Vous êtes sur la page 1sur 2

Asal Usul Kota Kudus

Aqila Muthia Sari


Kelas IV UA

Kota Kudus yang sekarang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat H
Kudus di Provinsi Jawa Tengah, pada zaman dahulu hanyalah sebuah desa kecil di bawah
kekuasaan Kerajaan Majapahit. Kedudukannya tidak dianggap penting, kecuali sebagai
salah satu tempat persinggahan lalu lintas ekonomi dari pelabuhan Jepara ke pedalaman
Majapahit dan sebaliknya.

Pada suatu saat, bermukimlah ke desa kecil itu seorang pedagang Cina bernama Sun Ging.
Selain berdagang, Sun Ging yang ahli ukir itu mengembangkan keterampilannya mengukir
sehingga banyaklah orang belajar mengukir di rumahnya. Lama-lama keahlian Sun Ging
tersiar sampai ke istana Majapahit sehingga dipanggillah Sun Ging untuk mengukir hiasan-
hiasan keraton. Setelah pekerjaan besar itu terselesaikan dengan baik dan memuaskan,
ditanyalah Sun Ging oleh sang Raja.

“Hadiah apakah yang engkau inginkan dari Majapahit?”

“Sekiranya diizinkan, berilah hamba sebidang tanah di tempat hamba bermukim selama ini,
biarlah hamba kelak mencangkulinya.”

“Mengapa tidak memohon hadiah emas permata atau putri Majapahit yang cantik jelita?”
tanya sang Raja kemudian.

“Pada pendapat hamba, sebidang tanah itu sudah sangat berharga bagi hamba sendiri.
Tanah itu kelak dapat dicangkuli sampai menghasilkan emas permata. Dengan demikian,
hamba tak perlu kembali ke negeri asal yang jauh.”

“Jika tak hendak kembali ke tanah asalmu, apakah engkau sanggup berbakti kepada
Majapahit?” kata sang Raja seolah ingin menguji kesetiaan Sun Ging.

“Sekiranya diizinkan, hamba ingin mengabdi sepenuh hati,” jawab ahli ukir itu dengan
harapan akan segera menerima hadiahnya.

Setelah menerima piagam hadiah itu, dengan gembira dan bangga Sun Ging memohon izin
kembali ke desanya dengan niat mendirikan sebuah perguruan ukir. Ternyata niat itu pun
terkabul, terbukti dengan semakin banyaknya orang yang belajar mengukir di perguruan itu.
Kemudian, desa itu terkenal dengan nama Sunggingan, karena berasal dari nama
pemiliknya Sun Ging, sedangkan akhiran -an berarti tempat tinggal. Jadi, Sunggingan berarti
tempat tinggal keluarga Sun Ging.

Akan tetapi, cerita lain menyebutkan bahwa nama Sunggingan itu berarti tempat orang-
orang menyungging yang berarti melukis atau mengukir. Dalam bahasa Jawa, juru sungging
berarti ahli lukis atau tukang ukir. Dalam cerita ini disebutkan bahwa pemilik Sunggingan
ialah The Ling Sing, yaitu seorang pedagang Cina yang dalam cerita terdahulu bernama Sun
Ging.
Keramaian ekonomi desa Sunggingan ternyata terus berkembang walaupun pusat
pemerintahan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur sudah tak terdengar kabarnya. Hal itu
memikat perhatian Raden Patah yang sudah berhasil mendirikan Kerajaan Islam Demak
Bintoro di Demak yang tak jauh dari desa itu.

“Desa Sunggingan itu kelak dapat menjadi sebuah kota besar yang penting di dekat Jepara
yang sudah berkembang sebagai pelabuhan. Oleh karena itu, perlu segera di islamkan agar
dapat mendukung perkembangan Demak Bintoro,” pikir Raden Patah.

Tak lama kemudian, diperintahkanlah kepada Syekh Jafar Sodiq, seorang ulama besar dari
Persia, untuk mengislamkan Sunggingan.

Mendengar perintah itu berkemaslah Syekh Jafar Sodiq hijrah dari Demak Bintoro ke desa
Sunggingan dengan beberapa orang santri terdekatnya. Sesampai di sana terlihatlah sebuah
bangunan pintu gerbang Kerajaan Majapahit yang sudah tidak dipelihara orang. Hal itu justru
memberikan ilham bagi Syekh Jafar Sodiq untuk memugarnya kembali agar memikat simpati
masyarakat setempat yang masih memeluk agama Hindu sebagai warisan kebesaran
Majapahit.

Pada mulanya di gerbang atau gapura itulah Syekh Jafar Sodiq mengundang masyarakat
untuk men-dengarkan ajaran-ajaran baru yang disebut Islam. Caranya ialah dengan
menambatkan seekor sapi jantan yang gemuk di dekat gerbang itu. Masyarakat pun tertarik
menyaksikan sapi yang merupakan hewan terhormat dalam agama Hindu. Setiap kali orang
berkerumun di tempat itu, berkhotbahlah Syekh Jafar Sodiq untuk mengajak masyarakat
memeluk Islam. Berkat kesabaran, keramahan, dan kewibawaan pribadinya maka dalam
waktu singkat sebagian besar penduduk Sunggingan telah memeluk agama Islam, termasuk
The Ling Sing sendiri yang kemudian bergelar Kiai Telingsing. Bahkan, Syekh Jafar Sodiq
pun akhirnya bermukim di sana dan kelak terkenal dengan sebutan Sunan Kudus.

Sebagai tokoh syiar Islam yang berasal dari negeri asing, wajarlah Syekh Jafar Sodiq
membawa-bawa keagungan atau kebesaran negerinya sendiri. Hal itu diperlihatkannya
dalam membangun sebuah mesjid di dekat gerbang atau gapura desa itu. Pada bagian kiblat
mesjid itu dihiasi lempengan-lempengan batu hitam yang berasal dari negeri Persia yang
dipersamakan dengan batu Hajar Aswad di Kakbah. Hiasan itu disebutnya Al Kuds yang
berarti suci atau keramat. Tak lama kemudian, mesjid itu pun dikenal masyarakat sekitarnya
dengan sebutan mesjid Kudus, yaitu sebuah mesjid yang dihiasi lempengan-lempengan batu
AlKuds atau batu-batu yang suci.

Apa yang diramalkan Raden Patah ternyata menjadi kenyataan. Setelah Syekh Jafar Sodiq
bermukim di desa Sunggingan dan berhasil membangun sebuah pesantren, berkembanglah
desa atau wilayah itu. Semakin banyaklah orang dari berbagai daerah lain yang berniat
belajar mengaji dan mencari kehidupan baru dengan bertani, berdagang, mengukir, dan
sebagainya. Desa Sunggingan yang dirintis oleh The Ling Sing berkembang menjadi
pesantren dan kota yang oleh penduduk setempat disebut Kudus, dan Syekh Jafar Sodiq
pun kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Kudus.

Gerbang atau gapura Majapahit yang telah dipugar oleh Syekh Jafar Sodiq ternyata menjadi
salah satu ciri khas kota Kudus. Bangunan itu terkenal dengan sebutan Menara Kudus,
aslinya berada di dekat mesjid Sung¬gingan, sedangkan tiruannya didirikan di depan sebuah
pusat perbelanjaan kota Kudus. Tempat lain yang bersangkutan dengan asal usul kota itu
ialah makam Kiai Telingsing yang nama aslinya The Ling Sing. Makam itu terdapat di desa
Sunggingan, sekarang hanya sebuah desa di dalam wilayah kota Kudus yang semakin
semarak perkembangannya.

Vous aimerez peut-être aussi