Vous êtes sur la page 1sur 110

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Karya Akhir

KORELASI ANTARA KADAR TISSUE POLYPEPTIDE


SPECIFIC ANTIGEN SERUM DAN VOLUME PROSTAT
PADA PENDERITA BPH

Oleh:
Mahrany Graciella Bumbungan, dr
NIM: 011181505

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RSUD DR. SOETOMO SURABAYA
2016

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Karya Akhir

KORELASI ANTARA KADAR TISSUE POLYPEPTIDE


SPECIFIC ANTIGEN SERUM DAN VOLUME PROSTAT
PADA PENDERITA BPH

Oleh:
Mahrany Graciella Bumbungan, dr

Pembimbing:
Endang Retnowati, dr., MS., Sp.PK (K)
Dr. Wahjoe Djatisoesanto, dr., Sp.U

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RSUD DR. SOETOMO SURABAYA
2016

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

KORELASI ANTARA KADAR TISSUE POLYPEPTIDE


SPECIFIC ANTIGEN SERUM DAN VOLUME PROSTAT
PADA PENDERITA BPH

KARYA AKHIR

Dalam rangka memenuhi persyaratan


Program Pendidikan Dokter Spesialis I Patologi Klinik

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


DEPARTEMEN-INSTALASI PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA
2016

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Tim Penguji Departemen Patologi Klinik:


1. Prof. Dr. Prihatini, dr., Sp.PK (K)
2. Leonita Anniwati, dr., Sp.PK (K)
3. Fery H. Soedewo, dr., MS., Sp.PK (K)

Konsultan Statistika :
Dr. Windhu Purnomo dr., MS

ii

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

iii

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat, kemurahan, dan
perkenaanNya saya dapat menyelesaikan karya akhir yang berjudul “Korelasi antara
kadar Tissue Polypeptide Specific Antigen Serum dan Volume Prostat pada
Penderita BPH”. Karya akhir ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan
Program Pendidikan Dokter Spesialis I Patologi Klinik di Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Surabaya.

Terima kasih yang setulus-tulusnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya


saya ucapkan kepada Endang Retnowati, dr., MS, Sp.PK(K) dan Dr. Wahjoe
Djatisoesanto, dr., Sp.U selaku pembimbing yang telah banyak memberi dorongan,
bimbingan, petunjuk, dan saran yang sangat bermanfaat dalam penyusunan karya akhir
ini.

Rasa hormat dan terima kasih saya sampaikan kepada:

1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga yang telah memberi kesempatan


kepada saya untuk mengikuti pendidikan spesialis di bidang Patologi Klinik.

2. Direktur RSUD Dr. Soetomo yang telah memberi ijin untuk menggunakan fasilitas
rumah sakit dalam rangka melaksanakan tugas selama pendidikan spesialis ini.

3. Yetti Hernaningsih, dr., Sp.PK, sebagai Kepala Departemen Patologi Klinik


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan
Prof. Dr. Aryati, dr., MS, Sp.PK(K), selama menjabat sebagai Kepala
Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr.
Soetomo Surabaya atas pengarahan serta bimbingannya selama saya menempuh
pendidikan.

4. Dr. Puspa Wardhani, dr., Sp.PK, sebagai Ketua Program Studi Patologi Klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan Dr.
Sidarti Soehita, dr., MS, Sp.PK(K), selama menjabat sebagai Ketua Program
Studi Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr.
Soetomo Surabaya atas pengarahan serta bimbingannya selama saya menempuh
pendidikan.

5. Dr. Hartono Kahar, dr., Sp.PK, MQIH, sebagai Kepala Instalasi Patologi Klinik
RSUD Dr. Soetomo Surabaya, yang telah memperkenankan saya belajar dan
bekerja di Instalasi Patologi Klinik RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

iv

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

6. Prof. SP Edijanto, dr., Sp.PK(K), Prof. Dr. Prihatini, dr., Sp.PK(K), Prof. Dr.
Aryati, dr., MS, Sp.PK(K), Prof. Dr. Jusak Nugraha, dr., MS, Sp.PK(K), dan
Prof. Dr. Drs. Suprapto Ma’at, MS, Apt. sebagai Guru Besar yang dengan penuh
kesabaran membimbing saya memahami pengetahuan patologi klinik.

7. Dr. Windhu Purnomo, dr., MS, dari Departemen Biostatistika dan Kependudukan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya sebagai konsultan
statistik, atas segala bimbingannya dalam metodologi dan analisis statistik dalam
penelitian ini.

8. Prof. Dr. Prihatini, dr., MS., Sp.PK (K), Fery H. Soedewo, dr., MS., Sp.PK
(K), dan Leonita Anniwati, dr., Sp.PK (K) yang telah bersedia menjadi penilai
dan memberi masukan yang berharga untuk perbaikan karya akhir ini.

9. Juli Soemarsono, dr., Sp.PK (Alm) selama menjabat sebagai Sekretaris Program
Studi Patologi Klinik yang semasa hidup beliau telah memberikan bimbingan dan
arahan selama saya menempuh pendidikan.

10. M. Yolanda Probohoesodo, dr., Sp.PK(K) yang telah membantu saya dalam
penulisan abstrak dan ringkasan dalam bahasa Inggris.

11. Seluruh staf pengajar Departemen-Instalasi Patologi Klinik Fakultas Kedokteran


Universitas Airlangga Surabaya yang telah membimbing dan memberi petunjuk
selama saya mengikuti pendidikan.

12. Seluruh teman sejawat peserta PPDS I Patologi Klinik Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Surabaya, atas persahabatan, bantuan, dan kerjasama yang
baik selama menempuh pendidikan spesialis ini, khususnya angkatan Januari 2012
yaitu Binar Rahma Utami, Rahmi Rusanti, Suci Andriani, Pauline Hadisiswoyo, M.
Abid Fahruddin, Si Ngurah Oka Putrawan, dan Eko Bagus Wahyudi yang selalu
kompak, baik dalam suka maupun duka, senasib seperjuangan selama menempuh
pendidikan ini, dan juga kepada kakak kelas serta teman PPDS yang lain.

13. Sri Hariastuti, AMd.K; Yuanita Bahar, AMd.AK, atas bantuannya dalam
pelaksanaan penelitian.

14. Semua karyawan dan karyawati Instalasi Patologi Klinik RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, atas segala bantuan dan kerjasama yang baik selama menempuh
pendidikan.

15. Kepala Departemen-SMF Urologi FK Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya dan jajarannya yang telah mengijinkan pengambilan sampel penelitian.

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

16. Semua residen urologi dan perawat di Poli Rawat Jalan Urologi RSUD Dr.
Soetomo Surabaya, atas segala bantuan dan kerjasama yang baik dalam
pengambilan sampel penelitian.

17. Orang tuaku Bara Bumbungan, Ir., MBA dan Rosanna Christina; papa mama
mertua Soleman Marianus Louk, SE dan Margaritha Louk Salean, drg., M.Kes
serta kakak-adik tercinta Angely Naftalie, S.Sos dan Manoressy Tobias, ST,
Michael Jackson Aza Louk, SE dan Raynaldo Christo Louk, SE yang penuh
kasih sayang mendukung dan mendoakan dalam menyelesaikan pendidikan ini,
serta kepada seluruh keluarga besar atas dukungan, doa, bantuan materiil dan moril.

18. Suamiku tercinta Ronald Melvianno Louk, dr yang selalu sabar dan penuh
pengertian, atas doa, pengorbanan lahir batin serta semangat yang diberikan dalam
menjalani pendidikan ini. Putriku tercinta Dorothy Melviella Louk (Diva) yang
merupakan sumber kebahagiaan serta sumber semangat untuk menyelesaikan
pendidikan.

19. Kepada semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah
membantu saya dalam menempuh pendidikan spesialisasi hingga terselesaikannya
karya akhir ini.

Akhir kata saya mohon maaf kepada semua pihak untuk kesalahan dan kekurangan
dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan laporan karya akhir ini, serta segala
kesalahan dan kekhilafan dalam bertutur kata maupun bersikap yang kurang berkenan
dalam berinteraksi selama menempuh pendidikan dan selama kegiatan penelitian ini.

Surabaya, Maret 2016

Penulis

vi

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

ABSTRAK

KORELASI ANTARA KADAR TISSUE POLYPEPTIDE SPECIFIC ANTIGEN


SERUM DAN VOLUME PROSTAT PADA PENDERITA BPH

Mahrany Graciella Bumbungan

Pendahuluan
Volume prostat menjadi informasi yang penting karena dapat memprediksi morbiditas
pada Hiperplasia Prostat Jinak (BPH). Volume prostat diukur menggunakan transrectal
ultrasonography (TRUS) sebagai baku emas namun TRUS mempunyai beberapa
kekurangan. Dibutuhkan suatu parameter lain yang dapat memprediksi volume prostat.
Tissue Polypeptide Specific Antigen (TPS) yang terdeteksi di sirkulasi terdiri dari
fragmen sitokeratin yang terdapat dalam jaringan dan menunjukkan status proliferasi.
Sel epitel pada BPH yang mengandung sitokeratin 18 akan mengalami hiperplasia
sehingga dapat terdeteksi dengan pemeriksaan TPS. Tujuan penelitian ini adalah
membuktikan adanya korelasi antara kadar TPS serum dan volume prostat.

Metode
Penelitian bersifat observasional potong lintang, dilakukan mulai dari bulan Oktober
2015 sampai dengan Februari 2016. Subjek penelitian terdiri dari 28 penderita BPH
yang datang berobat ke Poli Rawat Jalan Urologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Volume prostat diukur menggunakan alat TRUS. Kadar TPS serum diukur
menggunakan metode ELISA secara manual (TPS® ELISA IDL Biotech).

Hasil
Kadar TPS serum berkisar antara 82,45-1771,5 U/L (195,35±349,79 U/L). Volume
prostat bervariasi antara 20,7-87,4 ml (34,70±15,31 ml). Tidak terdapat korelasi positif
yang bermakna antara kadar TPS serum dan volume prostat (p=0,404; r=0,164).

Simpulan
Tidak terdapat korelasi antara kadar TPS serum dan volume prostat pada penderita BPH

Kata kunci: BPH, Tissue Polypeptide Specific Antigen, volume prostat

vii

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

ABSTRACT

CORRELATION BETWEEN LEVEL OF SERUM TISSUE POLYPEPTIDE


SPECIFIC ANTIGEN AND PROSTATE VOLUME IN BPH PATIENTS

Mahrany Graciella Bumbungan

Background
Prostate volume has become an important information because it can predict morbidity
in Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Prostate volume was measured using
transrectal ultrasonography (TRUS) as a gold standard; but it has some disadvantages.
Other parameters are needed to predict prostate volume. Tissue Polypeptide Specific
Antigen (TPS) detected in the circulation consists of cytokeratin fragments contained in
the tissue and show the proliferation status. BPH epithelial cells containing cytokeratin
18 will undergo hyperplasia, so it can be detected by TPS examination. The aim of this
study was to prove any correlation between the levels of serum TPS and prostate
volume.

Methods
This study was done in October 2015 until February 2016, the study design was cross
sectional observational. Study subjects consisted of 28 BPH patients from the Urology
Outpatient Clinic Dr. Soetomo General Hospital Surabaya. Prostate volume was
measured using TRUS. Levels of serum TPS were measured using manual ELISA
method (TPS® ELISA IDL Biotech).

Results
Levels of serum TPS ranged between 82.45-1771.5 U/L (195.35±349.79 U/L). Prostate
volume varied between 20.7-87.4 ml (34.70±15.31 ml). No significant positive
correlations between levels of serum TPS and prostate volume were found (p=0.404;
r=0.164).

Conclusions
There were no correlations between levels of serum TPS and prostate volume in BPH
patients.

Keywords: BPH, Tissue Polypeptide Specific Antigen, prostate volume

viii

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

RINGKASAN

KORELASI ANTARA KADAR TISSUE POLYPEPTIDE SPECIFIC ANTIGEN


SERUM DAN VOLUME PROSTAT PADA PENDERITA BPH

Mahrany Graciella Bumbungan

Hiperplasia prostat atau benign prostatic hyperplasia (BPH) merupakan


kelainan terbanyak kedua pada penderita laki-laki setelah batu saluran kemih. Pedoman
American Urological Association (AUA) mendefinisikan BPH sebagai diagnosis
histopatologis yaitu terjadi proliferasi sel epitel dan sel stroma prostat di dalam zona
transisional prostat yang mengakibatkan penyempitan uretra. BPH sering ditemukan
pada pria usia lanjut dengan angka kejadian yang meningkat seiring bertambahnya usia.
Diagnosis BPH ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit penderita termasuk
kuesioner International Prostate Symptom Score (IPSS) dan 1 pertanyaan tunggal
mengenai kualitas hidup (quality of life atau QoL). Pencitraan ultrasonografi transrektal
atau transrectal ultrasonography (TRUS) merupakan baku emas untuk memprediksi
volume prostat sehingga dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat dan konsistensi
prostat namun TRUS memilik beberapa kelemahan.
Parameter lain dibutuhkan untuk memprediksi volume prostat yang dapat
digunakan secara luas yaitu Tissue Polypeptide Specific Antigen (TPS). Sel epitel pada
BPH yang mengandung sitokeratin 18 akan mengalami hiperplasia termasuk sel stroma
sehingga sitokeratin 18 dapat terdeteksi dengan pemeriksaan TPS.
Tujuan penelitian ini adalah membuktikan adanya korelasi antara kadar TPS
serum dan volume prostat. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2015 hingga
Februari 2016 dengan jenis penelitian analisis observasional dan rancangan potong
lintang. Subjek penelitian sebanyak 28 sampel yang merupakan penderita BPH yang
datang berobat ke Poli Rawat Jalan Urologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Sampel
darah vena diambil dan dilakukan pengukuran kadar TPS menggunakan metode ELISA
(TPS® ELISA IDL Biotech). Volume prostat diukur menggunakan alat TRUS.

ix

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Kadar TPS serum meningkat pada 13 subjek penderita BPH berkisar antara
82,45-1822 U/L dengan rerata±SD pada seluruh sampel adalah 195,35 ± 349,79 U/L.
Volume prostat bervariasi antara 20,7-87,4 cm dengan rerata ±SD adalah 34,70 ± 15,31
cm.
Hasil analisis statistik dengan uji korelasi Pearson menunjukkan tidak adanya
korelasi positif yang bermakna antara kadar TPS serum dengan volume prostat (p=
0,404) dengan nilai r= 0,164.
Hasil penelitian ini berlawanan dengan hipotesis. Sitokeratin 18 memiliki efek
terbatas pada fisiologis sel epitel prostat karena kemungkinan ada peningkatan
sitokeratin lain yang berlebihan. Sitokeratin 18 menunjukkan dampak yang rendah
terhadap morfogenesis dan pertumbuhan sel epitel prostat karena adanya upregulation
dari sitokeratin lain seperti sitokeratin 8 dan 19.
Sitokeratin 8 dan 19 yang didapat bersama dengan sitokeratin 18 menyebabkan
sitokeratin 18 yang dideteksi dengan TPS tidak selalu meningkat karena adanya
tumpang tindih dengan sitokeratin lain yang lebih dominan. Hal-hal tersebut
menunjukkan bahwa meskipun volume prostat membesar pada hiperplasia prostat jinak
namun sitokeratin 18 yang dideteksi dengan TPS tidak selalu meningkat.

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SUMMARY
CORRELATION BETWEEN LEVEL OF SERUM TISSUE POLYPEPTIDE
SPECIFIC ANTIGEN AND PROSTATE VOLUME IN BPH PATIENTS

Mahrany Graciella Bumbungan

Prostatic hyperplasia or benign prostatic hyperplasia (BPH) is the second most


common disorder in male patients after urinary tract stones. Guidelines of the American
Urological Association (AUA) define BPH as the histopathologic diagnosis which is
proliferation of epithelial cells and prostate stromal cells in the transitional zone of the
prostate that cause constriction of the urethra. BPH is common in older males with the
incidence increasing with age.
BPH diagnosis is made based on patient’s medical history questionnaire
including the International Prostate Symptom Score (IPSS) and one single question
about the quality of life (quality of life or QoL). Transrectal ultrasonography (TRUS) is
the gold standard for predicting prostate volume in order to detect enlarged prostate and
prostate consistency but TRUS have some disadvantages.
Another parameter is needed to predict the volume of the prostate that can be
used widely, namely Tissue Polypeptide Specific Antigen (TPS). BPH epithelial cells
containing cytokeratin 18 will undergo hyperplasia including stromal cells so that
cytokeratin 18 can be detected by TPS examination.
The aim of this study was to prove any correlation between levels of serum
TPS and prostate volume. This study was an observational analytical type with cross
sectional design, and was done in October 2015 until February 2016. Study subjects
were 28 BPH patients who visited the Urology Outpatient Clinic Dr. Soetomo General
Hospital, Surabaya. Venous blood samples were taken and levels of TPS were measured
by ELISA method ((TPS® ELISA IDL Biotech). Prostate volume was measured by
TRUS.
TPS levels were increased in 13 subjects of this study, ranged between 82.45-
1822 U/L with sample total mean ± SD of 195.35 ± 349.79 U/L. Volume prostate
varied, ranged between 20.7-87.4 ml with mean ± SD of 34.70 ± 15.31 ml.

xi

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Statistical analysis using Pearson’s Correlation Test showed that there was no
significant positive correlation between levels of serum TPS and prostate volume (p=
0.404; r= 0.164).
The result of this study was in contrast with the hypothesis. This is due to the
fact that cytokeratin 18 that has a limited effect on prostate epithelial cell physiology
because there may be an increase in other cytokeratins excessively. Cytokeratin 18
shows a low impact on morphogenesis and growth of prostate epithelial cells due to
their upregulation of cytokeratin such as cytokeratin 8 and cytokeratin 19.
Cytokeratin 8 and 19 obtained along with cytokeratin 18 causes that
cytokeratin 18 detected by TPS is not always increased due to overlapping with other
dominant cytokeratins. These explanations show that although the prostate volume is
enlarged in benign prostatic hyperplasia, the cytokeratin 18 as detected by TPS does not
always increase.

xii

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................i
PERNYATAAN KEASLIAN...............................................................................iii
KATA PENGANTAR ..........................................................................................iv
ABSTRAK............................................................................................................vii
RINGKASAN .......................................................................................................ix
DAFTAR ISI...................................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL.............................................................................................. xvi
DAFTAR GAMBAR......................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xviii
DAFTAR SINGKATAN.................................................................................... xix

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 5
1.3.1 Tujuan Umum .................................................................................... 5
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 5
1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti......................................................................... 5
1.4.2 Manfaat Bagi Institusi ........................................................................ 6
1.4.3 Manfaat Bagi Klinisi .......................................................................... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).. .......................................................... 7
2.1.1 Definisi ............................................................................................... 7
2.1.2 Epidemiologi ......................................................................................8
2.1.3 Prostat................................................................................................. 10
2.1.3.1 Anatomi Prostat......................................................................... 10
2.1.3.2 Fungsi Prostat ............................................................................ 12
2.1.4 Etiologi BPH ..................................................................................... 13
2.1.5 Patogenesis BPH ............................................................................... 14
2.1.5.1 Teori DHT dan Growth Factors yang terganggu ..................... 14
2.1 5.2 Peran Estrogen dan Ketidakseimbangan dengan Androgen ..... 17
2.1.5.3 Peran Jalur Inflamasi dan Sitokin pada BPH ............................ 18
2.1.6 Manifestasi Klinis ............................................................................. 20
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang .................................................................... 21
2.1.7.1 Urinalisis................................................................................... 21
2.1.7.2 Pemeriksaan Fungsi Ginjal ....................................................... 22
2.1.7.3 Catatan Harian Miksi/Voiding Diaries ..................................... 22
2.1.7.4 Uroflometri .............................................................................. 22
2.1.7.5 Pemeriksaan Residual Urine/PVR ............................................ 23
2.1.7.6 Pemeriksaan Colok Dubur atau DRE ....................................... 23

xiii

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

2.1.7.7 Penentuan Volume Prostat dengan TRUS ................................ 24


2.1.7.7.1 Prosedur TRUS ............................................................ 26
2.1.7.7.2 Interpretasi Hasil TRUS ............................................... 26
2.1.7.7.3 Komplikasi TRUS ........................................................ 28
2.1.7.8 Pemeriksaan Urodinamika........................................................ 28
2.1.8 Terapi BPH ........................................................................................ 28
2.1.8.1 Watchful Waiting ...................................................................... 30
2.1.8.2 Medikamentosa......................................................................... 31
2.1.8.3 Pembedahan .............................................................................. 33
2.2 Tissue Polypeptide Specific Antigen (TPS) .................................................. 34
2.2.1 Biokimia dan Fisiologi ................................................................ 34
2.2.2 Metode Pemeriksaan TPS ............................................................ 37

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN


3.1 Kerangka Konseptual .................................................................................... 38
3.2 Penjelasan Kerangka Konseptual .................................................................. 39
3.3 Hipotesis Penelitian ....................................................................................... 41

BAB 4 METODE PENELITIAN


4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ..................................................................... 42
4.2 Populasi, Sampel, Besar sampel dan Kriteria Sampel ................................... 42
4.2.1 Populasi Penelitian ............................................................................. 42
4.2.2 Sampel Penelitian ............................................................................... 42
4.2.3 Besar Sampel ..................................................................................... 42
4.2.4 Kriteria Sampel ................................................................................. 43
4.2.4.1 Kriteria Penerimaan Sampel ..................................................... 43
4.2.4.2 Kriteria Penolakan Sampel ........................................................ 43
4.3 Teknik Pengambilan Sampel .......................................................................... 43
4.4 Waktu dan Lokasi Penelitian .......................................................................... 44
4.4.1 Waktu Penelitian .................................................................................. 44
4.4.2 Lokasi Penelitian .................................................................................. 44
4.5 Variabel Penelitian ......................................................................................... 44
4.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian ...................................................... 44
4.7 Alur Penelitian ............................................................................................... 45
4.8 Prosedur Kerja Laboratorium ........................................................................ 46
4.8.1 Pengukuran kadar TPS serum .............................................................. 46
4.8.1.1 Prinsip Pengukuran kadar TPS serum ............................................. 46
4.8.1.2 Sampel untuk Pengukuran TPS serum ............................................ 46
4.8.1.3 Bahan-bahan yang Disediakan ........................................................ 47
4.8.1.4 Persiapan Reagen ............................................................................ 48
4.8.1.5 Cara Pengukuran kadar TPS serum ................................................ 48
4.8.1.6 Interferensi ...................................................................................... 50
4.8.2 Penjaminan Mutu Pengukuran kadar TPS serum .................................. 50
4.9 Pengumpulan dan Penyajian Data .................................................................. 50
4.9.1 Pengumpulan Data ................................................................................ 50
4.9.2 Penyajian Data ...................................................................................... 50

xiv

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

4.10 Analisis Data ............................................................................................... 50


4.10.1 Analisis Desktriptif ......................................................................... 50
4.10.2 Analisis Statistik ............................................................................. 51
4.11 Persetujuan dari Komite Etik Penelitian ...................................................... 51
4.12 Kerahasiaan Data Subjek Penelitian . ........................................................... 51

BAB 5 HASIL PENELITIAN


5.1 Penjaminan Mutu............................................................................................ 52
5.2 Data Penelitian ............................................................................................... 52
5.2.1 Hasil Penetapan Jumlah Sampel ............................................................ 52
5.2.2 Karakteristik Subjek Penelitian ............................................................. 53
5.2.3 Hasil Pengukuran kadar TPS serum ...................................................... 54
5.2.4 Hasil Pengukuran Volume Prostat ........................................................ 56
5.2.5 Korelasi antara kadar TPS serum dan Volume Prostat ......................... 57

BAB 6 PEMBAHASAN
6.1 Penjaminan Mutu Pengukuran Kadar TPS ..................................................... 60
6.2 Karakteristik Subjek Penelitian ..................................................................... 61
6.3 Kadar TPS serum pada Penderita BPH .......................................................... 62
6.4 Hasil Pengukuran Volume Prostat pada penderita BPH ................................ 64
6.5 Korelasi antara kadar TPS serum dengan Volume Prostat ............................ 65
6.6 Keterbatasan Penelitian ...................................................................................67

BAB 7 SIMPULAN DAN SARAN


7.1 Simpulan ........................................................................................................ 68
7.2 Saran. ............................................................................................................. 68

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 69

LAMPIRAN ........................................................................................................ 74

xv

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Definisi atau istilah berhubungan dengan BPH ................................................8


Tabel 2.2 Pilihan Terapi pada BPH ................................................................................30
Tabel 2.3 Jenis Obat golongan ARB dan Efek Samping ................................................32
Tabel 2.4 Jenis Obat golongan 5-ARI dan Efek Samping ..............................................33
Tabel 5.1 Distribusi Subjek Penelitian menurut Usia .....................................................53
Tabel 5.2 Hasil Rerata Usia Subjek Penelitian ...............................................................53
Tabel 5.3 Hasil Pengukuran kadar TPS Serum ..............................................................55
Tabel 5.4 Hasil Rerata Pengukuran kadar TPS Serum ...................................................55
Tabel 5.5 Hasil Pengukuran Volume Prostat ..................................................................56
Tabel 5.6 Hasil Rerata Pengukuran Volume Prostat ......................................................56
Tabel 5.7 Hasil Rerata Pengukuran kadar TPS Serum dan Volume Prostat
.........................................................................................................................................57

xvi

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Prostat..........................................................................................11


Gambar 2.2 Struktur dan Pembagian Zona Prostat .......................................................12
Gambar 2.3 Mekanisme Perubahan Testosteron menjadi DHT oleh enzim 5α
Reduktase.............................................................................. ........................................13
Gambar 2.4 Mekanisme Kerja Androgen pada Sel Epitel dan Sel Stroma
Prostat..............................................................................................................................16
Gambar 2.5 Efek T cell-derived proinflammatory cytokines pada Patogenesis dan
Progresivisitas Inflamasi dan Pertumbuhan Sel pada Penuaan Prostat ..........................19
Gambar 2.6 Ultrasonografi Transrektal (TRUS) ............................................................26
Gambar 2.7 Gambaran BPH pada TRUS .......................................................................27
Gambar 2.8 Gambaran Kanker Prostat pada TRUS .......................................................27
Gambar 2.9 Skema Pengelolaan BPH di Indonesia untuk Spesialis Urologi .................29
Gambar 2.10 Algoritma Pemilihan Golongan obat BPH ...............................................31
Gambar 2. 11 Hipotesis Jalur Diferensiasi Sel Epitel Prostat Manusia ..........................35
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual ..................................................................................38
Gambar 4.1 Alur Penelitian ............................................................................................45
Gambar 4.2 Skema Prosedur Pemeriksaan TPS ELISA .................................................49
Gambar 5.1 Grafik Korelasi antara kadar TPS Serum dan Volume Prostat ................ ..59

xvii

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Information for Consent (Penjelasan penelitian untuk disetujui) ...............74


Lampiran 2 Surat Pernyataan Persetujuan Ikut dalam Penelitian ...................................77
Lampiran 3 Surat Persetujuan Pengambilan Sampel Darah ...........................................78
Lampiran 4 Lembar Pengumpulan Data Penderita BPH ................................................79
Lampiran 5 Skor IPSS dan QoL .....................................................................................80
Lampiran 6 Surat Ijin Pengambilan Sampel Penelitian ..................................................81
Lampiran 7 Surat Ijin Pengambilan Kelengkapan Data Sampel Penelitian .................. 82
Lampiran 8 Keterangan Kelaikan Etik .......................................................................... 83
Lampiran 9 Tabel Pemantapan Mutu Pengukuran Kadar TPS serum ........................... 84
Lampiran 10 Data Hasil Penelitian ................................................................................ 85
Lampiran 11 Analisis Statistik ...................................................................................... 86

xviii

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR SINGKATAN

5-AR : 5α-reduktase
5-ARI : 5α- reductase inhibitor
µg/L : mikrogram per liter
A2M : 2 Makroglobulin
ACT : 1 antichimotrypsin
API : 1 Antitripsin
AR : Androgen Receptor
ARB : Alpha Receptor Blocker
AUA : American Urology Association
AUR : Acute Urinary Retention
BPE : Benign Prostate Enlargement
BPH : Benign Prostatic Hyperplasia
BPO : Benign Prostate Obstruction
BOO : Benign Outlet Obstruction
CD : Cluster of Differentiation
Ck : Cytokeratin
CYFRA : Cytokeratin 19 Fragment
CZ : Central Zone
DHT : Dihidrotestosteron
DM : Diabetes Melitus
DRE : Digital Rectal Examination
EGF : Epidermal Growth Factor
ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay
FGF : Fibroblast Growth Factor
FK : Fakultas Kedokteran
HCC : Hepatocellular Carcinoma
HRP : Horse Radish Peroxidase
IFN-γ : Interferon gamma
IGF : Insulin-like Growth Factor
IL : Interleukin
IPSS : International Prostate Symptom Score
ISK : Infeksi Saluran Kemih
KGF : Keratinocyte Growth Factor
Litbang : Penelitian dan Pengembangan
LUTS : Lower Urinary Tract Symptoms
NATF : Non-Androgenic Testicular Factor
ng/ml : nanogram per mililiter

xix

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

ml : mililiter
PSA : Prostate Specific Antigen
PVR : Post Voiding Residual
PZ : Peripheral Zone
Qmax : pancaran maksimum
QoL : Quality of Life
RA : Reseptor Androgen
RLU : Relative Light Unit
RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
SD : Standar Deviasi
SST : Serum Separator Tube
TGF-β : Transforming Growth Factor-β
TMB : Tetra Methyl Benzidine
TPS : Tissue Polypeptide Specific antigen
TUIP : Transurethral Incisi Prostate
TUNA : Transurethral needle ablation of the prostate
TRUS : Transrectal Ultrasonography
TURP : Transurethral Resection of the prostate
TZ : Trancisional Zone
UDS : Urodynamic Studies
UNAIR : Universitas Airlangga
USG : Ultrasonografi
U/L : Unit per liter
WHO : World Health Organization

xx

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hiperplasia prostat jinak atau benign prostatic hyperplasia (BPH) merupakan

kelainan terbanyak kedua pada penderita laki-laki setelah batu saluran kemih. BPH

adalah pertumbuhan sel kelenjar prostat yang tidak terkontrol dan bersifat jinak.

Pedoman American Urological Association (AUA) mendefinisikan BPH sebagai

diagnosis histopatologis yaitu terjadi proliferasi sel epitel dan sel stroma prostat di

dalam zona transisional prostat yang mengakibatkan penyempitan uretra sehingga

menghambat pengeluaran urine. Hal ini menyebabkan timbulnya infeksi, batu buli dan

prostatitis kronik (Aulia D, 2009; Astrawinata DAW, 2009; McVary 2010).

BPH memberi keluhan yang meresahkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari

meskipun jarang mengancam jiwa. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat

atau benign prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada

leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO).

Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai

benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan

perubahan struktur buli-buli maupun ginjal (Parnham A & Haq A, 2013).

Keluhan yang disampaikan oleh penderita BPH seringkali berupa LUTS (lower

urinary tract symptoms) yang terdiri atas jenis iritatif (storage symptoms) yang meliputi

frekuensi miksi meningkat (frequency), tergesa-gesa ingin berkemih (urgency), miksi di

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

malam hari (nocturia), miksi sulit ditahan (urge incontinence), dan jenis obstruktif

(voiding symptoms) terdiri dari pancaran lemah (slow stream), miksi harus menunggu

lama (hesitancy), mengedan (straining), aliran terputus-putus (intermittency) dan tidak

tuntas (Astrawinata, 2009).

BPH lebih sering ditemukan pada pria usia lanjut dengan angka kejadian yang

meningkat seiring bertambahnya usia. Diperkirakan 1 dari 4 pria di Amerika

membutuhkan pengobatan untuk BPH bergejala saat usia 80 tahun. BPH menjadi alasan

kedua tersering untuk dilakukan tindakan pembedahan pada pria diatas usia 65 tahun

(Hudson DL et al, 2001; McConnell et al, 2003).

Telitian kohort Baltimore Longitudinal Study of Aging didapat bahwa 60% pria

berusia lebih dari 60 tahun menderita BPH. Kejadian BPH di Amerika menurut Olmsted

County Survey sebanyak 13% pria kaukasian berusia 40-49 tahun dan 28% pada pria

berusia lebih dari 70 tahun. Penelitian multicenter pada negara di Asia didapat bahwa

persentase BPH lebih tinggi dibanding di Amerika (Aulia D, 2009).

BPH menjadi urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih di Indonesia dan

secara umum diperkirakan hampir 50% pria yang berusia di atas 50 tahun ditemukan

menderita BPH (Rahardjo, 2006).

Diagnosis BPH ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit penderita termasuk

kuesioner International Prostate Symptom Score (IPSS) dan 1 pertanyaan tunggal

mengenai kualitas hidup (quality of life atau QoL) sebagai panduan untuk mengarahkan

dan menentukan adanya gejala obstruksi akibat pembesaran prostat (lampiran 9).

Pemeriksaan fisik yaitu colok dubur atau digital rectal examination (DRE) dan

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

pencitraan ultrasonografi transrektal atau transrectal ultrasonography (TRUS) juga

merupakan pemeriksaan yang penting pada penderita BPH sehingga dapat diperkirakan

adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat dan adanya nodul (Wijanarko S et al,

2006).

Ukuran prostat bervariasi secara signifikan semasa hidup pria. Berry et al menemukan

bahwa rerata berat prostat meningkat sekitar 20 gram saat seorang pria berusia 40 tahun dan

sekitar 38,8 gram pada pria diatas usia 80 tahun. Informasi mengenai volume prostat menjadi

hal yang penting karena menjadi peramal keparahan dari progresivitas penyakit BPH atau

outcome dari BPH seperti terjadinya retensi urine akut atau Acute Urinary Retention (AUR),

dan respon terhadap pengobatan (Shim HB et al, 2007; Mosli HA et al, 2010).

Telitian oleh Park et al tahun 2003 menyatakan pria dengan volume prostat ≥ 30

ml mengalami resiko gejala LUTS sedang sampai berat, penurunan aliran urine, dan

retensi urine 3 sampai 4 kali lipat lebih tinggi sehingga volume prostat menjadi

informasi yang semakin penting karena volume prostat memprediksi kuat morbiditas

yang berkaitan dengan BPH seperti AUR (Alawad AAM et al, 2014).

Pengukuran volume prostat dapat dilakukan dengan teknik DRE, TRUS dan

transabdominal sonography. DRE yang selama ini menjadi metode yang dipercaya

dalam mengestimasi volume prostat total memiliki sensitivitas yang rendah,

membutuhkan sumber daya manusia yang terlatih dan terdapat variabilitas antara

pemeriksa satu dengan pemeriksa yang lain. TRUS menjadi baku emas untuk

pengukuran volume prostat karena memiliki akurasi yang lebih tinggi dibanding DRE

namun pengukuran volume prostat yang rutin dengan TRUS tidak memungkinkan pada

setiap pasien karena TRUS memiliki avaibilitas yang rendah, membutuhkan tenaga ahli

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

dan terlatih, biaya yang mahal dan menimbulkan rasa tidak nyaman pada pasien (Shim

HB et al, 2007; Kuo HC, 2008; Mosli HA et al, 2010).

Parameter lain dengan demikian dibutuhkan untuk memprediksi volume prostat

yang dapat digunakan secara luas yaitu Tissue Polypeptide Specific Antigen (TPS). TPS

adalah suatu protein yang mewakili epitop M3 dari Tissue Polypeptide Antigen (TPA).

TPS yang terdeteksi di sirkulasi terdiri dari fragmen sitokeratin yang terdapat dalam

jaringan yang menunjukkan status proliferasi. TPS adalah satu-satunya tes yang secara

spesifik mengukur fragmen terlarut sitokeratin 18 yaitu protein sitokeratin yang terdapat

di sel epitel prostat sehingga TPS sering disebut “proliferation markers” (Bormer, 1994;

Rebhandi 1998; Assiri MA, 2008).

Korelasi antara TPS dan volume prostat yang akan diteliti pada pasien BPH

diharapkan dapat membantu dalam memperkirakan volume prostat khususnya oleh

klinisi yang tidak memiliki TRUS atau akses melakukan TRUS. Tujuannya adalah

membantu klinisi yang tidak dapat mengetahui besar volume prostat melalui TRUS,

masih dapat memprediksinya melalui kadar TPS.

Sel epitel pada BPH yang mengandung sitokeratin 18 akan mengalami

hiperplasia termasuk sel stroma sehingga sitokeratin 18 dapat terdeteksi dengan

pemeriksaan TPS. Fragmen sitokeratin yang terdeteksi pada serum menandakan sintesis

filamen sitokeratin yang berlebihan dari sel yang berproliferasi. TPS dapat diukur

dengan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) menggunakan antibodi

monoklonal afinitas tinggi terhadap M3, salah satu epitop dari 35 jenis epitop TPA dan

merupakan struktur epitop pada sitokeratin 18 yang berhubungan dengan proliferasi sel

(Assiri MA, 2008).

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

1.2 Rumusan Masalah

Apakah terdapat korelasi antara kadar TPS serum dan volume prostat pada

penderita BPH?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

1.3.1.1 Membuktikan adanya korelasi antara kadar TPS serum dan volume prostat

pada penderita BPH

1.3.1.2 Memperoleh informasi mengenai hubungan antara kadar TPS serum dengan

volume prostat dalam menunjang diagnosis dan memperkirakan pembesaran prostat

pada penderita BPH.

1.3.2 Tujuan khusus

1.3.2.1 Mengukur kadar TPS serum pada penderita BPH.

1.3.2.2 Mengukur volume prostat pada penderita BPH.

1.3.2.3 Menganalisis korelasi antara kadar TPS serum dan volume prostat pada

penderita BPH.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat bagi Peneliti

Menambah wawasan keilmuan tentang peran kadar TPS serum dalam

hubungannya dengan volume prostat pada penderita BPH dan dapat menjadi

dasar penelitian imunologi lebih lanjut untuk mengetahui peran TPS pada

penyakit BPH.

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

1.4.2 Manfaat bagi Institusi

Menambah wawasan ilmu pengetahuan sekaligus untuk pengembangan penelitian

selanjutnya dalam bidang kesehatan khususnya dalam penyakit BPH sehingga

diharapkan dapat membantu proses pembelajaran di Instalasi Patologi Klinik

RSUD DR. Soetomo Surabaya.

1.4.3 Manfaat bagi Klinisi

Manfaat praktis bagi klinisi yaitu dengan dibuktikan adanya korelasi antara kadar

TPS serum dan volume prostat, maka dapat digunakan untuk memperkirakan

besar volume prostat secara akurat serta digunakan sebagai salah satu

pertimbangan penanda pembesaran prostat pada penderita BPH sehingga klinisi

dapat mengambil keputusan terapi yang tepat dan komplikasi lebih lanjut pada

penderita BPH dapat dicegah.

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

2.1.1 Definisi

Pedoman American Urological Association (AUA) pada tahun 2010

mendefinisikan BPH sebagai diagnosis histopatologis yaitu terjadi proliferasi sel epitel

dan sel stroma prostat di dalam zona transisional prostat (McVary, 2010).

Proliferasi sel epitel dan sel stroma prostat ini disebabkan oleh berbagai

gangguan seluler yang rumit termasuk peningkatan proliferasi, diferensiasi, apoptosis

dan penuaan. Akibat proliferasi ini kelenjar prostat akan mengalami pembesaran yang

dapat melampaui leher kandung kemih dan uretra yang mengarah ke gejala obstruksi

berkemih (Brannigan RE, 2004; Penna et al, 2009; Sussman, 2015).

Pembesaran prostat berperan pada terjadinya obstruksi saluran kemih atau

bladder outlet obstruction (BOO) karena komponen statis yaitu jaringan prostat yang

membesar dan peningkatan tonus otot polos. Akibat 2 mekanisme ini pasien dapat

menderita gejala traktus urinarius bagian bawah atau lower urinary tract symptoms

(LUTS). Hubungan antara BPH dan LUTS kompleks. Tidak semua pasien BPH

mengalami gangguan buang air kecil dan sebaliknya tidak semua keluhan berkemih

disebabkan oleh BPH (Gerber GS, 2006; McVary, 2010).

Salah satu panduan yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya

gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International Prostate Symptom

Score (IPSS). World Health Organization (WHO) dan AUA telah mengembangkan dan

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

meresmikan prostate symptom score yang telah distandarisasi (lampiran 5) (Wijanarko

S et al, 2006).

Abram dan Chapple et al pada tahun 2008 mengusulkan rangkaian definisi yang

bisa secara lebih akurat menggambarkan komponen klinis, patologi dan patofisiologi

BPH pada tabel 2.1 (Parnham, 2013).

Tabel 2.1. Definisi atau Istilah Berhubungan dengan BPH


(sumber: Parnham 2013)
Istilah Definisi
Benign Prostatic Enlargement (BPE) Pembesaran kelenjar prostat dan diagnosis
tersangka berdasarkan ukuran
Bladder Outlet Obstruction (BOO) Istilah umum untuk semua jenis obstruksi
kandung kemih (contoh striktur urethra)
Lower Urinart Tract Symptoms (LUTS) Keadaan progresif, berhubungan dengan
usia, tidak berhubungan dengan jenis
kelamin yang bisa dialami baik pria
maupun wanita dengan gejala campuran
storage, voiding, dan pasca miksi.
BPH Proses hiperplasia sel kelenjar prostat
secara histologis
Gejala Penyimpanan/Storage symptoms Kumpulan gejala berupa frekuensi miksi
(menggantikan jenis iritatif) meningkat (frequency), tergesa-gesa
ingin berkemih (urgency), miksi di
malam hari (nocturia), miksi sulit
ditahan (urge incontinence)
Kumpulan gejala berupa pancaran lemah
Gejala Pengosongan/Voiding symptoms
(menggantikan jenis obstruktif) (slow stream), miksi harus menunggu
lama (hesitancy), mengedan (straining),
aliran terputus-putus (intermittency)
dan tidak tuntas

2.1.2 Epidemiologi

BPH merupakan kelainan terbanyak kedua setelah batu saluran kemih dan

penyakit terbanyak yang berhubungan dengan usia lebih dari 55 tahun menurut Penna et

al, sedangkan menurut Malati et al BPH menyerang pasien usia lebih dari 45 tahun dan

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

lebih dari 90% pria pada dekade kedelapan menderita hiperplasia prostat dan tetap

menjadi morbiditas utama pada pria usia lanjut (Malati et al, 2006; Penna et al, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh McConnell et al menemukan BPH lebih sering

terjadi pada usia lanjut dengan angka kejadian yang meningkat seiring bertambahnya

usia. Lebih dari setengah pria menderita BPH pada usia 60 tahun dan pada usia 85 tahun

angka kejadiannya meningkat 90%. Diperkirakan 1 dari 4 pria di Amerika

membutuhkan pengobatan untuk BPH bergejala saat usia 80 tahun dan terapi yang

paling sering adalah prosedur operasi transurethral resection of the prostate atau TURP

(McConnell et al, 2003).

Hasil penelitian dari Olmsted County Study memperlihatkan peningkatan

progresivisitas LUTS sedang sampai berat mencapai 50% pada usia dekade kedelapan.

LUTS sedang sampai berat ini juga dihubungkan dengan retensi urinarius akut atau

Acute Urinarius Retention (AUR) sebagai gejala dari LUTS yang progresif yang

meningkat dari 6,8 kejadian per 1000 pasien dalam setahun follow up menjadi 34,7

kejadian pada pria usia lebih atau sama dengan 70 tahun. Penelitian lain mengestimasi

90% pria usia antara 45 sampai 80 tahun menderita beberapa tipe LUTS (Wasson J,

1995).

BPH menjadi urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih di Indonesia dan

secara umum diperkirakan hampir 50% pria yang berusia di atas 50 tahun ditemukan

menderita BPH. Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti

tetapi sebagai gambaran prevalensi rumah sakit di 2 rumah sakit besar di Jakarta yaitu

Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Sumberwaras selama 3 tahun (1994-

1997) terdapat 1040 kasus (Rahardjo, 1999).

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Goh HJ et al tahun 2009 sampai 2011 di

Yangpyeong, Korea pada 775 pria berusia lebih dari 40 tahun terdiagnosis BPH sebesar

20% dan meningkat sesuai usia dimana skor IPSS juga meningkat sejalan dengan

bertambahnya usia (Goh HJ et al, 2015).

2.1.3 Prostat

Prostat adalah kelenjar seks tambahan yang utama pada pria. Sekresinya

menghasilkan cairan yang meliputi 15% cairan ejakulasi. Sekresi ini menghasilkan

suatu sarana yang mengembangkan jalan sperma namun prostat belum diketahui fungsi

reproduksinya. Kelenjar prostat merupakan lokasi terjadinya hiperplasia jinak dan

keganasan. Lokasinya yang dekat dengan leher kandung kemih dan uretra

meningkatkan pentingnya proses patologis ini (Stern JA et al, 2004).

2.1.3.1 Anatomi Prostat

Prostat berbatasan dengan leher kandung kemih di sebelah proksimal dan

bergabung dengan membran uretra sebagai tumpuan pada diafragma urogenital di

sebelah distal. Sedangkan bagian distal prostat yaitu ujung prostat bermuara ke

eksternal spinkter kandung kemih yang terbentang diantara lapisan peritoneal. Bagian

depan terdapat simfisis pubis yang dipisahkan oleh lapisan ekstraperitoneal. Lapisan

tersebut dinamakan cave of Retzius atau ruangan retro pubik sedangkan bagian

belakangnya dekat dengan rektum (gambar 2.1). Bentuk prostat menyerupai piramida

dengan berat sekitar 18-20 gram. Prostat pria dewasa secara umum memiliki ukuran 4,

4 cm secara transversal dari dasarnya dengan panjang 3, 4 cm dan diameter

anteroposterior 2, 6 cm (Stern JA et al, 2004).

10

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Gambar 2.1. Anatomi Prostat


(sumber: http://www.aboutcancer.com/prostate_anatomy.htm )

Prostat tersusun atas jaringan fibromuskuler yang mengandung kelenjar

tubuloalveolar dan terbagi dalam beberapa zona yaitu zona sentral, zona perifer dan

zona transisional. Zona sentral (periuretral) mengelilingi duktus ejakulatorius dan

meliputi 25% bagian prostat dimana hanya 2, 5% kanker prostat yang berkembang dari

zona ini. Zona perifer meliputi 70% dari bagian prostat dan mengelilingi uretra.

Setidaknya sekitar 80% kanker prostat berkembang dari zona perifer ini. Zona

transisional juga dapat terlibat dalam perkembangan kanker prostat sebanyak 20%.

Zona ini tumbuh semakin besar seiring waktu sehingga hiperplasia prostat awal atau

BPH berasal dari zona ini (gambar 2.2).

11

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Gambar 2.2 Struktur dan pembagian zona prostat (sumber: McPhee SJ 1997)

Kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma secara histologis.

Komponen stroma terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh darah, saraf, dan jaringan

penyangga yang lain (Al-Zashami KA, 2014).

Prostat mendapat inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus

prostatikus. Pleksus prostatikus (pleksus pelvikus) menerima masukan serabut

parasimpatik dari korda spinalis S2-4 dan simpatik dari nervus hipogastrikus (T10-L2).

Stimulasi parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat sedangkan

rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke dalam uretra posterior

seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatik memberikan inervasi pada otot polos

prostat, kapsul prostat dan leher buli-buli. Rangsangan simpatik menyebabkan

dipertahankan tonus otot polos tersebut (Purnomo, 2009).

2.1.3.2 Fungsi Prostat

Fungsi primer kelenjar prostat adalah menghasilkan suatu cairan yang

merupakan salah satu komponen dari cairan semen dan membantu ejakulasi saat

aktivitas seksual. Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra

12

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

posterior dan dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Otot

polos prostat dapat membantu keluarnya semen selama ejakulasi (Purnomo, 2009).

Komponen utama dari sekresi prostat adalah Prostate Specific Antigen (PSA)

bersama dengan sitrat, zinc, spermin dan kolesterol. Pertumbuhan kelenjar prostat

sangat tergantung pada hormon testosteron yang didalam sel-sel kelenjar prostat

hormon ini akan diubah menjadi metabolit aktif dihidrotestosteron (DHT) oleh enzim

5α-reduktase (gambar 2.3). DHT inilah yang secara langsung memicu m-RNA di dalam

sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memicu pertumbuhan

kelenjar prostat (Purnomo, 2009; Al-Zashami KA, 2014).

Gambar 2.3 Mekanisme perubahan testosteron menjadi DHT oleh enzim 5α-reduktase
(sumber: Brannigan RE, 2004).

2.1.4 Etiologi BPH

Penyebab BPH sampai saat ini belum diketahui pasti namun dikatakan faktor

hormonal dan penuaan merupakan faktor penyebab hiperplasia prostat. Beberapa

hipotesis yang diduga sebagai penyebab hiperplasia prostat adalah (1) teori DHT dan

lingkungan hormon yang terganggu, (2) ketidakseimbangan antara estrogen dan

androgen atau nonandrogenic testis secretory factor (NATF), (3) teori ekspansi

populasi epithelial stem cell dan (4) interaksi antara sel epitel dan stroma prostat

(McPhee, 1997; Sterm JA et al, 2004; Purnomo, 2009).

13

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Kekhasan BPH yaitu peningkatan jumlah sel epitel dan stromal di area

periuretral prostat secara histopatologis. Istilah yang sesuai adalah hiperplasia dan

bukan hipertrofi. Peningkatan jumlah sel disebabkan karena proliferasi sel epitel dan

stroma atau proses apoptosis yang terganggu mengakibatkan penumpukan seluler

(cellular accumulation). Androgen, estrogen, interaksi epitel-stroma, growth factor dan

neurotransmiter juga berperan sebagai etiologi proses hiperplasia (Roehrborn CG,

2012).

2.1.5 Patogenesis BPH

Dahulu faktor yang diduga berperan dalam proliferasi kelenjar prostat adalah

faktor penuaan dan fungsi testis yang normal. Saat ini ditemukan konsep baru adanya

faktor yang menjelaskan etiologi dan patogenesis BPH. Faktor tersebut mampu

mempengaruhi sel prostat untuk mensintesis protein growth factor yang selanjutnya

protein inilah yang berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar

prostat. Faktor yang mampu meningkatkan sintesis protein growth factor dikenal

sebagai faktor ekstrinsik sedangkan protein growth factor dikenal sebagai faktor

intrinsik (Wijanarko S et al, 2006; Aulia D, 2009).

2.1.5.1 Teori DHT dan growth factors yang terganggu

Faktor intrinsik sebagai salah satu penyebab terjadinya BPH yaitu interaksi

antara sel epitel dan stroma. Cunha pada tahun 1973 membuktikan bahwa diferensiasi

dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel stroma

melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Beberapa hipotesis menyebutkan

bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar DHT dan proses

penuaan (Purnomo, 2009).

14

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Perkembangan BPH berkaitan dengan androgen pada testis sama seperti dengan

proses penuaan. Androgen dibutuhkan dalam proliferasi sel normal dan diferensiasi

prostat. Androgen juga secara aktif menghambat turnover cell dan kematian sel

(McPhee, 1997).

Testosteron bukan hormon androgen utama di prostat namun 80-90% testosteron

diubah menjadi bentuk aktif DHT oleh enzim 5α-reduktase. Terdapat 2 subtipe 5α-

reduktase tipe 1 dan tipe 2. Tipe 2 hanya terdapat pada traktus urogenital fetus dan

dewasa termasuk di sel epitel basal dan sel stroma prostat. Sintesis DHT mayoritas

bergantung pada enzim 5α-reduktase tipe 2 (McPhee, 1997).

DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel

kelenjar prostat. Mayoritas testosteron diubah menjadi DHT di sel stroma yang akan

bekerja dengan pola autokrin di sel stroma dan bekerja dengan pola parakrin setelah

berdifusi ke inti sel epitel. Inti sel ini mengandung sejumlah besar reseptor androgen

(androgen receptor/AR). DHT yang terbentuk akan berikatan AR membentuk

kompleks DHT-AR pada inti sel dan kompleks inilah yang secara langsung memicu m-

RNA di dalam sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang

memicu pertumbuhan kelenjar prostat (gambar 2.4) (McPhee, 1997; Purnomo, 2009).

15

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Gambar 2.4 Mekanisme kerja androgen pada sel epitel dan sel stroma prostat (sumber:
McPhee SJ 1997)

Beberapa growth factor yang diekspresikan atau growth stimulatory factors

yang mengikuti stimulasi androgen di dalam prostat adalah endothelial growth factor

(EGF), keratinocyte growth factor (KGF), insulin-like growth factor (IGF), fibroblastic

growth factor (FGF) dan transforming growth factor-β (TGF-β) (Aulia D, 2009).

EGF, KGF dan IGF merupakan hormon yang meregulasi proliferasi sel (bersifat

agonis). EGF dianggap sebagai faktor penting untuk memelihara integritas struktur

prostat dewasa. Efek dari EGF bersifat inhibitor terhadap TGF-β. FGF bersifat

mitogenik baik pada sel epitel maupun stroma kecuali KGF yang diproduksi oleh sel

stroma prostat dan hanya menstimulasi sel epitel. IGF merupakan modulator untuk

pertumbuhan dan perkembangan prostat yang terutama disintesis oleh hepar sebagai

respon terhadap stimulasi hormon pertumbuhan (Aulia D, 2009).

16

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

TGF-β merupakan growth factor inhibitor penting pada sel epitel prostat. TGF-β

menghambat proliferasi dan memicu apoptosis dalam sel epitel prostat. TGF- β juga

memfasilitasi diferensiasi dari sel basal terhadap sel luminal yang kemudian memegang

peranan penting dalam keseimbangan epitel prostat (Aulia D, 2009; Roehrborn CG,

2012).

2.1.5.2. Peran estrogen dan ketidakseimbangan dengan androgen

Faktor testis terdiri dari hormon yang diproduksi oleh testis yang dapat

meregulasi perkembangan prostat antara lain androgen, non-androgenic testicular

factor (NATF) dan estrogen (Roehborn CG, 2012).

Peran estrogen dalam perkembangan prostat belum diketahui dengan jelas

namun pada penelitian menggunakan hewan coba memperlihatkan bahwa estrogen

berperan dalam patogenesis BPH. Estrogen bekerja secara sinergis dengan androgen

dalam menghasilkan BPH pada penelitian dengan prostat anjing. Estrogen terlibat

dalam proses induksi AR bahkan estrogen mensensitisasi prostat anjing terhadap efek

androgen. Estrogen dapat menginduksi rangsangan pada proses proliferasi sel stroma

yang menyebabkan peningkatan jumlah kolagen dengan kata lain pemberian estrogen

bersama dengan androgen dapat menyebabkan terjadinya hiperplasia, metaplasia

skuamosa, keratinisasi dan displasia dari epitel prostat. Hal ini menunjukkan paparan

estrogen yang berlebihan selama perkembangan prostat dapat menyebabkan terjadinya

BPH dan kanker prostat (Aulia D, 2009; Roehrbon CG, 2012).

Bersamaan dengan usia yang semakin lanjut, kadar estrogen akan meningkat

dibanding kadar testosteron dalam serum. Peningkatan estrogen berhubungan dengan

usia ini menyebabkan peningkatan pertumbuhan sel atau penurunan kematian sel

17

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

(apoptosis) sehingga meski rangsangan pembentukan sel baru akibat rangsangan

testosteron menurun tetapi sel prostat yang sudah ada mempunyai umur yang lebih

panjang (McPhee, 1997).

2.1.5.3 Peran jalur inflamasi dan sitokin pada BPH

Aspek imunologi juga terlibat dalam hiperplasia prostat yaitu terdapatnya peran

jalur inflamasi dan sitokin pada penuaan sel prostat. Hampir semua spesimen BPH pada

pemeriksaan histologi menunjukkan infiltrasi peradangan namun apakah infiltrasi ini

berhubungan dengan bakteri atau antigen belum dapat dijelaskan. Pengenalan hasil

sekresi prostat oleh sel T autoreaktif dan hewan coba pada penelitian eksperimental

memperlihatkan komponen autoimun terhadap inflamasi kronik pada BPH. Infiltrat

terdiri limfosit CD4+ dimana secara permanen diambil ke jaringan prostat melalui

peningkatan ekspresi interleukin-15 (IL-15) dan interferon γ (IFN-γ), sitokin

proinflamasi yang diproduksi oleh otot polos dan sel T. Produksi sitokin yang berasal

dari sel T yaitu IFN-γ, IL-2 dan TGF-β meningkat 10 kali pada BPH dibanding prostat

normal (Kramer G, 2007).

Sejumlah sitokin dan growth factors terlibat dalam proses disregulasi imun dan

inflamasi kronik pada BPH juga bertanggung jawab terhadap pertumbuhan sel prostat

(gambar 2.5). Sitokin yang paling efektif untuk pemeliharaan infiltrat sel T pada prostat

adalah sitokin proinflamasi IL-15. IL-15 menstimulasi pertumbuhan sel T memori BPH

dan diekspresi secara kuat oleh sel otot polos. IFN-γ yaitu produk dari sel T dan

diekspresikan berlebih pada BPH, meningkatkan produksi IL-15 oleh sel stroma 2 kali

lipat dengan kata lain menginduksi proliferasi sel stroma (Kramer G, 2007).

18

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

TGF-β memiliki fungsi sebaliknya yaitu sebagai inhibitor proliferasi sel stroma.

IL-2 dan IL-17 akan menstimulasi pertumbuhan sel stroma dan sel epitel prostat

sedangkan IL-4 akan menghambat proliferasi sel stroma. Kesimpulannya sel T yang

teraktivasi berkontribusi terhadap produksi faktor pertumbuhan prostat dan tumbuh

melalui beberapa lingkaran sitokin yaitu dengan melepas IL-17, IFN-γ, IL-4, IL-13,

FGF-2 dengan demikian secara tidak langsung meningkatkan produksi IL-6, IL-8 dan

IL-15 (Kramer G, 2007).

Autoimunitas merupakan salah satu etiologi dari disregulasi imun kronik pada

BPH. Pejamu antigen prostat bekerja sebagai autoantigen. Produk sekresi dari prostat

adalah yang paling bersifat imunogenik. Produk sekresi ini memiliki aktivitas

proteolitik yang tinggi dan jika terpapar ke jaringan periglandular setelah cedera epitel

maka bisa menghancurkan bukan hanya jaringan konektif namun juga mencerna matriks

ekstraseluler (Kramer G, 2007).

Matriks ekstraseluler merupakan kesatuan bagian prostat yang berperan penting

dalam mengontrol perkembangan prostat. Hubungan prostat dengan berbagai sel

disekelilingnya diatur oleh membran plasma dan matriks ekstraseluler. Komponen

protein utamanya adalah kolagen dan proteoglikan. Matriks ekstraseluler juga dapat

berikatan dengan beberapa growth factor seperti FGF dan TGF-β (Kramer G 2007;

Aulia D 2009).

19

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Gambar 2.5 Efek T cell-derived proinflammatory cytokines pada patogenesis dan


progresivisitas inflamasi dan pertumbuhan sel pada penuaan prostat
(sumber: Kramer G 2006)

2.1.6 Manifestasi Klinis

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan

menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal.

Vesika urinaria harus berkontraksi lebih kuat untuk melawan tahanan ini untuk

mengeluarkan urine. Kontraksi yang berkelanjutan ini akan menyebabkan perubahan

struktur vesika urinaria dan oleh pasien dirasakan sebagai keluhan di saluran kemih

bagian bawah atau lower urinary tract symptoms (LUTS) (Purnomo, 2009).

Keluhan LUTS terdiri atas gejala obstruksi/voiding dan gejala iritatif/storage.

Gejala iritatif antara lain frekuensi berkemih meningkat (frequency), tergesa-gesa ingin

20

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

berkemih (urgency), miksi di malam hari (nocturia), kencing sulit ditahan (urge

incontinence) sedangkan gejala obstruktif terdiri dari pancaran lemah (slow stream),

miksi harus menunggu lama (hesitancy), mengedan (straining), aliran terputus-putus

(intermittency) dan tidak tuntas (Kapoor A, 2012).

Derajat keparahan LUTS dapat dinilai dengan sistem penilaian yang secara

subyektif dapat diisi sendiri oleh pasien. Sistem penilaian yang dianjurkan oleh WHO

adalah nilai IPSS. IPSS terdiri atas 7 pertanyaan mengenai keluhan miksi dan 1

pertanyaan tentang kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan memiliki nilai 0 sampai 5

sedangkan pertanyaan tentang kualitas hidup diberi nilai 1 sampai 7. Berdasarkan skor

tersebut gejala LUTS dapat dibagi dalam 3 derajat: ringan skor 0-7, sedang skor 8-19

dan berat skor 20-35 (lampiran 5) (Purnomo, 2009).

Gejala LUTS sebenarnya tidak spesifik untuk BPH karena meskipun gejala

LUTS berhubungan langsung dengan hiperplasia prostat yang menyebabkan

penyempitan lumen uretra dan aliran urine terhambat, sekitar 30% pria menderita

overactive bladder (OAB) dapat memiliki gejala yang sama (Kapoor A, 2012).

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang

2.1.7.1 Urinalisis

Pemeriksaan urinalisis yaitu sedimen urine dan pemeriksaan mikroskopik

dilakukan untuk menyingkirkan infeksi saluran kemih (ISK), hematuria, proteinuria

atau kelainan patologis lain. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran

kemih pada pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya kelainan, oleh karena itu perlu

dilakukan juga pemeriksaan kultur urine untuk mencari kuman penyebab ISK.

21

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya pada pasien BPH yang telah

mengalami retensi urine dan telah memakai kateter karena sering telah ada leukosituria

maupun hematuria akibat pemasangan kateter (Wijanarko S et al, 2006; Parnham,

2013).

2.1.7.2 Pemeriksaan fungsi ginjal

Fungsi ginjal diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya penyulit yang

menyerang traktus urinarius bagian atas. Obstruksi infravesika akibat BPH dapat

menyebabkan gangguan pada traktus urinarius bagian bawah atau atas.

2.1.7.3 Catatan harian miksi (Voiding diaries)

Catatan harian miksi ini merekam perincian kapan dan berapa jumlah urine yang

dikeluarkan dalam beberapa hari selama periode 24 jam. Menurut Brown et al

pencatatan biasanya dilakukan selama 3-4 hari sudah cukup menilai aktivitas berlebihan

otot detrusor. Pencatatan miksi ini berguna pada pasien dengan keluhan nokturia yang

paling menonjol atau kelebihan masukan cairan (Wijanarko S et al, 2006; Sussman,

2015).

2.1.7.4 Uroflometri

Uroflometri merupakan pengukuran urodinamik yang sederhana dan non invasif

dimana pancaran urine selama proses miksi diukur menggunakan suatu alat.

Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian

bawah dan dari uroflometri dapat diperoleh data mengenai volume miksi, lama

pancaran, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, pancaran rerata

(Qave), dan pancaran maksimum (Qmax) (Wijanarko S et al, 2006; Sussman, 2015).

22

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Hasil uroflometri tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya kelainan

pancaran urine karena pancaran urine yang lemah dapat disebabkan karena BOO atau

kelemahan otot detrusor. Penilaian ada tidaknya BOO tidak hanya dari hasil Qmax saja

namun dikombinasi dengan IPSS. Idealnya pengukuran pancaran urine dilakukan lebih

dari 1 kali dan volume urine > 150 ml memberi hasil bermakna. Qmax > 15 ml/detik

dianggap normal sedangkan Qmax < 10 ml/detik mencurigakan BOO (Wijanarko S et al,

2006; Parnham, 2013; Sussman, 2015).

2.1.7.5 Pemeriksaan residual urine (Post voiding residual urine/PVR)

Residual urine adalah sisa urine yang tertinggal di dalam kandung kemih setelah

berkemih. Jumlah residual urine pada orang normal adalah 0,09 - 2,24 ml dengan rerata

0,53 ml per 24 jam. Pemeriksaan sisa urine dapat dilakukan secara non invasif yaitu

dengan mengukur sisa urine melalui ultrasonografi atau bladder scan, atau secara

invasif dengan kateterisasi uretra setelah pasien berkemih. Kateterisasi uretra lebih

akurat dibanding ultrasonografi namun dapat menimbulkan cedera uretra dan infeksi

saluran kemih (anon, 2006; Parnham, 2013).

Pengukuran volume residual urine dengan cara invasif maupun non invasif

mempunyai variasi individual yang tinggi yaitu pasien yang sama diukur residual

urinenya pada waktu yang berbeda pada hari yang sama atau berbeda akan

menunjukkan perbedaan volume residual urine. Volume residual urine yang menetap

tinggi menandakan kelemahan kontraksi otot detrusor relatif terhadap aliran miksi yang

bisa merupakan akibat sekunder dari disfungsi otot detrusor atau BOO (anon 2006;

Parnham 2013).

23

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

2.1.7.6 Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE)

Pemeriksaan DRE adalah memasukkan jari telunjuk yang sudah dilubrikasi ke

dalam lubang dubur. Pemeriksaan ini menimbulkan rasa tidak nyaman (sakit) dan

menyebabkan kontraksi sfingter ani sehingga dapat menyulitkan pemeriksaan. Penderita

perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang pemeriksaan yang akan dilakukan agar

penderita dapat bekerja sama (Purnomo, 2009).

Penderita diminta berkemih lebih dulu sebelum dilakukan tindakan DRE dan

bila penderita dalam keadaan retensi urine, DRE dikerjakan setelah buli-buli

dikosongkan dengan kateter. Pemeriksaan DRE dapat memberi penilaian tonus sfingter

ani, menilai keadaan prostat seperti konsistensi prostat, refleks bulbo-kavernosus, dan

mencari kemungkinan adanya massa di dalam lumen rektum (Purnomo, 2009).

DRE pada BPH menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung

hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Konsistensi prostat

yang menonjol atau teraba nodul harus dipikirkan adanya karsinoma atau prostatitis

(Purnomo, 2009).

Menentukan besarnya prostat secara DRE memiliki akurasi yang rendah karena

membutuhkan tenaga terlatih, berpengalaman, faktor subjektivitas yang tinggi, dan

variabilitas yang besar.

2.1.7.7 Penentuan volume prostat dengan pemeriksaan Transrectal

Ultrasonography (TRUS)

Pertumbuhan prostat berkaitan dengan volume prostat. Studi berbasis populasi

Olmsted County menunjukkan pria dengan volume prostat awal < 30 ml memiliki nilai

24

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

median pertumbuhan prostat 1,7% tiap tahun dibandingkan dengan pria dengan volume

prostat > 30 ml yang mempunyai median pertumbuhan prostat sebesar sebesar 2,2%.

Dogma urologi secara tradisional menyatakan ukuran kelenjar prostat tidak

berhubungan dengan gejala dan atau pancaran urine, namun penelitian akhir-akhir ini

mengkonfirmasi bahwa volume prostat awal berhubungan dengan progresivisitas BPH

dan negative outcome seperti AUR, perlu tindakan operasi dan memprediksi respon

terapi (Nickel JC, 2003).

Volume prostat mungkin adalah faktor resiko terbesar yang diteliti terhadap

progresivisitas BPH. Pria dengan volume prostat ≥ 30 ml cenderung mengalami gejala

yang sedang sampai berat (3,5 kali lipat), penurunan pancaran urine (2,5 kali lipat) dan

retensi urine (3 sampai 4 kali lipat) dibanding pria dengan volume prostat < 30 ml

(Alawad AAM, 2014).

Pemeriksaan ultrasonografi transrektal atau transrectal ultrasonography (TRUS)

bertujuan untuk mengetahui bentuk prostat, besar atau volume kelenjar prostat, adanya

kemungkinan keganasan prostat, sebagai petunjuk untuk melakukan biopsi aspirasi

prostat, dan menentukan jumlah residual urine (gambar 2.6) (Purnomo, 2009).

TRUS lebih akurat dibanding DRE dalam memperkirakan total volume prostat

dan volume zona transisional namun TRUS relatif lebih menyakitkan, membutuhkan

biaya mahal dan memerlukan tenaga ahli dan terlatih (Alawad AAM, 2014).

25

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Gambar 2.6 Ultrasonografi transrektal (TRUS)

2.1.7.7.1 Prosedur TRUS

Pasien diposisikan dekubitus berbaring ke kiri atau ke kanan dengan lutut

difleksikan dan ditarik dekat ke dada sehingga memungkinkan insersi dari rectal probe.

Salep anestesi topikal dioleskan ke jari telunjuk sebelum melakukan DRE. TRUS

dilakukan dengan micro convex transrectal probe dengan transduser antara 5 sampai 7,

5 mHz. Probe dilapisi pelindung dan diberi gel ultrasound untuk memastikan

didapatkan gelombang akustik. Probe secara pelan dimasukkan ke rektum menuju dasar

kandung kemih sampai vesikel seminalis tervisualisasi. Gambaran transversal

dipertahankan saat probe dipindah dari dasar prostat ke puncak prostat. Probe kemudian

dirotasi searah jarum jam untuk melihat seluruh bagian kelenjar prostat. Kelenjar prostat

dievaluasi dan dinilai ada atau tidaknya lesi fokal dan pola echo, integritas kapsular,

perluasan proses penyakit melebihi batas kelenjar (Malik R, 2004; Carrol P, 2008).

2.1.7.7.2 Interpretasi hasil TRUS

Pembesaran kelenjar prostat dengan atau tanpa pembesaran lobus median

dengan ekogenisitas simetris dan heterogenous tekstur echo heterogen dari zona

26

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

glandural bagian dalam mencurigakan suatu BPH (gambar 2.7). Pembesaran kelenjar

dengan lesi fokal di zona perifer dengan atau tanpa menembus kapsul merupakan

gambaran yang mengarah kanker prostat (gambar 2.8).

Gambaran pada vesikel seminal, dasar, tengah dan puncak prostat dicetak dan

dengan transducer di potongan melintang terbesar pada bidang transversal dan bidang

mid-sagital maka volume prostat dapat dihitung. Prorated ellipsoid formula biasanya

digunakan untuk menghitung volume prostat yaitu (diameter anterior-posterior) x

(diameter transversal) x (diameter superior-inferior) x Π/6 (kurang lebih 0, 52) (Carrol

P, 2008).

Gambar 2.7 gambaran BPH pada TRUS. Pembesaran kelenjar prostat dengan
ekogenisitas simetris dan echotexture heterogen mencurigakan suatu BPH (sumber: Malik
R, 2004)

Gambar 2.8 Gambaran kanker prostat pada TRUS. Tanda panah warna putih
menunjukkan lesi hypoechoic di dalam zona perifer mencurigakan suatu kanker prostat
(sumber: Carrol P, 2008)

27

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

2.1.7.7.3 Komplikasi TRUS

Komplikasi TRUS berupa komplikasi minor sekitar 60% sampai 79%,

komplikasi mayor yang lebih jarang sekitar 0,4% sampai 4,3% dan komplikasi yang

membutuhkan rawat inap sekitar 0,4% sampai 3,4%. Komplikasi yang segera terjadi

pada TRUS untuk biopsi prostat adalah episode vasovagal (5,3%), perdarahan rektum

(8,3%) dan hematuria (70,8%). Disuria (9,1%), ketidaknyamanan pelvis (13,2%),

hematuria persisten (47,1%), perdarahan rektum (9,1%) dan hematospermia (9,1%)

merupakan komplikasi yang terjadi 3 sampai 7 hari (Carrol P, 2008).

2.1.7.8 Pemeriksaan urodinamika (Pressure flow and urodynamic studies/UDS)

UDS adalah pilihan pemeriksaan tambahan dan dianggap sebagai baku emas

untuk diagnosis BOO sekunder. Pemeriksaan ini berguna untuk membedakan bahwa

pancaran yang lemah pada pemeriksaan uroflometri itu memang disebabkan karena

obstruksi prostat dan bukan karena kelemahan otot detrusor.

UDS melibatkan pengukuran multichannel secara simultan dari tekanan vesika

urinaria dan tekanan dinding abdomen selama fase pengisian dan pancaran urine selama

fase pengosongan urine. Pola khas BOO adalah tekanan detrusor tinggi dengan

pancaran urine rendah. Indikasi UDS adalah sebagai berikut (1) evaluasi fungsi vesika

urinaria pre-operatif, (2) pasien LUTS dengan kegagalan terapi, (3) pasien dengan

penyakit neurologis (Sussman, 2015).

2.1.8 Terapi BPH

Tidak semua pasien BPH perlu menjalani tindakan medik. Tujuan terapi pada

pasien BPH adalah mengurangi resistensi otot polos sebagai komponen dinamik

28

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

penyebab obstruksi dengan obat penghambat adrenergik α (α blocker), mengurangi

volume prostat sebagai komponen statik dengan menurunkan kadar hormon

testosteron/DHT melalui inhibitor 5α-reduktase, mengembalikan fungsi ginjal jika

terjadi gagal ginjal, mengurangi volume residu urine setelah berkemih dan mencegah

progresivitas penyakit. Pilihan terapi pada pasien bergantung pada derajat keluhan

LUTS maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh BPH (gambar

2.9) (Purnomo, 2009).

Gambar 2.9 Skema pengelolaan BPH di Indonesia untuk spesialis urologi (sumber:
Wijanarko S et al, 2006)

29

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Pilihan terapinya adalah tanpa terapi atau watchful waiting, medikamentosa,

pembedahan atau tindakan enduorologi yang invasif minimal (tabel 2.2) (Purnomo,

2009).

Tabel 2.2. Pilihan terapi pada BPH (Sumber: McVary KT 2010)

2.1.8.1 Watchful waiting

Watchful waiting artinya pasien tidak mendapat terapi apapun tetapi

perkembangan penyakitnya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan

untuk pasien BPH dengan skor dibawah 7 yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu

aktivitas sehari-hari. Tiap 6 bulan dilakukan evaluasi dan jika tidak ada kemajuan

30

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

selama terapi atau keluhan bertambah berat perlu dipikirkan untuk pemberian terapi

medikamentosa (Wijanarko S et al, 2006).

2.1.8.2 Medikamentosa

Medikamentosa ditujukan untuk pasien dengan keluhan sedang (IPSS 8-19)

hingga berat (20-35) atau pasien yang tidak menunjukkan perbaikan setelah watchfull

waiting (gambar 2.4). Terapi intervensi pada pasien dilakukan jika pasien tidak

menunjukkan perbaikan dengan medikamentosa (Nickel JC, 2010).

Gambar 2.10 Algoritma Pemilihan Golongan Obat BPH (sumber: Nickel JC 2010)

-Antagonis adrenergik α atau alpha receptor-blocker (ARB)

ARB adalah terapi lini pertama pada pasien BPH dengan gejala LUTS yang

mengganggu. Terdapat 5 obat yang telah disetujui di Amerika Serikat yaitu Terazosin,

Doxazosin, Alfuzosin, Tamsulosin. Terdapat 3 bentuk adrenoreseptor α yaitu α1a yang

secara primer ditemukan di prostat, α1b pada pembuluh darah dan α1d pada kandung

kemih. Golongan obat ini bekerja dengan menghambat reseptor adrenergik α1 sehingga

merelaksasi otot polos prostat dan leher kandung kemih. Perbaikan gejala terlihat

31

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

setidaknya sesudah 1 minggu sementara efek terapeutik penuh dicapai pada 6 sampai 8

minggu. (Parnham, 2013; Sussman, 2015).

Tamsulosin dikatakan sangat selektif terhadap otot polos prostat. Obat ini

mampu memperbaiki pancaran miksi tanpa menimbulkan efek terhadap tekanan darah

maupun denyut jantung. Efek samping ARB antara lain astenia, hipotensi ortostatik dan

ejakulasi retrogard (tabel 2.4) (Purnomo, 2009; Parnham, 2013).

Tabel 2.3 Jenis Obat Golongan ARB dan Efek Samping


(sumber: Kapoor A, 2012)
Nama Obat (nama dagang) Dosis Efek samping
Generasi II
Terazosin (Hytrin) 1 mg-10 mg tiap hari Syncope, dizziness,
takikardia, hipotensi,
astenia
Doxazosin (Cardura) 1 mg-8 mg tiap hari Sama dengan Terazosin
Generasi III
Alfuzosin (Xatral, Uroxatral) 10 mg tiap hari Dizziness, sakit kepala,
bersama dengan disfungsi ejakulasi
makanan
Tamsulosin (Flomax CR) Kapsul generik = 0, 4 Disfungsi ejakulasi,
mg sampai 0, 8 mg rinitis
tiap hari bersama
dengan makanan
Silodosin (Rapaflo) 8 mg tiap hari; Ejakulasi retrogard
4 mg tiap hari dengan minimal dan efek
CrCl 30-50 mL/menit samping kardiovaskular

-Inhibitor 5α-reduktase (5-ARI)

Obat golongan 5-ARI bekerja dengan cara menghambat perubahan testosteron

menjadi DHT, mediator utama terjadinya BPH (tabel 2.4). Menurunnya kadar DHT

menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel prostat menurun. Preparat 5-ARI

menurunkan kadar PSA sebesar 50% setelah 6 bulan pengobatan, jika kadar PSA

meningkat maka pasien dirujuk ke spesialis urologi untuk mengeksklusi risiko

berkembangnya kanker prostat (Kapoor A, 2012).

32

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Tabel 2.4 Jenis Obat Golongan 5-ARI dan Efek Samping


(sumber: Kapoor A, 2012)
Nama obat/nama dagang Dosis Waktu Paruh Cara Kerja Efek Samping
Finasteride (Proscar) 5 mg/hari 6-8 jam Menghambat 5- Penurunan
AR (5α- libido,
reduktase) tipe disfungsi
II seksual,
ginekomastia
Dutasteride (Avodart) 0,5 mg/hari 3-5 minggu Menghambat 5- Sama dengan
AR tipe I dan II atas
Dutasteride/Tamsulosin Kombinasi 9-13 jam Kombinasi 5- Sama dengan
(Jalyn) 0,5 mg (Tamsulosin), ARI dan ARB Dustasteride
Dutasteride 3-5 minggu dan Tamsulosin
dan 0,4 mg (Dutasteride)
Tamsulosin
per hari

-Terapi kombinasi (ARB dan 5-ARI)

Penelitian yang dilakukan oleh Gormley GJ et al menunjukkan keuntungan

menggunakan terapi kombinasi ini pada pasien dengan pembesaran prostat. Lima-ARI

mengecilkan ukuran prostat dan ARB menurunkan tonus otot polos prostat sehingga

aliran urine menjadi lancar (Gormley GJ et al, 2007)

2.1.8.3 Pembedahan

Pembedahan endourologi transuretra dapat dilakukan dengan memakai tenaga

elektrik. TURP adalah baku emas prosedur pembedahan pada pasien BPH dengan gejala

LUTS yang mengganggu dan tidak membaik dengan medikamentosa. Indikasi

dilakukan TURP antara lain (1) refraktori LUTS terhadap medikamentosa, (2) ISK

rekuren, (3) BPH atau BPE yang berhubungan dengan hematuria refrakter terhadap

pengobatan, (4) Insufisiensi ginjal sekunder karena BOO, (5) batu ginjal dan (6) retensi

urinarius rekuren (Purnomo, 2009; Parnham, 2013).

33

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

2.2 Tissue Polypeptide Specific Antigen (TPS)

2.2.1 Biokimia dan Fisiologi

Semua sel eukariotik memiliki struktur sitoskeletal sitoplasma yang dikenal

sebagai filamen intermediet yang salah satunya adalah sitokeratin yang ditemukan pada

sel epitel. Jaringan sitoskeletal ini bertanggung jawab terhadap integritas mekanis sel

dan penting selama proses seluler seperti saat proses pembelahan sel, motilitas dan

kontak antar sel. Saat ini terdapat 20 jenis sitokeratin yang berbeda yang telah

teridentifikasi termasuk sitokeratin (Ck) 8, Ck 18 dan Ck 19 yang merupakan jenis

terbanyak pada sel epitel (Biotech).

Sel epitel prostat tersusun atas lapisan basal proliferatif dan lapisan luminal

sekretori. Lapisan ini dibedakan dari ekspresi berbagai petanda diferensiasi yang

spesifik. Sel luminal mengekspresikan PSA, Prostatic Acid Phosphatase (PAP), AR, Ck

8 dan Ck 18. Lapisan basal mengekspresikan Ck 5 dan Ck 14, CD 44 dan bcl-2

sementara Ck 19 dilaporkan memperlihatkan berbagai ekspresi di lapisan luminal dan

basal sel. Lapisan sel yang ketiga berasal dari neuroendokrin (gambar 2.11) (Hudson

DL et al, 2001).

34

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Gambar 2.11 Hipotesis jalur diferensiasi sel epitel prostat manusia berdasarkan pola
pewarnaan sitokeratin. Sel basal (Ck 5 dan Ck 14) berdiferensiasi menjadi sel luminal
yang mengekspresikan Ck 9, Ck 8 dan Ck 18 sebelum berdiferensiasi sempurna menjadi
sel yang mengekspresikan Ck 8/18 saja (sumber: Hudson et al 2001)

Sitokeratin dibagi menjadi 2 kelompok yaitu tipe I (Ck 9-20) yang ukurannya

lebih kecil (40-56 kD) dan bersifat asam, dan tipe II (Ck 1-8) berukuran lebih besar (53-

67 kD) yang bersifat netral sampai basa. Tissue Polypeptide Antigen (TPA), Tissue

Polypeptide Specific Antigen (TPS) yang mendeteksi Ck 18 dan cytokeratin 19

fragments (CYFRA 21-1) merupakan bagian famili sitokeratin yang memiliki kegunaan

klinis (Chan DW, 2006).

TPS adalah suatu antigenic site dari TPA yang secara spesifik dikenali oleh

antibodi monoklonal M3. Epitop ini berperan sebagai petanda proliferasi sel dan dapat

dideteksi menggunakan radioimmunoassay dan ELISA yang spesifik. TPS merupakan

satu-satunya tes yang mengukur fragmen terlarut sitokeratin 18 yaitu protein sitokeratin

yang terdapat di sel epitel. Pemeriksaan TPS digunakan untuk mendeteksi adanya

35

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

fragmen terlarut dari sitokeratin 18 yaitu suatu protein sitokeratin asam pada sel epitel

(Bormer, 1994; Rebhandi, 1998; Assiri MA, 2008).

Sel umumnya mempertahankan pola ekspresi sitokeratinnya jika terjadi

perubahan. Jaringan epitel normal dibatasi oleh membran basalis (kecuali di hepar) dan

produk sitokeratin akan diekskresi ke permukaan internal atau eksternal. Hal yang

berlawanan terjadi pada keganasan yang infiltrasi sel ganasnya menembus sampai

membran basalis dan menyebabkan produk sel dilepas lebih banyak di sirkulasi. Hal ini

dapat menjelaskan bagaimana fragmen sitokeratin yang tidak larut (insoluble) dapat

terdeteksi di serum dan digunakan sebagai petanda proliferasi, sampai pada akhirnya

sitokeratin ini dipakai sebagai petanda proliferasi sel dibandingkan ukuran sel (Bormer

AP, 1994).

Fragmen sitokeratin akan dilepas dari filamen tidak terlarut melalui degradasi

protein sel yang mati atau mengalami apoptosis. Terdeteksinya fragmen sitokeratin

menandakan adanya subunit monomer yang berlebihan dari sintesis filamen sitokeratin

dari sel yang berproliferasi sehingga TPS sering disebut “proliferation markers”

(Bormer AP, 1994).

Penyakit prostat baik keganasan maupun BPH terjadi pembelahan sel dan

diferensiasi sel yang tidak sesuai. Hudson DL et al melakukan penelitian untuk

mengidentifikasi subpopulasi sel pada lapisan basal prostat dan ingin mengetahui

apakah terdapat hubungan antara proliferasi sel dan diferensiasi pada jaringan prostat

yang mengalami hiperplasia atau BPH. Sampel jaringan BPH dari pasien yang berusia

58-77 tahun yang sudah dikonfirmasi secara histopatologi bukan suatu keganasan

dikumpulkan dan dilakukan pewarnaan imunofluorosens multipel indirek dengan panel

36

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

antibodi monoklonal tikus dan antibodi poliklonal kelinci monospesifik. Jaringan

prostat kemudian diwarnai 3 kali dengan anti-Ki67, anti-CD44 dan pewarnaan inti

Hoechst. Semua jaringan prostat yang mengalami hiperplasia mengekspresikan Ck 8

dan Ck 18 termasuk Prostatic Intraepithelial Neoplasia (PIN) mengekspresikan Ck 19

(Hudson DL et al, 2001).

2.2.2 Metode Pemeriksaan TPS

TPS diperiksa dengan metode ELISA yang menggunakan antibodi monoklonal

afinitas tinggi terhadap M3 yaitu 1 dari 35 epitop tissue polypeptide antigen (TPA) yang

teridentifikasi dimana mewakili spesifisitas yang berhubungan dengan proliferasi sel

(Rebhandi W et al, 1998).

Prinsip pemeriksaan kadar TPS menggunakan sandwich ELISA. Sembilan

puluh enam sumuran dilapisi antibodi monoklonal spesifik terhadap TPS. Standar,

sampel dan kontrol dimasukkan ke dalam sumuran dan akan bereaksi secara simultan

dengan antibodi monoklonal pada fase padat kemudian ditambah antibodi deteksi

antihuman TPS yang dilapisi biotin menghasilkan ikatan “sandwich” Antibodi-Antigen-

Antibodi. Horseradish Peroxidase dimasukkan ke dalam sumuran dilanjutkan larutan

substrat TMB sehingga menghasilkan perubahan warna biru yang sebanding dengan

kadar TPS dalam sampel. Perubahan reaksi terjadi dari warna biru menjadi kuning

dengan penambahan larutan penyetop dan absorbansi dibaca pada panjang gelombang

450 nm dengan microplate reader.

37

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka konseptual

Faktor intrinsik Faktor ekstrinsik

genetik

Sel Sel epitel lingkungan


stroma
testis

testosteron NATF

5α-reduktase androgen

DHT

FGF KGF IGF EGF

TGF-β
estrogen

somatik

Proliferasi sel
Penuaan prostat

IL-2
TPS
CD4+ CD 8+
IL-17
Pembesaran
volume prostat IL-4
TGF-β IFN-γ

Keterangan

: diteliti : efek inhibisi

: tidak diteliti

38

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

3.2 Penjelasan Kerangka Konseptual

Faktor yang diduga berperan dalam memacu proliferasi atau pertumbuhan sel

kelenjar prostat terdiri dari faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik. Faktor-faktor yang

mampu meningkatkan sintesis protein growth factor dikenal sebagai faktor ekstrinsik

sedangkan faktor pertumbuhan yaitu protein growth factor yang berasal dari dalam

prostat disebut sebagai faktor intrinsik.

Hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron

(DHT) dan proses penuaan. DHT dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat dan sel

stroma melalui enzim 5α-reduktase. DHT yang terbentuk akan berikatan dengan

reseptor androgen membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan terjadi sintesis

protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat.

Faktor intrinsik sebagai salah satu penyebab terjadinya BPH yaitu interaksi

antara sel epitel dan stroma. Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak

langsung dikontrol oleh sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu.

Faktor testis terdiri dari hormon yang diproduksi oleh testis yang dapat

meregulasi perkembangan prostat antara lain androgen, non-androgenic testicular

factor (NATF) dan estrogen. Beberapa growth factor yang diekspresikan atau growth

stimulatory factors yang mengikuti stimulasi androgen di dalam prostat adalah

endothelial growth factor (EGF), keratinocyte growth factor (KGF), insulin-like growth

factor (IGF), fibroblastic growth factor (FGF) dan transforming growth factor-β (TGF-

β). EGF, KGF dan IGF merupakan hormon yang meregulasi proliferasi sel (bersifat

agonis) sedangkan TGF-β yang adalah mitogen poten merupakan growth factor

39

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

inhibitor penting pada sel epitel prostat sehingga dapat menghambat proliferasi dan

memicu terjadinya apoptosis.

Paparan estrogen yang berlebihan selama perkembangan prostat dapat

menyebabkan terjadinya BPH dan kanker prostat. Estrogen berperan dalam proliferasi

sel kelenjar prostat dengan cara menurunkan jumlah kematian sel (apoptosis) sehingga

meski rangsangan pembentukan sel baru akibat rangsangan testosteron menurun tetapi

sel prostat yang sudah ada mempunyai umur yang lebih panjang. Hasil akhirnya adalah

massa prostat menjadi lebih besar dengan kata lain estrogen menghambat kerja TGF-β.

Aspek imunologi terlibat dalam hiperplasia prostat yaitu terdapatnya peran jalur

inflamasi dan sitokin pada penuaan sel prostat. Sel T CD4+ dan sel T CD8+ mensekresi

interferon γ (IFN-γ) yang akan menginduksi proliferasi sel stroma dan TGF-β yang

berfungsi sebagai inhibitor proliferasi sel stroma. IL-2 dan IL-17 akan menstimulasi

pertumbuhan sel stroma dan sel epitel prostat sedangkan IL-4 akan menghambat

proliferasi sel stroma.

Proliferasi sel epitel dan sel stroma akibat berbagai hal diatas akan

meningkatkan kadar Tissue Polypeptide Specific Antigen (TPS) dalam darah. TPS

adalah protein dalam serum yang mewakili epitop M3 dari Tissue Polypeptide Antigen

(TPA) yang secara spesifik mengukur fragmen terlarut sitokeratin 18 yaitu protein

sitokeratin yang terdapat di sel epitel prostat yang mengalami hiperplasia. Kadar TPS

yang meningkat berkaitan dengan progresivisitas hiperplasia sel.

Proliferasi sel epitel dan sel stroma prostat menyebabkan pembesaran prostat

yang besar atau volume kelenjar prostat dapat diketahui dari pemeriksaan ultrasonografi

transrektal atau transrectal ultrasonography (TRUS). TRUS digunakan untuk

40

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

mengetahui besar atau volume kelenjar prostat, sebagai petunjuk untuk melakukan

biopsi aspirasi prostat dan mencari kelainan lain yang mungkin ada di dalam kandung

kemih.

3.3 Hipotesis Penelitian

Terdapat korelasi antara kadar TPS serum dan volume prostat pada penderita

BPH.

41

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan rancangan penelitian

Jenis penelitian ini merupakan kajian analisis observasional dengan rancangan

potong lintang.

4.2 Populasi Penelitian, Sampel, Besar Sampel dan Kriteria Sampel

4.2.1 Populasi penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah penderita terdiagnosis BPH.

4.2.2 Sampel penelitian

Sampel penelitian adalah penderita BPH yang datang ke Poli Rawat Jalan Urologi

RSUD Dr. Soetomo Surabaya yang memenuhi kriteria penerimaan sampel.

4.2.3 Besar sampel

Besar sampel pada penelitian ini dihitung berdasarkan rumus besar sampel untuk

koefisien korelasi pada sampel tunggal menurut Hulley, BS et al tahun 2013.

Rumus besar sampel adalah :

n = besar sampel

α = 0,05 dan zα = 1,96

β = 0,20  zβ = 0,84

r = koefisien korelasi = 0, 441*

*Data diambil dari penelitian Mosli HA et al tahun 2010.

42

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Didapatkan hasil perhitungan n= 26,9 jadi besar sampel minimal untuk penelitian ini

adalah 27 sampel. Sampel yang diteliti dalam penelitian ini sebanyak 28 sampel.

4.2.4 Kriteria sampel

4.2.4.1 Kriteria penerimaan sampel

a. Penderita laki-laki usia 40-70 tahun.

b. Penderita BPH yang sudah ditentukan oleh dokter spesialis Urologi sebagai

penderita BPH di Poli Rawat Jalan Urologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

c. Bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani formulir persetujuan

(informed consent).

4.2.4.2 Kriteria penolakan sampel

a. Penderita dengan riwayat atau sedang dalam terapi alpha blockers atau 5 alpha

reductase inhibitors (5-ARI)

b. Penderita dengan gangguan ginjal (obstruksi saluran kemih, infeksi saluran

kemih, sistitis, pielonefritis, gagal ginjal)

4.3 Teknik pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode

consecutive sampling. Sampel penelitian yang diperiksa dilakukan berdasarkan

penderita BPH yang datang berobat di Poli Rawat Jalan Urologi RSUD Dr. Soetomo

Surabaya.

43

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

4.4 Waktu dan Lokasi Penelitian

4.4.1 Waktu penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Oktober 2015 sampai dengan Februari 2016.

4.4.2 Lokasi penelitian

a. Poli Rawat Jalan Urologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya untuk pengambilan

sampel darah.

b. Instalasi minimal Invasif Urologi (IIU) untuk pemeriksaan transrectal

ultrasonography (TRUS) dan pengambilan kelengkapan data volume prostat.

c. Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Departemen-Instalasi Patologi Klinik

FK Unair-RSUD Dr Soetomo Surabaya untuk pemeriksaan kadar TPS serum.

4.5 Variabel penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah :

1. Kadar TPS serum

2. Volume prostat

4.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Kadar TPS serum

Kadar TPS serum merupakan hasil pemeriksaan kadar TPS dalam serum

penderita BPH dengan menggunakan metode Enzyme Linked Immunosorbent

Assay/ELISA (tanpa alat) yang dinyatakan dalam satuan U/L. TPS dinyatakan

meningkat bila > 80 U/L berdasarkan petunjuk pabrik.

44

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

2. Volume prostat

Volume prostat merupakan hasil pengukuran besar prostat dengan pemeriksaan

TRUS yang dinyatakan dalam satuan mililiter (ml). Nilai normal volume prostat

< 25 ml (Goh HJ et al, 2015)

4.7 Alur penelitian

Penderita BPH

Pengukuran volume prostat Diambil darah vena sebanyak


5 ml dalam tabung Serum
(TRUS) Separator Tube (SST)

Sentrifugasi 3000 rpm 15 menit 


serum diambil

Hasil
pengukuran
Pengukuran kadar TPS
TRUS

Hasil
pengukuran
kadar TPS

Pengumpulan data, pengolahan dan analisis data  kesimpulan hasil


penelitian

Gambar 4.1. Alur Penelitian

45

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

4.8 Prosedur Kerja Laboratorium

4.8.1 Pengukuran kadar TPS serum

Pengukuran kadar TPS dilakukan dengan menggunakan TPS® ELISA (IDL

Biotech AB) dengan no lot F2636. Optical Density (OD) diukur dengan

spektrofotometer pada 450 nm dengan ELISA reader.

4.8.1.1 Prinsip pengukuran

Metode yang digunakan pada kit ini adalah double antibody sandwich ELISA.

Sembilan puluh enam sumuran dilapisi antibodi monoklonal spesifik terhadap TPS.

Standar, sampel dan kontrol dimasukkan ke dalam sumuran dan akan bereaksi secara

simultan dengan antibodi monoklonal pada fase padat, kemudian ditambah antibodi

deteksi yaitu antihuman TPS yang dilapisi biotin menghasilkan ikatan “sandwich”

antibodi-antigen-antibodi. Horseradish Peroxidase (HRP) dimasukkan ke dalam

sumuran dilanjutkan larutan substrat TMB sehingga menghasilkan perubahan warna

biru yang sebanding dengan kadar TPS dalam sampel. Reaksi enzim-substrat dihentikan

dengan penambahan larutan penyetop yang berisi asam sulfat dan warna berubah

menjadi kuning. Optical Density (OD) diukur secara spektrofotometrik pada panjang

gelombang 450 nm. Nilai OD sebanding dengan kadar TPS. Kadar TPS sampel dapat

ditentukan dengan menggunakan kurva standar.

4.8.1.2 Sampel untuk pengukuran kadar TPS serum

Volume sampel darah yang dibutuhkan untuk pemeriksaan TPS adalah 2x50 µl

(duplikasi). Sampel darah vena diambil dari vena cubiti. Darah vena dimasukkan ke

tabung separator serum sebelum disentrifugasi. Tiap tabung sampel diberi label identitas

penderita. Tabung sampel dipusingkan dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit

46

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

untuk mendapatkan serum dan mencegah adanya gelembung atau fibrin, kemudian

serum dimasukkan ke tabung eppendorf.

Sampel disimpan pada suhu -80 °C di Bank Jaringan RSUD Dr. Soetomo

sampai pemeriksaan dilakukan.

4.8.1.3 Bahan –bahan yang disediakan

TPS® ELISA menyediakan bahan-bahan yang diperlukan dalam pemeriksaan

TPS, antara lain (Biotech, 2014) :

1. TPS® ELISA Microstrips

Satu lempeng terdiri dari 96 sumuran kering (12 strip), dilapisi dengan antibodi

monoklonal anti-cytokeratin 18.

2. TPS® ELISA HRP Conjugate

Satu vial volume 11 ml, berisi antibodi M3 berkonjugasi dengan HRP, larutan

penyangga penyeimbang protein, pH 7, 5; berwarna biru.

3. TPS® ELISA Diluent (Standard 0 U/l)

Satu vial, volume 5 ml, berisi pengencer sampel dan larutan standard 0 U/L, larutan

penyangga penyeimbang protein, pH 7, 5; berwarna kuning.

4. TPS® ELISA Standard (30, 150, 500, 1200 U/l)

Empat vial, volume 1 ml tiap vial, berisi larutan penyangga penyeimbang protein.

pH 7, 5; berwarna kuning.

5. TPS® ELISA Kendali rendah dan tinggi

Dua vial, volume 1 ml per-vial, berisi larutan penyangga penyeimbang protein, pH

7, 5; berwarna kuning.

47

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

6. Tablet pencuci

Satu blisterpacked tablet, tablet dilarutkan dalam 500 ml aquabidest steril.

7. Substrat TMB: Satu vial, volume 22 ml.

8. Larutan penyetop: 1 vial, volume 12 ml, berisi 0.5 M asam sulfat.

4.8.1.4 Persiapan reagen

1. Reagen disiapkan pada suhu kamar sebelum digunakan.

2. Larutan pencuci dibuat dengan melarutkan 1 tablet pencuci ke dalam 500 uL

aquabidest.

4.8.1.5 Cara pengukuran kadar TPS serum

Prosedur pemeriksaan dikerjakan pada suhu kamar yaitu 22±6°C. Reagen

ditempatkan dalam ruang supaya suhunya sama dengan suhu ruang. Standar dan sampel

dikerjakan dalam duplikat. Kurva standar diperlukan pada setiap pemeriksaan. Semua

reagen divorteks sebelum digunakan.

1. Lima puluh µl standar rendah dan standar tinggi, kontrol dan sampel dipipet pada

tiap sumuran dan ditinggalkan 2 sumuran kosong untuk pengukuran background

absorbance (blank).

2. Seratus µl TPS ® ELISA HRP conjugate ditambahkan ke tiap sumuran kecuali

sumuran kosong. Langkah 1 dan 2 harus dilakukan berurutan tanpa interupsi.

3. Sumuran diinkubasi selama 2 jam±10 menit pada shaker dengan kekuatan ~450

rpm.

4. Larutan pencuci disiapkan dengan melarutkan 1 tablet pencuci ke dalam 500 ml

aquabidest.

5. Sumuran diaspirasi dan dicuci sebanyak 3 kali dengan 0, 3 ml larutan pencuci.

48

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

6. Dua ratus µl campuran larutan substrat TMB ditambah dan diinkubasi dalam kamar

gelap selama 20±1 menit. Sumuran dengan hasil positif akan memberikan warna

biru.

7. Lima puluh µl larutan penyetop ditambah di setiap sumuran sebagai akhir reaksi

dengan shaking. Hasil positif ditandai dengan perubahan warna dari biru menjadi

kuning.

8. Nilai OD ditentukan di setiap sumuran menggunakan microplate reader dengan

panjang gelombang 450 nm dalam waktu 30 menit setelah penambahan larutan

penyetop.

9. Konsentrasi sitokeratin 18 (U/L) pada sampel dikalkulasi.

Gambar 4.2 skema prosedur pemeriksaan TPS® ELISA


(sumber : TPS® ELISA IDL Biotech)

49

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

4.8.1.6 Interferensi

Hasil TPS serum dapat meningkat 3x lebih tinggi jika kadar hemoglobin tinggi.

Tidak ada laporan mengenai interferensi terhadap kadar bilirubin dan lemak.

4.8.2 Penjaminan mutu pengukuran kadar TPS serum

Penjaminan mutu pengukuran kadar TPS serum dilakukan dengan melakukan

duplikasi pemeriksaan pada beberapa spesimen penelitian dalam waktu yang bersamaan

untuk mencari impresisi within run.

4.9 Pengumpulan dan Penyajian Data

4.9.1 Pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan lembar pengumpulan data.

4.9.2 Penyajian data

Penyajian data dilakukan dalam bentuk tabel, kurva dan keterangan tertulis.

4.10 Analisis Data

4.10.1 Analisis deskriptif

a. Semua data yang terkumpul dilakukan koding, tabulasi dan entri data ke dalam

komputer.

b. Data deskriptif disajikan dalam rerata±Simpang Baku (SB)

50

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

4.10.2 Analisis Statistik

Uji normalitas bivariat dilakukan untuk mengetahui apakah data kadar TPS dan

volume prostat berdistrribusi normal. Data penelitian dianalisis untuk melihat adanya

korelasi antara kadar TPS serum dan volume prostat menggunakan uji korelasi Pearson.

Nilai p <0,05 dianggap bermakna secara statistik.

4.11 Persetujuan dari Komite Etik Penelitian

Penelitian ini sudah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian Fakultas

Kedokteran Universitas Airlangga.

4.12 Kerahasiaan Data Subyek Penelitian

Kerahasiaan data subjek penelitian dijaga dengan hanya mencantumkan identitas

berupa inisial responden dan kode nomor sampel. Data ini digunakan hanya untuk

kepentingan penelitian ilmiah.

51

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB 5

HASIL PENELITIAN

5.1 Penjaminan Mutu

Penjaminan mutu hasil pengukuran kadar Tissue Polypeptide Specific Antigen

(TPS) serum dilakukan dengan mencari impresisi within run dengan melakukan

duplikasi pemeriksaan pada 25 spesimen pemeriksaan dalam waktu yang bersamaan.

Hasil yang diperoleh berupa Simpang Baku (SB) dan coefficient of variation (CV). Uji

impresisi perangkat reagen TPS® ELISA didapatkan SB sebesar 19,61 U/L dan CV

sebesar 7,9 %. Hasil pemeriksaan selengkapnya disajikan pada lampiran 9.

5.2 Data Penelitian

5.2.1 Hasil Penetapan Besar Sampel

Penelitian dilakukan antara bulan Oktober 2015-Februari 2016 dengan besar

sampel yang memenuhi kriteria penerimaannya adalah 28 dari Poli Rawat Jalan Urologi

RSUD DR. Soetomo Surabaya. Jumlah tersebut telah memenuhi besar sampel yang

ditetapkan pada penelitian ini. Seluruh subjek penelitian merupakan penderita BPH

yang telah didiagnosis oleh teman sejawat spesialis Urologi dan bersedia ikut serta

dalam penelitian dengan menandatangani informed consent. Komite Etik Penelitian

Kesehatan RSUD DR. Soetomo Surabaya telah menyetujui dan menyatakan laik etik

untuk penelitian ini.

Masing-masing subjek penelitian dilakukan pengukuran kadar TPS serum dan

pengukuran volume prostat.

52

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

5.2.2 Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik usia dari 28 subjek penderita BPH yang ikut dalam penelitian ini

tercantum dalam tabel 5.1 dan rerata usia subjek penelitian tercantum pada tabel 5.2.

Tabel 5.1 Distribusi Subjek Penelitian menurut Usia


Usia (tahun) Jumlah (%)
40-49 1 1 (3,58%)
50-59 4 4 (14,28%)
60-70 23 23 (82,13%)
Total 28 28 (100%)

Tabel di atas menunjukkan bahwa subjek penelitian paling banyak berusia

antara 60 sampai 70 tahun (82,13%) dan hanya 1 subjek penelitian berusia 40-49 tahun

(3,58%).

Tabel 5.2 Hasil Rerata Usia Subjek Penelitian

Kode Sampel Usia (thn)

1A, 1B 55
2A, 2B 62
3A, 3B 64
4A, 4B 52
5A, 5B 72
6A, 6B 61
7A, 7B 61
8A, 8 B 60
9A, 9B 61
10A, 10 B 70
11A, 11B 62
12A, 12B 67
13A, 13B 64
14A, 14B 65
15A, 15B 48
16A, 16B 70
17A, 17B 70
18A, 18B 57
19A, 19B 70

53

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

20A, 20B 51
21A, 21B 60
22A, 22B 68
23A, 23B 73
24A, 24B 68
25A, 25B 69
26A, 26 B 64
27A, 27B 65
28A, 28B 70
Rerata 63,18571429
SB 6,64705881
Median 64
Minimum 48
Maksimum 73

Tabel 5.2 menunjukkan rentang usia subjek penderita BPH berkisar antara 48-70

tahun, dengan rerata usia 63,18 tahun (SB= 6,6 tahun).

5.2.3 Hasil Pengukuran Kadar TPS serum

Kadar pemeriksaan TPS dengan reagen TPS® ELISA berkisar antara 10-1200

U/L. Kadar minimal yang dapat dideteksi dengan reagen TPS® ELISA adalah < 6 U/L.

Nilai normal TPS serum menurut kit reagen TPS® ELISA adalah 80 U/L.

Hasil kadar TPS serum yang didapatkan pada penelitian ini lebih tinggi dari

normal pada 13 subjek penderita berkisar antara 82,45-1822 U/L. Rerata ± SB kadar

TPS pada seluruh subjek penelitian adalah 195,35 ± 349,79 U/L. Kadar TPS terendah

didapatkan pada subjek penderita dengan volume prostat 32,2 ml sedangkan kadar TPS

tertinggi didapatkan pada subjek penderita dengan volume prostat 41,3 ml. Kadar TPS

terbanyak didapatkan pada kadar 30-299 U/L sebanyak 25 subjek penderita (89,28%).

Dua subjek penderita BPH dalam penelitian ini mempunyai rerata kadar TPS

yang cukup tinggi yaitu 895,05 U/L dan 1771,5 U/L. Masing-masing kedua subjek

54

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

secara berturut-turut memiliki volume prostat sebesar 41,3 ml dan 54,3 ml. Hasil

pengukuran kadar TPS serum tercantum pada tabel 5.3 dan hasil rerata pengukuran

kadar TPS serum tercantum pada tabel 5.4.

Tabel 5.3 Hasil Pengukuran kadar TPS Serum


Rerata Kadar TPS Serum (U/L) Jumlah (%)
30-299 25 (89,28%)
300-519 1 (3,57%)
520-739 0 (0%)
740-999 1 (3,57%)
>1000 1 (3,57%)
Total 28 (100%)

Tabel di atas memperlihatkan kadar TPS terbanyak didapat pada kadar 30-299 U/L

sebanyak 25 subjek penderita (89,28%).

Tabel 5.4 Hasil Rerata Pengukuran kadar TPS serum


Kode Sampel TPS Hasil 1 TPS Hasil 2 Rerata kadar TPS ( U/L)
(U/L) (U/L)
1A, 1B 53,3 -- 53,3
2A, 2B 102,3 97,8 100,05
3A, 3B 118,3 109,6 113,95
4A, 4B 304,1 318,2 311,15
5A, 5B 51,2 51,2 51,2
6A, 6B 80 73,1 76,55
7A, 7B 62 47,7 54,85
8A, 8 B 66,8 68,9 67,85
9A, 9B 154,7 171,9 163,3
10A, 10 B 1721 1822 1771,5
11A, 11B 29,6 31,1 30,35
12A, 12B 78,3 66 72,15
13A, 13B 85,6 96,7 91,15
14A, 14B 87,7 71,1 79,4
15A, 15B 66,1 61,3 63,7
16A, 16B 89,4 75,5 82,45
17A, 17B 59,5 43,9 51,7
18A, 18B 208,6 218,4 213,5
19A, 19B 76,9 79,7 78,3
20A, 20B 72 63,2 67,6

55

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

21A, 21B 67,2 57,4 62,3


22A, 22B 246,3 206,6 226,45
23A, 23B 243,2 255,1 249,15
24A, 24B 64,7 59,9 62,3
25A, 25B 154,7 134,7 144,7
26A, 26 B 177,3 -- 177,3
27A, 27B 987,4 802,7 895,05
28A, 28B 58,5 -- 58,5
Rerata 198,8107143 203,348 195,3482143
SB 348,0612115 371,9073721 349,7986456
Median 82,8 75,5 78,85
Minimum 20,7 20,7 30.35
Maksimum 87,4 87,4 1771,5

5.2.4 Hasil Pengukuran Volume Prostat

Hasil pengukuran volume prostat 28 subjek penelitian tercantum pada tabel 5.5.

Hasil volume prostat yang didapat pada penelitian ini lebih tinggi dari normal pada

semua subjek penderita BPH, berkisar antara 20,7-87,4 ml dengan rerata±SB adalah

34,70 ± 15,31 ml (tabel 5.6).

Tabel 5.5 Hasil Pengukuran Volume Prostat


Volume (ml) Jumlah (%)
< 25 ml 10 (35,72%)
≥ 25 ml 18 (64, 28%)
Total 28 (100%)

Tabel diatas menunjukkan bahwa lebih dari separuh subjek penelitian (64,28%)

memiliki volume prostat lebih besar atau sama dengan 25 ml.

Tabel 5.6 Hasil Rerata Pengukuran Volume Prostat


Kode Sampel Volume (mL)

1A, 1B 38, 2
2A, 2B 20, 7
3A, 3B 21, 5
4A, 4B 56, 4
5A, 5B 45, 3

56

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

6A, 6B 87, 4
7A, 7B 35, 4
8A, 8 B 25, 2
9A, 9B 28
10A, 10 B 41, 3
11A, 11B 32, 2
12A, 12B 43, 8
13A, 13B 22
14A, 14B 25, 26
15A, 15B 41, 05
16A, 16B 46, 2
17A, 17B 54, 1
18A, 18B 21, 2
19A, 19B 37, 4
20A, 20B 24
21A, 21B 24, 3
22A, 22B 22
23A, 23B 22
24A, 24B 21,5
25A, 25B 24
26A, 26 B 32, 7
27A, 27B 54,3
28A, 28B 24,2
Rerata 34,7004
SB 15,31463
Median 24
Minimum 20,7
Maksimum 87,4

5.2.5 Korelasi antara Kadar TPS Serum dan Volume Prostat

Hasil pengukuran kadar TPS serum dan volume prostat pada penelitian ini

selanjutnya akan diolah secara statistik untuk mengetahui apakah ada korelasi positif

yang bermakna antara kadar TPS dan volume prostat. Subjek penderita yang memiliki

volume prostat yang besar tidak selalu memiliki kadar TPS yang tinggi, begitu pula

sebaliknya, subjek penderita dengan kadar TPS yang normal ternyata memiliki volume

prostat yang besar (tabel 5.7).

57

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Tabel 5.7 Hasil Rerata Pengukuran kadar TPS serum dan Volume Prostat
Kode Sampel Volume (ml) Rerata kadar TPS
( U/L)
1A, 1B 38, 2 53,3
2A, 2B 20, 7 100,05
3A, 3B 21, 5 113,95
4A, 4B 56, 4 311,15
5A, 5B 45, 3 51,2
6A, 6B 87, 4 76,55
7A, 7B 35, 4 54,85
8A, 8 B 25, 2 67,85
9A, 9B 28 163,3
10A, 10 B 41, 3 1771,5
11A, 11B 32, 2 30,35
12A, 12B 43, 8 72,15
13A, 13B 22 91,15
14A, 14B 25, 26 79,4
15A, 15B 41, 05 63,7
16A, 16B 46, 2 82,45
17A, 17B 54, 1 51,7
18A, 18B 21, 2 213,5
19A, 19B 37, 4 78,3
20A, 20B 24 67,6
21A, 21B 24, 3 62,3
22A, 22B 22 226,45
23A, 23B 22 249,15
24A, 24B 21,5 62,3
25A, 25B 24 144,7
26A, 26 B 32, 7 177,3
27A, 27B 54,3 895,05
28A, 28B 24,2 58,5
Rerata 34,7004 195,3482143
SB 15,31463 349,7986456
Median 24 78,85
Minimum 20,7 30.35
Maksimum 87,4 1771,5

Uji normalitas bivariat dilakukan untuk mengetahui apakah data kadar TPS

serum dan volume prostat berdistribusi normal bivariabel. Hasil analisis uji normalitas

bivariat menunjukkan bahwa data berdistribusi di sekitar garis diagonal dan tidak ada

58

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

data yang menyimpang jauh dari garis sehingga dikatakan data kadar TPS serum dan

volume prostat berdistribusi normal bivariabel (lampiran 11).

Uji korelasi Pearson dilakukan untuk menentukan korelasi antara kadar TPS

serum dengan volume prostat pada BPH. Hasil analisis menunjukkan tidak ada korelasi

positif yang bermakna antara kadar TPS serum dengan volume prostat (p= 0,404)

dengan nilai r= 0,164 (gambar 5.1)

Gambar 5.1 Grafik Korelasi antara kadar TPS dengan Volume Prostat

59

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB 6

PEMBAHASAN

6.1 Penjaminan Mutu Pengukuran Kadar Tissue Polypeptide Specific Antigen

(TPS)

Penjaminan mutu hasil pengukuran kadar TPS dilakukan dengan mencari

impresisi within run, dengan melakukan duplikasi pemeriksaan pada 25 sampel

penelitian dalam waktu yang bersamaan. Hasil yang didapat adalah Simpang Baku (SB)

sebesar 19,61 U/L dan Variasi Koefisien (CV) sebesar 7,97%. Impresisi merupakan

penyimpangan hasil pemeriksaan terhadap nilai rerata, yang semakin kecil

penyimpangan berarti semakin dekat hasil pemeriksaan satu sama lainnya dari seri

pemeriksaan ulang. Penelitian ini dianggap mempunyai presisi yang baik untuk

pemeriksaan ELISA secara manual.

Hasil duplikasi pemeriksaan pada dua sampel mempunyai perbedaan cukup

besar dibanding sampel lainnya, yaitu sampel pertama didapatkan hasil 1721 U/L dan

1822 U/L dengan SB sebesar 71,41 U/L; sampel kedua didapatkan hasil 987,4 U/L dan

802,7 U/L dengan SB sebesar 130,6 U/L. Ada juga hasil duplikasi pemeriksaan pada

satu sampel yang perbedaannya sangat kecil, yaitu SB 1,06 U/L. Hal tersebut mungkin

disebabkan karena adanya gelembung dalam sumuran, sumuran tidak dicuci dengan

baik secara menyeluruh, dan pemipetan yang tidak konsisten. Adanya gelembung dalam

sumuran dapat menyebabkan efisiensi ikatan antigen-antibodi lebih rendah atau dapat

mengganggu pada saat pembacaan dengan ELISA reader sehingga hasil pengukuran

menjadi lebih rendah. Sumuran yang tidak dicuci dengan baik secara menyeluruh

60

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

menyebabkan hasil pengukuran tinggi karena kemungkinan adanya antigen yang masih

tertinggal di dasar sumuran dan dapat berikatan dengan antibodi berlabel biotin.

Pemipetan yang tidak konsisten dapat menyebabkan perbedaan hasil yang besar pada

duplikat.

6.2 Karakteristik Subjek Penelitian

Telitian ini menemukan kasus BPH terbanyak dijumpai di kelompok usia antara

60-70 tahun (82,13%) dengan rerata usia 63,18±6,6 tahun. Hal ini sesuai dengan

muatan kepustakaan yang menyatakan bahwa laki-laki yang memiliki usia ≥ 50 tahun

memiliki risiko 6,24 kali lebih besar dibanding dengan laki-laki yang berusia ≤ 50 tahun

dengan rerata usia subjek penelitian adalah 65,90±9,1 tahun untuk kelompok kasus

(Rizki A, 2008).

Telitian yang dilakukan oleh Goh, HJ et al menunjukkan rerata usia penderita

BPH adalah 63,72±9,40 tahun dengan 33,4% penderita berada dalam kelompok usia

60-69 tahun. Hal ini disebabkan karena pada usia lebih dari 50 tahun kadar hormon

testosteron mulai menurun dan penurunan akan lebih cepat pada usia 60 tahun ke atas

sesuai pertambahan usia. Terdapat ketidakseimbangan antara penurunan kadar hormon

testosteron dan peningkatan hormon estrogen. Estrogen yang meningkat akan

menyebabkan sensitifitas reseptor androgen dalam sel stroma kelenjar prostat.

Testosteron akan diubah menjadi Dihidrotestosteron (DHT) oleh enzim 5α-reduktase

dan DHT yang terbentuk akan berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk

kompleks DHT-RA pada inti sel sehingga terjadi sintesis protein growth factor yang

menstimulasi pertumbuhan sel prostat (Purnomo 2009, Al-Zashami KA 2014).

61

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DHT inilah yang kemudian secara kronis menstimulasi kelenjar prostat sehingga

membesar yang pada usia 60 tahun nodaul pembesaran prostat terlihat sekitar 60%

sedangkan pada usia 80 tahun nodul terlihat pada 90% yang di antaranya sudah mulai

memberi gejala pada sekitar 50% penderita BPH (Rizki A, 2008).

6.3 Kadar TPS serum pada Penderita BPH

Hasil kadar TPS serum yang didapat pada penelitian ini lebih tinggi dari normal

pada 13 subjek penderita berkisar antara 82,45-1822 U/L dengan rerata ± SB pada

semua subjek penelitian adalah 195,35 ± 349,79 U/L. Rerata kadar TPS terendah yaitu

30,35 U/L didapat pada subjek penderita dengan volume prostat 32,2 ml; sedangkan

rerata kadar TPS tertinggi yaitu 1771,5 U/L didapat pada subjek penderita dengan

volume prostat 41,3 ml. Sampel yang memiliki rerata kadar TPS 1771,5 U/L dalam

kondisi serum yang ikterik, hal ini kemungkinan bisa mengganggu reaksi ikatan antigen

dan antibodi pada ELISA meskipun belum ada laporan mengenai interferens ikterik

terhadap pemeriksaan TPS. Rerata kadar TPS yang tinggi juga dapat disebabkan oleh

sumuran yang tidak dicuci dengan baik secara menyeluruh sehingga kemungkinan

masih ada antigen yang tertinggal di dasar sumuran dan berikatan dengan antibodi

berlabel biotin. Kadar TPS juga dapat meningkat pada beberapa penyakit seperti gagal

ginjal, hepatitis kronik aktif, dan diabetes melitus sehingga dapat menyebabkan hasil

pengukuran kadar TPS tinggi palsu (Paul D et al, 2011).

Fungsi dari sitokeratin 18 adalah mempertahankan stabilitas membran sel epitel.

Gagal ginjal dapat meningkatkan kadar TPS karena terjadi kerusakan membran epitel

glomerulus sehingga sitokeratin 18 keluar ke sirkulasi darah dan dapat terdeteksi oleh

62

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

TPS. Penyakit hati baik non keganasan seperti hepatitis kronik, hepatitis autoimun,

hepatitis alkoholik dan keganasan seperti karsinoma hepatoseluler/hepatocellular

carcinoma (HCC) juga dapat meningkatkan kadar TPS akibat kerusakan hepatosit dan

proses sitolisis. Sitokeratin 18 yang berfungsi menjaga sitoskeleton hepatosit akan

keluar ke sirkulasi darah karena hepatosit rusak sehingga dapat terdeteksi oleh TPS.

Peningkatan kadar TPS pada DM terutama terjadi pada komplikasi disfungsi ginjal dan

disfungi hati (Paul D et al, 2011).

Kadar TPS pada 15 subjek penelitian menunjukkan hasil normal yang dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu adanya gelembung dalam sumuran yang dapat

menyebabkan efisiensi ikatan antigen-antibodi lebih rendah atau dapat mengganggu

pada saat pembacaan dengan ELISA reader, menyebabkan hasil pengukuran menjadi

lebih rendah.

Telitian yang dilakukan Anitha, D et al mengenai kadar TPS serum pada BPH

mendapatkan kadar TPS serum hanya meningkat pada 8 subjek penelitian (32%) dari 25

subjek penelitian dengan p >0,1. Hal ini disebabkan karena selain mendeteksi

sitokeratin 18, TPS juga dapat mendeteksi filamen intermediet sitoskeletal lain yaitu

sitokeratin 8 dan sitokeratin 19 yang lebih dominan. Sitokeratin 18, 8 dan 19 disintesis

selama proses proliferasi sel epitel dan stroma sehingga fragmen protein sitokeratin

dilepas ke sirkulasi (Anitha D et al, 2000).

Alasan lain adalah sitokeratin 18 yang terdapat pada sel epitel prostat dapat

mengalami tumpang tindih dengan sitokeratin lain seperti sitokeratin 8 dan sitokeratin

19 (co-expression), sehingga sitokeratin 18 terdeteksi dalam jumlah sedikit (Hudson

DL et al, 2000; Zhang C et al, 2013).

63

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

6.4 Hasil Pengukuran Volume Prostat pada Penderita BPH

Hasil volume prostat yang didapat pada penelitian ini lebih tinggi dari normal

pada semua subjek penderita BPH berkisar antara 20,7-87,4 ml dengan rerata ± SB

adalah 34,70 ± 15,31 ml.

Volume prostat merupakan penilaian penting terutama sebagai faktor penentu

outcome BPH seperti retensi urine akut atau tindakan operatif pada penderita BPH.

Banyak pendapat yang berbeda mengenai ukuran prostat yang normal berkisar antara 20

sampai 25 ml. Garraway et al mendefinisikan BPH sebagai adanya gejala berkemih,

volume prostat yang diukur lebih dari 20 ml menggunakan ultrasonografi transrektal

(TRUS). Chung et al mendefinisikan BPH sebagai pembesaran volume prostat lebih

dari 25 ml dan skor IPSS lebih dari 8 (Goh HJ et al, 2015).

Telitian tahun 2011 menggunakan studi potong lintang untuk menginvestigasi

perubahan terhadap total volume prostat dan volume zona transisional yang merupakan

zona pertumbuhan hiperplasia jinak pada laki-laki usia 40-70 tahun dan mendapat hasil

bahwa volume prostat meningkat dua kali lipat dari 5,5 ml pada kelompok usia 40-49

tahun sampai 11,1 ml pada usia 60-70 tahun (Fukuta et al, 2011).

Hasil pada penelitian ini didapat semua subjek penelitian memiliki volume

prostat lebih besar dari 20 ml. Subjek penelitian yang berusia 48 tahun memiliki volume

prostat 41,05 ml dan subjek penelitian yang berusia 70 tahun memiliki volume prostat

54,1 ml. Terdapat juga beberapa ketidaksesuaian pada penelitian ini yaitu subjek

penelitian yang berusia 48 tahun memiliki volume prostat 41,05 ml sedangkan subjek

penelitian yang berusia 67 tahun juga memiliki volume prostat 43,8 ml.

64

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Hal ini dapat disebabkan antara lain karena adanya variabilitas antara pemeriksa

dengan pengalaman yang berbeda, peningkatan panjang dan lebar prostat cenderung

stabil dan hanya berubah sedikit pada usia 40-69 tahun, sedangkan setelah usia 70 tahun

diameter prostat akan semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum usia 60

tahun pertumbuhan prostat berjalan lambat, dan setelah usia 60 tahun prostat akan

bertumbuh lebih cepat dalam hal panjang prostat (Zhang SJ et al, 2013).

6.5 Korelasi antara kadar TPS serum dengan Volume Prostat pada Penderita BPH

Proliferasi sel epitel dan sel stroma prostat di dalam zona transisional

disebabkan oleh berbagai gangguan seluler yang rumit termasuk peningkatan

proliferasi, diferensiasi, apoptosis dan penuaan. Peningkatan jumlah sel pada BPH

disebabkan karena proliferasi sel epitel dan stroma mengakibatkan pembesaran prostat

jinak dan peningkatan volume prostat (Roehrborn CG, 2012).

TPS yang terdeteksi di sirkulasi terdiri dari fragmen sitokeratin 18 yang terdapat

dalam jaringan dan menunjukkan status proliferasi. Sitokeratin 18 biasanya muncul

bersamaan dengan sitokeratin 8 untuk memproduksi filamen intermediet berisi keratin

yang berperan penting dalam memelihara integritas inti sel dan terlibat dalam proses

pengaturan seluler termasuk apoptosis, mitosis dan siklus sel (Bormer, 1994; Zhang C

et al, 2013).

Telitian oleh Zhang C et al mengenai morfologi dan histologi sitokeratin 18

pada kondisi fisiologis prostat untuk menyelidiki fungsi sitokeratin 18 secara invivo di

prostat mendapat hasil yaitu tidak adanya sitokeratin 18 pada hewan coba tidak

mempengaruhi morfologi dan histologi normal prostat (Zhang C et al, 2013).

65

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Hasil pada penelitian ini berlawanan dengan hipotesis penelitian. Hal ini

disebabkan sitokeratin 18 memiliki efek terbatas pada sel epitel prostat karena adanya

peningkatan sitokeratin lain yang berlebihan meskipun sitokeratin 18 merupakan

petanda proliferasi sel yang penting. Sitokeratin 18 yang dihilangkan pada penelitian

eksperimental Zhang et al menunjukkan dampak yang rendah terhadap morfogenesis

dan pertumbuhan sel epitel prostat karena adanya upregulation dari sitokeratin lain

seperti sitokeratin 19 dan sitokeratin 8. Sitokeratin 19 yang diekspresikan di sel epitel

luminal dan basal prostat dapat meningkat atau upregulated bersama dengan sitokeratin

18. (Fry PM et al 2000, Zhang C et al 2013).

Hal yang sama dikemukakan oleh Hudson DL et al yang membandingkan

ekspresi petanda protein atau tissue-specific marker pada jaringan BPH secara in vivo

dan in vitro pada media kultur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara in vivo ada

ko-ekspresi sitokeratin 8 dan sitokeratin 18 di sel luminal prostat, sedangkan sitokeratin

19 juga didapat bersama dengan sitokeratin 18 sehingga hal ini dapat menyebabkan

sitokeratin 18 yang dideteksi dengan TPS tidak selalu meningkat karena adanya

tumpang tindih dengan sitokeratin lain yang lebih dominan. Proses in vitro kultur sel

menperlihatkan petanda sel luminal prostat yaitu sitokeratin 8 dan sitokeratin 18 tidak

selalu diekspresikan dimana sitokeratin 8 diekspresikan lebih banyak di sel epitel

prostat yang dikultur dibanding sitokeratin 18 (Hudson DL et al, 2000).

Shim HB et al mengemukakan korelasi antara volume prostat total dan Prostate

Specific Antigen (PSA) pada pria Asia berbeda dengan pria kulit putih. Ia meneliti

mengenai perbedaan komposisi seluler pada BPH dari segi rasial dan menemukan

bahwa pria Asia memiliki komponen epitelial (glandular) yang lebih banyak dan

66

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

komponen stromal yang lebih sedikit dibanding pria kulit putih atau black Americans.

Komponen glandular yang secara relatif lebih banyak pada pria Asia dapat menjelaskan

mengenai kadar PSA yang meningkat per unit volume prostat jika dibandingkan dengan

pria kulit putih, namun hal ini tidak diketahui dalam hubungannya dengan TPS. (Shim

HB et al 2007).

Hal-hal tersebut diatas menunjukkan bahwa meskipun volume prostat membesar

pada hiperplasia prostat jinak namun sitokeratin 18 yang dideteksi dengan TPS tidak

selalu meningkat atau sebaliknya kadar TPS yang meningkat tidak selalu menandakan

volume prostat yang membesar.

6.5 Keterbatasan Penelitian

Telitian ini memiliki keterbatasan yaitu hasil pengukuran kadar TPS serum dan

korelasinya dengan volume prostat tidak dapat dihubungkan dengan keadaan klinis

penderita BPH. Hal ini dikarenakan BPH merupakan proses fisiologis yang terjadi pada

pria seiring pertambahan usia.

Keterbatasan lainnya adalah pengukuran kadar TPS dan volume prostat pada

penelitian ini hanya dilakukan satu kali saat pasien datang berobat ke poli rawat jalan

Urologi RSUD DR. Soetomo. Cara yang terbaik untuk memonitor pola pertumbuhan

prostat adalah dengan studi longitudinal dengan tujuan semua subjek penelitian diikuti

selama beberapa waktu untuk melihat perubahan kadar TPS dan tingkat pertumbuhan

prostat sehingga dengan beberapa kali pemeriksaan, diharapkan terdapat korelasi antara

kadar TPS serum dan volume prostat (Zhang SJ et al, 2013).

67

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB 7

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Beberapa hal yang dapat disimpulkan pada penelitian ini adalah :

a. Kadar Tissue Polypeptide Specific Antigen (TPS) yang didapat berkisar antara 30,35

U/L sampai 1822 U/L

b. Nilai volume prostat yang didapat bervariasi antara 20,7 ml sampai 87,4 ml

c. Tidak terdapat korelasi antara kadar TPS serum dan volume prostat pada penderita

BPH.

7.2 Saran

a. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang menilai kadar TPS dan hubungannya

dengan volume prostat pada penyakit prostat lain seperti kanker prostat sehingga

dapat mengetahui dengan lebih baik peran pengukuran kadar TPS dalam

mendukung diagnosis dan prognosis penyakit prostat.

b. Penggunaan TPS sebagai petanda proliferasi sebaiknya dikombinasi dengan

petanda tumor lain seperti Prostate Specific Antigen (PSA) dalam korelasinya

dengan volume prostat, sehingga dapat meningkatkan peran TPS lebih baik

untuk menentukan diagnosis dan prognosis.

68

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jashami, KA. 2014. “Prevention of BPH”. Omics e-book Group. Available at


http://www.esciencecentral.org/ebooks/practice-of-cancer-prevention/prevention-
of-prostate-cancer.php. Accessed on 3 September 2015.

Anitha, D. & Venkatesh, T. 2000. “The changing scenario in diagnosing prostate


cancer”. Indian Journal of Clinical Biochemistry, 15(2), pp. 114-18.

Anon. “TPS® ELISA: for accurate tumor status”. Sweden: IDL Biotech AB.
Avalaible at http://www.ibl-america.com/pdf/elisa/10-212.pdf. Accessed 24
August 2015.

Amalia, R., Hadisaputro, S. & Muslim, R. 2007. Faktor–faktor terjadinya


pembesaran prostat jinak (studi kasus di RS Dr. Kariadi, RSI Sultan Agung, RS
Roemani Semarang). Artikel publikasi. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro RS Kariadi Semarang.

Assiri, MA. 2008. “Effectiveness of tissue polypeptide specific antigen (TPS) in


diagnosis of prostate cancer. A comparative study with PSA and F/T PSA”.
Oxford Research Forum e-Journal, 5, pp. 1-12.

Astrawinata, DAW. 2009 Penanda laboratorium pada hipertrofi prostat. Dalam:


Oesman, F. & Setiabudi RD, ed. Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik
2009. Jakarta: Departemen Patologi Klinik FKUI, pp. 81-9.

Aulia, D. 2009. Patogenesis hipertrofi prostat. Dalam: Oesman, F. & Setiabudi


RD, ed. Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2009. Jakarta:
Departemen Patologi Klinik FKUI, pp. 66-80.

Bormer, OP. 1994. “From tissue polypeptide antigen to specific cytokeratin


assay”. Tumor Biology, 15, pp. 185-87.

Brannigan, RE. & Grayhack, JT. 2004. “5α-reductase inhibitors”. In: McVary KT
ed. Management of Benign Prostatic Hypertrophy. New Jersey: Humana Press
Inc, pp. 79, 81-2, 85, 92-3.

Ceriani, L., Giovanella, L., Salvadore, M., Bono, AV., Roncari, G. 1997. “Tissue
polypeptide-specific antigen immunoassay in the diagnosis and clinical staging of

69

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

prostatic carcinoma. Comparison with prostate-specific antigen (PSA)”.


International Journal Biology Markers, 12(1), pp. 27-34.

Chan, DW., Booth, RA., Diamandis, EP. 2006. “Tumor markers”. Dalam: Tietz
Textbook of Clinical Chemistry and Molecular Diagnosis. Burtis CA., Ashwood
ER., Bruns DE. 2006. Philadelphia:Elsevier Inc, pp. 757-58, 769.

Fry, P., Hudson, DL., O’Hare, MJ., Masters, JRW. 2000. “Comparison of marker
protein expression in benign prostatic hyperplasia in vivo and in vitro”. British
Journal of Urology International, 85, pp. 504-13.

Gerber, GS. 2004. “The definition of benign prostatic hyperplasia: epidemiology


and prevalence”. In: McVary KT ed. Management of Benign Prostatic
Hypertrophy. New Jersey : Humana Press Inc, pp. 21-4.

Goh, HJ., Kim, SA., Nam, JW., Choi, BY., Moon, HS. 2015. “Community-based
research on the benign prostatic hyperplasia prevalence rate in Korean rural area”.
Korean Journal Urology, 56, pp. 68-75.

Hudson DL., Guyb AT., Fry P., O’Hare MJ., Watt FM., Masters JRW. 2001.
“Epithelial cell differentiation pathways in the human prostate: identification of
intermediate phenotypes by keratin expression”. The Journal of Histochemistry &
Cytochemistry, 49(2), pp. 271-78.

Hudson, DL., O’Hare, MJ., Masters, JRW. 2000. “Comparison of marker protein
expression in benign prostatic hyperplasia in vivo and in vitro”. British Journal of
Urology International, 85, pp. 504-13.

Hulley, BS., Cummings, SR., Browner, WS, Grady, DG., Newman, TB. 2013.
Designing Clinical Research : An Epidemiologic Approach.

Kapoor, A. 2012. “Benign prostatic hyperplasia management in the primary care


setting”. The Canadian Journal of Urology, 19, pp. 10-7.

Kramer, G., Mitteregger, D., Marberger, M. 2007. “Is benign prostatic hyperplasia
(BPH) an immune inflammatory disease?”. European Urology, 51, pp. 1202-16.

Kuo, HC. 2008. “Guidelines for diagnostic assessment and advanced study of
lower urinary tract symptoms suggestive of benign prostatic hyperplasia”. Incont
Pelvic Floor Dysfunc, 2(1): pp 7-10.

70

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Malik, R., Pandya, VK., Naik, D. 2004. “Transrectal ultrasonography for


evaluation of various benign and malignant prostatic lesions and their
histopathological correlation”. Indian Journal of Radiology and Imaging, 14(2),
pp. 155-57.

McConnell, JD., Bruskewitz, RC., Bueschen, AJ., Holtgrewe, HL., Lange, JL.,
McClennan, BL. 2003. “Benign Prostatic Hyperplasia:diagnosis and treatment
guideline overview”. Journal of The National Medical Association, 86(7), pp.
489, 548-49.

McPhee, SJ. 1997. “Disorders of the male reproductive tract.” In: McPhee, SJ.,
Lingappa, VR., Ganong, WF., Lange, JD ed. 1997. Pathophysiology of Disease.
An Introduction to Clinical Medicine, 2nd ed. Stamford:Appleton&Lange, pp
553-55.

Mosli, HA., Abdel-Meguid, TA. 2010. “The relationship between prostate


volume, tissue polypeptide specific antigen and age in saudi men with benign
prostatic conditions”. African Journal of Urology, 16(4), pp. 117-23.

Nash, John. 2010. “Benign prostatic hyperplasia: risk factors and management”.
GM Midlife and Beyond, pp. 364-68. Avalaible at www.gerimed.co.uk. Accessed
31 January 2016.

Nickel, JC. 2003. “Benign prostatic hyperplasia: does prostate size matter?”.
Reviews in Urology, 5(4), pp. 12-7.

Parnham, A. & Haq, A. 2013. “Benign Prostate Hyperplasia”. Journal of Clinical


Urology, 6(1), pp. 24-31.

Parsons, KJ. 2010. “Benign Prostatic Hyperplasia and Male Lower Urinary Tract
Symptoms: Epidemiology and Risk Factors”. Curr Bladder Dysfunct Rep, 5, pp.
212–18

Paul, D., Biswas, R., Habib, SH. 2011. “Tissue Polypeptide Specific Antigen as a
Marker used to Determine the Liver Diseases”. Kathmandu University Medical
Journal, 33(1), pp. 24-7.

Penna, G., Fibbi, B., Amuchastegui, S., Cossetti, C., Aquilano, F., Laverny, G.,
Gacci, M., Crescioli, C., Maggi, M., Adorini, L. 2009. “Human benign prostatic
hyperplasia stromal cells as inducers and targets of chronic immuno-mediated
inflammation”. The Journal of Immunology, 182, pp. 4056-64.

71

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Purnomo, BB. 2009. “Hiperplasia prostat”. Dalam: Purnomo, BB. 2009. Dasar-
Dasar Urologi, ed 2. Jakarta: Sagung Seto, pp. 69-85.

Rahardjo, D. 1999. Prostat: “Kelainan – kelainan jinak, diagnosa dan


penanganan”. Sub bagian Urologi Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta: Asian Medical.

Rebhandi, W., Rami, B., Turnbull, J., Felberbauer, FX., Paya, K., Todesca, DB.,
Gherardini, R., Mittiboeck, M., Horcher, E. 1998. “Diagnosis value of tissue
polypeptide-specific antigen (TPS) in neuroblastoma and Wilms’ tumour”. British
Journal of cancer, 78(11), pp. 1503-06.

Roehrborn, CG. 2012. “Benign Prostate Hyperplasia : etiology, pathophysiology,


epidemiology, and natural history”. In: Kavoussi, LR., Novick, AC., Partin, AW.,
Peters, CA. Campbell-Walsh’s Urology. 10th edition, Philadelphia: Elsevier
Saunders, pp. 2571-79.

Shim, HB., Lee, JK., Jung, TY., Ku, JH. 2007. “Serum prostate-specific antigen
as a predictor of prostate volume in korean men with lower urinary tract
symptoms”. Prostate Cancer and Prostatic Disease, 10, pp. 143-48.

Sperling, D. 2010. “Revolutionary new focal laser treatment for Benign Prostatic
Hyperplasia (BPH)”. Sperling Prostate Cancer. Avalaible at
http://sperlingprostatecenter.com/revolutionary-new-focal-laser-treatment-for-
benign-prostatic-hyperplasia-bph/. Accessed 3 September 2015.

Stern, JA., Fitzpatrick, JM., McVary, KT. 2004. Prostate anatomy and causative
theories, pathophysiology and natural history of benign prostatic hyperplasia. In:
McVary KT ed. Management of Benign Prostatic Hypertrophy. New Jersey:
Humana Press Inc, pp 1-4, 7-9, 12-15.

Sussman, DO. & Syed KK. 2015. “Diagnosing and treating BPH-LUTS”. AOA
Health Watch, pp. 1-15. Avalaible at
http://www.cecity.com/aoa/healthwatch/2015/print2.pdf. Accessed 1 September
2015.

Theyer, G., Holub, S., Dürer, A., Andert, S., Haberl, I., Theyer, U., Hamilton, G.
1997. “Measurements of tissue polypeptide-specific antigen and prostate specific
antigen in prostate cancer patients under intermitten androgen suppresion
therapy”. British Journal of Cancer, 75(10), pp. 1515-18.

72

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Valik, D. & Nekulova M. 2000. “Serum tissue polypeptide-specific antigen(TPS):


what is its diagnostic value? (letters to the editor)”. British Journal of Cancer,
82(10), pp. 1755-58.

Weng, YR., Cui, Y., Fang, JY. 2012. “Biological functions of cytokeratin 18 in
cancer (review)”. American Association for Cancer Research Journals, 10(4), pp.
1-9.

Wijanarko, S., Gardjito, W., Hardjowijoto, S., 2006. Pedoman penatalaksanaan


BPH di Indonesia. Tersedia dalam
http://www.academia.edu/9769427/171739592-Pedoman-Tatalaksana-BPH-Di-
Indonesia. Diakses 2 September 2015.

Zhang, C., Guo, Y., Cui J., Zhu, HH., Gao, WQ. 2013. “Cytokeratin 18 is not
required for morphogenesis of developing prostates but contribute to adult
prostate regeneration”. Biomed Research International, 20(1), pp. 1-8.

Zhang, SJ., Qian, HN., Zhao, Y., Sun, K., Wang, HQ., Liang, GQ., Li, FH., Li, Z.
2013. “Relationship between age and prostate size”. Asian Journal of Andrology”,
15(2), pp. 116-120.

73

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 1 : Information for consent

INFORMATION FOR CONSENT


Penjelasan Penelitian untuk Disetujui

Nama Peneliti : Mahrany Graciella Bumbungan, dr


Alamat : Wisma Permai Tengah IX/JJ 26 Mulyorejo Surabaya
Judul Penelitian : Korelasi antara kadar Tissue Polypeptide Specific Antigen
(TPS) serum dan Volume Prostat pada Penderita BPH

A. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi antara kadar TPS serum dan

volume prostat pada penderita BPH.

B. Manfaat bagi Subjek Penelitian

Manfaat penelitian untuk bapak/saudara akan diketahui apakah terdapat

korelasi antara TPS dengan volume prostat yang akan bermanfaat untuk

membantu memprediksi volume prostat dan membantu klinisi mengambil

tindakan terapi. Manfaat bagi orang lain yaitu bila ditemukan korelasi antara

kadar TPS serum dan volume prostat pada hasil penelitian, membantu

kami/dokter untuk memprediksi volume prostat dengan pemeriksaan laboratorium

yang lebih baik.

74

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

C. Prosedur Kerja Penelitian

1. Bapak/saudara yang memenuhi kriteria akan diberi penjelasan tentang

penelitian dan bila setuju akan menandatangani informed consent.

2. Apabila bapak/saudara setuju mengikuti penelitian, akan dilakukan

pengambilan sampel darah vena 5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung

vakum Serum Separator Tube (SST) untuk pemeriksaan TPS.

3. Pengambilan darah dilakukan 1 (satu) kali saat pasien datang berobat di poli

rawat jalan Urologi RSUD DR. Soetomo Surabaya

4. Semua biaya di luar standar rumah sakit akan ditanggung peneliti

D. Efek Samping

Kemungkinan efek samping hampir tidak ada atau sangat kecil. Seandainya

terjadi adalah bengkak pada tempat pengambilan sampel darah akibat penusukan.

Cara penanganannya dengan melakukan kompres hangat pada daerah bengkak

atau hubungi perawat yang bertugas. Apabila ingin melakukan kontak tentang

permasalahan dalam penelitian dapat menghubungi kami di 081315902690 atas

nama dr. Mahrany Graciella Bumbungan.

E. Jaminan Kerahasiaan

Identitas Bapak/saudara sebagai subjek penelitian dan hasil penelitian ini

dijamin kerahasiaannya. Data ini digunakan hanya untuk kepentingan penelitian

ilmiah.

F. Hak untuk Menolak menjadi Subjek Penelitian

Bapak/saudara berhak mengundurkan diri dari keikutsertaan dalam penelitian

tanpa mempengaruhi perawatan selanjutnya.

75

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

G. Partisipasi berdasarkan Kesukarelaan

Bapak/saudara dipilih sebagai subyek penelitian karena memenuhi syarat

untuk ikut dalam penelitian, yaitu memenuhi kriteria penerimaan sampel yang

diagnosis BPH-nya ditegakkan oleh dokter spesialis Urologi dan datang berobat di

poli rawat jalan Urologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Surabaya, .......................................

Yang memberi penjelasan Yang menerima penjelasan

(Mahrany Graciella B, dr) (.........................................)

76

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 2. Surat Pernyataan Persetujuan Ikut dalam Penelitian (Informed


Consent)

Surat Pernyataan Persetujuan Ikut dalam Penelitian


(Informed Consent)

Saya, yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama :

Umur :

Alamat :

Telp/HP :

Pekerjaan :

Dengan sesungguhnya menyatakan bahwa, setelah memperoleh penjelasan


sepenuhnya dan menyadari tujuan, manfaat serta resiko yang mungkin timbul
pada penelitian yang berjudul “Korelasi antara Kadar Tissue Polypeptide Specific
Antigen Serum dan Volume Prostat pada Penderita BPH”, maka secara sukarela
dengan penuh kesadaran menyatakan kesediaan untuk ikut dalam penelitian
tersebut, dengan catatan bila suatu waktu saya merasa dirugikan dalam bentuk
apapun maka saya akan mengundurkan diri dan membatalkan persetujuan ini.

Surabaya,............................................

Peneliti Saksi Penderita

(Mahrany G. B, dr) (...................................) (.....................................)

77

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 3. Surat Persetujuan Pengambilan Sampel Darah (Informed


Consent)

Surat Persetujuan Pengambilan Sampel Darah


(Informed Consent)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Umur :

Alamat/Telepon :

Pekerjaan :

Telah memahami penjelasan terperinci dan jelas mengenai penelitian tentang


“Korelasi antara Kadar Tissue Polypeptide Specific Antigen Serum dan Volume
Prostat pada Penderita BPH”, dengan urutan prosedur sebagai berikut :
1. Bahan yang diambil adalah darah vena 5 ml sebanyak 1 (satu) kali
dimasukkan ke dalam tabung Serum Separator Tube (SST) untuk
pemeriksaan kadar TPS serum.
2. Pengambilan darah dilakukan saat pasien datang berobat di poli rawat
jalan Urologi RSUD DR. Soetomo Surabaya.
maka secara sukarela dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan menyatakan
kesediaan untuk ikut dalam penelitian tersebut.

Surabaya,............................................

Peneliti Saksi Penderita

(Mahrany G.B, dr) (...................................) (.....................................)

78

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 4. Lembar Pengumpulan Data Penderita BPH

LEMBAR PENGUMPULAN DATA PENDERITA BPH

Data dasar :
No. Kode sampel : ..................................................................................
Nama/ nomor handphone : ..................................................................................
Umur/Tanggal lahir : ..................................................................................
Alamat : ..................................................................................
Pekerjaan : ..................................................................................
Diagnosis kerja : ..................................................................................
Skor IPSS : ..................................................................................
Tanggal pengambilan sampel :...................................................................................
Volume prostat (TRUS) :...................................................................................

79

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 5. Skor IPSS dan QoL

Nama: .......................................................... no rekam medik : ..............................

Umur : .......................................................... Tgl pemeriksaan : ..............................

80

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 6. Surat Ijin Pengambilan Sampel Penelitian

81

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 7. Surat Ijin Pengambilan Kelengkapan Data Sampel Penelitian

82

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 8. Keterangan Kelaikan Etik

83

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 9. Tabel Pemantapan Mutu Pengukuran Kadar TPS serum

Sampel Hasil 1 (U/L) Hasil 2 SD (U/L) CV (%)


(U/L)
2 102,3 97,8 3,18 3,18

3 118,3 109,6 6,15 5,39


4 304,1 318,2 9,97 3,2
5 51,2 51,2 0 0
6 80 73,1 4,88 6,37
7 62 47,7 10,11 18,4
8 66,8 68,9 1,48 2,18
9 154,7 171,9 12,16 7,44
10 1721 1822 71,41 4,03
11 29,6 31,1 1,06 3,5
12 78,3 66 8,69 12,04
13 85,6 96,7 7,85 8,61
14 87,7 71,1 11,73 14,77
15 66,1 61,3 3,39 5,32
16 89,4 75,5 9,82 11,91
17 59,5 43,9 11,03 21,33
18 208,6 218,4 6,92 3,24
19 76,9 79,7 1,97 2,51
20 72 63,2 6,22 9,2
21 67,2 57,4 6,92 11,1
22 246,3 206,6 28,07 12,39
23 243,2 255,1 8,41 3,37
24 64,7 59,9 3,39 5,44
25 154,7 134,7 14,14 9,77
27 987,4 802,7 130,6 14,6
Rerata 19, 61 7, 9716

84

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 10. Data Hasil Penelitian

Kode Nama Usia Volume TPS Hasil 1 TPS Rerata IPSS


Sampel (thn) (ml) (U/L) Hasil 2 kadar
(U/L) TPS
( U/L)
1A, 1B RR 55 38, 2 53,3 -- 53,3 22
2A, 2B Sa 62 20, 7 102,3 97,8 100,05 5
3A, 3B Su 64 21, 5 118,3 109,6 113,95 11
4A, 4B As 52 56, 4 304,1 318,2 311,15 20
5A, 5B Sp 72 45, 3 51,2 51,2 51,2 21
6A, 6B Cl 61 87, 4 80 73,1 76,55 22
7A, 7B Ri 61 35, 4 62 47,7 54,85 15
8A, 8 B Ah 60 25, 2 66,8 68,9 67,85 14
9A, 9B Ha 61 28 154,7 171,9 163,3 16
10A, Sn 70 41, 3 1721 1822 1771,5 20
10 B
11A, Ba 62 32, 2 29,6 31,1 30,35 23
11B
12A, Ti 67 43, 8 78,3 66 72,15 15
12B
13A, Gu 64 22 85,6 96,7 91,15 18
13B
14A, Ak 65 25, 26 87,7 71,1 79,4 20
14B
15A, Su 48 41, 05 66,1 61,3 63,7 34
15B
16A, Ab 70 46, 2 89,4 75,5 82,45 15
16B
17A, Ma 70 54, 1 59,5 43,9 51,7 27
17B
18A, Sd 57 21, 2 208,6 218,4 213,5 10
18B
19A, Wi 70 37, 4 76,9 79,7 78,3 18
19B
20A, Ka 51 24 72 63,2 67,6 23
20B
21A, Sm 60 24, 3 67,2 57,4 62,3 19
21B
22A, Ya 68 22 246,3 206,6 226,45 11
22B
23A, Fa 73 22 243,2 255,1 249,15 23
23B
24A, Mr 68 21,5 64,7 59,9 62,3 16
24B
25A, Mi 69 24 154,7 134,7 144,7 10
25B
26A, Ad 64 32, 7 177,3 -- 177,3 29
26 B
27A, Sk 65 54,3 987,4 802,7 895,05 22
27B
28A, Kr 70 24,2 58,5 -- 58,5 18
28B

85

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lampiran 11. Analisis Statistik

86

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

87

KARYA AKHIR KORELASI ANTARA KADAR MAHRANY GRACIELLA BUMBUNGAN,dr

Vous aimerez peut-être aussi