Vous êtes sur la page 1sur 4

Kotak Biru dari Ibu

Cermin di depan wajah tak lagi dapat berdusta, ku pandangi terus wajahku. Menimbang-
nimbang, apakah harus ku kenakan atau tidak. Sekian lama mematut diri di depan kaca.
Akhirnya aku kembali memilih di zona nyamanku.

Teriakan ibu lantas menyadarkanku dari lamunan. Namaku Rania Syafira. Orang biasanya
memanggilku sebagai Rania, si gadis kecil penuh dengan ambisi. Ada beberapa pandangan
tentang garis keturunanku, ada yang bilang aku seperti gadis keturunan, ada pula yang bilang
amuba, asli muka batak. Rasanya, pendapat terakhir selalu jadi alasanku cekcok di antara
teman-temanku yang ada.

“Loh, katanya tadi mau pakai jilbab.”

Suara ibu menjadi penyambut pagi hariku saat bertemu di meja makan. Aku hanya bisa
menghembuskan nafas.

“Belum siap, bu.”

Aku memilih mengambil tempat duduk terjauh dari ibu, agar terhindar dari tatapan penuh
introgasi yang ibu miliki.

“Mau nunggu kapan siapnya? Kalau ga dimulai ga bakalan deh kamu pakai jilbab.”

Aku melirik kesal kakakku karena lontaran kalimatnya. Dasar, siapa coba yang ga mau pakai
jilbab. Aku juga mau kali, cuman timingnya yang ga tepat.

“Udah-udah, jangan berantem. Monggo dimakan.”

Ibu menepuk halus puncuk kepalaku, kami memang keturunan batak, tepatnya Mandailing.
Tapi ayah salah satu orang yang tidak ingin sukunya disama-samakan dengan suku batak,
padahal menurutku itu adalah hal yang sama. Ibu merupakan putri keraton di keluarga kami,
karena hanya ibulah perempuan berdarah Jawa yang hadir menghiasi keluarga kami.

Ibu duduk tepat di sampingku, dan hancur semua usahaku untuk menghindari ibu. Dengan
pandangan menelisik, ibu menatapku curiga.

“Hayo kamu dek, bentar lagi di wawancarai jurnalis.”

Kakakku pergi dengan bisikan-bisikan pengganggu yang ia miliki. Dan aku hanya bisa
memukul bayang-bayang semu yang ia miliki.
“Loh, ga boleh lo ngehardik kakak sendiri.”

Sambil melanjutkan makan pagiku, aku hanya memberikan cengiran khas milikku.

“Kenapa masih ragu berjilbab sayang?”

Nah, ibu mulai melakukan penyerangan, tidak!!! Dan, hey. Aku hanya bisa nyengir kembali.

“Tuhkan kalau ibu tanya senyum. Semoga Allah segera memberikan kamu hidayah ya,
sayang. Jangan lupa nasinya di habisin. Ibu ke dapur dulu.”

Sambil menepuk bahuku, ibu berlalu menuju dapur. Ibu salah satu sosok wanita yang luar
biasa, yang berjuang membangun keluarga yang madani, walaupun itu merupakan pandangan
kakak-kakakku, aku pikir setuju dengan pendapat mereka bukanlah hal buruk. Dan visi ibu
sebanding dengan rasa masakan yang selalu tercetak jelas melalui intrepetasi makanannya.

Mataku menerawang ke masa lalu. Keseharianku sebagai seorang entertainer, tepatnya


seorang pembawa acara. Sehingga keahlian ini sering kali menghambat kemauanku untuku
menggunakan jilbab. Banyak orang disekitar pekerjaanku yang melarang untuk menggunakan
jilbab. Mereka bilang, jilbab hanya mengganggu pergerakanku.

Namun, lain halnya dengan ibu. Ketika aku kecil, ibu selalu mengajarkanku untuk
menggunakan jilbab. Hanya saja, semua keputusan ada ditanganku. Ketika aku memasuki
sekolah menengah pertama, aku mulai menunjukkan bakatku dalam public speaking. Hingga,
beberapa orang memandangku sebagai orang yang berkompeten dalam bidang ini. Dan
perlahan-lahan, hal yang dari dulu ku kenakan mulai tertanggal.

Awalnya, tidak ada penolakan dari keluargaku, tidak sampai aku mendapati ibuku selalu
menangis di sepertiga malam memohon Allah memaafkan dosa-dosaku. Beberapa kali ibu
selalu menuntunku menggunakan jilbab. Tapi tawaran sebagai pembawa acara selalu
menghantui, seakan-akan tak ingin lepas.

Hingga, ketika aku memasuki jenjang perkuliahan, aku masuk kedalam sebuah lingkaran
yang awalnya diatur oleh kakak kandungku. Untuk menjebak sang adik. Aku terperangkap,
dan mungkin tak menemukan sebuah simpul untuk menuju keluar.

Perlahan-lahan mulai kupahami bahwa aku harus meninggalkan hal yang menjauhkan diriku
dari rahmat sang Ilahi. Perlahan-lahan aku mulai mengerti bahwa banyak hal yang selama ini
aku sia-siakan.
Suara pecahan kaca memecahkan lamunanku. Segera aku menuju dapur, sumber suara
kejadian.

“Ibu!”

Tangisku mulai pecah ketika aku menyentuh tangannya, ibu jatuh pingsan dengan tangan
yang tergores kaca. Aku kalut, tidak ada siapapun di dalam rumah selain aku dan ibu.

Suara ponselku yang berdering nyaring segera memecahkan kekalutanku. Segera ku ambil
ponselku yang berada di kantungku. Nama ayah tertera di layar ponselku.

“Halo, Assalamualaikum ayah, yah, ibu. Ibu pingsan.”

Menit berikutnya, aku dan ibu sudah memasuki sebuah ambulance. Sepanjang perjalanan,
yang aku pikirkan hanyalah bagaimana kalau Allah mengambil nyawa ibuku terlebih dahulu
sebelum aku mampu membuatnya bahagia. Ibu, selalu memiliki impian melihat kedua
anaknya menggunakan jilbab. Sampai saat ini, hanya aku yang tidak memiliki track record
yang baik sesuai dengan visi yang ibu miliki.

“Dek.”

Aku menengadah, tinggi kakak yang berbeda beberapa centimeter dari tubuhku membuatku
menengadah melihatnya. Ketika sampai rumah sakit, kakak langsung siap siaga menungguku
di pintu masuk. Dengan wajah yang penuh dengan air mata, kakak mengelus-elus
punggungku, mencoba menenangkan diriku.

Aku mencoba menengangkan diri, menarik nafas. Tapi yang ada malah air mataku kembali
tumpah ruah.

“Udah dek, ga ada untungnya buat kamu nangis.”

Aku terdiam dengan air mata yang terus mengalir. Besok, hari yang paling menyakitkan
untuk ibu tapi membahagiakan untukku. Tapi ibu selalu tersenyum penuh kebahagiaan
melihatku ketika hari itu datang.

“Be...sok aku kan ulang tahun kak.”

Kakakku menatapku nanar, dia kembali membenamkan ku pada pelukan hangat yang ia
miliki. Langkah kaki seseorang menghentikan tangisku,

“Keluarga pasien?”
Aku langsung menghapus air mataku, “Saya dok.”

Dokter mulai menjelaskan apa yang terjadi pada ibu. Ibu terkena anemia pernisiosa. Penyakit
ini akan terus berkembang apabila ibu tidak segera ditangani.

Segera kuhapus air mataku, ku raih ponselku yang ada pada saku celanaku. Ku cari apa itu
anemia perniosa. Dan yang kudapati adalah semua makanan yang mengandung B12 yang
merupakan vitamin untuk mengatasi penyakit tersebut. Dan semua makanan itu tidak
kusukai.

Aku kembali terisak, teringat kembali janjiku kepada ibu.

“Iya, suatu saat nanti ibu bakalan liat Rania pakai jilbab kok.”

Lontaran isengku hanya dijawab dengan senyuman oleh ibu dan pelukan hangat dari ibu.

Suara langkah kaki tergesa-gesa menghampiri kami, dengan mata yang sembab ku pandangi
sumber suara tersebut. Ayah datang dengan sebuah kotak bewarna biru muda, seperti kotak
kado ulang tahun.

Wajah ayah sedih, tapi ia tampak gagah dengan senyuman yang ia lontarkan kepadaku.

“Itu kado dari ibu buat kamu.”

Senyum ayah lantas membuat hatiku mencelos, teriris. Kado ibu adalah jilbab yang akan ku
kenakan pertama kali saat dewasa. Kado indah, jilbab pertamaku. Bahwa hidayah Allah
selalu dititipkan lewat sayap-sayap kecil sang bidadari.

Vous aimerez peut-être aussi