Vous êtes sur la page 1sur 21

MAKALAH ULUMUL QUR’AN

“NUZUL QUR’AN”

DOSEN PEMBIMBING

Dr. Zaini Dahlan, M.Pd.I

Oleh :

Atika Ayu Anandita

Munawir Hasby

Prodi : Ekonomi Syariah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-ISHLAHIYAH

BINJAI

2017
A. PENDAHULUAN

Nuzulul Qur’an yang secara harfiah berarti turunya Al-Quran (kitab suci agama islam)
adalah istilah yang merujuk kepada peristiwa penting penurunan “Al Qur’an secara
keseluruhan diturunkan dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di langit dunia. Lalu
diturunkan berangsur- angsur kepada Rasullah SAW sesuai dengan peristiwa-peristiwa dalam
jangka waktu sekitar 23 tahun”.

Allah menurunkan Qur’an kepada Rasul kita Muhammad untuk memberi petunjuk
kepada manusia. Turunnya Qur’an merupakan pristiwa besar yang sekaligus menyatakan
kedudukannya bagi penghuni langit dan penghuni bumi. Turunnya Qur’an prtama kali pada
malam lailatul qadar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari
malaikat-malaikat akan kemuliaan umat muhammad. Umat ini telah dimuliakan oleh Allah
dengan risalah baru agar menjadi umat paling baik yang di keluarkan bagi manusia. Turunnya
Qur’an yang kedua kali secara bertahap, berbeda dengan kitab-kitab yang turun sebelumnya,
sangat mengagetkan orang dan menimbulkan keraguan terhadapnya sebelum jelas bagi
mereka rahasia hikmah ilahi yang ada dibalik itu. Rasulullah tidak menerima risalah agung
ini sekaligus, dan kaumnya pun tidak pula puas dengan risalah tersebut karena kesombongan
dan permusuhan mereka. Oleh karena itu wahyu pun turun berangsur-angsur untuk
menguatkan hati Rasul dan menghiburnya serta mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian
sampai Allah menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmatnya.

Dalam mempelajari ilmu Al-Quran, ada beberapa hal yang penting untuk dipelajari
dan salah satunya adalah bagaimana Al-Quran diturunkan dan bagaimana Al-Quran itu
dibukukan. Karena dengan mengetahui bagaimana proses pengumpulan Al-Qur’an kita dapat
mengerti bagaimana usaha-usaha para sahabat untuk tetap memelihara Al-Quran.
Al-Qur’an adalah kitab suci kaum muslim dan menjadi sumber ajaran islam yang
pertama dan utama yang harus diimani dan diaplikasikan dalam kehidupan agar memperoleh
kebaikan didunia dan di akhirat. Karena itu, tidaklah berlebihan jika selama ini kaum muslim
tidak hanya mempelajari isi dan pesan-pesannya, tetapi juga telah berupaya semaksimal
mungkin untuk menjaga autentisitasnya. Upaya itu telah dilaksanakan sejak Nabi Muhammad
SAW masih berada di Mekkah dan belum berhijrah ke Madinah. Dengan kata lain upaya
tersebut telah mereka laksanakan sejak Al-Qur’an diturunkan hingga saat ini.
Jika hakikat Al-Qur’an sudah terjawab maka akan muncul pertanyaan lain, bagaimana
Al-Qur’an diturunkan dan bagaimana pula pendapat ulama menyikapi hal tersebut. Untuk
menjawab pertanyaan tersebut akan dibahas di bab selanjutnya, yang jelas Al-Qur’an
duturunkan pada bulan yang penuh berkah, yaitu bulan Ramadhan. Sedangkan, proses
turunnya Al-Qur’an disebut Nuzulul Qur’an.
Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan ke dunia menyimpan berjuta rahasia. Banyak
rahasia yang belum terungkap sampai sekarang sehingga masih menjadi perdebatan para
ulama’ dan menjadi mesteri yang belum mampu sepenuhnya terungkap. Dan alangkah
baiknya, sebelum mempelajari lebih dalam ilmu-ilmu yang terkandung didalam Al-Qur’an,
kita harus mengetahui terlebih dahulu bagaimana sejarah dan awal mula Al-Qur’an diturukan
kepada Nabi Muhamad, tahapan-tahapan al-qur’an itu diturunkan kepada Nabi Muhammad.

1
B. PEMBAHASAN

1. Definisi Nuzul Al-Qur’an

Nuzulul Qur’an yang secara harfiah berarti turunya Al-Quran (kitab suci agama islam)
adalah istilah yang merujuk kepada peristiwa penting penurunan “Al Qur’an secara
keseluruhan diturunkan dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di langit dunia. Lalu
diturunkan berangsur angsur kepada Rasullah SAW sesuai dengan peristiwa-peristiwa dalam
jangka waktu sekitar 23 tahun”.

Allah menurunkan Qur’an kepada Rasul kita Muhammad untuk memberi petunjuk
kepada manusia. Turunnya Qur’an merupakan pristiwa besar yang sekaligus menyatakan
kedudukannya bagi penghuni langit dan penghuni bumi. Turunnya Qur’an prtama kali pada
malam lailatul qadar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari
malaikat-malaikat akan kemuliaan umat muhammad. Umat ini telah dimuliakan oleh Allah
dengan risalah baru agar menjadi umat paling baik yang di keluarkan bagi manusia. Turunnya
Qur’an yang kedua kali secara bertahap, berbeda dengan kitab-kitab yang turun sebelumnya,
sangat mengagetkan orang dan menimbulkan keraguan terhadapnya sebelum jelas bagi
mereka rahasia hikmah ilahi yang ada dibalik itu. Rasulullah tidak menerima risalah agung
ini sekaligus, dan kaumnya pun tidak pula puas dengan risalah tersebut karena kesombongan
dan permusuhan mereka. Oleh karena itu wahyu pun turun berangsur-angsur untuk
menguatkan hati Rasul dan menghiburnya serta mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian
sampai Allah menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmatnya.

Kata nuzul berasal dari bahasa arab ‫ النزل‬yang secara etimologi berarti al-hubuth (turun
dari atas kebawah)1, sebagai mana firman Allah swt:

‫ت نخييمر ايلممنُلزلليينن‬
‫ب انينلزيللنُىِ ممنُنزلك ممنباًنرككاً نوانين ن‬
‫نوقميل رر ب‬
Dan berdoalah: ‘Ya Tuhanku, tempatkanlah aku kepada yang di berkati, dan engkau adalah
sebaik-baiknya yang memberi tempat’ (QS Al-Mu’minun[23]:29)

Dalam ayat lain disebutkan:

‫قناً ننل لعينسىِ ايبمن نميريننم اللرهمرم نربرننُاً انينلزيل نعلنييننُاً نماًئلندةك بمنن الرسنماًلء تنمكوُمن لنننُاً لعييكدا بلنروللننُاً نونءالخلرنناً نونءاينةك بمنُ ن‬
َ،‫ك‬
‫ت نخييمر الررلزقليينن‬ ‫نوايرمزيقننُاً نوانين ن‬
Isa putra Maryam berdoa: ‘Ya tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan
dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang
bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau.
Berilah rezeki kepada kami, dan engkaulah pemberi rezeki yang paling utama’. (QS Al-
Mai’dah [5]: 114)

1 Anshori, Ulumul Qur’an (Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan), (Ciputat: PT. Raja Grafindo
Persada, 2013) hlm. 55

2
Para ulama membagi proses penurunan Al-Qur’an menjadi tiga tahapan yaitu: (1) ke
Lauhul Mahfuzh, (2) dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul Izzah di langit dunia, dan (3) dari Baitul
Izzah kepada Nabi Muhammad Saw.2

Terkait dengan penurunan dari Luhul Mahfuzh ke Baitul Izzah, ualama berbeda
pendapat tentang cara dan masa turunnya yaitu:

 Pertama: Menurut mayoritas ulama, Al-Qur’an ditutunkan ke langit dunia pada


malam Lilatul Qadar secara sekaligus, kemudian diturunkan secara berangsur-angsur
selama 22 tahun 6 bulan kepada nabi Muhammad Saw. Pendapat ini didukung oleh
riwayat an-Nasai, Ibnu Syaibah dan Hakim dari Ibnu abbas.3
 Kedua: Al-Qur’an turun kelangit dunia selama 20 malam Lailatul Qadar dalam 20
tahun atau 23 malam Lailatul Qadar selama 23 tahun.
 Ketiga: permulaan proses penurunan Al-Qur’an terjadi pada malam lailatul Qadar
secara sekaligus, kemudian diturunkan secara berangsur-angsur pada momentum yang
berbeda-beda pada semua waktu.4

Adapun terkait dengan masa turunnya Al-Qur’an dari Baitul izzah (langit dunia) ke
bumi (Nabi Muhammad Saw.), ada tiga pendapat utama, yaitu pertama: mengatakan bahwa
masaturun Al-Qur’an kepada Nabi Saw. Adalah 20 tahun, kedua: mengatakan 23 tahun dan
ketiga: mengatakan 25 tahun.5

Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan dalam menentukan usia Nabi Saw.; ada
yang mengatakan 60 tahun, ada yang mengatakan 63 tahun dan ada yang mengatakan 65
tahun. Sedangkan mengenai umur beliau pada saat diangkat menjadi Nabi, atau pertama kali
mendapat wahyu, para ulama bersepakat pada usia 40 tahun.6 Namun mayoritas ulama
memilih pendapat menyatakan bahwa usia Nabi Saw. Adalah 63 tahun, berdasarkan satu
‫ا‬riwayat dari Ibnu Abbas, dua riwayat dari Aisyah dan dua riwayat dari Said bin al-
Musayyab.7

2. Ayat yang Turun Pertama Kali

Pendapat yang paling sahih mengenai yang pertama kali turun ialah firman Allah:

2 Anshori, Ulumul Qur’an (Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan), (Ciputat: PT. Raja Grafindo
Persada, 2013) hlm. 57
3 Ibid
4 Ibid, hlm. 58
5 Ibid
6 Ibid
7 Ibid

3
ً‫َ نعلرنم ا ي لليننساًنن نما‬، ‫ي نعلرنم لباً يلقنلنلم‬ ‫َ اليقنريأنونرمب ن‬، ‫ق‬
‫َ الرلذ ي‬،‫ك ايلنيكنرمم‬ ‫ق ا ي لليننساًنن لمين نعلن ق‬
‫َ نخلن ن‬،‫ق‬ ‫اليقنريأ بليسلم نربب ن‬
‫ك الرلذ ي‬
‫ي نخلن ن‬
‫ لنيم ينيعلنيم‬.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah yang mahamulia, Yang mengajar
(manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya” (al-Alaq
[96] 1-5)

Pendapat ini didasarkan pada suatu hadis yang diriwayatkan oleh dua syaikh ahli
hadis dan yang lain, dari aisyah yang mengatakan: “Sesungguhnya apa yang mula-mula
terjadi bagi Rasulullah adalah mimpi yang benar di waktu tidur. Dia melihat dalan mimpi itu
datangnya bagaikan terangnya pagi hari. Kemudian dia suka menyendiri. Dia pergi ke gua
Hira umtuk beribadah beberapa malam. Untuk itu ia membawa bekal. Kemudian ia pulang
kepada khadijah, maka khadijah pun membekalinya seperti bekal terdahulu. Di gua Hira dia
dikejutkan oleh suatu kebenaran. Seorang malaikat yang datang kepadanya dan mengatakan:
‘Bacalah! Rasulullah menceritakan, maka aku pun menjawab: ‘Aku tidak pandai membaca.
‘Malaikat tersebut kemudian memeluknya sehingga aku merasa amat payah. Lalu aku di
lepaskan, dan dia berkata lagi: ‘Bacalah! ‘ Maka aku pun menjawab: Aku tidak pandai
membaca. Lalu dia merangkulku yang kedua kali sampai aku kepayahan. Kemudian dia
lepaskan lagi dan berkata: ‘Bacalah!’ Aku menjawab: ‘Aku tidak pandai membaca. Maka dia
merangkulku yang ketiga kalinya sehingga aku kepayahan, kemudian dia berkata: ‘Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.. ‘ Sampai dengan apa yang tidak
diketahuinya”

3. Ayat yang Terakhir kali Diturunkan

1. Dikatakan bahwa ayat terakhir yang diturunkan itu adalah ayat mengenai riba. Ini
didasarkan pada hadis yang dikeluarkan oleh Bukhari dari Ibn Abbas, yang mengatakan:
“Ayat yang terakhir diturunkan adalah ayat yang mengenai riba.” Yang dimaksud ialah firman
Allah:

ً‫نياًانمينهاً الرلذيينن اننممنُوُااترمقوُا ان نونذمروانماً بنقلني لمننُاًلبرنبا‬...


“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba
(yang belum dipungut)... (Qs al-Baqarah [2]: 278)

Pendapat ini semua tidak mengandung sesuatu yang disandarkan kepada Nabi,
masing-masing merupakan ijtihat dan dugaan. Mungkin pula masing-masing mereka itu
memberitahukan mengenai apa yang terakhir didengarnya dari Rasulullah. Atau mungkin
juga masing-masing mengatakan hal itu berdasarkan apa yang terakhir diturunkan dalam hal
perundang-undangan tertentu, atau dalan hal surah terakhir yang diturunkan secara lengkap
seperti setiap pendapat. Adapun firman Allah:

... ً‫ت لنمكمم الليسلننم لدييننُا‬ ‫ت نعلنييمكيم نليعنمتليي نونر ل‬


‫ضيي م‬ ‫ ايلينيوُنم انيكنميل م‬...
‫ت لنمكيم لديينُنمكيم نوانيتنميم م‬

“Pada hari ini telah aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah aku cukupkan nikmat-Ku
bagimu, dan telah aku ridai islam sebagai agamamu” (Qs al-Ma’idah [5]: 3), maka ia
ditirunkan di Arafah tahun Haji Perpisahan (wada’).

Pada lahirnya, ia menunjukkan penyempurnaan kewajiban dan hukum. Telah pula


disyaratkan diatas, bahwa riwayat mengenai turunnya ayat riba. Oleh karna itu, para ulama
menyatakan kesempurnaan agama didalam ayat ini. Allah telah mencukupkan nikmat-Nya
kepada mereka dengan menempatkan mereka dinegeri suci dan membersihkan orang-orang
musyrik dari padanya serta mehajikan mereka dirumah suci tanpa disertai oleh seorang
musyrik pun; padahal sebelumnya orang-orang musyrik berhaji pula dengan mereka. Yang
demikian itu termasuk nikmat yang sempurna, “Dan telah aku cukupkan nikmat-Ku bagimu.”

Qadi Abu Bakr al-Baqalani dalam al-Intisar ketika mengomentari berbagai riwayat
mengenai yang terakhir kali diturunkan menyebutkan: “Pendapat-pendapat ini sama sekali
tidak disandarkan kepada Nabi boleh jadi pendapat itu diucapkan orang karena ijtihat atau
dugaan saja. Mungkin masing-masing memberitahukan mengenai apa yang terakhir kali apa
yang didengarkan dari Nabi pada saat ia wafat atau tak seberapa lama sebelum ia sakit.
Sedang yang lain mungkin tidak secara langsung mendengar dari Nabi. Mungkin juga ayat itu
yang dibaca terakhir kali oleh Rasulullah bersama-sama dengan ayat-ayat yang turun diwaktu
itu, sehingga disuruh untuk dituliskan sesudahnya, lalu dikiranya ayat itulah yang terakhir
diturunkan menurut tertib urutannya.

4. Ayat yang Pertama Kali Diturunkan Secara Tematik

Para ulama juga membicarakan ayat-ayat yang mula-mula diturunkan secara Tematik
diantaranya:

1. Yang pertama kali turun mengenai makanan.


Ayat yang diturunkan di Mekah adalah satu ayat dalam surah al-An’am:

‫طاًلعقم ين ي‬
‫طنعممهم إللر انين ينمكوُنن نمييتنةك انيوندماً ك نميسفففميوُكحاً انيولنيحففنم لخينُلزييففقر فنففاً لنرهم‬ ‫قميل لانلجمد لفي نماً ماولحني اللن ر‬
‫ي ممنحرركماً نعنلىِ ن‬
‫ك نغفميوُمر نرلحييمم‬ ‫غ نولن نعاًقد فناً لرن نربر ن‬ ‫ضطمرر نغيينر نباً ق‬ ‫س انيوفليسكقاً املهرل للنغييلر ال بلله فننملن ا ي‬‫لريج م‬
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang
disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Rabbmu
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Qs al-An’am [6]: 145)

Ayat yang pertama kali dturunkan mengenai khamar ialah satu ayat dalam Surah al-Baqarah:

ً‫س نواليثممهمنماً انيكبنمر لمين ننيفلعلهنما‬


‫ك نعلن ايلنخيملرنوايلنمييلسلر قميل فلييلهنماً اليثمم نكبلييمر نونمننُاً فمع لللرنُاً ل‬
‫ ينيسأ نملوُنن ن‬...
“Mereka menanyaka kepada mu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada
keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar
dari manfaatnya” (Qs al-Baqarah [2]: 219).

5. Hikmah Diwahyukannya Al-Qur’an Secara Bertahap

Al-Qur’an diturunkan dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu mulai malam 17
Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi, sampai 9 Dzulhijjah Haji Wada’ tahun 63 dari
kelahiran Nabi atau tahun 10 H.8

Proses turunnya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad Saw. Adalah melalui 3 tahapan
9
yaitu:

Pertama: Al-Qur’an turun secara sekaligus dari Allah ke lauh al-mahfuzh, 10 yaitu suatu
tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah. Proses pertama
ini diisyaratkan dalam (Qs al-Buruj [85] 21-22)

‫ح نميحفميوُقظ‬
‫ فليي لنيوُ ق‬.‫بنيل همنوُ قميرانمن نملجييمد‬
“Bahkan yang didustakan mereka ialah Al-Quran yang mulia. Yang (tersimpan) dalam lauh
al-mahfuzh.” (Qs al-Buruj [85] 21-22)

Kedua: Al-Qur’an diturunkan dari lauh al-mahfuzh itu kebait al-izzah (tempat yang berbeda
dilangit dunia). Proses kedua ini diisyaratkan Allah dalam surat al-Qadar [91] 1)

8 Rosihan, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia,2007) hlm.34


9 Ibid
10 Lauh mahfuzh adalah sebuah catatan yang di dalamnya terdapat catatan mengenai segala sesuatu
yang eksis dan yang ditulis semenjak zaman azali.

6
‫النرآَّ انيننزيلنُنهم فليي لنييلنلةايلقنيدلر‬
“Sesungguhnya kami telah menurunkan Al-Qur’an pada malam kemuliaan (Qs al-Qadar
[91] 1)

Ketiga: Al-Qur’an diturunkan dari bait al-izzah kedalam hati Nabi dengan jalan berangsur-
angsur sesuai dengan kebutuhan. Ada kalanya satu ayat, dua ayat, dan bahkan kadang-
kadang satu surat. Mengenai proses turun dalam tahap ketiga diisyaratkan dalan Qs asy-
Syu’ara’ [26] 193-195)

‫ بلللنساًقن نعنربليي ممبلييقن‬.‫ك للتنمكيوُنن لمنن ايلممينُلذلريينن‬


‫ نعنلىِ قنيلبل ن‬.‫نننزنل بلله المريومح ايلنلمييمن‬.
“Dia dibawah turun oleh ar-Ruh al-Amin (jibril), kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu
menjadi salah seorang diantara orang yang memberi peringatan, dengan bahasa arab yang
jelas (Qs asy-Syu’ara’ [26] 193-195).

Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Melalui Malaikat Jibril, tidak
secara sekaligus, melainkan turun sesuai dengan kebutuhan. Bahkan, sering wahyu turun
untuk mejawab pertanyaan para sahabat yang dilontarkan kepada Nabi atau untuk
membenarkan tindakan Nabi Saw. Disamping itu, banyak pula ayat atau surat yang
diturunkan tanpa memalui latar belakang pertanyaan atau kejadian tertentu.

Disamping hikmah yang telah diisyaratkan diatas, masih banyak hikmah yang
terkandung dalam hal diturunkannya Al-Qur’an secara bertahap antara lain sebagai berikut:11

 Menetapkan hati Nabi

Ketika menyampaikan dakwah, Nabi sering berhadapan dengan para penentang. Turunnya
wahyu yang berangsur-angsur itu merupakan dorongan tersendiri bagi Nabi untuk terus
menyampaikan dakwah.

Nabi sering berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan sulit yang dilontarkan orang-


orang musyrik dengan tujuan melemahkan Nabi. Turunnya wahyu yang berangsur-angsur itu
tidak saja memberikan pertanyaan itu, bahkan menentang mereka untuk membuat sesuatu
yang serupa dengan Al-Qur’an. Dan ketika mereka tidak mampu memenuhi tantangan itu,
hal itu sekaligus merupakan salah satu mukjizat Al-Qur’an.

Untuk menjawab dan menjelaskan pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Saw.
Seperti yang dilakukan oleh Ubai bin Khalaf, salah satu pembesar kaum kafir Makkah, ia
datang kepada Nabi Saw. Dengan membawa tulang yang hancur kemudian dia melemparkan
dan menyebarkannya ke udara seraya berkata: “Wahai Muhammad, apakah kamu mengira
bahwa Allah akan membangkitkan tulang yang hancur seperti ini? “Nabi menjawab: “Ya,
11 Rosihan, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia,2007) hlm.36

7
Allah akan mematikanmu, kemudian menghidupkanmu, lalu memasukkanmu kedalam
neraka.” Lalu turunlah beberapa ayat dalam akhir surah Yasin. Selain contoh di atas
sejatinya masih banyak contoh yang lain yang mengisahkan betapa seringnya Rasul Saw.
Ditanya oleh umatnya, seperti pertanyaan tentang hakikat roh, pertanyaan tentang apa saja
yang harus diinfakkan, pertanyaan tentang fungsi bulan, hukum menggauli istri yang haid,
dan masih banyak lagi.

 Memudahkan untuk dihafal dan dipahami

Al-Qur’an pertama kali turun turun ditengah-tengah masyarakat Arab yang ummi, yakni
yang tidak memiliki pengetahuan tentang bacaan dan tulisan. Turunnya wahyu secara
bertahap memudahkan mereka untuk memahami dan menghapalkannya.

 Mengikuti setiap kejadian (yang karenanya ayat-ayat Al-Qur’an turun) dan


melakukan penahapan dalam penetapan syariat
 Membuktikan dengan pasti bahwa Al-Qur’an turun dari Allah yang maha bijak sana.

Walaupun Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari,
secara keseluruhan, terhadap keserasian diantara satu bagian dengan bagian Al-Qur’an
lainnya. Hal ini tentunya hanya dapat dilakikan Allah yang Mahabijaksana.

6. Pengumpulan Al-Qur’an (Jam’ Al-Qur’an)

Dikalangan ulama, terminologi pengumpulan Al-Qur’an (Jam’ Al-Qur’an) memiliki


dua konotasi.12 Konotasi penghapalan Al-Qur’an dan konotasi penulisan secara keseluruhan.

 Proses Penghapalan Al-Qur’an

Kedatangan wahyu merupakan salah satu yang dirindukan Nabi. Oeh karena itu,
begitu wahyu datang, Nabi langsung menghapal dan memahaminya, dengan demikian, Nabi
adalah orang yang paling pertama menghapal Al-Qur’an. Tindakan nabi itu sekaligus
12 Rosihan, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia,2007) hlm.37
merupakan suri teladan yang diikuti para sahabatnya. Imam Al-Bukhari mencatat sekitar
tujuh orang sahabat Nabi yang terkenal dengan hapalan Al-Qur’annya. Mereka adalah
‘Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Mi’qal (maula’-nya Abu Hudzaifah), Muadz bin Jabal,
Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin As-Sakan, dan Abu ad-Darda.13

Penyebutan ketujuh sahabat itu kaitannya dengan penghapalan Al-Qur’an terkesan


tidak rasional dan tidak realistis, mengingat selain ketujuh sahabat itu, tercatat pula sahabat-
sahabat lain yang juga ikut menghapalkan Al-Qur’an termasuk ketika Nabi masih ada.
Bahkan, ada dikalangan sahabat wanita yang juga tercatat sebagai penghapal Al-Qur’an,
seperti ‘Aisyah, Hafshah, Ummu Salah, dan Ummu Waraqah. 14 Untuk menjawab persoalan
ini, Syahbah menjelaskan bahwa pembatasan ketujuh sahabat di atas tidak secara otomatis
menunjukkan bahwa tidak ada sahabat lain yang tercatat sebagai penghapal Al-Qur’an.
Khusus mengenai riwayat Anas, Syahbah menegaskan bahwa pembatasan itu tidak bersifat
mutlak, kecuali Anas telah menjumpai setiap sahabat dan menanyakan prihal hapalan Al-
Qur’annya, dan ini merupakan suatu hal yang tidak mungkin dilakukannya.

Ada pula yang menjelaskan bahwa pembatasan diatas menunjukkan bahwa ketujuh
sahabat itu menghapalkan Al-Qur’an dan membacakannya di hadapan Nabi. Jadi, sanadnya
langsung kepada Nabi, sedangkan para penghapal selain ketujuh sahabat itu tidak memiliki
karakteristik tersebut.15

 Proses Penulisan Al-Qur’an


a. Pada Masa Nabi

Kerinduan Nabi terhadap kedatangan wahyu tidak saja diekspresikan dalam bentuk
hapalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Nabi memiliki sekertaris pribadi yang khusus
bertugas mencatat wahyu. Mereka adalah Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali, Abban bin Sa’id,
Khalid bin Sa’id, Khalid bin al-Walid, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Proses penurunan
Al-Qur’an pada masa Nabi sangat sederhana. Mereka menggunakan alat tulis sederhana dan
berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang, dan batu.16 Kegiatan tulis menulis Al-
13 Kepiawaian ketujuh sahabat ini di dalam menghapalkan Al-Qur’an dijelaskan oleh riwayat-riwayat
Al-Bukhari berikut ini: Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Al-‘Ash bahwa Rasulullah bersabda, “Ambillah
Al-Qur’an dari empat orang: ‘Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz, dan Ubai bin Ka’ab.”
14 Rosihan, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia,2007) hlm.38
15 Ibid

9
16 Ibid
Qur’an pada masa Nabi disamping dilakukan oleh para sekertaris Nabi, juga para sahabat
lainnya. Kegiatan itu didasarkan kepada sebuah hadis Nabi sebagaimana yang telah
diriwayatkan oleh Muslim:

‫ب نعنُبيي لسنوُىَ ايلقميراننن فنيلينيممحهم‬


‫لنتنيكتمبميوُانعنُبيي نشيياً ك اللر ايلقميراننن نونمين نكتن ن‬.
“ Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali Al-Qur’an. Barang siapa
telah menulis dariku selain Al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya (H.R. Muslim).

Diantara faktor yang mendorong penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi adalah:17

 Kembali menghapal yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.
 Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak dari
hapalan para sahabat aja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau sebagian
dari mereka sudah wafat. Adapun tulisan akan tetap terpelihara walaupun pada masa
Nabi, Al-Qur’an tidak ditulis ditempat tertentu.

Uraian diatas memperlihatkan bahwa karakteristik penulisan Al-Qur’an pada masa


Nabi adalah bahwa Al-Qur’an ditulis tidak pada satu tempat, melainkan pada tempat yang
terpisah-pisah. Hal ini tampaknya bertolak dari dua alasan berikut:18

 Proses penurunan Al-Qur’an masih berlanjut sehingga ada kemungkinan ayat yang
turun belakangan “menghapus” redaksi dan ketentuan hukum ayat yang sudah turun
terdahulu.
 Menertibkan ayat dan surat-surat Al-Qur’an tidak bertolak dari kronologi turunnya,
tapi nertolak dari keserasian antara satu ayat dengan ayat lainnya, atau antara satu
surat dengan surat lainnya. Oleh karena itu, terkadang ayat atau surat yang turun
belakangan ditulis lebih dahulu ketimbang ayat atau surat yang turun terlebih dahulu.

b. Pada Masa Khulafa’ Al-Rasyidin


 Pada masa Abu Bakar Ash- Shiddiq

Pada dasarnya, seluruh Al-Qur’an sudah ditulis pada waktu Nabi masih ada. Hanya
pertama kali menyusunnya dalam satu mushaf adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Oleh karena
itu, Abu ‘Abdillah Al-Muhasibi19 berkata didalam kitabnya, Fahm As-Sunan, “Penulisan Al-
Qur’an bukanlah suatu hal yang baru. Sebab, Rasulullah pernah memerintahkannya. Hanya
saja, saat itu tulisan Al-Qur’an terpecah-pecah pada pelepah kurma, batu harus, kulit, dan
17 Ibid, hlm. 39
18 Ibid

10
19 Ia adalah Al-Harist bin Asad Al-Muhasibi dan diberi kunyah ‘Abdullah. Ulama sufi besar yang alim
dalam bidang ushul dan mu’malat, serta menjadi guru bagi kebanyakan muridnya di Baghdad ini wafat di
Baghdad tahun 243 H
tulang unta, dan bantalan dari kayu. Abu Bakar kemudian berinisiatif menghimpun
semuanya.20 Usaha pengumpulan tulisan Al-Qur’an tang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah
perang Yamamah pada tahun 12 H. Peperangan bertujuan menumpas habis para pemurtad
yang juga para pengikut Musailamah Al-Kadzdzab itu ternyata telah menjadikan 700 orang
penghapal Al-Qur’an syahid. Khawatir akan semangkin hilangnya para penghapal Al-
Qur’an, sehingga kelestarian Al-Qur’an juga ikut terancam, ‘Umar datang menemui
Khalifah pertama, Abu bakar agar segera mengintruksikan pengumpulan Al-Qur’an dari
berbagai sumber, baik yang tersimpan didalam hapalan maupun tulisan.21

Zaid bin Tsabit, salah seorang sekertaris Nabi, berdasarkan riwayat Al-Bukhari (kitab
”Fadh’ il Al-Qur’an”, bab III dan IV: kitabb “Al-Ahkam”, ban XXXVII), mengisahkan
bahwa setelah peristiwa berdarah yang menimpa sekitar 700 orang penghapal Al-Qur’an,
Zaid diminta bertemu Abu bakar. Turut hadir dalam pertemuan itu ‘Umar bin Al-Khaththab.
Abu Bakar membuka pertemuan itu itu dengan mengatakan, “Umar telah mendatangiku dan
mengatakan bahwa peperangan Yamamah telah berlangsung sengit dan meminta korban
sejumlah qari’Al-Qur’an. Aku khawatir hal ini meluas kepada para penduduk. Kalau
demikian, akan banyak penghapal Al-Qur’an yang hilang. Aku memandang perlunya
penghimpunan Al-Qur’an.

Setelah Abu Bakar berbicara, Zaid bin Tsabit mengajukan keberatannya. Kalimatnya
ia arahkan kepada Umar karena usul penulisan berasal darinya, “Bagaimana mungkin kita
melakukan sesuatu yang belum dilakukan Rasulullah?” Umar lalu menjawab, “Demi Allah,
ini sesuatu yang baik.” Dan ketika Umar belum selesai mengucapkan kalimatnya, Allah
telah melegakan hati Zaid tentang perlunya penghimpunan Al-Qur’an.

Kemudian Abu Bakar berkata kepada Zaid, “Kau adalah seorang laki-laki yang masih muda
dan pintar. Kami tidak menuduhmu (cacat mental). Dahulu kau mengurus wahyu untuk
Rasulullah. (Sekarang), lacaklah Al-Qur’an.”

Bagi Zaid,tigas yang dipercayakan Khalifah Abu Bakar kepadanya bukan hal yang ringan.
Hal ini bisa dipahami dari kalimat yang terlontar dari mulutnya dihadapan Abu Bakar dan
Umar pada waktu itu, “Demi Allah, sekiranya orang-orang membebaniku memindahkan
suatu gunung, hal itu tidak lebih berat dari pada apa yang kau perintahkan kepadaku untuk
menghimpun Al-Qur’an.”

Dalam melaksanakan tugasnya, Zaid menetapkan kriteria yang ketat untuk setiap
ayat yang dikumpulkannya. Ia tidak menerima ayat yang berdasarkan hapalan, tanpa
didukung tulisan.22 Kehati-hatiannya diperlihatkan oleh ucapannya sebagaimana tetuang
pada akhir hadis yang ditiwayatkan Al-Bukhari diatas, “... Hingga aku temukan akhir surat
20 Rosihan, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia,2007) hlm.40
21 Ibid

11

22 Rosihan, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia,2007) hlm.41


At-Taubah [9] pada tangan Abu Khuzaimah Al-Anshari.” Ungkapannya itu tidak
menunjukkan pada akhir surat At-Taubah [9] itu tidak mutawir, tetapi lebih menunjukkan
bahwa hanya Abu Khuzaimah Al-Anshari yang menulisnya. Zaid dan sahabat-sahabat
lainnya juga menghapalnya, tetapi tidak memiliki tulisannya.

Sikap kehati-hatian Zaid dalam mengumpulkan Al-Qur’an sebenarnya atas dasar pesan Abu
Bakar kepada Zaid dan ‘Umar. Abu Bakar berkata:23

‫ فننمين نجاًنءمكنماً بلنشاًلهندييلن نعنلىِ نشييقء لمين لكنتاً ل‬.‫ب ايلنميسلجلد‬


‫ب ال نفاًيكتمنباًهم‬ ‫اميقمعندا نعنلىِ نباً ل‬
“Duduklah kalian di pintu masjid. Siapa saja yang datang kepada kalian membawa catatan
Al-Qur’an dengan dua saksi, maka catatlah,”

Riwayat yang berkaitan dengan dikeluarkannya Ibn Abi Dawud melalui jalan Yahya bin
‘Abdirrahman bin Hatib yang menceritakan bahwa ‘Umar berkata:

‫ف نوايلنيلففنوُا ل‬
‫ح‬ ‫صففمح ل‬
‫ك فلففىِ ال م‬ ‫ نشييكئاً لمننُاًيلقميرانلن فنيلينأي ل‬.‫م‬.‫نمين نكاًنن تنلنرقىِ لمين نرمسيوُلل ال ص‬
‫ نونكاً نميوُا ينيكتمبمففيوُنن نذللفف ن‬.‫ت بلله‬
‫ نونكاًنن لنينيقبنمل لمين اننحقد نشييكئاً نحرتىِ ينيشهنند نشلهييندالن‬.‫ب‬ ‫نوايلمعمس ل‬.
“Siapa saja yang pernah mendengar seberapa saja ayat Al-Qur’an dari Rasulullah (kepada
Zaid). Dan pada waktu itu para sahabat telah menulisnya pada suhuf, papan, dan pelepah
kurma. Zaid tidak menerima laporan ayat dari siapapun sebelum di perkuat dua saksi”

Didalam menerangkan pengertian “dua saksi” riwayat ini, perlu disimak pendapat Ibn Hajar.
Menurut tokoh hadis kenamaan ini, syahidain (dua saksi) disini tidak harus kedua nya dalam
bentuk hapalan, atau keduanya dalam bentuk tulisan. Sahabat tertentu yang membawa ayat
tertentu dapat diterima bila ayat yang disodorkan didukung dua hapalan atau tulisan sahabat
lainnya. Demikian juga, suatu hapalan ayat tertentu yang dibawa oleh sahabat tertentu baru
bisa diterima oleh dua catatan dan atau hapalan sahabat lainnya.24

Pekerjaan yang dibebankan kepundak Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang
lebih satu tahun, yaitu pada tahun 13 H. Dibawah pengawasan Abu Bakar, ‘Umar, dan para
tokohsabat lainnya.25 Tidak syak lagi, ketiga tokoh yang telah disebut-sebut dalam
pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar, yakni Abu bakar, ‘Umar, dan Zaid,
mempunyai peranan yang sangat penting. ‘Umar yang terkenal dengan terobosan-terobosan
jitunya menjadi pencetus ide. Ini tentunya punya arti tersendiri. Zaid sudah tentu
mendapatkan kehormatan besar karena ia di percaya menghimpun kitab suci Al-Qur’an yang
memerlukan kejujuran, kecermatan, ketelitian, dan kerja keras. Khalifah Abu bakar sebagai
decision maker menduduki porsi tersendiri. Tak berlebihan bila Ali bin Abi Thalib
memujinya dengan mengatakan:
23 Ibid
24 Ibid, hlm. 42

12
25 Ibid
‫ب ال بنيينن اللريوُنحييلن‬
‫ همنوُانرومل نمين نجرمنع لكنتاً ن‬.‫نرلحنماًلم اننباً بنيكقر‬.
“Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Ia orang yang pertama kali (mengambil keputusan)
mengumpulkan kitab Allah”

Setelah sempurna, kemudian berdasarkan musyawarah, tulisan Al-Qur’an yang


sudah terkumpul itu dinamakan “mushaf”, sebagai mana disebutkan Ibnu Asytah 26 didalam
kitab Al-Mashahif yang didasarkan pada riwayat yang sampai kepadanya melalui jalan Musa
bin ‘Aqabah dari Ibnu Syihab:27 “Setelah Al-Qur’an terkumpul, mereka menuliskannya
diatas kertas. Abu Bakar berkata, ‘Carilah nama untuk Al-Qur’an ang sudah ditulis ini.’
Sebagian sahabat mengusulkan nama ‘As-Sifr.’ Abu Bakar berkata, itu nama yang diberikan
orang-orang Yahudi. Merekapun tidak menyuki nama itu. Sebagian sahabat lain
mengusulkan nama “Al-Mushaf” karena orang-orang Habsyi pun memakai nama itu.
Mereka pun akhirnya sepakat dengan nama itu.”

Setelah Abu Bakar wafat, suhuf-suhuf Al-Qur’an itu disimpan Khalifah ‘Umar dan
ketika ‘Umar wafat, mushaf itu disimpan Hafsah, bukan oleh ‘Utsman bin ‘Affan sebagai
Khalifah yang menggantikan ‘Umar. Timbul pertanyaan kenapa mushaf itu tidak diserahkan
kepada Khalifah setelah ‘Umar? Pertanyaan itu logis. Hanya ‘Umar, menurut zarzur,
mempunyai prtimbangan lain, yaitu bahwa sebelum wafat, ‘Umar memberikan kesempatan
kepada enam sahbat untuk bermusyawarah memilih salah seorang diantara mereka untuk
menjadi khalifah. Kalau ‘Umar memberikan mushaf yang ada padanya kepada salah seorang
diantara enam sahabat itu, ia khawatir hal tersebut diinterpretasikan sebagai dukungan
kepada sahabat yang memegang mushaf. Padahal, ‘Umar ingin memberikan kebebasan
sepenuhnya kepada keenam sahabat itu untuk memilih diantara mereka yang layak menjadi
Khalifah. Ia menyerahkan mushaf itu kepada Hafsah yang lebih dari layak memegang
mushaf yang sangat bernilai.28 Terlebih lagi, ia adalah istri Nabi dan sudah menghapal Al-
Qur’an secara keseluruhannya.29

 Pada Masa ‘Utsman bin ‘Affan

Penjelasan tradisional, berupa hadis Nabi yang diriwayatkan Al-Bukhari, tentang alasan
yang menyebabkan diambil langkah selanjutnya dalam menetapkan bentuk Al-Qur’an
menyiratkan bahwa perbedaan-perbedaan serius dalam qira’at (cara membaca) Al-Qu’an
terdapat dalam salinan-salinan Al-Qur’an yang ada pada masa ‘Utsman bin ‘Affan
diberbagai wilayah. Dikisahkan kepada kita bahwa selama pengiriman ekspedisi militer ke
Armenia dan Azerbaijan, perselisihan tentang bacaan Al-Qur’an muncul dikalangan tentara-
tentara Muslim, yang sebagiannya direkrut dari Siria dan sebagian lagi dari Irak.
Perselisihan ini cukup serius sehingga menyebabkan pimpinan tentara Muslim, Hudzaifah,
melaporkannya kepada Khalifah ‘Utsman (644-656) dan mendesaknya agar mengambil
langkah guna mengakhiri perbedaan-perbedaan bacaan tersebut. Khalifah lalu berembuk

26 Ibid, hlm.43
27 Ibid
28 Ibid, hlm.44
29 Ibid
13
dengan para senior sahabat Nabi, dan akhirnya menugaskan Zaid bin Tsabit
“mengumpulkan” Al-Qur’an. Bersama Zaid, ikut bergabung tiga anggota keluarga Mekah
terpandang: ‘Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al-Ash, dan ‘Abd-Rahman bin Al-Harits.

Az-Zarqani mengemukakan pedoman pelaksanaan tugas yang diemban oleh Zaid bin Tsabit
sebagai berikut:

(a) Tidak menulis sesuatu dalam mushaf kecuali telah diyakini bahwa itu adalah ayat Al-
Qur’an yang dibaca Nabi pada pemeriksaan Jibril dan tilawahnya tidak mansukh.
(b) Untuk menjamin ketujuh huruf turunnya Al-Qur’an, tulisan mushaf bebas dari titik
dan Syakal.
(c) Lafazh yang tidak dibaca dengan bermacam-macam bacaan ditulis dengan bentuk
unik, sedangkan lafazh yang dibaca dengan lebih dari satu qira’at ditulis dengan
rasm yang berbeda pada tiap-tiap mushaf. Mereka tidak menuliskan bacaan tersebut
dalam satu mushaf karena merasa khawatir akan ada anggapan bahwa lafazh tersebut
diturunkan berulang kali dalam bacaan yang berbeda. Padahal, sebenarnya lafazh
tersebut hanya turun satu kali yang dapat dibaca dengan bacaan lebih dari satu
macam. Mereka juga menghindari penulisan lafazh dengan dua rasm dalam satu
mushaf untuk menghindari dugaan bahwa rasm itu merupakan koreksi untuk yang
lainnya
(d) Berkaitan dengan terjadinya perbedaan mengenai bahasa, ditetapkan dalam Quraisy
yang digunakan karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa tersebut. Inisiatif
‘Ustman untuk menyatukan penulisan Ak-Qur’an tanpaknya sangat beralasan.
Betapa tidak, menurut beberapa riwayat, perbedaan saat membaca Al-Qu’an pada
saat itu sudah bern yang ada sebelumnya, ada pada titik yang menyebabkan umat
Islam saling menyalahkan dan pada ujungnya terjadi perselisihan diantara mereka.
Sebuah riwayat menjelaskan bahwa perbedaan cara membaca Al-Qur’an ini terlihat
pada waktu perang pasukan perang Islam yang datang dari Irak dan Syaria.

14
Sementara mereka yang datang dari Syam (Syiria) mengikuti qira’at Ubai bin Ka’ab,
mereka yang berasal dari Irak membacanya sesuai qira’at Ibn Mas’ud. Tak jarang
pula, diantara mereka yang mengikuti qira’at Abu Musa Al-Asy’ari. Masing-msing
pihak berasal bahwa qira’at yng dimilikinya lebih baik.30 Riwayat lain yang
dikeluarkan dari Abu Qulabah menjelaskan bahwa pada masa Khalifa ‘Utsman,
seoraang guru mengajarkan qira’at tokoh tertentu, dan guru lainnya mengajarkan
qira’at tokoh (lainnya). Anak-anak bertemu dan berpecah. Persoalan ini terangkat
sampai kepada para guru yang pada gilirannya saling mengafirkan.31
Mengenai jumlah pasti naskah standar yang dibuat dan tempat-tempat
pengirimannya, hadis memberikan penjelasan yang berbeda-beda; tetapi
kemungkinannya, satu salinan disimpan ke Madinah dan salinan-salinan lain dikirim
30 Rosihan, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia,2007) hlm.45
31 Ibid, hlm.46
ketoka-kota kufah, Bashrah dan Damaskus, serta mungkin juga ke Mekah. Salinan-
salinan Al-Qur’a yakni sebelum ada resensi ‘Utsman, diberitakan telah dimusnahkan,
sehingga teks seluruh salinan Al-Qur’an yang akan dibuat pada masa-masa
selanjutnya didasarkan pada naskah-naskah standart tersebut.

‘Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang memenuhi
persyaratan berikut:

(a) Harus terbukti mutawatir, tidak tertulis berdsarkan riwayat ahad,32


(b) Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca
kembali dihadapan Nabi pada saat-saat terakhir,
(c) Kronologi surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf
Abu Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf ‘Ustman,
(d) Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda
sesuai dengan lafazh-lafazh Al-Qur’an ketika turun,
(e) Semua yang bukan termasuk Al-Qur’an dihilangkan. Misalnya yang ditulis dimushaf
sebagian sahabat yang mereka juga menulis makna ayat atau penjelasan nasikh-
mansukh didalam mushaf.33

 Penyempurnaan penulisan Al-Qur’an setelah Masa Khalifah

Mushaf yang ditulis atas perintah ‘Utsman tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga
dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk
Islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu.
Pada masa Khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705), ketidakmemadainya mushaf ini telah
dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu dan saat itu pula penyempurnaan mulai
segera dilakukan. Tersebutlah dua tokoh yang berjasa dalam hal ini, yaitu ‘Ubaidillah bin
Ziyad (w. 67 H.) dan Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi (w. 95 H.). Ibn Ziyad diberitakan
memerintahkan seorang lelaki dari Persia untuk meletakkan alif sebagai pengganti dari huruf
yang dibuang.

Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan setiap
generasi sampai abad III H (atau akhir Abad IX M.) ketika proses penyempurnaan naskah
32 Ibid
33 Ibid

15
Al-Qur’an (mushaf ‘Utsmani) selesai dilakukan. Tercatat pula tiga nama yang disebut-sebut
sebagai orang yang pertama kali meletakkan tanda titik pada mushaf ‘Utsmani. Ketiga orang
itu adalah Abu Al-Aswad Ad-Da’uli, Yahya bin Ya’mar (45-129 H), dan Nashr bin ‘Ashim
Al-Laits (w. 89 H.).34 Adapun orang yang disebut pertama kali meletakkan hamzah, tasydid,
Al-raum, dan al-isymam adalah Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi AlAzdi yang diberi
kunyah Abu ‘Abdirrahmann (w. 175 H.).35

Upaya penulisan Al-Qur’an dengan tulisan yang bagus dengan upaya lain yang telah
dilakukan generasi terlebih dahulu. Diberitakan bahwa Khalifah Al-wsalid (memerintah dari
tahun 86-96 H.) memerintahkan Khalid bin Abi Al-Hayyaj yang terkenal keindahan
tulisannya untuk menulis mushaf Al-Qur’an36 dan untuk pertama kalinya, Al-Qur’an dicetak
di Banduqiyyah pada tahun 1530 M, tetapi begitu keluar, penguasa gereja mengeluarkan
perintah permusuhan kitab suci agama Islam ini. Dan baru lahir lagi cetakan selanjutnya atas
usaha orang Jerman yang bernama Hinkelman pada tahun 1694 M. Di Hamburg (Jerman).
Disusul kemudian oleh Marracci pada tahun 1698 M. Di Padoue. Sayangnya, tak satu pun
dari Al-Qur’an cetakan pertama, kudua, maupun ketiga itu yang tersisa di dunia Islam. Dan
sayangnya pula, perintis penerbitan Al-Qur’an pertama itu dari kalangan bukan muslim.37

Penerbitan Al-Qur’an dengan label Islam baru dimulai pada tahun 1787. Yang
menerbitkan adalah Maulaya ‘Utsman. Dan mushaf cetakan itu harir di Saint-Petersbourg,
rusia, atau Leningrat, Uni Soviet sekarang. Lahir lagi kemudian, mushaf cetakan di Kazan.
Kemudian terbit lagi di Iran. Tahun 1248 H./1828 M., negeri Persia ini menerbitkan mushaf
cetakan di kota Teheran. Lima tahun kemudian, yakni tahun 1833, terbit lagi mushaf cetakan
Tabriz. Setelah dua kali penerbitan di Iran, setahun kemudian (1834) terbit lagi mushaf
cetakan di Leipzig, Jerman.38

Di negara Arab, Rraja Fuad dari Mesir membentuk panitia khusus penerbitan Al-Qur’an
diperempatan pertama abad XX. Panitia yang dimotori para syekh Al-Azhar oini pada tahun
1342 H./1923 M. Berhasil menerbitkan mushaf Al-Qur’an cetakan yang bagus. Mushaf yang
pertama terbit di negara Arab ini dicetak sesuai dengan riwayat Hafsah atau qira’at ‘Ashim.
Sejak itu berjuta-juta mushaf dicetak di Mesir dan diberbagai negara.39

7. Rasm Al-Qur’an

 Pengertian Rasm Al-Qur’an

Yang di maksud dengan rasm Al-Qur’an atau rasm ‘Utsmani atau rasm ‘Utsman
adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa Khalifah ‘Utsman bin

34 Rosihan, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia,2007) hlm.47


35 Ibid
36 Ibid, hlm.48
37 Ibid
38 Ibid
16
39 Ibid
‘Affan. Istilah yang terakhir lahir bersamaan dengan lahirnya mushaf ‘Utsman, yaitu mushaf
yang ditulis panitia empat yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin
Al-‘Ash, dan ‘Abdurrahman bin Al-Harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah-kaidah
tertentu.

 Pendapat Para Ulama Sekitar Rasm Al-Qur’an

Para ulama berbeda pendapat mengenai tauqifi tidaknya rasm utsmani, para ulama juga
berbeda pendapat dalam melihat hukum penulisan Al-Qur’an dengan rasm utsmani.
Perbedaan pendapat itu dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Para ulama yang mengakui bahwa rasm utsmani itu bersifat tauqifi 40 berpendapat,
wajib mengikuti rasm utsmani dalam penulisan Al-Qur’an tidak di bolehkan
menyalahinya. Pendapat ini diikuti oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Malik,
keduanya mengharamkan penulisan Al-Qur’an besar dengan selain rasm utsmani.
2. Sedangkan para ulama yang menyatakan rasm utsmani itu bukan tauqifi tentu
mereka membolrhkan penulisan Al-Qur’an dengam selain rasm utsmani. Atau
dengan bahasa lain, dibolehkan menulis Al-Qur’an dengan rasm imla’i.
3. Sebagai ulama berpendapat, boleh bahkan wajib mengikuti rasm ilma’i dalam
penulisan Al-Qur’an yang di peruntuhkan bagi orang-orang awam, dan tidak boleh
menuliskan dengan rsm utsmani.Namun demikian, penulisan Al-Qur’an dengan
rasm utsmani pun wajib di pelihara dan dilestarikan sebagai warisan yang berharga.

8. Faedah Turunnya Al-Qur’an Secara Bertahap dalam Pendidikan dan Pengajaran

Proses belajar mengajar iu berlandaskan dua asa: perhatian terhadap tingkat pemikiran
siswa dan pengembangan potensial akal, jiwa dan jasmaninya dengan apa yang dapat
membawanya ake arah kebaikan dan kebenaran.

Dalam hikmah turunnya Qur’an secara bertahap itu kita melihat adanya suatu metode
yang berfaedah bagi kita dalam mengaplikasikan kedua asa tersebut seperti yangkami
sebutkan tadi. Sebab turunnya Al-Qur’an itu telah meningkatkan pendidikan umat islam
secara bertahap dan bersifar alami untuk memperbaiki jiwa manusia, meluruskan
perilakunya, membentuk kepribadian dan menyempurnakan eksitensinya sehingga jiwa itu
tumbuh dengan tegak diatas pilar-pilar yang kokoh dan mendatangkan buah yang baik bagi
kebaikan umat manusia seluruhnya dengan izin Tuhan.

40 Yakni bukan produk manusia, tetapi sesuatu yang ditetapkan berdasarkan wahyu Allah yang Nabi
sendiri tidak mempunyai otoritas untuk menyangkalnya

17
Pentahapan turunnya Al-Qur’an itu merupakan bantuan yang paling baik bagi jiwa
manusia dalam upaya menghapal Qur’an, memahami, mempelajari, memikirkan makna-
makna yang mengamalkan apa yang di kandungnya.

Diantara celah-celah turunnya Qur’an yang pertama kali didapatkan perintah umtuk
membaca dan belajar dengan alat tulis: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhamulah
yang Mahamulia yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa
yang tidak diketahuinya.” (Al-Alaq [96]: 1-5). Demikian pula dalam turunnya ayat-ayat
tentang riba dan warisan dalam sistem harta kekayaan, atau turunnya ayat-ayat tentang
peperangan untuk membedakan secara tegas antara Islam dengan kemusyrikan. Di antara itu
semua, terdapat tahapan-tahapan pendidikan yang mempunyai berbagai cara dan sesuai
dengan tingkat perkembangan masyarakat Islam yang sedang dan senantiasa berkembang,
dari lemah menjadi kuat dan tangguh.

Sistem belajar-mengajar yang tidak memperlihatkan tingkat pemikiran siswa dalam


tahap-tahap pengajaran, bentuk bagian-bagian ilmu diatas yang bersifat menyeluruh dan
perpindahannya dari yang umum menjadi yang lebih khusus; atau tidak memperlihatkan
pertumbuhan aspek-aspek kepribadian yang bersifat intelektual, rihani dan jasmani, maka ia
adalah sistem pendidikan yang gagal dan tidak akan memberi hasil ilmu pengetahuan kepada
umat, selain hanya nambah kebekuan dan kemunduran.

Guru yang tidak memberikan kepada para siswanya porsi materi ilmiah yang sesuai,
dan hanya menambah beban kepada mereka diluar kesanggupannya untuk menghapal
danmemahami, atau berbicara kepada mereka dengan sesuatu yang tidak dapat mereka
jangkau, atau tidak memperhatikan keadaan mereka dalam menghadapi keganjilan prilaku
atau kebiasaan buruk mereka sehingga dia berlaku kaar dan keras, serta menangani urusan
tersebut dengan tergesa-gesa dan gugup, tidak bertahap dan tidak bijaksana-maka guru yang
berlaku demikian ini adalah guru yang gagal pula.

18

Dia telah mengubah proses belajar-mengajar menjadi kesesatan-kesesatan yang


mengerikan dan menjadikan ruang belajar sebagai ruang yang tidak disenangi. Begitu pula
halnya dengan buku pelajaran. Buku yang tidak tersusun judul-judul dan pasal-pasalnya serta
tidak bertahap pnyajian oengetahuannya dari yang mudah kepada yang lebih sukar, juga
bagian-bagiannya tidak disusun secara baik dan serasi, dan gaya bahasanya pun tidak jelas
dalam menyampaikan apa yang dimaksud maka buku yang demikian ini tidak akan dibaca
dan dimanfaatkan oleh siswa.

Petunjuk Ilahi tentang hikmah turunnya Qur’an secara bertahap merupakan contoh
yang baik dalam menyusun kurikulum pengajaran, memilih metode yang baik dan menyusun
buku pelajaran.
19

C. PENUTUP

Nuzulul Qur’an yang secara harfiah berarti turunya Al-Quran (kitab suci agama islam)
adalah istilah yang merujuk kepada peristiwa penting penurunan “Al Qur’an secara
keseluruhan diturunkan dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di langit dunia. Lalu
diturunkan berangsur- angsur kepada Rasullah SAW sesuai dengan peristiwa-peristiwa dalam
jangka waktu sekitar 23 tahun”.

Nabi Muhammad SAW adalah Rasul Allah yang diberi oleh-Nya mu’jizat yang amat
berguna bagi umat manusia, bahkan sampai zaman ini mu’jizat tersebut, menjadi tuntunan
bagi seluruh umat, barang siapa yang mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya
pasti akan selamat di dunia maupun di akhirat dan barangsiapa yang melalaikan bahkan tidak
mau memahaminya niscaya akan celaka, mu’jizat itu tidak lain dan tidak bukan adalah Kitab
Suci Al-Qur’an yang turun melalui perantara malaikat jibril secara bertahap kepada Nabi
Muhammad SAW, kejadian tersebut dinamakan Nuzulul Qur’an.

Ayat-ayat Al Qur’an tidaklah diturunkan sekaligus secara keseluruhan, tetapi secara


berangsur-angsur sesuai dengan keperluan yang ada. Surat-surat yang diturunkanya pun tidak
sama jumlah panjang dan pendeknya, terkadang diturunkan sekaligus secara penuh dan
terkadang sebagianya saja.
Dengan diturunkanya Al-Qur’an secara berangsur-angsur banyak hikmah yang akan
diperoleh yaitu menetapkan hati Rasulullah, melemahkan lawan-lawannya, mudah difahami
dan dihafal, penyusunannya akan sesuai dengan lalulintas peristiwa atau kejadian.

20

Vous aimerez peut-être aussi