Vous êtes sur la page 1sur 3

Anjing yang Masuk Surga

Usamah adalah seorang keturunan Arab Pakalongan, tapi kawin dengan seorang keturunan Arab
juga asal Solo. Karena itu ia bergaul dengan teman-temannya, dari kampung Pasar Kliwon,
daerah permukiman keturunan Arab di Solo. Ia juga mengikuti sejumlah orang yang hijrah ke
Jakarta. Teman-temannya itu, termasuk ia sendiri, semuanya telah lulus perguruan tinggi, tapi
tak semuanya jadi pegawai, sebagian memilih jadi pengusaha. Tapi semuanya sukses, seorang
di antaranya berhasil menjadi Direktur Kredit Deutsche Bank, Bank Jerman, dan seorang lagi
menjadi direktur sebuah hotel berbintang tiga. Usamah sendiri memilih jadi wartawan sebuah
majalah berita terkemuka.

Hampir semuanya mula-mula tinggal di rumah sewa. Tapi suatu ketika mereka sepakat untuk
membeli tanah di sepanjang jalan kecil di bilangan Ciputat. Mereka mendirikan rumah
berderetan. Usamah juga ikut membeli tanah, tapi ia terpisah, karena ingin memberi tanah yang
lebih murah di bagian yang agak dalam, bahkan dekat sawah yang hanya dibatasi oleh sebuah
kali kecil. Di situ ia mampu membangun rumah sederhana tapi berhalaman luas. Sebagian
pekarangannya dipakai untuk memelihhara ayam. Peternakan ayam yang hanya 100 ekor itu
memang cukup berkembang. Tapi pada suatu hari, beberapa ekor dicuri orang. Karena itu
seorang sahabatnya menganjurkan agar ia memelihara seekor anjing.

Memelihara anjing di kampung Betawi itu memang sangat riskan, yang memelihara bisa tidak
disukai orang sekampung. Teman-temannya dari Solo pun ikut manyarankan agar Usamah tidak
memelihara Anjing. Tapi sahabatnya yang mengusulkan itu memberi tahu bahwa memelihara
anjing itu diperbolehkan agama. Kebetulan ia mengikuti aliran modern, al Irsyad. Tapi sebelum
memutuskan memelihara anjing itu Usamah pernah sowan ke Buya Hamka di Kabayoran Baru,
dekat Masjid al Azhar.

“Boleh tidak Buya, seorang Muslim memelihara anjing?” tanyanya, memberanikan diri, maklum
bertanya kepada ulama besar.

“Tengok ke halaman rumah. Itu ada anjing besar,” jawab Buya.

“Di Minangkabau, memelihara anjing sudah biasa. Bahkan ulama-ulama juga memelihara anjing.
Sebagian orang kampung memelihara anjing untuk berburu babi di hutan. Bahkan Pesantren Putri
Pandang Panjang, Rahmah el Yunusiyah, itu separuh penghuninya adalah anjing,” jelas ulama
asal Minang itu.

“Di Mekkah, banyak penduduk yang memelihara anjing,” jelasnya lagi. “Orang Muslim dianjurkan
untuk menyayangi binatang, termasuk anjing. Nabi sendiri suka dengan kucing. Nabi Daud suka
burung dan Nabi Sulaiman bersahabat dengan semua binatang. Pernah ada hadist yang
menceritakan. Adanya seorang pelacur yang dinyatakan Nabi akan masuk surga, hanya karena ia
memberi minuman kepada anjing yang mau mati kehausan. Bahkan ada pula anjing yang masuk
surga, yaitu anjing yang menemani pemuda-pemuda Askhabul Kahfi yang melarikan diri dari
tirani raja kafir dan mengungsi di gua dan atas izin Allah, tertidur selama 300 tahun itu,” jelas
ulama pengarang Tafsir al Azhar itu, yang menceriterakan kisah para pemuda beriman dan
seekor anjingnya dalam Al Quran.

Dengan keterangan Buya Hamka itu Usamah, dengan persetujuan seluruh keluarga, memutuskan
untuk memelihara seokor anjing. Tak tanggung-tanggung, ia memelihara jenis herder yang
disebut German Sheppard yang diberinya nama Nero. Tapi baru berjalan satu setengah tahun,
anjing itu pun mati. Menurut dugaan Usamah sendiri yang mendapat informasi dari orang
kampung, anjing yang masih muda usianya itu mati diracun, mungkin oleh tetangga yang tak
suka. Ia dan keluarga, terutama anak kecilnya, Najib, sangat sedih kehilangan Nero. Tapi
kemudian ia bertekad untuk memelihara lagi. Kali ini ia memelihara jenis Gaberman yang
diberinya nama Hector.
Sehari-hari Hector menemani anaknya yang terkecil, Faris, bersama pengasuhnya, Minah,
bermain-main di rerumputan pinggir kali, dekat sawah. Hector selalu menggonggong keras, jika
Faris ingin bermain-main di kali. Jika istri Usamah pergi ke pasar, Hector selalu dibawanya, tapi
ia selalu disuruh menunggu di jalan di luar pasar, karena jika ikut masuk, akan mengganggu
orang yang takut atau jijik pada anjing. Pada suatu hari, setelah selesai belanja, barang-barang
belanjaannya ditaruh di dekat mobil, sedangkan ia kembali ke pasar membeli barang yang
kelupaan dibeli. Hector disuruh menunggu. Namun ternyata ada juga oramg yang berusaha
mengambil barang belanjaan itu. Ketika mau mengambil kompor, rupanya pencuri itu tidak sadar
bahwa ada seekor anjing yang menjaganya. Maka meloncatlah Hector menerkam pencuri itu
sambil menggonggong keras-keras.

Mendengar gonggongan anjingnya, maka istri Usamah kembali ke mobilnya. Pencuri itu tidak
mengaku mau mencuri, bahkan marah-marah kepada Hector dan istri Usamah.

“Kenapa kamu mau mencuri ?” tanya Bu Usamah.

“Tidak, tidak, saya tidak mencuri,” jawab si pencuri.

“Tidak mungkin kamu diterkam oleh anjing saya, jika tidak mau mengambil barang saya.”

“Ibu percaya pada saya atau percaya kepada binatang najis itu?” Ibu Usamah merasa glagepan
mendengar tangkisan pencuri itu. Orang-orang yang berkerumun sepertinya memahami
pertanyaan si pencuri.

“Walaupun seekor anjing, ia tak pernah berbohong. Anjing juga tidak pernah mencuri. Hanya
manusia yang suka berbohong dan mencuri,” jawab Bu Usamah. Tapi karena tak ada bukti bahwa
barangnya telah dicuri, maka pencuri itu pun bebas.

Pernah suatu pagi hari, ada seorang yang rupanya pemuda sekampung sendiri, berusaha mencuri
ayam. Ia sempat membawa lari seekor ayam, tapi orang itu keburu lari melompat pagar
tanaman, karena mendapat gonggongan Hector. Ketika lari terbirit-birit, Hector mengejarnya
sampai tertangkap. Pencuri itu pun, setelah melapas ayam curiannya, teriak-teriak minta tolong.
Penduduk kampung pun berusaha menolong si pencuri dengan melepaskan gigitan anjing di
bajunya, dan seorang di antaranya mengambil sepotong kayu untuk memukul Hector. Untung
Usamah sempat datang mencegah pemukulan. Tapi penduduk malah memarahi Usamah.

“Jaga dong anjingnya. Kalau Bapak tidak datang, anjing itu pasti mati kami hajar.”

“Lho Pak, mana mungkin anjing saya ini mengejar orang ini tanpa alasan sepagi hari ini? Ayam
saya di kandang ramai berkotek, tanda ada yang mengganggu. Dulu saya pernah kecurian ayam,
sebelum punya anjing.”

“Apa Bapak tidak tahu, menyentuh anjing saja itu najis hukumnya? Apalagi memelihara. Haram.”

“Yang najis itu air liur anjing gila. Anjing ini sehat dan bersih, setia menjaga rumah dan
majikannya. Tak pernah mencuri dan berbohong, karena tidak bisa. Anjing itu seperti malaikat.
Hanya bisa menjalankan tugas menurut kodratnya,” jawab Usamah.

“Masya Allah, Pak Usamah ini termasuk orang yang sesat. Minta ampun pada Tuhan dong karena
melanggar ketentuan agama. Benar tidak pak haji?” tanya orang kampung itu kepada seorang
yang pakai kopiah putih di sampingnya. Orang yang ditanya itu tidak berkata apa-apa, cuma
mengangguk. Usamah tidak mau terlibat dalam perdebatan agama dengan orang kampung yang
menurutnya tidak ada gunanya sama sekali.

Sejak peristiwa yang tersebar di seluruh kampung itu, tidak ada lagi orang yang mencoba
mencuri ayam. Cuma, ada yang takut bertamu ke rumah Pak Usamah. Padahal Hector tidak
menggonggong jika ada tamu. Pernah ada seorang kiai di kampung itu yang menasihati Usamah
bahwa rumah yang ada anjingnya tidak dimasuki oleh malaikat. Teman-temannya dari Solo pun
menjadi enggan bertamu. Tapi Usamah sendiri percaya bahwa Hector itu sendiri adalah malaikat
yang hanya bisa mengabdi tanpa sedikit pun niat untuk berkhianat atau bersikap munafik.

Hector tidak pernah menimbulkan masalah bagi Usamah dan keluarganya dan bahkan merupakan
teman baik seluruh anggota keluarga. Kalau siang, Hector sering masuk rumah dan bersama-
sama anggota keluarga yang nonton TV. Ia terutama dekat sekali dengan Faris, anaknya yang
terkecil. Dan Faris sangat menyayanginya, sering mengelus-elusnya dan mengajaknya bicara.
Tapi kalau malam, Hector rela dan biasa tidur di luar rumah, maksudnya mungkin mau menjaga
rumah itu dari pencuri yang suka datang malam-malam. Kalau ada yang dicurigainya, baru Hector
menggonggong. Karena itu orang yang berniat jahat, mengurungkan niatnya.

Pada suatu sore di hari Sabtu, Usamah sekeluarga menonton TV. Faris sudah berangkat besar,
sudah masuk SMP. Ia masih akrab saja dengan Hector. Ketika Usamah sekeluarga sedang santai
nonton TV, tiba-tiba Hector masuk ke ruangan. Ia pun dengan santai nongkrong seolah-olah ikut
menonton TV. Setelah sejenak duduk, tiba-tiba kepala Hector lunglai kemudian seolah-olah
tertidur. Tapi lama benar ia tidur sampai waktunya ia seharusnya keluar rumah. Faris pun
menggoyang-goyangkannya, tapi Hector tidak bangun juga. Rupanya, Hector sudah berhenti
bernapas.

Melihat Hector tak bangun lagi, seluruh keluarga gempar. Ibu Usamah menangis menjerit-jerit
yang diikuti oleh anak-anaknya, terutama Faris. Melihat keadaan itu maka Usamah pun, dengan
suara tersendat-sendat berkata: “Anak-anak, manusia pun akan mati, apalagi binatang yang
umurnya lebih pendek dari manusia. Hector sudah berumur hampir lima belas tahun, padahal
anjing-anjing yang lain hanya berumur sekitar tujuh atau delapan tahun. Inna lillahi wa inna
lilahi rojiun. Semuanya berasal dari Allah. Ia dan kelak kita semua juga akan kembali kepadaNya.
Abah yakin, Hector akan masuk surga, seperti anjing para pemuda Ashabul Kahfi.”

Keesokan harinya, pagi-pagi benar, Hector dimandikan dan dibungkus dengan kain kafan putih,
seperti manusia. Ia pun dikuburkan. Pak Usamah sempat membaca doa, sambil menitikkan air
matanya. Ia kehilangan malaikat penjaga keluarganya. Sebenarnya, tanpa doa pun, malaikat
akan masuk surga. Tapi Hector lebih menyerupai manusia, bagian dari keluarga Usamah.*

Vous aimerez peut-être aussi