Vous êtes sur la page 1sur 9

Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 7, No.

1, Maret 2012

METODE ABA (APPLIED BEHAVIOUR ANALYSIS) : KEMAMPUAN BERSOSIALISASI


TERHADAP KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL ANAK AUTIS

Ratna Sari Hardiani 1, Sisiliana Rahmawati 2


1,2 Program Studi Ilmu Keperawatan

Universitas Jember

ABSTRACT
Autism is a complex development disorder attributed with communication, social interaction,
and imagination activity. Disturbance of social interaction on autism could affect learning and
behaviour aspects. The study aimed to analyze the influence of applied behaviour analysis
method: social ability on autism children’s social interaction ability. The study used pre
experimental design with one group pretest posttest without control group design. The sample
was 15 children, with using total sampling. Data was analyzed with Wilcoxon Match Pair Test.
The result showed majority autism children (66,7%) had a less ability of social interaction
before intervention (pre test), and majority autism children (53,3%) had enough ability of social
interaction after intervention (post test). Data analyzed showed that P value was 0,008 (0,008
< α=0,05). It can be concluded that there is an influence of applied behaviour analysis method:
social ability on autism children’s social interaction ability, it is suggested for the family with an
autism child to give applied behaviour analysis method: social ability to exercise the autism
children’s social interaction ability.

Key words: Applied Behaviour Analysis Method: Social Ability, Social Interaction Ability,
Autism

ABSTRAK
Anak penyandang autis mempunyai gangguan dalam bidang interaksi sosial, yaitu tidak
tertarik untuk bermain bersama teman, suka menyendiri, sedikit kontak mata. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh metode ABA : kemampuan bersosialisasi
terhadap kemampuan interaksi sosial. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian pre
eksperimental dengan rancangan one group pretest posttest. Pada penelitian ini populasi yang
digunakan oleh peneliti adalah seluruh anak autis di SLB TPA Kabupaten Jember yang
berjumlah 18 anak, yang dipilih dengan teknik total sampling. Sebelum perlakuan, mayoritas
responden memiliki kemampuan interaksi sosial kurang, yaitu sebanyak 66,7%. Setelah
perlakuan, kemampuan interaksi sosial responden yang kurang hanya 33,3%. Hasil penelitian
menunjukkan ada pengaruh secara bermakna metode ABA : kemampuan bersosialisasi
terhadap kemampuan interaksi sosial anak autis dengan nilai p value 0,008. Orangtua
diharapkan dapat meningkatkan perannya sebagai pemberi stimulasi secara dini.

Kata kunci : anak autis, sosialisasi, interaksi social, ABA

1
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 7, No.1, Maret 2012

PENDAHULUAN
Anak memerlukan perhatian khusus penduduk sebesar 1,14%, sehingga
untuk optimalisasi tumbuh kembang. jumlah penyandang autis di Indonesia
Tumbuh kembang anak dapat dipengaruhi mencapai 2,4 juta orang (Badan Pusat
dua faktor utama yakni faktor genetik dan Statistik, 2010).
faktor lingkungan (Wong, 2008). Faktor Anak penyandang autis mempunyai
lingkungan secara garis besar dibagi gangguan dalam bidang interaksi sosial,
menjadi faktor lingkungan prenatal dan yaitu tidak tertarik untuk bermain bersama
faktor lingkungan postnatal. Faktor teman, lebih suka menyendiri, tidak ada
lingkungan prenatal yang berpengaruh atau sedikit kontak mata atau menghindar
terhadap tumbuh kembang anak yakni gizi untuk bertatapan, senang menarik tangan
ibu pada saat hamil. Gizi ibu yang kurang orang lain untuk melakukan apa yang
dapat menghambat pertumbuhan otak diinginkan (Ayres, 1998).
janin (Soetjiningsih, 2002). Adanya gangguan dalam interaksi
Tumbuh kembang otak yang kurang sosial pada anak autis dapat
dalam struktur dan fungsi otak dapat mempengaruhi aspek dalam belajar dan
menyebabkan masalah perkembangan perilaku (Handojo, 2009). Apabila kelainan
pada anak diantaranya perkembangan ini berlanjut sampai dewasa, maka akan
mental, misalnya retardasi mental, menimbulkan dampak yang fatal, misalnya
Attention Deficit Hyperactive Disorder tidak dapat meminta bantuan pada orang
(ADHD), autis dan lain-lain (Siegel, 1996 lain karena adanya keterbatasan dalam
dalam Yuwono, 2009). The Autism Society kemampuan interaksi sosial, tidak memiliki
of America (2009) mendefinisikan autis kesempatan untuk berkarya atau mencari
sebagai gangguan perkembangan yang pekerjaan, sehingga pada akhirnya tidak
sangat kompleks dan secara klinis ditandai akan mampu untuk memenuhi kebutuhan
oleh kualitas yang kurang dalam hidup ataupun kesehatannya (Widyawati,
kemampuan interaksi sosial, emosional, 2002).
komunikasi timbal balik, minat yang Laporan penelitian yang dilakukan
terbatas, perilaku tidak wajar, disertai oleh Princeton Child Development Institute
gerakan-gerakan berulang tanpa tujuan. pada tahun 1985 yang dikutip oleh Mourice
Hasil survei dari beberapa negara (1996) menegaskan bahwa dengan
menunjukkan bahwa 2-4 anak per 10.000 melakukan penanganan dini sebelum usia
anak berpeluang menyandang autis (Sari, 5 tahun, 40%-60% anak autis dapat
2009). Prevalensi atau peluang timbulnya diikutkan dalam sekolah reguler (Yuwono,
penyakit autis tinggi. Prevalensi autis di 2009). Metode untuk intervensi dini yang
dunia saat ini mencapai 15-20 kasus per dapat diberikan pada anak autis yang
10.000 anak atau 0,15-0,20%. Angka mengalami gangguan dalam interaksi
kelahiran di Indonesia enam juta per sosial salah satunya dengan metode ABA
tahun, maka jumlah penyandang autis di (Applied Behaviour Analysis) (Yuwono,
Indonesia bertambah 0,15% atau 6.900 2009). Metode ABA adalah metode tata
anak pertahun (Mashabi dan Tajuddin, laksana perilaku menggunakan metode
2009). Jumlah penduduk Indonesia lebih mengajar tanpa kekerasan (Handojo,
dari 237,5 juta dengan laju pertumbuhan 2009).
2
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 7, No.1, Maret 2012

Metode ABA, khususnya untuk populasi yang digunakan oleh peneliti


kemampuan bersosialisasi dapat adalah seluruh anak autis di SLB TPA
membantu anak autis mempelajari Kabupaten Jember yang berjumlah 18
keterampilan sosial dasar seperti anak, yang dipilih dengan teknik total
memperhatikan, mempertahankan kontak sampling. Sampel penelitian ini berjumlah
mata, dan dapat membantu mengontrol 15 anak karena ada anak yang pindah
masalah perilaku (Handojo, 2009). Dasar sekolah dan masuk dalam criteria eksklusi.
dari metode ini menggunakan pendekatan Lokasi penelitian adalah di SLB TPA
teori behavioral, yaitu pada tahap awal Kabupaten Jember. Penelitian dilakukan
menekankan kepatuhan, keterampilan pada bulan Mei 2010. Sumber data
anak dalam meniru, dan membangun didapat dari data primer dan data
kontak mata. Konsep kepatuhan ini sangat sekunder. Data primer didapat dengan
penting agar mereka dapat mengubah lembar observasi kemampuan interaksi
perilaku dan dapat melakukan interaksi sosial anak autis, sedangkan data
sosial (Yuwono, 2009). sekunder didapat dari SLB TPA Kabupaten
Data Biro Pusat Statistik (BPS) Jember.
tahun 2010 menyebutkan bahwa Propinsi
Jawa Timur adalah salah satu propinsi di HASIL DAN BAHASAN
Indonesia yang merupakan wilayah Usia responden adalah kelompok
dengan penderita autis yang cukup besar. usia yang sama yaitu usia sekolah. Gejala
Studi pendahuluan yang dilaksanakan di autis sudah mulai dapat dilihat pada anak
Kabupaten Jember, diketahui bahwa SLB sebelum usia 3 tahun, yakni mencakup
TPA Kabupaten Jember merupakan interaksi sosial, komunikasi, perilaku dan
sekolah luar biasa dengan jumlah anak cara bermain yang tidak seperti anak
autis sebanyak 18 orang. normal lainnya (Rahmayanti, 2008). Data
Hasil wawancara dengan guru SLB Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas
TPA Kabupaten Jember menyatakan responden memiliki jenis kelamin laki-laki
bahwa 90% siswa autis mengalami yaitu sebanyak 80% (12 orang) dan rata-
gangguan dalam melakukan interaksi rata umur responden adalah 8 sampai 10
sosial. Metode ABA: kemampuan tahun yaitu sebanyak 66,7% (10 orang).
bersosialisasi belum diterapkan di SLB Data karakteristik responden
TPA Kabupaten Jember. Berdasarkan mengenai jenis kelamin menunjukkan
uraian diatas peneliti tertarik untuk bahwa mayoritas responden memiliki jenis
melakukan suatu penelitian mengenai kelamin laki-laki. Anak berpeluang
pengaruh metode ABA: kemampuan menyandang autis dengan rasio 4:1 untuk
bersosialisasi terhadap kemampuan anak laki-laki dan perempuan. Hal tersebut
interaksi sosial pada anak autis di SLB sesuai dengan yang dinyatakan Sari
TPA Kabupaten Jember. (2009), bahwa anak laki-laki lebih rentan
menyandang sindrom autis dibandingkan
METODE PENELITIAN anak perempuan. Anak laki-laki memiliki
Jenis penelitian ini adalah penelitian hormon testosteron yang mempunyai efek
pre eksperimental dengan rancangan one yang bertolak belakang dengan hormon
group pretest posttest. Pada penelitian ini estrogen pada perempuan, hormon
3
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 7, No.1, Maret 2012

testosteron menghambat kerja RORA otak, sedangkan estrogen meningkatkan


(retinoic acid related orphan receptor kinerja RORA (Hariyadi, 2009).
alpha) yang berfungsi mengatur fungsi

Tabel 1 Karakteristik Umum Anak Autis di SLB TPA Kabupaten Jember


Data umum Jumlah (orang) Persentase (%)
a. Jenis kelamin
1. Laki-laki 12 80
2. Perempuan 3 20
b. Umur (tahun)
1. 5-7 2 13,3
2. 8-10 10 66,7
3. 11-13 3 20,0
Total 15 100
Sumber: Data Primer, Mei 2010

Data Tabel 2 menunjukkan bahwa meningkat menjadi baik sebanyak 13,3%


sebelum pemberian intervensi metode (2 orang), cukup sebanyak 53,3% (8
ABA kemampuan bersosialisasi, mayoritas orang), dan kurang sebanyak 33,3% (5
responden memiliki kemampuan interaksi orang). Hasil uji Wilcoxon Match Pair Test
sosial yang kurang, yaitu sebanyak 66,7% pada CI 95% dan α 5% menunjukkan p
(10 orang), dan tidak ada responden yang value = 0,008 yang berarti p value ≤ α,
menunjukkan kemampuan interaksi sosial maka dapat dinyatakan ada pengaruh
baik. Setelah pemberian intervensi metode metode ABA kemampuan bersosialisasi
ABA kemampuan bersosialisasi, terlihat terhadap kemampuan interaksi sosial anak
kemampuan interaksi sosial responden autis di SLB TPA Kabupaten Jember.

Tabel 2 Perbedaan kemampuan interaksi sosial anak autis sebelum dan setelah
pemberian metode ABA di SLB TPA Kabupaten Jember

Kemampuan Pre test Post test


interaksi sosial F % F %
a. Kurang 10 66,7 5 33,3
b. Cukup 5 33,3 8 53,3
c. Baik - - 2 13,3
Total 15 100 15 100
Hasil Wilcoxon Match Pair Test P = 0,008
Sumber: Data Primer, Mei 2010

Peneliti menganalisa bahwa pada dengan jelas, terutama dalam gangguan


usia sekolah tersebut kelainan yang interaksi sosial. Data pretest juga
dialami oleh anak autis dapat terlihat menunjukkan pada berbagai tingkat usia

4
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 7, No.1, Maret 2012

tersebut mayoritas anak autis mempunyai diberikan oleh keluarga atau orang tua
kemampuan interaksi sosial dalam sebagai ruang lingkup yang dominan
kategori kurang. dalam kehidupan anak memiliki dampak
Hasil penelitian juga menunjukkan yang besar terhadap kemampuan interaksi
bahwa hampir seluruh responden memiliki sosial (Ratnadewi, 2010).
kemampuan interaksi sosial dalam Komunikasi yang dilakukan anak
kategori kurang sebelum perlakuan. Data autis sangat terbatas, karena pada
pretest menunjukkan responden dengan umumnya anak autis sering menggunakan
kemampuan interaksi sosial kategori bahasa tubuh untuk melakukan
kurang sebanyak 10 responden (66,7%). komunikasi. Kurangnya komunikasi pada
Hasil observasi menunjukkan bahwa anak anak autis menyebabkan anak semakin
yang memiliki kemampuan interaksi sosial membiasakan hidup menyendiri dan tidak
yang kurang didominasi oleh anak yang mempunyai rasa ketertarikan kepada
kurang aktif selama di kelas. Anak orang lain (Peeters, 2004 dalam Fitriyani,
cenderung masih belum bisa dikendalikan 2007).
secara emosional dan sangat susah untuk Hasil penelitian pada Tabel 2 juga
menerima perintah. Anak cenderung pasif, menunjukkan bahwa kemampuan interaksi
berdiam diri dan hanya melakukan hal sosial anak autis sebelum pemberian
yang dianggapnya menarik. metode ABA: kemampuan bersosialisasi,
Pernyataan diatas sesuai dengan minoritas responden masuk dalam kategori
teori yang diungkapkan oleh Ayres (1998) cukup dan tidak ada responden yang
bahwa anak penyandang autis mempunyai masuk dalam kategori kemampuan
gangguan dalam bidang interaksi sosial, interaksi sosial baik. Data pretest hasil
yaitu tidak tertarik untuk bermain bersama penelitian menunjukkan responden dengan
teman, lebih suka menyendiri, tidak ada kemampuan interaksi sosial kategori cukup
atau sedikit kontak mata atau menghindar sebanyak 5 responden (33,3%). Hasil
untuk bertatapan, senang menarik tangan observasi menunjukkan bahwa anak yang
orang lain untuk melakukan apa yang memiliki kemampuan interaksi sosial yang
diinginkan. Anak autis juga menunjukkan cukup adalah responden yang memiliki
perilaku menjauhkan diri dan acuh tak kemampuan bahasa yang cukup dengan
acuh terhadap orang lain (Endi, 2003). mayoritas umur 10 tahun.
Interaksi sosial merupakan kesulitan yang Ginanjar (2007) menyatakan bahwa
nyata bagi anak autis untuk melakukan sejalan dengan perkembangan usia,
hubungan sosial dengan lingkungannya. kondisi sensorik pada anak autis biasanya
Gangguan yang terjadi pada anak autis membaik. Perkembangan bahasa yang
dapat menghalangi mereka untuk lebih baik membuat mereka lebih tertarik
mempunyai kemampuan bersosialisasi untuk berkomunikasi dengan orang lain.
atau melakukan hubungan sosial Lingkungan juga dapat mempengaruhi
(Handojo, 2009). kemampuan interaksi sosial anak. Hal
Kemampuan interaksi sosial yang tersebut sesuai dengan yang dinyatakan
kurang dapat juga terjadi karena oleh Potter dan Perry (2005) bahwa
kurangnya motivasi dan stimulasi selama kondisi lingkungan sekitar tidak
anak berada dirumah. Stimulasi yang menentukan, tetapi mampu mempengaruhi
5
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 7, No.1, Maret 2012

dan membatasi proses sosialisasi Hasil observasi menunjukkan bahwa


seseorang. Hasil observasi menunjukkan responden yang memiliki kemampuan
bahwa lingkungan di sekolah cukup interaksi sosial dalam kategori baik dan
nyaman, sehingga dapat mendukung anak cukup mengalami peningkatan dalam
untuk bisa berinteraksi dan bersosialisasi. kemampuan untuk dapat kooperatif, tidak
Kemampuan interaksi sosial anak menghindari kontak dengan orang lain,
autis setelah pemberian metode ABA: gerak-gerik lebih tertuju, dapat berbagi dan
kemampuan bersosialisasi mengalami bermain dengan teman sebaya. Peneliti
peningkatan dan mayoritas berada dalam menyimpulkan bahwa metode ABA:
kategori cukup dan telah ada responden kemampuan bersosialisasi berpengaruh
dengan kemampuan interaksi sosial dalam bagi perkembangan kemampuan interaksi
kategori baik yang sebelumnya tidak ada. sosial anak. Metode ABA, khususnya
Data posttest menunjukkan bahwa kemampuan bersosialisasi ternyata dapat
responden dengan kemampuan interaksi membantu para anak autis dalam
sosial baik sebanyak 2 responden (13,3%) mempelajari keterampilan sosial dasar
dan dalam kategori cukup sebanyak 8 seperti memperhatikan, mempertahankan
responden (53,3%). kontak mata, dan dapat membantu
Hal tersebut sessuai dengan mengontrol masalah perilaku (Handojo,
pendapat Kingley (2006, dalam Handojo, 2009).
2009) yang menyatakan bahwa metode Terdapat responden yang tidak
ABA ini representatif bagi penanggulangan mengalami peningkatan saat posttest yaitu
anak berkebutuhan khusus karena tetap memiliki kemampuan interaksi sosial
memiliki prinsip yang terukur, terarah dan dalam kategori kurang. Responden yang
sistematis, sehingga dapat meningkatkan memiliki kemampuan interaksi sosial
keterampilan motorik halus, maupun kasar, dalam kategori kurang sebanyak 5 orang
komunikasi, dan interaksi sosial. responden atau sekitar 33,3%. Hasil
Data posttest juga menunjukkan observasi menunjukkan bahwa responden
bahwa responden yang memiliki dengan kemampuan interaksi sosial dalam
kemampuan interaksi sosial dalam kategori kurang ini pada saat perlakuan
kategori baik dan cukup adalah mayoritas terlihat kurang fokus, suka menyendiri, dan
responden yang memiliki jenis kelamin lebih memilih untuk bermain sendiri
laki-laki. Hal tersebut sesuai dengan yang sehingga peneliti perlu membujuk dan
dinyatakan oleh Sari (2009), bahwa anak mengembalikan konsentrasi dan fokus
laki-laki lebih rentan menyandang sindrom pandangan anak.
autis dibandingkan anak perempuan. Interaksi sosial yang terjalin antar
Namun demikian anak perempuan dapat teman sangat jarang karena anak dengan
menunjukkan gejala yang lebih berat. kemampuan interaksi sosial kurang juga
Peneliti menganalisa bahwa meskipun dipengaruhi oleh gangguan komunikasi
responden laki-laki lebih rentan anak. Responden belum mampu memulai
menyandang autis, namun responden laki- pembicaraan dan memperhatikan teman
laki memiliki kemampuan interaksi sosial atau guru saat berbicara. Responden
yang lebih baik daripada responden dengan kemampuan interaksi sosial dalam
perempuan. kategori kurang berada pada rentang umur
6
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 7, No.1, Maret 2012

5-7 tahun. Hal tersebut sesuai dengan Hasil penelitian ini menunjukkan
hasil penelitian Vygotsky dalam Jamaris adanya peningkatan kemampuan interaksi
(2006), yang menyatakan bahwa anak sosial yaitu mayoritas responden memiliki
autis pada usia 2-7 tahun berada pada the kemampuan interaksi sosial dalam
own agenda stage, pada tahapan ini anak kategori cukup setelah diberikan perlakuan
cenderung bermain sendiri dan tidak selama enam kali. Perbedaan kemampuan
tertarik pada orang-orang disekitarnya. terlihat karena kemampuan interaksi sosial
Anak belum memahami bahwa dengan anak autis sebelum diberikan perlakuan
berkomunikasi dapat mempengaruhi orang mayoritas memiliki kemampuan interaksi
lain. interaksi sosial tetap dirasakan sulit sosial dalam kategori kurang.
dan membingungkan. Keterbatasan utama Selama diberikan enam kali
yang dirasakan adalah tidak adanya perlakuan berupa metode ABA:
insting sosial, sehingga mereka kesulitan kemampuan bersosialisasi, perubahan
dalam memahami aturan-aturan sosial mulai terlihat pada pemberian perlakuan
yang kompleks dan seringkali berubah. yang kelima. Responden lebih senang
Hasil uji statistik menggunakan uji bermain bersama-sama dengan teman,
wilcoxon match pair test didapatkan nilai p lebih kooperatif, gerak-gerik lebih tertuju.
value sebesar 0,008, apabila p value ≤ Hasil yang diperoleh setelah perlakuan
0,05 maka dikatakan H0 ditolak sehingga tersebut menunjukkan bahwa metode
dari hasil statistik diatas dapat disimpulkan ABA: kemampuan bersosialisasi mampu
bahwa ada pengaruh metode ABA: membantu anak autis dalam mempelajari
kemampuan bersosialisasi terhadap keterampilan sosial dasar seperti
kemampuan interaksi sosial anak autis di memperhatikan, mempertahankan kontak
SLB TPA Kabupaten Jember karena mata, dan dapat membantu mengontrol
memiliki nilai yang sangat bermakna. masalah perilaku.
Metode ABA berupa kemampuan Hal-hal yang menjadi prinsip dalam
bersosialisasi adalah metode tata laksana pelaksanaan metode ABA: kemampuan
perilaku yang memiliki prinsip terukur, bersosialisasi adalah anak berlatih
terarah, dan sistematis dalam melatih berkomunikasi, berbicara, bahasa, dan
kemampuan interaksi sosial (Kingley, melakukan interaksi sosial, namun yang
2006, dalam Handojo, 2009). Dasar dari pertama kali perlu diterapkan adalah
metode ini adalah menggunakan latihan kepatuhan dan kontak mata.
pendekatan teori behavioral, pada tahap Konsep kepatuhan ini sangat penting agar
intervensi dini menekankan pada mereka dapat mengubah perilaku sendiri
kepatuhan, keterampilan anak dalam menjadi perilaku yang lazim dan dapat
meniru, dan membangun kontak mata melakukan interaksi sosial (Yuwono,
(Yuwono, 2009). Metode ABA yang 2009). Sebelum perlakuan metode ABA:
digunakan pada penelitian ini terdiri dari 10 kemampuan bersosialisasi dimulai,
materi. Metode ini dapat membantu dalam responden dibentuk menjadi satu
mempelajari keterampilan sosial dasar kelompok, dimana tiap kelompok terdiri
seperti memperhatikan, mempertahankan dari 4-5 responden.
kontak mata, dan dapat mengontrol Materi pertama yang diajarkan pada
masalah perilaku (Handojo, 2009). metode ini adalah imitasi aksi dari teman.
7
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 7, No.1, Maret 2012

Bentuk imitasi tersebut dapat berupa bersosialisasi. Kemampuan interaksi sosial


gerakan, suara atau keduanya. Materi ini anak autis meningkat dalam kategori
diberikan untuk mulai melatih anak untuk cukup, setelah diberikan metode ABA:
dapat mempertahankan kontak mata dan kemampuan bersosialisasi. Terdapat
lebih perhatian. Materi yang memiliki pengaruh yang sangat bermakna dari
tujuan hampir sama yaitu meng- metode ABA: kemampuan bersosialisasi
instruksikan responden untuk mengikuti terhadap kemampuan interaksi sosial anak
arah dari teman. autis SLB TPA Kabupaten Jember, hal
Responden dilatih agar gerak- tersebut dibuktikan dengan p value (0,008)
geriknya lebih tertuju. Materi selanjutnya < α (0,05).
adalah menjawab pertanyaan teman. Hal Hasil penelitian ini memberikan
tersebut melatih responden untuk tidak rekomendasi perlunya dilakukan penelitian
mengabaikan dan lebih perhatian pada lanjutan untuk mengetahui efektifitas
apa yang dikatakan orang lain. Materi yang metode ABA: kemampuan bersosialisasi
paling membuat responden merasa terhadap kemampuan interaksi sosial anak
senang untuk melakukannya adalah ketika autis dengan sampel yang lebih besar,
bermain. Responden terlihat begitu jenis dan rancangan penelitian yang
tertarik. berbeda. Intervensi lain seperti terapi
Permainan ini mengajarkan anak integrasi perlu diteliti efektifitasnya
bisa bermain dengan teman sebaya, terhadap kemampuan interaksi sosial anak
merespon ajakan dan mengajak teman autis. Masyarakat dan para orangtua
untuk bermain serta menjelaskan sesuatu diharapkan dapat meningkatkan perannya
dan mengomentari teman saat bermain. sebagai pendamping dan pemberi
Fungsi utama bermain yang terdapat stimulasi secara dini dan maksimal, agar
dalam materi metode ABA: kemampuan dapat mengoptimalkan perkembangan
bersosialisasi salah satunya yaitu anak autis khususnya pada kemampuan
perkembangan sosial ditandai dengan interaksi sosial.
kemampuan berinteraksi dengan
lingkungannya (Soetjiningsih, 2002). DAFTAR PUSTAKA
Materi terakhir yang diajarkan Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur
adalah meminta bantuan dari teman dan Penelitian: Suatu Pendekatan
menawarkan bantuan kepada teman. Hal Praktik. Edisi Revisi. Cetakan 14.
tersebut mengajarkan anak untuk dapat Jakarta: Rineka Cipta.
berbagi dan mengalah. Materi dalam Astuti, Erna Tri. 2009. Kemampuan
metode ini yang paling susah untuk Bersosialisasi Pada Anak Usia
dilakukan oleh responden adalah ketika Prasekolah Ditinjau Dari Jenis
responden diinstruksikan peneliti untuk Pendidikan. Skripsi. Surakarta:
menjelaskan sesuatu kepada teman. Fakultas psikologi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
SIMPULAN DAN SARAN Azwar, Saifuddin. 2003. Penyusunan
Kemampuan interaksi social Skala Psikologi. Yogyakarta:
sebagian besar anak autis kurang sebelum Pustaka Pelajar.
diberikan metode ABA: kemampuan
8
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 7, No.1, Maret 2012

Danuatmaja, Bonny. (2003). Terapi Anak Condor Book Son Venir Press.
Autis di Rumah. Jakarta: Puspa Lestari, Yunita P. 2007. Pengaruh Senam
Swara. Otak terhadap Kualitas Interaksi
Endy, P. P. 2003. Nutrisi dan Autistic Sosial Anak Autis. Skripsi.
Spectrum Disorder. Temu Ilmiah Yogyakarta: Fakultas Kedokteran
Penatalaksanaan Gizi Pada Anak UMY.
Autis, ASDI . Yogyakarta: Pustaka Lisa, R. 2007. Social Skills Training and
Anggrek. Autism.
Fitriyani. 2007. Efektivitas Terapi Wicara http://autism.about.com/od/autismt
Pada Anak Autis Dengan herapy101/a/socskillbasics.html. [7
Gangguan Perkembangan Maret 2011].
Bahasa. Malang: Fakultas Mashabi, N. A., & Tajuddin, N. R. 2009.
Psikologi Universitas Islam Negeri Hubungan Antara Pengetahuan
Malang. Ibu dengan Pola Makan Anak
Ginanjar, Andriana S. 2007. Memahami Autis. Jakarta: Makara Kesehatan.
Spektrum Autis Secara Holistik. Mourice, C. 1996. Behavioral Intervention
Jakarta: Fakultas Psikologi for Children with Autism. A Manual
Universitas Indonesia. for Parent’s Young and
Green, Gina. 2008. Autism and ABA. Professionals. Texas: Autism.
Jakarta: Gramedia. Noorkasiani, Heryati, Ismail. 2009.
Gunarsa, S.D. 2008. Psikologi Perawatan. Sosiologi Keperawatan. Jakarta:
Jakarta: Gunung Mulia. ECG.
Handojo, Y. 2003. Autisma. Jakarta: PT Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metode
Buana Ilmu Populer Kelompok Penelitian Kesehatan. Jakarta:
Gramedia. Rineka Cipta.
Handojo, Y. 2009. Autisme pada Anak. Pamoedji, Gayatri. 2007. Seputar Autisme.
Jakarta: PT Buana Ilmu Populer Jakarta: Gramedia.
Kelompok Gramedia. Prasetyo, D.S., 2008. Serba-Serbi Anak
Hariyadi, D. 2009. Pedoman Singkat Autis: Mengenal, Menangani, dan
Menghitung Kebutuhan Gizi Autis Mengatasinya dengan Tepat dan
untuk Mahasiswa Gizi. Pontianak: 84 Bijak,. Yogyakarta: Diva Press.
DPD Persagi Kalimantan Rahmayanti, S. 2008. Gambaran
BaratWong, Donna L. 2008. Penerimaan Orang Tua terhadap
Pedoman Klinis Keperawatan Anak Autisme. Jakarta: Fakultas
Pediatrik. Jakarta: EGC. Psikologi Universitas Gunadarma.
Hembing, M. 2004. Psikoterapi Anak Ratnadewi. 2010. Peran Orangtua pada
Autisme. Jakarta: Pustaka Populer Terapi Biomedis untuk Anak Autis.
Obor. Jakarta: Fakultas Psikologi
Jamaris, M. 2005. Perkembangan dan Universitas Gunadarma.
Pengembangan Anak. Jakarta: Sari, I. D. 2009. Nutrisi pada Pasien Autis.
Universitas Negeri Jakarta. Jakarta: CDK (Cermin Dunia
Jordan, R. 2001. Autism with Severe Kedokteran).
Learning Difficulties. England: A
9

Vous aimerez peut-être aussi