Vous êtes sur la page 1sur 34

LAPORAN KASUS

STASE RADIOLOGI

EFUSI PLEURA

Oleh:
Mohammad Zianuddin
Pembimbing :
dr. H. Nurwanto Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016
1

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan


Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya telah berhasil
menyelesaikan referat ini. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan pada
junjungan Rasulullah Muhammad SAW yang telah berjuang membawa umatnya
kepada kemenangan Islam. Referat ini saya susun untuk melengkapi tugas
Kepaniteraan Klinik Radiologi di RS Muhammadiyah Malang.
Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. H. Nurwanto, Sp.Rad, yang
telah membimbing dan mengajarkan saya dalam mengetahui cara-cara membaca,
menemukan kelainan-kelainan dan mendiagnosis suatu penyakit berdasarkan
pemeriksaan radiologi sehingga dapat membantu saya menyusun tugas ini.

Saya menyadari bahwa saya masih banyak kekurangan baik pada isi
maupun format referat ini. Oleh karena itu, saya menerima segala kritik dan
masukan dengan tangan terbuka dan memohon maaf yang sebesar-besarnya
apabila ada kesalahan dalam tugas yang telah saya buat ini.

Akhir kata saya berharap referat ini bisa berguna bagi semua pihak yang
ingin mengetahui tentang “ Efusi Pleura”.

Lamongan, 25 Januari 2015

Penyusun
2

BAB I
PENDAHULUAN

Efusi pleura adalah penimbunan cairan didalam rongga pleura akibat


transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Efusi pleura
bukan merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu penyakit.
Akibat adanya carian yang cukup banyak dalam rongga pleura, maka kapasitas
paru akan berkurang dan di samping itu juga menyebabkan pendorongan organ-
organ mediastinum, termasuk jantung. Hal ini mengakibatkan insufisiensi
pernafasan dan juga dapat mengakibatkan gangguan pada jantung dan sirkulasi
darah ( Price,dkk, 2005 ).
Di negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal
jantung kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di
negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, lazim diakibatkan oleh
infeksi tuberkulosis. Efusi pleura keganasan merupakan salah satu komplikasi yang
biasa ditemukan pada penderita keganasan dan terutama disebabkan oleh kanker
paru dan kanker payudara. Efusi pleura merupakan manifestasi klinik yang dapat
dijumpai pada sekitar 50-60% penderita keganasan pleura primer atau metastatik.
Sementara 5% kasus mesotelioma (keganasan pleura primer) dapat disertai efusi
pleura dan sekitar 50% penderita kanker payudara akhirnya akan mengalami efusi
pleura ( Price,dkk, 2005 ).
Diperlukan penatalaksanaan yang baik dalam menanggulangi efusi pleura
ini, yaitu pengeluaran cairan dengan segera serta pengobatan terhadap
penyebabnya sehingga hasilnya akan memuaskan ( Price,dkk, 2005 ).
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka saya berkeinginan menyajikan
informasi mengenai efusi pleura agar dapat menjadi bahan masukan kepada diri
saya dan kita semua dapat mendiagnosis serta memberikan terapi yang tepat pada
penderita efusi pleura.
3

BAB II
DATA PASIEN

IDENTITAS
 Nama Pasien : An. Fahrian Dzaky Al Aziz
 Umur : 4 th 5 bln 21 hari
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Nama Orang Tua : Ny Sasi Andayani / Tn. Supriono
 Masuk IGD : 19 Januari 2016
 Keluar RS :

KELUHAN UTAMA DAN ANAMNESIS


Keluhan Utama : Panas
Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang Rujukan dari Klinik Az-
Zahra dengan DSS (Febris hari ke 5) panas sejak 5 hari yll. Awalnya pasien
mengeluhkan batuk dan pilek yang disertai demam yang panas terus menerus (
Kamis jam 9 malam ). Lalu pasien di bawa ke bidan desa lalu diberikan obat
sirup, tetapi keluhan belum membaik, lalu pasien dibawa ke klinik panas hari ke 2
( sabtu jam 3 dini hari ), lalu dirawat disana sampai hari ini. Keluarga pasien juga
mengatakan bahwa pasien BAB terakhir 6 hari yll sebelum pasien sakit, cair-,
hitam-. BAK hanya sedikit. Mimisan -, bercak merah di tubuh -. Muntah (+) 4x
pada hari pertama panas, mual (+). Mulai kemarin pasien mengeluhkan telinganya
sakit dan Keluar darah dari telinga hari ini 1x sedikit.
Riwayat penyakit dahulu : Pasien belum pernah sakit seperti ini, hanya
panas diberi obat langsung turun
Riwayat penyakit keluarga : tidak ada penyakit yang sama dengan
pasien.
Riwayat penyakit sosial : makan dan minum tidak mau saat sakit
Riwayat persalinan : Aterm/SC/dokter/4200 gram
Riwayat imunisasi : Lengkap
4

VITAL SIGN
Keadaan umum: Gelisah
Kesadaran: compos mentis GCS 356
 Tensi : 69/40 mmHg
 Nadi : 148x per menit
 RR : 80x/menit
 Suhu : 37,8 C

Kepala leher : a- /i- /c-/ d +/


Pembesaran KGB -
PRIMARY SURVEY
A : clear, gargling (-), snoring (-), speak fluently (+), potensial obstruksi (-)

B : spontan, RR 80x/menit, ves/ves, Rh -/-, Wh -/-, SaO2 100% Nassal O2


support

C : Akral DBP, CRT < 2” N 148 x/menit TD 55/mmHg

D: GCS 356, lateralisasi -, PBI 3mm/3mm, RC +/+

E: Temp 37.40 C

SECONDARY SURVEY
GCS 356
K/L: a -/ I -/c -/d -
Tho: sim, ret -/-,
P: ves/ves; rh -/-, wh -/-,
C: S1S2 tunggal, murmur -, gallop -
Abd: soepel, met -,Nyeri tekan +, BU + N, Hepar kesan membesar, lien tidak
teraba
Ext: aie - , akral dingi basah pucat --> 12.30 HKM nadi kuat angkat
INITIAL ASSESSMENT
 DHF
5

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
No Doc :588696,Tanggal/Jam :20/1/2016:6:33
 Anti Dengue Ig G --> Hasil : Negatif [ Negatif ]
 Anti Dengue Ig M --> Hasil : Negatif [ Negatif ]
 Lekosit --> Hasil : 12.6 [ 4.0 - 11.0 ]
 Neutropil --> Hasil : 77.5 [ 49.0 - 67.0 ]
 Limposit --> Hasil : 9.2 [ 25.0 - 33.0 ]
 Monosit --> Hasil : 9.4 [ 3.0 - 7.0 ]
 Eosinopil --> Hasil : 1.7 [ 1.0 - 2.0 ]
 Basofil --> Hasil : 2.2 [ 0.0 - 1.0 ]
 Eritrosit --> Hasil : 4.58 [ 3.80 - 5.30 ]
 Hemoglobin --> Hasil : 11.5 [ P13,0 - 18,0 ] [ L14,0 -18,0 ]
 Hematokrit --> Hasil : 34.2 [ L 40 -54 ] [ P 35 - 47 ]
 MCV --> Hasil : 74.70 [ 87.00 - 100 ]
 MCH --> Hasil : 25.10 [ 28.00 - 36.00 ]
 MCHC --> Hasil : 33.60 [ 31.00 - 37.00 ]
 RDW --> Hasil : 12 [ 10 - 16.5 ]
 Trombosit --> Hasil : 27 [ 150 - 450 ]
 MPV --> Hasil : 6 [ 5 - 10 ]
 Laju Endap Darah 1 --> Hasil : 1 [ 0 - 1 ]
 Laju Endap Darah 2 --> Hasil : 5 [ 1 - 7 ]

No Doc :589150,Tanggal/Jam :22/1/2016:7:20

 Lekosit --> Hasil : 17.7 [ 4.0 - 11.0 ]


 Neutropil --> Hasil : 63.1 [ 49.0 - 67.0 ]
 Limposit --> Hasil : 17.1 [ 25.0 - 33.0 ]
 Monosit --> Hasil : 16.3 [ 3.0 - 7.0 ]
 Eosinopil --> Hasil : 1.8 [ 1.0 - 2.0 ]
 Basofil --> Hasil : 1.7 [ 0.0 - 1.0 ]
 Eritrosit --> Hasil : 4.02 [ 3.80 - 5.30 ]
 Hemoglobin --> Hasil : 9.9 [ P13,0 - 18,0 ] [L 14,0 -18,0 ]
6

 Hematokrit --> Hasil : 29.6 [ L 40 -54 ] [P 35 - 47 ]


 MCV --> Hasil : 73.60 [ 87.00 - 100 ]
 MCH --> Hasil : 24.60 [ 28.00 - 36.00 ]
 MCHC --> Hasil : 33.40 [ 31.00 - 37.00 ]
 RDW --> Hasil : 12 [ 10 - 16.5 ]
 Trombosit --> Hasil : 83 [ 150 - 450 ]
 MPV --> Hasil : 5 [ 5 - 10 ]
 Laju Endap Darah 1 --> Hasil : 26 [ 0 - 1 ]
 Laju Endap Darah 2 --> Hasil : 46 [ 1 - 7 ]

Foto Thorax AP

Thorax AP

Hasil Pemeriksaan :

Cor : Besar dan bentuk normal

Pulmo : Nampak densitas paru kanan


lebih tinggi dibanding kiri

Nampak perselubungan pada hemithorax


kanan

Kedua sinus phrenicocostalis tajam, tulang


dan soft tissue tak nampak kelainan
Sputum SPS : Effusi Pleura kanan
Kesimpulan
Negativ
e

DIAGNOSIS
o DHF grade III dengan efusi pleura
7

Terapi :
o O2 nasal 3 lpm
o Inf. asering 1500 cc/24 jam
o Buscopan 2x1 amp prn
o Levofloxacin 1x750mg
o Cefoperazone+sulbactam (sulperazone) 2x 1amp
o Pantoprazole 2x1 amp
o Ekstra fleed enema prn
o PO: Chlordiazepoxide+clidinium bromide (braxidine)2x1
8

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan fisiologi


Pleura adalah membran tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura visceralis
dan parietalis. Secara histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel mesothelial,
jaringaan ikat, dan dalam keadaan normal, berisikan lapisan cairan yang sangat
tipis. Membran serosa yang membungkus parekim paru disebut pleura viseralis,
sedangkan membran serosa yang melapisi dinding thorak, diafragma, dan
mediastinum disebut pleura parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan
dinding thoraks. Rongga pleura dengan lapisan cairan yang tipis ini berfungsi
sebagai pelumas antara kedua pleura. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hillus
paru. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara pleura viseralis dan parietalis (
Deny, 2012 ) diantaranya :
1. Pleura Visceralis
Permukaan luarnya terdiri dari selapis sel mesothelial yang tipis < 30mm.
Diantara celah-celah sel ini terdapat sel limfosit. Di bawah sel-sel
mesothelial ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit, di
bawahnya terdapat lapisan tengah berupa jaringan kolagen dan serat-serat
elastik. Lapisan terbawah terdapat jaringan interstitial subpleura yang
banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari a. Pulmonalis dan a.
Brakhialis serta pembuluh limfe Menempel kuat pada jaringan paru.
Fungsinya untuk mengabsorbsi cairan pleura.
2. Pleura parietalis
Jaringan lebih tebal terdiri dari sel-sel mesothelial dan jaringan ikat
(kolagen dan elastis). Dalam jaringan ikat tersebut banyak mengandung
kapiler dari a. Intercostalis dan a. Mamaria interna, pembuluh limfe, dan
banyak reseptor saraf sensoris yang peka terhadap rasa sakit dan
perbedaan temperatur. Keseluruhan berasal n. Intercostalis dinding dada
dan alirannya sesuai dengan dermatom dada. Mudah menempel dan lepas
dari dinding dada di atasnya. Fungsinya untuk memproduksi cairan pleura
9

Gambar 3.1 Tampilan depan paru dan pleuranya

FISIOLOGI
Cairan pleura berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan pleura
parietalis dan pleura viseralis bergerak selama pernapasan dan untuk mencegah
pemisahan toraks dan paru yang dapat dianalogkan seperti dua buah kaca objek
yang akan saling melekat jika ada air. Kedua kaca objek tersebut dapat bergeseran
satu dengan yang lain tetapi keduanya sulit dipisahkan.
Cairan pleura dalam keadaan normal akan bergerak dari kapiler di dalam
pleura parietalis ke ruang pleura kemudian diserap kembali melalui pleura
viseralis. Masing-masing dari kedua pleura merupakan membran serosa mesenkim
yang berpori-pori, dimana sejumlah kecil transudat cairan intersisial dapat terus
menerus melaluinya untuk masuk kedalam ruang pleura.
Selisih perbedaan absorpsi cairan pleura melalui pleura viseralis lebih
besar daripada selisih perbedaan pembentukan cairan oleh pleura parietalis dan
permukaan pleura viseralis lebih besar dari pada pleura parietalis sehingga dalam
keadaan normal hanya ada beberapa mililiter cairan di dalam rongga pleura (
Deny, 2012 ).
10

Gambar 3.2 memperlihatkan dinamika pertukaran cairan dalam ruang pleura


Jumlah total cairan dalam setiap rongga pleura sangat sedikit, hanya
beberapa mililiter yaitu 1-5 ml. Dalam kepustakaan lain menyebutkan bahwa
jumlah cairan pleura sebanyak 12-15 ml. Kapanpun jumlah ini menjadi lebih dari
cukup untuk memisahkan kedua pleura, maka kelebihan tersebut akan dipompa
keluar oleh pembuluh limfatik (yang membuka secara langsung) dari rongga
pleura kedalam mediastinum, permukaan superior dari diafragma, dan permukaan
lateral pleural parietalis. Oleh karena itu, ruang pleura (ruang antara pleura
parietalis dan pleura visceralis) disebut ruang potensial, karena ruang ini
normalnya begitu sempit sehingga bukan merupakan ruang fisik yang jelas (Deny,
2012 ).
3.2 Epidemiologi
Estimasi prevalensi efusi pleura adalah 320 kasus per 100.000 orang di
negara-negara industri, dengan distribusi etiologi terkait dengan prevalensi
penyakit yang mendasarinya.
Secara umum, kejadian efusi pleura adalah sama antara kedua jenis
kelamin. Namun, penyebab tertentu memiliki kecenderungan seks. Sekitar dua
pertiga dari efusi pleura ganas terjadi pada wanita. Efusi pleura ganas secara
signifikan berhubungan dengan keganasan payudara dan ginekologi. Efusi pleura
yang terkait dengan lupus eritematosus sistemik juga lebih sering terjadi pada
wanita dibandingkan pada pria ( Price, dkk, 2005 )
11

3.3 Efusi Pleura


3.3.1 Definisi
Efusi pleura adalah adanya penumpukan cairan dalam rongga (kavum)
pleura yang melebihi batas normal. Dalam keadaan normal terdapat 10-20 cc
cairan ( Deny, 2012)

Efusi pleura adalah penimbunan cairan pada rongga pleura atau Efusi
pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura dalam jumlah yang
berlebihan di dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan
antara pembentukan dan pengeluaran cairan pleura (Price, dkk, 2005)

Dalam konteks ini perlu di ingat bahwa pada orang normal rongga pleura
ini juga selalu ada cairannya yang berfungsi untuk mencegah melekatnya pleura
viseralis dengan pleura parietalis, sehingga dengan demikian gerakan paru
(mengembang dan mengecil) dapat berjalan dengan mulus. Dalam keadaan
normal, jumlah cairan dalam rongga pleura sekitar 10-20 ml. Cairan pleura
komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai
kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl (Price, dkk, 2005)

3.3.2 Etiologi
Ruang pleura normal mengandung sekitar 1 mL cairan, hal ini
memperlihatkan adanya keseimbangan antara tekanan hidrostatik dan tekanan
onkotik dalam pembuluh darah pleura viseral dan parietal dan drainase limfatik
luas. Efusi pleura merupakan hasil dari ketidakseimbangan tekanan hidrostatik
dan tekanan onkotik ( Price, dkk, 2005 )
Efusi pleura merupakan indikator dari suatu penyakit paru atau non
pulmonary, dapat bersifat akut atau kronis. Meskipun spektrum etiologi efusi
pleura sangat luas, efusi pleura sebagian disebabkan oleh gagal jantung kongestif,.
pneumonia, keganasan, atau emboli paru. Mekanisme sebagai berikut memainkan
peran dalam pembentukan efusi pleura:
1. Perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya, radang, keganasan,
emboli paru)
2. Pengurangan tekanan onkotik intravaskular (misalnya,
hipoalbuminemia, sirosis)
12

3. Peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan pembuluh darah


(misalnya, trauma, keganasan, peradangan, infeksi, infark paru, obat
hipersensitivitas, uremia, pankreatitis)
4. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler dalam sirkulasi sistemik dan /
atau paru-paru (misalnya, gagal jantung kongestif, sindrom vena kava
superior)
5. Pengurangan tekanan dalam ruang pleura, mencegah ekspansi paru penuh
(misalnya, atelektasis yang luas, mesothelioma)
6. Penurunan drainase limfatik atau penyumbatan lengkap, termasuk
obstruksi duktus toraks atau pecah (misalnya, keganasan, trauma)
7. Peningkatan cairan peritoneal, dengan migrasi di diafragma melalui
limfatik atau cacat struktural (misalnya, sirosis, dialisis peritoneal)
8. Perpindahan cairan dari edema paru ke pleura viseral
9. Peningkatan tekanan onkotik di cairan pleura yang persisiten
menyebabkan adanaya akumulasi cairan di pleura
10. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberkulosis,
pneumonia, virus, bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus
ke rongga pleura), karena tumor dan trauma
3.3.3 Klasifikasi
Efusi pleura umumnya diklasifikasikan berdasarkan mekanisme pembentukan
cairan dan kimiawi cairan menjadi 2 yaitu atas transudat atau eksudat. Transudat
hasil dari ketidakseimbangan antara tekanan onkotik dengan tekanan hidrostatik,
sedangkan eksudat adalah hasil dari peradangan pleura atau drainase limfatik yang
menurun. Dalam beberapa kasus mungkin terjadi kombinasi antara karakteristk
cairan transudat dan eksudat ( Halim, 2007 ).
1. Klasifikasi berasarkan mekanisme pembentukan cairan:
a. Transudat
Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu
adalah transudat. Transudat terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan antara
tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotic, sehingga terbentuknya cairan
pada satu sisi pleura melebihi reabsorpsinya oleh pleura lainnya. Biasanya hal
ini terjadi pada:
13

1. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik


2. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
3. Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura
4. Menurunnya tekanan intra pleura
Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah:
a. Gagal jantung kiri (terbanyak)
b. Sindrom nefrotik
c. Obstruksi vena cava superior
d. Asites pada sirosis hati (asites menembus suatu defek diafragma
atau masuk melalui saluran getah bening)
b. Exusadat
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane
kapiler yang permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi
tinggi dibandingkan protein transudat. Bila terjadi proses peradangan maka
permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel
mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran
cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling
sering adalah karena mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai
pleuritis eksudativa tuberkulosa. Protein yang terdapat dalam cairan pleura
kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran protein
getah bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan
peningkatan konsentasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan
eksudat.
Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain:

a. Infeksi (tuberkulosis, pneumonia)


b. Tumor pada pleura
c. Iinfark paru,
d. Karsinoma bronkogenik
e. Radiasi,
f. Penyakit dan jaringan ikat/ kolagen/ SLE (Sistemic Lupus
Eritematosis).
14

3.3.4 Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara


cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura
dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi
yang terjadi karena perbedaan tekanan osmotic plasma dan jaringan interstitial
submesotelial kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura.
Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura. Pergerakan
cairan dari pleura parietalis ke pleura visceralis dapat terjadi karena adanya
perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan koloid osmotik. Cairan kebanyakan
diabsorpsi oleh sistem limfatik dan hanya sebagian kecil yang diabsorpsi oleh
sistem kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan pada pleura
visceralis adalah terdapatnya banyak mikrovili di sekitar sel-sel mesothelial.
Bila penumpukan cairan dalam rongga pleura disebabkan oleh peradangan.
Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga
terjadi empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar
pleura dapat menyebabkan hemotoraks ( Price, 2005 ).
penumpukan cairan pleura dapat terjadi bila:
1. Meningkatnya tekanan intravaskuler dari pleura meningkatkan
pembentukan cairan pleura melalui pengaruh terhadap hukum Starling.
Keadaan ni dapat terjadi pada gagal jantung kanan, gagal jantung kiri dan
sindroma vena kava superior.
2. Tekanan intra pleura yang sangat rendah seperti terdapat pada
atelektasis, baik karena obstruksi bronkus atau penebalan pleura visceralis.
3. Meningkatnya kadar protein dalam cairan pleura dapat menarik lebih
banyak cairan masuk ke dalam rongga pleura
4. Hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal bisa menyebabkan
transudasi cairan dari kapiler pleura ke arah rongga pleura
5. Obstruksi dari saluran limfe pada pleum parietalis. Saluran limfe
bermuara pada vena untuk sistemik. Peningkatan dari tekanan vena
sistemik akan menghambat pengosongan cairan limfe, gangguan kontraksi
saluran limfe, infiltrasi pada kelenjar getah bening.
15

Efusi pleura akan menghambat fungsi paru dengan membatasi


pengembangannya. Derajat gangguan fungsi dan kelemahan bergantung pada
ukuran dan cepatnya perkembangan penyakit. Bila cairan tertimbun secara
perlahan-lahan maka jumlah cairan yang cukup besar mungkin akan terkumpul
dengan sedikit gangguan fisik yang nyata.
Kondisi efusi pleura yang tidak ditangani, pada akhirnya akan
menyebabkan gagal nafas. Gagal nafas didefinisikan sebagai kegagalan
pernafasan bila tekanan partial Oksigen (Pa O2)≤ 60 mmHg atau tekanan partial
Karbondioksida arteri (Pa Co2) ≥ 50 mmHg melalui pemeriksaan analisa gas
darah.
3.3.5 Manifestasi Klinis
Biasanya manifestasi klinisnya adalah yang disebabkan oleh penyakit
dasar. Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis,
sementara efusi malignan dapat mengakibatkan dispnea dan batuk. Ukuran efusi
akan menentukan keparahan gejala. Pada kebanyakan penderita umumnya
asimptomatis atau memberikan gejala demam, ringan ,dan berat badan yang
menurun seperti pada efusi yang lain ( Halim, 2007 )
Dari anamnesa didapatkan :
a. Sesak nafas bila lokasi efusi luas. Sesak napas terjadi pada saat
permulaan pleuritis disebabkan karena nyeri dadanya dan apabila jumlah
cairan efusinya meningkat, terutama kalau cairannya penuh
b. Rasa berat pada dada
c. Batuk pada umumnya non produktif dan ringan, terutama apabila disertai
dengan proses tuberkulosis di parunya, Batuk berdarah pada karsinoma
bronchus atau metastasis
d. Demam subfebris pada TBC, dernarn menggigil pada empiema
Dari pemeriksaan fisik didapatkan (pada sisi yang sakit)
a. Dinding dada lebih cembung dan gerakan tertinggal
b. Vokal fremitus menurun
c. Perkusi dull sampal flat
d. Bunyi pernafasan menruun sampai menghilang
16

e. Pendorongan mediastinum ke sisi yang sehat dapat dilihat atau diraba


pada treakhea
Nyeri dada pada pleuritis :
Simptom yang dominan adalah sakit yang tiba-tiba seperti ditikam dan
diperberat oleh bernafas dalam atau batuk. Pleura visceralis tidak sensitif, nyeri
dihasilkan dari pleura parietalis yang inflamasi dan mendapat persarafan dari
nervus intercostal. Nyeri biasanya dirasakan pada tempat-tempat terjadinya
pleuritis, tapi bisa menjalar ke daerah lain :
1. Iritasi dari diafragma pleura posterior dan perifer yang dipersarafi oleh G.
Nervuis intercostal terbawah bisa menyebabkan nyeri pada dada dan
abdomen.
2. Iritasi bagian central diafragma pleura yang dipersarafi nervus phrenicus
menyebabkan nyeri menjalar ke daerah leher dan bahu.
3.3.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologi
a. Rontgen thorak
Jumlah cairan minimal yang terdapat pada thoraks tegak adalah 250-
300ml. bila cairan kurang dari 250ml (100-200ml), dapat ditemukan
pengisian cairan di sudut costofrenikus posterior pada foto thorak lateral
tegak. Cairan yang kurang dari 100ml (50-100ml), dapat diperlihatkan
dengan posisi lateral dekubitus dan arah sinar horizontal dimana caran
akan berkumpul disisi samping bawah.
- Posisi tegak posteroanterior (PA)
Pada pemeriksaan foto thorak rutin tegak, cairan pleura tampak
berupa perselubungan homogeny menutupi struktur paru bawah yang
biasanya relative radioopak dengan permukaan atas cekung berjalan
dari lateral atas ke medial bawah. Karena cairan mengisi ruang
hemithorak sehingga jaringan paru akan terdorong kea rah sentral /
hilus, dan kadang-kadang mendorong mediastinum kearah
kontralateral.
17

Gambar 3.3 Efusi pleura sinistra. Sudut Costophrenicus yang tumpul


karena efusi pleura

Gambar 3.4 Efusi pleura dextra

Gambar 3.5 Efusi pleura sinistra massif. Tampak mediastinum terdorong


kontralateral
18

Gambar 3.6 Efusi pleura bilateral

Gambar 3.7 Loculated pleural effusion. Tampak berbatascukup tegas dan


biconvex. Sering disebabkan oleh empiema dengan perlekatan pleura

- Posisi lateral
Bila cairan kurang dari 250ml (100-200ml), dapat ditemukan
pengisian cairan di sudut costofrenikus posterior pada foto thorak
lateral tegak. Pada penelitian mengenai model roentgen patologi
Collins menunjukkan bahwa sedikitnya 25ml dari cairan pleura (
cairan saline yang disuntikkan ) pada radiogram dada lateral tegak
19

lurus dapat dideteksi sebagai akumulasi cairan subpulmonic di


posterior sulcus costophrenic, tetapi hanya dengan adanya
pneumoperitoneum yang terjadi sebelumnya.

Gambar 3.8 Gambaran efusi pleura pada foto posisi lateral


- Posisi Lateral Decubitus
Radiografi dada lateral decubitus digunakan selama bertahun-tahun
untuk mendiagnosis efusi pleura yang sedikit. Cairan yang kurang dari
100ml (50-100ml), dapat diperlihatkan dengan posisi lateral dekubitus
dan arah sinar horizontal dimana caran akan berkumpul disisi samping
bawah.

Gambar 3.9 Efusi pleura pada posisi right lateral decubitus (penumpukan
cairan yang ditunjukkan dengan panah biru).
20

Gambar 3.10 Efusi pleura pada posisi left lateral decubitus


b. Computed Tomography Scan
CT scan dada akan terlihat adanya perbedaan densitas cairan
dengan jaringan sekitarnya. Pada CT scan, efusi pleura bebas
diperlihatkan sebagai daerah berbentuk bulan sabit di bagian yang
tergantung dari hemithorax yang terkena. Permukaan efusi pleura
memiliki gambaran cekung ke atas karena tendensi recoil dari paru-paru.
Karena kebanyakan CT pemeriksaan dilakukan dalam posisi terlentang,
cairan mulai menumpuk di posterior sulkus kostofrenikus. Pada efusi
pleuran yang banyak, cairan meluas ke aspek apikal dan anterior dada dan
kadang-kadang ke fisura tersebut. Dalam posisi tengkurap atau lateral,
cairan bergeser ke aspek yang tergantung dari rongga pleura. Pergeseran
ini menegaskan sifat bebas dari efusi tersebut.

Gambar 3.11 CT Scan pada efusi pleura (kiri atas : foto rontgen thoraks PA)
21

Gambar 3.12 CT Scan thorak pada seorang pria 50-tahun dengan limfoma
non-Hodgkin dan efusi pleura yang ditunjukan tanda panah

Gambar 3.13 CT Scan thorax pada pria 50-tahun dengan limfoma non-Hodgkin
menunjukkan daerah tergantung dengan redaman yang sama dengan air dan
margin atas lengkung (E). Temuan khas dari efusi pleura. Perhatikan pergeseran
lokasi cairan pada gambar ini dibandingkan dengan radiografi dada
posteroanterior dan lateral. Limfadenopati mediastinum dapat dilihat di
mediastinum tengah dan posterior (panah)

c. Ultrasonografi
Penampilan khas dari efusi pleura merupakan lapisan anechoic
antara pleura visceral dan pleura parietal. Bentuk efusi dapat bervariasi
dengan respirasi dan posisi.
Para peneliti memperkenalkan metode pemeriksaan USG dengan
apa yang disebut sebagai “elbow position”. Pemeriksaan ini dimulai
dengan pasien diletakkan pada posisi lateral decubitus selama 5 menit (
serupa dengan radiografi dada posisi lateral decubitus) kemudian
22

pemeriksaan USG dilakukan dengan pasien bertumpu pada siku (gambar


12). Maneuver ini memungkinkan kita untuk mendeteksi efusi
subpulmonal yang sedikit, karena cairan cenderung akan terakumulasi
dalam pleura diaphragmatic pada posisi tegak lurus.

Gambar 3.14 Menunjukkan posisi siku dengan meletakaan transduser


selama pemeriksaan untuk melihat keadaan rongga pleura kanan.

Ultrasonografi pada pleura dapat menentukan adanya cairan


ronggapleura. Pada dekade terakhir ultrasonografi (USG) dari rongga
pleura menjadi metode utama untuk mendemonstrasikan adanya efusi
pleura yang sedikit. Kriteria USG untuk menentukan efusi pleura adalah :
setidaknya zona anechogenic memiliki ketebalan 3mm diantara pleura
parietal dan visceral dan atau perubahan ketebalan lapisan cairan antara
ekspirasi dan inspirasi, dan juga perbedaan letak posisi pasien. Karena
USG adalah metode utama maka sangatlah penting untuk melakukan
pengukuran sonografi dengan pemeriksaan tegak lurus terhadap dinding
dada.
23

Gambar 3.15 Sonogram pada pasien dengan kanker paru lobus kanan atas.
Gambar menunjukkan adanya akumulasi cairan selama inspirasi (setebal 6 mm;
berbentuk kurva,-gambar kiri) dimana gambar tersebut lebih jelas dibanding
selamaekspirasi ( setebal 11 mm ; berbentuk kurva-gambar kanan).

Gambar 3.16 Ultrasonogram dari kiri dada bagian bawah pada pasien laki-
laki dengan penyebaran lymphangitic dari adenokarsinoma. Ini studi sagital
dan pemeriksaan dilakukan dengan pasien duduk. Cairan Echogenic (E)
dapat dilihat pada hemithorax kiri. Perhatikan diafragma lengkung
Echogenic (panah). The pleura cairan positif untuk sel-sel ganas (efusi
pleura ganas)
24

Gambar 3.17 Ultrasonogram dari kiri dada bagian bawah pada wanita 47
tahun dengan efusi pleura metastasis. Ini studi sagital dan pemeriksaan
dilakukan dengan pasien duduk. Cairan anechoic (E) dapat dilihat pada
hemithorax kiri. Perhatikan diafragma lengkung Echogenic (panah)

Gambaran anechoic terutama diamati pada transudat. Dalam


sebuah penelitian terhadap 320 pasien dengan efusi, transudat memberikan
gambaran anechoic, sedangkan efusi anechoic dapat transudat atau
eksudat. Adanya penebalan pleura dan lesi parenkim di paru-paru
menunjukkan adanya eksudat. Cairan pleura yang memberikan gambaran
echoic dapat dilihat pada efusi hemoragik atau empiema.
Doppler berwarna ultrasonografi dapat membantu dalam
membedakan efusi kecil dari penebalan pleura dengan menunjukkan
tanda-warna cairan (yaitu, adanya sinyal warna dalam pengumpulan
cairan).
d. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat membantu dalam mengevaluasi etiologi efusi pleura.
Nodularity dan / atau penyimpangan dari kontur pleura, penebalan pleura
melingkar, keterlibatan pleura mediastinal, dan infiltrasi dari dinding dada
dan / atau diafragma sugestif penyebab ganas kedua pada CT scan dan
MRI.
25

Gambar 3.18 Seorang neonatus 2-bulan-tua disajikan di gawat


darurat dalam kesulitan jantung dan respiratory distress. Resusitasi
tidak berhasil. Coronal T2-W MRI menunjukkan hematopericard
(panah terbuka), hematothorax (panah) dan efusi pleura (kepala
panah) (ketebalan irisan: 1 mm, TR: 4000, TE: 80, FA: 90 °). Ada
vena paru abberant mengalir ke ventrikel kiri (buka panah). Perut
menunjukkan asites (tanda bintang)

3.3.7 Diagnosis Banding

Air Voume paru Organ Opasitas ICS Radiologis


bronkogram Mediastinum
Pneumonia + Tetap Tetap nonhomogen Normal

atelektasis + Berkurang menarik Homogeny menyem


(atelectasis pit
total)
26

TB - Tetap + Non normal


homogeny

Edem pulmo - Tetap tetap non homogeny normal

3.3.8 Penatalaksanaan
a. Torakosentesis.
Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis,
aspirasi juga dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik. Torakosentesis
dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau
diletakkan diatas bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat
dilakukan pada penderita dalam posisi tidur terlentang.
2. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di
daerah sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media
di bawah batas suara sonor dan redup.
3. Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan
jarum berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan aspirasi biasanya
disebabkan karena penusukan jarum terlampaui rendah sehingga
mengenai diahfrahma atau terlalu dalam sehingga mengenai jaringan
paru, atau jarum tidak mencapai rongga pleura oleh karena jaringan
subkutis atau pleura parietalis tebal.
27

Gambar 3.19 Metode torakosentesis


4. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada
setiap aspirasi. Untuk mencegah terjadinya edema paru akibat
pengembangan paru secara mendadak. Selain itu pengambilan cairan
dalam jumlah besar secara mendadak menimbulkan reflex vagal, berupa
batuk, bradikardi, aritmi yang berat, dan hipotensi.
b. Pemasangan WSD
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks
dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat
dan aman. Pemasangan WSD dilakukan sebagai berikut:
1. Tentukan tempat pemasangan, biasanya pada sela iga ke IV dan V, di linea
aksillaris anterior dan media.
2. Lakukan analgesia / anestesia pada tempat yang telah ditentukan.
3. Buat insisi kulit dan sub kutis searah dengan pinggir iga, perdalam sampai
muskulus interkostalis.
4. Masukkan Kelly klemp melalui pleura parietalis kemudian dilebarkan.
Masukkan jari melalui lubang tersebut untuk memastikan sudah sampai
rongga pleura / menyentuh paru.
5. Masukkan selang ( chest tube ) melalui lubang yang telah dibuat dengan
menggunakan Kelly forceps
6. Selang ( Chest tube ) yang telah terpasang, difiksasi dengan jahitan ke
dinding dada
7. Selang ( chest tube ) disambung ke WSD yang telah disiapkan.
8. Foto X- rays dada untuk menilai posisi selang yang telah dimasukkan.
28

Gambar 3.20 Pemasangan jarum WSD

WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi
pada selang, kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru
mengembang. Untuk memastikan dilakukan foto toraks. Selang torak
dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan jaringan paru telah
mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi maksimum.
c. Pleurodesis.
Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis,
merupakan penanganan terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang
digunakan adalah sitostatika seperti tiotepa, bleomisin, nitrogen mustard, 5-
fluorourasil, adramisin, dan doksorubisin. Setelah cairan efusi dapat
dikeluarkan sbanyak-banyaknya, obat sitostatika (misal; tiotepa 45 mg)
diberikan selang waktu 710 hari; pemberian obat tidak perlu pemasangan
WSD. Setelah 13 hari, jika berhasil, akan terjadi pleuritis obliteratif yang
menghilangkan rongga pleura, sehingga mencegah penimbunan kembali
cairan dalam rongga tersebut.
Obat lain adalah tetrasiklin. Pada pemberian obat ini WSD harus
dipasang dan paru dalam keadaan mengembang. Tetrasiklin 500 mg dilarutkan
dalam 3050 ml larutan garram faal, kemudian dimasukkan ke dalam rongga
pleura melalui selang toraks, ditambah dengan larutan garam faal 1030 ml
larutan garam faal untuk membilas selang serta 10 ml lidokain 2% untuk
29

mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan obat ini. Analgetik narkotik diberikan
11,5 jam sebelum pemberian tetrasiklin juga berguna mengurangi rasa nyeri
tersebut. Selang toraks diklem selama 6 jam dan posisi penderita diubah-ubah
agar penyebaran tetrasiklin merata di seluruh bagian rongga pleura. Apabila
dalam waktu 24 jam - 48 jam cairan tidak keluar, selang toreaks dapat dicabut.
3.3.9 Komplikasi
1. Infeksi.
Pengumpulan cairan dalam ruang pleura dapat mengakibatkan
infeksi (empiema primer), dan efusi pleura dapat menjadi terinfeksi setelah
tindakan torasentesis {empiema sekunader). Empiema primer dan
sekunder harus didrainase dan diterapi dengan antibiotika untuk mencegah
reaksi fibrotik. Antibiotika awal dipilih gambaran klinik. Pilihan
antibiotika dapat diubah setelah hasil biakan diketahui (Price, 2005).

2. Fibrosis
Fibrosis pada sebagian paru-paru dapat mengurangi ventilasi
dengan membatasi pengembangan paru. Pleura yang fibrotik juga dapat
menjadi sumber infeksi kronis, menyebabkan sedikit demam. Dekortikasi-
reseksi pleura lewat pembedahan-mungkin diperlukan untuk membasmi
infeksi dan mengembalikan fungsi paru-paru. Dekortikasi paling baik
dilakukan dalam 6 minggu setelah diagnosis empiema ditegakkan, karena
selama jangka waktu ini lapisan pleura masih belum terorganisasi dengan
baik (fibrotik) sehingga pengangkatannya lebih mudah (Price, 2005).

3.3.10 Prognosis

Tergantung penyakit yang mendasari, pada kasus tertentu, dapat sembuh

sendiri setelah diberi pengobatan adekuat terhadap penyakit dasarnya.


30

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang Rujukan dari Klinik Az-Zahra dengan DSS (Febris hari ke
5) panas sejak 5 hari yll. Awalnya pasien mengeluhkan batuk dan pilek yang
disertai demam yang panas terus menerus ( Kamis jam 9 malam ). Lalu pasien di
bawa ke bidan desa lalu diberikan obat sirup, tetapi keluhan belum membaik, lalu
pasien dibawa ke klinik panas hari ke 2 ( sabtu jam 3 dini hari ), lalu dirawat
disana sampai hari ini. Keluarga pasien juga mengatakan bahwa pasien BAB
terakhir 6 hari yll sebelum pasien sakit, cair-, hitam-. BAK hanya sedikit.
Mimisan -, bercak merah di tubuh -. Muntah (+) 4x pada hari pertama panas, mual
(+). Mulai kemarin pasien mengeluhkan telinganya sakit dan keluar darah dari
telinga hari ini 1x sedikit. Dari pemeriksaan fisik didapatkan akral dingin dan
untuk penegakkan dignosis dan menyingkirkan diferent diagnostic perlu
dilakukan pemeriksaan lab, foto thorak. Dari hasil lab didapatkan leukositosis,
trombositopeni ini dikarenakan ada infeksi virus, dan pada pemeriksaan foto
thorak AP didapatkan efusi pleura akibat kebocoran plasma.

Thorax AP

Hasil Pemeriksaan :

Cor : Besar dan bentuk normal

Pulmo : 1. Nampak densitas paru kanan


lebih tinggi dibanding kiri

2. Nampak perselubungan pada


hemithorax kanan

Kedua sinus phrenicocostalis tajam, tulang


dan soft tissue tak nampak kelainan

Kesimpulan : Effusi Pleura kanan


31

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang : Lab


dan foto thorak pasien ini di diagnosis DHF grade III dengan efusi pleura,
sebagaimana telah di jelaskan dengan teori DHF menurut WHO diantaranya :
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif;
petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia ( jumlah trombosit <100.000)
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sebagai berikut :
 Peningkatan (jumlah trombosit 20% dibandingkan standar sesuai umur
dan jenis kelamin.
 Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
 Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.
32

BAB V
KESIMPULAN

Pemeriksaan radiologi toraks merupakan pemeriksaan yang sangat penting.


Kemajuan pesat selama dasawarsa terkhir dalam teknik pemeriksaan radiologik
toraks dan pengetahuan untuk menilai suatu keharusan rutin. Pemeriksaan paru
tanpa pemeriksaan roentgen saat ini dianggap tidak lengkap. Suatu penyakit
belum dapat disingkirkan dengan pasti sebelum dilakukan pemeriksaan
radiologik. Koordinasi antara pemeriksaan klinis, laboratorium dan radiologi akan
dapat menunjang penegakan diagnosis yang tepat.
Pada pemeriksaan foto thoraks AP didapatkan : Tampak densitas paru
kanan lebih tinggi dibanding kiri dan tampak perselubungan pada hemithorax
kanan akibat cairan yaitu efusi pleura.
Gambaran khas pada DHF adalah demam 2-7 hari, didapatkan 1 manifestasi
perdarahan, trombositopenia, dan 1 tanda kebocoran plasma yaitu adanya efusi
pleura.

DAFTAR PUSTAKA
33

Firdaus, Denny. 2012. Efusi Pleura. RSUD Dr.H.Abdul Moeloek. Bandar


Lampung.
Halim, Hadi. 2007. Penyakit Penyakit Pleura. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II. Balai Penerbit FK UI Jakarta.
Pradip R. Patel. 2007. Lecture Radiologi. Edisi Kedua. PT. Gelora Aksara
Pratama. Jakarta
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta EGC.
Sjahriar Rasad. 2005. Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. FK UI. Jakarta

Vous aimerez peut-être aussi