Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Karya Akhir
Oleh:
Mahrany Graciella Bumbungan, dr
NIM: 011181505
Karya Akhir
Oleh:
Mahrany Graciella Bumbungan, dr
Pembimbing:
Endang Retnowati, dr., MS., Sp.PK (K)
Dr. Wahjoe Djatisoesanto, dr., Sp.U
KARYA AKHIR
Konsultan Statistika :
Dr. Windhu Purnomo dr., MS
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat, kemurahan, dan
perkenaanNya saya dapat menyelesaikan karya akhir yang berjudul “Korelasi antara
kadar Tissue Polypeptide Specific Antigen Serum dan Volume Prostat pada
Penderita BPH”. Karya akhir ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan
Program Pendidikan Dokter Spesialis I Patologi Klinik di Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Surabaya.
2. Direktur RSUD Dr. Soetomo yang telah memberi ijin untuk menggunakan fasilitas
rumah sakit dalam rangka melaksanakan tugas selama pendidikan spesialis ini.
4. Dr. Puspa Wardhani, dr., Sp.PK, sebagai Ketua Program Studi Patologi Klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan Dr.
Sidarti Soehita, dr., MS, Sp.PK(K), selama menjabat sebagai Ketua Program
Studi Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr.
Soetomo Surabaya atas pengarahan serta bimbingannya selama saya menempuh
pendidikan.
5. Dr. Hartono Kahar, dr., Sp.PK, MQIH, sebagai Kepala Instalasi Patologi Klinik
RSUD Dr. Soetomo Surabaya, yang telah memperkenankan saya belajar dan
bekerja di Instalasi Patologi Klinik RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
iv
6. Prof. SP Edijanto, dr., Sp.PK(K), Prof. Dr. Prihatini, dr., Sp.PK(K), Prof. Dr.
Aryati, dr., MS, Sp.PK(K), Prof. Dr. Jusak Nugraha, dr., MS, Sp.PK(K), dan
Prof. Dr. Drs. Suprapto Ma’at, MS, Apt. sebagai Guru Besar yang dengan penuh
kesabaran membimbing saya memahami pengetahuan patologi klinik.
7. Dr. Windhu Purnomo, dr., MS, dari Departemen Biostatistika dan Kependudukan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya sebagai konsultan
statistik, atas segala bimbingannya dalam metodologi dan analisis statistik dalam
penelitian ini.
8. Prof. Dr. Prihatini, dr., MS., Sp.PK (K), Fery H. Soedewo, dr., MS., Sp.PK
(K), dan Leonita Anniwati, dr., Sp.PK (K) yang telah bersedia menjadi penilai
dan memberi masukan yang berharga untuk perbaikan karya akhir ini.
9. Juli Soemarsono, dr., Sp.PK (Alm) selama menjabat sebagai Sekretaris Program
Studi Patologi Klinik yang semasa hidup beliau telah memberikan bimbingan dan
arahan selama saya menempuh pendidikan.
10. M. Yolanda Probohoesodo, dr., Sp.PK(K) yang telah membantu saya dalam
penulisan abstrak dan ringkasan dalam bahasa Inggris.
12. Seluruh teman sejawat peserta PPDS I Patologi Klinik Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Surabaya, atas persahabatan, bantuan, dan kerjasama yang
baik selama menempuh pendidikan spesialis ini, khususnya angkatan Januari 2012
yaitu Binar Rahma Utami, Rahmi Rusanti, Suci Andriani, Pauline Hadisiswoyo, M.
Abid Fahruddin, Si Ngurah Oka Putrawan, dan Eko Bagus Wahyudi yang selalu
kompak, baik dalam suka maupun duka, senasib seperjuangan selama menempuh
pendidikan ini, dan juga kepada kakak kelas serta teman PPDS yang lain.
13. Sri Hariastuti, AMd.K; Yuanita Bahar, AMd.AK, atas bantuannya dalam
pelaksanaan penelitian.
14. Semua karyawan dan karyawati Instalasi Patologi Klinik RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, atas segala bantuan dan kerjasama yang baik selama menempuh
pendidikan.
16. Semua residen urologi dan perawat di Poli Rawat Jalan Urologi RSUD Dr.
Soetomo Surabaya, atas segala bantuan dan kerjasama yang baik dalam
pengambilan sampel penelitian.
17. Orang tuaku Bara Bumbungan, Ir., MBA dan Rosanna Christina; papa mama
mertua Soleman Marianus Louk, SE dan Margaritha Louk Salean, drg., M.Kes
serta kakak-adik tercinta Angely Naftalie, S.Sos dan Manoressy Tobias, ST,
Michael Jackson Aza Louk, SE dan Raynaldo Christo Louk, SE yang penuh
kasih sayang mendukung dan mendoakan dalam menyelesaikan pendidikan ini,
serta kepada seluruh keluarga besar atas dukungan, doa, bantuan materiil dan moril.
18. Suamiku tercinta Ronald Melvianno Louk, dr yang selalu sabar dan penuh
pengertian, atas doa, pengorbanan lahir batin serta semangat yang diberikan dalam
menjalani pendidikan ini. Putriku tercinta Dorothy Melviella Louk (Diva) yang
merupakan sumber kebahagiaan serta sumber semangat untuk menyelesaikan
pendidikan.
19. Kepada semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah
membantu saya dalam menempuh pendidikan spesialisasi hingga terselesaikannya
karya akhir ini.
Akhir kata saya mohon maaf kepada semua pihak untuk kesalahan dan kekurangan
dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan laporan karya akhir ini, serta segala
kesalahan dan kekhilafan dalam bertutur kata maupun bersikap yang kurang berkenan
dalam berinteraksi selama menempuh pendidikan dan selama kegiatan penelitian ini.
Penulis
vi
ABSTRAK
Pendahuluan
Volume prostat menjadi informasi yang penting karena dapat memprediksi morbiditas
pada Hiperplasia Prostat Jinak (BPH). Volume prostat diukur menggunakan transrectal
ultrasonography (TRUS) sebagai baku emas namun TRUS mempunyai beberapa
kekurangan. Dibutuhkan suatu parameter lain yang dapat memprediksi volume prostat.
Tissue Polypeptide Specific Antigen (TPS) yang terdeteksi di sirkulasi terdiri dari
fragmen sitokeratin yang terdapat dalam jaringan dan menunjukkan status proliferasi.
Sel epitel pada BPH yang mengandung sitokeratin 18 akan mengalami hiperplasia
sehingga dapat terdeteksi dengan pemeriksaan TPS. Tujuan penelitian ini adalah
membuktikan adanya korelasi antara kadar TPS serum dan volume prostat.
Metode
Penelitian bersifat observasional potong lintang, dilakukan mulai dari bulan Oktober
2015 sampai dengan Februari 2016. Subjek penelitian terdiri dari 28 penderita BPH
yang datang berobat ke Poli Rawat Jalan Urologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Volume prostat diukur menggunakan alat TRUS. Kadar TPS serum diukur
menggunakan metode ELISA secara manual (TPS® ELISA IDL Biotech).
Hasil
Kadar TPS serum berkisar antara 82,45-1771,5 U/L (195,35±349,79 U/L). Volume
prostat bervariasi antara 20,7-87,4 ml (34,70±15,31 ml). Tidak terdapat korelasi positif
yang bermakna antara kadar TPS serum dan volume prostat (p=0,404; r=0,164).
Simpulan
Tidak terdapat korelasi antara kadar TPS serum dan volume prostat pada penderita BPH
vii
ABSTRACT
Background
Prostate volume has become an important information because it can predict morbidity
in Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Prostate volume was measured using
transrectal ultrasonography (TRUS) as a gold standard; but it has some disadvantages.
Other parameters are needed to predict prostate volume. Tissue Polypeptide Specific
Antigen (TPS) detected in the circulation consists of cytokeratin fragments contained in
the tissue and show the proliferation status. BPH epithelial cells containing cytokeratin
18 will undergo hyperplasia, so it can be detected by TPS examination. The aim of this
study was to prove any correlation between the levels of serum TPS and prostate
volume.
Methods
This study was done in October 2015 until February 2016, the study design was cross
sectional observational. Study subjects consisted of 28 BPH patients from the Urology
Outpatient Clinic Dr. Soetomo General Hospital Surabaya. Prostate volume was
measured using TRUS. Levels of serum TPS were measured using manual ELISA
method (TPS® ELISA IDL Biotech).
Results
Levels of serum TPS ranged between 82.45-1771.5 U/L (195.35±349.79 U/L). Prostate
volume varied between 20.7-87.4 ml (34.70±15.31 ml). No significant positive
correlations between levels of serum TPS and prostate volume were found (p=0.404;
r=0.164).
Conclusions
There were no correlations between levels of serum TPS and prostate volume in BPH
patients.
viii
RINGKASAN
ix
Kadar TPS serum meningkat pada 13 subjek penderita BPH berkisar antara
82,45-1822 U/L dengan rerata±SD pada seluruh sampel adalah 195,35 ± 349,79 U/L.
Volume prostat bervariasi antara 20,7-87,4 cm dengan rerata ±SD adalah 34,70 ± 15,31
cm.
Hasil analisis statistik dengan uji korelasi Pearson menunjukkan tidak adanya
korelasi positif yang bermakna antara kadar TPS serum dengan volume prostat (p=
0,404) dengan nilai r= 0,164.
Hasil penelitian ini berlawanan dengan hipotesis. Sitokeratin 18 memiliki efek
terbatas pada fisiologis sel epitel prostat karena kemungkinan ada peningkatan
sitokeratin lain yang berlebihan. Sitokeratin 18 menunjukkan dampak yang rendah
terhadap morfogenesis dan pertumbuhan sel epitel prostat karena adanya upregulation
dari sitokeratin lain seperti sitokeratin 8 dan 19.
Sitokeratin 8 dan 19 yang didapat bersama dengan sitokeratin 18 menyebabkan
sitokeratin 18 yang dideteksi dengan TPS tidak selalu meningkat karena adanya
tumpang tindih dengan sitokeratin lain yang lebih dominan. Hal-hal tersebut
menunjukkan bahwa meskipun volume prostat membesar pada hiperplasia prostat jinak
namun sitokeratin 18 yang dideteksi dengan TPS tidak selalu meningkat.
SUMMARY
CORRELATION BETWEEN LEVEL OF SERUM TISSUE POLYPEPTIDE
SPECIFIC ANTIGEN AND PROSTATE VOLUME IN BPH PATIENTS
xi
Statistical analysis using Pearson’s Correlation Test showed that there was no
significant positive correlation between levels of serum TPS and prostate volume (p=
0.404; r= 0.164).
The result of this study was in contrast with the hypothesis. This is due to the
fact that cytokeratin 18 that has a limited effect on prostate epithelial cell physiology
because there may be an increase in other cytokeratins excessively. Cytokeratin 18
shows a low impact on morphogenesis and growth of prostate epithelial cells due to
their upregulation of cytokeratin such as cytokeratin 8 and cytokeratin 19.
Cytokeratin 8 and 19 obtained along with cytokeratin 18 causes that
cytokeratin 18 detected by TPS is not always increased due to overlapping with other
dominant cytokeratins. These explanations show that although the prostate volume is
enlarged in benign prostatic hyperplasia, the cytokeratin 18 as detected by TPS does not
always increase.
xii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................i
PERNYATAAN KEASLIAN...............................................................................iii
KATA PENGANTAR ..........................................................................................iv
ABSTRAK............................................................................................................vii
RINGKASAN .......................................................................................................ix
DAFTAR ISI...................................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL.............................................................................................. xvi
DAFTAR GAMBAR......................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xviii
DAFTAR SINGKATAN.................................................................................... xix
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 5
1.3.1 Tujuan Umum .................................................................................... 5
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 5
1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti......................................................................... 5
1.4.2 Manfaat Bagi Institusi ........................................................................ 6
1.4.3 Manfaat Bagi Klinisi .......................................................................... 6
xiii
xiv
BAB 6 PEMBAHASAN
6.1 Penjaminan Mutu Pengukuran Kadar TPS ..................................................... 60
6.2 Karakteristik Subjek Penelitian ..................................................................... 61
6.3 Kadar TPS serum pada Penderita BPH .......................................................... 62
6.4 Hasil Pengukuran Volume Prostat pada penderita BPH ................................ 64
6.5 Korelasi antara kadar TPS serum dengan Volume Prostat ............................ 65
6.6 Keterbatasan Penelitian ...................................................................................67
LAMPIRAN ........................................................................................................ 74
xv
DAFTAR TABEL
xvi
DAFTAR GAMBAR
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
xviii
DAFTAR SINGKATAN
5-AR : 5α-reduktase
5-ARI : 5α- reductase inhibitor
µg/L : mikrogram per liter
A2M : 2 Makroglobulin
ACT : 1 antichimotrypsin
API : 1 Antitripsin
AR : Androgen Receptor
ARB : Alpha Receptor Blocker
AUA : American Urology Association
AUR : Acute Urinary Retention
BPE : Benign Prostate Enlargement
BPH : Benign Prostatic Hyperplasia
BPO : Benign Prostate Obstruction
BOO : Benign Outlet Obstruction
CD : Cluster of Differentiation
Ck : Cytokeratin
CYFRA : Cytokeratin 19 Fragment
CZ : Central Zone
DHT : Dihidrotestosteron
DM : Diabetes Melitus
DRE : Digital Rectal Examination
EGF : Epidermal Growth Factor
ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay
FGF : Fibroblast Growth Factor
FK : Fakultas Kedokteran
HCC : Hepatocellular Carcinoma
HRP : Horse Radish Peroxidase
IFN-γ : Interferon gamma
IGF : Insulin-like Growth Factor
IL : Interleukin
IPSS : International Prostate Symptom Score
ISK : Infeksi Saluran Kemih
KGF : Keratinocyte Growth Factor
Litbang : Penelitian dan Pengembangan
LUTS : Lower Urinary Tract Symptoms
NATF : Non-Androgenic Testicular Factor
ng/ml : nanogram per mililiter
xix
ml : mililiter
PSA : Prostate Specific Antigen
PVR : Post Voiding Residual
PZ : Peripheral Zone
Qmax : pancaran maksimum
QoL : Quality of Life
RA : Reseptor Androgen
RLU : Relative Light Unit
RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
SD : Standar Deviasi
SST : Serum Separator Tube
TGF-β : Transforming Growth Factor-β
TMB : Tetra Methyl Benzidine
TPS : Tissue Polypeptide Specific antigen
TUIP : Transurethral Incisi Prostate
TUNA : Transurethral needle ablation of the prostate
TRUS : Transrectal Ultrasonography
TURP : Transurethral Resection of the prostate
TZ : Trancisional Zone
UDS : Urodynamic Studies
UNAIR : Universitas Airlangga
USG : Ultrasonografi
U/L : Unit per liter
WHO : World Health Organization
xx
BAB 1
PENDAHULUAN
kelainan terbanyak kedua pada penderita laki-laki setelah batu saluran kemih. BPH
adalah pertumbuhan sel kelenjar prostat yang tidak terkontrol dan bersifat jinak.
diagnosis histopatologis yaitu terjadi proliferasi sel epitel dan sel stroma prostat di
menghambat pengeluaran urine. Hal ini menyebabkan timbulnya infeksi, batu buli dan
meskipun jarang mengancam jiwa. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat
atau benign prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada
leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO).
Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai
benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan
Keluhan yang disampaikan oleh penderita BPH seringkali berupa LUTS (lower
urinary tract symptoms) yang terdiri atas jenis iritatif (storage symptoms) yang meliputi
malam hari (nocturia), miksi sulit ditahan (urge incontinence), dan jenis obstruktif
(voiding symptoms) terdiri dari pancaran lemah (slow stream), miksi harus menunggu
BPH lebih sering ditemukan pada pria usia lanjut dengan angka kejadian yang
membutuhkan pengobatan untuk BPH bergejala saat usia 80 tahun. BPH menjadi alasan
kedua tersering untuk dilakukan tindakan pembedahan pada pria diatas usia 65 tahun
Telitian kohort Baltimore Longitudinal Study of Aging didapat bahwa 60% pria
berusia lebih dari 60 tahun menderita BPH. Kejadian BPH di Amerika menurut Olmsted
County Survey sebanyak 13% pria kaukasian berusia 40-49 tahun dan 28% pada pria
berusia lebih dari 70 tahun. Penelitian multicenter pada negara di Asia didapat bahwa
BPH menjadi urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih di Indonesia dan
secara umum diperkirakan hampir 50% pria yang berusia di atas 50 tahun ditemukan
mengenai kualitas hidup (quality of life atau QoL) sebagai panduan untuk mengarahkan
dan menentukan adanya gejala obstruksi akibat pembesaran prostat (lampiran 9).
Pemeriksaan fisik yaitu colok dubur atau digital rectal examination (DRE) dan
merupakan pemeriksaan yang penting pada penderita BPH sehingga dapat diperkirakan
adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat dan adanya nodul (Wijanarko S et al,
2006).
Ukuran prostat bervariasi secara signifikan semasa hidup pria. Berry et al menemukan
bahwa rerata berat prostat meningkat sekitar 20 gram saat seorang pria berusia 40 tahun dan
sekitar 38,8 gram pada pria diatas usia 80 tahun. Informasi mengenai volume prostat menjadi
hal yang penting karena menjadi peramal keparahan dari progresivitas penyakit BPH atau
outcome dari BPH seperti terjadinya retensi urine akut atau Acute Urinary Retention (AUR),
dan respon terhadap pengobatan (Shim HB et al, 2007; Mosli HA et al, 2010).
Telitian oleh Park et al tahun 2003 menyatakan pria dengan volume prostat ≥ 30
ml mengalami resiko gejala LUTS sedang sampai berat, penurunan aliran urine, dan
retensi urine 3 sampai 4 kali lipat lebih tinggi sehingga volume prostat menjadi
informasi yang semakin penting karena volume prostat memprediksi kuat morbiditas
yang berkaitan dengan BPH seperti AUR (Alawad AAM et al, 2014).
Pengukuran volume prostat dapat dilakukan dengan teknik DRE, TRUS dan
transabdominal sonography. DRE yang selama ini menjadi metode yang dipercaya
membutuhkan sumber daya manusia yang terlatih dan terdapat variabilitas antara
pemeriksa satu dengan pemeriksa yang lain. TRUS menjadi baku emas untuk
pengukuran volume prostat karena memiliki akurasi yang lebih tinggi dibanding DRE
namun pengukuran volume prostat yang rutin dengan TRUS tidak memungkinkan pada
setiap pasien karena TRUS memiliki avaibilitas yang rendah, membutuhkan tenaga ahli
dan terlatih, biaya yang mahal dan menimbulkan rasa tidak nyaman pada pasien (Shim
yang dapat digunakan secara luas yaitu Tissue Polypeptide Specific Antigen (TPS). TPS
adalah suatu protein yang mewakili epitop M3 dari Tissue Polypeptide Antigen (TPA).
TPS yang terdeteksi di sirkulasi terdiri dari fragmen sitokeratin yang terdapat dalam
jaringan yang menunjukkan status proliferasi. TPS adalah satu-satunya tes yang secara
spesifik mengukur fragmen terlarut sitokeratin 18 yaitu protein sitokeratin yang terdapat
di sel epitel prostat sehingga TPS sering disebut “proliferation markers” (Bormer, 1994;
Korelasi antara TPS dan volume prostat yang akan diteliti pada pasien BPH
klinisi yang tidak memiliki TRUS atau akses melakukan TRUS. Tujuannya adalah
membantu klinisi yang tidak dapat mengetahui besar volume prostat melalui TRUS,
pemeriksaan TPS. Fragmen sitokeratin yang terdeteksi pada serum menandakan sintesis
filamen sitokeratin yang berlebihan dari sel yang berproliferasi. TPS dapat diukur
monoklonal afinitas tinggi terhadap M3, salah satu epitop dari 35 jenis epitop TPA dan
merupakan struktur epitop pada sitokeratin 18 yang berhubungan dengan proliferasi sel
Apakah terdapat korelasi antara kadar TPS serum dan volume prostat pada
penderita BPH?
1.3.1.1 Membuktikan adanya korelasi antara kadar TPS serum dan volume prostat
1.3.1.2 Memperoleh informasi mengenai hubungan antara kadar TPS serum dengan
1.3.2.3 Menganalisis korelasi antara kadar TPS serum dan volume prostat pada
penderita BPH.
hubungannya dengan volume prostat pada penderita BPH dan dapat menjadi
dasar penelitian imunologi lebih lanjut untuk mengetahui peran TPS pada
penyakit BPH.
Manfaat praktis bagi klinisi yaitu dengan dibuktikan adanya korelasi antara kadar
TPS serum dan volume prostat, maka dapat digunakan untuk memperkirakan
besar volume prostat secara akurat serta digunakan sebagai salah satu
dapat mengambil keputusan terapi yang tepat dan komplikasi lebih lanjut pada
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
mendefinisikan BPH sebagai diagnosis histopatologis yaitu terjadi proliferasi sel epitel
dan sel stroma prostat di dalam zona transisional prostat (McVary, 2010).
Proliferasi sel epitel dan sel stroma prostat ini disebabkan oleh berbagai
dan penuaan. Akibat proliferasi ini kelenjar prostat akan mengalami pembesaran yang
dapat melampaui leher kandung kemih dan uretra yang mengarah ke gejala obstruksi
bladder outlet obstruction (BOO) karena komponen statis yaitu jaringan prostat yang
membesar dan peningkatan tonus otot polos. Akibat 2 mekanisme ini pasien dapat
menderita gejala traktus urinarius bagian bawah atau lower urinary tract symptoms
(LUTS). Hubungan antara BPH dan LUTS kompleks. Tidak semua pasien BPH
mengalami gangguan buang air kecil dan sebaliknya tidak semua keluhan berkemih
Salah satu panduan yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya
Score (IPSS). World Health Organization (WHO) dan AUA telah mengembangkan dan
S et al, 2006).
Abram dan Chapple et al pada tahun 2008 mengusulkan rangkaian definisi yang
bisa secara lebih akurat menggambarkan komponen klinis, patologi dan patofisiologi
2.1.2 Epidemiologi
BPH merupakan kelainan terbanyak kedua setelah batu saluran kemih dan
penyakit terbanyak yang berhubungan dengan usia lebih dari 55 tahun menurut Penna et
al, sedangkan menurut Malati et al BPH menyerang pasien usia lebih dari 45 tahun dan
lebih dari 90% pria pada dekade kedelapan menderita hiperplasia prostat dan tetap
menjadi morbiditas utama pada pria usia lanjut (Malati et al, 2006; Penna et al, 2009).
terjadi pada usia lanjut dengan angka kejadian yang meningkat seiring bertambahnya
usia. Lebih dari setengah pria menderita BPH pada usia 60 tahun dan pada usia 85 tahun
membutuhkan pengobatan untuk BPH bergejala saat usia 80 tahun dan terapi yang
paling sering adalah prosedur operasi transurethral resection of the prostate atau TURP
progresivisitas LUTS sedang sampai berat mencapai 50% pada usia dekade kedelapan.
LUTS sedang sampai berat ini juga dihubungkan dengan retensi urinarius akut atau
Acute Urinarius Retention (AUR) sebagai gejala dari LUTS yang progresif yang
meningkat dari 6,8 kejadian per 1000 pasien dalam setahun follow up menjadi 34,7
kejadian pada pria usia lebih atau sama dengan 70 tahun. Penelitian lain mengestimasi
90% pria usia antara 45 sampai 80 tahun menderita beberapa tipe LUTS (Wasson J,
1995).
BPH menjadi urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih di Indonesia dan
secara umum diperkirakan hampir 50% pria yang berusia di atas 50 tahun ditemukan
menderita BPH. Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti
tetapi sebagai gambaran prevalensi rumah sakit di 2 rumah sakit besar di Jakarta yaitu
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Sumberwaras selama 3 tahun (1994-
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Goh HJ et al tahun 2009 sampai 2011 di
Yangpyeong, Korea pada 775 pria berusia lebih dari 40 tahun terdiagnosis BPH sebesar
20% dan meningkat sesuai usia dimana skor IPSS juga meningkat sejalan dengan
2.1.3 Prostat
Prostat adalah kelenjar seks tambahan yang utama pada pria. Sekresinya
menghasilkan cairan yang meliputi 15% cairan ejakulasi. Sekresi ini menghasilkan
suatu sarana yang mengembangkan jalan sperma namun prostat belum diketahui fungsi
keganasan. Lokasinya yang dekat dengan leher kandung kemih dan uretra
sebelah distal. Sedangkan bagian distal prostat yaitu ujung prostat bermuara ke
eksternal spinkter kandung kemih yang terbentang diantara lapisan peritoneal. Bagian
depan terdapat simfisis pubis yang dipisahkan oleh lapisan ekstraperitoneal. Lapisan
tersebut dinamakan cave of Retzius atau ruangan retro pubik sedangkan bagian
belakangnya dekat dengan rektum (gambar 2.1). Bentuk prostat menyerupai piramida
dengan berat sekitar 18-20 gram. Prostat pria dewasa secara umum memiliki ukuran 4,
10
tubuloalveolar dan terbagi dalam beberapa zona yaitu zona sentral, zona perifer dan
meliputi 25% bagian prostat dimana hanya 2, 5% kanker prostat yang berkembang dari
zona ini. Zona perifer meliputi 70% dari bagian prostat dan mengelilingi uretra.
Setidaknya sekitar 80% kanker prostat berkembang dari zona perifer ini. Zona
transisional juga dapat terlibat dalam perkembangan kanker prostat sebanyak 20%.
Zona ini tumbuh semakin besar seiring waktu sehingga hiperplasia prostat awal atau
11
Gambar 2.2 Struktur dan pembagian zona prostat (sumber: McPhee SJ 1997)
Kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma secara histologis.
Komponen stroma terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh darah, saraf, dan jaringan
parasimpatik dari korda spinalis S2-4 dan simpatik dari nervus hipogastrikus (T10-L2).
seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatik memberikan inervasi pada otot polos
merupakan salah satu komponen dari cairan semen dan membantu ejakulasi saat
aktivitas seksual. Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra
12
posterior dan dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Otot
polos prostat dapat membantu keluarnya semen selama ejakulasi (Purnomo, 2009).
Komponen utama dari sekresi prostat adalah Prostate Specific Antigen (PSA)
bersama dengan sitrat, zinc, spermin dan kolesterol. Pertumbuhan kelenjar prostat
sangat tergantung pada hormon testosteron yang didalam sel-sel kelenjar prostat
hormon ini akan diubah menjadi metabolit aktif dihidrotestosteron (DHT) oleh enzim
5α-reduktase (gambar 2.3). DHT inilah yang secara langsung memicu m-RNA di dalam
sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memicu pertumbuhan
Gambar 2.3 Mekanisme perubahan testosteron menjadi DHT oleh enzim 5α-reduktase
(sumber: Brannigan RE, 2004).
Penyebab BPH sampai saat ini belum diketahui pasti namun dikatakan faktor
hipotesis yang diduga sebagai penyebab hiperplasia prostat adalah (1) teori DHT dan
androgen atau nonandrogenic testis secretory factor (NATF), (3) teori ekspansi
populasi epithelial stem cell dan (4) interaksi antara sel epitel dan stroma prostat
13
Kekhasan BPH yaitu peningkatan jumlah sel epitel dan stromal di area
periuretral prostat secara histopatologis. Istilah yang sesuai adalah hiperplasia dan
bukan hipertrofi. Peningkatan jumlah sel disebabkan karena proliferasi sel epitel dan
2012).
Dahulu faktor yang diduga berperan dalam proliferasi kelenjar prostat adalah
faktor penuaan dan fungsi testis yang normal. Saat ini ditemukan konsep baru adanya
faktor yang menjelaskan etiologi dan patogenesis BPH. Faktor tersebut mampu
mempengaruhi sel prostat untuk mensintesis protein growth factor yang selanjutnya
protein inilah yang berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar
prostat. Faktor yang mampu meningkatkan sintesis protein growth factor dikenal
sebagai faktor ekstrinsik sedangkan protein growth factor dikenal sebagai faktor
Faktor intrinsik sebagai salah satu penyebab terjadinya BPH yaitu interaksi
antara sel epitel dan stroma. Cunha pada tahun 1973 membuktikan bahwa diferensiasi
dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel stroma
bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar DHT dan proses
14
Perkembangan BPH berkaitan dengan androgen pada testis sama seperti dengan
proses penuaan. Androgen dibutuhkan dalam proliferasi sel normal dan diferensiasi
prostat. Androgen juga secara aktif menghambat turnover cell dan kematian sel
(McPhee, 1997).
diubah menjadi bentuk aktif DHT oleh enzim 5α-reduktase. Terdapat 2 subtipe 5α-
reduktase tipe 1 dan tipe 2. Tipe 2 hanya terdapat pada traktus urogenital fetus dan
dewasa termasuk di sel epitel basal dan sel stroma prostat. Sintesis DHT mayoritas
DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel
kelenjar prostat. Mayoritas testosteron diubah menjadi DHT di sel stroma yang akan
bekerja dengan pola autokrin di sel stroma dan bekerja dengan pola parakrin setelah
berdifusi ke inti sel epitel. Inti sel ini mengandung sejumlah besar reseptor androgen
kompleks DHT-AR pada inti sel dan kompleks inilah yang secara langsung memicu m-
RNA di dalam sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang
memicu pertumbuhan kelenjar prostat (gambar 2.4) (McPhee, 1997; Purnomo, 2009).
15
Gambar 2.4 Mekanisme kerja androgen pada sel epitel dan sel stroma prostat (sumber:
McPhee SJ 1997)
yang mengikuti stimulasi androgen di dalam prostat adalah endothelial growth factor
(EGF), keratinocyte growth factor (KGF), insulin-like growth factor (IGF), fibroblastic
growth factor (FGF) dan transforming growth factor-β (TGF-β) (Aulia D, 2009).
EGF, KGF dan IGF merupakan hormon yang meregulasi proliferasi sel (bersifat
agonis). EGF dianggap sebagai faktor penting untuk memelihara integritas struktur
prostat dewasa. Efek dari EGF bersifat inhibitor terhadap TGF-β. FGF bersifat
mitogenik baik pada sel epitel maupun stroma kecuali KGF yang diproduksi oleh sel
stroma prostat dan hanya menstimulasi sel epitel. IGF merupakan modulator untuk
pertumbuhan dan perkembangan prostat yang terutama disintesis oleh hepar sebagai
16
TGF-β merupakan growth factor inhibitor penting pada sel epitel prostat. TGF-β
menghambat proliferasi dan memicu apoptosis dalam sel epitel prostat. TGF- β juga
memfasilitasi diferensiasi dari sel basal terhadap sel luminal yang kemudian memegang
peranan penting dalam keseimbangan epitel prostat (Aulia D, 2009; Roehrborn CG,
2012).
Faktor testis terdiri dari hormon yang diproduksi oleh testis yang dapat
berperan dalam patogenesis BPH. Estrogen bekerja secara sinergis dengan androgen
dalam menghasilkan BPH pada penelitian dengan prostat anjing. Estrogen terlibat
dalam proses induksi AR bahkan estrogen mensensitisasi prostat anjing terhadap efek
androgen. Estrogen dapat menginduksi rangsangan pada proses proliferasi sel stroma
yang menyebabkan peningkatan jumlah kolagen dengan kata lain pemberian estrogen
skuamosa, keratinisasi dan displasia dari epitel prostat. Hal ini menunjukkan paparan
Bersamaan dengan usia yang semakin lanjut, kadar estrogen akan meningkat
usia ini menyebabkan peningkatan pertumbuhan sel atau penurunan kematian sel
17
testosteron menurun tetapi sel prostat yang sudah ada mempunyai umur yang lebih
Aspek imunologi juga terlibat dalam hiperplasia prostat yaitu terdapatnya peran
jalur inflamasi dan sitokin pada penuaan sel prostat. Hampir semua spesimen BPH pada
berhubungan dengan bakteri atau antigen belum dapat dijelaskan. Pengenalan hasil
sekresi prostat oleh sel T autoreaktif dan hewan coba pada penelitian eksperimental
terdiri limfosit CD4+ dimana secara permanen diambil ke jaringan prostat melalui
proinflamasi yang diproduksi oleh otot polos dan sel T. Produksi sitokin yang berasal
dari sel T yaitu IFN-γ, IL-2 dan TGF-β meningkat 10 kali pada BPH dibanding prostat
Sejumlah sitokin dan growth factors terlibat dalam proses disregulasi imun dan
inflamasi kronik pada BPH juga bertanggung jawab terhadap pertumbuhan sel prostat
(gambar 2.5). Sitokin yang paling efektif untuk pemeliharaan infiltrat sel T pada prostat
adalah sitokin proinflamasi IL-15. IL-15 menstimulasi pertumbuhan sel T memori BPH
dan diekspresi secara kuat oleh sel otot polos. IFN-γ yaitu produk dari sel T dan
diekspresikan berlebih pada BPH, meningkatkan produksi IL-15 oleh sel stroma 2 kali
lipat dengan kata lain menginduksi proliferasi sel stroma (Kramer G, 2007).
18
TGF-β memiliki fungsi sebaliknya yaitu sebagai inhibitor proliferasi sel stroma.
IL-2 dan IL-17 akan menstimulasi pertumbuhan sel stroma dan sel epitel prostat
sedangkan IL-4 akan menghambat proliferasi sel stroma. Kesimpulannya sel T yang
melalui beberapa lingkaran sitokin yaitu dengan melepas IL-17, IFN-γ, IL-4, IL-13,
FGF-2 dengan demikian secara tidak langsung meningkatkan produksi IL-6, IL-8 dan
Autoimunitas merupakan salah satu etiologi dari disregulasi imun kronik pada
BPH. Pejamu antigen prostat bekerja sebagai autoantigen. Produk sekresi dari prostat
adalah yang paling bersifat imunogenik. Produk sekresi ini memiliki aktivitas
proteolitik yang tinggi dan jika terpapar ke jaringan periglandular setelah cedera epitel
maka bisa menghancurkan bukan hanya jaringan konektif namun juga mencerna matriks
protein utamanya adalah kolagen dan proteoglikan. Matriks ekstraseluler juga dapat
berikatan dengan beberapa growth factor seperti FGF dan TGF-β (Kramer G 2007;
Aulia D 2009).
19
Vesika urinaria harus berkontraksi lebih kuat untuk melawan tahanan ini untuk
struktur vesika urinaria dan oleh pasien dirasakan sebagai keluhan di saluran kemih
bagian bawah atau lower urinary tract symptoms (LUTS) (Purnomo, 2009).
Gejala iritatif antara lain frekuensi berkemih meningkat (frequency), tergesa-gesa ingin
20
berkemih (urgency), miksi di malam hari (nocturia), kencing sulit ditahan (urge
incontinence) sedangkan gejala obstruktif terdiri dari pancaran lemah (slow stream),
Derajat keparahan LUTS dapat dinilai dengan sistem penilaian yang secara
subyektif dapat diisi sendiri oleh pasien. Sistem penilaian yang dianjurkan oleh WHO
adalah nilai IPSS. IPSS terdiri atas 7 pertanyaan mengenai keluhan miksi dan 1
pertanyaan tentang kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan memiliki nilai 0 sampai 5
sedangkan pertanyaan tentang kualitas hidup diberi nilai 1 sampai 7. Berdasarkan skor
tersebut gejala LUTS dapat dibagi dalam 3 derajat: ringan skor 0-7, sedang skor 8-19
Gejala LUTS sebenarnya tidak spesifik untuk BPH karena meskipun gejala
penyempitan lumen uretra dan aliran urine terhambat, sekitar 30% pria menderita
overactive bladder (OAB) dapat memiliki gejala yang sama (Kapoor A, 2012).
2.1.7.1 Urinalisis
atau kelainan patologis lain. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran
kemih pada pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya kelainan, oleh karena itu perlu
dilakukan juga pemeriksaan kultur urine untuk mencari kuman penyebab ISK.
21
Pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya pada pasien BPH yang telah
mengalami retensi urine dan telah memakai kateter karena sering telah ada leukosituria
2013).
menyerang traktus urinarius bagian atas. Obstruksi infravesika akibat BPH dapat
Catatan harian miksi ini merekam perincian kapan dan berapa jumlah urine yang
pencatatan biasanya dilakukan selama 3-4 hari sudah cukup menilai aktivitas berlebihan
otot detrusor. Pencatatan miksi ini berguna pada pasien dengan keluhan nokturia yang
paling menonjol atau kelebihan masukan cairan (Wijanarko S et al, 2006; Sussman,
2015).
2.1.7.4 Uroflometri
dimana pancaran urine selama proses miksi diukur menggunakan suatu alat.
Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian
bawah dan dari uroflometri dapat diperoleh data mengenai volume miksi, lama
pancaran, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, pancaran rerata
(Qave), dan pancaran maksimum (Qmax) (Wijanarko S et al, 2006; Sussman, 2015).
22
pancaran urine karena pancaran urine yang lemah dapat disebabkan karena BOO atau
kelemahan otot detrusor. Penilaian ada tidaknya BOO tidak hanya dari hasil Qmax saja
namun dikombinasi dengan IPSS. Idealnya pengukuran pancaran urine dilakukan lebih
dari 1 kali dan volume urine > 150 ml memberi hasil bermakna. Qmax > 15 ml/detik
dianggap normal sedangkan Qmax < 10 ml/detik mencurigakan BOO (Wijanarko S et al,
Residual urine adalah sisa urine yang tertinggal di dalam kandung kemih setelah
berkemih. Jumlah residual urine pada orang normal adalah 0,09 - 2,24 ml dengan rerata
0,53 ml per 24 jam. Pemeriksaan sisa urine dapat dilakukan secara non invasif yaitu
dengan mengukur sisa urine melalui ultrasonografi atau bladder scan, atau secara
invasif dengan kateterisasi uretra setelah pasien berkemih. Kateterisasi uretra lebih
akurat dibanding ultrasonografi namun dapat menimbulkan cedera uretra dan infeksi
Pengukuran volume residual urine dengan cara invasif maupun non invasif
mempunyai variasi individual yang tinggi yaitu pasien yang sama diukur residual
urinenya pada waktu yang berbeda pada hari yang sama atau berbeda akan
menunjukkan perbedaan volume residual urine. Volume residual urine yang menetap
tinggi menandakan kelemahan kontraksi otot detrusor relatif terhadap aliran miksi yang
bisa merupakan akibat sekunder dari disfungsi otot detrusor atau BOO (anon 2006;
Parnham 2013).
23
dalam lubang dubur. Pemeriksaan ini menimbulkan rasa tidak nyaman (sakit) dan
perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang pemeriksaan yang akan dilakukan agar
Penderita diminta berkemih lebih dulu sebelum dilakukan tindakan DRE dan
bila penderita dalam keadaan retensi urine, DRE dikerjakan setelah buli-buli
dikosongkan dengan kateter. Pemeriksaan DRE dapat memberi penilaian tonus sfingter
ani, menilai keadaan prostat seperti konsistensi prostat, refleks bulbo-kavernosus, dan
DRE pada BPH menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung
hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Konsistensi prostat
yang menonjol atau teraba nodul harus dipikirkan adanya karsinoma atau prostatitis
(Purnomo, 2009).
Menentukan besarnya prostat secara DRE memiliki akurasi yang rendah karena
Ultrasonography (TRUS)
Olmsted County menunjukkan pria dengan volume prostat awal < 30 ml memiliki nilai
24
median pertumbuhan prostat 1,7% tiap tahun dibandingkan dengan pria dengan volume
prostat > 30 ml yang mempunyai median pertumbuhan prostat sebesar sebesar 2,2%.
berhubungan dengan gejala dan atau pancaran urine, namun penelitian akhir-akhir ini
dan negative outcome seperti AUR, perlu tindakan operasi dan memprediksi respon
Volume prostat mungkin adalah faktor resiko terbesar yang diteliti terhadap
yang sedang sampai berat (3,5 kali lipat), penurunan pancaran urine (2,5 kali lipat) dan
retensi urine (3 sampai 4 kali lipat) dibanding pria dengan volume prostat < 30 ml
bertujuan untuk mengetahui bentuk prostat, besar atau volume kelenjar prostat, adanya
prostat, dan menentukan jumlah residual urine (gambar 2.6) (Purnomo, 2009).
TRUS lebih akurat dibanding DRE dalam memperkirakan total volume prostat
dan volume zona transisional namun TRUS relatif lebih menyakitkan, membutuhkan
biaya mahal dan memerlukan tenaga ahli dan terlatih (Alawad AAM, 2014).
25
difleksikan dan ditarik dekat ke dada sehingga memungkinkan insersi dari rectal probe.
Salep anestesi topikal dioleskan ke jari telunjuk sebelum melakukan DRE. TRUS
dilakukan dengan micro convex transrectal probe dengan transduser antara 5 sampai 7,
5 mHz. Probe dilapisi pelindung dan diberi gel ultrasound untuk memastikan
didapatkan gelombang akustik. Probe secara pelan dimasukkan ke rektum menuju dasar
dipertahankan saat probe dipindah dari dasar prostat ke puncak prostat. Probe kemudian
dirotasi searah jarum jam untuk melihat seluruh bagian kelenjar prostat. Kelenjar prostat
dievaluasi dan dinilai ada atau tidaknya lesi fokal dan pola echo, integritas kapsular,
perluasan proses penyakit melebihi batas kelenjar (Malik R, 2004; Carrol P, 2008).
dengan ekogenisitas simetris dan heterogenous tekstur echo heterogen dari zona
26
glandural bagian dalam mencurigakan suatu BPH (gambar 2.7). Pembesaran kelenjar
dengan lesi fokal di zona perifer dengan atau tanpa menembus kapsul merupakan
Gambaran pada vesikel seminal, dasar, tengah dan puncak prostat dicetak dan
dengan transducer di potongan melintang terbesar pada bidang transversal dan bidang
mid-sagital maka volume prostat dapat dihitung. Prorated ellipsoid formula biasanya
P, 2008).
Gambar 2.7 gambaran BPH pada TRUS. Pembesaran kelenjar prostat dengan
ekogenisitas simetris dan echotexture heterogen mencurigakan suatu BPH (sumber: Malik
R, 2004)
Gambar 2.8 Gambaran kanker prostat pada TRUS. Tanda panah warna putih
menunjukkan lesi hypoechoic di dalam zona perifer mencurigakan suatu kanker prostat
(sumber: Carrol P, 2008)
27
komplikasi mayor yang lebih jarang sekitar 0,4% sampai 4,3% dan komplikasi yang
membutuhkan rawat inap sekitar 0,4% sampai 3,4%. Komplikasi yang segera terjadi
pada TRUS untuk biopsi prostat adalah episode vasovagal (5,3%), perdarahan rektum
UDS adalah pilihan pemeriksaan tambahan dan dianggap sebagai baku emas
untuk diagnosis BOO sekunder. Pemeriksaan ini berguna untuk membedakan bahwa
pancaran yang lemah pada pemeriksaan uroflometri itu memang disebabkan karena
urinaria dan tekanan dinding abdomen selama fase pengisian dan pancaran urine selama
fase pengosongan urine. Pola khas BOO adalah tekanan detrusor tinggi dengan
pancaran urine rendah. Indikasi UDS adalah sebagai berikut (1) evaluasi fungsi vesika
urinaria pre-operatif, (2) pasien LUTS dengan kegagalan terapi, (3) pasien dengan
Tidak semua pasien BPH perlu menjalani tindakan medik. Tujuan terapi pada
pasien BPH adalah mengurangi resistensi otot polos sebagai komponen dinamik
28
terjadi gagal ginjal, mengurangi volume residu urine setelah berkemih dan mencegah
progresivitas penyakit. Pilihan terapi pada pasien bergantung pada derajat keluhan
LUTS maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh BPH (gambar
Gambar 2.9 Skema pengelolaan BPH di Indonesia untuk spesialis urologi (sumber:
Wijanarko S et al, 2006)
29
pembedahan atau tindakan enduorologi yang invasif minimal (tabel 2.2) (Purnomo,
2009).
perkembangan penyakitnya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan
untuk pasien BPH dengan skor dibawah 7 yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu
aktivitas sehari-hari. Tiap 6 bulan dilakukan evaluasi dan jika tidak ada kemajuan
30
selama terapi atau keluhan bertambah berat perlu dipikirkan untuk pemberian terapi
2.1.8.2 Medikamentosa
hingga berat (20-35) atau pasien yang tidak menunjukkan perbaikan setelah watchfull
waiting (gambar 2.4). Terapi intervensi pada pasien dilakukan jika pasien tidak
Gambar 2.10 Algoritma Pemilihan Golongan Obat BPH (sumber: Nickel JC 2010)
ARB adalah terapi lini pertama pada pasien BPH dengan gejala LUTS yang
mengganggu. Terdapat 5 obat yang telah disetujui di Amerika Serikat yaitu Terazosin,
secara primer ditemukan di prostat, α1b pada pembuluh darah dan α1d pada kandung
kemih. Golongan obat ini bekerja dengan menghambat reseptor adrenergik α1 sehingga
merelaksasi otot polos prostat dan leher kandung kemih. Perbaikan gejala terlihat
31
setidaknya sesudah 1 minggu sementara efek terapeutik penuh dicapai pada 6 sampai 8
Tamsulosin dikatakan sangat selektif terhadap otot polos prostat. Obat ini
mampu memperbaiki pancaran miksi tanpa menimbulkan efek terhadap tekanan darah
maupun denyut jantung. Efek samping ARB antara lain astenia, hipotensi ortostatik dan
menjadi DHT, mediator utama terjadinya BPH (tabel 2.4). Menurunnya kadar DHT
menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel prostat menurun. Preparat 5-ARI
menurunkan kadar PSA sebesar 50% setelah 6 bulan pengobatan, jika kadar PSA
32
menggunakan terapi kombinasi ini pada pasien dengan pembesaran prostat. Lima-ARI
mengecilkan ukuran prostat dan ARB menurunkan tonus otot polos prostat sehingga
2.1.8.3 Pembedahan
elektrik. TURP adalah baku emas prosedur pembedahan pada pasien BPH dengan gejala
dilakukan TURP antara lain (1) refraktori LUTS terhadap medikamentosa, (2) ISK
rekuren, (3) BPH atau BPE yang berhubungan dengan hematuria refrakter terhadap
pengobatan, (4) Insufisiensi ginjal sekunder karena BOO, (5) batu ginjal dan (6) retensi
33
sebagai filamen intermediet yang salah satunya adalah sitokeratin yang ditemukan pada
sel epitel. Jaringan sitoskeletal ini bertanggung jawab terhadap integritas mekanis sel
dan penting selama proses seluler seperti saat proses pembelahan sel, motilitas dan
kontak antar sel. Saat ini terdapat 20 jenis sitokeratin yang berbeda yang telah
Sel epitel prostat tersusun atas lapisan basal proliferatif dan lapisan luminal
sekretori. Lapisan ini dibedakan dari ekspresi berbagai petanda diferensiasi yang
spesifik. Sel luminal mengekspresikan PSA, Prostatic Acid Phosphatase (PAP), AR, Ck
basal sel. Lapisan sel yang ketiga berasal dari neuroendokrin (gambar 2.11) (Hudson
DL et al, 2001).
34
Gambar 2.11 Hipotesis jalur diferensiasi sel epitel prostat manusia berdasarkan pola
pewarnaan sitokeratin. Sel basal (Ck 5 dan Ck 14) berdiferensiasi menjadi sel luminal
yang mengekspresikan Ck 9, Ck 8 dan Ck 18 sebelum berdiferensiasi sempurna menjadi
sel yang mengekspresikan Ck 8/18 saja (sumber: Hudson et al 2001)
Sitokeratin dibagi menjadi 2 kelompok yaitu tipe I (Ck 9-20) yang ukurannya
lebih kecil (40-56 kD) dan bersifat asam, dan tipe II (Ck 1-8) berukuran lebih besar (53-
67 kD) yang bersifat netral sampai basa. Tissue Polypeptide Antigen (TPA), Tissue
fragments (CYFRA 21-1) merupakan bagian famili sitokeratin yang memiliki kegunaan
TPS adalah suatu antigenic site dari TPA yang secara spesifik dikenali oleh
antibodi monoklonal M3. Epitop ini berperan sebagai petanda proliferasi sel dan dapat
satu-satunya tes yang mengukur fragmen terlarut sitokeratin 18 yaitu protein sitokeratin
yang terdapat di sel epitel. Pemeriksaan TPS digunakan untuk mendeteksi adanya
35
fragmen terlarut dari sitokeratin 18 yaitu suatu protein sitokeratin asam pada sel epitel
perubahan. Jaringan epitel normal dibatasi oleh membran basalis (kecuali di hepar) dan
produk sitokeratin akan diekskresi ke permukaan internal atau eksternal. Hal yang
berlawanan terjadi pada keganasan yang infiltrasi sel ganasnya menembus sampai
membran basalis dan menyebabkan produk sel dilepas lebih banyak di sirkulasi. Hal ini
dapat menjelaskan bagaimana fragmen sitokeratin yang tidak larut (insoluble) dapat
terdeteksi di serum dan digunakan sebagai petanda proliferasi, sampai pada akhirnya
sitokeratin ini dipakai sebagai petanda proliferasi sel dibandingkan ukuran sel (Bormer
AP, 1994).
Fragmen sitokeratin akan dilepas dari filamen tidak terlarut melalui degradasi
protein sel yang mati atau mengalami apoptosis. Terdeteksinya fragmen sitokeratin
menandakan adanya subunit monomer yang berlebihan dari sintesis filamen sitokeratin
dari sel yang berproliferasi sehingga TPS sering disebut “proliferation markers”
Penyakit prostat baik keganasan maupun BPH terjadi pembelahan sel dan
mengidentifikasi subpopulasi sel pada lapisan basal prostat dan ingin mengetahui
apakah terdapat hubungan antara proliferasi sel dan diferensiasi pada jaringan prostat
yang mengalami hiperplasia atau BPH. Sampel jaringan BPH dari pasien yang berusia
58-77 tahun yang sudah dikonfirmasi secara histopatologi bukan suatu keganasan
36
prostat kemudian diwarnai 3 kali dengan anti-Ki67, anti-CD44 dan pewarnaan inti
afinitas tinggi terhadap M3 yaitu 1 dari 35 epitop tissue polypeptide antigen (TPA) yang
puluh enam sumuran dilapisi antibodi monoklonal spesifik terhadap TPS. Standar,
sampel dan kontrol dimasukkan ke dalam sumuran dan akan bereaksi secara simultan
dengan antibodi monoklonal pada fase padat kemudian ditambah antibodi deteksi
substrat TMB sehingga menghasilkan perubahan warna biru yang sebanding dengan
kadar TPS dalam sampel. Perubahan reaksi terjadi dari warna biru menjadi kuning
dengan penambahan larutan penyetop dan absorbansi dibaca pada panjang gelombang
37
BAB 3
genetik
testosteron NATF
5α-reduktase androgen
DHT
TGF-β
estrogen
somatik
Proliferasi sel
Penuaan prostat
IL-2
TPS
CD4+ CD 8+
IL-17
Pembesaran
volume prostat IL-4
TGF-β IFN-γ
Keterangan
: tidak diteliti
38
Faktor yang diduga berperan dalam memacu proliferasi atau pertumbuhan sel
kelenjar prostat terdiri dari faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik. Faktor-faktor yang
mampu meningkatkan sintesis protein growth factor dikenal sebagai faktor ekstrinsik
sedangkan faktor pertumbuhan yaitu protein growth factor yang berasal dari dalam
(DHT) dan proses penuaan. DHT dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat dan sel
stroma melalui enzim 5α-reduktase. DHT yang terbentuk akan berikatan dengan
reseptor androgen membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan terjadi sintesis
Faktor intrinsik sebagai salah satu penyebab terjadinya BPH yaitu interaksi
antara sel epitel dan stroma. Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak
langsung dikontrol oleh sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu.
Faktor testis terdiri dari hormon yang diproduksi oleh testis yang dapat
factor (NATF) dan estrogen. Beberapa growth factor yang diekspresikan atau growth
endothelial growth factor (EGF), keratinocyte growth factor (KGF), insulin-like growth
factor (IGF), fibroblastic growth factor (FGF) dan transforming growth factor-β (TGF-
β). EGF, KGF dan IGF merupakan hormon yang meregulasi proliferasi sel (bersifat
agonis) sedangkan TGF-β yang adalah mitogen poten merupakan growth factor
39
inhibitor penting pada sel epitel prostat sehingga dapat menghambat proliferasi dan
menyebabkan terjadinya BPH dan kanker prostat. Estrogen berperan dalam proliferasi
sel kelenjar prostat dengan cara menurunkan jumlah kematian sel (apoptosis) sehingga
meski rangsangan pembentukan sel baru akibat rangsangan testosteron menurun tetapi
sel prostat yang sudah ada mempunyai umur yang lebih panjang. Hasil akhirnya adalah
massa prostat menjadi lebih besar dengan kata lain estrogen menghambat kerja TGF-β.
Aspek imunologi terlibat dalam hiperplasia prostat yaitu terdapatnya peran jalur
inflamasi dan sitokin pada penuaan sel prostat. Sel T CD4+ dan sel T CD8+ mensekresi
interferon γ (IFN-γ) yang akan menginduksi proliferasi sel stroma dan TGF-β yang
berfungsi sebagai inhibitor proliferasi sel stroma. IL-2 dan IL-17 akan menstimulasi
pertumbuhan sel stroma dan sel epitel prostat sedangkan IL-4 akan menghambat
Proliferasi sel epitel dan sel stroma akibat berbagai hal diatas akan
meningkatkan kadar Tissue Polypeptide Specific Antigen (TPS) dalam darah. TPS
adalah protein dalam serum yang mewakili epitop M3 dari Tissue Polypeptide Antigen
(TPA) yang secara spesifik mengukur fragmen terlarut sitokeratin 18 yaitu protein
sitokeratin yang terdapat di sel epitel prostat yang mengalami hiperplasia. Kadar TPS
Proliferasi sel epitel dan sel stroma prostat menyebabkan pembesaran prostat
yang besar atau volume kelenjar prostat dapat diketahui dari pemeriksaan ultrasonografi
40
mengetahui besar atau volume kelenjar prostat, sebagai petunjuk untuk melakukan
biopsi aspirasi prostat dan mencari kelainan lain yang mungkin ada di dalam kandung
kemih.
Terdapat korelasi antara kadar TPS serum dan volume prostat pada penderita
BPH.
41
BAB 4
METODE PENELITIAN
potong lintang.
Sampel penelitian adalah penderita BPH yang datang ke Poli Rawat Jalan Urologi
Besar sampel pada penelitian ini dihitung berdasarkan rumus besar sampel untuk
n = besar sampel
β = 0,20 zβ = 0,84
42
Didapatkan hasil perhitungan n= 26,9 jadi besar sampel minimal untuk penelitian ini
adalah 27 sampel. Sampel yang diteliti dalam penelitian ini sebanyak 28 sampel.
b. Penderita BPH yang sudah ditentukan oleh dokter spesialis Urologi sebagai
penderita BPH di Poli Rawat Jalan Urologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
(informed consent).
a. Penderita dengan riwayat atau sedang dalam terapi alpha blockers atau 5 alpha
penderita BPH yang datang berobat di Poli Rawat Jalan Urologi RSUD Dr. Soetomo
Surabaya.
43
Penelitian dilakukan mulai bulan Oktober 2015 sampai dengan Februari 2016.
a. Poli Rawat Jalan Urologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya untuk pengambilan
sampel darah.
2. Volume prostat
Kadar TPS serum merupakan hasil pemeriksaan kadar TPS dalam serum
Assay/ELISA (tanpa alat) yang dinyatakan dalam satuan U/L. TPS dinyatakan
44
2. Volume prostat
TRUS yang dinyatakan dalam satuan mililiter (ml). Nilai normal volume prostat
Penderita BPH
Hasil
pengukuran
Pengukuran kadar TPS
TRUS
Hasil
pengukuran
kadar TPS
45
Biotech AB) dengan no lot F2636. Optical Density (OD) diukur dengan
Metode yang digunakan pada kit ini adalah double antibody sandwich ELISA.
Sembilan puluh enam sumuran dilapisi antibodi monoklonal spesifik terhadap TPS.
Standar, sampel dan kontrol dimasukkan ke dalam sumuran dan akan bereaksi secara
simultan dengan antibodi monoklonal pada fase padat, kemudian ditambah antibodi
deteksi yaitu antihuman TPS yang dilapisi biotin menghasilkan ikatan “sandwich”
biru yang sebanding dengan kadar TPS dalam sampel. Reaksi enzim-substrat dihentikan
dengan penambahan larutan penyetop yang berisi asam sulfat dan warna berubah
menjadi kuning. Optical Density (OD) diukur secara spektrofotometrik pada panjang
gelombang 450 nm. Nilai OD sebanding dengan kadar TPS. Kadar TPS sampel dapat
Volume sampel darah yang dibutuhkan untuk pemeriksaan TPS adalah 2x50 µl
(duplikasi). Sampel darah vena diambil dari vena cubiti. Darah vena dimasukkan ke
tabung separator serum sebelum disentrifugasi. Tiap tabung sampel diberi label identitas
penderita. Tabung sampel dipusingkan dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit
46
untuk mendapatkan serum dan mencegah adanya gelembung atau fibrin, kemudian
Sampel disimpan pada suhu -80 °C di Bank Jaringan RSUD Dr. Soetomo
Satu lempeng terdiri dari 96 sumuran kering (12 strip), dilapisi dengan antibodi
Satu vial volume 11 ml, berisi antibodi M3 berkonjugasi dengan HRP, larutan
Satu vial, volume 5 ml, berisi pengencer sampel dan larutan standard 0 U/L, larutan
Empat vial, volume 1 ml tiap vial, berisi larutan penyangga penyeimbang protein.
pH 7, 5; berwarna kuning.
7, 5; berwarna kuning.
47
6. Tablet pencuci
aquabidest.
ditempatkan dalam ruang supaya suhunya sama dengan suhu ruang. Standar dan sampel
dikerjakan dalam duplikat. Kurva standar diperlukan pada setiap pemeriksaan. Semua
1. Lima puluh µl standar rendah dan standar tinggi, kontrol dan sampel dipipet pada
absorbance (blank).
3. Sumuran diinkubasi selama 2 jam±10 menit pada shaker dengan kekuatan ~450
rpm.
aquabidest.
48
6. Dua ratus µl campuran larutan substrat TMB ditambah dan diinkubasi dalam kamar
gelap selama 20±1 menit. Sumuran dengan hasil positif akan memberikan warna
biru.
7. Lima puluh µl larutan penyetop ditambah di setiap sumuran sebagai akhir reaksi
dengan shaking. Hasil positif ditandai dengan perubahan warna dari biru menjadi
kuning.
penyetop.
49
4.8.1.6 Interferensi
Hasil TPS serum dapat meningkat 3x lebih tinggi jika kadar hemoglobin tinggi.
Tidak ada laporan mengenai interferensi terhadap kadar bilirubin dan lemak.
duplikasi pemeriksaan pada beberapa spesimen penelitian dalam waktu yang bersamaan
Penyajian data dilakukan dalam bentuk tabel, kurva dan keterangan tertulis.
a. Semua data yang terkumpul dilakukan koding, tabulasi dan entri data ke dalam
komputer.
50
Uji normalitas bivariat dilakukan untuk mengetahui apakah data kadar TPS dan
volume prostat berdistrribusi normal. Data penelitian dianalisis untuk melihat adanya
korelasi antara kadar TPS serum dan volume prostat menggunakan uji korelasi Pearson.
Penelitian ini sudah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian Fakultas
berupa inisial responden dan kode nomor sampel. Data ini digunakan hanya untuk
51
BAB 5
HASIL PENELITIAN
(TPS) serum dilakukan dengan mencari impresisi within run dengan melakukan
Hasil yang diperoleh berupa Simpang Baku (SB) dan coefficient of variation (CV). Uji
impresisi perangkat reagen TPS® ELISA didapatkan SB sebesar 19,61 U/L dan CV
sampel yang memenuhi kriteria penerimaannya adalah 28 dari Poli Rawat Jalan Urologi
RSUD DR. Soetomo Surabaya. Jumlah tersebut telah memenuhi besar sampel yang
ditetapkan pada penelitian ini. Seluruh subjek penelitian merupakan penderita BPH
yang telah didiagnosis oleh teman sejawat spesialis Urologi dan bersedia ikut serta
Kesehatan RSUD DR. Soetomo Surabaya telah menyetujui dan menyatakan laik etik
52
Karakteristik usia dari 28 subjek penderita BPH yang ikut dalam penelitian ini
tercantum dalam tabel 5.1 dan rerata usia subjek penelitian tercantum pada tabel 5.2.
antara 60 sampai 70 tahun (82,13%) dan hanya 1 subjek penelitian berusia 40-49 tahun
(3,58%).
1A, 1B 55
2A, 2B 62
3A, 3B 64
4A, 4B 52
5A, 5B 72
6A, 6B 61
7A, 7B 61
8A, 8 B 60
9A, 9B 61
10A, 10 B 70
11A, 11B 62
12A, 12B 67
13A, 13B 64
14A, 14B 65
15A, 15B 48
16A, 16B 70
17A, 17B 70
18A, 18B 57
19A, 19B 70
53
20A, 20B 51
21A, 21B 60
22A, 22B 68
23A, 23B 73
24A, 24B 68
25A, 25B 69
26A, 26 B 64
27A, 27B 65
28A, 28B 70
Rerata 63,18571429
SB 6,64705881
Median 64
Minimum 48
Maksimum 73
Tabel 5.2 menunjukkan rentang usia subjek penderita BPH berkisar antara 48-70
Kadar pemeriksaan TPS dengan reagen TPS® ELISA berkisar antara 10-1200
U/L. Kadar minimal yang dapat dideteksi dengan reagen TPS® ELISA adalah < 6 U/L.
Nilai normal TPS serum menurut kit reagen TPS® ELISA adalah 80 U/L.
Hasil kadar TPS serum yang didapatkan pada penelitian ini lebih tinggi dari
normal pada 13 subjek penderita berkisar antara 82,45-1822 U/L. Rerata ± SB kadar
TPS pada seluruh subjek penelitian adalah 195,35 ± 349,79 U/L. Kadar TPS terendah
didapatkan pada subjek penderita dengan volume prostat 32,2 ml sedangkan kadar TPS
tertinggi didapatkan pada subjek penderita dengan volume prostat 41,3 ml. Kadar TPS
terbanyak didapatkan pada kadar 30-299 U/L sebanyak 25 subjek penderita (89,28%).
Dua subjek penderita BPH dalam penelitian ini mempunyai rerata kadar TPS
yang cukup tinggi yaitu 895,05 U/L dan 1771,5 U/L. Masing-masing kedua subjek
54
secara berturut-turut memiliki volume prostat sebesar 41,3 ml dan 54,3 ml. Hasil
pengukuran kadar TPS serum tercantum pada tabel 5.3 dan hasil rerata pengukuran
Tabel di atas memperlihatkan kadar TPS terbanyak didapat pada kadar 30-299 U/L
55
Hasil pengukuran volume prostat 28 subjek penelitian tercantum pada tabel 5.5.
Hasil volume prostat yang didapat pada penelitian ini lebih tinggi dari normal pada
semua subjek penderita BPH, berkisar antara 20,7-87,4 ml dengan rerata±SB adalah
Tabel diatas menunjukkan bahwa lebih dari separuh subjek penelitian (64,28%)
1A, 1B 38, 2
2A, 2B 20, 7
3A, 3B 21, 5
4A, 4B 56, 4
5A, 5B 45, 3
56
6A, 6B 87, 4
7A, 7B 35, 4
8A, 8 B 25, 2
9A, 9B 28
10A, 10 B 41, 3
11A, 11B 32, 2
12A, 12B 43, 8
13A, 13B 22
14A, 14B 25, 26
15A, 15B 41, 05
16A, 16B 46, 2
17A, 17B 54, 1
18A, 18B 21, 2
19A, 19B 37, 4
20A, 20B 24
21A, 21B 24, 3
22A, 22B 22
23A, 23B 22
24A, 24B 21,5
25A, 25B 24
26A, 26 B 32, 7
27A, 27B 54,3
28A, 28B 24,2
Rerata 34,7004
SB 15,31463
Median 24
Minimum 20,7
Maksimum 87,4
Hasil pengukuran kadar TPS serum dan volume prostat pada penelitian ini
selanjutnya akan diolah secara statistik untuk mengetahui apakah ada korelasi positif
yang bermakna antara kadar TPS dan volume prostat. Subjek penderita yang memiliki
volume prostat yang besar tidak selalu memiliki kadar TPS yang tinggi, begitu pula
sebaliknya, subjek penderita dengan kadar TPS yang normal ternyata memiliki volume
57
Tabel 5.7 Hasil Rerata Pengukuran kadar TPS serum dan Volume Prostat
Kode Sampel Volume (ml) Rerata kadar TPS
( U/L)
1A, 1B 38, 2 53,3
2A, 2B 20, 7 100,05
3A, 3B 21, 5 113,95
4A, 4B 56, 4 311,15
5A, 5B 45, 3 51,2
6A, 6B 87, 4 76,55
7A, 7B 35, 4 54,85
8A, 8 B 25, 2 67,85
9A, 9B 28 163,3
10A, 10 B 41, 3 1771,5
11A, 11B 32, 2 30,35
12A, 12B 43, 8 72,15
13A, 13B 22 91,15
14A, 14B 25, 26 79,4
15A, 15B 41, 05 63,7
16A, 16B 46, 2 82,45
17A, 17B 54, 1 51,7
18A, 18B 21, 2 213,5
19A, 19B 37, 4 78,3
20A, 20B 24 67,6
21A, 21B 24, 3 62,3
22A, 22B 22 226,45
23A, 23B 22 249,15
24A, 24B 21,5 62,3
25A, 25B 24 144,7
26A, 26 B 32, 7 177,3
27A, 27B 54,3 895,05
28A, 28B 24,2 58,5
Rerata 34,7004 195,3482143
SB 15,31463 349,7986456
Median 24 78,85
Minimum 20,7 30.35
Maksimum 87,4 1771,5
Uji normalitas bivariat dilakukan untuk mengetahui apakah data kadar TPS
serum dan volume prostat berdistribusi normal bivariabel. Hasil analisis uji normalitas
bivariat menunjukkan bahwa data berdistribusi di sekitar garis diagonal dan tidak ada
58
data yang menyimpang jauh dari garis sehingga dikatakan data kadar TPS serum dan
Uji korelasi Pearson dilakukan untuk menentukan korelasi antara kadar TPS
serum dengan volume prostat pada BPH. Hasil analisis menunjukkan tidak ada korelasi
positif yang bermakna antara kadar TPS serum dengan volume prostat (p= 0,404)
Gambar 5.1 Grafik Korelasi antara kadar TPS dengan Volume Prostat
59
BAB 6
PEMBAHASAN
(TPS)
penelitian dalam waktu yang bersamaan. Hasil yang didapat adalah Simpang Baku (SB)
sebesar 19,61 U/L dan Variasi Koefisien (CV) sebesar 7,97%. Impresisi merupakan
penyimpangan berarti semakin dekat hasil pemeriksaan satu sama lainnya dari seri
pemeriksaan ulang. Penelitian ini dianggap mempunyai presisi yang baik untuk
besar dibanding sampel lainnya, yaitu sampel pertama didapatkan hasil 1721 U/L dan
1822 U/L dengan SB sebesar 71,41 U/L; sampel kedua didapatkan hasil 987,4 U/L dan
802,7 U/L dengan SB sebesar 130,6 U/L. Ada juga hasil duplikasi pemeriksaan pada
satu sampel yang perbedaannya sangat kecil, yaitu SB 1,06 U/L. Hal tersebut mungkin
disebabkan karena adanya gelembung dalam sumuran, sumuran tidak dicuci dengan
baik secara menyeluruh, dan pemipetan yang tidak konsisten. Adanya gelembung dalam
sumuran dapat menyebabkan efisiensi ikatan antigen-antibodi lebih rendah atau dapat
mengganggu pada saat pembacaan dengan ELISA reader sehingga hasil pengukuran
menjadi lebih rendah. Sumuran yang tidak dicuci dengan baik secara menyeluruh
60
menyebabkan hasil pengukuran tinggi karena kemungkinan adanya antigen yang masih
tertinggal di dasar sumuran dan dapat berikatan dengan antibodi berlabel biotin.
Pemipetan yang tidak konsisten dapat menyebabkan perbedaan hasil yang besar pada
duplikat.
Telitian ini menemukan kasus BPH terbanyak dijumpai di kelompok usia antara
60-70 tahun (82,13%) dengan rerata usia 63,18±6,6 tahun. Hal ini sesuai dengan
muatan kepustakaan yang menyatakan bahwa laki-laki yang memiliki usia ≥ 50 tahun
memiliki risiko 6,24 kali lebih besar dibanding dengan laki-laki yang berusia ≤ 50 tahun
dengan rerata usia subjek penelitian adalah 65,90±9,1 tahun untuk kelompok kasus
(Rizki A, 2008).
BPH adalah 63,72±9,40 tahun dengan 33,4% penderita berada dalam kelompok usia
60-69 tahun. Hal ini disebabkan karena pada usia lebih dari 50 tahun kadar hormon
testosteron mulai menurun dan penurunan akan lebih cepat pada usia 60 tahun ke atas
dan DHT yang terbentuk akan berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk
kompleks DHT-RA pada inti sel sehingga terjadi sintesis protein growth factor yang
61
DHT inilah yang kemudian secara kronis menstimulasi kelenjar prostat sehingga
membesar yang pada usia 60 tahun nodaul pembesaran prostat terlihat sekitar 60%
sedangkan pada usia 80 tahun nodul terlihat pada 90% yang di antaranya sudah mulai
Hasil kadar TPS serum yang didapat pada penelitian ini lebih tinggi dari normal
pada 13 subjek penderita berkisar antara 82,45-1822 U/L dengan rerata ± SB pada
semua subjek penelitian adalah 195,35 ± 349,79 U/L. Rerata kadar TPS terendah yaitu
30,35 U/L didapat pada subjek penderita dengan volume prostat 32,2 ml; sedangkan
rerata kadar TPS tertinggi yaitu 1771,5 U/L didapat pada subjek penderita dengan
volume prostat 41,3 ml. Sampel yang memiliki rerata kadar TPS 1771,5 U/L dalam
kondisi serum yang ikterik, hal ini kemungkinan bisa mengganggu reaksi ikatan antigen
dan antibodi pada ELISA meskipun belum ada laporan mengenai interferens ikterik
terhadap pemeriksaan TPS. Rerata kadar TPS yang tinggi juga dapat disebabkan oleh
sumuran yang tidak dicuci dengan baik secara menyeluruh sehingga kemungkinan
masih ada antigen yang tertinggal di dasar sumuran dan berikatan dengan antibodi
berlabel biotin. Kadar TPS juga dapat meningkat pada beberapa penyakit seperti gagal
ginjal, hepatitis kronik aktif, dan diabetes melitus sehingga dapat menyebabkan hasil
Gagal ginjal dapat meningkatkan kadar TPS karena terjadi kerusakan membran epitel
glomerulus sehingga sitokeratin 18 keluar ke sirkulasi darah dan dapat terdeteksi oleh
62
TPS. Penyakit hati baik non keganasan seperti hepatitis kronik, hepatitis autoimun,
carcinoma (HCC) juga dapat meningkatkan kadar TPS akibat kerusakan hepatosit dan
keluar ke sirkulasi darah karena hepatosit rusak sehingga dapat terdeteksi oleh TPS.
Peningkatan kadar TPS pada DM terutama terjadi pada komplikasi disfungsi ginjal dan
Kadar TPS pada 15 subjek penelitian menunjukkan hasil normal yang dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu adanya gelembung dalam sumuran yang dapat
pada saat pembacaan dengan ELISA reader, menyebabkan hasil pengukuran menjadi
lebih rendah.
Telitian yang dilakukan Anitha, D et al mengenai kadar TPS serum pada BPH
mendapatkan kadar TPS serum hanya meningkat pada 8 subjek penelitian (32%) dari 25
subjek penelitian dengan p >0,1. Hal ini disebabkan karena selain mendeteksi
sitokeratin 18, TPS juga dapat mendeteksi filamen intermediet sitoskeletal lain yaitu
sitokeratin 8 dan sitokeratin 19 yang lebih dominan. Sitokeratin 18, 8 dan 19 disintesis
selama proses proliferasi sel epitel dan stroma sehingga fragmen protein sitokeratin
Alasan lain adalah sitokeratin 18 yang terdapat pada sel epitel prostat dapat
mengalami tumpang tindih dengan sitokeratin lain seperti sitokeratin 8 dan sitokeratin
63
Hasil volume prostat yang didapat pada penelitian ini lebih tinggi dari normal
pada semua subjek penderita BPH berkisar antara 20,7-87,4 ml dengan rerata ± SB
outcome BPH seperti retensi urine akut atau tindakan operatif pada penderita BPH.
Banyak pendapat yang berbeda mengenai ukuran prostat yang normal berkisar antara 20
perubahan terhadap total volume prostat dan volume zona transisional yang merupakan
zona pertumbuhan hiperplasia jinak pada laki-laki usia 40-70 tahun dan mendapat hasil
bahwa volume prostat meningkat dua kali lipat dari 5,5 ml pada kelompok usia 40-49
tahun sampai 11,1 ml pada usia 60-70 tahun (Fukuta et al, 2011).
Hasil pada penelitian ini didapat semua subjek penelitian memiliki volume
prostat lebih besar dari 20 ml. Subjek penelitian yang berusia 48 tahun memiliki volume
prostat 41,05 ml dan subjek penelitian yang berusia 70 tahun memiliki volume prostat
54,1 ml. Terdapat juga beberapa ketidaksesuaian pada penelitian ini yaitu subjek
penelitian yang berusia 48 tahun memiliki volume prostat 41,05 ml sedangkan subjek
penelitian yang berusia 67 tahun juga memiliki volume prostat 43,8 ml.
64
Hal ini dapat disebabkan antara lain karena adanya variabilitas antara pemeriksa
dengan pengalaman yang berbeda, peningkatan panjang dan lebar prostat cenderung
stabil dan hanya berubah sedikit pada usia 40-69 tahun, sedangkan setelah usia 70 tahun
diameter prostat akan semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum usia 60
tahun pertumbuhan prostat berjalan lambat, dan setelah usia 60 tahun prostat akan
bertumbuh lebih cepat dalam hal panjang prostat (Zhang SJ et al, 2013).
6.5 Korelasi antara kadar TPS serum dengan Volume Prostat pada Penderita BPH
Proliferasi sel epitel dan sel stroma prostat di dalam zona transisional
proliferasi, diferensiasi, apoptosis dan penuaan. Peningkatan jumlah sel pada BPH
disebabkan karena proliferasi sel epitel dan stroma mengakibatkan pembesaran prostat
TPS yang terdeteksi di sirkulasi terdiri dari fragmen sitokeratin 18 yang terdapat
yang berperan penting dalam memelihara integritas inti sel dan terlibat dalam proses
pengaturan seluler termasuk apoptosis, mitosis dan siklus sel (Bormer, 1994; Zhang C
et al, 2013).
pada kondisi fisiologis prostat untuk menyelidiki fungsi sitokeratin 18 secara invivo di
prostat mendapat hasil yaitu tidak adanya sitokeratin 18 pada hewan coba tidak
65
Hasil pada penelitian ini berlawanan dengan hipotesis penelitian. Hal ini
disebabkan sitokeratin 18 memiliki efek terbatas pada sel epitel prostat karena adanya
petanda proliferasi sel yang penting. Sitokeratin 18 yang dihilangkan pada penelitian
dan pertumbuhan sel epitel prostat karena adanya upregulation dari sitokeratin lain
luminal dan basal prostat dapat meningkat atau upregulated bersama dengan sitokeratin
ekspresi petanda protein atau tissue-specific marker pada jaringan BPH secara in vivo
dan in vitro pada media kultur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara in vivo ada
19 juga didapat bersama dengan sitokeratin 18 sehingga hal ini dapat menyebabkan
sitokeratin 18 yang dideteksi dengan TPS tidak selalu meningkat karena adanya
tumpang tindih dengan sitokeratin lain yang lebih dominan. Proses in vitro kultur sel
menperlihatkan petanda sel luminal prostat yaitu sitokeratin 8 dan sitokeratin 18 tidak
Specific Antigen (PSA) pada pria Asia berbeda dengan pria kulit putih. Ia meneliti
mengenai perbedaan komposisi seluler pada BPH dari segi rasial dan menemukan
bahwa pria Asia memiliki komponen epitelial (glandular) yang lebih banyak dan
66
komponen stromal yang lebih sedikit dibanding pria kulit putih atau black Americans.
Komponen glandular yang secara relatif lebih banyak pada pria Asia dapat menjelaskan
mengenai kadar PSA yang meningkat per unit volume prostat jika dibandingkan dengan
pria kulit putih, namun hal ini tidak diketahui dalam hubungannya dengan TPS. (Shim
HB et al 2007).
pada hiperplasia prostat jinak namun sitokeratin 18 yang dideteksi dengan TPS tidak
selalu meningkat atau sebaliknya kadar TPS yang meningkat tidak selalu menandakan
Telitian ini memiliki keterbatasan yaitu hasil pengukuran kadar TPS serum dan
korelasinya dengan volume prostat tidak dapat dihubungkan dengan keadaan klinis
penderita BPH. Hal ini dikarenakan BPH merupakan proses fisiologis yang terjadi pada
Keterbatasan lainnya adalah pengukuran kadar TPS dan volume prostat pada
penelitian ini hanya dilakukan satu kali saat pasien datang berobat ke poli rawat jalan
Urologi RSUD DR. Soetomo. Cara yang terbaik untuk memonitor pola pertumbuhan
prostat adalah dengan studi longitudinal dengan tujuan semua subjek penelitian diikuti
selama beberapa waktu untuk melihat perubahan kadar TPS dan tingkat pertumbuhan
prostat sehingga dengan beberapa kali pemeriksaan, diharapkan terdapat korelasi antara
67
BAB 7
7.1 Simpulan
a. Kadar Tissue Polypeptide Specific Antigen (TPS) yang didapat berkisar antara 30,35
b. Nilai volume prostat yang didapat bervariasi antara 20,7 ml sampai 87,4 ml
c. Tidak terdapat korelasi antara kadar TPS serum dan volume prostat pada penderita
BPH.
7.2 Saran
a. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang menilai kadar TPS dan hubungannya
dengan volume prostat pada penyakit prostat lain seperti kanker prostat sehingga
dapat mengetahui dengan lebih baik peran pengukuran kadar TPS dalam
petanda tumor lain seperti Prostate Specific Antigen (PSA) dalam korelasinya
dengan volume prostat, sehingga dapat meningkatkan peran TPS lebih baik
68
DAFTAR PUSTAKA
Anon. “TPS® ELISA: for accurate tumor status”. Sweden: IDL Biotech AB.
Avalaible at http://www.ibl-america.com/pdf/elisa/10-212.pdf. Accessed 24
August 2015.
Brannigan, RE. & Grayhack, JT. 2004. “5α-reductase inhibitors”. In: McVary KT
ed. Management of Benign Prostatic Hypertrophy. New Jersey: Humana Press
Inc, pp. 79, 81-2, 85, 92-3.
Ceriani, L., Giovanella, L., Salvadore, M., Bono, AV., Roncari, G. 1997. “Tissue
polypeptide-specific antigen immunoassay in the diagnosis and clinical staging of
69
Chan, DW., Booth, RA., Diamandis, EP. 2006. “Tumor markers”. Dalam: Tietz
Textbook of Clinical Chemistry and Molecular Diagnosis. Burtis CA., Ashwood
ER., Bruns DE. 2006. Philadelphia:Elsevier Inc, pp. 757-58, 769.
Fry, P., Hudson, DL., O’Hare, MJ., Masters, JRW. 2000. “Comparison of marker
protein expression in benign prostatic hyperplasia in vivo and in vitro”. British
Journal of Urology International, 85, pp. 504-13.
Goh, HJ., Kim, SA., Nam, JW., Choi, BY., Moon, HS. 2015. “Community-based
research on the benign prostatic hyperplasia prevalence rate in Korean rural area”.
Korean Journal Urology, 56, pp. 68-75.
Hudson DL., Guyb AT., Fry P., O’Hare MJ., Watt FM., Masters JRW. 2001.
“Epithelial cell differentiation pathways in the human prostate: identification of
intermediate phenotypes by keratin expression”. The Journal of Histochemistry &
Cytochemistry, 49(2), pp. 271-78.
Hudson, DL., O’Hare, MJ., Masters, JRW. 2000. “Comparison of marker protein
expression in benign prostatic hyperplasia in vivo and in vitro”. British Journal of
Urology International, 85, pp. 504-13.
Hulley, BS., Cummings, SR., Browner, WS, Grady, DG., Newman, TB. 2013.
Designing Clinical Research : An Epidemiologic Approach.
Kramer, G., Mitteregger, D., Marberger, M. 2007. “Is benign prostatic hyperplasia
(BPH) an immune inflammatory disease?”. European Urology, 51, pp. 1202-16.
Kuo, HC. 2008. “Guidelines for diagnostic assessment and advanced study of
lower urinary tract symptoms suggestive of benign prostatic hyperplasia”. Incont
Pelvic Floor Dysfunc, 2(1): pp 7-10.
70
McConnell, JD., Bruskewitz, RC., Bueschen, AJ., Holtgrewe, HL., Lange, JL.,
McClennan, BL. 2003. “Benign Prostatic Hyperplasia:diagnosis and treatment
guideline overview”. Journal of The National Medical Association, 86(7), pp.
489, 548-49.
McPhee, SJ. 1997. “Disorders of the male reproductive tract.” In: McPhee, SJ.,
Lingappa, VR., Ganong, WF., Lange, JD ed. 1997. Pathophysiology of Disease.
An Introduction to Clinical Medicine, 2nd ed. Stamford:Appleton&Lange, pp
553-55.
Nash, John. 2010. “Benign prostatic hyperplasia: risk factors and management”.
GM Midlife and Beyond, pp. 364-68. Avalaible at www.gerimed.co.uk. Accessed
31 January 2016.
Nickel, JC. 2003. “Benign prostatic hyperplasia: does prostate size matter?”.
Reviews in Urology, 5(4), pp. 12-7.
Parsons, KJ. 2010. “Benign Prostatic Hyperplasia and Male Lower Urinary Tract
Symptoms: Epidemiology and Risk Factors”. Curr Bladder Dysfunct Rep, 5, pp.
212–18
Paul, D., Biswas, R., Habib, SH. 2011. “Tissue Polypeptide Specific Antigen as a
Marker used to Determine the Liver Diseases”. Kathmandu University Medical
Journal, 33(1), pp. 24-7.
Penna, G., Fibbi, B., Amuchastegui, S., Cossetti, C., Aquilano, F., Laverny, G.,
Gacci, M., Crescioli, C., Maggi, M., Adorini, L. 2009. “Human benign prostatic
hyperplasia stromal cells as inducers and targets of chronic immuno-mediated
inflammation”. The Journal of Immunology, 182, pp. 4056-64.
71
Purnomo, BB. 2009. “Hiperplasia prostat”. Dalam: Purnomo, BB. 2009. Dasar-
Dasar Urologi, ed 2. Jakarta: Sagung Seto, pp. 69-85.
Rebhandi, W., Rami, B., Turnbull, J., Felberbauer, FX., Paya, K., Todesca, DB.,
Gherardini, R., Mittiboeck, M., Horcher, E. 1998. “Diagnosis value of tissue
polypeptide-specific antigen (TPS) in neuroblastoma and Wilms’ tumour”. British
Journal of cancer, 78(11), pp. 1503-06.
Shim, HB., Lee, JK., Jung, TY., Ku, JH. 2007. “Serum prostate-specific antigen
as a predictor of prostate volume in korean men with lower urinary tract
symptoms”. Prostate Cancer and Prostatic Disease, 10, pp. 143-48.
Sperling, D. 2010. “Revolutionary new focal laser treatment for Benign Prostatic
Hyperplasia (BPH)”. Sperling Prostate Cancer. Avalaible at
http://sperlingprostatecenter.com/revolutionary-new-focal-laser-treatment-for-
benign-prostatic-hyperplasia-bph/. Accessed 3 September 2015.
Stern, JA., Fitzpatrick, JM., McVary, KT. 2004. Prostate anatomy and causative
theories, pathophysiology and natural history of benign prostatic hyperplasia. In:
McVary KT ed. Management of Benign Prostatic Hypertrophy. New Jersey:
Humana Press Inc, pp 1-4, 7-9, 12-15.
Sussman, DO. & Syed KK. 2015. “Diagnosing and treating BPH-LUTS”. AOA
Health Watch, pp. 1-15. Avalaible at
http://www.cecity.com/aoa/healthwatch/2015/print2.pdf. Accessed 1 September
2015.
Theyer, G., Holub, S., Dürer, A., Andert, S., Haberl, I., Theyer, U., Hamilton, G.
1997. “Measurements of tissue polypeptide-specific antigen and prostate specific
antigen in prostate cancer patients under intermitten androgen suppresion
therapy”. British Journal of Cancer, 75(10), pp. 1515-18.
72
Weng, YR., Cui, Y., Fang, JY. 2012. “Biological functions of cytokeratin 18 in
cancer (review)”. American Association for Cancer Research Journals, 10(4), pp.
1-9.
Zhang, C., Guo, Y., Cui J., Zhu, HH., Gao, WQ. 2013. “Cytokeratin 18 is not
required for morphogenesis of developing prostates but contribute to adult
prostate regeneration”. Biomed Research International, 20(1), pp. 1-8.
Zhang, SJ., Qian, HN., Zhao, Y., Sun, K., Wang, HQ., Liang, GQ., Li, FH., Li, Z.
2013. “Relationship between age and prostate size”. Asian Journal of Andrology”,
15(2), pp. 116-120.
73
A. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi antara kadar TPS serum dan
korelasi antara TPS dengan volume prostat yang akan bermanfaat untuk
tindakan terapi. Manfaat bagi orang lain yaitu bila ditemukan korelasi antara
kadar TPS serum dan volume prostat pada hasil penelitian, membantu
74
3. Pengambilan darah dilakukan 1 (satu) kali saat pasien datang berobat di poli
D. Efek Samping
Kemungkinan efek samping hampir tidak ada atau sangat kecil. Seandainya
terjadi adalah bengkak pada tempat pengambilan sampel darah akibat penusukan.
atau hubungi perawat yang bertugas. Apabila ingin melakukan kontak tentang
E. Jaminan Kerahasiaan
ilmiah.
75
untuk ikut dalam penelitian, yaitu memenuhi kriteria penerimaan sampel yang
diagnosis BPH-nya ditegakkan oleh dokter spesialis Urologi dan datang berobat di
Surabaya, .......................................
76
Nama :
Umur :
Alamat :
Telp/HP :
Pekerjaan :
Surabaya,............................................
77
Nama :
Umur :
Alamat/Telepon :
Pekerjaan :
Surabaya,............................................
78
Data dasar :
No. Kode sampel : ..................................................................................
Nama/ nomor handphone : ..................................................................................
Umur/Tanggal lahir : ..................................................................................
Alamat : ..................................................................................
Pekerjaan : ..................................................................................
Diagnosis kerja : ..................................................................................
Skor IPSS : ..................................................................................
Tanggal pengambilan sampel :...................................................................................
Volume prostat (TRUS) :...................................................................................
79
80
81
82
83
84
85
86
87