau membran prapilorik. Atresia pilorik sangat
jarang terdapat dan harus ditunjang muntah tidak hijau. Bila 2 gelembung
disertai gelembung udara kecil kecil di distal, mungkin stenosis duodenum,
diafgrama membran mukosa, atau malrotasi dengan atau tanpa volvulus.
DIAGNOSIS BANDING
Atresia duodenum dapat didiagnosis banding dengan beberapa kelainan, seperti
:
Duodenal Web
Pada pemeriksaan foto polos abdomen bayi dalam keadaan posisi tegak akan
terlihat gambaran 2 bayangan gelembung udara (double bubble), gelembung
lambung dan proksimal duodenum. Gelembung tersebut bisa disertai
gelembung udara kecil-kecil di distal. Pemeriksaan gastric and duodenal
radiography dengan kontras terlihat lambung, duodenum proksimal, dan
duodenum distal pada bagian yang obstruksi mengalami dilatasi. Kontras
terlihat terhenti pada bagian distal dan kontras terlihat di bagian distal obstruksi
(Windsock appearance)
Anular Pankreas
Deformitas anular (seperti cincin) pada bagian tengah duodenum descendens
kadang terlihat pada kasus annular pankreas, seperti putaran yang tidak
sempurna pada bagian ventral yang meninggalkan berkas untaian sel pankreas
atau hanya jejak cincin fibrotik. Defek kongenital ini sering ditemukan tidak
sengaja pada saat pembedahan. Pada foto polos abdomen anular pankreas,
tampak gambaran double bubble sign yang merupakan dilatasi lambung dan
duodenum proksimal dengan tanpa udara pada bagian distal. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan pencitraan seperti Multislice Computed Tomography
(MSCT), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Magnetic Resonance
Cholangiopancreatography (MRCP), atau Endoscopic Retrograde
Cholangiopancreatography (ERCP)
Midgut Volvulus
Midgut Volvulus adalah perputaran abnormal dari usus kecil ke arah arteri
mesenterica superior. Pada foto polos abdomen, tampak gambaran
double-bubble sign yang merupakan dilatasi lambung dan duodenum proksimal
dengan udara pada bagian distal. Pada USG tampak gambaran usus membelit
arteri dan vena mesenterika superior. Pada pemeriksaan
CT-abdomen ditemukan whirl sign. Pemeriksaan EGDR pada volvulus
ditemukan corkscrew sign.
TERAPI
Terapi yang dapat dilakukan pada atresia duodenum adalah pembedahan untuk
mengembalikan fungsi dari duodenum. Namun, sebelum dilakukan tindakan
pembedahan ada persiapan pra bedah yang harus dilakukan.
Persiapan pra bedah
Tindakan dekompresi dengan pemasangan sonde lambung (NGT) dan lakukan
pengisapan cairan dan udara. Tindakan ini untuk mencegah muntah dan
aspirasi. Resusitasi cairan dan elektrolit, koreksi asam basa, hiponatremia dan
hipokalemia perlu mendapat perhatian khusus. Pembedahan elektif pada pagi
hari berikutnya.
Pembedahan
Secara umum semua bentuk obstruksi duodenal indikasi untuk dilakukan
tindakan pembedahan. Atresia duodenal bersifat relatif emergensi dan harus
dikoreksi dengan tindakan pembedahan selama hari pertama setelah bayi lahir.
Prosedur operatif standar saat ini berupa duodenoduodenostomi melalui insisi
pada kuadran kanan atas, meskipun dengan perkembangan yang ada telah
dimungkinkan untuk melakukan koreksi atresia duodenum dengan cara yang
minimal invasi. Atau dapat dilakukan tindakan pembedahan anastomosis
duodenoyeyunostomi. Tidak dilakukan reseksi bagian atresia, karena dapat
terjadi pemotongan ampula vateri dan saluran wirsungi. Prosedur pembedahan
dimulai dengan insisi tranversal pada supra umbilikal abdominal, 2 cm di atas
umbilikus dengan cakupan mulai dari garis tengah sampai kuadran kanan atas.
Setelah membuka kavum abdominal, dilakukan inspeksi di dalamnya untuk
mencari kemungkinan adanya kelainan anomali lainnya. Untuk mendapatkan
gambaran lapang pandang yang baik pada pars superior duodenum, dengan
sangat hati-hati dilakukan penggeseran hati (liver) selanjutnya kolon asenden
dan fleksura coli dekstra disingkirkan dengan perlahan-lahan.
KOMPLIKASI
Dapat ditemukan kelainan kongenital lainnya. Mudah terjadi dehidrasi,
terutama bila tidak terpasang line intravena. Setelah pembedahan, dapat terjadi
komplikasi lanjut seperti pembengkakan duodenum (megaduodenum), gangguan
motilitas usus, atau refluks gastroesofageal. Di samping itu, perdarahan, gangguan
pernapasan, infeksi, hipotermia, output urine rendah, obstruksi usus, dan
komplikasi yang terkait dengan operasi besar sangat mungkin terjadi.
PROGNOSIS
Morbiditas dan mortalitas telah membaik secara bermakna selama
50 tahun terakhir. Dengan adanya kemajuan di bidang anestesi pediatrik,
neonatologi, dan teknik pembedahan, angka kesembuhannya telah meningkat
hingga 90%. Mortalitas umumnya berkaitan dengan kelainan anomali lain yang
dialami khususnya bayi dengan Trisomi 21 dan kelainan komplek jantung
(complex cardiac anomaly). Faktor lain yang turut mempengaruhi tingkat
mortalitas adalah prematuritas, BBLR (berat bayi lahir rendah), dan keterlambatan
diagnosis.
Kelainan Skrotum Pada Anak
I. Hidrokel
Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di antara lapisan
parietalis dan viseralis tunika vaginalis. Dalam keadaan normal, cairan yang berada di
dalam rongga itu memang ada dan berada dalam keseimbangan antara produksi dan
reabsorbsi oleh sistem limfatik di sekitarnya.
Etiologi
Hidrokel yang terjadi pada bayi baru lahir dapat disebabkan karena :
Klasifikasi
1. Hidrokel Kongenital :
terjadi karena adanya hubungan terbuka antara rongga abdomen sehingga cairan
dari rongga abdomen keluar dan terkumpul di antara lapisan parietal dan lapisan
viseral tunika vaginalis. Hal ini hampir selalu disertai dengan hernia inguinalis
indirek.
2. Hidrokel non komunikans :
terjadi karena adanya sejumlah cairan yang terjebak di dalam tunika vaginalis
sesaat sebelum menutupnya prosesus vaginalis
Gambaran Klinis
3. Menurut letak kantong hidrokel terhadap testis, secara klinis dibedakan beberapa
macam hidrokel yang berhubungan dengan metode operasi yang akan dilakukan
pada saat melakukan koreksi hidrokel, yaitu :
a. Hidrokel testis
Kantong hidrokel seolah-olah mengelilingi testis sehingga testis tidak dapat
diraba. Pada anamnesis, besarnya kantong hidrokel tidak berubah sepanjang
hari.
b. Hidrokel funikulus
c. Hidrokel komunikans
Terapi
Hidrokel pada bayi biasanya ditunggu hingga anak mencapai usia 1 tahun
dengan harapan setelah prosesus vaginalis menutup, hidrokel akan sembuh sendiri,
tetapi jika hidrokel masih tetap ada atau bertambah besar perlu dipikirkan untuk
dilakukan koreksi. Tindakan untuk mengatasi cairan hidrokel adalah dengan aspirasi
dan operasi. Aspirasi cairan hidrokel tidak dianjurkan karena selain angka
kekambuhannya tinggi, kadang kala dapat menimbulkan penyulit berupa infeksi.
2. indikasi kosmetik
3. hidrokel permagna yang dirasakan terlalu berat dan mengganggu pasien dalam
melakukan aktivitasnya sehari-hari
Penyulit
Jika dibiarkan, hidrokel yang cukup besar mudah mengalami trauma dan
hidrokel permagna bisa menekan pembuluh darah yang menuju ke testis sehingga
menimbulkan atrofi testis.
II. Torsio Testis
Torsio testis adalah suatu keadaan dimana funikulus spermatikus terpuntir
sedemikian rupa sehingga terjadi gangguan vaskulariasi dari testis dan struktur
jaringan di dalam skrotum. Keadaan ini diderita oleh 1 di antara 4000 pria yang
berumur kurang dari 25 tahun, dan paling banyak diderita oleh anak pada masa
pubertas (12-20 tahun). Di samping itu, tidak jarang janin yang masih berada di dalam
uterus atau bayi baru lahir menderita torsio testis yang tidak terdiagnosis sehingga
mengakibatkan kehilangan testis baik unilateral ataupun bilateral.
Faktor predisposisi
1. Kriptorchkismus
2. Hidrokel
3. Gubernakulum tidak terbentuk
4. Spasme kremaster
5. Posisi transversal pada skrotum
6. Mesorchium panjang dan sempit
7. Kecenderungan mesorchium melekat pada satu pole testis
8. Kurang menyatunya dinding skrotum dengan testis
9. Bell clapper deformity
Patofisiologi
Torsio testis terjadi akibat perkembangan abnormal dari funikulus
spermatikus atau selaput yang membungkus testis. Insersi abnormal yang
tinggi dari tunika vaginalis pada struktur funikulus akan mengakibatkan testis
dapat bergerak, sehingga testis kurang melekat pada tunika vaginalis viseralis.
Testis yang demikian mudah memuntir dan memutar funikulus spermatikus.
Secara fisiologis otot kremaster berfungsi menggerakkan testis mendekati dan
menjauhi rongga abdomen guna mempertahankan suhu ideal untuk testis. Adanya
kelainan sistem penyanggah testis menyebabkan testis dapat mengalami torsio jika
bergerak secara berlebihan. Beberapa keadaan yang menyebabkan pergerakan yang
berlebihan itu, antara lain adalah perubahan suhu yang mendadak (seperti pada saat
berenang), ketakutan, latihan yang berlebihan, batuk, celana yang terlalu ketat,
defekasi, atau trauma yang mengenai skrotum.
Jenis-jenis torsio testis :
1. Torsio testis ekstravaginalis (testis, epididimis, dan tunika vaginalis terpuntir pada
funikulus spermatikus) biasanya terjadi pada janin atau neonatus
2. Torsio testis intravaginalis, biasanya terjadi pada lelaki dewasa muda :
a. Testis dan epididimis terpuntir pada funikulus spermatikus (Bell Clapper)
b. Testis terpuntir pada mesorchium terhadap epididimis
Torsio testis intravaginalis lebih sering dari pada ekstravaginalis, dengan arah
putaran anteromedial (m. cremaster melekat pada bagian lateral testis). Pada awalnya
terjadi bendungan vena kemudian 3 – 4 jam terjadi penekanan/bendungan arteri
hingga terjadi nekrosis testis.
Pada masa janin dan neonatus lapisan parietal yang menempel pada muskulus
dartos masih belum banyak jaringan penyanggahnya sehingga testis, epididimis, dan
tunika vaginalis mudah sekali bergerak dan memungkinkan untuk terpuntir pada
sumbu funikulus spermatikus. Terpuntirnya testis pada keadaan ini disebut torsio
testis ekstravaginal.
Terjadinya torsio testis pada masa remaja banyak dikaitkan dengan kelainan
sistem penyanggah testis. Tunika vaginalis yang seharusnya mengelilingi sebagian
dari testis pada permukaan anterior dan lateral testis, pada kelainan ini tunika
mengelilingi seluruh permukaan testis sehingga mencegah insersi epididimis ke
dinding skrotum. Keadaan ini menyebabkan testis dan epididimis dengan mudahnya
bergerak di kantung tunika vaginalis dan menggantung pada funikulus spermatikus.
Kelainan ini dikenal sebagai anomali bellclapper. Keadaan ini akan memudahkan
testis mengalami torsio intravaginal.
Arah dari torsi testis (dilihat dari kaudal) yaitu :
Testis kanan : arah puntiran mengikuti atau searah dengan jarum jam
Diagnosis
Anamnesis :
1. Nyeri hebat tiba-tiba pada skrotum, nyeri dapat menjalar ke daerah inguinal atau
perut sebelah bawah. Pada bayi gejalanya tidak khas yakni gelisah, rewel, atau
tidak mau menyusui.
2. Testis yang bersangkutan dirasakan membesar.
3. Terjadi retraksi dari testis ke arah kranial, karena funikulus spermatikus terpuntir
jadi memendek
4. Mual dan muntah, kadang demam
Pemeriksaan Fisik :
1. Testis/skrotum bengkak/hiperemis
2. Deming’s sign (testis letak tinggi) dibandingkan sisi kontralateral
3. Angell’s sign (testis posisi melintang) dibandingkan sisi kontralateral
4. Testis umumnya sangat nyeri tekan dan elevasi tidak menghilangkan nyeri
seperti sering terjadi pada epididimis akut (Prehn’s sign, yaitu nyeri
tetap/meningkat saat mengangkat testis)
5. Kadang-kadang dapat diraba adanya lilitan/simpul atau penebalan funikulus
spermatikus.
6. Bila telah lama berlangsung maka testis menyatu dengan epididimis dan sukar
dipisahkan, keduanya membengkak, timbul effusion, hiperemia, edema kulit dan
subkutan
Pemeriksaan penunjang :
1. Pemeriksaan sedimen urin tidak menunjukkan adanya leukosit dalam urine
2. Pemeriksaan darah tidak menunjukkan tanda inflamasi, kecuali pada torsio testis
yang sudah lama dan telah mengalami peradangan steril.
3. Doppler dan sintigrafi testis (akurasi 90 – 100 %) untuk menilai adanya aliran
darah ke testis :
Torsio : avaskuler
Tumor : hipervaskuler
Trauma : vaskularisasi berkurang
Diagnosis banding
1. Epididimitis akut
Disebabkan oleh sejumlah organisme. Pada pria diatas usia 35 tahun, E. coli
merupakan penyebab terbanyak epididimitis. Pada pria di bawah usia 35 tahun,
Chlamydia trachomatis merupakan organisme terlazim pada penyebab penyakit
ini. Gambaran klinisnya yaitu pada stadium akut mungkin ada nyeri,
pembengkakan dan demam ringan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan skrotum
membesar, dapat ditemukan nyeri tekan pada funikulus spermatikus dan pada
palpasi menunjukan epididimis yang nyeri dan menebal. Elevasi ringan scrotum
cenderung membuat epididimistis kurang nyeri, tetapi perasat ini
mengeksaserbasi nyeri akibat torsi testis.
2. Orchitis
3. Hidrokel terinfeksi/trauma
4. Trauma testis
6. Tumor testis
7. Oedem skrotum
8. Varikokel
Penatalaksanaan
Tindakan untuk mengatasi torsio testis terdiri dari 2 cara yaitu : detorsi atau
reposisi manual dan eksplorasi atau dengan cara pembedahan.
1. Detorsi manual dapat dilakukan pada kasus-kasus yang dini (1 – 2 jam) atau
merupakan tindakan awal bagi pasien sebelum dibawa ke rumah sakit. Tindakan
ini dilakukan dengan mengingat arah torsi pada umumnya. Reduksi yang berhasil
akan memberikan pemulihan segera untuk aliran darah ke testis. Tindakan ini
tidak boleh dianggap sebagai pengobatan atau terapi definitif dan eksplorasi
gawat darurat harus tetap dilakukan pada kesempatan awal.
Prognosis
III. Orchitis
Definisi
Orchitis adalah suatu peradangan pada salah satu atau kedua testis (buah zakar).
Etiologi
Orchitis bisa disebabkan oleh sejumlah bakteri dan virus. Virus yang paling
sering menyebabkan orchitis adalah virus gondongan (mumps). Hampir 15-25% pria
yang menderita gondongan setelah masa pubertasnya akan menderita orchitis.
Orchitis juga ditemukan pada 2-20% pria yang menderita bruselosis. Orchitis sering
dihubungkan dengan infeksi prostat atau epididimis, serta merupakan manifestasi dari
penyakit menular seksual (misalnya gonore atau klamidia).
Faktor risiko
Diagnosis
a. Pembengkakan skrotum
b. Testis yang terkena terasa berat, membengkak dan teraba lunak
c. Pembengkakan selangkangan pada sisi testis yang terkena
d. Demam
e. Dari penis keluar nanah
f. Nyeri ketika berkemih (disuria)
g. Nyeri selangkangan
h. Nyeri testis, bisa terjadi ketika buang air besar atau mengedan
Penatalaksanaan
Jika penyebabnya adalah bakteri, diberikan antibiotik sedikitnya selama 7-14 hari.
Selain itu juga diberikan obat pereda nyeri dan anti peradangan.
Jika penyebabnya adalah virus, hanya diberikan obat pereda nyeri. Penderita
sebaiknya menjalani tirah baring, skrotumnya diangkat dan dikompres dengan air
es.
Pencegahan
Penyebab
Penyebabnya yang pasti tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang
menunjang terjadinya tumor testis :
a. Testis undesensus (testis yang tidak turun ke dalam skrotum)
b. Perkembangan testis yang abnormal
c. Sindroma Klinefelter (suatu kelainan kromosom seksual yang ditandai dengan
rendahnya kadar hormon pria, kemandulan, pembesaran payudara/ginekomastia
dan testis yang kecil).
d. Faktor lainnya yang kemungkinan menjadi penyebab dari tumor testis tetapi
masih dalam taraf penelitian adalah pemaparan bahan kimia tertentu dan infeksi
oleh HIV. Jika di dalam keluarga ada riwayat tumor testis, maka risikonya akan
meningkat.
Klasifikasi
Tumor testis dikelompokkan menjadi:
1. Seminoma : 30-40% dari semua jenis tumor testis. Biasanya ditemukan pada pria
berusia 30-40 tahun dan terbatas pada testis
2. Non-seminoma : merupakan 60% dari semua jenis tumor testis.Dibagi lagi
menjadi beberapa subkategori:
a. Karsinoma embrional : sekitar 20% dari kanker testis, terjadi pada usia 20-30
tahun dan sangat ganas. Pertumbuhannya sangat cepat dan menyebar ke
paru-paru dan hati.
b. Tumor yolk sac : sekitar 60% dari semua jenis kanker testis pada anak
laki-laki.
c. Teratoma : sekitar 7% dari kanker testis pada pria dewasa dan 40% pada anak
laki-laki.
d. Koriokarsinoma.
e. Tumor sel stroma : tumor yang terdiri dari sel-sel Leydig, sel Sertoli dan sel
granulosa. Tumor ini merupakan 3-4% dari seluruh jenis tumor testis. Tumor
bisa menghasilkan hormon estradiol, yang bisa menyebabkan salah satu
gejala kanker testis, yaitu ginekomastia.
Gejala
1. Testis membesar atau teraba aneh (tidak seperti biasanya)
2. Benjolan atau pembengkakan pada salah satu atau kedua testis
3. Nyeri tumpul di punggung atau perut bagian bawah
4. Ginekomastia
5. Rasa tidak nyaman/rasa nyeri di testis atau skrotum terasa berat.
6. Tetapi mungkin juga tidak ditemukan gejala sama sekali.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan lainnya yang biasa dilakukan:
1. USG skrotum
2. Pemeriksaan darah untuk petanda tumor AFP (alfa fetoprotein), HCG (human
chorionic gonadotrophin) dan LDH (lactic dehydrogenase).Hampir 85% kanker
non-seminoma menunjukkan peningkatan kadar AFP atau beta HCG.
3. Rontgen dada (untuk mengetahui penyebaran kanker ke paru-paru)
4. CT scan perut (untuk mengetahui penyebaran kanker ke organ perut)
5. Biopsi jaringan.
Penatalaksanaan
Pengobatan tergantung kepada jenis, stadium dan beratnya penyakit. Setelah
tumor ditemukan, langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan jenis sel
tumornya. Selanjutnya ditentukan stadiumnya:
1. Stadium I : tumor belum menyebar ke luar testis
2. Stadium II : tumor telah menyebar ke kelenjar getah bening di perut
3. Stadium III : tumor telah menyebar ke luar kelenjar getah bening, bisa sampai ke
hati atau paru-paru.
Ada 4 macam pengobatan yang bisa digunakan:
1. Pembedahan : pengangkatan testis (orkiektomi dan pengangkatan kelenjar getah
bening (limfadenektomi)
2. Terapi penyinaran : menggunakan sinar X dosis tinggi atau sinar energi tinggi
lainnya, seringkali dilakukan setelah limfadenektomi pada tumor
non-seminoma.Juga digunakan sebagai pengobatan utama pada seminoma,
terutama pada stadium awal.
3. Kemoterapi : digunakan obat-obatan (misalnya cisplastin, bleomycin dan
etoposid) untuk membunuh sel-sel kanker. Kemoterapi telah meningkatkan angka
harapan hidup penderita tumor non-seminoma.
4. Pencangkokan sumsum tulang : dilakukan jika kemoterapi telah menyebabkan
kerusakan pada sumsum tulang penderita.
Tumor Seminoma :
1. Stadium I diobati dengan orkiektomi dan penyinaran kelenjar getah bening perut
2. Stadium II diobati dengan orkiektomi, penyinaran kelenjar getah bening dan
kemoterapi dengan sisplastin
3. Stadium III diobati dengan orkiektomi dan kemoterapi multi-obat.
Tumor Non-Seminoma:
1. Stadium I : diobati dengan orkiektomi dan kemungkinan dilakukan
limfadenektomi perut
2. Stadium II : diobati dengan orkiektomi dan limfadenektomi perut, kemungkinan
diikuti dengan kemoterapi
3. Stadium III : diobati dengan kemoterapi dan orkiektomi.
Jika kankernya merupakan kekambuhan dari kanker testis sebelumnya, diberikan
kemoterapi beberapa obat (ifosfamide, cisplastin dan etoposid atau vinblastin).
V. Undesensus Testis
Definisi
Etiologi
A Androgen deficiency/blockade
Gonadal dysgenesis
B Mechanical anomalies
C Neurological anomalies
GFN/CGRP anomalies
D Aquired anomalies
Klasifikasi
2. Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang normal.
3. Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke dasar skrotum tetapi akibat refleks
kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke kanalis inguinalis, bukan
termasuk UDT yang sebenarnya.
Gliding testis atau sliding testis adalah istilah yang dipakai pada keadaan UDT dimana
testis dapat dimanipulasi hingga bagian atas skrotum, tetapi segera kembali begitu
tarikan dilepaskan. Gliding testis harus dibedakan dengan testis yang retraktil, gliding
testis terjadi akibat tidak adanya gubernaculum attachment, dan mempunyai
processus vaginalis yang lebar sehingga testis sangat mobile dan meningkatkan risiko
terjadinya torsi. Dengan melakukan overstrecht selama + 1 menit pada saat
pemeriksaan fisik (untuk melumpuhkan refleks cremaster), testis yang retraktil akan
menetap di dalam skrotum, sedangkan gliding testis akan tetap kembali ke kanalis
inguinalis.
Diagnosis
Anamnesis
Perlu juga digali riwayat perkembangan mental anak, dan pada anak yang
lebih besar bisa ditanyakan ada tidaknya gangguan penciuman (biasanya penderita
tidak menyadari). Riwayat keluarga tentang UDT, infertilitas, kelainan bawaan
genitalia, dan kematian neonatal.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan testis sebaiknya dilakukan pada posisi terlentang dengan ”frog leg
position” dan jongkok. Dengan 2 tangan yang hangat, menggunakan jelly atau sabun,
dimulai dari SIAS menyusuri kanalis inguinalis ke arah medial dan skrotum. Bila
teraba testis harus dicoba untuk diarahkan ke skrotum, dengan kombinasi ”menyapu”
dan ”menarik” terkadang testis dapat didorong ke dalam skrotum. Dengan
mempertahankan posisi testis di dalam skrotum selama 1 menit, otot-otot cremaster
diharapkan akan mengalami ”fatigue”; bila testis dapat bertahan di dalam skrotum,
menunjukkan testis yang retractile sedangkan pada UDT akan segera kembali begitu
testis dilepas. Tentukan lokasi, ukuran dan tekstur testis.
Testis yang atrofi atau vanishing testis dapat dijumpai pada jalur penurunan
yang normal. Kemungkinan etiologinya adalah iskemia masa neonatal akibat torsi.
Testis kontra lateralnya biasanya mengalami hipertrofi.
Berikut adalah berapa petanda klinis pada UDT bilateral tidak teraba testis yang dapat
dipakai pegangan untuk menentukan kemungkinan penyebab pada pemeriksaaan
fisik.
Mikro penis dengan atau tanpa Gangguan sintesis androgen partial atau
hipospadia Androgen insensitivity syndrome
Tabel 2. Interpretasi beberapa petanda klinis yang menyertai UDT bilateral tidak
teraba testis
Pemeriksaan Laboratorium
Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test adalah mengukur kadar
hormon testosteron pada keadaan basal dan 24-48 jam setelah stimulasi. Pada bayi,
respon normal setelah hCG test bervariasi antara 2-10x bahkan 20x. Pada masa
kanak-kanak, peningkatannya sekitar 5-10x. Sedangkan pada masa pubertas, dengan
meningkatnya kadar testosteron basal, maka peningkatan setelah stimulasi hCG hanya
sekitar 2-3x.
Pemeriksaan Pencitraan
USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama di daerah inguinal, di
mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan dengan tangan. CT scan dan MRI
mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan USG terutama diperuntukkan
testis intraabdomen (tak teraba testis dan tidak dapat dideteksi dengan USG). MRI
mempunyai sensitifitas yang lebih baik untuk digunakan pada anak-anak yang lebih
besar (belasan tahun). MRI juga dapat mendeteksi kecurigaan keganasan testis. Baik
USG, CT scan maupun MRI tidak dapat dipakai untuk mendeteksi vanishing testis
ataupun anorchia.
Terapi
Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah memperkecil
risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan reposisi testis ke dalam
skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara
pembedahan (orchiopexy).
1. Terapi Hormonal
2. Terapi Pembedahan
Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus UDT
adalah orchiopexy. Mengingat 75 % kasus UDT akan mengalami penurunan testis
spontan sampai umur 1 tahun, maka pembedahan biasanya dilakukan setelah
umur 1 tahun. Pertimbangan lain adalah setelah 1 tahun akan terjadi perubahan
morfologis degeneratif testis yang dapat meningkatkan risiko infertilitas.
Keberhasilan orchyopexy berkisar 67-100 % bergantung pada umur penderita,
ukuran testis, contralateral testis, dan keterampilan ahli bedah.
Komplikasi
1. Risiko Keganasan
2. Infertilitas
A. INVAGINASI (INTUSUSEPSI)
1. Pendahuluan
Invaginasi atau intususepsi adalah suatu keadaan gawat darurat akut di
dalam ilmu bedah,dimana suatu segmen usus masuk kedalam lumen usus
bagian distalnya sehingga menimbulkan gejala obstruksi kemudian
strangulasi usus.
Perjalanan penyakit ini bersifat progesif sampai dilakukan tindakan
pengobatan atau terjadinya kematian. faktor waktu dari mulai kejadian
penyakit sampai penanganannya memegang peran penting terhadap prognosa
penyakit ini.
Dapat menegakkan diagnose dini sangat diperlukan walaupun
kadang-kadang tidak selalu mudah, karena pada jam pertama perjalanan
penyakit tidak semua gejala dapat di temukan. Untuk Negara yang sedang
berkembang dengan masih tingginya angka kejadian penyakit gastroenteritis
dengan gejala utama muntah dan diare yang sering di sertai berak lendir
berdarah maka invaginasi tidak jarang di diagnosakan sebagai penyakit
dysentri kemudian di obati sebagai penyakit itu, sehingga kehilangan waktu
satu hari atau dua hari yang sangat berharga. setelah penyakit bertambah parah
dengan komplikasi dengan komplikasi dehidrasi, obstruksi usus yang lanjut,
toksis, kehilangan darah , panas, perut kembung, aspirasi cairan muntah, serta
keadaan umum yang buruk baru teringat dengan penyakit invaginasi.
Masih tingginya angka kematian maupun angka reseksi usus pada
penyakit invaginasi di berbagai senter bedah di Indonesia membuktikan
bahwa perlu di tingkatkan pengenalan dini terhadap penyakit ini. Salah satu
tujuan karangan ini adalah untuk hal demikian.
2. Kejadian
Invaginasi atau intususepsi dapat terjadi pada setiap umur, insidens
puncak pada umur 4-9 bulan, laporan beberapa penulis menyebutkan hampir
70% terjadi pada umur di bawah 1 tahun, anak laki-laki lebih sering dari
wanita.
3. Penyebab
Menurut kepustakaan 90-95 % invaginasi pada anak di bawah umur 1
tahun tidak di jumpai kelainan bedah yang jelas sehingga di golongkan
sebagai “infantile idiopathic intussusceptions
Pada waktu operasi hanya di temukan penebalan dinding ileum terminal
berupa hyperplasia jaringan folikel submucosa yang di duga sebagai akibat
infeksi virus. Penebalan ini merupakan titik permulaan invaginasi.
Pada penderita yang lebih besar (lebih dari 2 tahun) dapat dijumpai
kelainan usus sebagai penyebab invaginasi seperti divertikel meckel, polip
usus, leiomioma, leoisarcoma, hemangioma, blue rubber blep nevi. invaginasi
dapat pula terjadi sesudah laparatomi, biasanya timbul dalam 2 minggu pasca
bedah, terjadi akibat gangguan peristaltic usus karena manipulasi usus yang
kasar dan lama, diseksi retroperitoneal yang luas, hipoksia lokal.
5. Gambaran Klinik
Secara klasik perjalanan penyakit invaginasi memperlihatkan
gambaran sebagai berikut : anak atau bayi yang semula sehat dan biasanya
dengan keadaan gizi yang baik, tiba-tiba menangis karena kesakitan, terlihat
kedua belah kakinya terangkat keatas penderita tampak seperti kejang dan
pucat menahan sakit, serangan nyeri perut seperti ini berlangsung dalam
beberapa menit, diluar serangan anak/bayi kelihatan seperti normal kembal.
Pada waktu itu sudah terjadi proses invaginasi di dalam perutnya, setelah
serangan nyeri perut tersebut datang berulang-ulang dengan jarak di antara
dua serangan biasanya berkisar 15- 20 menit. pada umumnya selama serangan
nyeri perut itu di ikuti dengan muntah berisi cairan dan makanan yang ada di
lambung, sesudah berapa kali serangan dan setiapnya memerlukan tenaga,
maka di luar serangan penderita terlihat lemah dan lesu dan tertidur sampai
datang serangan kembali. proses invaginasi pada permulaannya belum
menyumbat pasase isi usus secara total, anak masih dapat defekasi berupa
feses biasa, kemudian feses bercampur lendir tanpa feses. Karena sumbatan
belum total perut belum gembung dan tidak tegang, dengan demikian, mudah
teraba gumpalan usus yang terlibat invaginasi sebagai suatu massa tumor
berbentuk lonjong di bagian perut kanan bawah hati, kadang- kadang teraba
pada epiggastrium atau perut sebelah kiri, tumor lebih mudah teraba pada
waktu terdapat peristaltis, sedangkan pada perut bagian bawah teraba seperti
kosong yang di sebut “dance sign”, gejala ini akibat caecum dan kolon
ascenden naik ke atas, ikut dengan proses invaginasi. pembuluh darah
mensenterium dari bagian usus yang masuk (invaginatum) terjepit akan
mengganggu venous return sehingga terjadi kongestif, oedema, hiperfungsi
sel goblet, serta laserasi mukosa usus, maka akan terlihat berak berlendir
darah, gejala ini baru di temukan setelah 6-8 jam sejak ada serangan sakit
yang pertama, kadang- kadang sesudah 12 jam. Jumlah berak berlendir darah,
ini bervariasi dari kasus perkasus, malah kadang-kadang hanya di temukan
pada waktu pemeriksaan colok dubur saja. Pada waktu 12-24 jam sejak
serangan sakit, usus yang tadinya tersumbat partial berubah jadi sumbatan
total, oedema yang semakin bertambah sehingga pasien dengan tanda- tanda
obstruksi, seperti perut membuncit dengan gambaran peristaltik usus,
muntah hijau, dehidrasi, saat ini adanya tumor sulit/tidak dapat di raba lagi
karena perut sudah membuncit, defekasi hanya terdiri dari lendir, darah
tanpa massa feses.
Apabila keadaan ini di biarkan berlanjut muntah akan berupa cairan
fekal, panas badan, timbul asidosis, tosis dan pembuluh darah yang terjepit
tadinya hanya vena sekarang arteri juga akan terganggu alirannya sehinga
timbul nekrose usus, gangrene, perforasi, peritonitis umum, shock dan
meninggal.
Pemeriksaan colok dubur (rectal toucher ) :
Tonus sphincter melemah, mungkin invaginat dapat diraba berupa massa
seperti portio
Bila jari di tarik,keluar darah bercampur lendir.
Perlu di perhatikan bahwa untuk penderita malnutrition gejal-gejala
invaginasi tidak khas, tanda- tanda obstruksi usus berhari-hari baru timbul
pada penderita
Ini tidak jelas terdapat tanda adanya sakit berat, defekasi tidak ada
darah. Invaginat dapt prolaps melewati anus. Hal ini mungkin di sebabkan
pada pasien malnutrition tonus otot yang melemah, sehingga obstruksi tidak
cepat timbul.
6. Diagnosa Dini
Gejala klinik yang menonjol dari invaginasi adalah suatu trias gejala
yang terdiri dari :
Nyeri perut yang bersifat serangan
Muntah
Berak lendir berdarah
Adapula yang menyebutkan bahwa trias gejala tersebut adalah :
Nyeri perut yang bersifat serangan
Teraba massa tumor di perut
Berak lendir berdarah
Bila penderita terlambat memeriksakan diri, maka sukar untuk meraba
adanya tumor, oleh sebab itu untuk kepentingan diagnosa dini harus berpegang
kepada trias : nyeri perut yang bersifat serangan teraba massa tumor di perut
dan berak lendir berdarah. Mengingat invaginasi sering terjadi pada anak yang
berumur di bawah 1 tahun, sedangkan penyakit disentri umumnya terjadi pada
anak yang sudah mulai berjalan dan bermain sendiri maka apabila ada pasien
datang berumur di bawah 1 tahun sakit perut yang bersifat kolik sehingga orang
tuanya menceritakan anaknya rewel sepanjang hari/malam, ada muntah,
beraknya lendir bercampur darah, maka pikirkanlah dahulu invaginasi, jangan
di pikirkan diare karena disentri. carilah gejala- gejala lain yang menyokong
kearah invaginasi.
7. Pemeriksaan Radiologik
Foto polos abdomen :
Didaptkan distribusi udara dalam usus tidak merata. Usus terdesak ke
kiri atas. Bila telah lanjut terlihat tanda-tanda obstruksi usus dengan gambaran
“air – fluid levels”.
Barium enema :
Ba enema dikerjakan untuk diagnosis terapi. Untuk diagnosis
dikerjakan, bila tanda-tanda klinik invaginasi meragukan. Pada ba enema akan
tampak cuping, cuil spring appereance.
Ba enema untuk terapi :
Reposisi dengan tekanan hidrostatik. Enema barium dilakukan bila tanda-tanda
obstruksi usus belum jelas secara klini maupun pada foto abdomen, jari perut
bayi belum gembung, belum ada febris, belu ada tanda-tanda dehidrasi, ada
yang berpegang bahwa kejadian invaginasi belum melewati 24 jam pertama,
apabila terdapat tanda obstruksi usus kemungkinan berhasil reposisi ba enema
kecil dan bahaya perforasi pada bagian usus yang telah nekrosis. Reposisi
disebutkan berhasil apabila setelah “rektaltube” ditarik dari anus maka barium
keluar dengan disertasi massa veses dan udara, pada pluroscop terlihat barium
mengisi seluruh kolom dan sebagian usus halus, jadi ada reflux kedalam ileum,
hilangnya massa di abdomen, perbaikan secara klinis pada anak, serta norit test
potif.
8. Pengobatan
a. Memperbaiki Keadaan Umum
Tindakan ini sangat menentukan prognosa, janganlah melakukan
tindakan operasi sebelum lebih dahulu keadaan pasien di perbaiki. Pasien
baru boleh di operasi apabila sudah yakin bahwa perpusi jaringan telah
baik. Operasi baru boleh dilakukan apabila produksi urine sekitar 0,5 – 1
cc/Kg bb/jam, nadi kurang dari 120 x/mnt, pernapasan tidak melebihi 40
x/mnt, acral yang tadinya dingin dan lembab telah berubah jadi hangat dan
kering, turgor kulit mulai membaik, kesadaran sudah membaik,
temperature badan tidak melebihi 38oC. Biasanya perpusi jaringan akan
baik apabila setengah hari perhitungan dehydrasi telah masuk. Sisanya
dapat diberikan sambil operasi berjalan dan pasca operasi. Yang dilakukan
dalam usaha memperbaiki keadaan umum adalah : pemberian cairan dan
elektrolit dehydrasi, mengatasi asidosis, tindakan dekompresi abdomen
dengan pemasangan sounde lambung dan penghisapan cairannya,
pemberian anti biotika, pemberian sedativa/muscle relaxan. Suatu
kesalahan besar apabila buru-buru melakukan operasi karena takut usus
nekrosis padahal perpusi jaringan masih buruk. Harus di ingat bahwa obat
anestesi dan strees operasi akan memperberat keadaan umum pasien serta
perpusi jaringan yang belum baik akan menyebabkan bertumpuknya di
jaringan metabolit yang harus di buang lewat ginjal dan pernapasan, begitu
pula perpusi jaringan yang belum baik mengakibatkan oksigenasi akan
buruk pula. Bila dipaksakan kelainan-kelainan itu akan menjadi
irreversible.
1. Atresia ESOFAGUS
kecurigaan akan penyakit ini dimulai dari ibu yang melahirkan bayinya
mempunyai poly-hydranion. Bayi tersebut terlihat hipersalivasi yaitu keluarnya air
ludah dan gelembung-gelembung udara dari mulut serta hidung, setelah
dibersihkan sebagaimana dikerjakan secara rutin layaknya seolang bayi yang baru
lahir, 5 menit kemudian kembali terlihat air ludah dan gelembung-gelembung
udara pada mulut dan hidung.
Untuk bayi yang demikian harus segera dipasang pipa dari hidung ke lambung
yang mempunyai garis biru dan bersifat radio opaque. Pipa lambung tersebut akan
tertahan setelah masuk sekitar 10-12 cm, dan bila didorong akan keluar lagi
ujungnya pada mulut bayi. sampai disini kecurigaan adanya atresia esofagus sudah
bertambah besar. langkah selanjutnya membuat foto polos torako abdominal posisi
anterior posterior. Dari hasil foto yang sederhana ini akan jelas terlihat pipa dari
hidung ke lambung tersebut akan melengkung keatas setinggi Th 2.
Sampai disini dagnosis sudah dapat ditegakkan adanya atresia esofagus, tidak
perlu dimasukan kontras kedalam pipa sebab mengandung risiko tumpahnya
kontras itu kedalam paru-paru, walaupun ada beberapa ahli yang suka
memasukkan kontras sebanyak 2-3 cc saja setelah diketahui adanya atresia
esofagus segera diisap kembali. Untuk mengetahui apakah yang dihadapi atresia
esofagus dengan fistula esofago-trakeal dan segmen esofagus yang distal dapat
dengan mudah dilihat apabila lambung dan usus neonatus berisi udara (didapati
sekitar 85% kasus). Apabila lambung dan usus tidak mengandung udara artinya
tidak ada fistula dari esofagus distal kedalam trachea (sekitar 5% kasus).
Tindakan :
Untuk neonatus yang demikian, terutama yang mempunyai fistula
esofago-traheal harus segera dibuat gastrotomi cukup dengan anestesi guna
mencegah terjadi refluk cairan lambung yang bersifat asam kedalam trahea dan
paru-paru yang dapat membawa komplikasi berat berupa bronko-pnemoni yang
sangat mempengaruhi prognosis ke arah buruk sampai kematian. Apabila tidak ada
fistula esofago-traheal dari esofagus distal gastrostomi tidak perlu dilakukan
secara emergensi.
Untuk semua jenis atresia esofagus perlu dipasang pipa dari hidung sampai
ujung buntu esofagus proksimal (sekitar 10-12 cm dari hidung) dan diisap-isap
setiap 10 menit untuk mencegah masuknya air ludah kedalam trahea walaupun
keadaan ini tidak sebesar bahaya masuknya cairan lambung ke trahea.
Apabila kasus diatas terdapat di rumah sakit yang dapat menangani torakotomi
pada neonatus dan tersedia alat pernapasan buatan (respirator) serta dokter bedah
dan dokter anestesi sudah berpengalaman melakukan operasi torakotomi pada
neonatus pasien dapat dipersiapkan untuk torakotomi dengan tujuan memotong
fistula efsofago-traheal diteruskan dengan anastomose kedua segmen esofagus,
dianjurkan dengan pendekatan ekstra plural.
Bila kasus tersebut berada di rumah sakit yang tidak tersedia fasilitas tersebut
diatas harus segera dikirim ke pusat elayanan yang lebih tinggi dengan posisi
setengah duduk dan pemberian oksigen selama dalam perjalanan ditambah
pemasangan infus dan pemberian antibiotika profilaksis.
Sebetulnya kasus atresia esofagus dapat diketahui beberapa menit setelah lahir
apabila terhadap semua bayiyang lahir secara rutin dipasang pipa dari hidung
kelambung terutama bayi-bayi yang lahir dari ibu dengan polihidramion.
Seharusnya dipastikan bayi tersebut terbebas dari atresia esofagus. Kewajiban
seluruh jajaran kesehatan terutama mereka yang menolong persalinan untuk secara
rutin memasang pipa hidung kedalam lambung terhadap semua bayi yang baru
lahir sebagaimana mereka memasukan ujung termometer kedalam dubur untuk
mengetahui ada tidaknya malformasi anorektal. Apalagi kalau menghadapi
perslainan dari ibu dengan polihidramion. Keteledoran tidak memasang pipa
hidung ke lambung merupakan kesalahan besar.
2. Atresia duodenum
Kecurigaan adanya kelainan ini apabila seorang nonatus muntah berwarna
hijau dengan perut gembung didaerah epigastrium, lahir dari seorang ibu dengan
polihidramion (tidak semua begitu). Terhadap bayi yang demikian perlu segera
dibuat foto-foto polos abdomen sekalian dengan torak. Akan terlihat 2 gelembung
udara (double bubble sign). Sampai disini diagnosis atresia duodenum sudah dapat
ditegakan.
Tindakan :
Dipasang pipa hidung kelambung paling kurang tube nomor 8F untuk
dekompresi lambung guna mencegah muntah dan aspirasi cairan muntah kedalam
paru-paru serta mengurangi kegembungan perut yang berpengaruh terhadap
pernafasan. Dipasang infus, pemberian antibiotika, kalau perlu pemberian O2.
Operasi tidak perlu, emergensi dapat dipersiapkan secara efektif satu hari
kemudian. Teknik operasi untuk mengatasi duodenum yang buntu, boleh dengan
tknik duodeno-duodenostomi, atau jejenumm-duodenostomi.
3. Atresia Ileum
Kecurigaan terhadap kelainan ini apabila neonatus mengeluarkan mekonium
yang tidak normal artinya mekonium itu tidak berwarna hijau tua, tidak lengket,
jumlahnya sedikit, kemudian disartai perut neonatus menjadi gembung kedepan,
kemudian diikuti oleh muntah yang berwarna hijau, lebih lanjut muntah (NGT)
berwarna seperti fesess. Bila dibuat foto polos abdomen posisi tegak akan jelas
terlihat gambaran cairan berbatas udara (air flujid levels) beberapa buah. Dengan
keadaan ini diagnosis atresia ileum dapat ditegakan.
Tindakan :
Harus segera dipasang pipa hidung kelambung (NGT) ukuran paling kurang
nomor 8F, dipasang infus untuk rehidrasi, pemberian antibiotika, pemberian
oksisgen. Tindkaan ini untuk memperbaiki keadaan umum guna mencapai keadaan
optimal supaya dapat dilakukan operasi. Dianjurkan waktu perbaikan jangan
melebihi waktu 6 jam, sebab kita berhadapan dengan bahaya nekrose usus karena
bertambah gembung dan ancaman sepsis disebabkan obstruksi usus yang
melibatkan ileum jejenum sampai kelambung. Operasi bersifat emergensi. Durante
operasionum biasanya akan ditemukan ujung usus bagian proksimal yang sangat
berdilatasi sedangkan sebagiandistal yang kecil. Reseksilah ujung proksimal yang
sangat berlatasi itu karena bagian itu tidak sempurna perdarahan maupun
persarafannya. Bagian distal yang kecil disuntik dengan cairan garam fisiologis
untuk mengecek patensi dari lumenya sampai ke anus. Sesudah itu dilakukan
anastomose end to end dengan berbagai teknik yang sudah diketahui. Apabila
dokter bedah belum banyak pengalaman melakukan anastomose ini cukup dibuat
ileostomi (enterostomi) saja dari kedua ujung yang buntu, kemudian segmen yang
distal disepul untuk mengaktifkannya sehingga menjadi lebih besar. Setelah 6
bulan atau 1 tahun dimana anak sudah lebih besar baru dilakukan operasi ulang
untuk menyambung usus yang buntu tersebut.
Pemberian makanan per-oral sebaiknya ditunda sampai 1 minggu dan dimulai
dengan clear liquid, menunggu usus distal yang kecil itu berkembang dahulu bila
dilakukan anastomose primer.
4. Atresia Jejenum
Kecurigaan terhadap kelainan ini apabila perut anak gembung kedepan,
permulaan pada daerah diatas pusat terapi dengan cepat terlihat gembung seluruh
perut. Bayi muntah berwarna hijau kemudian berubah warnanya seperti feses.
Perlu dibuat foto polos abdomen yang akan memperlihatkan beberapa gelembung
udara biasanya paling kurang 3 buah.
Tindakan :
Segera dipasang pipa hidung kelambung (NGT) paling kurang no 8F untuk
dekompresi lambung. Diperbaiki ketidak seimbangan cairan dan elektrolit,
pemberian antibiotika. Bila keadaan umum sudah optimal segera dilakukan operasi
karena bayi terancam sepsis dan nekrose usus.
Durante operasionum akan didapatkan bagian usus yang proksimal ujungnya
akan berdilatasi sedangkan sebagian distal kecil. Buanglah ujung yang berdilatasi
itu, suntikan cairan fisiologis kebagian distal yang mengecil untuk mengetahuidan
memastikan tidak terdapat atresia dibagian distal sampai ke anus. Setelah itu
usahakan melakukan anastomose primer antara kedua ujung yang buntu tersebut,
tidak dianjurkan untuk melakukan enterostomi dalam keadaan begini sebab ada
bahaya high output (pengeluaran cairan yang berlebih) disebabkan usus yang
berfungsi terlalu pendek. Pemberian makanan melalui mulut ditunda sampai 1
minggu atau lebih menunggu usus bagian distal yang kecil itu berkembang dahulu
dan mulailah dengan pemberian clear iquid.
7. Malformasi Anorektal
Dahulu sering disebut atresia ani tetapi sebetulnya istilah itu kurang tepat
terutama untuk letak tinggi. Malformasi anorektal dapat dibagi atas letak tinggi
(rektal atresia) dan letak rendah (anal atresia). Setiap menghadapi kelainan ini
perlu dicari kelainan lain yang suka menyertai malformasi anorektal, apalagi
dengan letak tinggi. Kelainan yang suka menyertai dapat disingkat dengan kata :
VACTERL (kelainan vertebra berupa hemivatebra, atresia saluran cerna, kelainan
cor atau jantung, kelainan trakea, kelainan esofagus, kelainan renatau ginjal dan
kelainan limph atau alat gerak), jadi setiap mendapatkan malformasi anorektal
harus mencari kelainan yang menyertai tersebut diatas ada atau tidak ada kelainan
tersebut.
Mengenai malformasi anorektal sendiri perlu dibedakan apakah letak tinggi
atau letak rendah dengan melihat tanda-tanda pada anal dimple, adanya pulsasi
pada tempat itu, dilanjutkan dengan pemeriksaan Rontgen posisi invertogram atau
posisi knee-chest maupun dengan pemeriksaan USG yang sekarang banyak
dikembangkan. Perlu diingatkan bahwa pemeriksaan Rontgen umumnya memakai
kontras udara yang sudah sampai pada ujung kolon (biasanya setelah 18 jam anak
lahir). Selain pemeriksaaan diatas dapat juga dipakai letak muara fistula kalau ada.
Demikian juga anak laki-laki kebanyakan letak tinggi sedangkan anak perempuan
letak rendah.
Tindakan :
Letak rendah dilakukan tindakan langsung anoplasti.
Letak tinggi dilakukan kolostomi pendahuluan dapat pada kolom sigmoid
yang umum dipakai tetapi banyak juga yang melakukan kolostomi pada kolon
transversum berdasarkan rencana operasi definitif untuk anoplasti 6 bulan atau 1
tahun kemudian.
Perlu diingatkan malformasi anorektal tanpa fisula tindakan operasi jangan
dikerjakan melebihi 36 jam umur neonatus sebab setelah lewat waktu itu dapat
terjadi bermacam-macam komplikasi seperti gangguan elektrolit, nekrose usus
karena sangat berdilatasi, sepsis atau muntah yang dapat menyebabkan ganggunan
paru-paru. Lakukanlah tindakan sesuai dengan letak ujung kolon yang buntu,
jangan sekali-kali melakukan tindakan operasi karena dikira letak rendah
padahalyang dihadapi adalah letak tinggi sebab keadaan itu akan merusak otot-otot
yang perlu mengatur defikasi, kalau ragu-ragu sebaiknya dibuat kolostomi saja.
Dengan dasar ini para pakar tidak setuju memakai istilah letak intermediate.
8. Morbus Hirschsprung
Kecurigaan terhadap penyakit ini apabila seorang neonatus atau bayt yang
anusnya normal tetapi pasien mengeluh kelainan buang air besar mungkin terjadi
hari-hari pertama setelah lahir dengan ditandai terlambatnya mekonium keluar
melebihi 24 jam setelah lahir. Dapat juga garrgguan tersebut diketahui setelah bayi
berumur 1 minggu atau lebih, perut pasien terlihat gembung terutama kesamping
seperti perut kodok kemudian disertai oleh muntah. Pasien seperti itu sebaiknya
langsung diperiksa dengan sinar Rontgen berupa foto abdomen anterio posterior,
akan terlihat pembesaran atau dilatasi kolon terutama yang kiri. Sebaiknya
dilanjutkan dengan barium enema. Dari kedua foto Rontgen ini sudah dapat
menduga penyakit Hirschsprun!. Setelah itu dilakukan pemeriksaan colok dubur,
akan terasa jan kelingking kita dicepit oleh dinding rektum dan kita tidak meraba
dilatasi dari ampula rekti, bagi yang telah berpengalaman pemeriksaan ini dapat
memberi keyakinan kepadanya akan adanya penyakit Hirschsprung , setelah jari
ditarik dari rektum atan terjadi penyemprotan feses disertai udara (apabila Morbus
Hirschsprung itu bukan jenis long segmen). Apabila fasilitas biopsi hisap tidak
ada, sampai disini sudah dapat ditegakkan diagnosis Morbus Hirschsprung dan
dapat dilakukan tindakan kolostomi setelah keadaan umum penderita diperbaiki
lebih dahulu dengan cara memasang pipa hidung ke lambung (NGT), dekompresi
kolon dengan colok dubur atau wash out memakai cairan garam fisiologis hangat,
tidak boleh memakai air biasa yang hangat (bahaya water intoksikasi). Kalau
kolostomi telah dikerlakan baik pada kolon sigmoid maupun pada kolon
transversum, bayi sudah dapat hidup dengan aman. Terapi definitif selanjutnya
dapat dilakukan 6 bulan atau setahun kemudian, ini sangat tergantung kepada
keadaan peralatan dan perawatan yang tersedia, bahkan ada pusatpusat bedah anak
yang melakukan operasi definitif pada umur 3 bulan bahkan ada yang melakukan
operasi definitif dengan laparoskopi. Pada dasarnya yang penting setelah operasi
definitif pasien dapat hidup seperti orang normal dan mengatur buang air besarnya
secara normal.
9. Omphalocele
Menegakkan diagnosis penyakit ini sangat mudah, akan terlihat suatu kantong
didaerah pusat yang ditutupi oleh selaput yang terdiri dari lapisan peritoneum dan
lapisan amnion, didalamnya terlihat usus. Diameter dasar dari kantong tersebut
bervariasi, apabila diameternya lebih besar 3-5 cm disebut omphalocele besar bila
kecil dari itu disebut omphalocele kecil. Kalau yang didapatkan omphalocele besar
sebaiknya dijaga keutuhan dinding kantong agar tidak pecah, kalaupun pecah
sedikit dijahit saja kemudian pasien dirawat secara konservatif dengan mengolesi
seluruh dinding kantong menr*l''ai poividon iodine setelah itu ditaburi bubuk
antibiotika (seperti bubuk nebacitin, sulfanilamidc dlli kemudian ditutup kasa steril
dan dirawat secara kering. Dengan cara lni usus yang berada didalam kantong
dalam beberapa hari umumnya akan masuk kedalam rongga peritoneum karena
rongga peritoneum akan berkembang dan akan dapat menampung alat dalaman
perut Yang berada didalam kantong.
Tindakan konservatif tersebut diatas harus dihentikanapabila terdapat
tanda-tanda obstruksi usus, terdapat tanda-tanda infeksi berat pada dinding
kantong atau kantong pecah dan tidak dapat drlahit kembali. Kalau melakukan
tindakan operasi harus dihindari Jangan sampai tekanan intra abdomen menjadi
tinggi yang ditandai dengan gangguan Pernafasan Pada baYi.
10. Gastroskizis
Menegakkan diagnosis penyakit ini sangat mudah yaitu akan terlihat usus
berada diluar rongga perut tidak ditutupi oleh dinding kantong, usus keluar dari
sebuah Jobang disebelah kalan umbilikus. Biasanya usus yang diluar itu tebal
pendek ditutupi oleh fibrin. umumnya terdapat Ladd bands yang mengakibatkan
obstruksi usus bagian atas. Dalam melakukan pengobatan Ladd bands ini harus
dilepaskan. umumnya usus yang diluar itu karena tebal tidak muat dimasukkan
kedalam fongga perut, untuk mengatasinya dapat ditempuh cara melakukan
dekompresi baik dari lambung dengan memakai pipa lambung dan melalui anus
dilakukan wash out dengan garam fisiologi hangat. usus yang berada diluar dicuci
dengan povidon iodine encer dimasukkan kedalam rongga perut kemudian
ditutupkan hanya kulit saja agar tidak terjadi peninggian tekanan rongga perut.
Dalam prosedur operasi kelainan ini harus dijaga sekali neonatus tersebut jangan
sampai kedinginan biasanya terjadi daerah operasi dan badan bayi menjadi basah
oleh cairan yang dipakai untuk membersihkan usus yang berada diluar. Pakailah
alat pemanas bayi dari bawah atau dari atas. Bila bayi sudah kedinginan selama
operasi prognosis menjadi buruk.
D. Necrolizing Enterocolitis ( N E C )
Penyakit ini biasanya mengenai neonatus yang dalam riwayatnya pernah
mengalami hipoksia.
Tersering menimpa neonatus yang premature di sebabkan ganguan pernafasan
atau fungsi paru-paru yang belum sempurna, juga bisa terdapat pada neonatus
dengan persalinan sulit, seperti lilitan tali pusat, fetal distress, bisa juga bayi
sungsang yang lama baru bisa lahir.
Bayi-bayi yang menderita NEC ini permulaan diare saja, kemudian
berubah diare berdarah, perut jadi gembung.
Kalau diketahui bayi yang menderita NEC dalam tingkat awal , oral feeding
perlu di hentikan guna mengistirahatkan saluran cerna yang menderita sakit (
ada inflamasi), cairan dan elektrolit diberikan melalui infuse, juga parenteral
feeding untuk memenuhi asupan protein dan vitamin.
Kasus N E C itu pada dasarnya adalah kasus medis, pembedahan dilakukan
kalau ada komplikasi seperti perforasi usus, atau proses N E C telah mengenai
seluruh lapisan usus yang di tandai adanya loop usus menetap. Pembedahan
dilakukan sebaiknya sebelum timbul perforasi, segmen usus yang telah mengalami
necrose diexteriorisasi dengan membuat stoma usus, dapat di buat beberapa
stoma untuk mencegah terlalu banyak usus yang di buang, dihindari anastomose
usus.karena akan sering bocor lagi.
Selain pemberian cairan dan elektrolit dan parenteral feeding yang lain perlu
di berikan antibiotika untuk gram positip, gram negative dan bakteri anaerob.
Semua perlakuan ini minimal untuk 2 minggu.
Kalo sudah timbul ferporasi usu prognasol jadi sangat buruk dan umumnya
akan berakhir dengan kematian
Perlu diketahui pemberian makanan padat yang terlalu dini dapat
menimbulkan N E C.