Vous êtes sur la page 1sur 7

Farmakokinetika menggunakan model matematik untuk menguraikan proses-

proses absorpsi, distribusi, biotranformasi dan ekskresi. Dengan

memperkirakan besarnya kadar obat dalam plasma sebagai fungsi dari

besarnya dosis terhadap waktu pengambilan sampel darah dalam penetapan

kadar obat dalam darah tersebut (Setiawati, 2005).

Aktivitas serta toksisitas obat tergantung pada lama keberadaan dan perubahan

zat aktif di dalam tubuh. Penelitian tentang nasib obat dalam tubuh merupakan

rangkaian penyidikan yang harus dilakukan untuk mengethui kapan obat

tersebut menunjukkan aktivitasnya atau efek toksiknya, sehingga dapat

diketahui bahwa obat dengan dosis yang diberikan akan memberikan efek

terapi atau efek toksik dengan melihat nilai ambang terapi dari obat tersebut.

(Aiache, 1993).

Pada umumnya zat aktif suatu obat akan menunjukkan efek farmakologik pada

titik-tangkap jaringan bila bahan tersebut telah mencapaitempat tersebut

dengan perantaraan darah. Peredaran darah bagaikan “lempeng berputar” dari

perjalanan obat. Fenomena penyerapan sebagai tahap awal farmakokinetika,

ditentukan oleh penembusan zat aktif ke dalam darah yang selanjutnya oleh

darah dihantarkan menuju sasaran kerja farmakologik, mengalami perubahan

hayati dan selanjutnya ditiadakan (Aiache, 1993).


Metabolit umumnya merupakan suatu bentuk yang lebih larut dalam air

dibandingkan molekul awal. Perubahan sifat fisiko-kimia ini paling sering

dikaitkan dengan penyebaran kuantitatif metabolit yang dapat sangat berbeda

dari zat aktifnya dengan segala akibatnya. Jika metabolit ini merupakan

mediator farmakologik, maka akan terjadi perubahan, baik berupa

npeningkatan maupun penurunan efeknya (Aiache, 1993).

Obat akan dieliminasi dari dalam tubuh dalam bentuk metabolitnya. Organ

ekskresi utama adalah ginjal yang menghasilkan urin. Namun bisa jugan

melalui paru- paru, keringat, air liur, feses dan asi (Hinz, 2005)

Obat dan metabolitnya yang terlarut dalam plasma melintasi dinding glomeruli

secara pasif dengan ultrafiltrat. Ekskresi dapat diperlancar dengan memperkuat

disosiasi obat yang kebanyakan bersifat asam atau basa

lemah dengan derajat ionisasi yang agak ringan (Tjay, 2002).

Untuk dapat menilai suatu obat secara klinis, menetapkan dosis dan skema

penakarannya yang tepat, perlu adanya sejumlah keterangan farmakokinetik.

Khususnya mengenai kadar obat di tempat tujuan kerja (target site) dan dalam

darah, serta perubahan kadar ini dalam waktu tertentu. Pada umumnya

besarnya efek obat tergantung pada konsentrasinya di target site dan ini

berhubungan erat dengan konsentrasi plasma (Waldon, 2008).


Turunnya kadar plasma obat dan lama efeknya tergantung pada kecepatan

metabolisme dan ekskresi. Kedua faktor ini menentukan kecepatan eliminasi

obat yang dinyatakan dengan pengertian plasma half-life eliminasi (waktu

paruh, t1/2) yaitu rentang waktu dimana kadar obat dalam plasma pada fase

eliminasi menurun smapai separuhnya.

Kecepatan eliminasi obat dan plasma t1/2-nya tergantung dari kecepatan

biotransformasi dan ekskresi. Obat dengan metabolisme cepat half life-nya

juga pendek. Sebaliknya zat yang tidak mengalami biotrasformasi atau yang

diresorpsi kembali oleh tubuli ginjal, dengan sendirinya t1/2-nya panjang

(Waldon, 2008).

Plasma half-life merupakan ukuran untuk lamanya efek obat, maka t1/2

bersama grafik kadar-waktu penting sekali sebagai dasar untuk menentukan

dosis dan frekuensi pemberian obat yang rasional, dengan kata lain berapa kali

sehari sekianmg. Dosis yang terlalu tinggi atau terlalu frekuen dapat

menimbulkan efek toksis, sedangkan dosis terlampau rendah atau terlalu

jarang tidak menghasilkan efek, bahkan pada kemoterapeutika dapat

menimbulkan resistensi kuman (Waldon, 2008).

Obat dengan half-life panjang, lebih dari 24 jam pada umumnya cukup

diberikan dosis satu kali sehari dan tidak perlu sampai 2


atau 3 kali. Kecuali bila obat sangat terikat pada protein, sedangkan kadar

plasma tinggi diperlukan untuk efek terapeutiknya.

Sebaliknya, obat yang dimetabolisasi cepat dan t1/2-nya pendek, perlu

diberikan sampai 3-6 kali sehari agar kadar plas manya tetap tinggi (Waldon,

2008).

Waktu konsentrasi plasma mencapai puncak dapat disamakan dengan waktu

yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat maksimum setelah

pemberian obat.

absorpsi obat adalah terbesar, dan laju absorpsi obat sama dengan laju

eliminasi obat. Absorpsi masih berjalan setelah t maks tercapai, tetapi pada laju

yang lebih lambat. Harga tmaksmenjadi lebih kecil (berarti sedikit waktu yang

diperlukan untuk mencapai konsentrasi plasma puncak) bila laju absorpsi obat

menjadi lebih cepat (Shargel, 2005).

Konsentrasi plasma puncak menunjukkan konsentrasi obat maksimum dalam

plasma setelah pemberian secara oral. Untuk beberapa obat diperoleh suatu

hubungan antara efek farmakologi suatu obat dan konsentrasi obat dalam pl

asma. Konsentrasi plasma puncak memberi suatu petunjuk bahwa


obat cukup diabsorpsi secara sistemik untuk memberi suatu respons terapetik.

Selain itu konsentrasi plasma puncak juga memberi petunjuk dari

kemungkinan adanya kadar toksik obat (Shargel, 2005).

Volume distribusi (vd)

Volume distribusi menunjukkan volume penyebaran obat dalam tubh dengan

kadar plasma atau serum. Vd tidak perlu menunjukkan volume penyebaran

obat yang sesungguhnya ataupun volume secara anatomik, tetapi hanya

volume imajinasi dimana tubuh dianggap sebagi 1 kompartemen yang terdiri

dari plasma atau serum, dan Vd menghubungkan jumlah obat dalam tubuh

dengan kadarnya dalam plasma atau serum (Setiawati, 2005).

Besarnya Vd ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh, fungsi

kardiovaskular,kemampuan molekul obat memasuki berbagai kompartemen

tubuh, dan derajat ikatan obat dengan protein plasma dan dengan berbagai

jaringan.

Obat yang tertimbun dalam jaringan sehingga kadar dalam plasma rendah se

kali, sedangkan obat yang terikat dengan kuat pada protein plasma sehingga

kadar dalam plasma cukup tinggi mempunyai vd yang kecil (Setiawati, 2005).

Volume distribusi yang diperoleh mencerminkan suatu keseimbangan antara


ikatan pada jaringan, yang mengurangi konsentrasi plasma dan membuat nilai

distribusi lebih besar, dengan ikatan pada protein plasma, yang meningkatkan

konsentrasi plasma dan membuat volume distribusi menjadi lebih

kecil. Perubahan-perubahan dalam ikatan dengan jaringan ataupun dengan

plasma dapat mengubah volume distribusi yang ditentukan dari pengukuran-

pengukuran konsentrasi plasma (Holford, 1998).

Klirens

Klirens obat adalah suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa

mempermasalahkan mekanisme prosesnya. Umumnya, jaringan tubuh atau

organ dianggap sebagai suatu kompartemen cairan dengan volume terbatas

(volume distribusi) dimana obat terlarut di dalamnya (Shargel, 2005).

Untuk beberapa obat rute pemakaian mempengaruhi kecepatan

metabolismenya. Obat-obat yang diberikan secara oral diabsorpsi secara

normal dalam duodenal dari usus bhalus dan ditanspor melalui pembuluh

mesenterika menuju vena porta hepatik dan kemudian ke hati sebelum ke

sirkulasi sistemik. Obat-obat yang dimetabolisme dalam jumlah besar oleh hati

atau oleh sel-sel mukosa usus halus menunjukkan availabilitas sistemik yang

jelek jika diberikan secara oral. Metabolisme secara oral sebelum mencapai
sirtkulasi umum disebut first pass effectsatau eliminasi presistemik (Shargel,

2005).

Vous aimerez peut-être aussi