Vous êtes sur la page 1sur 15

ANTIHISTAMIN DALAM DERMATOLOGI

Akbar Rizky Wicaksana, S.Ked


Bagian Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang
2017

PENDAHULUAN
Histamin (β-imidazolylethylamine) adalah zat dalam tubuh yang dibentuk
dari asam amino histidin melalui proses enzimatik histidin dekarboksilase.
Histamin merupakan mediator utama yang berperan terhadap tejadinya reaksi
alergi, reaksi inflamasi, sekresi asam lambung, neurotransmiter dan modulator.
Histamin mempunyai pengaruh terhadap proses fisiologik maupun patologik,
sehingga diperlukan obat yang bekerja antagonis terhadap histamin yaitu
antihistamin (AH).1
Antihistamin adalah inverse agonists yang berikatan secara reversibel dan
mengaktifkan bentuk inaktif reseptor histamin. Antihistamin digunakan secara
luas oleh ahli dermatologi terutama untuk mengobati urtikaria, angioedema dan
pruritus.1 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yuin-Chew Chan pada
tahun 2006, sebesar 86% dokter spesialis penyakit kulit dan kelamin di Asia
Tenggara selalu memberikan antihistamin oral untuk tatalaksana dermatitis
atopik.2 Urtikaria dan angioedema merupakan kelainan kulit yang sering
ditemukan dan AH masih merupakan obat pilihan utama.3
Pemberian AH diperlukan untuk mengurangi gejala pruritus sehingga
memperbaiki kualitas hidup pasien dan menjaga agar kelainan kulit tidak
bertambah berat. Berbagai penelitian terhadap AH oral memberikan hasil
bervariasi dalam mengurangi rasa gatal terutama karena adanya variasi reseptor
histamin dengan fungsi dan ekspresi yang berbeda-beda.1 Oleh karena itu, referat
ini akan membahas tentang cara kerja, farmakokinetik, farmakodinamik, indikasi,
kontraindikasi, cara pemberian, efek samping, dan interaksi dengan obat lain.

1
DEFINISI
Antihistamin adalah inverse agonists yang berikatan secara reversibel dan
mengaktifkan bentuk inaktif reseptor histamin.1 Antihistamin merupakan agen
yang melawan kerja histamin, biasanya dengan cara menghambat kerja reseptor
histamin.4

KLASIFIKASI
Antihistamin digolongkan menjadi tiga kategori yaitu antihistamin
penghambat reseptor H1 (AH1), antihistamin penghambat reseptor H2 (AH2) dan
antihistamin penghambat reseptor H3 (AH3).1 Reseptor histamin yang banyak
terekspresi di tubuh adalah reseptor H1 dan H2. Reseptor H1 ditemukan di
neuron, otot polos, epitel, endotel, dan beberapa tipe sel lainnya. Reseptor H2
berada pada sel parietal mukosa gaster, otot polos, epitel, endotel, jantung, dan
sel-sel lainnya. Oleh karena itu AH1 merupakan AH yang terbanyak digunakan,
menyusul AH2. Dalam bidang dermatologi AH3 tidak digunakan karena ekspresi
reseptornya lebih terbatas.1,5

ANTIHISTAMIN H1
Antihistamin H1 berikatan dengan reseptor inaktif H1 sehingga
menstabilkan dan mempertahankan keadaan inaktif. Kerja AH1 akan menurunkan
produksi sitokin pro-inflamasi, ekspresi molekul adhesi, kemotaksis eosinofil dan
pelepasan mediator dari sel mast dan basofil melalui inhibisi kanal ion kalsium.
Antihistamin H1 dibagi menjadi dua golongan, yaitu AH1 generasi pertama dan
generasi kedua. Antihistamin H1 generasi pertama dibagi mejadi enam kelompok
berdasarkan struktur kimianya yaitu: etilendiamin, etanolamin, alkilamin,
fenotiazin, piperazin dan piperidin.1,6 Antihistamin H1 generasi kedua berikatan
non kompetitif dengan reseptor H1. Oleh karena AH1 generasi kedua memiliki
selektivitas tinggi dan sifat yang kurang lipofilik maka AH1 generasi kedua
memiliki efek sedasi yang jauh lebih rendah dan keamanan yang berbeda
dibandingkan dengan obat generasi pertama.5

2
Gambar 1. Struktur Kimia Antihistamin H112

Mekanisme Aksi
Antihistamin H1 merupakan inverse agonist yang secara reversibel
mengikat dan menstabilkan bentuk inaktif reseptor histamin, sehingga tetap pada
bentuk inaktif. Aktivasi reseptor H1 yang terdapat di endotel, sel otot polos dan
ujung-ujung saraf, biasanya menyebabkan peningkatan hidrolisis fosfoinositol dan
peningkatan kadar kalsium intrasel. AH1 menurunkan produksi sitokin
proinflamasi, ekspresi molekul adhesi sel dan kemotaksis eosinofil. Antihistamin
H1 juga mengurangi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil melalui inhibisi
kanal ion kalsium. Selain bekerja sebagai antihistamin, AH1 generasi pertama
dapat bekerja pada reseptor muskarinik, α-adrenergik dan reseptor serotonin serta
kanal ion di otot jantung (Gambar 1.). Beberapa efek samping serius
berhubungan dengan AH1 generasi pertama, misalnya retensi urin, hipotensi,
aritmia jantung. Terdapatnya cincin aromatik atau heterosiklik multipel dan alkyl
substituents meningkatkan lipofilik sehingga dapat menembus sawar darah otak.5,7

3
Beberapa AH1 generasi kedua merupakan derivat AH1 generasi pertama,
misalnya setirizin merupakan metabolit hidroksizin. Antihistamin H1 generasi
kedua berikatan non kompetitif dengan reseptor H1. Beberapa AH1 sedatif rendah
bekerja melalui modulasi pelepasan mediator inflamasi dan ekspresi molekul
adhesi. Pemberian setirizin menurunkan influks eosinofil setelah pajanan terhadap
alergen. Antihistamin H1 dapat memodulasi molekul adhesi selular, misalnya
molekul adhesi interseluler antigen-induced pada keratinosit, sel langerhans, dan

endotelium serta mempengaruhi pelepasan mediator inflamasi dari leukosit.5

Gambar 2. Mekanisme kerja histamin H111

Farmakokinetik
Setelah pemberian oral atau parenteral, antihistamin H1 (AH1) diabsorbsi
secara baik. Pemberian AH1 secara oral efeknya timbul 15-30 menit dan
maksimal setelah 1-2 jam, mencapai konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2
jam. Pemberian oral antihistamin H1 biasanya diberikan dengan dosis terbagi
pada interval 4-8 jam. Pemberian topikal untuk kulit bisa digunakan tetapi
efektivitasnya berkurang dan sering dikaitkan dengan terjadinya reaksi kontak tipe
lambat (delayed contact reaction). Ikatan dengan protein plasma kisaran antara
78-99%. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal,

4
otak, otot, dan kulit kadarnya lebih rendah. Sebagian besar AH1 dimetabolisme
melalui hepatic microsomal mixed-function oxygenase system, tetapi dapat juga
melalui paru-paru dan ginjal. Waktu paruh AH1 sangat bervariasi. Misalnya pada
orang dewasa, pemberian per-oral dosis tunggal bromfeniramin, klorfeniramin,
dan hidroksizin memiliki waktu paruh lebih dari 20 jam. Sebelum dieksresi
melalui urin, AH1 dimetabolisme oleh sitokrom hepatik P450 (CYP) dan enzim
3A4 membentuk glukoronida.5,8,9
Secara umum obat AH1 generasi kedua mencapai konsentrasi lebih tinggi
di kulit dibandingkan obat generasi pertama, dan pemberian dosis tunggal dapat
menekan reaksi urtika dan eritema selama 1 sampai 24 jam. Penggunaan reguler
memperpanjang efek ini, misalnya penggunaan setirizin setiap hari selama 6 hari
menyebabkan supresi respon urtika dan eritema. Terfenadin, astemizol, loratadin,
akrivastin, mizolastin, ebastin, dan oxatomid dimetabolisir di hati melalui enzim
hepatik CYP 3A4. Setirizin, fexofenadin, levocetirizin, dan desloratadin
mengalami metabolisme hepatik minimal sehingga mengurangi kemungkinan
interaksi dengan obat lain.5,8
Pada orang dewasa sehat, setirizin mencapai konsentrasi puncak kisaran 1
jam setelah pemberian, dengan eliminasi waktu paruh kisaran 8 jam. Dosis lebih
rendah digunakan pada pasien gangguan fungsi ginjal atau hati. Fexofenadin
umumnya mencapai konsentrasi puncak 2 sampai 3 jam setelah pemberian,
dengan eliminasi waktu paruh 14 jam. Penyesuaian dosis direkomendasikan pada
pasien dengan penurunan klirens kreatinin termasuk orang tua, namun pasien
dengan penyakit hati tidak memerlukan penyesuaian dosis karena fexofenadin
hampir tidak mengalami metabolisme hepatik. Waktu paruh loratadin kisaran 8
sampai 24 jam bergantung fungsi hepar. Farmakogenetik dapat juga
mempengaruhi metabolisme dan klirens obat. Pada beberapa penelitian
farmakokinetik obat ini, kisaran 20% orang ras Afrika Amerika mengalami
metabolisme desloratadin yang lambat.5

5
Indikasi
Antihistamin H1 merupakan terapi lini pertama pada pengobatan urtikaria
idiopatik kronik dan urtikaria fisik serta bermanfaat untuk terapi penyakit lain
dengan gambaran utama pruritus yang diinduksi histamin, terapi pruritus dengan
berbagai etiologi (Tabel 1). Antihistamin H1 secara khusus efektif untuk terapi
urtikaria fisik, dermatografisme dan urtikaria idiopatik kronik. Antihistamin H1
tidak efektif untuk terapi sindrom angioedema akuisita dan herediter serta
urtikaria vaskulitis. Pada beberapa penelitian acak, dengan kontrol plasebo atau
paralel, AH1 generasi kedua terfenadin, astemizol, setirizin, loratadin,
fexofenadin, desloratadin, akrivastin, mizolastin, azelastin, ebastin, dan oxatomid
lebih unggul dibandingkan plasebo untuk terapi urtikaria dan angioedema.5
Antihistamin H1, generasi pertama dan kedua digunakan untuk terapi
pruritus pada pasien dermatitis atopik, namun efikasinya belum dibuktikan
melalui uji klinik yang tepat. Penelitian tentang pegobatan awal selama 18 bulan
terhadap anak dengan atopi, melaporkan setirizin bermanfaat sebagai steroid-
sparing pada anak dengan dermatitis atopik berat, namun tidak selalu bermanfaat
pada anak dengan dermatitis atopik derajat sedang.5
Antihistamin H1 juga bermanfaat untuk mengobati pruritus yang
berhubungan dengan kondisi lain seperti dermatitis kontak alergi dan dermatitis
eksematosa lain, liken planus, mastositosis sistemik, gigitan nyamuk, dan pruritus
sekunder akibat penyakit medis yang mendasari atau pruritus idiopatik. Pada
kondisi ini, AH1 generasi pertama lebih bermanfaat karena efek sedatifnya karena
menyebabkan pasien dapat tidur lebih nyaman. 5,8

Tabel 1. Indikasi Dermatologik Terapi Antihistamin H1


Indikasi AH1 dalam dermatologi
 Urtikaria akut
 Urtikaria idiopatik kronik
 Urtikaria fisik dan dermatografisme
 Dermatitis atopik
 Mastositosis sistemik

6
Dosis dan Sediaan
Terdapat perbedaan dosis dalam penggunaan AH1 antara dewasa dan anak-
anak. Regimen dosis AH1 (Tabel 2).5

Tabel 2. Regimen Dosis Antihistamin H11


Nama Obat Formulasi Dosis Kondisi yang
memerlukan
penyesuaian dosis
AH1 Generasi Pertama
Klorpeniramin 2,4, 8, 12 mg tablet Dewasa: 3-4x4 mg/hari Gangguan fungsi
Sirup 2mg/5ml Usia 6-11 th: 2 mg tiap 4-6 hati
jam
Siproheptadin Tablet 4 mg Dewasa: 3-4x4 mg/hari Gangguan Fungsi
Sirup 2 mg/5 ml Usia 7-14 th: 2-3x4 mg/hari hati
Usia 2-6 th: 2-3x2 mg/hari
Difenhidramin Tablet 25, 50 mg Dewasa: 25-50 mg tiap 4-6 Gangguan fungsi
Sirup 12,5 mg/5 ml jam hati
Sirup 50 mg/5 ml Usia 6-12 th: 12,5-25 mg
Sirup 6,25, 12,5 mg/5 tiap 4-6 jam
ml Usia <6 th: 6,25-12,5 mg
tiap 4-6 jam.
Hidroksizin Tablet 10, 25, 50, Usia >6 th: 25-50 mg tiap Gangguan fungsi
100 mg 6-8 jam/sebelum tidur hati
Sirup 10 mg/5 ml malam tiap hari
Usia <6 th: 25-50 mg/hari
Tripelennamin Tablet 25, 50, 100 Dewasa: 25-50 mg tiap 4-6 Gangguan fungsi
mg jam hati
AH1 Generasi Kedua
Akrivastin Tablet 8 mg Dewasa: 3x8 mg/ hari Gangguan fungsi
ginjal
Azelastin Tablet 2 mg Dewasa: 2x2-4 mg/hari Gangguan fungsi
Usia 6-12 th: 2x1-2 mg/hari ginjal dan hati
2x2 spray/nostril/hari
0,1% nasal spray
Setirizin Tablet 5, 10 mg Usia >6 th: 5-10 mg/hari Gangguan fungsi
Sirup 5 mg/ml 2-6 th: 5 mg/hari ginjal dan hati
6 bl-2 th: 2,5 mg/hari
Desloratadin Tablet 2,5-5 mg >12 th: 5 mg/hari Gangguan fungsi
Sirup 5 mg/ml 6-12 th: 2,5 mg/hari ginjal dan hati
1-6 th: 1,25 mg/hari
6 bl-12 bl: 1 mg/hari
Ebastin Tablet 10 mg >12 th: 10-20 mg/hari Gangguan fungsi
6-12 th: 5 mg/hari ginjal
2-5 th: 2,5 mg/hari
Fexofenadin Tablet 30, 60, 120, >12 th: 60 mg 1-2x/hari, Gangguan fungsi
180 mg 120-180 mg/hari ginjal
6-12 th: 30 mg 1-2x/hari
Levocetirizin Tablet 5 mg >6 th: 5 mg/hari Gangguan fungsi
ginjal dan hati
Loratadin Tablet 10 mg >6 th: 10 mg/hari Gangguan fungsi
Suspensi 5 mg/ml 2-9 th: 5 mg/hari ginjal dan hati
Mizolastin Tablet 10 mg Dewasa: 10 mg/hari Gangguan fungsi
hati

7
Inisiasi Terapi
Dosis efektif yang lebih baik dipilih berdasarkan dosis terendah dengan
efek samping minimal, misalnya efek sedasi. Setelah beberapa hari terapi, dosis
dapat ditingkatkan. Terkadang peningkatan dosis secara bertahap dapat
menyebabkan toleransi terhadap sedasi sehingga dosis lebih tinggi dapat
digunakan untuk terapi pada kondisi tertentu, misalnya urtikaria kronik refrakter.
Pemberian obat secara oral bersama makanan dapat mengurangi keluhan
gastrointestinal, namun pasien disarankan untuk menghindari penggunaan
fexofenadin bersamaan dengan antasida karena dapat mempengaruhi absorbsi
obat. Individu dengan penyakit penyerta, misalnya penyakit hati dan ginjal
memerlukan dosis yang lebih rendah oleh karena gangguan metabolisme obat ini.5

Monitoring Monitoring
Penghentian terapi dievaluasi berdasarkan observasi dari tanda dan gejala
klinis, contohnya keparahan pruritus, jumlah lesi, ukuran dan frekuensi. Pada
sebagian besar kasus, toksisitas obat tidak memerlukan pengawasan khusus.
Beberapa individu dengan kelainan metabolisme atau penyakit komorbit lain
harus dipantau dengan ketat. Penggunaan siproheptadin pernah dilaporkan
memiliki efek toksisitas terhadap hati sehingga beberapa sumber menyarankan
untuk dilakukan evaluasi enzim transaminase hati secara berkala.5

Efek Samping
Antihistamin H1 generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang
signifikan. Efek samping dari AH1 dapat dilihat pada Tabel 3. Generasi pertama
lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata.
Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi
pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibandingkan generasi kedua.
Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein
plasma, sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak. Efek sedasi lebih
menonjol pada kelompok yang menggunakan etanolamin serta fenotiazin dan
lebih sedikit pada kelompok yang menggunakan alkilamin.10 Efek sedasi dapat

8
berkurang setelah beberapa hari penggunaan AH1 secara terus menerus akibat
dari efek adiktif. Penggunaan AH1 berhubungan dengan peningkatan insiden
kecelakaan kerja dan kecelakaan saat berkendara. Efek SSP lain meliputi pusing,
tinitus, gangguan koordinasi, tidak mampu berkonsentrasi, pandangan kabur, dan
diplopia. Efek SSP yang distimulasi terutama oleh kelompok alkilamin meliputi
gelisah, iritabilitas, insomnia dan tremor.5,8,10
Kejadian reaksi kutan setelah pemberian oral AH1 jarang terjadi. Reaksi
yang dilaporkan meliputi dermatitis eksematosa, dermatitis kontak alergi,
urtikaria, petekiae, fixed drug eruptions, dan fotosensitivitas. Beberapa reaksi ini
mungkin akibat sekunder dari excipients in the drug.5 Oleh karena selektivitas
terhadap reseptor H1 perifer cukup rendah, maka AH1 generasi pertama memiliki
efek samping sedatif maupun kolinergik yang biasanya lebih menonjol daripada
obat AH1 generasi kedua. Pada Kelompok AH1 generasi kedua, sedasi paling
sering dilaporkan pada pasien yang menggunakan setirizin dan akrivastin.
Walaupun efek sedasi jauh lebih rendah, hidroksizin, sertirizin menyebabkan
sedasi pada kisaran 10% sampai 15% pengguna obat. Efek ini bergantung dosis
dan biasanya dapat dikurangi dengan penyesuaian dosis. Penggunaan akrivastin
dilaporkan 15% sampai 35% menyebabkan somnolen. Berbeda dengan
penggunaan fexofenidin, loratadin, dan desloratadin menyebabkan sedasi yang
tidak begitu berarti.5

Tabel 3. Efek Samping Antihistamin H1 5,10


Efek samping AH1 Generasi Pertama
 Alergi : Fotosensitivitas, syok anafilaksis, ruam, dan dermatitis
 Kardiovaskuler : Hipotensi postural, palpitasi, refleks takikardia, trombosis vena pada
sisi injeksi (IV prometazin), mencegah terjadinyavasodilatasi
 SSP : Mengantuk, sedasi, pusing, gangguan koordinasi, lelah, bingung,
reaksi extrapiramidal bisa saja terjadi pada dosis tinggi
 Gastrointestinal : Epigastric distress, anoreksia, rasa pahit (nasal spray)
 Genitourinari : Disuria, retensi urin
 Respiratori : Dada sesak, wheezing, mulut kering, epistaksis dan nasal burning

Efek samping AH1 Generasi Kedua


 Alergi : Fotosensitivitas, syok anafilaksis, ruam, dan dermatitis
 Sistem Saraf Pusat : Mengantuk, sakit kepala, lelah, sedasi ringan
 Respiratori : Mulut kering, batuk kering
 Gastrointestinal : Mual, muntah, abdominal distress (cetrizin, fexofenadin)

9
Interaksi Obat
Antihistamin H1 dapat berinteraksi dengan golongan obat lain yang
dimetabolisme oleh sistem sitokrom P450 di hati, seperti obat antijamur imidazol,
simetidin, antibiotik golongan makrolid. Pemberian AH1 kontraindikasi pada
pasien yang sedang dalam pengobatan dengan golongan monoamine oxidase
inhibitors. Efek sedasi lebih menonjol pada pemberian AH1 bila dikombinasikan
dengan antidepresan seperti benzodiazepin, sedangkan interaksi ini tidak
ditemukan pada pemberian kombinasi dengan AH1 generasi kedua.1

ANTIHISTAMIN H2
Terdapat bukti terbaru bahwa reseptor H2 diekspresikan pada sel mast dan
dendritik dermal. Melalui ikatan dengan reseptor ini, AH2 dapat memediasi
permeabilitas vaskuler kulit, pelepasan lokal mediator inflamasi dan cellular
recruitment, serta presentasi antigen.4,5.

Gambar 3. Struktur Kimia Antihistamin H212

Mekanisme Aksi
Antihistamin H2 serupa dengan AH1, yaitu inverse agonist yang berikatan
secara reversibel dan menstabilkan bentuk inaktif reseptor H2 yang berada di
seluruh tubuh, meliputi sel epitel dan endotel sehingga AH2 dapat memediasi
permeabilitas vaskuler kulit, pelepasan lokal mediator inflamasi dan cellular
recruitment, serta presentasi antigen.4,5.

10
Farmakokinetik
Antihistamin H2 diabsorbsi cepat di traktus gastrointestinal dengan kadar
puncak terjadi pada kisaran 1 sampai 2 jam setelah pemberian. Obat ini
mengalami metabolisme hepatik dengan klirens di ginjal. Hanya sebagian kecil
simetidin yang diabsorbsi di lambung, sebagian besar diabsorbsi di usus halus.
Waktu paruh simetidin dalam plasma adalah 2 jam. Kisaran 69% diekskresikan di
urin. Pada orang dewasa sehat, waktu paruh ranitidin dalam plasma adalah 2
sampai 3 jam, lebih lama pada individu dengan gangguan ginjal, hati dan orang
lanjut usia. Obat dan metabolitnya terutama diekskresi di urin. Waktu paruh
famotidin dalam plasma adalah 3 sampai 8 jam. Pada pasien gagal ginjal, waktu
paruh dapat lebih dari 20 jam. Waktu paruh nizatidin dalam plasma adalah 1
sampai 2 jam dan lama kerja lebih dari 10 jam. Nizatidin terutama dieliminasi
melalui ginjal dalam waktu 16 jam. Bioavailabilitas nizatidin peroral tidak
dipengaruhi makanan. Obat ini relatif lipofilik dengan penetrasi terbatas pada
sawar darah otak.5,8

Indikasi
Dalam dermatologi, AH2 umumnya digunakan bersama dengan AH1 dan
biasanya diberikan setelah dengan terapi AH1 saja tidak berhasil.7 Terdapat
beberapa data penelitian terkontrol yang mendukung penggunaan AH2 untuk
terapi dermatologi (Tabel 4).5 Obat ini lebih sering digunakan sebagai tambahan
AH1 pada kasus urtikaria kronik dan angioderma.9 Pada penelitian cross-
sectional, ukuran, jumlah dan keparahan urtika lebih banyak berkurang pada
penggunaan kombinasi hidroksizin dan simetidin dibandingkan dengan
hidroksizin tunggal. Tetapi kombinasi AH1 dan AH2 juga mengurangi pruritus
dan urtika yang berhubungan dengan mastositosis sistemik dan urtikaria
pigmentosa. Penelitian cross-sectional terhadap klorfeniramin dan simetidin
menunjukan bahwa kombinasi tersebut efektif mengurangi pruritus dan urtika.

11
Tabel 4. Indikasi Dermatologik Terapi Antihistamin H2
Indikasi AH2 Dalam Dermatologi
 Reaksi alergi akut
 Urtikaria kronik
 Urtikaria pigmentosa dan mestositosis sistemik
 Pruritus yang berhubungan dengan kondisi lain

Dosis dan Sediaan


Ada perbedaan dosis dalam penggunaan antihistamin H2 antara dewasa
dan anak-anak. Regimen dosis untuk AH2.5

Tabel 5. Regimen Dosis Antihistamin H25


Nama Obat Sediaan Dosis Kondisi.yang memerlukan
penyesuaian dosis
Simetidin Tablet 100, 200, 300, Dewasa:2x400-800 Gangguan fungsi ginjal dan
400, 800 mg mg/hari hati.
Sirup 300 mg/5 ml
Sirup 200 mg/20ml
Ranitidin Tablet 75, 150, 300 mg Dewasa: 2x75-150 Gangguan fungsi ginjal
Sirup 15 mg/5ml mg/hari
Anak: 5-10 mg/kg/hari
Granul 150 mg terbagi dalam 2 dosis
Famotidin Tablet 10,20, 40 mg Dewasa: 2x20-50 mg/hari Gangguan fungsi ginjal
Sirup 40 mg/5 ml Usia1-16 th: 1 mg/kb/hari
Nizatidin Kapsul 150, 300 mg Usia diatas 12 th: 1-2 x Gangguan fungsi ginjal
Sirup 15 mg/5 mg 150 mg/hari

Inisiasi Terapi
Pada umumnya penggunaan AH2 dapat dimulai tanpa melakukan
pemeriksaan laboratorium. Inhibisi pada sistem CYP di hati oleh obat ini dan
interaksi antar obat merupakan perhatian utama sebelum memulai terapi. Oleh
karena itu diperlukan pencatatan dan penjabaran obat-obat yang digunakan oleh
individu. Ranitidin tidak terlalu mempengaruhi sistem CYP di hati dibandingkan
simetidin. Pasien dengan penurunan creatinin clearance harus mendapatkan dosis
penyesuaian.5

Monitoring Terapi
Penghentian terapi dievaluasi berdasarkan observasi dari tanda dan gejala
klinis, contohnya keparahan pruritus, jumlah lesi, ukuran dan frekuensi.
Sedangkan toksisitas obat tidak memerlukan pengawasan khusus diluar dari

12
evaluasi efek samping yang biasa dilakukan pada sebagian besar kasus. Pada
pasien dengan riwayat trombositopenia, pemeriksaan darah lengkap mungkin
dibutuhkan ketika inisiasi terapi AH2, karena trombositopenia telah dilaporkan
sebagai efek idiosinkratik dari obat ini pada beberapa individu.5

Efek Samping
Antihistamin H2 juga memiliki efek samping (Tabel 6). Efek samping ini
tampaknya berhubungan dengan pemakaian dosis. Antihistamin H2 dapat
memfasilitasi infeksi oral dan meningkatkan risiko pneumonia pada individu
dengan daya tahan tubuh rendah, termasuk pasien diabetes, lanjut usia, dan
imunodefisiensi. Hal ini dikarenakan supresinya terhadap sekresi asam lambung.
Obat ini dapat menutupi gejala kanker lambung.5
Ranitidin dan simetidin menghambat aktivitas dehidrogenase alkohol,
sehingga menyebabkan peningkatan kadar alkohol dalam darah. Efek samping
simetidin yang jarang terjadi, meliputi ginekomastia dengan atau tanpa
peningkatan kadar prolaktin pada pria, galaktore dengan peningkatan kadar
prolaktin pada wanita dan hilangnya libido, impotensi serta penurunan jumlah
sperma pada pria muda. Dilaporkan peningkatan moderat kadar kreatinin serum
dan transaminase hepatik, peningkatan ini bersifat reversibel setelah penggunaan
obat dihentikan. Dilaporkan pula efek samping dermatologis yang jarang, yaitu
alopesia dan urtikaria vaskulitis. Ranitidin tidak berikatan dengan reseptor
androgen dan tidak meningkatkan Cell Mediated Immune Responses (CMI).
Ranitidin dapat mempengaruhi kontrol otonom fisiologis sistem kardiovaskuler
melalui perubahan fungsi kontrol parasimpatis dan simpatis. Famotidin dan
nizatidin berhubugan dengan sedikit efek samping, obat ini juga sedikit
menghambat sistem CYP sehingga lebih sedikit terlibat dalam interaksi obat.5

Tabel 6. Efek samping Antihistamin H2 5,12


Efek Samping AH2
 Gangguan sistem saraf pusat
o Kebingungan
o Sakit kepala
o Pusing
o Mengantuk

13
 Efek gastrointestinal
o Mual dan muntah
o Diare atau konstipasi
o Nyeri perut
o Peningkatan transaminase dan hepatitis (jarang)
 Ginekomastia
 Peningkatan kerentanan terjadinya pneumonia
 Hematologi (jarang)
o Trombositopenia
o Anemia
 Efek jantung (dengan pemberian bersama dofetilide, sehingga merupakan kontraindikasi)

Interaksi Obat
Simetidin menghambat sitokrom P450 sehingga menurunkan aktivitas
enzim mikrosom hati, jadi obat lain yang merupakan substrat enzim tersebut akan
terakumilasi bila diberikan bersama simetidin. Obat yang metabolismenya
dipengaruhi simetidin adalah warfarin, fenitoin, kafein, teofilin, fenobarbital,
karbamazepin, diazepam, propanolol, metoprolol, dan imipramin. Pada
penggunaan simetidin bersama dengan warfarin dapat meningkatkan protrombin
time sehingga akan mengakibatkan risiko perdarahan.5,6
Ranitidin lebih jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan
simetidin, tetapi makin banyak obat dilaporkan berinteraksi dengan ranitidin yaitu
nifedipin, warfarin, teofilin, dan metoprolol. Selain penghambatan terhadap
sitokrom P450 diduga ada mekanisme lain yang berperan dalam interaksi obat.
Ranitidin dapat menghambat absorpsi diazepam dan mengurangi kadar plasmanya
sejumlah 25%.5,6

KESIMPULAN
Antihistamin adalah inverse agonists yang berikatan secara reversibel dan
mengaktifkan bentuk inaktif reseptor histamin. Untuk mengurangi atau
menghambat efek histamin terhadap tubuh maka digunakan antihistamin.
Terdapat dua jenis antihistamin yang tersedia dalam penggunaan klinis,
yaitu AH1 dan AH2. Antihistamin H1 generasi pertama bersifat lipofilik dan
dapat menimbulkan efek sedasi sedangkan antihistamin H1 generasi kedua lebih
selektif terhadap reseptor H1 dan menyebabkan efek sistem saraf pusat yang

14
minimal. Antihistamin H1 generasi kedua lebih disarankan penggunaannya
walaupun harus tetap digunakan sesuai dengan indikasi.
Antihistamin H1 merupakan terapi lini pertama pada pengobatan urtikaria
idiopatik kronik dan urtikaria fisik serta bermanfaat untuk terapi penyakit lain
dengan gambaran utama pruritus yang diinduksi histamin. Dalam dermatologi,
AH2 umumnya digunakan bersama dengan AH1 dan biasanya diberikan setelah
dengan terapi AH1 saja tidak berhasil.
Antihistamin sering digunakan oleh ahli dermatologi untuk mengobati
kelainan kronik maupun rekuren. Dengan demikian dokter harus teliti dengan
pemakaian antihistamin dan efek samping potensial pada kelompok-kelompok
antihistamin yang berbeda untuk keperluan klinis sehingga dapat menggunakan
antihistamin dengan baik.

15

Vous aimerez peut-être aussi